Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga Dan Kader Terhadap Pemanfaatan Posyandu Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

25

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lanjut Usia
Batasan lanjut usia menurut Organisasi Kesehatan Dunia untuk Regional Asia
Selatan dan Timur adalah usia lebih dari 60 tahun. Dilihat dari ciri-ciri fisiknya,
manusia lanjut usia memang mempunyai karakteristik yang spesifik (WHO Regional
Office For South-East ASIA, 2002).
Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai
perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga
aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut
usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi,
aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah
penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai
dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara
ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai
sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi

memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa
kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga
dan masyarakat (BKKBN, 2011).

26

Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara
Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini
dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap
pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan
tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang
harus dihormati oleh warga muda.
Mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis.
Menurut Supardjo dalam Suhartini (2004), usia kronologis merupakan usia seseorang
ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Berbagai aspek pengelompokan lanjut usia
yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah
untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada
berbagai sumber data kependudukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
1. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun,

2. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,
3. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan
4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Suhartini (2004), berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun
merupakan kelompok umur yang mencapai tahap prapensiun, pada tahap ini akan
mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan
psikologis. Hal ini akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam hidupnya.

27

Demikian juga batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 13
tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dengan tegas dinyatakan bahwa yang
disebut sebagai lanjut usia adalah laki-laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun
atau lebih. Merujuk pada hal tersebut maka dalam penelitian ini batasan lanjut usia
adalah individu berusia 60 tahun ke atas.
2.1.1 Perkembangan Teori Gerontologi Lanjut Usia
Terdapat sejumlah teori yang digunakan dalam menjelaskan fenomena
penuaan (aging) dalam ilmu sosiologi. Penuaan dapat dianalisa menurut ilmu
sosiologi sebagai tiga proses yang mempengaruhi orang-orang ketika mereka menjadi
tua: biologis, psikologis, dan sosial; Tiga proses tersebut mengusulkan tiga metafor

waktu perkembang yang berbeda, walaupun saling terkait satu sama lainnya
(Hardywinoto dan Setiabudi, 1999).
1. Penuaan biologis secara khas berarti berkurangnya penglihatan, kehilangan
pendengaran, kerutan, suatu kemunduran kekuatan otot dan disertai penimbunan
lemak, dan penurunan efisiensi kardiovaskuler.
2. Tua menurut psikologis diasumsikan bahwa memori, pelajaran, kecerdasan/
inteligensi, keterampilan, dan motivasi untuk belajar cenderung untuk merosot
karena umur.
3. Penuaan sosial terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, dan peran yang secara
kultural dihubungkan dengan umur secara kronologis tertentu .

28

Sosial gerontologi adalah bidang studi multidisipliner dan merupakan
instrumen teoritis utama kaum ortodoks yang berkenaan dengan lanjut usia terutama
di Amerika Serikat, Inggris dan akademisi Australia (Phillipson dalam Powell, 2001).
Berikut ini penjelasan singkat mengenai teori-teori tersebut yang merupakan ikhtisar
dari buku ”Sosiologi Wanita”. Teori- teori tersebut dibagi dalam 3 (tiga) tipe dasar
yakni: a) teori-teori fungsionalis yang memfokuskan pada diskontinuitas dalam
proses penuaan dan hilangnya status; b) teori-teori yang memfokuskan pada penuaan

individu dan interaksinya dengan masyarakat serta lingkunganya; dan 3) teori-teori
kritis yang memperhatikan faktor-faktor struktural yang mempengaruhi kaum Lansia
(Ollenburger dan Moore, 1996).
Teori Fungsionalis, terdiri dari beberapa teori yang membangun diantaranya
(Powell, 2001) :
1. Teori peran
Komponen utama teori peran adalah hilangnya peran dan penyesuaian diri atau
ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan peran-peran baru dalam usia tua.
Perubahan peran yang terjadi setelah pensiun, ketika peran kerja yang bebas
digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang tergantung. Salah satu
premisnya, wanita lebih mudah menyesuaikan diri dengan peran-peran usia tua,
karena mereka mengalami transisi yang lebih lancar kedalam peran-peran
ketergantungan pada umumnya. Teori ini cenderung melestarikan nilai-nilai

