Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disingkat dengan PKPU (Sursence van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik. Melalui pengajuan PKPU, debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya dalam hal debitur berada dalam keadaan insolven.1

PKPU sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan terhadap debitur yang masih beritikad baik untuk membayar hutang-hutangnya kepada seluruh krediturnya. PKPU diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 294 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Pasal 222 ayat (1) disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh: 2

Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur yang tidak dapat, atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU, dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada kreditur.

2. Kreditur: 1. Debitur.

Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tersebut tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat

1 ฀

Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 321.

2 ฀

Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(2)

memohon ke Pengadilan Niaga, agar kepada debitur diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan si debitur mengajukan rencana perdamaiannya kepada mereka, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditur-krediturnya.3

3. Pengecualian, terhadap debitur bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga Kliring dan Penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, Perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun dan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka: 4

Pada dasarnya, maksud dari pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang kepada debitur adalah agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven

(insolvency), mempunyai kesempatan untuk mengajukan suatu rencana perdamaian, baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian atas utangnya. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan kesempatan bagi si debitur untuk melunasi atau melaksanakan kewajibannya atas utang-utang tersebut, sehingga si debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit.

a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh kreditur terhadap bank tersebut, atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh debitur bank ini sendiri, hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

b. Dalam hal debiturnya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, maka permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang debitur ini atau oleh krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau melalui badan pengawas pasar modal.

c. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur ini atau oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau melalui Menteri Keuangan.

5

3 ฀

Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

4 ฀

Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

5 ฀


(3)

Dalam melaksanakan PKPU melalui restrukturisasi utang, diperlukan syarat paling utama, yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam restrukturisasi, antara lain: melakukan penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring), sehingga diperoleh jalan keluar bagi penyelesaian pembayaran utang macet tersebut tanpa menimbulkan banyak kerugian bagi pihak kreditur dan pihak debitur.6

Dalam hal kreditur tersebut merupakan kreditur separatis, apabila restrukturisasi utang telah dilakukan, dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi debitur gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak beritikad baik, maka pihak kreditur dapat melakukan pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan gugatan perdata atau permohonan pailit terhadap utang-utang debiturnya ke pengadilan.7

Terkait dengan pengajuan permohonan PKPU, terdapat perkembangan yang cukup menarik dalam pengajuan permohonan PKPU. Apabila dalam

Faillissement verordening dan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh debitur maka dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitur dan kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk mengetahui mengapa pihak

6 ฀

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 162.

7 ฀

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2001), hal. 292 - 293.


(4)

kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan PKPU padahal yang mengetahui kondisi kesehatan suatu perusahaan hanyalah debitur itu sendiri.

Pemberian kewenangan kepada si kreditur agar dapat memohonkan PKPU bagi debiturnya, membawa arti bahwa utang si debitur itu dapat terbayarkan kepada kreditur dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi si debitur saat itu, dan bila si debitur dan krediturnya beritikad baik, maka harapan kedua pihak itu adalah tercapainya rencana perdamaian yang dapat mengcover kewajiban debitur dan hak kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara bersama dalam rapat perdamaian dan dilakukan pengesahan perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga (homologasi).8

Meskipun ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk penyelesaian utang piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya niat yang sungguh-sungguh dari para debitur untuk melunasi utang-utangnya.

Dari sudut pandangan hukum, Undang-Undang Kepailitan ini bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar oleh debitur, dan Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan melindungi debitur dengan memberikan cara baginya untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar sekaligus secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.

9

Dalam hal ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur, yang pada akhirnya hukum dapat

8 ฀


(5)

mendorong pemulihan ekonomi, dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas dan keadilan dalam hukum negara.10

Sebagai suatu objek penelitian yang akan dibahas dalam kajian hukum penundaan kewajiban pembayaran utang adalah perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya.

Diberikannya kesempatan bagi kreditur untuk mengajukan permohonan PKPU dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam berbagai perkara kepailitan dan PKPU.

11

Menurut M.Yahya Harahap, suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak yang memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.12

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu.”

9 ฀

Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi, Jakarta: Artikel, tgl. 14 Maret 2002, hal. 14.

10 ฀

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 14.

11 ฀

Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 1992), hal. 86-88.


(6)

"Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik".

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pokok dalam permasalahan skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

2. Bagaimana akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka yang menjadi pokok penelitian skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Untuk mengetahui akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.

12 ฀


(7)

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Mengacu pada latarbelakang dan permasalahan di atas, maka penelitian ini dapat bermanfaat antara lain :

1. Secara teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi akademis maupun sebagai bahan pertimbangan hukum bagi para pihak yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan tentang akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.

b. Memberikan informasi mengenai akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.

