Pelaksanaan Diversi dalam Peradilan Pidana Anak

BAB II
PENGATURAN DIVERSI DALAM SISTEM HUKUM PERADILAN
PIDANA ANAK
A. Sistem Dan Proses Peradilan Pidana Anak Di Indonesia
1. Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia
a. Pengertian dan Dasar Pemikiran Sistem Peradilan Pidana Anak
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiliki ciri-ciri tertentu
yang membedakannya dengan sistem peradilan pidana lainnya. Pertama, ia
merupakan suatu sistem yang terbuka (open system), dalam pengertian sistem
pidana dalam gerakannya akan selalu mengalami interfance (interaksi, berkoneksi
dan independensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat
yaitu ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta sub-sub sistem dalam
peradilan pidana itu sendiri. Kedua, tujuan yang memiliki tujuan jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang. Tujuan sistem peradilan pidana pada
jangka pendek adalah diharapkan pelaku menjadi sadar akan perbuatannya
sehingga tidak melakukan kejahatan lagi. Tujuan jangka menengah adalah
terwujudnya suasana tertib, aman, damai di dalam masyarakat sedangkan tujuan
jangka panjang adalah terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh di
kalangan masyarakat. Ketiga, transformasi nilai dalam arti sistem peradilan dalam
operasi kerjanya pada setiap komponen-komponennya harus menyertakan dan
memperjuangkan nilai-nilai dalam setiap tindakan dan kebijakan yang dilakukan.


27
Universitas Sumatera Utara

28

Keempat, adanya mekanisme kontrol yaitu menjalankan pengawasan sebagai
respon terhadap penanggulangan kejahatan.55
Mardjono mengemukakan empat komponen sistem peradilan pidana yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat
bekerja sama dan dapat membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu.56
Keempat komponen ini pun sangatlah penting di dalam sistem peradilan pidana
anak secara khusunya.
Hadi Supeno mengatakan dalam tulisannya, bahwa:
“Penjara hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan kejahatan. Anak
tidak tepat masuk penjara karena akan mematikan harapan masa depannya. Anak
adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh, yang dibutuhkan adalah bantuan dan
bimbingan. Peradilan yang tepat untuk pelaku delikuensi anak adalah model
keadilan restoratif yang bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku
dan korban sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga. Hukuman maksimal yang

boleh mereka terima adalah pendidikan paksa.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma lama dari UndangUndang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak bisa dipertahankan lagi
karena yang terjadi adalah sebuah kriminalisasi anak oleh negara dan
masyarakat.57
Indonesia telah mengganti Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama
dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru yaitu UndangUndang No.11 Tahun 2012. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak lahir
untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang kenyataannya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan

55

Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2013, hal.

56

Ibid
Hadi Supeno, Op.cit, hal. 193

32
57


Universitas Sumatera Utara

29

hukum masyarakat, karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan
kepada anak yang berhadapan hukum. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
menyebutkan anak yang berhadapan hukum adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan
peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik
hukum pidana materil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan
pidana.58 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menggunakan terminologi “Peradilan Anak”, tidak diartikan sebagai badan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) UUD RI tahun 1945
yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.59 Penjelasan UU sistem

peradilan pidana anak, Peradilan anak merupakan bagian dari lingkungan
peradilan umum, sehingga batasan pengertian yang termaktub di dalam UndangUndang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah
keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum,

58

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2002, hal. 43
59
Abintoro Prakoso, Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika,
Yogyakarta, 2013, hal. 24

Universitas Sumatera Utara

30

mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana.60
Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The
Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan


sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa
penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat
penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.61 Di dalam kata sistem
peradilan pidana anak, terdapat istilah “sistem peradilan pidana” dan istilah kata
“anak” dalam frase “sistem peradilan pidana anak” mesti dicantumkan, karena
untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana dewasa.62
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memuat ketentuan Pidana
Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana pokok yang dimuat antara lain:63
1. Pidana Peringatan;
2. Pidana dengan Syarat:
a. Pembinaan di luar lembaga;
b. Pelayanan Masyarakat; atau
c. Pengawasan;
3. Pelatihan Kerja;
4. Pembinaan dalam Lembaga;
5. Penjara.

