Perilaku Remaja Tentang Pencegahan Infeksi Menular Seksual (Ims) Di Sma Prayatna Medan Tahun 2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Infeksi menular seksual adalah penyakit yang penularannya terutama
melalui hubungan seksual (Daili, 2011). Tempat terjadinya penyakit tersebut tidak
semata-mata pada alat kelamin saja, tetapi dapat terjadi di berbagai tempat di luar
alat kelamin. Dulu penyakit ini dikenal dengan nama “Veneral Disease ”, yang
artinya penyakit dewi cinta menurut versi Yunani. Yang tergolong penyakit ini
antara lain, sifilis, gonore, ulkus mola, limpagranuloma, venerum, granuloma
inguinela (Manuaba, 2009).

WHO (World Health Organization ) memperkirakan pada tahun 2008
terdapat 340 juta kasus baru IMS (gonore, infeksi chalmidya, siflis, dan
trikomonas)

baru

setiap

tahunnya,


sedangkan

jumlah

infeksi

human

immunodeffisiency virus (HIV) saat ini lebih dari 33,6 juta kasus (Daili, 2011).
Jones (2005), mengatakan dalam 20 tahun terakhir terdapat peningkatan
jumlah remaja putri yang berhubungan seks pranikah seperti di Inggris, Amerika
Serikat, Kanada, dan Australia. Sekitar 17% remaja putri berhubungan seks
pranikah sebelum usia 16 tahun dan ketika usia 19 tahun, tiga perempat remaja
putri satu kali melakukan seks pranikah ( Damanik, 2012).
Sebuah survey dilakukan di Youth Risk Behavior Survey (YRBS) secara
Nasional di Amerika Serikat pada tahun 2006 terdapat sebanyak 47,8% pelajar
yang duduk di bangku SMP telah melakukan hubungan seks pranikah, dan 35%
pelajar SMA telah aktif secara seksual. Menurut sebuah laporan, setiap tahun


telah terjadi 1,5 juta aborsi di Amerika serikat, ratusan ribu di negara-negara
Eropa dan lebih 2 juta kasus di kawasan Asia (Damanik, 2012).
Dalam sejarah dunia IMS sama sekali bukan merupakan masalah baru.
Sungguh merupakan hal yang tragis dalam kehidupan manusia, bahwa relasi fisik
yang paling intim dapat menimbulkan resiko penyakit menular seksual. Kontak
seksual yang paling alamiah sekalipun dapat memberi kesempatan pada
mikroorganisme untuk berpindah dari seorang keorang lain. Menurut Nancy
Alexander, yang dikutip oleh Hambali, setiap hari di seluruh dunia diperkirakan
terjadi lebih dari 100 juta hubungan seksual dan mengakibatkan sekitar 356.000
kasus Infeksi menular seksual (Yanti, 2010).
Di Indonesia, IMS yang paling banyak ditemukan adalah syphilis dan
gonorrhea. Prevalensi infeksi menular di Indonesia yakni kota Bandung sebanyak
37,4% untuk kasus gonorrhea, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%. Di Surabaya
prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8%, dan gonorrhea sebanyak
19,8%. Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia memiliki jumlah kasus
gonorrhea sebanyak 29,8%, syphilis 25,2% dan clhamydia 22,7%. Di Medan
angka kejadian syphilis terus meningkat setiap tahun. Peningkatan penyakit ini
terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4%, sedangkan pada tahun 2004 terus
menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005 menjadi
22,1% (Chiuman, 2009).

Menurut penelitian Silitonga (2010), tentang gambaran IMS di RSUP. H.
Adam Malik Medan Tahun 2010, menunjukkan bahwa jenis Infeksi Menular
Seksual (IMS) paling banyak adalah kondiloma akuminata dengan jumlah 20
orang (29,9%). Jenis infeksi menular seksual kedua adalah gonore dengan jumlah
19 orang (28,4%), yang diikuti oleh IMS jenis lainnya seperti moluscum

contangiosum, kandidiasis genetalis, dan lainnya sebanyak 18 orang (26,9%),
sifilis sebanyak 5 orang (7,5%), IGNS sebanyak 3 orang (4,5%) dan herpes
simplek sebanyak 2 orang (3%). Selain itu, kelompok usia yang paling sering
menderita IMS adalah kelompok usia 20-29 tahun dengan jumlah 15 orang
(22,4%), dan didapatkan jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki
yaitu sebanyak 33 orang (50,7%).
Kelompok yang tergolong beriresiko tinggi terkena infeksi menular
seksual, antara lain kelompok umur 20 – 34 tahun pada laki-laki dan 16 – 24
tahun pada perempuan. Remaja putri secara biologis tampak lebih mudah
terinfeksi IMS dibandingkan dengan wanita dewasa, hal ini dikarenakan secara
biologis sel-sel organ reproduksinya belum matang. Hubungan seksual pada
remaja meningkatkan kerentanan terhadap IMS ( Komisi Penanggulangan AIDS,
2007).
Remaja merupakan kelompok berisiko tinggi terkena IMS (Daili, dkk,

