Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ADHY ISWARA SINAGA 070200284

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ADHY ISWARA SINAGA 070200284

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ADHY ISWARA SINAGA 070200284

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D.Tinjauan Kepustakaan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Metode Penelitian ... 12

G.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II HUKUM KEPAILITAN A. Sejarah Hukum Kepailitan ... 20

B. Pengertian Umum Kepailitan ... 26

C. Asas-Asas Hukum Kepailitan ... 32

D. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit ... 35

E. Prosedur Permohonan Pailit ... 37

F. Akibat Hukum Kepailitan ... 39

G. Berakhirnya Kepailitan ... 43

H. Keberadaan Dan Kompetensi Pengadilan Niaga ... 53


(5)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D.Tinjauan Kepustakaan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Metode Penelitian ... 12

G.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II HUKUM KEPAILITAN A. Sejarah Hukum Kepailitan ... 20

B. Pengertian Umum Kepailitan ... 26

C. Asas-Asas Hukum Kepailitan ... 32

D. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit ... 35

E. Prosedur Permohonan Pailit ... 37

F. Akibat Hukum Kepailitan ... 39

G. Berakhirnya Kepailitan ... 43

H. Keberadaan Dan Kompetensi Pengadilan Niaga ... 53


(6)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ADHY ISWARA SINAGA 070200284

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(7)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ADHY ISWARA SINAGA 070200284

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(8)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ADHY ISWARA SINAGA 070200284

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(9)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D.Tinjauan Kepustakaan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Metode Penelitian ... 12

G.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II HUKUM KEPAILITAN A. Sejarah Hukum Kepailitan ... 20

B. Pengertian Umum Kepailitan ... 26

C. Asas-Asas Hukum Kepailitan ... 32

D. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit ... 35

E. Prosedur Permohonan Pailit ... 37

F. Akibat Hukum Kepailitan ... 39

G. Berakhirnya Kepailitan ... 43

H. Keberadaan Dan Kompetensi Pengadilan Niaga ... 53


(10)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D.Tinjauan Kepustakaan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Metode Penelitian ... 12

G.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II HUKUM KEPAILITAN A. Sejarah Hukum Kepailitan ... 20

B. Pengertian Umum Kepailitan ... 26

C. Asas-Asas Hukum Kepailitan ... 32

D. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit ... 35

E. Prosedur Permohonan Pailit ... 37

F. Akibat Hukum Kepailitan ... 39

G. Berakhirnya Kepailitan ... 43

H. Keberadaan Dan Kompetensi Pengadilan Niaga ... 53


(11)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D.Tinjauan Kepustakaan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Metode Penelitian ... 12

G.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II HUKUM KEPAILITAN A. Sejarah Hukum Kepailitan ... 20

B. Pengertian Umum Kepailitan ... 26

C. Asas-Asas Hukum Kepailitan ... 32

D. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit ... 35

E. Prosedur Permohonan Pailit ... 37

F. Akibat Hukum Kepailitan ... 39

G. Berakhirnya Kepailitan ... 43

H. Keberadaan Dan Kompetensi Pengadilan Niaga ... 53


(12)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D.Tinjauan Kepustakaan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Metode Penelitian ... 12

G.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II HUKUM KEPAILITAN A. Sejarah Hukum Kepailitan ... 20

B. Pengertian Umum Kepailitan ... 26

C. Asas-Asas Hukum Kepailitan ... 32

D. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit ... 35

E. Prosedur Permohonan Pailit ... 37

F. Akibat Hukum Kepailitan ... 39

G. Berakhirnya Kepailitan ... 43

H. Keberadaan Dan Kompetensi Pengadilan Niaga ... 53


(13)

BAB IV AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004

A. Peranan Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan Dan PKPU Menurut UU No. 37 Tahun 2004 ... 94 B. PKPU dan Manfaatnya Bagi Pihak Debitor dan Kreditor

Dalam Perjanjian Sewa Menyewa ... 97 C. Akibat PKPU Terhadap Kedudukan Hukum Debitor Dalam

Perjanjian Sewa Menyewa Menurut UU No. 37 Tahun 2004 .... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 107 B. Saran ... 108


(14)

dengan harapan terwujudnya wacana baru yang berhubungan dengan kepailitan terhadap kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan dan asas integrasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam skripsi ini akan dibahas dua permasalahan yaitu: bagaimana manfaat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bagi pihak debitor dan kreditor dalam perjanjian sewa menyewa serta bagaimana kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Penyusunan skripsi ini dengan menggunakan metode kepustakaan (library research) yaitu dengan mendasarkan kepada bahan kepustakaan baik berupa pendapat para ahli hukum dan juga ketentuan perundang-undangan yang ada kaitan dengan masalah tersebut di atas.

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah peranan pengadilan niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan dan PKPU menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah kelemahan-kelemahan yang ada pada proses peradilan menurut ketentuan Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 jo. Stb.

1906 dengan semasa Undang No. 4 Tahun 1998 dan juga pada Undang-Undang Kepailitan yang baru Undang-Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU sudah lebih maju lagi khususnya dalam hal pengajuan PKPU yaitu permohonan PKPU tidak hanya dapat diajukan oleh pihak debitor saja, tetapi juga sudah dapat diajukan oleh pihak kreditornya, hal ini tentunya menjadi sangat penting, karena membuka secara luas kearah proses perdamaian tidak semata-mata mempailitkan debitor.

Proses di pengadilan niaga yang sangat cepat dalam

memutuskan/mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimana jika permohonan diajukan oleh pihak debitor hanya memerlukan batas waktu 3 hari, harus sudah dikabulkan PKPUnya oleh pihak pengadilan yaitu PKPU sementara pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 hal ini tidak disebut dengan jelas. Pada Pasal 214 ayat (2) hanya dikatakan pengadilan harus segera mengabulkan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang tanpa menetapkan batas waktu segera tersebut.