60


Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak
61

Setya Wahyudi, Op.cit, hal. 35
M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 43
63
Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

62

Anak

Universitas Sumatera Utara

31

Pidana Tambahan terdiri atas:64
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

2. Pemenuhan kewajiban adat
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan
Restoratif.65 Konsep restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program
penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan
konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender
mediation. Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam

memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Pelaku dan
korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun
suatu usulan hukum bagi anak pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan
bagi hakim untuk memutus perkara ini. Program ini menganggap pelaku dan
korban sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya sehingga dapat
mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta
memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak.66
Setiap pembentukan undang-undang yang baik, harus disertakan dasardasar pembentukan perundang-undangan berupa dasar filosofis, yuridis, dan
sosiologis. Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak,

64

Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


65

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak
Anak
66

Allison Moriris & Gabriel Maxwel. Restorative Justice for Juvenile: Coferencing
Mediation and Circle. Oregeon USA: Hart Publishing, 2001, hal. 4 dikutip dari buku: Marlina,
Hukum Penitensier , Refika Aditama, 2011, hal. 74

Universitas Sumatera Utara

32

disebutkan dasar-dasar pemikiran dalam pembentukan RUU tersebut, antara
lain:67
1) Dasar Filosofis

Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa
dan bernegara, yaitu Pancasila. Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai
Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan
beradab, sehingga sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi
nilai-nilai religiusitas, maka permasalahan anak yang berhadapan dengan
hukum harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak.68
2) Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis ini menyangkut mengenai keadaan sosial. UndangUndang Pengadilan Anak yang lama tidak dapat melindungi anak dari
penjatuhan sanksi pidana dan tidak memberikan perlindungan hukum dalam
melindungi hak-hak yang dimiliki oleh anak. Dengan demikian, perlu ada
peranan dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara yang
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak
serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan
hukum.69

67

Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hal.7-9 dikutip dari: M.Nasir
Djamil, Op.cit, hal. 51
68

Ibid, hal. 52
69
Ibid

Universitas Sumatera Utara

33

3) Dasar Yuridis
Dasar yuridis berkaitan terhadap ketentuan hukum. Prinsip perlindungan
hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak
sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah 1990.70
4) Dasar Psikopolitik Masyarakat
Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam masyarakat
mengenai

tingkat

penerimaan


(acceptance)

atau

tingkat

penolakan

(resistance) terhadap suatu perundang-undangan. Tindak pidana yang
dilakukan anak baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu akibat
dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam
bersinggungan dengan anak atau merupakan sebagai bagian dalam proses
interaksi anak dengan lingkungannya, di mana anak belum mampu secara
dewasa menyikapinya.71
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:72
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Nondiskriminasi:
d. Kepentingan terbaik bagi Anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. Proporsional;
70

Ibid, hal. 53
Ibid, hal. 54
72
Pasal 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
71

Universitas Sumatera Utara

34

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
j. Penghindaran pembalasan.
b. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Tujuan sistem peradilan pidana bagi anak menurut The Beijing Rules
dimuat pada Rule 5.1 Aims of Juvenile Justice, adalah mengutamakan
kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap
pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaankeadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya73.
Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Resolusi PBB 45/113
tanggal 14 Desember 1990, The United Nations for the Protection of Juvenile
Deprived of Liberty adalah sistem pengadilan bagi anak harus menjunjung tinggi

hak-hak anak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental
pada anak, serta hukuman penjara digunakan sebagai upaya terakhir.74
Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 dalam penjelasannya agar terwujud peradilan yang benar-benar
menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum.
2. Proses Peradilan Pidana Anak Di Indonesia
Prinsip tentang Perlindungan Anak terutama tentang prinsip non
diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk
hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan sehingga diperlukan penghargaan

73
74

Abintoro Prakoso, Op.cit, hal. 144
Ibid

Universitas Sumatera Utara

35

terhadap anak.75 Non diskriminasi (non discrimination), artinya semua hak yang
terkandung dalam Konvensi Hak-hak Anak harus diberlakukan kepada setiap
anak tanpa pembedaan apapun. Kepentingan terbaik bagi anak (the best interests
of the child), artinya dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang

dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, badan yudikatif, maka
kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan (survival and development),
artinya dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan
yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.76
Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:77
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Melakukan kegiatan rekreasional;
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir
dan dalam waktu yang paling singkat;
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. Tidak dipublikasikan identitasnya;
j. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh Anak;
k. Memperoleh advokasi sosial;
l. Memperoleh kehidupan pribadi;
m. Memperoleh aksesabilitas, terutama bagi anak cacat;
n. Memperoleh pendidikan;
75

