Analisis Kesiapan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut Meutia Menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu hak azasi manusia, dan sesuai dengan amanat
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan
bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini kembali
ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(RS) bahwa salah satu pelayanan kesehatan jenis layanan kesehatan yang perlu
diperhatikan adalah rumah sakit, dan ini menjadi tanggung jawab negara atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Mengingat pelayanan kesehatan adalah hal yang penting, maka sesuai UU
No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa pemberian
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dimaksudkan untuk mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, dengan
pengertian bahwa penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah dalam rangka
memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Implementasi UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
khususnya di bidang kesehatan telah memberikan kesempatan kepada pemerintah
1
2
daerah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan sesuai karakteristik daerahnya masing-masing. Upaya ini dilaksanakan
dengan memberikan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau demi
terwujudnya derajat kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Undang-undang bidang keuangan Negara merupakan paket reformasi yang
signifikan di bidang keuangan negara yang kita alami sejak kemerdekaaan. Salah satu
dari reformasi yang paling menonjol adalah pergeseran dari penganggaran tradisional
ke pengganggaran berbasis kinerja. Basis kinerja ini mulai dirintis arah yang jelas
bagi penggunaan dana pemerintah, berpindah dari sekedar membiayai masukan
(inputs) atau proses ke pembiayaan terhadap apa yang akan dihasilkan (outputs).
Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran yang lebih rasional
untuk mempergunakan sumber daya yang dimiliki pemerintah mengingat tingkat
kebutuhan dana yang semakin tinggi, sementara sumber dana yang tersedia tetap
terbatas. Dengan demikian, pilihan rasional oleh publik sudah seyogianya
menyeimbangkan prioritas dengan kendala dana yang tersedia. UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran,
memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintah.
Pasal 68 dan pasal 69 dari Undang-undang tersebut menyebutkan instansi pemerintah
dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan
produktivitas, efesiensi, dan efektivitas. Instansi demikian disebut dengan Badan
3
Layanan Umum (BLU) dan diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari
penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil (kinerja).
Peluang ini secara khusus disediakan kesempatannya bagi satuan-satuan kerja
Pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik (seperti layanan
kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi), untuk membedakannya
dari fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan. Praktik ini
berkembang luas di manca negara berupa aktivitas yang diselenggarakan oleh instansi
yang dikelola ala bisnis sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi
lebih efesien dan efektif.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2012 menjelaskan
bahwa BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efesiensi dan produktivitas. Pelaksanaan PP tersebut diatur
juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 Tahun 2007
tentang Pedoman teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah serta
di perkuat dengan lahirnyan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang
mewajibkan sebuah Rumah Sakit menerapkan sistem BLUD dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Implementasi kebijakan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) didasarkan pada adanya ketidakpuasan masyarakat dalam pelayanan publik.
Menurut Mulyono (2009), hal ini disebabkan karena 1) dalam memberikan pelayanan
4
tidak cepat namun terjadi prosedur yang berbelit-belit, 2) adanya diskriminasi
pelayanan, 3) biaya tidak transparan dan lambat, 4) adanya budaya kerja aparatur
yang belum baik, dan 5) waktu penyelesaian pemberian pelayanan yang tidak jelas,
serta adanya praktek pungutan liar diluar tarif layanan yang telah ditentukan.
Tujuan pembentukan BLUD adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan
berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas serta penerapan praktek bisnis yang
sehat. BLU dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, dan salah satunya adanya
BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga
pendidikan, pelayanan lisensi penyiaran, dan lain-lain.
