Pelaksanaan Diversi dalam Peradilan Pidana Anak

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah
keturunan kedua. Dalam konsideran Undang-undang No. 23 Tahun 2002 (yang
telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), dikatakan
bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak
mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan
anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi.1
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan
tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan
kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu

tindakan hukum yang berakibat perlu adanya penjaminan hukum bagi anak.

1

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hal.

8-9

1
Universitas Sumatera Utara

2

Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan
anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan
anak setidaknya memiliki dua aspek, yang pertama berkaitan dengan kebijakan
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hakhak anak dan aspek kedua menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturanperaturan tersebut.2
Anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belum cukup baik
untuk membedakan hal-hal baik dan buruk.3 Mungkin terbukti anak melakukan

tindak kenakalan, anak melanggar hukum positif, atas kelakuannya mungkin akan
mengganggu tertib sosial karena kenakalannya membuat marah publik, dan
karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan
mendatangkan kematian dan siksa orang lain. Namun, apapun alasannya,
sesungguhnya dia adalah korban. Dia korban dari perlakuan salah orangtuanya,
dia korban dari pendidikan guru-gurunya, dia korban kebijakan pemerintah lokal,
dan dia korban dari lingkungan sosial yang memberi tekanan psikis sehingga
anak-anak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Bahkan karena
ada nilai-nilai yang terinternalisasi sejak usia dini, dia tidak tahu bahwa apa yang
dilakukan adalah sebuah pelanggaran hukum.4
Sistem

pemidanaan

sedang

serius-seriusnya

mengatur


mengenai

perlindungan hukum pidana terhadap anak yang apabila anak sebagai pelaku
2

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2011, hal. 3
3
M. Joni, dkk, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konve nsi Hak Anak,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1
4
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2010, hal. 91-92

Universitas Sumatera Utara

3

tindak pidana maka pengenaan pelaksanaan pemidanaan kepadanya tentu tidak
dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan.5 Tindak pidana
yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru

ataupun terpengaruh bujuk rayu dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana
formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya
membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak.
Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana
formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil
menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang
proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin
profesional dalam melakukan tindak kejahatan.6
Sistem Peradilan Pidana Anak berbeda dengan Sistem Peradilan Pidana
bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan Pidana Anak meliputi segala
aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan
anak. Dalam Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa unsur yang saling terkait
yaitu: Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak, dan Petugas
Permasyarakatan Anak. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak merupakan dasar
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Ini berarti bahwa peradilan
pidana anak yang adil memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, baik
sebagai tersangka, terdakwa, maupun sebagai terpidana/narapidana, sebab

5


Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta,
Graha Ilmu, 2010, hal. 25
6
M. Joni, dkk, Op.cit, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

4

perlindungan terhadap hak-hak anak ini merupakan tonggak utama dalam
Peradilan Pidana Anak.7
Lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di
Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep diversi yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya
sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif
(restorative justice). Sedangkan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara

tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan. Upaya penanggulan kejahatan dengan pendekatan nonpenal
merupakan bentuk upaya penanggulan berupa pencegahan tanpa menggunakan
hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan
dan pemidanaan melalui media massa. Konsep diversi dan restorative justice
merupakan bentuk penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada
penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam
tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsep diversi dan restorative

7

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Di Indonesia , Refika Aditama, Bandung, 2013, hal. 6

Universitas Sumatera Utara

5


justice merupakan suatu bentuk penyelesaian tindak pidana yang telah

berkembang di beberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.8
Anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia cukup memprihatinkan.
Angka kejahatan seperti pencurian yang dilakukan anak di Indonesia setiap tahun
berjumlah sekitar 7.000 anak. Sembilan dari sepuluh anak-anak ini akhirnya
menginap di hotel prodeo (penjara atau rumah tahanan) karena pada umumnya
anak yang berhadapan dengan hukum tidak mendapat dukungan dari pengacara
maupun pemerintah, dalam hal ini dinas sosial.9
KOMNAS Anak pada Tahun 2011 menerima 1.851 pengaduan anak yang
berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku tindak pidana) yang diajukan ke
pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni
730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti
dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan
hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada
pemidanaan atau diputus pidana.10
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif
terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem
peradilan pidana. Upaya pengalihan atau ide diversi ini, merupakan penyelesaian
yang terbaik yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus

yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dengan langkah kebijakan
8

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 17
9
Steven Allen, “Kata Pengantar,” dalam Purnianti, et.al. Analisa Situasi Sistem Peradilan
Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia , (Jakarta: Unicef, 2003), hal. 1 dikutip dari:
Hadi Supeno, Op.cit, hal. 70
10
Komisi Nasional Anak, 21-12-2011. “Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional
Perlindungan Anak”. www.komnasanak.com, diakses tanggal 21 Desember 2015 pkl. 11.35 wib