DS. Dewi Fatahilla dan A.syukur, Mediasi Penal: penerapan restorative justice di
pengaadilan anak indonesia, Indie Pre Publishing, Depok, 2011, hal. 13
76
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Cet.ke-4 (Edisi Revisi),
Bandung, 2013, hal. 130-131
77
Pasal 3 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Universitas Sumatera Utara

36

o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Setiap tingkatan peradilan wajib melaksanakan proses diversi baik itu
penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan.78 Apabila proses
diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak
dilaksanakan, maka proses peradilan pidana Anak dilanjutkan untuk setiap
tingkatannya.79
a. Tahap Penyidikan
Proses penyidikan mengandung arti serangkaian tindakan yang dilakukan
pejabat penyidik sesuai dengan cara dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak
pidana yang terjadi, serta sekaligus menemukan tersangka atau pelaku tindak
pidananya.80 Artinya bahwa penyidikan dalam perkara tindak pidana anak
merupakan kegiatan penyidik anak untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana yang dilakukan anak. 81
Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik Anak yang
ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian RI (KAPOLRI) atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh KAPOLRI. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai
Penyidik Anak:
1. Telah berpengalaman sebagai Penyidik;

78

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak
79

Pasal 13 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 109
81
M. Nasir Djamil, Op.cit, hal. 155
80

Universitas Sumatera Utara

37

2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.82 Apabila belum
ada Penyidik Anak, maka penyidikan terhadap Anak dilakukan oleh
penyidik untuk orang dewasa.83
Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing
Kemasyarakatan84 setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan dalam
melakukan penyidikan terhadap perkara anak. Penyidik dapat meminta
pertimbangan atau saran dalam hal dianggap perlu, dari ahli pendidikan, psikolog,
psikiater, tokoh agama, pekerja sosial profesional85 atau tenaga kesejahteraan
sosial86, dan tenaga ahli lainnya. Penyidik wajib meminta laporan sosial dari
Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak
Korban dan Anak Saksi. Hasil penelitian kemasyarakatan wajib diserahkan oleh
Bapas kepada penyidik dalam waktu paling lama 3x24 (tiga kali dua puluh empat)
jam setelah permintaan penyidik diterima.87

82

Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 173
Ibid, hal. 174
84
Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang
melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan
terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana lihat dalam: Pasal 1 angka 13 UndangUndang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
85
Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah
maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial yang diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas
pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak lihat dalam: Pasal 1 angka 14 Undang-Undang
No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
86
Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara
professional unuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau
seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup
kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak lihat dalam: Pasal 1 angka 15 Undang-Undang
No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
87
Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
83

Universitas Sumatera Utara

38

Penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan
paling lama 24 (dua puluh empat) jam yang dapat ditempatkan di dalam ruang
pelayanan khusus anak atau dititipkan di LPKS. Penahanan anak tidak boleh
dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali/lembaga
bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak
barang bukti dan atau tidak akan mengulangi tindak pidana kecuali anak tersebut
telah berumur 14 (empat belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana
dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau lebih.88
Adapun pelanggaran yang sering terjadi terhadap hak-hak anak dalam
proses hukum di tingkat kepolisian seperti, proses penangkapan tidak dilengkapi
surat penangkapan, tidak ada surat pemberitahuan ke pihak keluarga anak, proses
pemeriksaan (interogasi) dengan kekerasan fisik atau mental anak (pemukulan,
membentak, pemaksaan untuk mengakui dan lain-lain).89
Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari setelah penyidikan dimulai dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30
(tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Proses diversi berhasil mencapai
kesepakatan penyidik menyampaikan berita acara diversi kepada ketua pengadilan
negeri untuk dibuat penetapan, apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan
penyidikan dan melimpahkan perkara penuntut umum dengan melampirkan berita
acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.90

88

Pasal 30 dan Pasal 32 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
89
Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,
Op.cit, hal. 144
90
Pasal 29 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Universitas Sumatera Utara

