Karakteristik Penderita Sirosis Hati yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabet Medan Tahun 2012-2014

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sirosis hati
Sirosis hati adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan terbentuknya
jaringan parut pada hati sebagai akibat dari kerusakan hati yang terus menerus dan
berkepanjangan. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel
hati yang luas dan usaha regenerasi nodul. Apabila Sirosis hati sudah parah,
sebagian besar struktur hati yang normal mengalami perubahan bentuk atau
menjadi

hancur.

Hal

ini

dapat

menimbulkan

masalah


penting

misalnya

pendarahan usus, pembekuan darah yang tidak normal, penumpukan cairan dalam
perut dan kaki dan kekacauan pikiran karena hati tidak dapat lagi menyaring zat
racun dalam tubuh (Sievert, 2010).
2.2 Anatomi dan Fungsi Hati
Menurut Longo & Fauci (2013), hati (liver) adalah organ vital yang
bertanggung jawab untuk banyak proses yang penting dalam hidup kita. Hati
(liver) merupakan salah satu organ tambahan pada sistem pencernaan dalam tubuh
manusia.

Hati melakukan banyak

fungsi penting yang berbeda-beda dan

bergantung pada sistem aliran darahnya yang unik dan sel-selnya yang sangat
khusus. Ketika hati mengalami masalah atau kerusakan, maka semua sistem tubuh

akan terpengaruh.
Berikut ini adalah anatomi dan fungsi hati :

7

8

2.2.1 Anatomi Hati
Hati adalah organ terbesar di tubuh, memiliki berat 1-1,5 Kg. Hati terletak
di kuadran kanan atas abdomen di bawah sangkar iga bawah kanan, bersebelahan
dengan diafragma, dan menonjol dengan tingkat bervariasi ke kuadran kiri atas.
Hati secara luas dilindungi iga-iga.
Sebagian besar sel di hati adalah hepatosit, yang membentuk dua pertiga
dari massa hati. Tipe sel sisanya adalah sel Kupffer atau sel fagositik (anggota dari
sistem retikoloendotel), sel bentuk bintang (ito atau penyimpanan lemak) sel
endotel dan pembuluh darah, sel duktus empedu dan struktur-struktur penunjang.
Dilihat dengan mikroskop cahaya, hati tampak tersusun dalam lobulus-lobulus,
dengan daerah porta perifer dan vena sentral di bagian tengah masing-masing
lobulus (Longo & Fauci, 2013).
Menurut Pearce (2008), hati terbagi dalam dua belahan utama, kanan dan

kiri. Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak dibawah diafragma;
permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan, fisura transversus.
Permukaannya dilintasi oleh berbagai pembuluh darah yang masuk-keluar hati.
Fisura longitudinal memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah,
sedangkan ligamen falsiformis melakukan hal yang sama di permukaan atas hati.
Selanjutnya hati dibagi lagi dalam empat belahan (kanan, kiri ,kaudata dan
kuadrata). Setiap belahan atau lobus terdiri atsa lobulus. Lobulus ini berbentuk
polihedral (segi banyak) dan terdiri atas sel hati berbentuk kubus, dan cabangcabang pembuluh darah diikat bersama oleh jaringan hati. Hati mempunyai dua
jenis persediaan darah, yaitu yang datang melalui arteri hepatika dan yang melalui
vena porta.

9

Pembuluh darah pada hati ialah : arteri hepatika, yang keluar dari aorta dan
memberikan seperlima darahnya kepada hati; darah ini mempunyai kejenuhan
oksigen 95-100%. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena
mesenterika superior, mengantarkan empat perlima darahnya ke hati; darah ini
mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70% sebab beberapa O 2 telah diambil oleh
limpa dan usus. Darah vena porta ini membawa kepada hati zat makanan yang
telah diabsorbsi oleh mukosa usus halus. Vena hepatika mengembalikan darah