2011). Hal ini dikarenakan pada remaja terjadi perubahan-perubahan hormonal
yang dapat meningkatkan hasrat seksual, sehingga remaja membutuhkan
penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu (Mu’tadin, 2007). Tingkah laku
tersebut seperti perilaku-perilaku seksual yaitu berpegangan tangan, berciuman,
bercumbuan, dan berhubungan seksual.
Hasil penelitian di 12 kota besar di Indonesia termasuk Denpasar
menunjukkan 10 – 31% remaja yang belum menikah sudah melakukan hubungan
seksual. Pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi di Jakarta
mengungkapkan, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan seks bebas
semakin meningkat dari sekitar 5% pada tahun 1980_an, menjadi 20% pada
tahun 2000. Kisaran angka tersebut didapat dari berbagai penelitian di beberapa

kota besar di Indonesia. Kelompok remaja yang masuk ke dalam penelitian
tersebut umumnya masih bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau
Mahasiswa. Namun dalam beberapa kasus juga terjadi pada anak-anak di tingkat
Sekolah Menengah Pertama (SMP)( Chandra, 2012).
Sikap remaja sekarang cenderung permisif (serba boleh) terhadap perilaku
seks bebas. Melakukan seks tidak lagi dipandang tabu meski usia masih belasan
tahun. Mereka melakukan itu demi kesenangan, meski ada pula yang sebagian
melakukannya untuk beberapa lembar uang. Pada sebagian remaja yang menjadi

pelacur, kecenderungan menjual diri tidak dilakukan di lokalisasi pelacuran tetapi
dilakukan melalui koneksi antar teman sehingga sulit diperoleh data yang pasti
tentang jumlah remaja yang menjadi pelacur. Para remaja yang menjual diri
tersebut ada juga yang berstatus sebagai pelajar (Damanik, 2012).
Hasil monitoring sebuah Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan
(KKSP) bekerja sama dengan pusat pendidikan dan informasi diperkirakan 1500
remaja kota Medan terlibat bisnis pelacuran, baik karena kemauan sendiri maupun
paksaan. Dari jumlah tersebut yang tergolong profesional 45%, kemudian hanya
untuk kesenangan tidak dalam rangka profesionalisme sebanyak 20% dan yang
ikut-ikutan sebanyak 35% (Chiuman, 2009).
Dari data dan fakta yang telah ditemukan diatas, jelas bahwa IMS telah
menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah. Tingginya angka kejadian IMS
khususnya di kalangan remaja merupakan bukti rendahnya pengetahuan mereka
tentang pencegahan penyakit tersebut. Permasalahan ini muncul mungkin
dikarenakan kurangnya informasi-informasi mengenai IMS mereka dapatkan baik
di sekolah maupun di rumah. Tidak adanya pendidikan seks sejak usia mereka
dini dan tidak adanya mata pelajaran khusus dan memberikan informasi bagi

siswa dan siswi di SMA, juga menjadi penyebab tingginya IMS di kalangan
remaja.

Oleh karena itu, peneliti berkeinginan melakukan penelitian ini di SMA
yaitu dengan mengambil populasi siswa dan siswi SMA Prayatna Medan
dikarenakan peneliti mempertimbangkan lokasi SMA Prayatna yang berada di
pinggiran kota. Menurut Harlock (2002), tempat tinggal mempengaruhi
pengetahuan dari seseorang, dimana pengetahuan seseorang akan lebih baik jika
berada di perkotaan dari pada di pedesaan karena orang yang hidup atau tinggal di
kota akan mempunyai banyak kesempatan untuk melibatkan diri mereka ke dalam
kegiatan-kegiatan sosial maka wawasan sosial mereka juga akan lebih kuat, dan
lebih mudah mendapatkan informasi.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan dengan cara wawancara di SMA
Prayatna Medan, dari 20 siswa-siswi telah berpacaran, 10 siswa telah berciuman,
5 siswa pernah melakukan necking, 2 siswa telah pernah melakukan petting. Dan
ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan penelitian Usti fina yaitu
“Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri Tentang Free Sex Pada Remaja, dan
didapatkan hasil bahwa sekitar 65% remaja di SMA tersebut telah berpacaran, 30
% dari mereka mengaku sudah melakukan kissing, 20% necking, dan 5%
mengaku pernah melakukan petting. Bahkan ada yang telah melakukan hubungan
seksual. Dan mereka mengakui tidak melakukannya dengan pacar mereka.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan bagaimana

Perilaku Remaja Tentang Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) di SMA
Prayatna Medan Tahun 2015.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Perilaku Remaja tentang Pencegahan Infeksi Menular
Seksual (IMS) di SMA Prayatna Medan tahun 2015
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahui Karakteristik Remaja Di SMA Prayatna Medan Tahun
2015
2. Untuk Mengetahui Sumber Informasi Pendidikan Seks Di Sekolah
Tentang Pencegahan Infeksi Menular Seksual di SMA Prayatna Medan
Tahun 2015.
3. Untuk Mengetahui Sumber Informasi Dari Keluarga Tentang Pencegahan
Infeksi Menular Seksual di SMA Prayatna Medan Tahun 2015.
4. Untuk Mengetahui Sumber Informasi Dari Teman Tentang Pencegahan
Infeksi Menular Seksual di SMA Prayatna Medan Tahun 2015.
5. Untuk Mengetahui Tingkat Kategori Pengetahuan Remaja tentang
Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) di SMA Prayatna Medan
Tahun 2015.

6. Untuk Mengetahui Tingkat Kategori Sikap Remaja Tentang Pencegahan
Infeksi Menular Seksual (IMS) di SMA Prayatna Tahun 2015.
7. Untuk

Mengetahui

Tingkat

Kategori

Tindakan

Remaja

Tentang

Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) di SMA Prayatna Medan
Tahun 2015.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti merupakan salah satu aplikasi ilmu kesehatan masyarakat
yang dipelajari selama masa perkuliahan di FKM USU.
2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain untuk melaksanakan penelitian
lebih lanjut tentang pencegahan Infeksi Menular Seksual pada remaja.
3. Sebagai informasi bagi para siswa/i SMA prayatna tentang pencegahan
Infeksi Menular Seksual.