39

b. Tahap Penuntutan
Definisi penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan cara yang
diatur di dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim dalam persidangan.91 Penuntutan dalam acara pidana anak
mengandung pengertian tindakan penuntut umum anak untuk melimpahkan
perkara anak ke pengadilan anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim anak dalam persidangan anak.
Penuntutan terhadap Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk
oleh Jaksa Agung. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum Anak:
1. Telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum;
2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.92 Apabila belum
ada Penuntut Umum Anak, maka penuntutan terhadap Anak dilakukan
oleh Penuntut Umum bagi orang dewasa.93
Pada tahap penuntutan tindak pidana yang sering dilakukan penuntut yaitu
lewatnya masa penahanan terhadap anak.94 Sama halnya dengan tahap penyidikan,
setelah

menerima

berkas

dari

penyidik,

penuntut

umum

anak

wajib

mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara
dari penyidik dan diversi dilaksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Proses
91

Pasal 1 butir 7 KUHAP
Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 174
93
Ibid
94
Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,
Op.cit, hal. 144
92

Universitas Sumatera Utara

40

diversi berhasil mencapai kesepakatan, penuntut umum menyampaikan berita
acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk
dibuat penetapan dan apabila dalam hal diversi gagal, penuntut umum wajib
menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan
dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.95
c. Tahap Pemeriksaan di Pengadilan Anak
Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh
Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau
Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. 96 Syarat
untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak:
1. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum;
2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. Apabila belum
ada Hakim Anak, maka pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh
hakim bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.97
Pada tahap persidangan hakim tidak mempertimbangkan hasil penelitian
masyarakat (litmas) yang dibuat oleh Bapas. Hakim melaksanakan persidangan
tanpa dihadiri penasihat hukum anak, tidak meminta tanggapan orang tua anak
dalam proses memutuskan perkara anak dalam persidangan.98

95

Pasal 42 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 174
97
Ibid, hal. 175
98
Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,
Op.cit, hal. 144
96

Universitas Sumatera Utara

41

Pada proses pemeriksaan di pengadilan, ketua pengadilan wajib
menetapkan hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara anak paling lama
3 (tiga) hari setelah menerima berkas dari Penuntut Umum. Hakim wajib
mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua
pengadilan negeri sebagai hakim, diversi sebagaimana dimaksud dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari. Proses diversi dapat dilaksanakan di ruang
mediasi pengadilan negeri. Proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, hakim
menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua
pengadilan negeri untuk dibuat penetapannya, apabila proses diversi tidak
menghasilkan kesepakatan maka perkara akan tetap dilanjutkan ke persidangan.99
Persidangan anak dilakukan di dalam ruang sidang khusus anak 100 dalam
sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan oleh
hakim.101 Anak harus didampingi oleh orang tua atau wali, advokat atau pemberi
bantuan hukum serta pembimbing kemasyarakatan dalam persidangan sama
halnya juga terhadap anak korban atau anak saksi. Pemeriksaan terhadap anak
korban atau anak saksi dalam persidangan tidak diikuti oleh Anak (pelaku).
Hakim juga memberi kesempatan kepada orang tua atau wali serta pendamping
Anak untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak, dan dalam hal
tertentu anak korban diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang
perkara yang bersangkutan. Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian

99

Pasal 52 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

100

Anak
101

Pasal 54 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Universitas Sumatera Utara

42

kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan
putusan.102
Laporan penelitian kemasyarakatan berisi:103
1. Data pribadi Anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial;
2. Latar belakang dilakukannya tindak pidana;
3. Keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap
tubuh atau nyawa;
4. Hal lain yang dianggap perlu;
5. Berita acara diversi; dan
6. Kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun setelah diberlakukannya undang-undang ini, agar:104
1. Setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik Anak;
2. Setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum Anak;
3. Setiap pengadilan wajib memiliki Hakim Anak;
4. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum wajib membangun Bapas105 di kabupaten/kota;
5. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan

102

Pasal 55, pasal 58, dan pasal 60 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
103
Pasal 57 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
104
M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 185
105
Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis
pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan lihat dalam: Pasal 1 angka 24 Undang-Undang No.11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Universitas Sumatera Utara

43

6. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
sosial wajib membangun Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial.

