Studi Kualitatif Pencegahan Penyakit Infeksi Menular pada Komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

(1)

STUDI KUALITATIF PENCEGAHAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA KOMUNITAS WARIA DI KECAMATAN

PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2013

TESIS

Oleh

RIAMA SUSANTY MARPAUNG 117032233/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

QUALITATIVE STUDY ON THE PREVENTION FROM SEXUAL TRANSMITTED DISEASE IN HOMOSEXUAL COMMUNITY

IN PERBAUNGAN SUBDISTRICT, SERDANG BEDAGAI DISTRICT, IN 2013

THESIS

By

RIAMA SUSANTY MARPAUNG 117032233/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

STUDI KUALITATIF PENCEGAHAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA KOMUNITAS WARIA DI KECAMATAN

PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIAMA SUSANTY MARPAUNG 117032233/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : STUDI KUALITATIF PENCEGAHAN

PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA KOMUNITAS WARIA DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Riama Susanty Marpaung Nomor Induk Mahasiswa : 117032233

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Fikarwin Zuska)

Ketua Anggota

(Asfriyati, S.K.M, M.Kes)

Dekan


(5)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 07 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Dr. Fikarwin Zuska

Anggota : 1. Asfriyati, S.K.M, M.Kes

2. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H 3. Dra. Syahrifah, M.S


(6)

PERNYATAAN

STUDI KUALITATIF PENCEGAHAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA KOMUNITAS WARIA DI KECAMATAN

PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau terbukti oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014

Riama Susanty Marpaung 117032233/IKM


(7)

ABSTRAK

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang sebagian besar menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular dan dapat juga dengan kontak non seksual. Hubungan seks ini termasuk hubungan seks lewat liang senggama (vaginal), lewat mulut (oral/karaoke) atau lewat dubur (anal). Kontak non seksual dapat berupa transfusi darah, alat suntik yang tercemar atau melalui benda lain yang tercemar seperti handuk. Salah satu kelompok yang beresiko tinggi terjangkit IMS adalah waria.

Tujuan penelitian untuk mengetahui cara-cara pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) pada komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data ialah dengan wawancara dan observasi, dan metode analisis data dengan triangulasi. terhadap informan kunci dan pokok, observasi serta dokumentasi. Penganalisaan data dilakukan dalam teknik on going analisis yaitu analisis yang terjadi dilapangan berdasarkan data yang diperoleh

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan yang dimiliki oleh waria mengenai pencegahan IMS sudah cukup baik dan sudah memiliki sikap yang baik. Pengetahuan dan sikap yang baik mereka keluarkan dengan tindakan yang baik yaitu melakukan pemeriksaan IMS secara teratur ke puskesmas, tetapi perilaku seksual yang beresiko seperti anal dan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual masih belum dapat mereka hindari walaupun pengetahuan mereka sudah cukup baik mengenai pencegahan IMS.

Disarankan para waria agar tetap menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual baik dengan pelanggannya dan juga dengan pasangan tetapnya. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk tetap mempertahankan bantuan yng diberikan kepada waria agar kesehatan waria khususnya kesehatan reproduksi dapat terpelihara


(8)

ABSTRACT

IMS (Sexual Transmitted Infection) is an infection which mostly spreads through sexual intercourse in which the mate has been infected, but it can also be infected by non-sexual intercourse. This sexual intercourse is committed through vaginal, through mouth (oral/karaoke), or through anal. Non-sexual intercourse can also through blood transfusion, contaminated injection syringes, or through other contaminated objects like towels, One of the communities that take high risk of being infected by IMS is homosexuals (or transvestites).

The objective of the research was to find out the methods of preventing from IMS in the homosexual community in Perbaungan Subdistrict, Serdang Bedagai District. The research used qualitative method. The data were gathered by conducting interviews, observation, and documentation. The method of analyzing the data was by using triangulation on the key and the main informants. The data were analyzed by using on going analysis technique, the analysis on what occurred in the field, based on the gathered data.

The result of the research showed that the homosexuals had good knowledge and attitude in preventing from IMS. Their good knowledge and attitude were realized by doing good action, that it, by having the IMS examined regularly to puskesmas (public health center). However, their risky sexual behavior such as committing sexual intercourse through anal and committing it without using condoms was still done although their knowledge in how to prevent from IMS was good.

It is recommended that homosexuals use condoms in committing sexual intercourse with their customers and with their permanent mates. Health care providers should continuously help homosexuals so that they will be healthy, especially in the reproduction health.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul “Studi Kualitatif Pencegahan Penyakit Infeksi Menular pada Komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dan seluruh dosen dan pegawai di FKM USU.


(10)

4. Dr. Fikarwin Zuska selaku Pembimbing I dan Asfriyati, S.K.M, M.Kes selaku Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan saran dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

5. Prof. Dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H selaku penguji I dan Dra. Syahrifah, MS selaku penguji II yang telah bersedia memberikan masukan demi penyelesaian tesis ini dengan baik.

6. LSM SP2S dengan pimpinan Ibu Samsidah Barus dan Bosex selaku Ketua Pengurus Komuitas Waria “Cleopatra” Perbaungan Serdang Bedagai yang telah memberikan informasi kepada penulis.

7. Kepala Dinas Kesehatan Sedang Bedagai drg. Zaniyar, M.A.P yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara sampai selesai.

8. Kepala Puskesmas Pantai Cermin drg. Tatik Wulandari dan Klinik IMS/VCT Bahari yang dikoordinasi oleh Dr. M. Fahrial Siregar serta Mahzul Harahap, S.Kep yang telah memberikan bantuan selama penelitian.

9. Suamiku tercinta Pdt. Yudhi Simangunsong, S.Th yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis.

10. Abang-abangku tersayang Ir. Harmi Marpaung, M. Eng dan Drs. Harris Marpaung, SE yang telah memberikan bantuan moril dan materil kepada penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.


(11)

12. Rekan-rekan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi Angkatan 2011.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Segala kritik dan saran akan menjadi masukan yang berarti bagi penulis. Semoga tesis ini pada akhirnya memberikan manfaat bagi setiap pihak.

Medan, Juli 2014 Penulis,

Riama Susanty Marpaung 117032233/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Riama Susanty Marpaung dilahirkan pada tanggal 23 Maret 1975 di Medan. Anak Bungsu dari 6 (enam) bersaudara, dari pasangan Ayahhanda Alm. Kol. Purn. Dr. Hara Pardamean Marpaung, FICS dan Ibunda Alm. Emmi Nora Sagala. Penulis menikah dengan Pdt. Yudhi Simangunsong, S.Th.

Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1981-1987 di SD Kristen Immanuel II Medan, tahun 1987-1990 Pendidikan di SMP Negeri 1 Medan, tahun 1990-1993 Pendidikan di SMA Negeri 1 Medan, tahun 1993-2002 Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia di Medan dan tahun 2011 sampai sekarang pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Reproduksi di Universitas Sumatera Utara.

Sejak tahun 2003-2005 Dokter Fungsional di Puskesmas Dolok Merawan Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2005-2007 Kepala Puskesmas di Puskesmas Dolok Merawan, tahun 2007-2009 Kepala Puskesmas Sei Rampah, tahun April 2009-April 2010 Kepala Puskesmas Sialang Buah, 2009-April 2010-Februari 2011 Kepala Puskesmas Desa Pon, Februari-September 2011 Kepala Puskesmas Silinda, tahun 2011-sekarang Tugas Belajar di Universitas Sumatera Utara Fakultas Kesehatan Masyarakat.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Permasalahan ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Infeksi Menular Seksual ... 9

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual ... 9

2.1.2 Penyebab Infeksi Menular Seksual ... 11

2.1.3 Cara Penularan Infeksi Menular Seksual ... 12

2.1.4 Gejala Klinis dan Diagnosa Infeksi Menular Seksual ... 13

2.1.5 Komplikasi Infeksi Menular Seksual ... 14

2.1.6 Pencegahan Infeksi Menular Seksual ... 15

2.2 Bahaya dan Dampak Sosial terhadap Penderita Infeksi Manular Seksual ... 16

2.3 Upaya Pengendalian Infeksi Menular Seksual ... 18

2.4 Waria ... 20

2.4.1 Pengertian Waria ... 20

2.4.2 Pembagian Waria ... 22

2.4.3 Faktor-faktor Pendukung Terjadinya Waria ... 22

2.4.4 Ciri-ciri Waria ... 26

2.4.5 Budaya Waria ... 29

2.4.6 Penyakit Infeksi Menular Seksual di Kalangan Waria ... 31

2.4.7 Konsumen Seks Kaum Waria ... 34

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Jenis Penelitian ... 35

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 35


(14)

3.3 Informan Penelitian ... 36

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 37

3.5 Metode Analisis Data ... 39

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 41

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 41

4.2 Profil Waria ... 42

4.3 Komunitas Waria ... 46

4.4 Perilaku Seksual Para Waria ... 47

4.5 Pencegahan Penyakit Menular Seksual pada Waria ... 55

BAB 5. PEMBAHASAN ... 58

5.1 Hidup sebagai Waria ... 58

5.2 Perilaku Seksual yang Beresiko pada Waria ... 61

5.3 Pencegahan Penyakit Infeksi Menular pada Waria ... 66

5.4 Stigma Waria di Masyarakat ... 68

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

6.1 Kesimpulan ... 71

6.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Ijin Penelitian ... 78 2. Surat Selesai Penelitian ... 80


(16)

ABSTRAK

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang sebagian besar menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular dan dapat juga dengan kontak non seksual. Hubungan seks ini termasuk hubungan seks lewat liang senggama (vaginal), lewat mulut (oral/karaoke) atau lewat dubur (anal). Kontak non seksual dapat berupa transfusi darah, alat suntik yang tercemar atau melalui benda lain yang tercemar seperti handuk. Salah satu kelompok yang beresiko tinggi terjangkit IMS adalah waria.

Tujuan penelitian untuk mengetahui cara-cara pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) pada komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data ialah dengan wawancara dan observasi, dan metode analisis data dengan triangulasi. terhadap informan kunci dan pokok, observasi serta dokumentasi. Penganalisaan data dilakukan dalam teknik on going analisis yaitu analisis yang terjadi dilapangan berdasarkan data yang diperoleh

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan yang dimiliki oleh waria mengenai pencegahan IMS sudah cukup baik dan sudah memiliki sikap yang baik. Pengetahuan dan sikap yang baik mereka keluarkan dengan tindakan yang baik yaitu melakukan pemeriksaan IMS secara teratur ke puskesmas, tetapi perilaku seksual yang beresiko seperti anal dan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual masih belum dapat mereka hindari walaupun pengetahuan mereka sudah cukup baik mengenai pencegahan IMS.