dari hati ke vena kava inferior. Di

dalam vena hepatika tidak terdapat

katup.Saluran empedu terbentuk dari penyatuan kapiler-kapiler empedu yang
mengumpulkan empedu dari sel hati, maka terdapat empat pembuluh utama yang
menjelajahi seluruh hati dua yang masuk yaitu arteri hepatika dan vena porta, dan
dua yang keluar yaitu vena hepatika dan saluran empedu (Pearce, 2008).
2.2.2 Fungsi hati
Fungsi hati bersangkutan dengan metabolisme tubuh, khususnya mengenai
pengaruhnya atas makanan dan darah. Hati merupakan pabrik kimia terbesar
dalam tubuh dalam hal bahwa hati menjadi pengantara metabolisme, yang artinya
hati mengubah zat makanan yang diabsorpsi dari usus dan yang disimpan di suatu
tempat di dalam tubuh, dan nantinya zat-zat tersebut akan dipakai oleh jaringanjaringan tubuh (Pearce, 2008).
Menurut Setiadi (2007), ada pun fungsi hati yang bersangkutan dalam hal
metabolisme yaitu hati berperan serta dalam mempertahankan homeostatik gula
darah. Hati berperan mengubah glikogen menjadi glukosa jika diperlukan oleh
tubuh. Hati memiliki peran dalam penguraian protein dari sel-sel tubuh dan sel
darah merah yang rusak dan hasil penguraian protein menghasilkan urea dari asam


10

amino berlebih dan sisa nitrogen. Hati menerima asam amino dan mengubahnya
menjadi ureum yang akan dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urin.
Sebagai tempat penyimpanan dan penyebaran berbagai zat, seperti glikogen,
lemak, vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, dan K) dan zat besi dalam
bentuk feritin, yaitu suatu protein yang mengandung zat besi dan dapat dilepaskan
bila zat besi diperlukan oleh tubuh. Dalam hal detoksifikasi, hati melakukan
inaktivasi hormon dan detoksifikasi toksin dan obat-obatan, serta memfagositosis
zat asing yang tersintegrasi dalam darah. Hati juga mengubah zat buangan dan
bahan racun untuk dibuat mudah untuk ekskresi ke dalam empedu dan urin. Hati
juga berperan dalam membentuk dan menghancurkan sel-sel darah merah selama
6 bulan masa kehidupan janin yang kemudian diambil alih oleh sumsum tulang
belakang.

2.3 Klasifikasi Sirosis hati
2.3.1

Berdasarkan Morfologi Sirosis hati
Menurut Nurdjanah (2009), berdasarkan morfologinya Sirosis hati dapat


dibagi menjadi :
1. Sirosis Makronodular, ditandai dengan menebalnya septa dan ketebalan
bervariasi dengan ketebalan nodulnya > 3mm, irreguler dan multilobuler.
2.

Sirosis Mikronodular, ditandai dengan terbentuknya septa tebal, teratur,
mengandung nodul halus, kecil dan merata di seluruh lobus serta besar
nodulnya < 3 mm, reguler dan monolobuler.

3.

Sirosis Campuran, kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

11

2.3.2

Berdasarkan Etiologis Sirosis hati
Menurut Setiadi (2007), Berdasarkan etiologisnya Sirosis hati dapat sibagi

menjadi :

1.

Sirosis hati karena infeksi Virus Hepatitis. Hepatitis B ,C, dan D dapat
berkembang menjadi Sirosis hati. Bertahannya virus adalah penyebab utama
berkembangnya Sirosis hati. Untuk berkembang dari Hepatitis menjadi
Sirosis hati, mungkin hanya membutuhkan beberapa bulan hingga 20-30
tahun.

2.

Sirosis

Alkoholik,

pasien

terkena


Sirosis

hati

diakibatkan

karena

mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dalam jangka waktu
yang lama.
3.

Sirosis hati akibat perlemakan hati non alkoholik, dengan epidemi obesitas
yang

berlanjut

di negara-negara barat,

semakin banyak


pasien yang

teridentifikasi mengidap penyakit perlemakan hati non alkoholik.
pasien-pasien tersebut,sebagian mengidap steatohepatitis

Dari

non-alkoholik yang

dapat berkembang kearah fibrosis dan Sirosis hati.
4.