B. Sejarah Perkembangan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Indonesia telah meratifikasi Convention on The Rights of The Child atau
Konvensi Hak-hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak, oleh karena itu Indonesia telah
terikat baik secara yuridis, politis, maupun moral untuk mengimplementasikan
konvensi tersebut.106 Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan
perlindungan terhadap anak. Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak
salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus adalah anak, anak yang
memerlukan perlindungan khusus diantaranya anak yang berkonflik dengan
hukum.
Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan oleh
anak dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal. Diversi dilakukan
untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang win win solution. Konsep
diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap
pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak
menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Dalam hal ini mekanisme peradilan
akan memberikan stigma terhadap pelaku atas tindakan yang dilakukannnya,

106

Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 129

Universitas Sumatera Utara

44

sehingga lebih baik untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana
konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan pidana.107
Diversi atau diversion pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada
laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana
Australia (President Crime Commission) di Amerka Serikat pada tahun 1960.
Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk
seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan
anak (children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan
pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police
cautioning).108

Tahun 1970 dua bentuk besar diversi yang ada di Australia difokuskan
bukan untuk membuat diversi kepada sebuah program alternatif, melainkan
diversi untuk mengeluarkan sistem peradilan. Satu hal utama dari bentuk ini yaitu
sikap kehati-hatian dari polisi, dimana anak muda yang telah ditangani polisi
hanya diberikan peringatan lisan dan tertulis, setelah itu anak akan dilepas dan
merupakan akhir dari permasalahan terkecuali kalau anak tersebut melakukan
pelanggaran selanjutnya (mengurangi) maka akan dilakukan proses lanjutan.
Bentuk kedua yang dilaksanakan di Australia bagian selatan tahun 1964 dan
Australia bagian barat tahun 1972 melibatkan sebuah pertemuan pelaku anak dan
orangtuanya dengan polisi

dan sebuah pekerja sosial Negara. Tujuan dari

pertemuan tersebut merupakan diversi sebelum masuk ke peradilan formal.

107

Randall G. Shelden, Detention Diversion Advocacy: An Evaluation, Washington DC:
US Departement of Justice, 1997, hal.1 dikutip dari: Marlina, Hukum Penitensier, Op.cit, hal.73
108
Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,
Op.cit, hal. 10

Universitas Sumatera Utara

45

Pertemuan dilakukan dalam suasana relatif informal untuk memberikan
peringatan dan konseling.109
Menurut catatan sejarah di Negara Inggris polisi telah lama melakukan
diversi dan mengalihkan anak kepada proses non-formal seperti pada kasus
penanganan terhadap anak-anak yang mempergunakan barang mainan yang
membahayakan orang lain. Catatan pertama kali dilakukannya perlakuan khusus
untuk atas tindak pidananya adalah pada tahun 1883, yakni dengan melakukan
proses informal di luar peradilan. Pemisahan peradilan untuk anak-anak di bawah
umur diatur Children Act tahun 1908. Menurut aturan Children Act tahun 1908
polisi diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih
memperhatikan pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak
pidana. Pemberian perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini
termasuk program diversi.110
Pada abad ke 19, dibuatlah program besar mengenai gerakan keselamatan
anak yaitu untuk membuat peradilan yang bersifat informal, lebih memberi
perhatian

terhadap

masalah

perlindungan

anak

secara

alami

daripada

menitikberatkan sifat pelanggaran yang dilakukannya. Selain itu untuk
memindahkan tanggung jawab memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan
terbaik untuk anak daripada keadilan terhadap pribadi atau memberikan
kekuasaan pada peradilan untuk menyatakan anak telah bersalah.111

109

Ibid
Ibid, hal. 24
111
Anthony M Platt. (1977). The Child Savers: The Invention of Delinquency. Chicago:
The University of Chicago Press. Second edition. Enlarged, hal. 139-145 dikutip dari: Marlina,
Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Op.cit, hal. 25
110

Universitas Sumatera Utara

46

Di Inggris perkembangan pelaksanaan diversi terhadap anak terus
dilaksanakan sampai akhirnya tercatat akhir abad ke-19 yaitu Negara Inggris yang
merupakan Negara yang paling banyak melakukan diversi terhadap anak dengan
menggunakan peradilan khusus untuk anak atau pengadilan anak. 112 Konsep
Diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap
pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikan.113
Sebelum lahirnya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11
Tahun 2012, pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum awalnya didasari
kewenangan diskresi. Menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan
mengambil

keputusan

dalam setiap

situasi

yang dihadapinya

menurut

pendapatnya sendiri.114 Diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum
yang menangani kasus pelaku tindak pidana untuk mengambil tindakan
meneruskan perkara atau menghentikan perkara.115
Di Indonesia, istilah diversi pernah dimunculkan dalam perumusan hasil
seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di dalam perumusan
hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati, antara lain “Diversi”, yaitu
kemungkinan

hakim

menghentikan

atau

mengalihkan/tidak

meneruskan

pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan

112

Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,
Op.cit, hal. 25
113
Marlina, Hukum Penitensier , Op.cit, hal. 73
114
JCT Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 38
115
Marlina, Disertasi Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia , hal. 137