Penerapan kebijakan BLUD, harus memenuhi beragam persyaratan, agar
dapat terwujud secara komprehensif, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Persyaratan tersebut meliputi 1) persyaratan substantif, yaitu berupa upaya
peningkatan perekonomian masyarakat, 2) persyaratan teknis yaitu adanya
peningkatan kinerja pelayanan sesuai tugas dan fungsinya, serta persyaratan
administratif, yaitu adanya lisensi dan legalitas kesanggupan untuk meningkatkan
kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; pola tata kelola (yang
baik); rencana strategis bisnis; laporan keuangan pokok; standar pelayanan minimum;
dan laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Menurut Permana (2005) menyebutkan bahwa Rumah Sakit Daerah (RSD)
merupakan rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah daerah baik dari tingkat
5
provinsi hingga kabupaten/kota. Termasuk juga dalam kategori RSD adalah rumah
sakit khusus seperti rumah sakit jiwa atau kusta. Kondisi RSD saat ini sekitar 80
persennya dikelola secara birokratis, sementara sisanya 20 persen sudah swadana, dan
rumah sakit swadana ini diharapkan yang lebih dulu menjadi BLU. Pengelolaan
secara birokratis sangat membebani rumah sakit, meski namanya merupakan rumah
sakit yang dikelola dan mendapatkan anggaran dari pemda, dalam kenyataannya RSD
tidak pernah menerima dana kas dari Pemerintah Daerah. Justru RSD yang menyetor
ke kas daerah dan menambahkan dana kas baru jika ada penambahan investasi di
RSD.
Seluruh pendapatan rumah sakit dalam sistem pengelolaan birokratis harus
disetorkan ke kas daerah dalam waktu satu kali 24 jam. Kondisi ini menyulitkan cash
flow yang secara signifikan akan mengganggu rantai pelayanan terhadap pasien,
mulai dari pembiayaan administrasi maupun pembiayaan obat-obatan dan bahan
habis pakai (BHP). UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
ditindaklanjuti dengan PP No 74/2012 tentang BLU, kedua ketentuan itu
memungkinkan institusi layanan publik milik pemerintah didorong untuk mandiri
dengan tujuan agar pelayanan menjadi lebih profesional dengan tidak mengutamakan
mencari keuntungan.
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan
bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung
penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah
sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis
6
tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu
sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat
serta harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang
bermutu. Rumah sakit pada hakekatnya berfungsi sebagai tempat penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung
jawab yang seyogianya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan
taraf kesejahteraan masyarakat. Rumah sakit sebagai ujung tombak pembangunan
kesehatan masyarakat, selama ini tak sedikit keluhan diarahkan pada kualitas
pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah, terutama rumah sakit daerah atau
rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya yaitu masalah keterbatasan dana.
Sehingga rumah sakit tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena
peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM)
yang rendah (UU No. 44 Tahun 2009).
Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun
operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan, yaitu antara lain bahwa rumah
sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya
pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien.
Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya, pengendalian biaya merupakan masalah
yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar,
tindakan ekonomis sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan
perkembangan teknologi dari rumah sakit (Syarif, 2013).
7
Kondisi objektif RSUD memang sangat cocok dengan status BLUD, dengan
pertimbangan 1) dapat memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, 2) dapat
menarik bayaran atas jasa yang diberikannya, 3) memiliki lingkungan persaingan
yang berbeda dengan Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD), 4) pendapatan yang
diperoleh dari jasa yang diberikannya cukup signifikan, dan 5) adanya spesialisasi
dalam hal keahlian karyawannya.
Perubahan RSUD menjadi BLUD dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk
keprofesionalan pelayanan publik di Pemerintahan Daerah, namun banyak pihak yang
mengkritik karena sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum mampu
mengelola dan memberdayakan dana berlimpah yang dimilikinya untuk menyediakan
pelayanan publik yang berkualitas. Bahkan ada yang pesimis bahwa BLUD tidak
akan berhasil kecuali hanya menjadi sumber penghasilan bagi para pengelolanya.
(Abdullah, 2008).