2. Secara praktis

a. Memberikan masukan kepada masyarakat luas serta instansi terkait lainnya dalam kaitannya dengan akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.

b. Mencari solusi untuk mengatasi permasalahan dan meminimalisasi persoalan bilamana timbul sengketa dalam akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.


(8)

E. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul “Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik” belum pernah dilakukan. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan alternatif penyelesaian utang untuk menghindari kepailitan. Menurut Munir Fuady penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh Undang-Undang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditor dan debitor diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut. Dengan demikian penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal moratorium.13

13 ฀


(9)

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 222 ayat (2) dikatakan : “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”.

Permohonan PKPU dapat diajukan oleh kreditor maupun debitor kepada pengadilan niaga. Permohonan PKPU dapat diajukan sebelum ada permohonan pailit yang diajukan oleh debitor maupun kreditor atau dapat juga diajukan setelah adanya permohonan pailit asal diajukan paling lambat pada saat sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Namun jika permohonan pailit dan PKPU diajukan pada saat yang bersamaan maka permohonan PKPU yang akan diperiksa terlebih dahulu.14

Oleh karenanya langkah-langkah perdamaian ini adalah untuk menyusun Pada hakekatnya tujuan PKPU adalah untuk perdamaian. Fungsi perdamaian dalam proses PKPU sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama bagi si debitor, dimana si debitor sebagai orang yang paling mengetahui keberadaan perusahaan, bagaimana keberadaan perusahaannya kedepan baik petensi maupun kesulitan membayar utang-utangnya dari kemungkinan-kemungkinan masih dapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang terhadap sekalian kreditornya.

14 ฀

Pasal 229 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(10)

suatu strategi baru bagi si debitor menjadi sangat penting. Namun karena faktor kesulitan pembayaran utang-utang yang mungkin segera jatuh tempo yang mana sementara belum dapat diselesaikan membuat si debitor terpaksa membuat suatu konsep perdamaian, yang mana konsep ini nantinya akan ditawarkan kepada pihak kreditor, dengan demikian si debitor masih dapat nantinya, tentu saja jika perdamaian ini disetujui oleh para kreditor untuk meneruskan berjalannya perusahaan si debitor tersebut. Dengan kata lain tujuan akhir dari PKPU ini ialah dapat tercapainya perdamaian antara debitor dan seluruh kreditor dari rencarta perdamaian yang diajukan/ ditawarkan si debitor tersebut.

Apabila rencana perdamaian tidak tercapai atau pengadilan menolak rencana perdamaian, maka pengadilan wajib menyatakan debitor dalam keadaan pailit. Pengadilan dapat menolak rencana perdamaian karena:

PKPU pada dasarnya, hanya berlaku/ ditujukan pada para kreditor konkuren saja. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 pada Pasal 222 ayat (2) tidak disebut lagi perihal kreditor konkuren sebagaimana halnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 pada Pasal 212 jelas menyebutkan bahwa debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar

utang-15

1. Harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian 2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin

3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkokolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini

4. Imbalan jasa dan biaya dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayaran.


(11)

utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Namun pada Pasal 244 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 disebutkan: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap:

Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.

16

a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.

b. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan.

c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup pada point b.”

2. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

17

15 ฀

Pasal 285 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

16

Pasal 244 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

17


(12)

Ada beberapa penulis yang memakai perkataan persetujuan yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan persetujuan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda

overeenkomst yang dipakai oleh BW, tetapi karena perjanjian oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum.

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.

18

Mengenai batasan pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.

19

20

18

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 11.

19

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 93. 20

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 45.

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh


(13)

ketentuan-ketentuan tersendiri, sehingga hukum ke III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.21

Berdasarkan pengertian singkat di atas terdapat didalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/

rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya, oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian, suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat.

21

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005, hal. 18.


(14)

Hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum, dinamakan perikatan karena hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan, secara hukum. Suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan (unenforceable) adalah bukan perikatan.22

Hukum kebendaan dikatakan bersifat tertutup, dan karenanya tidak boleh ditambah, diubah, dikurangi atau dimodifikasi oleh orang perorangan atas kehendak mereka sendiri, hukum kebendaan, seringkali juga disebut sebagai hukum yang memaksa.

Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Berdasarkan hal tersebut maka satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis, tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

22

Notaris Nurul Muslimah Kurniati, “Kontrak Dan Perikatan”, Melalui

http://notarisnurulmuslimahkurniati.blogspot.com/2009/04/kontrak-dan-perikatan.html, Diakses tanggal 3 Agustus 2014.

23

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan Pada Umumnya , (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 21.


(15)

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan Undang-Undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling. Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht

dengan hukum perjanjian.

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite.