29

kultural yang dominan, dan melukiskan suatu gambaran wanita dalam masyarakat
yang strereotipe.
2. Teori aktivitas
Teori aktivitas mengemukakan bahwa terdapat suatu hubungan positif antara

aktifitas sosial dan kepuasan hidup. Lebih jauh teori aktivitas menjelaskan bahwa
orang yang masa mudanya sangat aktif dan terus juga memelihara keaktifannya
setelah dia menua. Ahli jiwa mengatakan bahwa “sense of integrity” dibangun
semasa muda dan akan tetap terpelihara sampai tua. Ericson, membuat suatu
ringkasan tentang fase-fase perkembangan manusia sejak bayi sampai tua, yang
mana tiap fase menerangkan tentang adanya krisis-krisis untuk memilih antara ke
arah mana seseorang akan berkembang. Fase terakhir disebut bahwa ada pilihan
antara: “sense of integrity” dan “sense of despair” karena adanya rasa takut akan
kematian. Pada masa tua terjadi krisis antara deferensiasi egonya (ego
differentitation) melawan preokupasi peranannya dalam bekerja (work role
preoccupation). Hal ini dipengaruhi oleh pikiran-pikiran tentang pensiun. Juga
ditambahkan bahwa pada masa ini ada krisis, seseorang itu dapat membangun
suatu

hubungan-hubungan

yang

memuaskan


dengan

orang

lain

dan

mengembangkan aktivitas-aktivitas yang kreatif untuk melawan pikiran-pikiran
yang terpusat kepada kemunduran-kemunduran fisiknya. Namun, teori ini
menganggap bahwa individu mempunyai suatu elemen kontrol terhadap dunia

30

sosial mereka, dan mengabaikan persoalan kemiskinan, gender, dan diskriminasi
ras.
3. Teori keterlepasan
Teori keterlepasan mengemukakan bahwa pengurangan interaksi sosial
diharapkan oleh individu-individu lansia, terjadi saling menarik diri antara lansia
dan non-lansia di dalam sistem sosial.

4. Teori lingkungan sosial
Teori lingkungan sosial memfokuskan pada pengaruh lingkungan sosial dan fisik
kaum lansia terhadap aktivitas-aktivitas sosial, pola-pola interaksi lansia dengan
tetangga dan keluarga, dan kepuasan hidup mereka yang terlihat dari persepsi dan
makna yang diterapkan dalam kehidupan sehari- hari lansia. Hal ini
dikembangkan dalam suatu tipologi dengan memperhatikan lingkungan berusia
sama dan lingkungan beragam usia.
5. Teori pertukaran
Teori pertukaran fokusnya adalah pada individu-individu, karena mereka
berinteraksi dan berupaya mempertahankan suatu keseimbangan ketika mereka
mempertukarkan

imbalan-imbalan,

hukuman

dan

persahabatan.


Norma

pertukaran ini merujuk pada bagaimana orang di sekitar Lansia membantu
mereka, dan mereka juga memberikan dukungan kepada orang lain. Bagi wanita
Lansia, pertukaran ini seringkali dinegosiasikan dalam arti kesukarelawanan atau
bentuk-bentuk pekerjaan yang tidak dibayar.

31

Teori-teori kritis dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor struktural
dalam menjelaskan fenomena penuaan populasi ini:
1. Stratifikasi umur
Teori stratifikasi umur menganalisis lapisan- lapisan sosial berdasarkan kelas,
yang membagi individu-individu dan kelompok-kelompok dalam beberapa
golongan sosial, yang memiliki akses yang berbeda pada imbalan, sumbersumber
dan kekuasaan.
2. Ekonomi politik penuaan
Ekonomi politik penuaan bahwa perbedaan ancaman dan diskriminasi terhadap
kaum Lansia, mencerminkan distribusi kekuasaan, pendapat, dan pemilikan dalam
keseluruhan struktur sosial. Kebutuhan kaum Lansia menjadi prioritas yang

rendah dalam suatu sistem berdasarkan kapitalisme dan pencarian keuntungan.
Kemiskinan kaum tua sekarang, merupakan fungsi dari ketidakmampuan sistem
kapitalis untuk mengontrol institusi- institusi politik, ekonomi, dan sosial.
2.1.2. Konsep Successful Aging
Perkembangan teori-teori tersebut kemudian melahirkan bagan atau kerangka
konseptual untuk menguraikan hasil/akibat yang ideal dari proses penuaan. Salah satu
dari terminologi yang paling umum digunakan untuk menguraikan suatu masa tua
yang sukses adalah "succesful aging", yang pertama kali dikemukakan oleh R. J.
Havighurst pada tahun 1961 dalam Bearon (1996). Konsep dari sukses di usia lanjut