Meskipun demikian, secara objektif dari beberapa RSUD yang sudah
menerapkan BLUD memiliki beragam permasalahan. Penelitian Surianto dan
Tinastoro (2013) di RSUD Undata Propinsi Sulawesi Tengah menemukan beberapa
kendala dalam implementasi kebijakan BLUD, antara lain berkaitan dengan
implementasi standar pelayanan minimal RS belum optimal dan masih lemahnya
dukungan stakeholder. Demikian juga dengan penelitian Ely dan Syafiee (2013) di
RSUD Saiful Anwar Malang, bahwa kendalan objektif yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan BLUD adalah adanya perbedaan persepsi, dan pandangan
8
tentang BLUD, masih ada kekurangsiapan karyawan dan pemilik rumah sakit, dan
masih adanya kelemahan dalama pengelolaan keuangan rumah sakit.
Fenomena permasalahan rencana BLUD rumah sakit daerah masih menuai
permasalahan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini juga terjadi di Provinsi Aceh.
menurut Mahdi (2012), bahwa belum semua RSUD di Provinsi Aceh menerapkan
PPK BLUD, dan masih sangat perlu dilakukan bimbingan teknis, dan pendampingan,
serta dukungan pemerintah daerahnya. Data menunjukkan dari 26 RSUD milik
pemerintah daerah baru 12 RSUD yang sudah menjadi PPK BLUD. Dari sejumlah
PPK-BLUD tersebut
masih banyak
ditemukan permasalahan, baik secara
administratif, maupun secara teknis.
Salah satu RSUD milik pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara yang
sedang dalam upaya penerapan BLUD adalah RSU Cut Meutia. Secara legalitas
RSUD Cut Meutia merupakan RSUD kelas B dengan kapasitas tempat tidur sebanyak
135 tempat tidur dan tahun 2014 bertambah menjadi 251 tempat tidur. Berdasarkan
komposisi sumber daya manusia kesehatan, diketahui jumlah tenaga keseluruhan di
RSUD Cut Meutia sebanyak 881 orang yang terdiri dari tenaga berstatus PNS
sebanyak 389 orang dan tenaga dengan status non PNS sebanyak 492 orang.
Berdasarkan aspek pendanaan untuk operasional dan optimalisasi kegiatan rumah
sakit bersumber dana dari APBN dan APBD (Profil RSUD Cut Meutia, 2014).
Keberadaan RSUD Cut Meutia sejak mulai diresmikan telah memberikan
kontribusi positif untuk pelayanan rujukan di Kabupaten Aceh Utara. Hal ini
ditunjukkan dari peningkatan kinerja RSUD secara bertahap, dengan nilai Bed
9
Occupancy Rate (BOR) sudah mencapai 80,9%, dengan Length of Stay (LOS) selama
3 hari. Rata-rata kunjungan pasien untuk rawat jalan didominasi oleh pasien peserta
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), dan atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Selain itu dari aspek pendapatan asli daerah bersumber dari rumah sakit,
diketahui selalu memenuhi target yang sudah ditetapkan, sehingga dapat menjadi nilai
positif untuk peningkatan status BLUD.