Universitas Sumatera Utara

6

non penal anak pelaku kejahatan, yang penanganannya dialihkan di luar jalur
sistem peradilan pidana anak, melalui cara-cara pembinaan jangka pendek atau
cara lain yang bersifat keperdataan atau administratif.11

Menurut

Setya

Wahyudi,

Diversi

sebagai

bentuk

pengalihan

penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak
kovensional, ke arah penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan
kemasyarakatan, dan diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari
dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak.12
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana
terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak

menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan
memberikan stigmasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak
dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem
peradilan pidana.13 Mengembangkan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana
guna mewujudkan perlindungan hukum bagi anak, diperlakukan mengerti
permasalahannya menurut proporsi yang sebenarnya secara meluas, dimensional
dan terpadu. Sebab pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana
adalah suatu hasil interaksi adanya interrelasi antara berbagai fenomena yang
saling terkait dan saling mempengaruhi.14

11

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tinda k Pidana Narkotika
Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hal. 58-59
12
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal. 59
13
Maidin Gultom, Op.cit, hal. 11
14

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 69

Universitas Sumatera Utara

7

Tahun 2015 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12
(Dua Belas) Tahun yang menjadi kebutuhan dalam rangka pelaksanaan Undangundang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis termotivasi untuk
menulis dan membahas skripsi dengan judul “Pelaksanaan Diversi Dalam
Peradilan Pidana Anak”

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang dan sebagai pedoman agar
permasalahan dapat dibahas secara sistematis serta tujuan yang hendak dicapai
dapat jelas dan tegas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan diversi dalam sistem hukum peradilan pidana
anak?
2. Bagaimanakah pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak menurut
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui tentang pengaturan diversi dalam sistem hukum
peradilan pidana anak;
b. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana
anak menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015.

Universitas Sumatera Utara

8

2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini antara lain :
a. Manfaat Teoritis
1) Dapat

digunakan

sebagai

sumbangan

karya

ilmiah

dalam

perkembangan ilmu pengetahuan.
2) Untuk menambah pengetahuan mengenai Hukum Pidana khususnya
tentang diversi dalam peradilan pidana anak.
b. Manfaat Praktis
1) Memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat luas dalam
mengikutsertakan perannya terhadap pengembangan konsep diversi dan
restorative justice.

2) Memberikan informasi dan tambahan masukan kepada aparat penegak
hukum, yaitu hakim, jaksa, advokat, polisi dan institusi lainnya yang
terkait dalam pelaksanaan diversi.
3) Diharapkan dapat memberikan tambahan masukan dan kontribusi
pemikiran kepada pemerintah dalam perannya terhadap perlindungan
hukum kepada anak di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan
oleh pihak Fakultas Hukum Universitas mengenai Pelaksanaan Diversi Dalam
Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa belum pernah ada dilakukan
penulisan yang sama dengan judul skripsi di atas.

Universitas Sumatera Utara

9

Penulisan skripsi ini juga telah menelusuri judul karya ilmiah melalui
media cetak dan elektronik, belum ditemukan penulis lain yang memiliki judul
yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut merupakan di luar sepengetahuan penulis
dan substansinya pasti berbeda karena murni merupakan hasil pemikiran penulis
yang didasarkan dari penelusuran dari referensi media cetak maupun media
elektronik, sehingga dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Tentang Diversi
Definisi menurut Jack E. Byum dalam bukunya Juvenille Deliquency a
Sociological Approach, yaitu : Diversion is an attempt to divert, or channel out,
youthfull offenders from the juvenille justice sistem (diversi adalah sebuah

tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan dan menempatkan pelaku tindak
pidana anak dari sistem peradilan pidana.15
Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan praktek
pelaksanaannya. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration
of Juvenile Justice butir 6 dan 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni
sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem
peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga
sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.16

15

Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,
USU Press, Medan, 2010, hal. 10
16
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice), Op.cit, hal. 17