32

merupakan pusat dari ilmu usia lanjut (gerontologi), dan artikel oleh Havighurst
muncul sebagai konsep dalam isu pertama tentang publikasi Gerontologis.
Definisi konsep sukses ini sendiri menimbulkan kerancuan tidak ada definisi
yang dengan baik diterima atau model tentang successful aging yang telah teruji
selama ini. Havighurst dalam Bearon (1996), mendefinisikannya sebagai "adding life
to the years" dan "memperoleh kepuasan hidup". Palmore (1995) dalam ensiklopedi
tentang proses penuaan, mengemukakan bahwa suatu definisi yang komprehensif
tentang successful aging yang berkombinasi dengan survival (umur panjang),

kesehatan (ketiadaan cacat), dan kepuasan hidup (kebahagiaan).
Terdapat tiga teori gerontologi sosial yang dijadikan dasar dari munculnya
konsep successful aging ini, diantaranya:
1. Teori keterlepasan
Teori keterlepasan mengemukakan pada proses/rangkaian penuaan yang normal,
seseorang secara berangsur-angsur menarik atau melepaskan dari peranan sosial
sebagai tanggapan alami untuk mengurangi kemampuan dan mengurangi minat,
dan untuk kurangnya dorongan untuk partisipasi bermasyarakat. Di dalam model
ini, orang yang sukses di masa tuanya dengan sepenuh hati mengundurkan diri
dari pekerjaan atau kehidupan berkeluarga dan dengan puas berada di kursi
goyang, atau mengucilkan diri, aktivitas pasif yang bersiap-siap menghadapi
kematian (Bearon, 1996).

33

2. Teori aktivitas
Teori aktivitas mengemukakan bahwa orang berumur lebih sukses ketika mereka
mengambil bagian dalam suatu aktivitas satu harian penuh, artinya, tetap sibuk
(Lemon, dkk., dalam Bearon, 1996). Kini, teori-teori tersebut tidak lagi digunakan
oleh gerontologis yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang terlalu

membatasi dalam anjuran dari suatu gaya hidup tertentu. Riset empiris
menunjukkan heterogenitas para Lansia, mencakup orang-orang yang memilih
kehidupan sedikit terstruktur tersusun atau tidak memperhatikan kesehatan atau
berarti untuk mengejar suatu jadwal aktivitas penuh. Meskipun demikian,
aktivitas secara luas diakui oleh para Lansia sendiri sebagai kunci mereka menuju
sukses diusia tuanya, sehingga gerontologis sudah menggelari filosofi ini "etnis
yang sibuk" (Powell, 2001).
3. Teori kesinambungan
Teori kesinambungan mengusulkan bahwa orang berumur paling sukses sukses
adalah mereka yang memindahkan kebiasaan, pilihan, gaya hidup dan hubungan
dari paruh baya hingga akhir hidup (Bearon, 1996). Kriteria sukses dalam
pembinaan kelompok usia lanjut, cukup kompleks seperti indikator subyektif dan
obyektif. Indikator subyektif di antaranya meliputi kepuasan batin (makna hidup).
Sedang indikator obyektif berupa usia yang panjang, kesehatan mental dan
produktif sosial. Itu akan bisa tercapai jika seseorang bisa melakukan kontrol
personal.

34

Konsep succesful aging sebagai perspektif yang berorientasi pada proses
merupakan mekanisme dengan modal selektif, optimalisasi dan kompensasi. Hal ini,
yang dimaksud selektif adalah membatasi aktivitas sehari- hari secara proaktif sesuai
dengan motivasi dan kemampuan yang dimiliki. Model kedua adalah kompensasi,
model ini tidak hanya mengandung adaptasi terhadap aktivitas yang selama ini
dilakukan tetapi juga menciptakan aktivitas baru sesuai dengan kondisi Lansia. Agar
hasilnya bisa maksimal di samping dua hal tersebut, perlu diimbangi dengan
optimalisasi. Sebab dengan adanya optimalisasi secara tidak langsung memberikan
kesempatan pada Lansia untuk melakukan praktek dan latihan dengan menciptakan
kondisi lingkungan yang kondusif.
Di Indonesia umumnya memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka
cukup aman karena anak atau saudara-saudara yang lainnya masih merupakan
jaminan yang baik bagi orang tuanya. Anak berkewajiban menyantuni orang tua yang
sudah tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Nilai ini masih berlaku, memang anak
wajib memberikan kasih sayangnya kepada orang tua sebagaimana mereka dapatkan
ketika mereka masih kecil. Para usia lanjut mempunyai peranan yang menonjol
sebagai seorang yang “dituakan”, bijak dan berpengalaman, pembuat keputusan, dan
kaya pengetahuan. Mereka sering berperan sebagai model bagi generasi muda,
walaupun pada kenyataannya banyak diantara mereka tidak mempunyai pendidikan
formal. Pengalaman hidup lanjut usia merupakan pewaris nilai-nilai sosal budaya
sehingga dapat menjadi panutan bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat dan