(15)

1

Kemerdekaan yang diraih Bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa diperoleh melalui perjuangan yang sangat panjang. Hasil dari perjuangan tersebut harus dipertahankan untuk memberikan kesempatan kepada Bangsa Indonesia mewujudkan kesejahteraan yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.1

Agar tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia tersebut dapat tercapai, maka negara melaksanakan pembangunan dalam segala bidang demi kesejahteraan rakyat, dan rakyat Indonesia itu sendiri harus merasa aman dari berbagai macam ancaman dan bahaya baik yang datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Usaha pembangunan ini juga harus didukung

1

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 1991), hal 10


(16)

dengan tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas untuk mengolah dan memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia dengan baik dan bijaksana. Selain itu, negara melalui alat-alat perlengkapan negara harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung usaha pembangunan tersebut dengan tetap berpihak pada kepentingan umum.

Usaha pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan dengan adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia walaupun dalam kenyataannya pemerintah masih mengalami banyak kendala. Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia dipertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Negara Indonesia memang tidak sendirian dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkuri bahwa negara Indonesia adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya.2

Tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar, sedangkan yang masih dapat bertahan pun usahanya memprihatinkan. Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang memprihatinkan yang akan berakibat pula pada tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mengatasi permasalahan di dunia usaha, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan. Inisiatif pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan, sebenarnya timbul

2Ibid


(17)

karena ada “tekanan” dari Dana Moneter Internasional / International Monetery Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor ke kreditor. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda selama ini kurang dapat memenuhi tuntutan zaman.3

3

Sutan Remi Sjahdeni, Hukum Kepailitan, (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hal 50.

Ketentuan yang mengatur secara khusus tentang kepailitan pada awalnya terdapat dalam Wet Boek Van Koophandel (WVK) buku III, namun

dicabut dan diganti dengan Staatblad 1905 No. 217 tentang

Faillissemensverordening staatblad 1906 No.348. Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Kepailitan Tahun 1905 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang bukan merupakan Undang-Undang Kepailitan yang baru melainkan hanya sekedar mengubah dan menambah beberapa pasal peraturan kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Kepailitan Tahun 1905 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ini dianggap tidak dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat, maka pemerintah bersama dengan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(18)

Keadaan suatu perusahaan tidaklah selalu berjalan dengan baik dan terkadang mengalami kesulitan dibidang keuangan sehingga perusahaan tersebut tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya. 4

Di dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata telah diatur khusus mengenai hal utang piutang. Dalam Pasal 1131 KUH Perdata tersebut tidak Di dalam menjalankan usahanya, perusahaan membutuhkan modal baik berupa uang ataupun berupa barang. Di dalam menjalankan usaha, satu hal yang pasti perusahaan akan memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika perusahaan itu memperoleh keuntungan, tentu saja perusahan itu akan terus berkembang bahkan bisa menjadi perusahaan raksasa, tetapi apabila perusahaan tersebut mengalami kerugian, maka untuk mempertahankan usahanya akan dirasakan sangat sulit. Untuk mempertahankan usahanya tersebut perusahaan dapat melakukan peminjaman uang yang dibutuhkan kepada pihak lain.

Pemberian pinjaman oleh kreditor kepada debitor didasarkan pada asumsi bahwa kreditor percaya debitor dapat mengembalikan utang tepat pada waktunya. Pelunasan utang oleh debitor kepada kreditor tidak selalu dapat berjalan dengan lancar ada kalanya debitor tidak membayar utangnya kepada kreditor walaupun telah jatuh tempo. Debitor yang tidak mampu melunasi utangnya, maka harta kekayaan debitor yang bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan atas utangnya.

4Ibid


(19)

hanya menentukan bahwa harta kekayaan seseorang debitor demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban yang berupa membayar utangnya kepada kreditor yang mengutanginya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang maupun karena perjanjian selain perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam uang.5

Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang- undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya. Kedua pasal tersebut di atas merupakan jaminan bagi kreditor untuk mendapatkan pelunasan bagi semua piutangnya, tapi untuk melaksanakan pembayaran utang oleh debitor kepada kreditor dengan adil diperlukan peraturan khusus, salah satunya adalah peraturan khusus yang mengatur tentang kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya kekhawatiran kreditor melakukan pemangkiran atas pelunasan utang oleh debitor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Selama putusan permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan dapat pula mengajukan untuk menetapkan sita jaminan atas sebagian atau keseluruhan harta kekayaan debitor. Sebab debitor tersebut dapat melakukan kecurangan atas keseluruhan harta kekayaannya dengan cara mengalihkan seluruh

5Ibid


(20)

kekayaannya sebelum ditetapkannya pernyataan pailit. Kepailitan di Indonesia masih baru dan studi mengenai permasalahan yang berkaitan tentang pemberian jaminan untuk pengajuan sita pada pemeriksaan kepailitan belum pernah diteliti, maka penulis tertantang untuk menulis mengenai studi tersebut. Permohonan pernyataan pailit yang disertai pemberian jaminan untuk pengajuan sita dalam sengketa kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam penulisan ini dapat memberikan jawaban atas persoalan akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).6

Apabila debitor melakukan tindakan hukum tanpa mendapat kewenangan dari pengurus, maka pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan karena tindakan debitor tersebut. Kewajiban-kewajiban debitor yang dilakukan tanpa mendapat kewenangan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta debitor sepanjang hal itu menguntungkan harta debitor.

Selama penundaan kewajiban pembayaran utang tanpa diberi kewenangan oleh pengurus, debitor tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian hartanya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 240 UUK No. 37 Tahun 2004 (sebelum Pasal 226 UU 1998).