Proses persiapan RSUD Cut Meutia menjadi BLUD sedang dilakukan oleh
manajemen dan tim BLUD, antara lain dalam proses penyiapan secara administratif
berupa penyiapan-penyiapan dokumen pendukung, seperti dokumen untuk pelayanan,
hospital by law, standar pelayanan minimal, dan rencana bisnis BLUD. Persiapan
perubahan status BLUD di RSUD Cut Meutia sudah dilakukan sejak tahun 2011
hingga sekarang februari 2015. Rentang waktu persiapan yang begitu lama,
terindikasi adanya masalah-masalah yang cukup serius dalam proses perubahan
menjadi BLUD. Hasil dari wawancara beberapa petugas RSUD pada saat survei awal
menyatakan bahwa kekhawatiran mereka jika perubahan BLUD diterapkan di RSUD
Cut Meutia maka akan kalah bersaing dengan rumah sakit swasta sehingga RSUD
mengalami kebangkrutan. Adapula yang menyatakan jika program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) tidak ada
lagi maka RSUD akan mengalami kebangkrutan. Kerelaan pemda untuk merubah
status RSUD Cut Meutia menjadi BLUD masih belum terlihat dikarenakan akan
mengalami pengurangan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
10
Secara teknis proses penyiapan pelayanan belum dilakukan dengan baik, hal
ini diindikasikan dari rendahnya mutu pelayanan terhadap pasien, seperti waktu
tunggu pasien yang masih lama, administrasi di bagian rekam medik masih belum
cepat dan cenderung berbelit-belit, dan kedisiplinan dokter spesialis yang masih
kurang. Fenomena ini mendeskripsikan secara teknis RSUD Cut Meutia masih belum
siap untuk BLUD. Demikian juga jika dilihat dari aspek substantif adanya perubahan
dinamika birokrasi sehingga berdampak terhadap tata kelola organisasi rumah sakit
yang cenderung berubah-berubah seperti pergantian pejabat struktural. Hal ini
berimplikasi terhadap keseluruhan administrasi dalam dokumen yang telah disusun,
serta kompetensi SDM yang sudah terlatih.
Berdasarkan pengalaman RSUD yang sudah menerapkan BLUD, masih
banyak ditemui permasalahan-permasalahan secara teknis, dan juga berkaitan dengan
kesiapan SDM nya, seperti tanggung jawab terhadap tugas dan kewenangan,
kedisiplinan, dan bekerja sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Penelitian
Wildana (2012) di Makasar juga menemukan hal yang serupa, seperti lemahnya
pengawasan terhadap kehadiran dokter spesialis, dan rendahnya kesadaran pegawai
untuk bekerja sesuai SOP.
Fakta seperti ini juga terjadi di RSUD Cut Meutia, di mana hasil observasi
peneliti pada tanggal 17 Februari 2014, menemukan kondisi waktu tunggu pasien
yang relatif lama, dengan rata-rata 20 menit, demikian juga dengan kehadiran dokter
spesialis juga sudah menjelang siang, sementara jam kerjanya mulai jam 8.00 sampai
jam 16.00 wib. Selain itu wawancara dengan beberapa tenaga perawat, berkaitan
11
dengan jasa medis pelayanan, semuanya menjelaskan selalu ada kendala dalam
pembayaran, dan pendistribusian jasa medis cenderung belum proporsional. Hal-hal
seperti ini secara tidak langsung dapat berdampak terhadap kesempurnaan dalam
implementasi BLUD rumah sakit.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas peneliti tertarik untuk
menganalisis Kesiapan Rumah Sakit Menuju Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
pada RSUD Cut Meutia di Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka permasalahan dalam penelitian
ini adalah :
1.
Bagaimana kesiapan dokumen pola tata kelola, rencana strategi bisnis dan
standar pelayanan minimal sebagai syarat BLUD di RSUD Cut Meutia dalam
menerapkan kebijakan pelaksanaan BLUD.
2.
Bagaimana proses advokasi dilakukan, kepada siapa dan kegiatan apa saja yang
sudah dilakukan pihak RSUD Cut Meutia.
3.
Bagaimana kesiapan sumber daya manusia dalam menerapkan kebijakan
pelaksanaan BLUD di RSUD Cut Meutia di Kabupaten Aceh Utara tahun 2015
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
12
1.
Menganalisis kesiapan dokumen pola tata kelola, rencana strategi bisnis dan
standar pelayanan minimal di RSUD Cut Meutia.
2.
Menganalisis proses advokasi yang dilakukan pihak RSUD Cut Meutia kepada
stakeholder terkait.
3.
Menganalisis kesiapan sumber daya manusia dalam menerapkan kebijakan
pelaksanaan BLUD di RSUD Cut Meutia di Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Sebagai masukan bagi RSUD Cut Meutia dalam mengambil kebijakan untuk
percepatan transformasi kebijakan pelaksanaan BLUD
2.
Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu hak azasi manusia, dan sesuai dengan amanat
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan
bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini kembali
ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(RS) bahwa salah satu pelayanan kesehatan jenis layanan kesehatan yang perlu
diperhatikan adalah rumah sakit, dan ini menjadi tanggung jawab negara atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Mengingat pelayanan kesehatan adalah hal yang penting, maka sesuai UU
No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa pemberian
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dimaksudkan untuk mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, dengan
pengertian bahwa penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah dalam rangka
memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Implementasi UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
khususnya di bidang kesehatan telah memberikan kesempatan kepada pemerintah
1
2
daerah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan sesuai karakteristik daerahnya masing-masing. Upaya ini dilaksanakan
dengan memberikan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau demi
terwujudnya derajat kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Undang-undang bidang keuangan Negara merupakan paket reformasi yang
signifikan di bidang keuangan negara yang kita alami sejak kemerdekaaan. Salah satu
dari reformasi yang paling menonjol adalah pergeseran dari penganggaran tradisional
ke pengganggaran berbasis kinerja. Basis kinerja ini mulai dirintis arah yang jelas
bagi penggunaan dana pemerintah, berpindah dari sekedar membiayai masukan
(inputs) atau proses ke pembiayaan terhadap apa yang akan dihasilkan (outputs).
Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran yang lebih rasional
untuk mempergunakan sumber daya yang dimiliki pemerintah mengingat tingkat
kebutuhan dana yang semakin tinggi, sementara sumber dana yang tersedia tetap
terbatas. Dengan demikian, pilihan rasional oleh publik sudah seyogianya
menyeimbangkan prioritas dengan kendala dana yang tersedia. UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran,
memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintah.
Pasal 68 dan pasal 69 dari Undang-undang tersebut menyebutkan instansi pemerintah
dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan
produktivitas, efesiensi, dan efektivitas. Instansi demikian disebut dengan Badan
3
Layanan Umum (BLU) dan diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari
penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil (kinerja).
Peluang ini secara khusus disediakan kesempatannya bagi satuan-satuan kerja
Pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik (seperti layanan
kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi), untuk membedakannya
dari fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan. Praktik ini
berkembang luas di manca negara berupa aktivitas yang diselenggarakan oleh instansi
yang dikelola ala bisnis sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi
lebih efesien dan efektif.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2012 menjelaskan
bahwa BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efesiensi dan produktivitas. Pelaksanaan PP tersebut diatur
juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 Tahun 2007
tentang Pedoman teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah serta
di perkuat dengan lahirnyan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang
mewajibkan sebuah Rumah Sakit menerapkan sistem BLUD dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Implementasi kebijakan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) didasarkan pada adanya ketidakpuasan masyarakat dalam pelayanan publik.
Menurut Mulyono (2009), hal ini disebabkan karena 1) dalam memberikan pelayanan
4
tidak cepat namun terjadi prosedur yang berbelit-belit, 2) adanya diskriminasi
pelayanan, 3) biaya tidak transparan dan lambat, 4) adanya budaya kerja aparatur
yang belum baik, dan 5) waktu penyelesaian pemberian pelayanan yang tidak jelas,
serta adanya praktek pungutan liar diluar tarif layanan yang telah ditentukan.
Tujuan pembentukan BLUD adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan
berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas serta penerapan praktek bisnis yang
sehat. BLU dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, dan salah satunya adanya
BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga
pendidikan, pelayanan lisensi penyiaran, dan lain-lain.