24

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite, tidak

24

Universitas Sumatera Utara, “Tinjauan Umum Tentang Kompensasi”,

Diakses tanggal 7


(16)

mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, buku II Burgelijk Wetboek (BW) tidak dinyatakan berlaku lagi.

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada persoon

tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian:

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

25

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi, ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan

25


(17)

pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Apabila debitur tidak mau secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa, akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis

adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke verbintenis. Ketidaksempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.


(18)

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota masyarakat. Ini berarti bahwa unsur hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dengan kepentingan orang lain.

Wirjono Prodjodikoro, berpendapat “Bahwa dalam hal gangguan oleh pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga, adalah sifat lain dari hak benda yaitu sifat absolut. Sedangkan dalam hukum perjanjian seseorang yang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak mutlak yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni orang pihak lain yang turut membikin perjanjian itu ”.

Suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata membedakan hak terhadap benda dan hak terhadap orang. Meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dengan orang, lebih tegasnya antara orang tertentu dengan orang lain tertentu. Artinya, hukum perdata tetap memandang suatu perjanjian sebagai hubungan hukum, di mana seorang tertentu, berdasarkan atas suatu janji berkewajiban untuk melakukan suatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu. Misalnya, A dan B membuat perjanjian jual beli, yaitu A adalah penjual dan B adalah pembeli, dan barang yang dibeli adalah sebuah lemari tertentu yang berada di dalam rumah A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri

26

26


(19)

yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut jatuh ke tangan seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.

Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada hukum benda, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda. Sedangkan pada hukum perjanjian, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat orang-orang tersebut, dengan sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak dapat dengan bebas menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, yang artinya hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap, yaitu pasal-pasal itu dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan mengatur sendiri sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

KUH Perdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan


(20)

dan ketertiban umum.

Dalam setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.

27

Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

G. Metode Penelitian

28

Kata metode berasal dari Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikata Yang Lahir Dari Perjanjian. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 47.

28

Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hal. 328.

29

Koenjtaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), hal. 16.


(21)

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis artinya dari data penelitian yang dianalisis dapat menggambarkan fakta dan pelaksanaan akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik sesuai permasalahan yang dikemukakan. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan gabungan antara yuridis normatif dan yuridis sosiologis yang didukung oleh data sekunder.

30

Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hal 11

30

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3. Sumber Data

Sumber data yang berupa bahan hasil penelitian kepustakaan, dalam hal ini sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier.

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari : (1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;


(22)

a. Pancasila

b. Undang-Undang Dasar 1945

c. KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitas, selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan, sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif.

31

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.76-77.


(23)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan.

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II. Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: syarat peraturan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, prosedur permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang, upaya hukum dalam penundaan kewajiban pembayaran utang serta berakhirnya penundaan kewajiban pembayaran utang.

Bab III. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: perjanjian timbal balik dalam sistem hukum perdata di Indonesia, jenis perjanjian di Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, serta akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal


(24)

balik dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Niaga.

Bab IV. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain. Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: sengketa dalam

perjanjian timbal balik, jenis penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain serta akibat hukum penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(1)

yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut jatuh ke tangan seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.

Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada hukum benda, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda. Sedangkan pada hukum perjanjian, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat orang-orang tersebut, dengan sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak dapat dengan bebas menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, yang artinya hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap, yaitu pasal-pasal itu dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan mengatur sendiri sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

KUH Perdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan


(2)

dan ketertiban umum.

Dalam setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.

27

Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

G. Metode Penelitian

28

Kata metode berasal dari Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikata Yang Lahir Dari Perjanjian. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 47.

28

Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hal. 328.

29

Koenjtaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), hal. 16.


(3)

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis artinya dari data penelitian yang dianalisis dapat menggambarkan fakta dan pelaksanaan akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik sesuai permasalahan yang dikemukakan. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan gabungan antara yuridis normatif dan yuridis sosiologis yang didukung oleh data sekunder.

30

Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hal 11

30

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3. Sumber Data

Sumber data yang berupa bahan hasil penelitian kepustakaan, dalam hal ini sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier.

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari : (1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;


(4)

a. Pancasila

b. Undang-Undang Dasar 1945

c. KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitas, selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan, sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif.

31

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.76-77.


(5)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan.

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II. Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: syarat peraturan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, prosedur permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang, upaya hukum dalam penundaan kewajiban pembayaran utang serta berakhirnya penundaan kewajiban pembayaran utang.

Bab III. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: perjanjian timbal balik dalam sistem hukum perdata di Indonesia, jenis perjanjian di Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, serta akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal


(6)

balik dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Niaga.

Bab IV. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain. Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: sengketa dalam

perjanjian timbal balik, jenis penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain serta akibat hukum penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.