7

6Ibid

, hal 54.

7Ibid


(21)

Atas dasar kewenangan yang diberikan oleh pengurus, debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga semata-mata dalam rangka meningkatkan nilai harta debitor. Apabila dalam melakukan pinjaman tersebut perlu diberikan agunan, debitor dapat membebani hartanya dengan hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sepanjang pinjaman tersebut telah memperoleh persetujuan hakim pengawas. Pembebanan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta debitor yang belum dijadikan jaminan utang.

Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa ataupun menghalangi pengajuan perkara baru. Walaupun demikian, dalam hal perkara yang semata-mata mengenai tuntutan pembayaran suatu piutang yang telah diakui oleh debitor itu sendiri, akan tetapi kreditor tidak mempunyai kepentingan untuk mendapat sesuatu putusan guna melaksanakan haknya terhadap pihak ketiga, setelah tentang pengakuan tersebut di atas dicatat, maka hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal itu sampai akhir PKPU.8

Dalam perjanjian sewa menyewa, apabila debitor bertindak sebagai penyewa suatu barang segera setelah PKPU dimulai, dengan kewenangan dari pengurus dapat mengakhiri sewa tersebut untuk sementara, asalkan

Debitor tidak boleh menjadi penggugat maupun tergugat dalam perkara-perkara mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta kekayaannya tanpa bantuan pihak pengurus.

8

Mohamad Chaidir Ali, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal 25.


(22)

pemberitahuan untuk menghentikan sewa itu dilakukan menjelang suatu waktu perjanjian itu akan berakhir menurut kebiasan setempat. Dalam melakukan penghentian hendaknya diindahkan pula jangka waktu menurut perjanjian atau menurut kelaziman, dengan ketentuan bahwa jangka waktu 90 hari adalah cukup (Pasal 251 ayat (1) dan (2) UUK Tahun 2004).

Uang sewa telah dibayar sebelumnya, maka sewa tersebut tidak boleh dihentikan sampai menjelang hari akhir waktu untuk mana pembayaran uang telah dilakukan. Dan sejak putusan PKPU sementara diucapkan maka uang sewa merupakan utang harta debitor.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, dirasakan perlu untuk mengadakan penelitian tentang akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian sewa menyewa. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “AKIBAT

HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 37 TAHUN 2004”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pokok masalah yang akan dirumuskan dalam penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana manfaat PKPU bagi pihak debitor dan kreditor dalam


(23)

2. Bagaimanakah kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain, yaitu:

1. Untuk mengetahui manfaat PKPU bagi pihak debitor dan kreditor dalam perjanjian sewa menyewa.

2. Untuk mengetahui kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Manfaat penulisan ini adalah:

1. Secara Teoritis

Pembahasan masalah dari penulisan skripsi ini akan memberikan pemahaman dan sikap kritis dalam menghadapi pengetahuan tentang kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang, selanjutnya hasil peneliti ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam kajian mengenai kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang lainnya, serta untuk menambah wawasan bagi para mahasiswa fakultas hukum. Hasil tulisan juga


(24)

diharapkan dapat menjadi pedoman bahan perbandingan dan juga bahan tambahan bagi peneliti yang mengkaji masalah sejenis.

2. Secara Praktis

Diharapkan agar tulisan ini dapat menjadi masukan bagi para pembaca, baik dikalangan akademial maupun peneliti yang mengkaji masalah yang sejenis ke dalam suatu pemahaman yang komprehensif tentang sejauh mana kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang yang diharapkan dapat mendapat wawasan tentang akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian sewa menyewa menurut Undang-Undang No 37 Tahun 2004.

D. Tinjauan Kepustakaan

Pengertian akibat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu hasil dari perbuatan atau tindakan maupun kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu pihak yang berdampak kepada orang lain.9

Pengertian lain dari hukum menurut Immanuel Kant, hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan.10

9

Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta:Lintas Media, 2004), hal 747.

10

W.J.S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2006), hal 612.

Selanjutnya pengertian dari akibat hukum yaitu suatu hasil dari perbuatan atau tindakan maupun kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu pihak yang berdampak kepada orang lain


(25)

yang berhubungan dengan peraturan dan norma-norma hukum yang berlaku.11

Pengertian pailit adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwewenang baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.12Sedangkan pengertian perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam perjanjian itu.13

Mengenai pengertian penundaan kewajiban pembayaran utang adalah debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dan dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang.

Sedangkan mengenai pengertian perjanjian sewa menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan suatu barang (pada umumnya pemilik barang) kepada pihak penyewa untuk dinikmati untuk suatu jangka waktu tertentu dengan sejumlah harga sewa yang tertentu pula.

14

11

Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, (Jakarta, 1980), hal 60.

12

W.J.S. Poerwadarminta, op cit, hal 85.

13

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 1994), hal 46.

14


(26)

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini sudah pernah ada dibahas oleh orang lain tetapi saya mencoba menulis skripsi ini dengan permasalahan yang berbeda. Dengan ini penulis dapat bertanggungjawab atas keaslian penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa penulisan ini adalah jauh dari unsur plagiat. Dalam yang mendukung penulisan ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan, baik berupa karya ilmiah, Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Kepailitan, maupun pasal-pasal dalam KUH Perdata.

F. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.15

15

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.


(27)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.16

Penelitian hukum normatif dikenal sebagai penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Berkenaan dengan penelitian kualitatif tersebut Anselmus Strauss dan Juliat Corbin menyebut sebagai berikut

“Qualitatif research we mean any kind of research that procedure findings not arrived at by means of statistical procedures or ather means of quantifications. It can refer to research about persons, lives, behaviours, but also about organization functionating, social covenants intellectual relationship”.

17

Tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang di

16Ibid

, hal 9.