Disarankan para waria agar tetap menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual baik dengan pelanggannya dan juga dengan pasangan tetapnya. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk tetap mempertahankan bantuan yng diberikan kepada waria agar kesehatan waria khususnya kesehatan reproduksi dapat terpelihara


(17)

ABSTRACT

IMS (Sexual Transmitted Infection) is an infection which mostly spreads through sexual intercourse in which the mate has been infected, but it can also be infected by non-sexual intercourse. This sexual intercourse is committed through vaginal, through mouth (oral/karaoke), or through anal. Non-sexual intercourse can also through blood transfusion, contaminated injection syringes, or through other contaminated objects like towels, One of the communities that take high risk of being infected by IMS is homosexuals (or transvestites).

The objective of the research was to find out the methods of preventing from IMS in the homosexual community in Perbaungan Subdistrict, Serdang Bedagai District. The research used qualitative method. The data were gathered by conducting interviews, observation, and documentation. The method of analyzing the data was by using triangulation on the key and the main informants. The data were analyzed by using on going analysis technique, the analysis on what occurred in the field, based on the gathered data.

The result of the research showed that the homosexuals had good knowledge and attitude in preventing from IMS. Their good knowledge and attitude were realized by doing good action, that it, by having the IMS examined regularly to puskesmas (public health center). However, their risky sexual behavior such as committing sexual intercourse through anal and committing it without using condoms was still done although their knowledge in how to prevent from IMS was good.

It is recommended that homosexuals use condoms in committing sexual intercourse with their customers and with their permanent mates. Health care providers should continuously help homosexuals so that they will be healthy, especially in the reproduction health.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sudah diketahui sejak dari zaman dahulu kala dan tetap ada sampai zaman sekarang. Penyakit infeksi menular seksual ini penyebarannya dapat dijumpai di seluruh dunia tanpa memandang kaya atau miskin, suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), dapat menyerang siapa saja penderitanya bisa perempuan ataupun lelaki, tua ataupun muda. Penyakit ini ada yang bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang sebagian besar menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular dan dapat juga dengan kontak non seksual. Hubungan seks ini termasuk hubungan seks lewat liang senggama (vaginal), lewat mulut (oral/karaoke) atau lewat dubur (anal). Kontak non seksual dapat berupa transfusi darah, alat suntik yang tercemar atau melalui benda lain yang tercemar seperti handuk (Djuanda, 2007). IMS sering juga disebut penyakit kelamin atau penyakit kotor. Namun itu hanya menunjuk pada penyakit yang ada di kelamin.

Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup menonjol pada sebagian besar wilayah dunia. Insiden kasus IMS diyakini tinggi di banyak negara.


(19)

Diperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru dari IMS yang dapat disembuhkan (sifilis, gonore, infeksi klamidia dan infeksi trikomonas) terjadi setiap tahunnya pada laki-laki dan perempuan usia 15-49 tahun. Secara epidemiologi penyakit ini tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika Latin dan Karibean. Jutaan IMS oleh virus juga terjadi setiap tahunnya, diantaranya ialah HIV, virus herpes, human papilloma virus, dan virus hepatitis B (WHO, 2007). Menurut WHO diperkirakan di seluruh dunia terdapat 333 juta kasus IMS baru setiap tahunnya dan sekitar 1 juta kasus terjadi setiap harinya.

Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi infeksi menular seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi antara tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan klamidia yang tinggi antara 20%-35%. Selain klamidia, sifilis maupun gonore, infeksi HIV/AIDS saat ini juga menjadi perhatian karena peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu (Jazan, 2003).

Jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es, yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia yang sebenarnya belum diketahui secara pasti. Berdasarkan data Dinkes Sumut jumlah kasus HIV pada tahun 2009 adalah 1096 kasus meningkat pada tahun 2012 yaitu 2189 kasus. Sementara kasus AIDS pada tahun 2009 yaitu 1553 kasus dan pada tahun 2012 ada 4241 kasus. Lebih dari itu, angka kematian karena AIDS pada tahun 2009


(20)

berjumlah 338 meningkat pada tahun 2012 menjadi 751. Mengenai Infeksi Menular Seksual (IMS), pada tahun 2009 berjumlah 1845 kasus naik pada tahun 2012 yaitu 4212 kasus (Depkes, 2013).

Infeksi Menular Seksual akan lebih berisiko apabila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, anal maupun oral. Siapapun yang pernah berperilaku seks seperti tersebut diatas maka akan dapat terkena IMS, walaupun mungkin cuma pernah berhubungan seksual satu kali saja (Mastura, 2000).

Menurut WHO (2008), penyakit Infeksi Menular Seksual juga merupakan penyebab infertilitas yang tersering, terutama pada wanita. Antara 10%-40% dari wanita yang menderita infeksi klamidial yang tidak tertangani akan berkembang menjadi pelvic inflammatory disease (penyakit radang panggul). Kegagalan dalam mendiagnosa dan memberikan pertolongan pengobatan pada stadium dini dapat menimbulkan komplikasi serius/berat dan berbagai gejala sisa lainnya, antara lain kemandulan, infeksi mata pada bayi yang dilahirkan, lahir muda, cacat dan lahir mati, kanker leher rahim dan memudahkan penularan HIV/AIDS yang dapat mengakibatkan kematian (Sjaiful, 2007).

Di samping itu keberadaan IMS akan mengakibatkan biaya pengobatan yang sangat besar. Selain itu peningkatan resistensi antimikroba terhadap beberapa kuman penyebab infeksi menular seksual telah menyebabkan beberapa rejimen pengobatan menjadi semakin tidak efektif (Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 2002).


(21)

Dewasa ini tidak dipungkiri bahwa cenderung terjadi tren pergaulan remaja yang mengarah ke pergaulan bebas yang ditandai perilaku seks pranikah yang kadang-kadang dengan pasangan yang berganti-ganti. Gaya hidup yang demikian sangat berisiko terjadinya penularan penyakit infeksi menular seksual.

Selain gaya hidup, Pekerja Seks Komersil (PSK) beresiko tinggi untuk terkena atau menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Apalagi dengan alasan komersil, mereka siap melakukan apa saja untuk kepuasan pelanggan sampai kepada perilaku seks yang tidak sehat, sehingga kelompok ini beresiko tinggi untuk terkena IMS (Kartono, 2007).

Kelompok Pekerja Seks Komersil yang beresiko tinggi untuk tertular IMS: 1. WPS (Wanita Pekerja Seks)

Wanita Pekerja Seks sering disebut pelacur atau kupu-kupu malam, yaitu perempuan yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja yang membutuhkan kepuasan hubungan seksual dengan pemberian bayaran (Pratomo, 2002).

2. Gigolo

Gigolo atau laki-laki pemuas nafsu perempuan yang butuh kenikmatan seksual dengan mendapat pembayaran (Pratomo, 2002). Menjadi teman selingkuh bagi wanita yang kesepian dan ingin mencoba seks berbeda dari suaminya. Itu mungkin pengertian dan definisi sederhana dari gigolo. Gigolo bisa disebut juga PSK pria atau pria/lelaki pelacur. Seiring perkembangannya,


(22)

ternyata gigolo tidak hanya memperuntukan dirinya untuk perempuan tapi juga untuk laki-laki penyuka sesama jenis.

3. Waria Penjaja Seks

Waria adalah pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita. Waria yang secara faktual berjenis kelamin laki-laki dan dalam dirinya terdapat jenis kelamin yang secara jasmani sempurna dan jelas, tetapi secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenisnya yakni wanita (Koeswinarno, 1996).

Pelacuran waria adalah sebuah mitos yang diwariskan oleh para pendahulu mereka. Disamping itu dunia pelacuran juga merupakan wadah seorang waria untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan setelah mereka merasa terbuang, sekaligus memperoleh pengalaman kewariaan yang sesungguhnya (Kemala, 1987). Sehingga walaupun waria memiliki pekerjaan menetap seperti di salon, mereka tidak bisa menghindarkan diri dari kehidupan malam. Secara kuantitatif, kasus-kasus penyakit infeksi menular seksual di kalangan waria lebih rentan daripada kelompok beresiko lainnya, seperti WPS dan gigolo. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melakukan hubungan seksual mereka masih belum memperhatikan dengan baik tentang kesehatan seksual. Pada umumnya mereka tidak mau mengenal teknologi penanggulangan penyakit kelamin. Banyak anggapan dari mereka yang menjadi mitos seksual, bahwa dengan melakukan relasi seks secara oral dan kemudian membuang air


(23)

mani setelah ejakulasi, maka berbagai kuman penyakit ikut pula terbuang bersama air ludah (Koeswinarno, 1996).

Dari ketiga kelompok resiko tinggi tertular penyakit infeksi menular seksual di atas, peneliti hanya mengadakan penelitian tentang waria saja. Fenomena waria termasuk perilaku seks, cara pencegahan penyakit infeksi menular seksual khususnya Gonorrhea dan Sifilis, serta apa saja yang akan dilakukan waria apabila telah terkena penyakit infeksi menular seksual. Penelitian akan dilakukan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Alasan pengambilan tempat penelitian adalah berdasarkan hasil laporan dari hasil pemeriksaan terhadap 17 waria, semua waria terkena penyakit Infeksi Menular Seksual pada bulan Januari 2013 (LSM SP2S, 2013) yang selama ini waria tersebut merupakan binaan dari LSM SP2S (Solidaritas Perempuan Pekerja Seks), dengan jumlah anggota komunitas waria yang tergabung dalam kelompok Cleopatra yang ada di Serdang Bedagai berjumlah 80 orang. Selain itu peneliti bekerja di Dinas Kesehatan Serdang Bedagai sehingga mendapat kemudahan akses dalam melakukan penelitian.