Sirosis hati akibat Hepatitis autoimun, pada keadaan ini ditandai dengan
adanya antibodi antinukleus (antinuclear antibody)

atau antibodi anti-otot

polos (anti-smooth-muscle antibody) pada tubuh pasien. Karena adanya
antibodi-antibodi itu dalam tubuh pasien akan mengakibatkan terjadinya

radang hati dan akhirnya dapat berkembang menjadi Sirosis hati.
5.

Sirosis hati karena toksik dan obat. Mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka
panjang atau kontak berulang dengan racun kimia seperti fosfor, arsenikum,

12

karbon tetraklorida dan lainnya, dapat menimbulkan peradangan hati karena
racun sehingga akhirnya berkembang menjadi Sirosis hati.
6.

Sirosis Kriptogenik. Sirosis Kriptogenik bukanlah jenis Sirosis hati yang
spesifik melainkan karena riwayat penyakit yang tidak jelas, gejala penyakit
yang tidak spesifik sehingga sulit untuk didiagnosa. Sirosis hati yang tidak
bisa

diketahui penyebabnya

Kemungkinan


penyebab

mencapai 5-10% dari kasus yang ada.

lainnya

adalah

malnutrisi,

Schistosomiasis,

granoluma hepatik, infeksi dan lainnya. Penderita Sirosis hati kemungkinan
akan menderita Kanker hati. Penderita seharusnya melakukan pemeriksaan
sejak awal. Melakukan deteksi dini dan pengobatan dini, sehingga tidak
berkembang menjadi Sirosis hati atau Kanker Hati.
2.3.3 Berdasarkan Gejala klinis Sirosis hati
Menurut Setiadi (2007), Berdasarkan gejala klinis Sirosis hati dapat dibagi
menjadi :
1.

Sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata.
Sirosis hati ini sering ditemukan terjadi pada pemeriksaan test rutin atau
ketika terjadi pemeriksaan karena masalah lain atau ketika pembedahan.

2.

Sirosis hati dekompensata yang ditandai dengan gejala-gejala dan tanda klinis
terutama pasien mengeluh karena adanya asites.

2.4 Gejala Klinis dan Diagnosis Sirosis hati
2.4.1

Gejala klinis
Stadium awal Sirosis hati sering tanpa gejala, sehingga terkadang penyakit

Sirosis hati ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin
atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal Sirosis hati (kompensata) meliputi

13

perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perut kembung, mual,
berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil buah
dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (Sirosis
dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta,

diantaranya hilangnya rambut badan,

gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi. Ada juga gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan melena, serta
perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi
sampai koma (Nurdjanah, 2009).

2.4.2

Diagnosis Sirosis hati
Menurut Nurdjanah (2009), pada stadium kompensasi sempurna kadang-

kadang sangat sulit menegakkan diagnosis Sirosis hati. Pada proses lanjutan dari
kompensasi sempurna

mungkin

bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan

pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis Sirosis hati terdiri atas
pemeriksaan fisis, laboratorium dan Ultrasonografi (USG). Pada kasus tertentu
diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan
Hepatitis kronik aktif yang berat dengan Sirosis hati dini. Pada stadium
dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan tanda-tanda
klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.

14

2.5

Komplikasi Sirosis hati
Morbiditas

dan

mortalitas

Sirosis

hati tinggi akibat komplikasinya.

Kualitas hidup pasien Sirosis hati diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya. Menurut

Longo &Fauci (2013), komplikasi yang sering dijumpai

antara lain:
1) Peritonitis bakterial spontan
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang umum dan berat
pada asites (penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum) dan
ditandai oleh infeksi spontan cairan asites tanpa sumber intra-abdomen. Biasanya
pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri.
2) Sindrom hepatorenal
Sindrom hepatorenala dalah satu bentuk gagal ginjal fungsional tanpa
patolologi ginjal yang terjadi sekitar 10% pasien Sirosis hati tahap lanjut atau
gagal hati akut. Pada kondisi ini akan terjadi peningkatan ureum, kreatinin tanpa
adanya kelainan organik ginjal.
3) Ensefalopati hepatik
Ensefalopati hepatik yaitu perubahan status mental dan fungsi kognitif
yang terjadi pada pasien akibat Sirosis hati. Mula-mula ada gangguan tidur
(insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang
berlanjut sampai koma.
4) Varises esofagus
Sekitar sepertiga pasien dengan Sirosis hati telah dipastikan mengidap
varises Esofagus. Sekitar 5-15%