17

Anselmus Strauss, dan Juliat Corbin, Basic of Qualitative Research, Grounded Theory Procedure and Technique, (Newbury, Park London, New Delhi : Sage Publication, 1979), hal 7.


(28)

dasarkan pada yang dikumpulkan18. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifsir. Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan suatu kesatuan yang integral, dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam

(indepth information).19

2. Sumber Data

Ketiga kriteria penelitian kualitatif tersebut terdapat dalam penelitian skripsi ini, sehingga sangat beralasan menggunakan metode kualitatif dalam analisis data. Penelitian ini bersifat menyeluruh karena berupaya mendalami keseluruhan aspek dari tinjauan yuridis dalam permohonan kepailitan aspek hukum, yang keseluruhan dikonstruksikan dalam uraian-uraian yang sistematis.

Penelitian ini juga berupaya mencari hubungan yang harmonis dari konsep-konsep yang ditemukan dalam bahan-bahan hukum primer dan skunder dengan menggunakan teori atau doktrin-doktrin hukum terkait Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Sumber data digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi

18

William J. Filstead, Qualitative Methods : A Needed Perspective in Evaluation Reseaarch, dalam Thomas D. Cook dan Charles S. Reichardt, ed, Qualitative and Quantitative Methods in Evalution Research, (London : Sage Publications, 1979), hal 38.

19

Chai Podhisita, et al, Theoritical Terminological, and Philosophical Issues in Qualitative Research, Qualitative Research Methods, hal 7.


(29)

teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi :

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan KUH Perdata.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;20

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, jurnal ilmiah, artikel bebas dari internet, juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.21 3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan

20

Ronny.H.Soemitro,Op.cit.hal.45.

21

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal 14-15.


(30)

identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal (di dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, KUH Perdata) yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.22 4. Analisis Data

Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif. Sehinga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

22

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal 195-196.


(31)

Pada penelitian hukum normatif, pengelolaan bahan hukum pada hakekatnya adalah kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan dalam penelitian kegiatan tersebut anatar lain memilih peraturan perundang-undangan primer, sekunder, tertier yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan masalah Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Menemukan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam bahan-bahan hukum primer. Membuat sistematis dari bahan-bahan hukum sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu yang selaras dengan menemukan dan mengarahkan hubungan antara prinsip-prinsip hukum dan klasifikasi dengan mengunakan kerangka teoritis yang ada sebagai pisau analisis. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh dengan mengunakan logika berpikir deduktif dan induktif.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslisan penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.


(32)

Bab II : Tinjauan Hukum Kepailitan

Bab ini menguraikan tentang pengertian umum kepailitan, pihak yang dapat meminta pailit, prosedur permohonan pailit, akibat hukum kepailitan. Kemudian pengertian berakhirnya kepailitan, insolvensi atau pemberesan harta pailit, rehabilitasi. Lalu pengertian keberadaan dan kompetensi, kedudukan dan pembentukan, kompetensi, dan hakim . Selanjutnya pengertian penundaan kewajiban dan pembayaran utang.

Bab III : Tinjauan Hukum Perjanjian

Bab ini menguraikan tentang pengertian perjanjian, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, pelaksanaan suatu perjanjian. Selanjutnya pengertian perjanjian sewa menyewa, kewajiban pihak yang menyewakan, kewajiban pihak penyewa, serta berakhirnya perjanjian sewa menyewa.

Bab IV : Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa

Bab ini menguraikan tentang kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.


(33)

19

A. Sejarah Hukum Kepailitan

Dalam sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di Indonesia, menurut Sri Redjeki Hartono dapat dipilah menjadi 3 masa yakni masa sebelum

Faillisement Verordening berlaku, masa berlakunya Faillisements Verordening itu sendiri dan masa berlakunya UU Kepailitan yang sekarang ini.45

1. Sebelum berlakunya Faillisements Verordening

Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu Hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:

1. Wet Book Van Koophandel atau WVK buku ketiga yang berjudul “Van de Voorzieningen in geval van Onvormogen van kooplieden” atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan Kepailitan bagi pedagang.

2. Reglement op de Rechtsvoordering (RV). S. 1847-52 bsd 1849-63, Buku ketiga bab ketujuh dengan judul “Van den staat Von Kenneljk Onvermogen atau tentang Keadaan nyata-nyata tidak mampu.

Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah:

45


(34)

a . Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya b . Biaya tinggi

c . Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan d . Perlu waktu yang cukup lama.

Pembuatan aturan baru yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillissements Verordening (S. 1905-217) untuk menggantikan dua Peraturan Kepailitan tersebut.46

2. Masa Berlakunya Faillisements Verordening

Mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (S.1905-271 bsd S.1906-348). Peraturan Kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina dan golongan Timur Asing (S. 1924 - 556). Bagi golongan Indonesia asli (pribumi) dapat saja menggunakan

Faillisements Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepailitan berlaku Faillisementes Verordening

1905-217 yang berlaku bagi semua orang, baik bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum.

46Ibid,

hal. 10

Sejarah peraturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan apa yang terjadi di Belanda melalui asas konkordansi (Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya “Code de Commerce” (tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 September 1896.


(35)

3. Masa Berlakunya Undang- Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional Setelah berlakunya Fv. S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348, Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan meskipun masih tambal sulam sifatnya, yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang.47

a. Masa Berlakunya Perpu No 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998

Pengaruh gejolak moneter yang terjadi di negara-negara Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi.

47Ibid

, hal. 11

Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban


(36)

membayar tadi di atur dalam Feaillisements Verordening S. 1905 No. 217 Jo. S. 1906 No. 348.

Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening

tersebut masih baik. Namun karena mungkin selama ini jarang

dimanfaatkan, mekanisme yang diatur didalamnya menjadi semakin kurang teruji, beberapa infra struktur yang mendukung mekanisme tersebut juga menjadi kurang terlatih. Sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang.