35

berbudaya. Walaupun sangat sulit untuk mengukur berapa besar produktivitas budaya
yang dimiliki orang lanjut usia, tetapi produktivitas tersebut dapat dirasakan
manfaatnya oleh para generasi penerus mereka (Yasa, 1999 dalam Suhartini, 2004).
2.1.3. Masalah Kesehatan pada Lanjut Usia
Masalah kesehatan pada lansia tentu saja berbeda dengan jenjang umur yang
lain karena pada penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan
yang timbul akibat penyakit dan proses menua yaitu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti sel serta
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Siburian dalam Khadijah (2010), menyatakan bahwa ada sebanyak 14 yang
menjadi masalah kesehatan pada lansia, yaitu :
a. Immobility (kurang bergerak), dimana meliputi gangguan fisik, jiwa dan faktor
lingkungan sehingga dapat menyebabkan lansia kurang bergerak. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf dan
penyakit jantung.
b. Instability (tidak stabil/ mudah jatuh), dapat disebabkan oleh faktor intrinsik
(yang berkaitan dengan tubuh penderita), baik karena proses menua, penyakit
maupun ekstrinsik (yang berasal dari luar tubuh) seperti obat-obatan tertentu dan
faktor lingkungan. Akibatnya akan timbul rasa sakit, cedera, patah tulang yang

36

akan membatasi pergerakan. Keadaan ini akan menyebabkan gangguan
psikologik berupa hilangnya harga diri dan perasaan takut akan terjadi.
c. Incontinence (buang air) yaitu keluarnya air seni tanpa disadari dan frekuensinya
sering. Meskipun keadaan ini normal pada lansia tetapi sebenarnya tidak
dikehendaki oleh lansia dan keluarganya. Hal ini akan membuat lansia
mengurangi minum untuk mengurangi keluhan tersebut, sehingga dapat
menyebabkan kekurangan cairan.
d. Intellectual Impairment (gangguan intelektual/ dementia), merupakan kumpulan
gejala klinik yang meliputi gangguan fungsi intelektual dan ingatan yang cukup
berat sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas kehidupan sehari-hari.
e. Infection (infeksi), merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting pada
lansia, karena sering didapati juga dengan gejala tidak khas bahkan asimtomatik
yang menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.
f. Impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalencence,
skin integrity (gangguan panca indera, komunikasi, penyembuhan dan kulit),
merupakan akibat dari proses menua dimana semua panca indera berkurang
fungsinya, demikian juga pada otak, saraf dan otot-otot yang dipergunakan untuk
berbicara, sedangkan kulit menjadi lebih kering, rapuh dan mudah rusak dengan
trauma yang minimal.
g. Impaction (konstipasi = sulit buang air besar), sebagai akibat dari kurangnya
gerakan, makanan yang kurang mengandung serat, kurang minum, dan lainnya.

37

h. Isolation (depresi), akibat perubahan sosial, bertambahnya penyakit dan
berkurangnya kemandirian sosial. Pada lansia, depresi yang muncul adalah
depresi yang terselubung, dimana yang menonjol hanya gangguan fisik saja
seperti sakit kepala, jantung berdebardebar, nyeri pinggang, gangguan pecernaan,
dan lain-lain.
i. Inanition (kurang gizi), dapat disebabkan karena perubahan lingkungan maupun
kondisi kesehatan. Faktor lingkungan dapat berupa ketidaktahuan untuk memilih
makanan yang bergizi, isolasi sosial (terasing dari masyarakat), terutama karena
kemiskinan, gangguan panca indera; sedangkan faktor kesehatan berupa penyakit
fisik, mental, gangguan tidur, obat-obatan, dan lainnya.
j. Impecunity (tidak punya uang), semakin bertambahnya usia, maka kemampuan
tubuh untuk menyelesaikan suatu pekerjaan akan semaki berkurang, sehingga jika
tidak dapat bekerja maka tidak akan mempunyai penghasilan.
k. Iatrogenesis (penyakit akibat obat-obatan), sering dijumpai pada lansia yang
mempunyai riwayat penyakit dan membutuhkan pengobatan dalam waktu yang
lama, jika tanpa pengawasan dokter maka akan menyebabkan timbulnya penyakit
akibat obat-obatan.
l. Insomnia (gangguan tidur), sering dilaporkan oleh lansia, dimana mereka
mengalami sulit untukmasuk dalam proses tidur, tidur tidak nyenyak dan mudah
terbangun, tidur dengan banyak mimpi, jika terbangun susah tidur kembali,
terbangun didini hari-lesu setelah bangun di pagi hari.