pasien Sirosis hati akan mengalami varises per

tahun, dandiperkirakan bahwa sebagian besar pasien dengan Sirosis hati akan

15

mengalami varises selama hidup mereka. Sekitar 20%-40% pasien Sirosis hati
dengan varises esofagus akan mengalami pendarahan. Angka kematiannya sangat
tinggi, sebanyak dua per tiga nya akan meninggal dalam waktu satu tahun
walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa
cara.
5) Malnutrisi pada Sirosis hati
Karena hati terutama berperan dalam mengatur metabolisme protein dan
energi di tubuh maka tidaklah mengejutkan bahwa pasien dengan penyakit hati
stadium lanjut sering mengalami malnutrisi. Jika pasien telah mengalami Sirosis
hati maka metabolisme mereka menjadi lebih katabolik dan protein otot
mengalami metabolisasi. Terdapat banyak faktor yang berperan menyebabkan
malnutrisi pada Sirosis hati, termasuk asupan diet yang kurang, perubahan dalam
penyerapan nutrien si usus, dan perubahan dalam metabolisme protein.
6) Kanker hati
Menurut Tambunan (1994), ada 3 penyebab Kanker hati yaitu Sirosis hati,
infeksi

Virus

Hepatitis

B

dan

makanan

yang

mengandung

bahan

hepatokarsinogenik. Sirosis hati merupakan penyebab utama Kanker hati, sekitar
70% penderita karsinoma sudah didahului dengan Sirosis hati. Makanan yang
mengandung hepatokarsinogenik aflatoksin terdapat pada aspergillus flavus. Di
Afrika dan Asia Tenggaradijumpai jamur yang tumbuh pada kacang-kacangan dan
mengandung

aflatoksin.

mengandung aflatoksin.

Di

Indonesia

terkenal oncom yang

juga

diduga

16

7) Asites
Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Asites
adalah manifestasi kardinal Sirosis hati dan bentuk berat lain dari penyakit hati.
Beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis Asites pada Sirosis hati adalah
Hopertensi porta, Hipoalbuminemia, meningkatnya pembentukan dan aliran limfe
hati, retensi natrium, dan gangguan ekskresi air. Mekanisme primer penginduksi
Hipertensi porta adalah resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam jaringan pembuluh darah
intestinal. Hipoalbiminemia terjadi karena menurunnya sintesis yang dihasilkan
oleh sel-sel hati yang terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya
tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang meningkat
dengan tekanan osmotik yang menurun dalam jaringan pembuluh darah intestinal
menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang intravaskular ke ruang
interstial sesuai dengan hukum gaya Starling (ruang peritoneum dalam kasus
Asites). Hipertensi porta kemudian meningkatkan pembentukan limfe hepatik,
yang menyeka dari hati ke dalam rongga peritoneum. Mekanisme ini dapat
menyebabkan

tingginya

kandungan

protein

dalam cairan

Asites,

sehingga

meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan peritoneum dan memicu
terjadinya transudasi cairan dari rongga intravaskular ke ruang peritoneum.
Kemudian, retensi natrium dan gangguan ekskresi air merupakan faktor penting
dalam berlanjutnya Asites retensi air dan natrium disebabkan oleh Hipertensi
aldosteronisme sekunder (penurunan volume efektif dalam sirkulasi mengaktifkan
mekanisme

renin-angiotensi-aldosteron).