Pelaksanaan penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau

Faillisemnets Verordening melalui PERPU No. 1 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang tentang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 dan sebagai konsekuensi lebih lanjut dari PERPU ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Kepailitan yang telah disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 September tahun 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) tahun 1998 No. 135.

Sejak undang-undang tersebut disahkan maka berlakulah UU Kepailitan yang isinya masih merupakan tambal sulam dari aturan


(37)

sebelumnya yaitu Peraturan Kepailitan atau FV.48 b. Masa Berlakunya UUK No.37 Tahun 2004

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat.

Krisis moneter yang melanda Benua Asia termasuk Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai,

Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya. Oleh karena itu

apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya.

48Ibid,


(38)

perubahan dilakukan terhadap Undang-Undang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan.

Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari adanya:

1. Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.

2. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan

3. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.

yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.


(39)

Pembayaran Utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Beberapa pokok materi baru dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ini antara lain:49

1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam Undang-Undang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.

2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.

B. Pengertian Umum Kepailitan

Kepailitan adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha global seperti sekarang ini tidak mungkin terisolir dari masalah-masalah lain. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan

49Ibid,


(40)

pengaruh buruk bukan hanya perusahaan itu saja melainkan berakibat global. Sebagai contoh, ketika Dirut Yamaichi Securities pada tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan kebangkrutan perusahaannya pada suatu konferensi pers di Tokyo, Jepang laksana diguncang bom atom lagi. Bahkan dampaknya bersifat mengglobal. Dari kasus ini dapat dilihat banyak yang akan jadi korban bila perusahaan itu dinyatakan pailit.50

Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima bila dilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis meliputi 3 hal yaitu

Lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Begitu memasuki pelaku bisnis bermain di dalam pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar. Hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.

51

1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga-lembaga yang mewadahi para bisnis dalam arena pasar (substantive legal rules);

:

2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan

3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar.

50

Munir Fuady, Hukum Pailit, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hal 30.

51Ibid


(41)

Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”. Sedangkan dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act. Dalam aturan lama yaitu Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepailitan

Faillisement Verordening S. 1990-217 jo 1905-348 menyatakan “Setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit “.52

Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan di

pengadilan setelah memenuhi persyaratan di dalam pengajuan

permohonannya. Keterbatasan pengetahuan perihal ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga istilah pailit yang jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan bawah maupun pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut lebih dikenal. Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke pengadilan agar dirinya dinyatakan pailit. Para pedagang kecil jika ia sudah tidak dapat berdagang Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Th.1998 Pasal 1 angka 1 menyebutkan “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditur”.

52Ibid


(42)

lagi karena modalnya habis dan ia tidak dapat membayar utang-utangnya, lalu ia mengatakan bahwa dirinya sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi perusaha/pedagang besar, pengertian istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka ketahui.53

1. Semua hasil pendapatan debitor pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan/ jasa, upah pensiun, uang tunggu/uang tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim.

Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut di atas maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitor baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai utang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:

2. Uang yang diberikan kepada debitor pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213, 225, 321 KUH Perdata).

3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan hak nikmat hasil seperti dimaksud dalam (Pasal 311 KUH Perdata).

4. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitor pailit berdasarkan Pasal 318 KUH Perdata.54

53Ibid

, hal 32.

54Ibid


(43)

Apabila seorang debitor (yang utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditor akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan jalan mengajukan gugatan perdata kepada debitor ke pengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si debitor atau menempuh jalan yaitu kreditor mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitor dinyatakan pailit.

Kreditor menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka hanya kepentingan kreditor/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitor yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditor, kreditor lain yang tidak melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila kreditor-kreditor memohon agar pengadilan menyatakan debitor pailit, maka dengan persyaratan pailit tersebut maka jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan debitor dan sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur.55

55Ibid

, hal 36.

Dikatakan sita umum, karena sita tadi untuk kepentingan seorang atau beberapa orang kreditor, melainkan untuk semua kreditor atau dengan kata lain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan. Hal lain yang perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya. Jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum kekayaan misalnya hak sebagai keluarga, hak yang timbul dari kedudukan sebagai orang tua, ibu misalnya.


(44)

Menurut Retonowulan Sutianto kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan putusan hakim yang berlaku serta dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang kepentingan semua kreditor yang dilakukan dengan pihak yang berwajib. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan maupun atas permintaan pihak ketiga diluar debitor, suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan. Maksud dari pengajuan pecrmohonan ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. 56

Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang telah diajukan. Jika dibaca rumusan yang dalam Pasal 1 UU No 4 Tahun 1998 dapat diketahui bahwa pernyataan pailit oleh pengadilan, debitor tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit .

57

56Ibid

, hal 40.

57

Iswayudi Karim, Restrukturisasi Piutang, (Jakarta:Diklat Propesi Penunjang Untuk Konsultan Hukum Pasar Modal, 2003), hal 105.

Dengan adanya pengumuman putusan pernyataan pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan Pasal 113 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atas seluruh harta kekayaan debitur pailit yang berlaku umum bagi semua kreditor konkuren dalam kepailitan tanpa terkecuali untuk memperoleh pembayaran atas seluruh piutang-piutang konkuren mereka. Yang dapat dinyatakan pailit adalah :


(45)

1. “Orang Perseorang” baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun belum menikah. Jika permohonan pernyataaan pailit tersebut diajukan oleh debitur perseorang yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami “, kecuali antara suami isteri tersebut tidak ada pencampuran harta.

2. “Perserikat-perserikatan atau perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya”. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus membuat nama dan tempat kediaman masing-masing persero yang secara tanggung rentang terikat untuk seluruh utang firma.