38

m. Immune deficiency (daya tahan tubuh menurun), merupakan salah satu akibat dari
prose menua, meskipun terkadang dapat pula sebagai akibat dari penyakit
menahun, kurang gizi dan lainnya.
n. Impotence (impotensi), merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan atau
mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan senggama yang
memuaskan yang terjadi paling sedikit 3 (tiga) bulan. Hal ini disebabkan karena
terjadi hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin sebagai adanya kekakuan
pada dinding pembuluh darah, baik karena proses menua atau penyakit.
Data penyakit lansia di Indonesia (umumnya pada lansia berusia lebih dari 55
tahun) adalah sebagai berikut:
a. Penyakit kardiovascular
b. Penyakit otot dan persendian
c. Bronchitis, asma dan penyakit respirasi lainnya
d. Penyakit pada mulut, gigi dan saluran cerna
e. Penyakit syaraf
f. Infeksi kulit
g. Malaria
h. Lain-lain

2.2. Posyandu Lansia
Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Henniwati (2008),
posyandu lansia adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan terhadap

39

lansia ditingkat desa/ kelurahan dalam masing-masing wilayah kerja puskesmas.
Keterpaduan dalam posyandu lansia berupa keterpaduan pada pelayanan yang dilatar
belakangi oleh kriteria lansia yang memiliki berbagai macam penyakit. Dasar
pembentukan posyandu lansia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
terutama lansia.
Posyandu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui
pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program
puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat
dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya (Erfandi, 2008).
2.2.1. Tujuan Posyandu Lansia
Menurut Erfandi (2008), tujuan posyandu lansia secara garis besar adalah
a. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia dimasyarakat, sehingga
terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia.
b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta
dalam pelayanan kesehatan, disamping meningkatkan komunikasi antara
masyarakat usia lanjut.
2.2.2. Manfaat Posyandu Lansia
Manfaat dari posyandu lansia adalah pengetahuan lansia menjadi meningkat,
yang menjadi dasar pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi
mereka untuk selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia sehingga lebih percaya diri
dihari tuanya.

40

2.2.3. Sasaran Posyandu Lansia
Sasaran posyandu lansia adalah :
a. Sasaran langsung, yaitu kelompok pra usia lanjut (45-59 tahun), kelompok usia
lanjut (60 tahun ke atas), dan kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi (70 tahun
ke atas).
b. Sasaran tidak langsung, yaitu keluarga dimana lansia berada, organisasi sosial
yang bergerak dalam pembinaan usia lanjut, masyarakat luas (Departemen
Kesehatan RI, 2006 dalam Henniwati, 2008).
2.2.4. Kegiatan Posyandu Lansia
Bentuk pelayanan pada posyandu lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik
dan mental emosional, yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS)
untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita atau ancaman masalah kesehatan
yang dialami. Beberapa kegiatan pada posyandu lansia adalah :
a. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam
kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat
tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.
b. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental
emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit
c. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).

41

d. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta
penghitungan denyut nadi selama satu menit.
e. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat
f. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit
gula (diabetes mellitus)
g. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal
adanya penyakit ginjal.
h. Pelaksanaan rujukan ke puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan butir-butir diatas.
i. Penyuluhan Kesehatan, biasa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam
rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah
kesehatan yang dihadapi oleh individu dan kelompok usia lanjut.
j. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia lanjut yang
tidak datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.
Selain itu banyak juga posyandu lansia yang mengadakan kegiatan tambahan
seperti senam lansia, pengajian, membuat kerajian ataupun kegiatan silaturahmi antar
lansia. Kegiatan seperti ini tergantung dari kreasi kader posyandu yang bertujuan
untuk membuat lansia beraktivitas kembali dan berdisiplin diri.
2.2.5. Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia
Mekanisme pelayanan Posyandu Lansia tentu saja berbeda dengan posyandu
balita pada umumnya. Mekanisme pelayanan ini tergantung pada mekanisme dan