Universitas Sumatera Utara

10

Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses peradilan formal ke
penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing
Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.17
Diversi bertujuan:18
a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif
yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan, bukan
sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.19
“Proses pelaksanaan diversi erat kaitannya dengan konsep Restorative
Justice yaitu proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi

dilakukan dengan membawa korban dan pelaku duduk bersama dalam suatu
pertemuan untuk bermusyawarah agar tercapainya suatu kesepakatan.”20
Umbreit menjelaskan bahwa restorative justice is a victim ceterd response
to crime that allows victim, the offender, their familys, and representatives of the
17

Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hal. 48 dikutip dari: M.Nasir
Djamil, Op.cit, hal. 137
18
Pasal 6 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
19
M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 138
20
http://doktormarlina.htm, Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif
Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Pusat Kajian dan Perlindungan
Anak (PKPA). Diakses pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 17.10 wib.

Universitas Sumatera Utara

11

community to address the harm caused by the crime (keadilan restoratif adalah

sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan kepada korban yang
mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para
perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang
diakibatkan oleh tindak pidana.21 Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 11 Tahun
2012 menyebutkan, bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali,
akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk
membuat orang mentaati hukum.22 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat
untuk

taat

dan

menegakkan

hukum

negara,

pelaksanaannya

tetap

mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama di samping pemberian
kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi,
kerja sosial atau pengawasan orang tua.
Tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu:23
a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu
aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab
pengawasan atau pengamatan masyarakat dengan ketaatan

pada

21

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45
22
Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,
Op.cit, hal. 14
23
Peter C. Kratcoski (2004), Correctional Counseling and Treatment, USA: Waveland
Press Inc, hal. 160 dikutip dari: Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice
Dalam Hukum Pidana, Op.cit, hal. 15

Universitas Sumatera Utara

12

persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung
jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan
kedua bagi pelaku oleh masyarakat.
b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation),

yaitu

melaksanakan

fungsi

untuk

mengawasi,

mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada keluarga
dan pelaku. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk
memberikan perbaikan atau pelayanan.
c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (ballanced or
restorative justice), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan

pelaku bertanggungjawab langsung pada korban dan masyarakat dan
membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat.
Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersamasama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.
Pelaksanaan diversi melibatkan semua aparat penegak hukum dari lini
manapun. Diversi dilaksanakan pada semua tingkat proses peradilan pidana.
Prosesnya dimulai dari permohonan suatu instansi atau lembaga pertama yang
melaporkan tindak pidana atau korban sendiri yang memberikan pertimbangan
untuk dilakukannya diversi.24
2. Pengertian Tentang Proses Peradilan Pidana
Keadilan yang hakiki adalah nilai-nilai yang sesuai dengan kemanusiaan,
peradaban dan kepatutan. Setiap nilai tersebut yang sesuai dengan keadaan,
24

Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,
Op.cit, hal. 18

Universitas Sumatera Utara

13

tempat, lingkungan, dan waktu dimana masyarakat yang bersangkutan hidup,
dirasakan anggota masyarakat benar-benar tepat dan adil.25
Hukum

acara

pidana

merupakan

hukum

yang

bertujuan

untuk

mempertahankan hukum materil pidana. Dengan kata lain acara pidana
merupakan proses untuk menegakkan hukum materil, proses atau tata cara untuk
mengetahui apakah seseorang telah melakukan tindak pidana. Acara pidana lebih
dikenal dengan proses peradilan pidana. Menurut sistem yang dianut oleh Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana maka tahapan-tahapan yang harus dilalui
secara sistematis dalam peradilan pidana adalah:26
1. Tahap penyidikan oleh kepolisian
2. Tahap penuntutan oleh kejaksaan
3. Tahap pemeriksaan di pengadilan oleh Hakim
4. Tahap pelaksanaan Putusan (eksekusi) oleh kejaksaan dan lembaga
pemasyarakatan
Proses peradilan pidana adalah merupakan suatu proses yuridis, dimana
hukum ditegakkan dengan tidak mengesampingkan kebebasan mengeluarkan
pendapat dan pembelaan dimana keputusannya diambil dengan mempunyai suatu
motivasi tertentu.27
Wujud dari suatu keadilan adalah di mana pelaksanaan hak dan kewajiban
seimbang. Pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak
pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi.