Penurunan

inaktivasi

aldosteron

sirkulasi oleh hati juga dapat terjadi akibat kegagalan hepatoselular. Suatu tanda

17

Asites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan cairan tersebut dapat
menyebabkan napas pendek karena diafragma meningkat. Dengan semakin
banyaknya penimbunan cairan peritoneum, dapat dijumpai cairan lebih dari 500
mL pada saat pemeriksaan fisik. Beberapa penderita Asites juga mengalami efusi
pleura, terutama dalam hemitoraks kanan. Cairan ini memasuki toraks melalui air
mata dalam pars tendinosa diafragma karena tekanan abdomen yang meningkat
(Longo & Fauci, 2013).
2.6 Epidemiologi Sirosis hati
2.6.1

Frekuensi dan Distribusi Sirosis hati

1). Berdasarkan Orang
Penderita Sirosis hati lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada
perempuan.

Umur rata-rata penderita Sirosis hati adalah 30-60 tahun, dengan

puncaknya terdapat pada umur 40-49 tahun. Di Amerika, Sirosis hati merupakan
penyebab kematian ke-4 pada laki-laki di tahun 2013 dengan prevalensi 44,8%
dan pada perempuan merupakan penyebab kematian ke-7 dengan prevalensi
17,0% (National Center for Health Statistics, 2014).
Di RSU Adam Malik Medan pada tahun 2012, diketahui dari 102
penderita Sirosis hati ditemukan diantaranya 69 orang penderita laki-laki dengan
proporsi 67,6% dan 33 orang penderita perempuan dengan proporsi 32,4%.
Penderita terbanyak pada kelompok umur 42-48 tahun yaitu sebanyak 23 orang
dengan proporsi 22,5% (Sibuea, 2014).

18

2). Berdasarkan Tempat
Sirosis hati dapat dijumpai di seluruh negara termasuk Indonesia. Data
epidemiologis Sirosis hati pada tiap-tiap negara berbeda-beda. Prevalensi Sirosis
hati di Amerika Serikat 2-4%, di China, Srilanka dan India berkisar 4-7%, di
Afrika Timur 6,7% dan Chili 8,5% (Hadi, 2002).
Di Indonesia sendiri prevalensi Sirosis hati belum ada, hanya ada laporan
dari beberapa pusat pendidikan saja. Secara umum diperkirakan angka proporsi
Sirosis hati di rumah sakit seluruh Indonesia berkisar antara 0,6-14,5%
(Nurdjanah, 2009).
3). Berdasarkan Waktu
Prevalensi penyakit ini sangat meningkat sejak Perang Dunia II, sehingga
Sirosis hati menjadi penyebab kematian yang paling menonjol. Angka kematian
karena Sirosis hati berbeda tiap tahunnya, di Amerika Serikat, pada tahun 1998
Sirosis hati akibat alkohol merupakan penyebab kematian nomor sembilan dengan
jumlah kematian sebanyak 28.000 jiwa (Price & Wilson, 2005).
Menurut National Center for Health Statistics, pada tahun 1980 di
Amerika,

Sirosis hati merupakan penyebab kematian ke-5 dengan jumlah

kematian sebanyak 16,089 pada golongan umur 45-64 tahun dan pada tahun 2013,
Sirosis hati merupakan penyebab kematian ke-4 dengan jumlah kematian
sebanyak 20,736 pada golongan umur 45-64 tahun. Pada tahun 2011, Sirosis hati
merupakan penyebab kematian ke-6 dengan Age Spesific Death Rate (ASDR)
pada golongan umur 55-64 tahun adalah 28,2%, pada tahun 2012 ASDR nya
menjadi 29,1% dan pada tahun 2013 ASDR nya meningkat menjadi 30,4%.

19

2.6.2

Determinan Sirosis hati
Ada beberapa penyebab yang berhubungan dengan terjadinya Sirosis hati,

yaitu :
1.