42

kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah penyelenggara. Ada yang
menyelenggarakan posyandu lansia ini dengan sistem 5 (lima) meja seperti posyandu
balita, 5 (lima) meja tersebut meliputi :
1. Meja 1 : Pendaftaran
Mendaftarkan lansia, kader mencatat lansia tersebut, kemudian peserta yang sudah
terdaftar dibuku register langsung menuju meja selanjutnya.
2. Meja 2 : Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
Kader melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah lansia.
3. Meja 3 : Pencatatan (Pengisian Kartu Menuju Sehat)
Kader melakukan pencatatan di KMS lansia meliputi: Indeks Masa Tubuh,
tekanan darah, berat badan dan tinggi badan lansia.
4. Meja 4 : Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan perorangan berdasarkan KMS dari pemberian makanan
tambahan.
5. Meja 5 : Pelayanan medis
Pelayanan oleh tenaga professional yaitu petugas puskesmas/kesehatan meliputi
kegiatan: pemeriksaan dan pengobatan ringan.
2.2.6. Penilaian Keberhasilan Upaya Pembinaan Melalui Posyandu Lansia
Menurut Henniwati (2008), penilaian keberhasilan pembinaan lansia melalui
kegiatan pelayanan kesehatan di posyandu, dilakukan dengan menggunakan data

43

pencatatan, pelaporan, pengamatan khusus dan penelitian. Keberhasilan tersebut
dapat dilihat dari :
a. Meningkatnya sosialisasi masyarakat lansia dengan berkembangnya jumlah orang
masyarakat lansia dengan berbagai aktivitas pengembangannya
b. Berkembangnya jumlah lembaga pemerintah atau swasta yang memberikan
pelayanan kesehatan bagi lansia
c. Berkembangnya jenis pelayanan konseling pada lembaga
d. Berkembangnya jangkauan pelayanan kesehatan bagi lansia
e. Penurunan daya kesakitan dan kematian akibat penyakit pada lansia

2.3. Kendala Pemanfaatan Posyandu Lansia
2.3.1. Pengetahuan Lansia
Pengetahuan lansia akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari
pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan
posyandu, lansia akan mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana cara hidup sehat
dengan segala keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada mereka.
Dengan pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang menjadi dasar
pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi mereka untuk selalu
mengikuti kegiatan posyandu lansia.
Hasil

penelitian Mismar

(2010),

menunjukkan

bahwa

faktor yang

berhubungan secara bermakna dengan tingkat kunjungan lansia ke posyandu adalah
pengetahuan lansia (p = 0,000), sikap (p = 0,023), dukungan petugas (p = 0,029),

44

dukungan keluarga (p = 0,000), jarak (p = 0,007), dan sarana (p = 0,000). Demikian
juga dengan Khotimah (2011), memperoleh hasil bahwa variabel yang berhubungan
secara signifikan dengan pemanfaatan posyandu lansia yaitu pengetahuan (p=0,000),
sikap (p=0,001), dukungan sosial (p=0,010) dan peran kader (p=0,009). Sedangkan
variabel yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan posyandu lansia yaitu umur,
jenis kelamin, status tinggal, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan.
2.3.2. Sikap Lansia
Penilaian pribadi atau sikap yang baik terhadap petugas merupakan dasar atas
kesiapan atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan sikap
yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau mengikuti kegiatan yang
diadakan di posyandu lansia. Hal ini dapat dipahami karena sikap seseorang adalah
suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek. Kesiapan merupakan
kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara-cara tertentu apabila individu
dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya suatu respons.


Dukungan Sosial

Sarafino (1998), mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan,
perhatian, penghargaan atau bantuan yang diperoleh individu dari orang lain, dimana
orang lain disini dapat diartikan sebagai individu perorangan atau kelompok. Hal
tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di lingkungan menjadi
dukungan sosial atau tidak, tergantung pada sejauh mana individu merasakan hal
tersebut sebagai dukungan sosial.

45

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam
mempengaruhi kejadian dari efek kecemasan. Beberapa contoh efek negatif yang
timbul dari dukungan sosial, antara lain (Sarafino, 1998):
1.

Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini
dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak
perlu

dibantu

atau terlalu

khawatir

secara

emosional

sehingga

tidak

memperhatikan dukungan yang diberikan.
2.

Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

3.

Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu seperti melakukan
atau menyarankan perilaku tidak sehat.

4.

Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang
diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang
seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi
tergantung pada orang lain.
Sarason (1991), mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan,

kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan
menyayangi kita. Sarason berpendapat bahwa dukungan sosial itu selalu mencakup
dua hal yaitu :
a. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia, merupakan persepsi individu
terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan
bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas).