25

Maidin Gultom, Op.cit, hal. 70
http://www.negarahukum.com/hukum/proses-peradilan-pidana.html
tanggal 25 Januari 2016 pkl. 17.00 wib
27
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Op.cit, hal. 71
26

diakses

pada

Universitas Sumatera Utara

14

Perlu kiranya digarisbawahi bahwa kewajiban bagi anak harus diperlakukan
dengan situasi, kondisi mental, fisik, keadaan sosial dan kemampuannya pada usia
tertentu. Dengan demikian hal-hal di bawah ini perlu kiranya diperhatikan dan
diperjuangkan keberadaannya, antara lain:28
a. Setiap anak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah.
b. Waktu peradilan anak tidak diselingi oleh peradilan orang dewasa.
c. Setiap anak mempunyai hak untuk dibela seorang ahli.
d. Suasana tanya jawab dilaksanakan secara kekeluargaan, sehingga anak
merasa aman dan tidak takut. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa
yang dimengerti anak.
e. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang
merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.
f. Setiap anak mempunyai hak untuk memohon ganti kerugian atas kerugian
atau penderitaannya (Pasal 1 ayat 22 KUHAP).
g. Setiap anak mempunyai hak untuk sidang tertutup, hanya dikunjungi oleh
orang tua, wali, orang tua asuh, petugas sosial, saksi dan orang-orang yang
berkepentingan, mengingat kehormatan/kepentingan anak dan keluarga,
maka wartawan pun tidak dibenarkan ikut serta, kecuali mendapat ijin dari
hakim dengan catatan identitas anak tidak boleh diumumkan.
h. Para petugas tidak menggunakan pakaian seragam tetapi memakai pakaian
bebas resmi.

28

Ibid, hal. 70-71

Universitas Sumatera Utara

15

i. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya persiapan
yang matang sebelum sidang dimulai.
j. Berita acara dibuat rangkap 4 (empat) yang masing-masing untuk Hakim
Jaksa, petugas Bispa29 dan untuk arsip.
k. Jika Hakim memutus perkara anak harus masuk ke Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau Panti Asuhan, maka perlu diperhatikan hakhaknya.
Perampasan kemerdekaan terhadap anak harus merupakan upaya terakhir,
dengan satu pengertian perampasan kemerdekaan terhadap

anak tidak

diperbolehkan dalam hal perampasan kemerdekaan itu justru akan memperkosa
hak-hak dasar anak. Hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh
kasih sayang, hak untuk memperoleh layanan kesehatan, hak untuk memperoleh
lingkungan yang bersih dan nyaman dan sebagainya harus tetap dipenuhi.30
Beberapa faktor pendukung dalam usaha pengembangan hak-hak anak
dalam peradilan pidana adalah:31
a. Dasar pemikiran yang mendukung Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Garis-garis Besar Haluan Negara, ajaran agama, nilai-nilai sosial yang
positif mengenai anak, norma-norma (deklarasi hak-hak anak, UndangUndang Kesejahteraan Anak).

29

Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bispa) dalam Undang-undang No.
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sekarang dikenal dengan istilah Balai Pemasyarakatan
(Bapas). Bapas adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. Dikutip dari:
Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 45
30
Koesno Adi, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Setara Press, Malang, 2015, hal.
115
31
Ibid, hal. 72

Universitas Sumatera Utara

16

b. Berkembangnya

kesadaran

bahwa

permasalahan

anak

adalah

permasalahan nasional yang harus ditangani sedini mungkin secara
bersama-sama, intersektoral, interdisipliner, interdepartemental.
c. Penyuluhan, pembinaan, pendidikan dan pengajaran mengenai anak
termasuk pengembangan mata kuliah Hukum Perlindungan Anak, usahausaha perlindungan anak, meningkatkan perhatian terhadap kepentingan
anak.
d. Pemerintah bersama-sama masyarakat memperluas usaha-usaha nyata
dalam menyediakan fasilitas bagi perlindungan anak.
3. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak
Pengertian anak tidak pernah terlepas dari batasan usianya untuk
membedakannya terhadap orang dewasa, perbuatan serta akibat yang ditimbulkan
olehnya, ataupun untuk memberikan perlindungan serta sanksi kepadanya.
Pengaturan tentang batasan pengertian dan usia anak itu sendiri dapat diperhatikan
melalui peraturan perundang-undangan antara lain:
a. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih di dalam kandungan.32
b. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang ini

memberikan pengertian anak sesuai dengan

kedudukan anak di dalam tindak pidana yang terjadi, yakni:

32

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Universitas Sumatera Utara

17

1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana.33
2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.34
3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.35
4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.36
c. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