Di Serdang Bedagai, waria berkumpul dalam suatu organisasi kelompok dukungan sebaya (KDS). Organisasi waria ini adalah yang pertama sekali terbentuk di Sumatera Utara. Cleopatra adalah nama KDS dari kelompok Waria di Serdang Bedagai yang berada di Desa Kota Galuh Kecamatan Perbaungan yang diketuai oleh Bosek, terbentuk sejak tahun 2004 dan merupakan kelompok dampingan dari yayasan SP2S (Solidaritas Perempuan Pekerja Seks). Adapun anggota Cleopatra sebanyak 80 orang yang berada di Kec. Perbaungan saja. Nama kelompok komunitas GWL (Gay,


(24)

Waria dan Laki-laki suka lelaki) “Cleopatra“ dengan jumlah komunitas sebanyak 120 orang (80 orang waria dan 40 orang gay dan LSL), namun gay dan LSL masih lebih tertutup dibandingkan dengan waria.

Berdasarkan penjajakan di lapangan didapatkan data yang yang berasal dari klinik IMS/VCT Bahari Puskesmas Pantai Cermin bersama SP2S dan Cleopatra bahwa jumlah Waria yang terkena HIV/AIDS ada 3 orang dan semuanya telah meninggal dunia serta hasil bulan Januari 2013 yang ikut dalam pemeriksaan dan penapisan sebanyak 17 orang dengan hasil semuanya terkena penyakit infeksi menular seksual jenis condiloma. Selama Tahun 2013 data penderita yang berkunjung ke klinik IMS/VCT Bahari Puskesmas Pantai Cermin didapatkan sebanyak 27 orang terkena Gonorrhea (GO), 6 orang terkena Sipilis, dan sebanyak 283 orang yang ikut test HIV dan 4 orang yang hasilnya positif menderita HIV. Pada bulan Juli 2013 dilakukan pemeriksaan terhadap 6 orang waria dan seluruhya menderita IMS yang terdiri dari 5 orang yang terkena GO dan 1 orang terkena sifilis.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan penelitian adalah:

1. Mengapa masih tinggi angka kesakitan penyakit infeksi menular seksual di komunitas waria padahal tiap bulan mendapat suplai kondom dari SP2S dan ada penyuluhan dari Dinas Kesehatan Serdang Bedagai?


(25)

2. Bagaimana cara-cara pencegahan penyakit infeksi menular seksual yang dilakukan waria di komunitasnya?

3. Apa saja yang dilakukan seorang waria apabila dia telah terkena penyakit infeksi menular seksual?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui cara-cara pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) pada komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam menentukan kebijakan untuk pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS.

2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Serdang Bedagai dan lintas sektor dalam perencanaan program upaya pencegahan penyakit Infeksi menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Sebagai bahan pembelajaran pengetahuan, sikap dan tindakan bagi Waria untuk pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS.

3. Sebagai wahana dan kesempatan yang berharga bagi peneliti untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah khususnya bidang Kesehatan Reproduksi.

4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat dipakai sebagai bahan pustaka untuk penelitian lebih lanjut.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Menular Seksual

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual

Penyakit kelamin (veneral diseases) sudah lama dikenal dan beberapa diantaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Sexually Transmitted Disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS) (Hakim, 2009; Daili, 2009).

Perubahan istilah tersebut memberi dampak terhadap spektrum PMS yang semakin luas karena selain penyakit-penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit kelamin (VD) yaitu sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum dan granuloma inguinale juga termasuk Uretritis Non Gonore (UNG), kondiloma akuminata, herpes genitalis, kandidosis, trikomoniasis, bakterial vaginosis, hepatitis, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis dan lain-lain.

Sejak tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually Transmitted Infection), agar dapat menjangkau penderita asimtomatik (Hakim, 2009; Daili, 2009). Peningkatan insidens IMS dan penyebarannya di seluruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat.


(27)

Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan insiden IMS atau paling tidak insidennya relatif tetap. Namun demikian, di sebagian besar negara, insiden IMS relatif masih tinggi dan setiap tahun beberapa juta kasus baru beserta komplikasi medisnya antara lain kemandulan, kecacatan, gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker bahkan juga kematian memerlukan penanggulangan, sehingga hal ini akan meningkatkan biaya kesehatan.

Selain itu pola infeksi juga mengalami perubahan, misalnya infeksi klamidia, herpes genital dan kondiloma akuminata di beberapa negara cenderung meningkat dibanding uretritis, gonore dan sifilis. Beberapa penyakit infeksi sudah resisten terhadap antibiotik, misalnya munculnya galur multiresisten Neisseria gonorrhoeae, Haemophylus ducreyi dan Trichomonas vaginalis yang resisten terhadap metronidazole.

Perubahan pola infeksi maupun resistensi tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya (Hakim, 2009; Daili, 2009). Menurut Hakim (2009), dalam Daili (2009), perubahan pola distribusi maupun pola perilaku penyakit tersebut di atas tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

1. Faktor dasar: adanya penularan penyakit, berganti-ganti pasangan seksual.

2. Faktor medis: gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis, pengobatan modern, pengobatan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga risiko resistensi tinggi dan bila disalahgunakan akan meningkatkan risiko penyebaran infeksi.


(28)

3. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan kehamilan saja, berbeda dengan kondom yang juga dapat digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularan IMS.

4. Faktor sosial: mobilitas penduduk, prostitusi, waktu yang santai, kebebasan individu, ketidaktahuan.

Peningkatan insidens tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku risiko tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan seks rata-rata sebanyak 5 (lima) pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya, sedangkan penderita gonore melakukan hubungan seksual dengan rata-rata 4 (empat) pasangan seksual (Daili, 2009).

Menurut Hakim (2009) dalam Daili (2009), yang tergolong kelompok risiko tinggi adalah:

1. Usia: 20-34 tahun pada laki-laki, 16-24 tahun pada wanita, 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin.

2. Pelancong.

3. Pekerja seksual komersial atau wanita tuna susila. 4. Pecandu narkotik.

5. Homoseksual.

2.1.2 Penyebab Infeksi Menular Seksual

Menurut Handsfield (2001), infeksi menular seksual dapat diklasifikasikan menurut agen penyebabnya, yakni:


(29)

1. Dari golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, Haemophilus ducreyi, Calymmatobacterium granulomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, Salmonella sp., Shigella sp., Campylobacter sp., Streptococcus grup B., Mobiluncus sp.

2. Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan protozoa enterik lainnya.

3. Dari golongan virus, yakni Human Immunodeficiency Virus (tipe 1 dan2), Herpes Simplex Virus (tipe 1 dan 2), Human Papiloma Virus (banyak tipe), Cytomegalovirus, Epstein-Barr Virus, Molluscum Contagiosum virus, Hepatitis B, dan virus-virus enterik lainnya.

4. Dari golongan ekoparasit, yakni Pthirus pubis, Sarcoptes scabei.

Sedangkan menurut Daili (2009), selain disebabkan oleh agen-agen di atas, infeksi menular seksual juga dapat disebabkan oleh jamur, yakni jamur Candida albicans.

2.1.3 Cara Penularan Infeksi Menular Seksual

Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual (vaginal, oral, anal).


(30)

Penularan IMS juga dapat terjadi melalui darah dengan cara antara lain: 1. Transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV.

2. Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba.

3. Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja/tidak sengaja. 4. Menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril.

5. Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka dan 6. Menyisakan darah pada alat).

7. Dari ibu kepada bayi: saat hamil, saat melahirkan, dan saat menyusui.

Menurut Depkes RI (2006), penularan infeksi menular seksual dapat melalui beberapa cara, yakni bisa melalui hubungan seksual, berkaitan dengan prosedur medis (iatrogenik), dan bisa juga berasal dari infeksi endogen. Infeksi endogen adalah infeksi yang berasal dari pertumbuhan organisme yang berlebihan secara normal hidup di vagina dan juga ditularkan melalui hubungan seksual. Sedangkan infeksi menular seksual akibat iatrogenik disebabkan oleh prosedur-prosedur medis seperti pemasangan IUD (Intra Uterine Device), aborsi dan proses kelahiran bayi.

2.1.4 Gejala Klinis dan Diagnosa Infeksi Menular Seksual

Terkadang infeksi menular seksual tidak memberikan gejala, baik pria maupun wanita. Beberapa infeksi menular seksual baru menunjukkan gejalanya setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, maupun bertahun-tahun setelah terinfeksi (Lestari, 2008). Mayoritas infeksi menular seksual tidak memberikan gejala (asimtomatik) pada perempuan (60-70% dari infeksi gonore dan klamidia). Pada


(31)

perempuan, konsekuensi infeksi menular seksual sangat serius dan kadang-kadang bersifat fatal (misalnya kanker serviks, kehamilan ektopik dan sepsis).

Konsekuensi juga terjadi pada bayi yang dikandungnya, jika perempuan tersebut terinfeksi pada saat hamil (bayi lahir mati, kebutaan) (Kesrepro, 2007). Gejala infeksi menular seksual bisa berupa gatal dan adanya sekret disekitar alat kelamin, benjolan atau lecet disekitar alat kelamin, bengkak disekitar alat kelamin, buang air kecil yang lebih sering dari bisaanya, demam, lemah, kulit menguning dan rasa nyeri disekujur tubuh, kehilangan berat badan, diare, keringat malam, pada wanita bisa keluar darah diluar masa menstruasi, rasa panas seperti terbakar atau sakit saat buang air kecil, kemerahan disekitar alat kelamin, rasa sakit pada perut bagian bawah pada wanita diluar masa menstruasi, dan adanya bercak darah setelah berhubungan seksual (WHO, 2001). Diagnosis infeksi menular seksual dilakukan melalui proses anamnesa, diikuti pemeriksaan fisik dan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium (Daili, 2009).

2.1.5 Komplikasi Infeksi Menular Seksual

Infeksi menular seksual yang tidak ditangani dapat menyebabkan kemandulan, merusak penglihatan, otak dan hati, menyebabkan kanker leher rahim, menular pada bayi, rentan terhadap HIV dan beberapa infeksi menular seksual dapat menyebabkan kematian (Dinkes Surabaya, 2009).

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yaitu sel darah putih dan kemudian menimbulkan AIDS (Depkes 2005). Virus ini merupakan kelompok retrovirus yaitu


(32)

kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk mengkopi cetak komponen genetika diri di dalam komponen genetika sel-sel yang ditumpanginya (Dep.Kes. RI, 2005). AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit spesifik yang disebabkan oleh rusaknya sistem kekebalan tubuh oleh virus HIV. Gejala yang ditimbulkan pada penyakit HIV pada fase yang pertama adalah disebut window period dengan ciri belum ada gejala sama sekali, belum terdeteksi melalui tes dan sudah dapat menularkan HIV. Window period 3 bulan setelah terinfeksi HIV, pada masa ini virus HIV masih belum terdeteksi.

Kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman disebut konseling dalam VCT. Kegiatan yang dilakukan pada VCT antara lain konseling pre testing HIV, testing HIV, dan konseling post testing HIV. Tujuan adanya konseling VCT adalah mencegah penularan HIV, mengubah perilaku ODHA, pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi dan meningkatkan kualitas hidup ODHA.

2.1.6 Pencegahan Infeksi Menular Seksual

Menurut WHO (2006), pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan penggunaan kondom.


(33)

perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual dan HIV/AIDS.

Depkes RI (2006), langkah terbaik untuk mencegah infeksi menular seksual adalah menghindari kontak langsung dengan cara berikut:

1. Menunda kegiatan seks bagi remaja (abstinensia). 2. Menghindari bergonta-ganti pasangan seksual. 3. Memakai kondom dengan benar dan konsisten.

Selain pencegahan diatas, pencegahan infeksi menular seksual juga dapat dilakukan dengan mencegah masuknya transfusi darah yang belum diperiksa kebersihannya dari mikroorganisme penyebab infeksi menular seksual, berhati-hati dalam menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan darah segar, mencegah pemakaian alat-alat yang tembus kulit (jarum suntik, alat tindik) yang tidak steril, dan menjaga kebersihan alat reproduksi sehingga meminimalisir penularan (Dinkes Surabaya, 2009).

2.2 Bahaya dan Dampak Sosial terhadap Penderita Infeksi Menular Seksual Sepuluh tahun terakhir, IMS (terutama HIV/AIDS) meningkat jumlahnya dan sangat mempengaruhi kehidupan berjuta-juta orang di seluruh dunia. Pada beberapa orang dan rumah tangga, efek dari HIV/AIDS menjadi berlipat ganda. Selain meningkatkan ketidaknormalan dan kematian, juga mengakibatkan kelumpuhan total


(34)

yang dapat mengancam produktivitas disektor ekonomi keluarga maupun secara makro.

Secara garis besar, dampak sosial terhadap penderita IMS (Infeksi Menular Seksual) terutama HIV/AIDS terbagi beberapa kategori, yaitu: ekonomi dan demografi, produktivitas pembangunan dan produksi pertanian, penekanan pada sektor kesehatan, rumah tangga dan keluarga, anak-anak, wanita, diskriminasi HIV/AIDS serta dampak HIV/AIDS terhadap seseorang (Kader Karang Taruna Jatim, 2001).

1. Ekonomi dan Demografi

Dampak ekonomi dari IMS dan HIV/ AIDS dapat memberikan kerugian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung melalui kegiatan pencegahan, pengobatan dan penelitian. Sedangkan kerugian secara tidak langsung antara lain kehilangan harapan hidup yang diakibatkan oleh IMS/AIDS itu sendiri. Upaya untuk menilai kerugian yang ditimbulkan oleh IMS serta HIV/AIDS sangat luar bisaa, dimana hal ini perlu dilakukan seiring dengan kebutuhan akan pengukuran “value of person’s life” terhadap pendapatan seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa dampak dari IMS serta HIV/ AIDS adalah kehilangan pendapatan.

2. Produktivitas

Dampak dari IMS, HIV/AIDS terhadap tingkat produktivitas tidak hanya meningkatkan ketidaknormalan dan kematian, tetapi juga meningkatkan ketidakhadiran pekerja karena kesakitan. Pada beberapa kasus AIDS mengakibatkan


(35)

memberi atau langganan dari pusat pelayanan kesehatan tersebut. Selain itu IMS/AIDS dapat menurunkan produktivitas. Adanya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja yang terinfeksi HIV, tidak hanya akan meniadakan pendapatan pekerja tersebut, tetapi juga kesempatan berkontribusi di sektor ekonomi, diskriminasi di tempat kerja. Hal ini dilaporkan hampir terjadi di semua bagian.

3. Pembangunan dan Produksi Pertanian

Seperti juga disektor-sektor lain di atas, perusahaan dan sumber mata pencaharian di bidang pertanian juga terkena dampak dari terjadinya penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS, antara lain dapat mengakibatkan kemiskinan seseorang maupun masyarakat pertanian di seluruh sistem ekologi yang ada serta kerugian sosial yang tidak terukur dengan nilai.

2.3 Upaya Pengendalian Infeksi Menular Seksual

IMS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting untuk dikendalikan secara cepat dan tepat, karena mempunyai dampak selain pada aspek kesehatan juga politik dan sosial ekonomi. Kegagalan diagnosa dan terapi pada tahap dini mengakibatkan terjadinya komplikasi serius seperti infertilitas, kehamilan ektopik, disfungsi seksual, kematian janin, infeksi neonatus, bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), kecacatan bahkan kematian. Prinsip umum pengendalian IMS adalah bertujuan untuk memutus rantai penularan infeksi IMS dan mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya. Tujuan tersebut dapat dicapai bila ada


(36)

penyatuan semua sumber daya dan dana untuk kegiatan pengendalian IMS, termasuk HIV/AIDS (Kader Karang Taruna Jatim, 2001).

Upaya tersebut meliputi: 1. Upaya Promotif

a. Pendidikan seks yang tepat untuk mengikis ketidaktahuan tentang seksualitas dan IMS.

b. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama untuk tidak berhubungan seks selain pasangannya.

c. Menjaga keharmonisan hubungan suami istri tidak menyeleweng untuk meningkatkan ketahanan keluarga.

2. Upaya Preventif

a. Hindari hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan atau dengan pekerja seks komersial (PSK).

b. Bila merasa terkena IMS, hindari melakukan hubungan seksual.

c. Bila tidak terhindarkan, untuk mencegah penularan pergunakan kondom. d. Memberikan penyuluhan dan pemeriksaan rutin pada kelompok risiko tinggi. e. Penyuluhan dan pemeriksaan terhadap partner seksual penderita IMS.

3. Upaya Kuratif

a. Peningkatan kemampuan diagnosis dan pengobatan IMS yang tepat.

b. Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik simtomatik maupun asimtomatik.


(37)

4. Upaya Rehabilitatif

Memberikan perlakuan yang wajar terhadap penderita IMS, tidak mengucilkannya, terutama oleh keluarga dan partnernya, untuk mendukung kesembuhannya.

2.4 Waria

2.4.1 Pengertian Waria

Waria adalah seorang laki-laki yang memiliki fisik dan penampilan seperti wanita. Salviana (2005), menjelaskan waria adalah orang yang secara jasmaniah laki-laki, namun berpenampilan dan bertingkah laku menyerupai perempuan sedangkan orientasi seksnya homoseks (menyukai sesama jenis). Secara fisik waria, baik yang berperan sebagai laki-laki maupun perempuan adalah bagian dari homoseksual. Namun demikian, ada suatu hal yang membatasi secara jelas antara kaum homoseks dan kaum waria. Misalnya saja dalam berpakaian, seorang homoseks tidak merasa perlu berpenampilan sebagaimana perempuan. Sebaliknya, seorang waria merasa bahwa dirinya adalah perempuan, sehingga harus berpenampilan sebagaimana seorang perempuan.

Chaplin (dalam Roan, 1974), memberi defenisi homoseksual sebagai suatu hubungan antara dua jenis kelamin yang sama dan ketertarikan seksual pada jenis kelamin yang sama yang ditandai dengan adanya perilaku seksual yang overt, seperti masturbasi bersama cunilikasi, fellatio dan senggama seks. Cara yang bisaanya


(38)

dilakukan berhubungan seks adalah dengan secara oral, anal dan kontak tubuh (body contact).

Secara umum sifat- sifat homoseks dapat dibedakan atas: a. Homoseks Ego-Distonik

Homoseks jenis ego-distonik selalu merasa dirinya tidak serasi dengan gangguan yang dialaminya, sehingga selalu merasa risau dan menderita karenanya.

b. Homoseks Ego-Sintonik

Homoseks jenis ini merasa dirinya serasi dengan kelainan yang dialaminya, sehingga ia tidak bersedia merubah dirinya dan tetap mempertahankan dengan gigih kecenderungannya, merasa wajar saja dalam berkencan dengan sesama jenisnya.

c. Homo-Hetero-Seksual

Homoseks jenis ini tidak secara penuh bersifat pria atau wanita, diantara keduanya terdapat suatu daerah yang disebut daerah abu-abu (grey area). Jadi ada yang 100% bersifat pria dan kecenderungannya hanya pada wanita, ada pula yang 80% bersifat pria dan 20% bersifat wanita atau sebaliknya, bahkan ada yang 50% bersifat pria dan 50% bersifat wanita yang disebut dengan istilah biseksual

d. Maskulinitas-Femininitas


(39)

pengambil inisiatif dan segala perilaku yang dilakukan oleh pria dalam berhubungan seksual. Sebaliknya, homoseks yang berfungsi sebagai wanita akan lebih bersifat feminism, mereka menerima keadaan, kurang berinisiatif dalam berhubungan seks dan mengambil peran sebagai wanita.

Perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki adalah perumpamaan yang bisa digunakan oleh para waria untuk menggambarkan bagaimana keadaan mereka sesungguhnya (Buletin Kesehatan, 1999).

2.4.2 Pembagian Waria

Menurut Benny D. Setianto yang dikutip Salviana (2005), ada 4 (empat) kategori kewariaan:

1. Pria menyukai pria.

2. Kelompok yang secara permanen mendandani dirinya sebagai seorang perempuan.

3. Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktifitas sebagai perempuan.

4. Kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaan kelompok sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka.

2.4.3 Faktor-faktor Pendukung Terjadinya Waria

Puspitosari (2005), mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya waria adalah disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan genetik


(40)

seseorang. Hermaya (Nadia, 2005) berpendapat bahwa peta kelainan seksual dari lensa biologis dapat dibagi dalam keadaan 2 (dua) penggolongan besar yaitu :

1. Kelainan seksual akibat kromosom

Dari kelompok ini, seseorang ada yang berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Dimana pria dapat kelebihan kromosom X. Bisa XXY, XXYY atau bahkan XXXYY. Diduga penyebab kelainan ini karena tidak berpisahnya kromosom seks pada saat miosis (pembelahan sel) yang pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan usia seorang ibu berpengaruh terhadap proses reproduksi. Artinya semakin tua seorang ibu mengandung, maka akan semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut dan akibatnya semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan kromosom seks pada anaknya.