46

b. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima, berkaitan dengan
persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan berdasarkan
kualitas).
Dukungan sosial didefinisikan oleh Taylor (2009), sebagai transaksi
interpersonal yang melibatkan satu atau lebih aspek-aspek yang terdiri dari perhatian
emosional, bantuan instrumental, pemberian informasi, dan adanya penilaian atau
penghargaan.
2.3.3.1. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial
Sarafino (1998) dan Taylor (2009), membagi dukungan sosial dalam lima
bentuk, yaitu :
a. Emosional
Aspek ini melibatkan kekuatan jasmani dan keinginan untuk percaya pada orang
lain sehingga individu yang bersangkutan menjadi yakin bahwa orang lain
tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Dukungan ini
mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap individu,
sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Beberapa
hal yang termasuk interaksi yang mendukung adalah mendengarkan dengan
penuh perhatian, merefleksikan pernyataan subjek, menawarkan simpati dan
menyakinkan kembali, membagi pengalaman pribadi dan menghindari konflik.
b. Instrumental
Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang
lain sebagai contohnya adalah peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung

47

lain dan termasuk didalamnya memberikan peluang waktu untuk memberikan
bantuan langsung. Dukungan ini dikenal juga dengan istilah dukungan
pertolongan, dukungan nyata atau dukungan material.
c. Informatif
Aspek ini berupa pemberian informasi untuk mengatasi masalah. Aspek
informatif ini terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan, dan keterangan lain
yang dibutuhkan oleh individu yang bersangkutan, sehingga individu dapat
mengatasi masalahnya dan mencoba mencari jalan keluar untuk memecahkan
masalahnya.
d.

Penilaian / Penghargaan
Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik,
perbandingan sosial, dan afirmasi (persetujuan). Pemberian dukungan ini
membantu individu untuk melihat segi-segi positif yang ada dalam dirinya
dibandingkan dengan keadaan orang lain yang berfungsi untuk menambah
penghargaan diri, membentuk kepercayaan diri dan kemampuan serta merasa
dihargai dan berguna saat individu mengalami tekanan. Dukungan sosial dalam
bentuk penilaian yang positif dapat membantu individu dalam mengembangkan
kepribadian dan meningkatkan identitas diri.

e.

Kelompok Sosial
Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa anggota dari suatu
kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya.
Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.

48

Dalam kaitannya dengan peran sebagai pemberi dukungan, Ife dalam Adi
(2008), melihat bahwa salah satu peran dari pemberdaya masyarakat adalah untuk
menyediakan dan mengembangkan dukungan terhadap warga yang mau terlibat
dalam struktur dan aktivitas komunitas tersebut. Dukungan itu sendiri tidak selalu
bersifat ekstrinsik ataupun materil, tetapi dapat juga bersifat instrinsik seperti pujian,
penghargaan dalam bentuk kata-kata, ataupun sikap dan perilaku yang menunjukkan
dukungan dari pelaku perubahan terhadap apa yang dilakukan oleh masyarakat.
Seperti menyediakan waktu bagi wanita usia subur bila mereka ingin berbicara
dengannya guna membahas permasalahan yang mereka hadapi.
2.3.3.2. Sumber-Sumber Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat dipenuhi dari teman atau persahabatan, keluarga,
dokter (petugas kesehatan), psikolog, psikiater (Sarafino,1998). Hal senada juga
diungkapkan oleh Taylor (2009), bahwa dukungan sosial bersumber dari orang-orang
yang memiliki hubungan berarti bagi individu seperti keluarga, teman dekat,
pasangan hidup, rekan kerja, tetangga, dan saudara.
2.3.4. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan
lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia. Keluarga bisa menjadi motivator
kuat bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar
lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu dan berusaha
membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia. Aspek- aspek dalam
dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi.