Hepatitis Virus
Menurut

Longo & Fauci (2013), dari pasien yang terpajan oleh Virus

Hepatitis C (HCV), sekitar 80% akan mengalami Hepatitis C kronik dan dari
mereka, sekitar 20-30% akan menderita Sirosis hati dalam 20-30 tahun. Di
Amerika Serikat, sekitar 5 juta orang telah terpajan oleh Virus Hepatitis C, dan
3,5-4 juta mengalami viremia kronik. Di dunia, sekitar 170 juta orang mengidap
Hepatitis C, dengan sebagian daerah di dunia (misalnya di Mesir) memiliki hingga
15% dari populasinya terinfeksi Hepatitis C. Hepatitis C Virus (HCV) adalah
suatu virus nonsitopatik dan kerusakan hati mungkin diperantarai oleh proses
imunologik. Perkembangan penyakit hati akibat Hepatitis C kronik ditandai oleh
fibrosis porta disertai bridging fibrosis dan pembentukan nodus-nodus yang
akhirnya memuncak berupa terjadinya Sirosis hati. Pada Sirosis hati akibat
Hepatitis C kronik, hati kecil dan menciut dengan gambaran khas pada biopsi hati
berupa Sirosis hati campuran makro dan mikronodular.
Temuan serupa dijumpai juga pada pasien dengan Sirosis hati akibat
Hepatitis B kronik. Dari pasien-pasien yang terpajan oleh Hepatitis B, sekitar 5%
mengalami Hepatitis B kronik dan sekitar 20% dari pasien ini akan berlanjut
menjadi Sirosis hati. Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 1,25 juta orang
menderita Hepatitis B, sementara di bagian lain dunia seperti Asia Tenggara dan
Afrika sub-Sahara Hepatitis B adalah penyakit endemik, dan sekitar 15%
penduduknya mungkin terinfeksi secara vertikal (penularan dari ibu ke bayi).

20

Karena itu, lebih dari 300-400 juta orang diperkirakan mengidap Hepatitis B di
dunia, dan sekitar 25% dari jumlah ini akhirnya akan mengalami Sirosis hati
(Longo & Fauci, 2013).
2.

Alkohol
Alkohol adalah obat yang paling sering digunakan di Amerika Serikat, dan

lebih dari dua pertiga orang dewasa minum alkohol setiap tahunnya. 30% pernah
mabuk dalam bulan terakhir dan lebih dari 7% orang dewasa secara teratur
mengkonsumsi lebih dari 2 gelas alkohol per hari. Lebih dari 14 juta orang
dewasa di Amerika Serikat memenuhi kriteria diagnostik penyalahgunaan atau
kecanduan alkohol. Minum alkohol berlebihan dalam jangka waktu yang panjang
dapat menyebabkan berbagai penyakit hati kronik, termasuk perlemakan hati
alkoholik, Hepatitis alkoholik dan Sirosis alkoholik. Selain itu, pemakaian alkohol
yang berlebihan ikut menimbulkan kerusakan hati pada pasien yang sudah
mengidap penyakit hati lain misalnya Hepatitis C, hemakromatosis dan pasien
dengan perlemakan hati akibat obesitas.

Konsumsi alkohol kronik

dapat

menimbulkan fibrosis tanpa disertai peradangan dan nekrosis. Fibrosis dapat
terletak sentrilobulus, periselular, atau periporta (Longo dan Fauci, 2013).
Menurut WHO (2014), resiko seseorang yang sering mengkonsumsi
alkohol terkena Sirosis hati adalah 20-50%. Diduga sedikitnya 15% dari pecandu
alkohol akan mengidap Sirosis hati.
3.

Zat Hepatotoksik
Menurut Bateson (1996), beberapa obat-obatan dan bahan-bahan kimia

dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel pada hati, salah satunya dapat
menyebabkan Sirosis hati. Zat hepatotoksik yang dimaksud diantaranya adalah

21

karbon tetraklorida, parasetamol, obat bius, obat penenang, hormon seksual dan
jamu. Karbon tetraklorida biasanya digunakan sebagai bahan pembersih dan bila
terminum dapat merusak jaringan hati. Parasetamol adalah obat penekan rasa sakit
dan dapat dibeli bebas di apotik. Bila digunakan dengan dosis yang tepat, hasilnya
akan sesuai dengan yang diharapkan dan cukup aman. Tetapi jika parasetamol
diminum dengan dosis yang besar dan terus-menerus, dapat berbahaya karena hati
tidak mampu mengolahnya, akibatnya akan terjadi kerusakan pada sel-sel hati.
Obat bius (contohnya halotan) yang sering digunakan pada saat operasi juga dapat
menyebabkan peradangan hati jika sering digunakan.
Beberapa