Universitas Sumatera Utara

47

di muka sidang.116 Ide diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan
penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak konvesional, ke arah
penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide diversi
dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek
penyelenggaraan peradilan anak. (“persisten delinquent is the result of treating
first-offenders ash they were become persistently delinquent. Juvenile justice

system processing therefore does more harm than good.)117

C. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Diversi
1. Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 1 angka 7 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Secara
konseptual, diversi adalah suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan
dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial. Diversi juga bermakna
suatu upaya untuk mengalihkan anak dari proses yustisial menuju proses nonyustisial. Upaya untuk mengalihkan proses peradilan (pidana) anak menuju proses
non-peradilan didasarkan atas pertimbangan, bahwa keterlibatan anak dalam
proses peradilan pada dasarnya telah melahirkan stigmatisasi.118

116

Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal.

201
117

Paulus Hadisoeprapto, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa
Datang, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hal. 230
118
Paulus Hadisoeprapto, Juvenile Deliquency (Pemahaman dan Penanggulangannya) ,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 111 dikutip dari buku: Kusno Adi, Diversi Tindak Pidana
Narkotika Anak, Op.cit, hal. 122

Universitas Sumatera Utara

48

Pengalihan proses yustisial ke proses non-yustisial dalam penyelesaian
perkara anak mempunyai urgensi dan relevansi sebagai berikut:119
a. Proses penyelesaian yang bersifat non-yustisial terhadap anak akan
menghindarkan terjadinya kekerasan terpola dan sistematis, khususnya
kekerasan psikologis terhadap anak oleh aparat penegak hukum.
Terjadinya kekerasan terpola dan sistematis terhadap anak dalam proses
pemeriksaan akan menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi anak.
Oleh karenanya, penyelesaian yang bersifat non-yustisial melalui
mekanisme diversi terhadap anak justru akan menghindarkan anak dari
dampak negatif karena terjadinya kontak antara anak dengan aparat
penegak hukum dalam proses peradilan.
b. Melalui mekanisme diversi anak tetap diberikan peluang untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, tetapi melalui mekanisme yang
lebih elegan menurut perspektif anak. Penyelesaian secara non-yustisial
tidak dimaksudkan untuk membebaskan anak dari kemungkinan adanya
pertanggungjawaban anak terhadap segala akibat perbuatannya. Oleh
karenanya, melalui mekanisme diversi akan diperoleh keuntungan ganda.
Di satu sisi anak terhindar dari berbagai dampak negatif akibat kontak
dengan aparat penegak hukum, sementara di sisi lain anak tetap dapat
mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya tanpa harus terjadi
tekanan terhadap mental anak.

119

Kusno Adi, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Op.cit , hal. 123-124

Universitas Sumatera Utara

49

c. Mekanisme diversi dapat dianggap sebagai mekanisme koreksi terhadap
penyelenggaraan peradilan terhadap anak yang berlangsung selama ini.
Mekanisme formal yang ditonjolkan dalam proses peradilan pidana
termasuk terhadap anak sering menimbulkan dampak negatif yang
demikian kompleks, sehingga menjadi faktor kriminogen yang sangat
potensial terhadap tindak pidana anak.
d. Sebagai pengalihan proses yustisial ke proses non yustisial, diversi
berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan sosial kepada pelaku
kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban yang membutuhkan
berbagai layanan seperti, medis, psikologi, rohani. Oleh karena sifatnya
yang demikian, maka diversi hakekatnya merupakan upaya untuk
menghindarkan anak dari kemungkinan penjatuhan pidana. Dengan
demikian, diversi juga merupakan proses depenalisasi dan sekaligus
dekriminalisasi terhadap pelaku anak.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus seseorang, misalnya
seorang anak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan
diversi pada kasus seorang anak antara lain adalah menghindarkan proses
penahanan terhadap anak dan pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong
untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.120 Dalam pasal 6 UU SPPA, diversi
memliki tujuan sebagai berikut:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