3. “Perseroan-perseoran, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya”.58

C. Asas-asas Hukum Kepailitan

Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap utang-utangnya.

Menurut Pasal 1131 “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.59 Pasal 1132 “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

58 Ibid

, hal 108.

59

Sri Redjeki Hartono, Op.Cit., hal. 16

Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi dengan jaminan dari


(46)

kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian hari Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata ini merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan.

Hubungan kedua pasal tersebut adalah kekayaan debitur (Pasal 1131 KUH Perdata) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132 KUH Perdata) secara proporsional, kecuali bagi kreditur dengan hak mendahului (hak preferensi).

Pada dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata ini adalah bahwa undang-undang mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur. Bertolak dari asas tersebut sebagai lex generalis, maka ketentuan kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional.

Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:60

(1) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab atas semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur-krediturnya

(2) Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.

60Ibid,


(47)

Keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka memberikan kepastian hukum.

Dari itu timbullah lembaga kepailitan yang berusaha untuk mengadakan tata yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan cara seperti yang diperintahkan oleh Pasal 1132 KUHPerdata. Jadi Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan dasar hukum dari kepailitan.

Dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Ferordening vaillissements (FV) maupun UU No 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada UU No 37 Tahun 2004 yaitu Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni:61

1. Asas Keseimbangan

61Ibid,

hal. 19

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur. Pada pihak lain terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga


(48)

kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

4. Asas Integrasi

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.

Asas Integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

D. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit

Adanya putusan kepailitan dari pengadilan lebih menjamin kepastian hukum dan adanya penyelesaian yang adil sehingga mengikat, oleh karena akan diberikan kewenangan oleh pengadilan kepada kurator atau hakim pengawasan untuk menilai apakah benar-benar tidak mampu membayarkan utang-utangnya.


(49)

Kemudian guna melindungi kepentingan kreditor agar kekayaan atau harta benda si debitor kepada pihak lain, maka setiap kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebelum ditetapkan seperti tercantum pada Pasal 7 ayat (7) sub a dan b Undang-Undang No.4 Tahun 1998 untuk:

a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruhnya kekayaan debitor, atau

b. Menunjukkan kurator sementara untuk: 1. Megawasi pengelola usaha debitor

2. Megawasi pembayaran kepada kreditor yang dalam rangka kepailitan memerlukan kurator.62

Diharapkan dengan lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan bermaksud memberikan kesempatan kepada pihak kreditur ataupun debitur untuk mengupayakan penyelesaian yang adil dan mengikat serta sesuai dengan putusan pengadilan terhadap utang piutang mereka. Ketentuan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998 menyebutkan pihak-pihak yang meminta pailit yaitu:

1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun seorang atas permintaan seorang atau lebih kreditur.

62Ibid


(50)

2. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan kejaksaan untuk kepentingan umum.

3. Dalam menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan

pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

4. Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusahan efek, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM).63

E. Prosedur Permohonan Pailit

Kalau diperhatikan prosedur untuk memohon pernyataan pailit bagi si debitur ada disebutkan Pasal 4 Undang-Undang No.4 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan melalui panitera.

2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

3. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua dengan jangka waktu paling lambat 1x24 jam terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari.

63

Siti Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, (Yogyakarta:PT Gajah Mada, 1993) , hal 73.


(51)

4. Sidang memeriksa atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal pemohonan didaftarkan.

5. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda permohonan dan menetapkan hari sidang.

6. Penyelenggaraan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.

7. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma.64

Demi melindungi kepentingan kreditur tersebut Pasal 7 ayat (1) sub a dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, menegaskan bahwa kreditur dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitur yang ditetapkan. Hal ini dilakukan kreditor untuk menjaga itikad tidak baik debitor dalam berhubungan dengan pemberesan dan pengurusan hartanya. Selanjutnya juga dalam putusan pernyataan pailit ataupun setiap saat setelah putusan dijatuhkan, atas usul hakim pengawasan atau permintaan kurator atau salah seorang debitor atau lebih maka pengadilan boleh memerintahkan agar debitor pailit dimasukkan dalam tahanan baik dalam penjara maupun dalam rumah debitor sendiri dibawah pengawasan seorang pejabat dari kekuasaan umum dan pemerintah untuk melakukan penahanan dijalankan oleh kejaksaan. Hal ini dilakukan oleh pengadilan atas dasar debitur pailit dengan

64Ibid


(52)

sengaja tanpa dasar yang sah hal ini sesuai dengan Pasal 88, 101 dan 122 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.65

Jaksa atau penuntut umum dapat memohon kepailitan seorang debitor bilamana dipenuhi syarat-syarat adanya keadaan berhenti membayar utang dari yang bersangkutan dengan alasan kepentingan umum. Jadi bila tidak ada lagi kepentingan perseorangan jaksa maka dapat berperan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas si debitor, tetapi bila bukan, demi kepentingan umum jaksa tidak berhak mengajukan permohonan pailit.

Jika kreditor yang memohonkan pernyataan pailit maka kreditor tersebut harus dapat membuktikan bahwa tuntutannya terhadap pembayaran piutangnya kepada debitor dilengkapi dengan bukti-bukti tagihan yang cukup, kalau tidak kreditor tersebut tidak akan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap diri si debitor.

66

F. Akibat Hukum Kepailitan

Putusan kepailitan membawa akibat bagi si pailit atau debitor sendiri maupun harta kekayaannya, sejak dibacakan putusan kepailitan, si pailit (debitor) kehilangan hak pengurusan dan penguasaan atas budel. Ia menjadi pemilik dari budel itu, tetapi ia tidak boleh lagi mengurus dan meguasainya. Pengurusan dan penguasaan itu beralih kepada hakim pengawasan dan kurator yang ditunjuk dari, sementara dalam hal kreditor dan debitor tidak

65

Mulaiman Hadad, Indikator Kepailitan di Indonesia,(Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal 67.