33

Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

34

Pasal 1 angka 3 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

35

Pasal 1 angka 4 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

36

Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak
Anak
Anak
Anak

Universitas Sumatera Utara

18

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.37
d. Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
1) Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di Lapas Anak paling lama hingga berumur 18
(delapan belas) tahun;
2) Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
3) Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
e. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
Undang-Undang ini menyatakan, anak yang diperbolehkan untuk
memberikan keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya belum
cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin.38
f. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum pernah kawin.39
g. Konvensi Hak Anak40
37

Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 171 butir 1 KUHAP
39
Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
38

Universitas Sumatera Utara

19

Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali
berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan
telah dicapai lebih cepat.41
Batasan usia seseorang dikategorikan sebagai anak dapat dilihat dari
tingkatan usia pada gambaran berikut ini, dimana di berbagai Negara di dunia
tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang dikategorikan sebagai
anak, seperti:42
a. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas usia antara 8-18
tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-17
tahun, sementara adapula Negara bagian lain menentukan batas umur
antara 8-16 tahun;
b. Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12-16 tahun;
c. Di Australia, kebanyakan Negara bagian menentukan batas umur antara 816 tahun;
d. Di Belanda, menentukan batas umur 12-18 tahun;
e. Di Srilangka, menentukan batas umur antara 16-18 tahun;
f. Di Iran, menentukan batas umur antara 6-18 tahun;
g. Di Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-20 tahun;
h. Di Taiwan, menentukan batas umur antara 14-18 tahun;
i. Di Kamboja, menentukan batas umur antara 15-18 tahun;
40

Rancangan KHA diselesaikan dan naskah akhirnya disahkan dengan bulat oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 20 November 1989, yang dituangkan dalam resolusi PBB Nomor 44/25
tanggal 5 Desember 1989. Sejak itulah, anak-anak di seluruh dunia memperoleh perhatian secara
khusus dalam standar internasional. Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh hampir semua anggota
PBB, termasuk Indonesia yang meratifikasi KHA berdasarkan Kepres Nomor 36 tanggal 25
Agustus 1990. Dikutip dari: Hadi Supeno, Op.cit, hal. 33
41
Pasal 1 Konvensi Hak Anak
42
Nashriana, Op.cit, hal. 9

Universitas Sumatera Utara

20

j. Di Negara-negara ASEAN lain, antara lain: Filipina (7-16 tahun);
Malaysia (7-18 tahun); Singapura (7-18 tahun)
Batasan usia juga dapat dilihat pada dokumen-dokumen Internasional
seperti:43
a. Task Force on Juvenile Deliquency Prevention , menentukan bahwa
seyogyanya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak
dalam konteks pertanggungjawaban pidananya ditetapkan usia terendah 10
tahun dan batas antara 16-18 tahun;
b. Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules)44 menetapkan batasan

anak yaitu seseorang yang berusia 7-19 tahun;
c. Resolusi PBB 45/11345 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya
anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
Berdasarkan Konvensi Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat
dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain:
a. Hak untuk kelangsungan hidup ( The Right To Survival ) yaitu hak-hak
untuk melestarikan dan mempertahankan hidup ( The Right of Live ) dan
hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaikbaiknya.

43

Ibid
Beijing Rules juga disebut sebagai “Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan
Bngsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan Anak”. Ketentuan ini disahkan melalui Resolusi
Majelis PBB Nomor 40/33 tanggal 29 November 1985 dikutip dari: Hadi Supeno, Op.cit, hal. 82
45
Havana Rules merupakan Resolusi PBB Nomor 45/113, hasil Sidang Pleno PBB ke-68
tanggal 14 Desember 1990, berisi “Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perlindungan
Anak yang Dicabut Kebebasannya”, yang merupakan pelengkap Beijing Rules. Dikutip dari: Hadi
Supeno, Op.cit, hal. 86
44

Universitas Sumatera Utara

21

b. Hak terhadap perlindungan ( Protection Right ) yaitu hak-hak dalam
konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi,
tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai
keluarga bagi anak-anak pengungsi.
c. Hak untuk tumbuh kembang ( Development Rights ) yaitu hak-hak anak
dalam konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan
dan hak untuk mencapai standar hidup bagi perkembangan fisik, mental,
spiritual, moral, dan sosial anak ( The rights of standart of living ).
d. Hak untuk berpartisipasi ( Participation Rights ), yaitu hak-hak anak yang
meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak.46
Batasan usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
kemudian dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud batas usia adalah
pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi
seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.47
Anak sebagai input penduduk, ahli waris dan pemegang nasib bangsa, juga ikut
menentukan lajunya proses pembangunan nasional di segala bidang. Dalam
pembangunan hukum, anak harus dikondisikan secara awal untuk memahami