obat

penenang seperti klorpromazin,

dapat menyebabkan

kerusakan hati. Obat ini juga mengganggu aliran empedu sehingga membuat kulit
berwarna kuning dan timbul gatal-gatal. Menggunakan jamu sebagai obat sering
dianggap aman, hal ini tidak selalu benar. Contoh jamu yang berbahaya adalah
bush

tea,

jamu ini dapat menimbulkan kerusakan hebat pada hati dan

menyebabkan darah membeku dalam pembuluh darah di hati (Bateson, 1996).
4.

Hemokromatosis
Hemokromatosis adalah suatu penyakit herediter metabolisme besi yang

menyebabkan peningkatan progresif pengendapan besi di hati, limpa, dan kulit,
yang seiring waktu dapat menyebabkan fibrosis porta yang berlanjut menjadi
Sirosis hati, Gagal hati dan Kanker hepatoseluler (Dan L. Longo, 2013).
Normalnya hanya sekitar 10% dari zat besi dalam makanan yang diserap oleh
usus, sekedar cukup saja untuk mengganti kehilangan zat besi dalam jumlah
normal setiap harinya. Namun, jaringan tubuh orang dengan hemokromatosis

22

mengandung jumlah zat besi sekitar 50-80 gram, yang harusnya hanya 5-6 gram
saja (Sievert, 2010).
Frekuensi hemokromatosis relatif sering,

dengan kerentanan genetik pada

1 dari 250 orang, frekuensi manifestasi stadium akhir akibat penyakit ini relatif
rendah dan kurang dari 5% dari mereka yang secara genotipe rentan akan
mengalami penyakit hati berat akibat hemokromatosis (Longo & Fauci 2013).
Gejala hemokromatosis meliputi kelelahan, kulit lebih gelap, hati membesar,
kurang minat terhadap hubungan seks dan

rambut rontok (Sievert, 2010).

Penyakit Wilson
Penyakit Wilson adalah suatu penyakit herediter homeostatis tembaga
dengan

kegagalan

mengekskresikan

kelebihan

tembaga

yang

menyebabkan

penumpukan di hati. Penyakit ini relatif jarang,dapat terjadi pada 1 dari 30.000
orang. Penyakit Wilson biasanya terjadi pada remaja dan dewasa muda (Longo&
Fauci, 2013). Biasanya hanya sekitar 4 miligram zat tembaga dari makanan yang
kita komsumsi setiap harinya, dan sekitar setengahnya akan dikeluarkan dan
sisanya akan dipakai untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal. Namun,
pada penyakit wilson hanya 0,2-0,4 mg zat tembaga yang dikeluarkan sehingga
terlalu banyak zat tembaga yang terakumulasi dalam tubuh dan akhirnya meracuni
jaringan-jaringan tubuh (Sievert, 2010).

23

2.7 Pencegahan Sirosis hati
2.7.1

Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk mencegah

timbulnya

suatu penyakit dengan menghilangkan atau melindungi diri dari

berbagai faktor resiko. Menurut Hadi (2002) dan Price & Wilson (2005), upaya
yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Sirosis hati adalah :
a. Tidak

mengkonsumsi

minuman

yang

mengandung

alkohol

secara

berlebihan karena konsumsi.
b. Melakukan vaksinasi Hepatitis B dapat diberikan pada kelompok yang
beresiko tinggi seperti pada bayi dari ibu yang mengidap Virus Hepatitis
B, petugas pelayanan kesehatan yang sering berhubungan dengan darah
dan

cairan

tubuh,

anggota

keluarga

pengidap

Hepatitis B,

kaum

homoseksual, orang yang sering berganti pasangan seksual, pemakai obat
bius suntik dan orang yang sering mendapatkan transfusi darah.
c. Hindari kontak dengan darah atau cairan tubuh yang berasal dari penderita
Hepatitis B.
d. Pada pasien yang menderita Sirosis hati non-alkoholik, dapat dilakukan
penurunan berat badan.
e. Tidak gonta-ganti pasangan seksual.
f.