2. Kelainan seksual yang bukan karena kromosom.

Menurut Moertiko (Nadia, 2005), mengatakan bahwa dalam tinjauan medis, secara garis besar kelainan:

a. Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai sel wanita tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya mengandung sedikit sperma atau sama sekali mandul. Menginjak dewasa, payudaranya membesar sedangkan kumis dan jenggotnya berkurang.

b. Pseudofemale atau disebut juga sebagai wanita tersamar. Tubuhnya mengandung sel pria. Tetapi, pada pemeriksaan gonad (alat yang mengeluarkan hormon dalam embrio) alat seks yang dimiliki adalah


(41)

wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan payudaranya tetap kecil dan sering tidak bisa mengalami haid.

c. Female-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom sebagai wanita (XX) tetapi perkembangan fisiknya cenderung menjadi pria.

d. Male-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom pria (XY) namun perkembangan fisiknya cenderung wanita. Nadia (2005), menyatakan bahwa secara umum faktor-faktor terjadinya waria (transsexual) disebabkan karena:

1. Susunan kepribadian seseorang dan perkembangan kepribadiannya, sejak ia berada dalam kandungan hingga mereka dianggap menyimpang.

2. Menetapnya kebisaaan perilaku yang dianggap menyimpang.

3. Sikap, pandangan dan persepsi seseorang terhadap gejala penyimpangan perilaku.

4. Seberapa kuat perilaku menyimpang itu berada dalam dirinya dan dipertahankan.

5. Kehadiran perilaku menyimpang lainnya yang bisaanya ada secara paralel. Menurut Tjahjono (1995), mengatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transsexual yaitu:

1. Anak laki-laki yang dibesarkan tanpa ayah atau dibesarkan tanpa kehadiran ayah selama periode waktu yang panjang menunjukkan minat-minat, sikap-sikap dan perilaku feminin.


(42)

2. Hubungan yang terlalu dekat antara anak dengan orangtua yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Anak dan orangtua cenderung memiliki kontak yang sangat intim baik secara fisik maupun secara psikis, dan orangtua sering melaporkan adanya suatu hubungan “yang tidak dapat dipisahkan”. Dengan demikian anak hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengidentifikasi orangtua yang sama dengan jenis kelaminnya dan kurang mengembangkan perilaku-perilaku sesuai dengan peran jenisnya.

3. Beberapa orangtua, menginginkan anak dengan jenis kelamin yang lain, sehingga berusaha menjadikan anak perempuan bersikap seperti laki-laki yang tidak pernah dimilikinya atau sebaliknya.

4. Seorang ibu yang membenci dan iri terhadap kejantanan bisa membentuk perilaku yang kurang jantan pada anak laki-lakinya. Ibu mungkin mengasosiasikan maskulinitas dengan kekerasan fisik dan agresifitas, penyalahgunaan seksual dan kekasaran. Ia lebih suka anak laki-lakinya lembut.

5. Pengaruh-pengaruh genetik atau hormonal. Dari perspektif medis, pada waria ini terdapat kemungkinan disebabkan oleh presdisposisi hormonal, hormon faktor-faktor endokrin (kelenjar) konstitusi pembawaan dan beberapa diantaranya basis biologis pada masa prenatal atau masa didalam kandungan (Nadia, 2005).


(43)

1. Faktor biologis, faktor biologis merupakan peran yang dapat menentukan identitas seseorang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Goy tahun 1970 menyatakan bahwa tingkah laku maskulin dapat bertambah pada perempuan

2. Pengalaman pengetahuan sosial, seorang anak dapat terbuka dengan bermacam-macam pengalaman yang mendorong tingkah laku dalam sebuah pola secara tradisional yang berhubungan dengan jenis kelamin. Anak dapat mengembangkan sebuah keakraban, memperkenalkan hubungan dengan orang tua pada jenis kelamin yang berbeda sehingga dapat diperkuat oleh reaksi anak pada masa dewasa.

tanggal 06 Oktober 2009, 23:22:42.

2.4.4 Ciri-ciri Waria

Waria dianggap memiliki Gangguan Identitas Jender (Gender Identity Disorder), transeksual, memiliki krakteristik sebagai berikut:

1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis. 2. Pada anak-anak, terdapat empat atau labih dari cirri, yaitu:

a. Berulang kali menyatakan keinginan atau memaksakan diri untuk menjadi lawan jenis.


(44)

c. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau berfantasi menjadi lawan jenis terus-menerus.

d. Lebih suka melakukan permainan lawan jenis.

e. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis.

3. Pada remaja dan orang dewasa, simton-simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, kayakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis. 4. Rasa tidak nyaman yang terus menerus denganjenis kelamin biologisnya atau

rasa terasing dari peran jender jenis kelamin tersebut.

a. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal diantaranya, pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya wakti, tidak menyukai permainan sterotip anak laki-laki. Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan cara duduk, yakni bahwa penis akan tumbuh, merasa tidak suka dengan payudara yang besar dan mentruasi, merasa benci dan tidak suka terhadap perempuan yang konvensional.

b. Pada anak remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal diantaranya, keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormone atau operasi, yakni bahwa dia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah.


(45)

6. Menyebabkan distress dalam fungsi sosial dan pekerjaan (Davidson, Neale, & Kring, 2010).

Menurut Maslim (2002), seseorang dapat dikatakan sebagai seorang waria jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Identitas transeksual harus sudah menetap selama minimal 2 (dua) tahun dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenis, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom.

2. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenis, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya.

3. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.

Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis, menurut Tjahjono (1995), yaitu:

1. Individu enampilkan identitas lawan jenis secara berkelanjutan. 2. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenis. 3. Minat-minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenis. 4. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya.

5. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ia ditolak di lingkungannya.


(46)

2.4.5 Budaya Waria

Agak sulit mencari titik pangkal kapan dan dimana kebudayaan waria mulai muncul, sejarah belum pernah mencatat secara pasti. Jika dewasa ini mulai ada perhatian pada diri kaum waria, kemungkinan besar adalah bahwa ada keuntungan yang didapat dari eksploitas penampilannya, misalnya dalam dunia perfilman, baik dilayar kaca maupun peran. Waria yang atraktif ternyata mampu mendatangkan hiburan yang agak berbeda. Ini adalah komoditi ekonomi, demikian juga adanya ekshibisi sepak bola waria yang sering diadakan dalam rangka peristiwa-peristiwa tertentu. Semuanya tidak lebih dari sekedar memanfaatkan kelucuan-kelucuan mereka (Mastura, 2000).

Dalam sejarah bangsa Yunani memang tercatat adanya kaum waria, seperti yang direkam oleh Hipocrates, telah muncul beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choisy Duta Besar Prancis di Siam serta Gubernur New York pada tahun 1702 Lord Combuny. Mereka berdandan sebagaimana wanita. Karena beberapa diantaranya adalah orang-orang terpandang, atribut mereka tidak ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut catatan ini, mereka laki-laki yang berjiwa perempuan, dengan pakaian perempuan dan lebih senang dianggap perempuan (Mastura, 2000).

Pada bangsa Turco-Mongol di gurun Siberia, dukun pria pada umumnya berpakaian wanita. Lain halnya di Oman, di sana dikenal adanya Xanith. Di Oman pelacur wanita dikenal amat jarang dan mahal harganya. Xanith kemudian banyak


(47)

Xanith ini justru mendapat perlindungan dari norma masyarakat yang berlaku disana. Dengan demikian, busana wanita yang dipakai oleh pria di Oman yang disebut Xanith mengandung dua fungsi. Pertama merupakan fenomena budaya dan kedua menjadi daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai pelacur. Dari berbagai catatan tersebut, tidak jelas benar apakah mereka benar-benar kaum waria yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transeksual atau sekedar gejala transvestet (Koeswinarno, 1996).

Di Indonesia, budaya waria dapat kita temukan pada masyarakat Jawa Timur dengan kesenian Ludruk dan Reog di Ponorogo. Pada warok dikenal amat sakti. Warok yang memainkan reog akan kehilangan kesaktianya bila berhubungan seks dengan perempuan dan bila dia memerlukan gemblakan yaitu laki-laki muda berusia 9-17 tahun yang memiliki fungsi multidimensional bagi sang warok.

Tugas para gemblakan ini dimulai dari pekerjaan membantu berbagai pekerjaan rumah tangga sang warok dan memberikan kebutuhan seksual bagi sang Warok. Jenis kegunaan yang terakhir ini membuat para warok selalu memilih gemnlakan lelaki muda yang berwajah cantik dan berkulit halus. Keadaan tersebut merupakan jalan keluar bagi setiap perguruan warok yang mematangkan murid-muridnya menggauli wanita, termasuk istri-istri sah mereka. Baru kemudian setelah ilmu mereka mencapai tingkat kematangan, mereka diperbolehkan kembali berhubungan seks dengan wanita ataupun istrinya.

Perlakuan warok terhadap para gemblak inilah yang dapat menjuruskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria. Si warok seringkali


(48)

memperlakukan gemblakannya sebagai wanita, baik dalam perilaku maupun cara berdandan.

Budaya waria lain yang terdapat di Jawa Timur adalah yang ada dalam kesenian tradisional ludruk, yakni sebuah drama tradisional dari Jawa Timur, yang semua pemain panggungnya adalah laki-laki. Jika sebuah peran menuntut hadirnya seorang perempuan, kaum laki-laki itulah yang harus memerankan perempuan. Pelakon ini relatif menetap. Artinya, sekali mereka memerankan peran wanita, maka selamanya dalam permainan panggung ia berperan sebagai wanita (Mastura, 2000). 2.4.6 Penyakit Infeksi Menular Seksual di Kalangan Waria

Dibandingkan dengan kelompok Gay, kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) dan kelompok Waria lebih berisiko terjangkit penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dikarenakan pelanggannya adalah pria yang berkeluarga, sehingga dua kelompok ini harus lebih dipantau. Ada sekitar 3,3 juta laki-laki di Indonesia saat ini menjadi pembeli seks, padahal sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga (Kompas, 2013).

Umumnya waria sangat menyukai anak laki-laki yang ganteng dan masih sangat muda. Menjadi kebanggaan tersendiri apabila waria dapat menggaet pria muda dan melakukan relasi seks (Koeswinarno, 1996).