Penerapan kebijakan BLUD, harus memenuhi beragam persyaratan, agar
dapat terwujud secara komprehensif, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Persyaratan tersebut meliputi 1) persyaratan substantif, yaitu berupa upaya
peningkatan perekonomian masyarakat, 2) persyaratan teknis yaitu adanya
peningkatan kinerja pelayanan sesuai tugas dan fungsinya, serta persyaratan
administratif, yaitu adanya lisensi dan legalitas kesanggupan untuk meningkatkan
kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; pola tata kelola (yang
baik); rencana strategis bisnis; laporan keuangan pokok; standar pelayanan minimum;
dan laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Menurut Permana (2005) menyebutkan bahwa Rumah Sakit Daerah (RSD)
merupakan rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah daerah baik dari tingkat
5
provinsi hingga kabupaten/kota. Termasuk juga dalam kategori RSD adalah rumah
sakit khusus seperti rumah sakit jiwa atau kusta. Kondisi RSD saat ini sekitar 80
persennya dikelola secara birokratis, sementara sisanya 20 persen sudah swadana, dan
rumah sakit swadana ini diharapkan yang lebih dulu menjadi BLU. Pengelolaan
secara birokratis sangat membebani rumah sakit, meski namanya merupakan rumah
sakit yang dikelola dan mendapatkan anggaran dari pemda, dalam kenyataannya RSD
tidak pernah menerima dana kas dari Pemerintah Daerah. Justru RSD yang menyetor
ke kas daerah dan menambahkan dana kas baru jika ada penambahan investasi di
RSD.
Seluruh pendapatan rumah sakit dalam sistem pengelolaan birokratis harus
disetorkan ke kas daerah dalam waktu satu kali 24 jam. Kondisi ini menyulitkan cash
flow yang secara signifikan akan mengganggu rantai pelayanan terhadap pasien,
mulai dari pembiayaan administrasi maupun pembiayaan obat-obatan dan bahan
habis pakai (BHP). UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
ditindaklanjuti dengan PP No 74/2012 tentang BLU, kedua ketentuan itu
memungkinkan institusi layanan publik milik pemerintah didorong untuk mandiri
dengan tujuan agar pelayanan menjadi lebih profesional dengan tidak mengutamakan
mencari keuntungan.
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan
bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung
penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah
sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis
6
tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu
sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat
serta harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang
bermutu. Rumah sakit pada hakekatnya berfungsi sebagai tempat penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung
jawab yang seyogianya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan
taraf kesejahteraan masyarakat. Rumah sakit sebagai ujung tombak pembangunan
kesehatan masyarakat, selama ini tak sedikit keluhan diarahkan pada kualitas
pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah, terutama rumah sakit daerah atau
rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya yaitu masalah keterbatasan dana.
Sehingga rumah sakit tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena
peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM)
yang rendah (UU No. 44 Tahun 2009).
Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun
operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan, yaitu antara lain bahwa rumah
sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya
pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien.
Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya, pengendalian biaya merupakan masalah
yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar,
tindakan ekonomis sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan
perkembangan teknologi dari rumah sakit (Syarif, 2013).
7
Kondisi objektif RSUD memang sangat cocok dengan status BLUD, dengan
pertimbangan 1) dapat memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, 2) dapat
menarik bayaran atas jasa yang diberikannya, 3) memiliki lingkungan persaingan
yang berbeda dengan Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD), 4) pendapatan yang
diperoleh dari jasa yang diberikannya cukup signifikan, dan 5) adanya spesialisasi
dalam hal keahlian karyawannya.
Perubahan RSUD menjadi BLUD dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk
keprofesionalan pelayanan publik di Pemerintahan Daerah, namun banyak pihak yang
mengkritik karena sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum mampu
mengelola dan memberdayakan dana berlimpah yang dimilikinya untuk menyediakan
pelayanan publik yang berkualitas. Bahkan ada yang pesimis bahwa BLUD tidak
akan berhasil kecuali hanya menjadi sumber penghasilan bagi para pengelolanya.
(Abdullah, 2008).