Menghindari penggunaan narkoba suntik dan pemakaian suntik yang
secara berganti-gantian.

g. Melakukan transfusi darah yang aman dan steril.

24

2.7.2

Pencegahan Sekunder
Pencegahan

sekunder

adalah

upaya-upaya

yang

dilakukan

untuk

mendeteksi secara dini suatu penyakit yang dilakukan pada masa sakit yang
berupa screening, pemberian terapi bukan obat dan terapi obat. Terapi bukan obat
dilakukan dengan mengurangi faktor penyebab terjadinya Sirosis hati. Contohnya
apabila penyebab Sirosis hati adalah alkohol maka pasien harus berhenti minum
alkohol. Penderita Sirosis hati harus mengkonsumsi makanan yang bergizi,
istirahat yang cukup dan minum vitamin (Oswari, 2009).
2.7.3

Pencegahan Tertier
Pencegahan

tertier

adalah

upaya

yang

dilakukan

untuk

mencegah

terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian pada penderita
Sirosis hati. Pencegahan yang dapat dilakukan biasanya dapat berupa rehabilitasi
fisik, mental dan sosial. Jika kerusakan hati sangat parah dan mengancam nyawa
maka satu-satunya cara adalah dengan transplantasi hati. Untuk itu perlu seorang
donor yang sesuai. Lalu agar tubuh tidak menolak jaringan hati yang baru, juga
harus diberikan obat yang menekan sistem kekebalan tubuh dan harus diminum
seumur hidup. Hasil dari tindakan transplatasi cukup baik. Walaupun 20-30% dari
penderita yang melakukan transplantasi hati meninggal dalam kurun waktu 1
tahun setelah operasi (karena keadaanya memang sangat parah sebelum dioperasi)
dan sisanya dapat tetap hidup seperti orang normal (Bateson, 1996).

2.8 Pengobatan Sirosis hati
Menurut

Nurdjanah

(2009),

etiologi

Sirosis

hati

mempengaruhi

penanganannya. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan
zat-zat yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan

25

komplikasi.

Jika tidak

terjadi koma hepatik,

pasien diberikan diet yang

mengandung protein 1 g/Kg BB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
Pada

pasien Sirosis hati yang masih kompensata ditujukan untuk

mengurangi progresi kerusakan hati. Pasien kompensata segera menghentikan
konsumsi alkohol dan penggunaan bahan-bahan lain yang bersifat toksik serta
pasien diberikan asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang akan menghambat
kolagenik.
Pada Hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Pada
Hepatitis B, dapat diberikan terapi interferonalfa dan lamivudin (analog
nukleosida). Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral
setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan
menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat.
Hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi
standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga
kali seminggu dan dikombinasi dengan ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6
bulan.
Pengobatan Sirosis hati dekompensata, pasien dengan komplikasi Asites
diberikan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90
mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasikan dengan obat-obatan diuretik.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis

100-200 mg sekali

sehari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari
tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki.
Pada pasien dengan komplikasi Ensefalopati hepatik, laktulosa membantu
pasien untuk mengeluarkan amonia. Pasien diberikan Neomisin untuk mengurangi

26

bakteri usus penghasil amonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat
badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang
Pada pasien dengan Varises esofagus, sebelum berdarah dan sesudah
berdarah bisa diberikan obat penyekat beta ( propranolol). Waktu perdarahan akut,
bisa diberikan preparat somastostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan
skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Pada pasien dengan Peritonitis bakterial spontan diberikan antibiotika seperti
sefotaksim intravena,

amoksilin,

atau

aminoglikosida.

Pada pasien dengan

Sindrom hepatorenal ; untuk mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati,
mengatur keseimbangan garam dan air.

2.9 Kerangka Konsep
Karakteristik Penderita Serosis Hati
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Suku
Agama
Pekerjaan
Daerah Asal
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Penyakit
4. Status Komplikasi
5. Jenis Komplikasi
6. Sumber Biaya
7. Lama Rawatan Rata-Rata
8. Keadaan Sewaktu Pulang