66Ibid


(53)

mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan maka Balai Harta Peninggalan (BPH) bertindak sebagai kurator.67

a. Pengaruh putusan kepailitan atas tuntutan-tuntutan tertentu, pengaruh putusan kepailitan dalam tuntutan tersebut ada dua jenis yaitu:

Pengurusan dan penguasaan harta kekayaan tersebut pindah kepada Balai Harta Peninggalan (BPH) dimana terhadap seluruh harta kekayaan yang sudah ada maupun yang diperoleh selama berjalannya kepailitan kecuali yang dengan undang-undang dengan tegas dikeluarkan dari kepailitan. Adapun akibat putusan terhadap pailitnya debitor mempunyai pengaruh hukum baik terhadap debitor maupun terhadap kreditor, hal ini antara lain :

1. Tuntutan yang berpokok hak-hak dan kewajiban masuk budel pailit 2. Tuntutan-tuntutan yang bertujuan untuk dipenuhinya suatu perikatan

dalam budel

b. Pengaruh terhadap perbuatan si pailit (debitor) terhadap perbuatan si pailit yang merupakan para kreditor, Balai Harta Pengadilan atau kurator dapat mengemukakan pembatalan dari perbuatan tersebut. Perbuatan si pailit yang merugikan kreditor pada pokoknya adalah perbuatan yang berakibat berkurangnya budel, sehingga dianggap tidak pernah ada. Konsekuensinya adalah bilamana dikarenakan perbuatan tersebut ada bagian-bagian harta kekayaan dikeluarkan dari budel, maka bagian-bagian dari harta kekayaan tersebut oleh Balai Harta Peninggalan dituntut untuk dikembalikan ke dalam budel.

67Ibid


(54)

c. Pengaruh terhadap pelaksanaan hukum atas harta kekayaan debitor/si pailit, terhadap pelaksanaan hukum atas sesuatu bagian dari harta kekayaan debitor yang dimulai sebelum adanya putusan kepailitan, maka dengan adanya putusan kepailitan itu berakhir dengan pelaksanaan hukum tersebut. Pelaksanaan hukum yang dimaksud di atas yakni penyitaan, uang paksa, hukum badan (sandra), penjualan barang untuk pelunasan utang, perbaikan nama baik dan harta tanggungan serta lampau waktu.

d. Pengaruh terhadap perjanjian timbal balik Pasal 36 sampai Pasal 39 Undang-undang No. 4 Tahun 1998 mengatur putusan kepailitan terhadap perjanjian timbal balik dalam hal ini dibedakann antara perjanjian timbal balik dalam tarap pelaksanaan tertentu atau dalam tarap tidak dilaksanakan dengan beberapa perjanjian sewa menyewa dan perjanjian kerja (perjanjian perburuhan). Untuk perjanjian-perjanjian umum tata biasa dalam Pasal 36 menegaskan sebagai berikut:

Ayat (1), dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit ditetapkan terhadap perjanjian timbal balik yang belum atau sebagiannya dipenuhi maka pihak dengan siapa debitur mengadakan perjanjian tersebut maka dapat diminta kepada kurator untuk memberi kepastian tentang kelanjutan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator kemudian.

Ayat (4), apabila kurator menyatakan kesanggupan, maka pihak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta kurator untuk memberikan jaminan atas kesanggupannya melaksanakan perjanjian tersebut.

Kemudian perjanjian timbal balik yang terkena pengaruh pailit dalam hal ini, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian kerja dapat dilihat dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 yang menegaskan sebagai berikut:


(55)

Untuk perjanjian kerja Pasal 39 menentukan bahwa pekerja-pekerja yang dalam ikatan kerja dengan si pailit dapat menghentikan hubungan kerja dan kepada mereka secara timbal balik hubungan-hubungan kerja itu dapat dihentikan oleh Balai Harta Peninggalan dengan mengindahkan isi yang diperjanjikan atau menurut undang-undang, akan tetapi dengan pengertian bahwa setiap hal hubungan kerja dapat diakhiri oleh penghentian dengan tenggang waktu 6 (enam) minggu semenjak hari pernyataan pailit itu upah buruh menjadi utang budel.

e. Akibat putusan pailit terhadap kewenangan berbuat si pailit dalam bidang harta kekayaan, Undang-Undang, No 4 Tahun 1998 menegaskan bahwa si pailit (debitur) tidak mempunyai kewenangan baik sebagian maupun seluruhnya terhadap harta kekayaan setelah pernyataan putusan pailit. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kemungkinan berkurangnya aset debitur atau si pailit dalam melakukan proses pemberesan utang-utang kreditur.

Selanjutnya terhadap ketentuan lain yang berhubungan dengan pembatalan perjanjian adalah apa yang dikenal dengan Actio Pauliana

(gugatan pembatalan dari pihak kreditor yang ditujukan kepada debitor karena perbuatan itu dianggap curang dan sangat merugikan kreditor) ini dapat dikatakan terobosan terhadap sifat dasar perjanjian yang berlaku yang mengikat diantara pihak-pihak yang membuatnya, hal ini didasari pada Pasal 1340 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Terobosan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1341 ayat (1) KUH Perdata


(56)

ini memberikan hak kepada kreditur untuk menganjurkan pembatalan atas setiap tindakan hukum yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apapun juga yang merugikan kreditur.68

G. Berakhirnya Kepailitan

Akur atau Perdamaian

Perdamaian dalam kepailitan adalah perjanjian antara debitor pailit dengan para kreditor dimana menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut, dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi. Kepailitan yang berakhir melalui akur disebut juga berakhir perantaraan hakim (pengadilan).