120

Paulus Hadisuprapto, Op.Cit, hal. 19

Universitas Sumatera Utara

50

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Secara teoritis, penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi akan
memberikan berbagai manfaat sebagai berikut:121
a. Memperbaiki kondisi anak demi masa depannya;
b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka perlindungan anak;
c. Meningkatkan peran dan kesadaran orang tua dan lingkungan keluarga
anak;
d. Mengurangi beban kerja pengadilan.
Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri. Kata “wajib diupayakan”
mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut, dan
juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi bisa
dilaksanakan. Kewajiban mengupayakan diversi dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun
dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, sebagaimana yang telah diatur
dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana
yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan
maka tidak wajib diupayakan diversi. Hal ini memang penting mengingat kalau

121

Masguntur Laupe, Pengadilan Anak dan Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang Pengadilan
Anak/Juvenile Justice di Hotel Intercontinental Mid Plaza, Jakarta, tanggal 11 Desember 2003,
hal. 11 dikutip dari buku: Kusno Adi, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Op.cit , hal. 123

Universitas Sumatera Utara

51

ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindakan pidana
berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya anak pernah melakukan tindak
pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang
diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti
bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab
kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindakan pidana.
Oleh karena itu, upaya diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib diupayakan.122
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orangtua/walinya,

korban

dan/atau

orangtua/walinya,

Pembimbing

Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan
restoratif.123
Tugas Pembimbing Kemasyarakatan menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 adalah:124
a. Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi,
melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap
Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan termasuk
kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan;
b. Membuat

laporan

penelitian

kemasyarakatan

untuk

kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di
dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS125 dan LPKA;

122
123

M. Nasir Djamil, Op.cit. hal. 139
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak
124

Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 47

Universitas Sumatera Utara

52

c. Menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di
LPKA126;
d. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai
tindakan; dan
e. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap
Anak yang memperoleh asimilasi127, pembebasan bersyarat, cuti
menjelang bebas, dan cuti bersyarat.
Selain itu juga, dalam hal diperlukan, musyawarah tersebut juga dapat
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.128 Menurut Pasal 8
ayat (3) UU SPPA, proses diversi wajib memperhatikan:
a. Kepentingan korban;
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. Penghindaran stigma negatif;
d. Penghindaran pembalasan;
e. Keharmonisan masyarakat; dan
f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pada proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat baik penyidik,
penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan
125

Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah
tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung lihat dalam: Pasal 1 angka 21
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
126
Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga
atau tempat Anak menjalani masa pidananya lihat dalam: Pasal 1 angka 20 Undang-Undang No.11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
127
128

Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

Universitas Sumatera Utara

53

kategori tindak pidana, umur Anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas
dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.129 Pasal 9 ayat (2) UU SPPA,
kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga
anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya. Hal ini mengindikasikan
bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya dalam proses diversi, agar
proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai dengan keadilan restoratif.
Kesepakatan diversi tersebut dapat dikecualikan untuk tindak pidana berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, dan nilai kerugian
korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.130
Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain dapat berupa:131
a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. Penyerahan kembali pada orang tua/Wali;
c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. Pelayanan masyarakat.
Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi.
Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau tidak dilaksanakan,
maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.132
Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian

129

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

130

Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

131

Pasal 11 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 13 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak
Anak
132

Universitas Sumatera Utara

54

korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat dapat dilakukan
oleh

penyidik

Kemasyarakatan,

bersama
serta

pelaku

dapat

dan/atau

melibatkan

keluarganya,

tokoh

masyarakat

Pembimbing
dan

dapat

berbentuk:133
a. Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. Rehabilitasi medis dan psikososial;
c. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS134 paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e. Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
2. Menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 (Dua Belas) Tahun
Menurut pasal 1 angka 6 PP No. 65 Tahun 2015, diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana, yang bertujuan:135
a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dan
133

Pasal 10 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS
adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan
sosial bagi Anak lihat dalam: Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
135
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun
134

Universitas Sumatera Utara

55

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib mengupayakan Diversi
dalam pemeriksaan perkara Anak. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah
dengan melibatkan Anak dan/atau orangtua/walinya, korban atau Anak korban
dan/atau orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial
profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
Proses diversi wajib memperhatikan:136
a. Kepentingan korban;
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. Penghindaran stigma negatif;
d. Penghindaran pembalasan;
e. Keharmonisan masyarakat; dan
f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Jika proses diversi tidak berhasil proses peradilan pidana Anak
dilanjutkan. Proses diversi dikatakan tidak berhasil jika proses tidak menghasilkan
kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

136

Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

Universitas Sumatera Utara