Disamping itu pelacuran waria adalah sebuah mitos yang diwariskan oleh para pendahulu mereka. Dunia pelacuran juga merupakan wadah seorang waria untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan setelah mereka merasa terbuang, sekaligus


(49)

Menurut Koeswinarno (1996), dalam kegiatan pelacuran ada 4 (empat) cara atau teknik hubungan seks yang dipakai oleh kaum waria adalah sebagai berikut:

1. Fellatio atau oral seks.

Teknik ini paling banyak dilakukan oleh waria. Dengan teknik ini biasanya air mani tidak ditelan begitu saja setelah seorang waria melakukan penyedotan hingga benar-benar tuntas. Ketika terjadi ejakulasi dini, maka dengan segera mereka memuntahkan air mani yang ada dimulutnya. Cara ini banyak dilakukan dalam praktek-praktek seksual disekitar pelacuran, karena lebih praktis dan tidak membutuhkan tempat khusus seperti kamar.

2. Jepit.

Yaitu pangkal paha waria berfungsi sebagaimana umumnya vagina pada kaum wanita. Penis pasangan waria dijepit diantara dua pangkal paha dan kemudian digosok-gosokkan hingga mencapai orgasme. Ketika penis pasangan waria dijepit diantara pangkal paha, maka sebaliknya penis waria berada diantara perut waria dan pasangannya. Sehingga ketika terjadi proses saling menggerakkan, maka kedua alat kelamin dapat mengalami ereksi dan terjadi ejakulasi. Untuk mencegah lecet, penis pasangan waria dan penis waria diolesi telebih dahulu dengan cream. Teknik ini merupakan cara teraman dari kemungkinan tertularnya penyakit kelamin.

3. Sodomi atau anal.

Konon kata sodomi sebagaimana yang ada dalam Kitab Injil sebagai seks yang pernah dilakukan Sodom dan Gomorah. Hampir semua waria


(50)

menggemari teknik sodomi sebagai cara pemuasan nafsu seks. Pada teknik ini pihak yang aktif harus terlebih dahulu diolesi penisnya dengan cream untuk mencegah lecet pada alat kelamin.

4. Onani.

Merupakan pemuasan seks yang tidak berdiri sendiri. Artinya onani dilakukan bersamaan dengan prilaku seks lainnya, seperti fellatio. Ketika seorang waria melakukan teknik fellatio kepada pasangannya, maka kadang-kadang lawan seks mengonanikan kelamin waria sehingga masing-masing pihak akan sama-sama mencapai orgasme.

Berdasarkan hasil sebuah studi yang dilakukan di Mojo Wetan dan Mojo Kulon, lebih lanjut Koeswinarno (1996), menyatakan bahwa tidak semua konsumen seks kaum waria mau menerima semua perlakuan seks yang dilakukan waria Misalnya seks anal, tidak sembarang laki-laki mau melakukannya. Pada dasamya ada perasaan tidak enak atau jijik bagi orang awam untuk melakukan seks anal. Ini membuktikan bahwa rata-rata konsumen waria adalah pria normal, bukan seperti perkiraan bahwa konsumen waria adalah mereka yang juga mengalami penyimpangan seks. Laki-laki yang bersedia melakukan hubungan seks anal biasanya adalah kaum homoseksual dan suami-suami waria.

Seks bagi waria bukan semata-mata dunia pelacuran seperti halnya WPS (Wanita Penjaja Seks) yang sebagian dari mereka menjadi pelacur karena himpitan ekonomi. Nyebong bagi waria merupakan nafas yang melekat dengan kehidupannya.


(51)

Tidak sedikit dari mereka yang tidak dapat melepaskan dunia pelacuran (cebongan) atau seks bebas lainnya (Koeswinarno, 1996).

2.4.7 Konsumen Seks Kaum Waria

Buddy Ibrahim (2000), memberi definisi pelanggan yaitu setiap orang dalam suatu mata rantai proses dianggap konsumen (pelanggan) oleh proses sebelumnya. Konsumen ini dibagi atas konsumen internal dan konsumen eksternal. Konsumen internal adalah pemakai produk/jasa internal atau proses berikutnya dalam suatu mata rantai proses produksi. Didalam dunia waria yang menjadi konsumen internal adalah suami si waria itu (laki-laki yang menjadi pacar si waria). Sedangkan konsumen eksternal adalah para pembeli produk atau pemakai jasa yang memberikan hasil dan laba. Konsumen eksternal didalam dunia waria adalah pelanggan atau tamu yang menggunakan atau memeli jasa atau produk waria dalam bentuk pelayanan seksual dimana para tamu ini akan memberikan hasil dan laba atas pelayanan seksual yang diberikan waria dalam bentuk uang.


(52)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan paradigma interpretatif yaitu penilaian yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai perilaku dan konteks sosial menurut keterangan informan. (Creswell, 2002). Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara pencegahan penyakit infeksi menular seksual (IMS) di komunitas waria dengan cara berinteraksi lebih dalam melalui wawancara, observasi dan adanya dokumentasi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Alasan pengambilan tempat penelitian adalah berdasarkan hasil laporan ada 17 orang waria yang terkena penyakit Infeksi Menular Seksual pada bulan januari 2013 (LSM SP2S, 2013) yang selama ini waria tersebut merupakan binaan dari LSM SP2S (Solidaritas Perempuan Pekerja Seks), dengan jumlah anggota komunitas waria yang tergabung dalam kelompok Cleopatra yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai berjumlah 80 orang.

Alasan lain pemilihan lokasi ini adalah kemudahan peneliti dalam bentuk akses atau melakukan wawancara mendalam dan pengamatan pada setiap kasus yang


(53)

menjadi subjek penelitian. Penelitian dibantu oleh LSM SP2S dan Cleopatra dalam pelaksanaan penelitian.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2013 sampai dengan Januari 2014.

3.3 Informan Penelitian

Menurut Craswell (2002), pada penelitian kualitatif informan penelitian yang diteliti adalah informan yang pernah atau mengetahui substansi yang akan diteliti. Cara pemilihan informan penelitian di penelitian ini tidak hanya diarahkan pada jumlah informan yang akan diteliti, tetapi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan didasarkan pada teori-teori yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Penelitian ini mengambil informan penelitian ketua kelompok waria “Cleopatra”, waria, LSM SP2S, Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai, puskesmas Pantai Cermin dan pengamat waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

Metode pengambilan subjek penelitian dengan menggunakan metoda purposive sampling yaitu memilih informan penelitian dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang penulis masukkan dalam penelitian. Mereka adalah waria baik yang terkena penyakit infeksi menular seksual ataupun yang tidak terkena, selain itu informan penelitian yang berikutnya adalah mereka yang ikut memberikan informasi-informasi penting tentang informan pokok seperti ketua komunitas waria “Cleopatra”, LSM SP2S, Dinas Kesehatan ataupun para pengamat kehidupan waria.


(54)

Informan penelitian diperoleh dari hasil pemeriksaan dan penapisan terhadap para waria yang dilakukan secara rutin per triwulan oleh Puskesmas Pantai Cermin.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan (observasi). Data primer dan data sekunder pada penelitian kualitatif disebut dengan rapport. Rapport adalah terjadinya hubungan yang baik antara kedua individu. Pengembangan rapport ini diartikan sebagai membina hubungan baik sedemikian rupa sehingga orang lain (informan) percaya dan nyaman dengan kita (peneliti). Rapport dilakukan dengan cara mengajak responden bertemu berulang kali, mengunjungi responden dan menjalin komunikasi yang baik. Didalam penelitian kualitatif instrumen penelitian adalah peneliti, sehingga diperlukan peneliti yang memiliki kemampuan untuk menulis dan paham bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan informan dengan konsep-konsep yang ada.

Metode pengumpulan data yang paling mewakili karakteristik penelitian kualitatif adalah wawancara dan observasi. Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertemu muka (face-to-face), yaitu ketika seorang pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian (Kerlinger, 2002). Wawancara dimulai dengan membina hubungan yang baik, sikap terbuka dan hangat kepada informan untuk memberi keyakinan, kepercayaan diri, serta informan penelitian merasa aman terlindungi.


(55)

Setelah wawancara, kita melakukan observasi yang bertujuan untuk melakukan pengecekan dan memperoleh keyakinan tentang keabsahan data yang telah diperoleh dari wawancara dengan informan. Hasil observasi pada informan penelitian ini meliputi cara bertingkah laku secara spontan dalam situasi natural.

Sebelum dilakukan proses pengumpulan data disusun pedoman wawancara yang bertujuan untuk memberikan kemudahan pada penulis supaya pertanyaan yang diajukan terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian. Bentuk pertanyaan yang digunakan pada umumnya adalah pertanyaan terbuka, yang memungkinkan informan bebas mengekspresikan diri, serta mengatakan apa yang mereka pikir, dan informasi penting yang sebelumnya tidak terpikir oleh peneliti.

Supaya hasil wawancara dan observasi dapat terekam dengan baik, dimiliki bukti telah melakukan wawancara kepada subjek maka digunakan alat bantu yaitu alat tulis dan tape recorder, kemudian hasil rekaman dari tape recorder dituliskan dalam bentuk transkrip.

Dalam pengumpulan data, saya berinteraksi langsung dengan ketua LSM SP2S. Saya membutuhkan bantuan dari LSM untuk menjangkau dan mewawancarai para waria. Oleh karena itu pada bulan Desember 2013 saya melakukan wawancara kepada ibu yang berwajah manis, berkacamata, berkerudung dan ramah yang biasa saya panggil Kak Sam, panggilan dari para waria asuhannya kepadanya adalah Mak Sam. Kak Samsidah Barus merupakan sahabat saya lama semenjak di Puskesmas Sei Rampah. Emak yang sangat dekat dengan anak asuhannya ini, sangat menjadi keuntungan bagi saya untuk mendapatkan akses ke waria. Kak Samsidahlah yang


(56)

memperkenalkan saya dengan para waria termasuk ke ketua komunitas waria Serdang Bedagai. Di Sedang Bedagai sendiri ada komunitas waria yang bernama komunitas Cleopatra. Kak Samsidah telah memperkenalkan saya dengan ketua komunitas Cleopatra yaitu Bosek jauh sebelum penelitian saya laksanakan. Saya diperkenalkan pada komunitas waria pada saat ada acara KPAD Serdang Bedagai di Warung Doy Sei Rampah. Setelah diperkenalkan itu komunikasi saya dengan Bosek mulai terjalin. Saya melakukan wawancara kepada waria sesuai dengan anjuran dari Kak Samsidah. Kak Samsidah selalu melakukan pendampingan kepada saya saat melakukan wawancara kepada waria yang sebelum telah diusulkan Kak Samsidah kepada saya, karena tidak semua waria mau berpartisipasi, bekerjasama dan terbuka mengenai kehidupan mereka, tidak hanya itu saja kadang waria-waria tersebut tangannya masih suka usil, jika melihat barang kita yang bagus, sehingga kak Samsidah selalu mengingatkan saya untuk selalu waspada dengan baraang bawaan saya. Saya melakukan wawancara dengan para waria yaitu Bosek, Panjang, Mak Suri dan Pani di Sekretariat LSM SP2S. Saya lakukan wawancara selama 2 kali pertemuan.