46

M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 14-16
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 24
47

Universitas Sumatera Utara

22

akan hak dan kewajibannya masing-masing baik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.48

F. Metode Penelitian
Metode penelitian diperlukan agar tujuan penelitian dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ada 2 (dua) macam tipologi yang
lazim digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.
Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau
penelitian kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan
sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan
sekunder.49 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini
menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian asas-asas hukum dan
penelitian untuk menemukan hukum in concreto.50
Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma
hukum yaitu yang merupakan patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam

48

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur , PT Alumni, Bandung, 2010, hal.

35
49

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2007, hal. 13
50
Ibid, hal. 63

Universitas Sumatera Utara

23

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.51 Penelitian hukum yang
dilakukan juga didukung oleh data empiris.
2. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data sekunder
dan data primer. Data sekunder yang digunakan dalam penellitian ini mencakup
bahan-bahan yaitu:
a. Bahan-bahan hukum primer, yakni antara lain:
1. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak;
3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP);
5. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
b. Bahan-bahan hukum sekunder, seperti buku-buku referensi yang
berkaitan dengan judul skripsi, artikel atau jurnal hukum, laporan atau
hasil penelitian dan sebagainya yang diperoleh melalui media cetak
maupun media elektronik.
c. Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang yang memberikan
informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier
lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan
51

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 15

Universitas Sumatera Utara

24

di bidang hukum, misalnya: biografi hukum, ensiklopedi hukum,
kamus, direktori pengadilan, dan lain sebagainya.
Data primer diperoleh dengan cara mengumpulkan data secara langsung
pada Pengadilan Negeri Medan melalui tehnik wawancara. Dimana data primer
dalam penelitian skripsi ini diperlukan untuk memberi pemahaman yang jelas,
lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh langsung dari
sumber pertama, yakni informan.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan ini
adalah wawancara terstruktur secara selektif dengan informan tertentu yaitu:
Wawancara dengan Bapak Fauzul Hamdi dan Bapak Tumpanuli Marbun sebagai
Hakim Anak di Pengadilan Negeri Medan. Hal tersebut dilakukan dengan
menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman, dengan maksud untuk
memperoleh penjelasan dan klasifikasi baik dari responden maupun informan.
3. Metode Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian
Kepustakaan). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatancatatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan
dipecahkan.52 Penulisan ini juga didukung oleh data empiris yang dilakukan
dengan wawancara pada Hakim Anak di Pengadilan Negeri Medan.

52

M.Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 27

Universitas Sumatera Utara

25

4. Analisis Data
Metode analisis yang akan digunakan untuk penelitian hukum normatif ini
adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Perolehan data dari
analisis kualitatif ini ialah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan
teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi).53 Data kualitatif
adalah data yang non angka, yaitu berupa kata, kalimat, pernyataan, dan dokumen.
Dalam penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses di
lapangan bersamaan dengan pengumpulan data. 54

G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh sesuai dengan aturan dan
penulisan karya ilmiah, maka penulisan dibuat secara sistematika penulisan
hukum. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Berisikan Pendahuluan yang menguraikan Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II

PENGATURAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK
Bab ini membahas mengenai pengaturan Diversi Dalam Sistem
Hukum Peradilan Pidana Anak yang meliputi pembahasan Sistem Dan
Proses Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Sejarah Perkembangan

53
54

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2013, hal. 87
Ibid, hal. 90

Universitas Sumatera Utara

26

Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Pengaturan Diversi
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015.
BAB III

PELAKSANAAN DIVERSI DALAM PERADILAN PIDANA
ANAK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 65
TAHUN 2015
Bab ini membahas mengenai pelaksanaan Diversi Dalam Peradilan
Pidana Anak menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015, pada
bagian pertama tentang Pengaturan Pelaksanaan Diversi Dalam
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12
(Dua Belas) Tahun, bagian kedua dikemukakan mengenai Proses
Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun
Dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015, dan bagian ketiga
membahas mengenai Pelaksanaan Diversi Dalam Proses Peradilan
Pidana Anak di Pengadilan Negeri Medan.

BAB IV

PENUTUP
Pada bab terakhir ini dikemukakan Kesimpulan dari bagian awal
hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari
substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis
kemukakan dalam kaitannya dengan masalah yang dihadapi.

Universitas Sumatera Utara