Meskipun demikian, secara objektif dari beberapa RSUD yang sudah
menerapkan BLUD memiliki beragam permasalahan. Penelitian Surianto dan
Tinastoro (2013) di RSUD Undata Propinsi Sulawesi Tengah menemukan beberapa
kendala dalam implementasi kebijakan BLUD, antara lain berkaitan dengan
implementasi standar pelayanan minimal RS belum optimal dan masih lemahnya
dukungan stakeholder. Demikian juga dengan penelitian Ely dan Syafiee (2013) di
RSUD Saiful Anwar Malang, bahwa kendalan objektif yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan BLUD adalah adanya perbedaan persepsi, dan pandangan
8
tentang BLUD, masih ada kekurangsiapan karyawan dan pemilik rumah sakit, dan
masih adanya kelemahan dalama pengelolaan keuangan rumah sakit.
Fenomena permasalahan rencana BLUD rumah sakit daerah masih menuai
permasalahan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini juga terjadi di Provinsi Aceh.
menurut Mahdi (2012), bahwa belum semua RSUD di Provinsi Aceh menerapkan
PPK BLUD, dan masih sangat perlu dilakukan bimbingan teknis, dan pendampingan,
serta dukungan pemerintah daerahnya. Data menunjukkan dari 26 RSUD milik
pemerintah daerah baru 12 RSUD yang sudah menjadi PPK BLUD. Dari sejumlah
PPK-BLUD tersebut
masih banyak
ditemukan permasalahan, baik secara
administratif, maupun secara teknis.
Salah satu RSUD milik pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara yang
sedang dalam upaya penerapan BLUD adalah RSU Cut Meutia. Secara legalitas
RSUD Cut Meutia merupakan RSUD kelas B dengan kapasitas tempat tidur sebanyak
135 tempat tidur dan tahun 2014 bertambah menjadi 251 tempat tidur. Berdasarkan
komposisi sumber daya manusia kesehatan, diketahui jumlah tenaga keseluruhan di
RSUD Cut Meutia sebanyak 881 orang yang terdiri dari tenaga berstatus PNS
sebanyak 389 orang dan tenaga dengan status non PNS sebanyak 492 orang.
Berdasarkan aspek pendanaan untuk operasional dan optimalisasi kegiatan rumah
sakit bersumber dana dari APBN dan APBD (Profil RSUD Cut Meutia, 2014).
Keberadaan RSUD Cut Meutia sejak mulai diresmikan telah memberikan
kontribusi positif untuk pelayanan rujukan di Kabupaten Aceh Utara. Hal ini
ditunjukkan dari peningkatan kinerja RSUD secara bertahap, dengan nilai Bed
9
Occupancy Rate (BOR) sudah mencapai 80,9%, dengan Length of Stay (LOS) selama
3 hari. Rata-rata kunjungan pasien untuk rawat jalan didominasi oleh pasien peserta
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), dan atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Selain itu dari aspek pendapatan asli daerah bersumber dari rumah sakit,
diketahui selalu memenuhi target yang sudah ditetapkan, sehingga dapat menjadi nilai
positif untuk peningkatan status BLUD.