3.5 Metode Analisis Data

Menurut Merriam dan Marshall serta Rossman dalam Craswell (2002), mengatakan bahwa pengumpulan dan analisa data harus merupakan sebuah proses yang bersamaan dalam penelitian kualitatif. Adapun yang menjadi analisis data kualitatif adalah hal yang ingin dicapai dan dapat menganalisis proses


(57)

berlangsungnya suatu fenomena dalam mengolah lembaran tuntas terhadap proses tersebut serta menganalisis makna yang ada dibalik informan data dan proses suatu fenomena. Hasil wawancara dan pengamatan dituangkan ke dalam bentuk proses menulis (file note) dan juga tape recorder dan di analisis. Analisis terus berlangsung sehingga jumlah informan lanjutan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan dan penelitian untuk melengkapi data yang ada juga sebagai proses berlangsungnya triagulasi terhadap informan yang diperoleh. Triangulasi data yaitu berdasarkan suatu kedalaman penggalian informasi yang berkaitan dengan obyek atau permasalahan penelitian dimana subjek penelitian didasarkan atas azas kesesuaian dan kecukupan sampai mencapai data yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.

Pengelolaan data dilakukan dengan menganalisis jawaban yang diberikan oleh informan. Penganalisaan data dilakukan dalam teknik on going analisis yaitu analisis yang terjadi dilapangan berdasarkan data yang diperoleh. Seluruh data yang diperoleh pada penelitian, seperti transkrip wawancara, hasil observasi, maupun dokumen kemudian diatur berdasar kriteria yang akan memudahkan untuk dianalisa.


(58)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kecamatan Perbaungan terletak di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 111.620 Km2 terdiri dari 24 Desa 4 Kelurahan, dimana Desa Adolina merupakan desa yang memiliki wilayah terluas diantara desa-desa lainnya. Dan desa-desa yang paling jauh dari Kantor Camat Perbaungan adalah Desa Sei Naga Lawan yang terletak di ujung Timur wilayah batas kecamatan.

Kecamatan Perbaungan dari permukaan Laut ± 0-65 meter, adapun batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Pantai Cermin Sebelah Selatan : Kecamatan Pegajahan Sebelah Timur : Teluk Mengkudu

Sebelah Barat : Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

Kecamatan Perbaungan memiliki sarana kesehatan dimana terdapat 4 unit rumah sakit, 4 unit rumah rumah sakit bersalin, 3 unit poliklinik, 2 unit puskesmas, 1 puskesmas perkebunan, 11 puskesmas pembantu, 10 unit balai pengobatan, 19 unit tempat praktek dokter, 10 unit polindes dan 10 unit apotik. Jumlah tenaga medis yang tersedia sebanyak 17 orang dokter, 76 orang bidan, 29 orang bidan desa.


(59)

4.2 Profil Waria

Dalam mendapatkan informasi kehidupan waria, saya melakukan wawancara dengan empat waria yang masuk dalam komunitas waria (Cleopatra). Wawancara dengan waria dilaksanakan di daerah Serdang Bedagai tempat komunitas waria yang biasa disebut Cleopatra. Saat mendatangi dan berkunjung ke komunitas mereka, mereka menyambut saya dengan baik, saya mulai mengobrol dengan mereka, malahan mereka sangat senang bercerita mengenai kehidupan mereka sehari-hari kepada saya.

Waria pertama adalah M. Ridwan yang biasa dipanggil dengan sebutan Bosek. Bosek adalah seorang waria berusia 32 tahun yang telah melanglang buana di dunia waria semenjak berusia 20 tahun. Dia pernah mempunyai pasangan yang sudah menikah (seorang lelaki yang berstatus menikah dengan seorang wanita) dan membiayai seluruh anggota keluarganya baik anak dan istrinya. Dalam kehidupan sehari-hari Bosek terkenal sangat ramah, badannya tegap berisi, rambutnya pendek, dan dandanannya sangat menor bagaikan seorang biduan. Ternyata memang benar Bosek adalah seorang biduan keyboard yang jam terbangnya sudah cukup tinggi.

“Kerjaanku biduan keyboard mak, sering dipanggil sana-sini mak. Orang itu senang ama banci-banci mak katanya selain rame banci itu lucu mak”. (Bosek)

Selain menjadi biduan salon, Bosek juga berprofesi sebagai tukang salon, dia lihai dalam memotong rambut hingga make up. Bosek adalah anak terakhir dalam keluarganya, dia memang beda dengan kakak-kakaknya yang lain. Pada awalnya orang tuanya sangat tidak setuju dengan keadaan bosek yang sekarang ini, tetapi


(60)

karena keinginan bosek sangat besar dan tak terbendung lagi akhirnya bosek berani untuk menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya, yaitu seorang wanita yang tersampul pada diri laki-laki, tetapi ia tak pernah menyesal dengan keputusan yang diambilnya karena menurutnya dia lebih nyaman dengan keadaan yang seperti sekarang ini. Tanggapan atau cibiran dari masyarakat sudah ia tidak pedulikan lagi, walaupun dalam hati kecilnya sesungguhnya dia tidak menginginkan hal itu.

“Ya, lebih enak begini mak lebih bebas berekspresi, keinginan batin saya lebih kuat daripada memikirkan orang disekitar saya, jalani aja mak, yang penting happy”. (Bosek)

Bosek adalah sosok waria yang sangat disenangi oleh para waria lainnya. Dia juga terpilih menjadi ketua Cleopatra. Perannya sangat besar dalam pembentukan komunitas ini, Boseklah yang menggerakkan dan mengumpulkan komunitas waria pertama di Sumatera Utara. Bosek menyatakan dia tidak pernah ingin menjadi ketua Cleopatra. Tugas bosek sesungguhnya ialah menyeleksi waria lainnya yang ingin menjadi ketua, tetapi banyak waria baik tua maupun muda menganggap bahwa Boseklah ketua dari komunitas ini dan Bosek tetap merasa senang karena semua waria baik tua maupun muda menghargainya.

Waria kedua yang saya temui bernama asli Tubang dan sehari-hari dipanggil Mak Suri. Sesuai dengan panggilannya mak suri merupakan waria tertua di komunitas Cleopatra yang telah berusia 55 tahun. Wajahnya dipenuhi dengan make up yang sangat tebal, berambut lurus kering sebahu, langsing dan cara bicaranya sangat lembut seperti seorang wanita. Gurat wajah tua tercermin di wajahnya,


(61)

disembunyikannya. Semua waria yang ada di komunitas itu sangat menghormati Mak Suri, karena memiliki pengalaman yang sangat banyak mengenai lika-liku menjadi seorang waria.

Saat saya bertanya kepada Mak Suri tentang keluarganya, dia tidak ingin menceritakannya dan tidak ingin untuk mengingat kembali karena dia tidak ingin membahas kembali masa lalunya. Di komunitas Cleopatra Mak Suri dijadikan sebagai bendahara. Pekerjaan Mak Suri adalah biduan keyboard dan salon. Di kalangan tetangganya Mak Suri bercerita dia tidak pernah dikucilkan, dia menjalin pertemanan dengan tetangganya dengan cara berbuat baik dan sering mengantar-antar makanan.

“Aku diterima di tetangga sekitarku, udah tau dan maklum orang itu ma aku dek, pokoknya baek-baeklah kita ma orang itu kalau ada makanan yang dibagilah”. (Mak Suri)

Tidak menikah adalah keputusan yang bulat bagi Mak Suri dan hal tersebut tidak pernah terbesit dipikirannya. Sampai saat ini Mak suri masih berstatus single. Tetapi, Mak Suri selalu memiliki pacar yang selalu ia biayai dan tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, Mak Suri juga memenuhi kebutuhan alamiah dari pacarnya. Pacar Mak Suri adalah seorang lelaki yang sudah berkeluarga. Mak Suri lebih senang berpacaran dengan lelaki yang sudah memiliki istri.

Panjang merupakan sebutan sehari-hari waria ketiga yang saya jumpai. Pekerjaannya adalah seorang biduan keyboard. Lelaki berbadan kecil, berambut keriting, cara berbicara sangat lemah-lembut seperti seorang wanita yang sesuangguhnya kehidupannya jauh dari kontras. Dia telah menikah dengan seorang


(62)

janda 2 anak yang profesinya sama dengan dirinya yaitu seorang biduan keyboard juga. Di masa pernikahannya panjang dengan istri telah memiliki 2 anak, kini anak panjang berjumlah 4 orang anak.

Saat ini panjang telah berusia 26 tahun, pertama kali melihat Panjang kesan saya dia terlihat seperti lelaki normal lainnya, dandanannya tidak menor seperti banyak waria lainnya. Di luar komunitas panjang sering tidak terlalu menampilkan gaya waria yang menor, penampilannya biasa saja, terkadang dia juga berusaha untuk menyembunyikan statusnya sebagai seorang waria. Nah, salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan cara menikah.

“Kalau kelihatan jantan harus punya pacar ato gak istri mak, itu buktinya jantan mak. Kalau gak ada pasangan di curigai mak, masak jeruk makan jeruk”. (Panjang)

Panjang tidak pernah menyesal dengan kehidupannya saat ini, menurutnya semua yang dilakukanya tidak pernah menyakiti orang lain, istri Panjang juga mengetahui bahwa dia adalah seorang waria, tetapi istrinya tetap mau menerima Panjang dan memahami Panjang. Seperti rumah tangga normal lainnya kehidupan rumah tangga Panjang. Anak pertamanya telah berusia 4 tahun dan anak keduanya berusia 2 tahun.