49

2.3.5. Dukungan Kader
Fungsi pelayanan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan tidak dapat lagi
seluruhnya ditangani oleh para dokter saja. Apalagi kegiatan itu mencakup kelompok
masyarakat luas. Para dokter memerlukan bantuan tenaga para medis, sanitasi gizi,
ahli ilmu sosial dan juga anggota masyarakat (tokoh masyarakat, kader) untuk
melaksanakan program kesehatan, tugas tim kesehatan ini dapat dibedakan menurut
tahap/jenis program kesehatan yang dijalankan, yaitu promosi kesehatan, pencegahan
penyakit, pengobatan dan rehabilitasi (Depkes RI, 2005).
Peran anggota masyarakat (kader) adalah sebagai motivator atau penyuluh
kesehatan yang membantu para petugas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang perlunya hidup sehat dan memotivasi mereka untuk melakukan tindakan
pencegahan penyakit dengan menggunakan sarana kesehatan yang ada. Disamping
kader kesehatan, masyrakat memiliki pula kelompok yang berpotensi untuk
membantu menyehatkan penduduk yaitu para pengobatan tradisional (Sarwono,
2004).
Pujiyono (2009), dengan hasil penelitiannya menunjukan bahwa mayoritas
responden berumur 60-69 tahun, berjenis kelamin perempuan sedangkan pendapatan,
pengetahuan, sikap, praktik, peranan petugas kesehatan dan peranan keluarga
termasuk kategori kurang. Variabel yang berhubungan secara signifikan dengan
pemanfaatan posyandu lansia yaitu umur, pendapatan, pengetahuan, sikap, peran
petugas kesehatan dan peran keluarga. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan

50

dengan pemanfaatan posyandu lansia yaitu jenis kelamin. Faktor yang paling
dominan berhubungan dengan praktik pemanfaatan posyandu lansia adalah peranan
petugas kesehatan.
2.3.6. Jarak Posyandu Lansia
Jarak posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah menjangkau
posyandu tanpa harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena penurunan
daya tahan atau kekuatan fisik tubuh. Kemudahan dalam menjangkau lokasi
posyandu ini berhubungan dengan faktor keamanan atau keselamatan bagi lansia. Jika
lansia merasa aman atau merasa mudah untuk menjangkau lokasi posyandu tanpa
harus menimbulkan kelelahan atau masalah yang lebih serius, maka hal ini dapat
mendorong minat atau motivasi lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan
demikian, keamanan ini merupakan faktor eksternal dari terbentuknya motivasi untuk
menghadiri posyandu lansia.
Menurut Depkes RI., (2005), bahwa kelompok usia lanjut sendiri kurang
dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, antara lain disebabkan oleh jarak
puskesmas atau posyandu yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Sihombing
(2000), mengatakan bahwa kondisi geografi dan transportasi yang sulit, perlu kiranya
dipertimbangkan tempat fasilitas pelayanan kesehatan yang sesuai atau strategis.
Untari (2007), juga mengatakan bahwa waktu perjalanan merupakan faktor terpenting
dari akses geografi sehingga berkaitan dengan jarak tempat tinggal ke pelayanan

51

kesehatan. Jarak, alat transportasi dan waktu tempuh memiliki dampak yang
signifikan dengan pemanfaatan kesehatan.

2.4. Landasan Teori
Green dalam Notoatmodjo (2007), juga menyatakan bahwa faktor yang
mempunyai potensi dalam memengaruhi perilaku kesehatan adalah faktor
predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor
penguat (reinforcing factor), yang termasuk kedalam faktor predisposisi diantaranya :
pengetahuan, sikap, dan faktor sosio demografis (umur, pendidikan, dan jenis
pekerjaan). Sementara yang termasuk kedalam faktor penguat adalah faktor sikap dan
dukungan keluarga, tokoh masyarakat serta dukungan para petugas kesehatan.

52

2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang masalah, maka kerangka konsep penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
Pengetahuan Lansia

Sikap Lansia

Dukungan Keluarga
Pemanfaatan
Pelayanan Posyandu
Dukungan Kader

Dukungan Kepala Desa

Jarak ke Posyandu
Lansia
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga dan Kader terhadap Pemanfaatan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

40 222 116

Pengaruh Motivasi dan Pengetahuan Terhadap Keaktifan Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016

11 64 127

Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga Dan Kader Terhadap Pemanfaatan Posyandu Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

0 0 16

Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga Dan Kader Terhadap Pemanfaatan Posyandu Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

0 0 2

Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga Dan Kader Terhadap Pemanfaatan Posyandu Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

0 0 8

Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga Dan Kader Terhadap Pemanfaatan Posyandu Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

0 1 3

Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga Dan Kader Terhadap Pemanfaatan Posyandu Lanjut Usia Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

0 0 15

Pengaruh Motivasi dan Pengetahuan Terhadap Keaktifan Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016

0 0 16

Pengaruh Motivasi dan Pengetahuan Terhadap Keaktifan Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016

0 0 2

Pengaruh Motivasi dan Pengetahuan Terhadap Keaktifan Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016

0 0 9