Proses persiapan RSUD Cut Meutia menjadi BLUD sedang dilakukan oleh
manajemen dan tim BLUD, antara lain dalam proses penyiapan secara administratif
berupa penyiapan-penyiapan dokumen pendukung, seperti dokumen untuk pelayanan,
hospital by law, standar pelayanan minimal, dan rencana bisnis BLUD. Persiapan
perubahan status BLUD di RSUD Cut Meutia sudah dilakukan sejak tahun 2011
hingga sekarang februari 2015. Rentang waktu persiapan yang begitu lama,
terindikasi adanya masalah-masalah yang cukup serius dalam proses perubahan
menjadi BLUD. Hasil dari wawancara beberapa petugas RSUD pada saat survei awal
menyatakan bahwa kekhawatiran mereka jika perubahan BLUD diterapkan di RSUD
Cut Meutia maka akan kalah bersaing dengan rumah sakit swasta sehingga RSUD
mengalami kebangkrutan. Adapula yang menyatakan jika program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) tidak ada
lagi maka RSUD akan mengalami kebangkrutan. Kerelaan pemda untuk merubah
status RSUD Cut Meutia menjadi BLUD masih belum terlihat dikarenakan akan
mengalami pengurangan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
10
Secara teknis proses penyiapan pelayanan belum dilakukan dengan baik, hal
ini diindikasikan dari rendahnya mutu pelayanan terhadap pasien, seperti waktu
tunggu pasien yang masih lama, administrasi di bagian rekam medik masih belum
cepat dan cenderung berbelit-belit, dan kedisiplinan dokter spesialis yang masih
kurang. Fenomena ini mendeskripsikan secara teknis RSUD Cut Meutia masih belum
siap untuk BLUD. Demikian juga jika dilihat dari aspek substantif adanya perubahan
dinamika birokrasi sehingga berdampak terhadap tata kelola organisasi rumah sakit
yang cenderung berubah-berubah seperti pergantian pejabat struktural. Hal ini
berimplikasi terhadap keseluruhan administrasi dalam dokumen yang telah disusun,
serta kompetensi SDM yang sudah terlatih.
Berdasarkan pengalaman RSUD yang sudah menerapkan BLUD, masih
banyak ditemui permasalahan-permasalahan secara teknis, dan juga berkaitan dengan
kesiapan SDM nya, seperti tanggung jawab terhadap tugas dan kewenangan,
kedisiplinan, dan bekerja sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Penelitian
Wildana (2012) di Makasar juga menemukan hal yang serupa, seperti lemahnya
pengawasan terhadap kehadiran dokter spesialis, dan rendahnya kesadaran pegawai
untuk bekerja sesuai SOP.
Fakta seperti ini juga terjadi di RSUD Cut Meutia, di mana hasil observasi
peneliti pada tanggal 17 Februari 2014, menemukan kondisi waktu tunggu pasien
yang relatif lama, dengan rata-rata 20 menit, demikian juga dengan kehadiran dokter
spesialis juga sudah menjelang siang, sementara jam kerjanya mulai jam 8.00 sampai
jam 16.00 wib. Selain itu wawancara dengan beberapa tenaga perawat, berkaitan
11
dengan jasa medis pelayanan, semuanya menjelaskan selalu ada kendala dalam
pembayaran, dan pendistribusian jasa medis cenderung belum proporsional. Hal-hal
seperti ini secara tidak langsung dapat berdampak terhadap kesempurnaan dalam
implementasi BLUD rumah sakit.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas peneliti tertarik untuk
menganalisis Kesiapan Rumah Sakit Menuju Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
pada RSUD Cut Meutia di Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka permasalahan dalam penelitian
ini adalah :
1.
Bagaimana kesiapan dokumen pola tata kelola, rencana strategi bisnis dan
standar pelayanan minimal sebagai syarat BLUD di RSUD Cut Meutia dalam
menerapkan kebijakan pelaksanaan BLUD.
2.
Bagaimana proses advokasi dilakukan, kepada siapa dan kegiatan apa saja yang
sudah dilakukan pihak RSUD Cut Meutia.
3.
Bagaimana kesiapan sumber daya manusia dalam menerapkan kebijakan
pelaksanaan BLUD di RSUD Cut Meutia di Kabupaten Aceh Utara tahun 2015
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
12
1.
Menganalisis kesiapan dokumen pola tata kelola, rencana strategi bisnis dan
standar pelayanan minimal di RSUD Cut Meutia.
2.
Menganalisis proses advokasi yang dilakukan pihak RSUD Cut Meutia kepada
stakeholder terkait.
3.
Menganalisis kesiapan sumber daya manusia dalam menerapkan kebijakan
pelaksanaan BLUD di RSUD Cut Meutia di Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Sebagai masukan bagi RSUD Cut Meutia dalam mengambil kebijakan untuk
percepatan transformasi kebijakan pelaksanaan BLUD
2.
Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.