Rambut hitam lurus sebahu, wajah cantik, langsing dan ramah itulah Andre dengan nama panggilan sehari-hari Pani. Pani berusia 27 tahun, pekerjaan di salon dan tidak menikah. Alasan yang sama juga disampaikan Pani menjadi waria adalah karena keinginan hasrat dalam dirinya yang tak terbendung lagi. Berbeda dengan


(63)

4.3 Komunitas Waria

Komunitas waria pertama kali didirikan pada tahun 2004 merupakan bentuk bantuan dari FHI yang berasal dari SP2S, komunitas ini merupakan komunitas waria pertama di Sumatera Utara yang diberi nama komunitas Cleopatra. Anggota dari komunitas ini cukup lumayan banyak yaitu berkisar 150 waria. Dalam komunitas ini para waria dapat berkumpul dengan para waria lainnya dan sering membuat kegiatan bersama seperti arisan dan bermain voli. Jika ada yang meninggal ataupun sakit para anggota Cleopatra akan memberikan sumbangan, itulah bentuk dari toleransi dan jiwa sosial para waria kepada para temannya

“Yang buat program ini SP2S mak, dapat bantuan dari FHI, kalu gak salah 2004 kami dah ngumpul semua mak. Banyaklah mak, kalau anggota Cleoptra ada sekitar 150 gitu mak, itupun udah ada juga yang meninggal mak. Kalau waria ada yang sakit ama meninggal udah jelaslah mak dikutip. Inilah senangnya aku lihat teman-teman Cleopatra ini, toleransi masih besar dan waria disini ngak suka untuk gebyar-gebyar (lomba miss dan model)”. (Bosek)

Baru-baru ini komunitas Cleopatra mengalami penurunan eksistensi diakibatkan karena putus program dari FHI. Sekarang ini banyak waria yang tidak bergabung pada komunitas ini, banyak pengurusnya yang sudah tidak tahu lagi dimana. Dahulu program FHI memberikan bantuan DIC (tempat kumpul waria merupakan tempat singgah waria) dan banyak waria yang berkumpul dan semenjak ada DIC tersebut waria udah banyak menyatu dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh para waria. Tapi saat ini DIC sudah tidak ada sehingga kondisi yang dahulu tidak seperti sekarang ini, banyak waria yang sudah terpencar.


(1)

Para waria menjadi suatu kelompok yang dikucilkan oleh masyarakat yang sering di bully masyarakat karena penampilan mereka yang “nyentrik” (tidak normal). Akhirnya para waria membuat suatu komunitas, tempat mereka berkumpul untuk saling berbagi satu dengan lainnya, baik berbagi suka cita maupun duka cita yang mereka rasakan. Dengan adanya komunitas ini mereka menjadi memiliki banyak teman yang paham dengan keadaan yang mereka alami. Komunitas waria merupakan jembatan para waria untuk dapat menjalin hubungan dengan pihak luar baik dengan pihak yang berasal dari pemerintahan maupun dari luar pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat). Dengan adanya komunitas waria pemerintah dapat mengawasi dan terus menghimbau mereka terutama dalam hal kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi para waria sangat perlu diperhatikan karena sudah banyak infeksi menular seksual (IMS) yang terjadi pada kaum ini.

Bantuan yang diberikan pemerintah maupun LSM mengenai pencegahan penyakit infeksi menular seksual dilakukan dengan memberikan kondom secara gratis dan melakukan pemeriksaan alat kelamin setiap bulannya guna menghindari penyakit IMS. Tidak hanya itu saja ada beberapa pihak luar yang berkecimpung di dunia kesehatan reproduksi menjalin kerjasama dengan komunitas waria untuk melakukan sosialisasi mengenai pencegahan IMS pada kaum waria lainnya yang belum masuk kedalam komunitas waria. Komunitas waria juga menyediakan obat gratis bagi para waria yang terjangkit IMS. Tapi kendala untuk saat ini tidak ada dana melalui APBD Serdang Bedagai, karena tidak diterima anggota dewan.


(2)

Pengetahuan yang dimiliki oleh waria mengenai pencegahan IMS sudah cukup baik dan sudah memiliki sikap yang baik. Pengetahuan mengenai IMS mereka peroleh dari sosialisasi dari LSM yang bekerjasama dengan pihak puskesmas melalui komunitas Cleopatra. Sosialisasi yang mereka peroleh antara lain penggunaan kondom, tidak menggunakan narkoba, penyakit infeksi menular seksual, dan melaksanakan pemeriksaan IMS secara teratur. Pengetahuan dan sikap yang baik mereka tercermin dengan tindakan yaitu melakukan pemeriksaan IMS secara teratur ke puskesmas. Pemeriksaan IMS ini didapat oleh waria secara gratis, bagi yang telah menderita IMS juga mendapatkan perawatan dan pengobatan gratis. Hanya saja, yang masih kurang yaitu perilaku penggunaan kondom dan narkoba. Para waria yang telah paham mengenai penggunaan kondom dan bahaya narkoba belum merubah perilaku mereka. Seluruh waria menyatakan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangannya (pacar) dan sebagian besar juga melakukan hubungan seksual sambil menggunakan narkoba, sehingga dapat disimpulkan tidak semua perilaku dapat diubah dengan pemberian informasi atau peningkatan pengetahuan.

6.2 Saran

1. Diharapkan para waria agar tetap menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual baik dengan semua pelanggannya tanpa terkecuali dan juga dengan pasangan tetapnya.

2. Diharapkan para waria agar tetap mempertahankan komunitas mereka dan terus bergabung dalam komunitas Cleopatra, sehingga informasi maupun bantuan kesehatan dapat langsung diterima oleh waria.


(3)

3. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk tetap mempertahankan bantuan yng diberikan kepada waria agar kesehatan waria khususnya kesehatan reproduksi dapat terpelihara


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 2000. Psikologi Sosial. PT. Rineka Cipta. Edisi Revisi. Jakarta.

Arsanti, Praptoharjo, dan Nasrun Hadi. 2000. Potensi Penularan HIV/AIDS. Yokyakarta.

Belkin Nj. Vickery A. 1985. Interction In Information System. A Review Of Research From Document Retrieval To Knowledge-Based Systems. Library And Information Research Report No 35:11-19.

Creswell, J.W. 2002. Research Design : Qualitative & Qualitative Approach. Jakarta : KIK Press.

Daili, B. Makes, Zubeir, Judanarso. 1999. Penyakit Menular Seksual. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dina. 2007. Rangsangan dan Orgasme. Jakarta: Artikel Kesehatan

Gaya Nusantara, Perjalanan Sejarah Waria, Gay dan Lesbian. http/gayanusantara. Blogspot.com.

Hapsari, Amelia. 2010. Sejarah Waria dan Homoseksual. http/amelhap.Logspot.com. Hary, Widya. Gambaran Perilaku Seksual Waria Penderita Infeksi Menular Seksual

di Kota Semarang Tahun 2011. Semarang: Jurnal IKM FIK Universitas Negeri Malang

Hernawati G, 2005, Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Tentang Penyakit Menular Seksual Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa PSIK Program A FK UGM, Skripsi: Fakultas Kedokteran UGM.

Irianto, K, 2010, Memahami Seksologi, Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Jazan, Saiful. 2003. Prevalensi infeksi saluran reproduksi pada wanita penjaja seks di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang dan Bitung, Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia. Kemala, Atmojo. 1987. Kami bukan Lelaki. Jakarta : Grafitti Press


(5)

Kerlinger, F.N.2002. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Alih bahasa oleh landing R. Simatupang. Jogyakarta : Gajah Mada University Press.

Koeswinarno, 1996. Waria dan Penyakit Menular Seksual. Jogyakarta: Universitas Gajah Mada

___________, 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara ___________, 2005. Hidup Sebagai Waria. Jogyakarta : Kanisius.

Kurniawati, Meike, 2003. Latar Belakang Kehidupan Laki-Laki yang Menjadi Waria: Sebuah Kegagalan dalam proses Pendidikan Pembentukan Identitas Gender. Jakarta: Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara

_______________,2003. Latar Belakang Kehidupan Laki-Laki yang Menjadi Waria. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Liliweri, A., 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Penerbit: Pustaka Pelajar, Yokyakarta.

Mastura, Nur Siti. 2000. Upaya pencegahan penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) Gonorhea dan Sifilis oleh waria di Jalan Iskandar Muda Kecamatan Medan Petisah Kodya Medan tahun 2000. Tesis, Medan : Prodi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat USU

Miles, MB, dan Suherman, A.M (1984). Qualitative Data Analysis : A. Sourche Book Of New Methods. Beverly Hills, Ca : Sage Publications.

Moleong, L. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Penerbit : PT. Remaja Rosdakarya.

Nadia, Zunly. 2005. Waria Laknat atau Kodrat. Jogyakarta : Galang Press. __________, 2005. Waria. Jogyakarta : Penerbit Pustaka Marwa.

Puspitosari H dan Pujileksono, S. 2005. Waria dan Tekanan Sosial. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.

Rachmadiany, 2003. Pandangan waria penjaja seks komersil terhadap kesehatan (studi Administrasi kesehatan di pelabuhan Belawan Kota medan Propinsi Sumatera Utara tahun 2003). Skripsi, Medan : Prodi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat USU.


(6)

Salviana, Vina. 2005. Waria dan Tekanan Sosial. Jakarta : UMM Press.

Sanggar Waria Remaja. 2010. Buku Panduan Kesehatan Waria. Jakarta: Yayasan Srikandi Sejati

Saryono, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam bidang Kesehatan. Cetakan Kedua Penerbit Nuha Medika, Yokyakarta.

Silalahi, Tama Jojor. 2000. Pengetahuan, sikap dan tindakan waria terhadap pemakaian kondom di Jalan Iskandar Muda tahun 2000. Tesis, Medan : Prodi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat USU.

Sutopo Hb. 2002. Metodologi Penelitian Kualitati. Surakarta. Sebelas Maret University Prees.

Tjahjono, E. 1995. Perilaku-Perilaku Seksual yang Menyimpang. Anima (Indonesia Psychological Journal) Vol XI No.41.

Zein U. 2005. Pencegahan Transmisi HIV Pada Petugas Kesehatan. Majalah Kedokteran Nusantara, Suplemen, Maret Medan