Akur lazimnya berisi kemungkinan seperti di bawah ini69

1. Si pailit menawarkan kepada kreditor-kreditornya untuk membayar sesuatu presentase dan sisa dianggap lunas.

:

2. Si pailit menyediakan budelnya bagi para kreditor dengan mengangkat seorang pemberes untuk menjual budel itu dan hasilnya dibagi antara para pembebasan untuk sisanya. Akur semacam ini disebut akur likuidasi

(liquidatieaccoord).

3. Debitor minta penundaan pembayaran dan minta diperbolehkan mengangsur utang. Ini tidak lazim terjadi.

4. Debitor menawarkan pembayaran tunai 100% ini jarang terjadi.

68

Andrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2009), hal 115.

69Ibid,


(57)

Selengkapnya mengenai akur perdamai diatur dalam lampiran UU Kepailitan Pasal 134 s/d 167 (pasal ini tidak mengalami perubahan), yaitu menurut Pasal 134 UUK, debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditur secara bersama. Apabila penawaran itu diterima dan telah disahkan oleh hakim pengawas, maka kepailitan akan berakhir.70

Selanjutnya Pasal 142 UUK menyebutkan bahwa, apabila dari setengah jumlah kreditur yang hadir dalam rapat kreditur dan wakil paling sedikit setengah dari jumlah piutang para kreditur yang mempunyai hak suara, menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, maka dalam jangka waktu paling lama 8 hari terhitung sejak pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua tanpa diperlukan pemanggilan. Pada pemungutan suara kedua, para kreditur tidak terikat pada suara yang dikeluarkannya pada pemungutan suara pertama. Bila perdamaian diterima, pengadilan akan memutuskan pengesahan perdamaian tersebut dan sidang Perdamaian dalam kepailitan ini akan mengikat semua kreditur termasuk kreditur yang tidak memberikan suara bahkan kreditur yang tidak menyetujuinya. Karena itu menurut Pasal 141 UUK, rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat kreditur oleh lebih dari setengah jumlah kreditur konkuren yang hadir dalam rapat dan haknya sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

70Ibid


(58)

diadakan paling cepat 8 hari atau selambat-lambatnya 14 hari setelah persetujuan perdamaian tercapai (Pasal 146 UUK).

Berita acara rapat tentang perdamaian berisi: 1. Isi perdamaian.

2. Nama para kreditur yang berhak memberikan suara tentang kehadirannya dalam rapat.

3. Suara yang diberikan oleh masing-masing.

4. Hasil pemungutan suara dan lain-lain yang dibicarakan dalam rapat. 5. Berita acara rapat ditandatangani oleh hakim pengawas dan panitera. Walaupun telah ada perdamaian, para kreditur tetap mempunyai hak-hak mereka terhadap para penanggung dan semua kawan-kawan debiturnya (Pasal 155 ayat (1)) Hak-hak yang boleh dilakukan terhadap benda pihak ketiga tetap dimiliki, seolah-olah tidak ada suatu perdamaian (Pasal 155 ayat (2)).71

1. Kekayaan harta pailit, termasuk di dalamya segala barang yang terhadapnya berlaku hak menahan barang (hak retensi), melebihi jumlah yang dijanjikan dalam perdamaian.

Penolakan pengesahan perdamaian apabila perdamaian ditolak, maka akan diberikan ketetapan oleh hakim disertai dengan alasan-alasannya. Menurut ketentuan Pasal 149 ayat (2) UUK, pengadilan harus menolak pengesahan perdamaian apabila:

2. Perdamaian tersebut tidak terjamin penuh.

71

J.Djohansyah, Pengadilan Niaga, (Jakarta:Proyek Pembinaan Tehnis Yudisial Mahkamah Agung RI, 1999), hal 43.


(59)

3. Perdamaian tercapai karena penipuan yang menguntungkan secara tidak wajar seorang kreditur atau beberapa kreditur atau karena penggunaan cara lain yang tidak jujur dengan tidak memperdulikan apakah dalam hal ini debitur pailit turut atau tidak melakukannya.72

Pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim, dalam waktu 8 hari setelah penetapan, para kreditur yang mendukung pengesahan perdamaian maupun debitur itu sendiri dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung mengenai penetapan itu (Pasal 150 UUK). Sebaliknya bila pengesahan perdamaian dikabulkan oleh hakim, para kreditur yang menolak perdamaian atau tidak hadir dalam pemungutan suara dapat mengajukan kasasi dalam waktu 8 hari setelah penetapan.

Para kreditur yang piutang dijamin dengan hak tanggungan, gadai atau hak istimewa berada diluar perdamaian. Mereka tidak berhak mengeluarkan suara dan perdamaian tersebut juga tidak mengikat mereka (lihat Pasal 139,152 UKK). Dengan tetap memperlihatkan ketentuan Pasal 128, apabila terdapat bantahan terhadap hak para kreditur pemegang hak tanggungan, gadai ataupun hak agunan atas kebendaan lainnya pemegang hak agunan atas panenan dan kreditur yang diistimewakan, termasuk para kreditur yang haknya didahulukan, para kreditur tersebut tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah

72Ibid


(60)

melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakan pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.73

a) Bila dalam rapat yang sedang diselenggarakan itu diangkat suatu panitia tetap para kreditur yang anggotanya bukan berasal dari panitia sementara, sedangkan jumlah terbanyak dari kreditur menghendaki panitia yang tetap itu suatu nasihat tertulis mengenai rencana perdamaian yang diusulkan;

Menurut Pasal 152 UUK, perdamaian yang telah disahkan berlaku bagi semua kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan tanpa kecuali, dengan tidak memperdulikan apakah mereka mengajukan diri atau tidak dapat kepailitan tersebut.

Debitur pailit menyampaikan rencana perdamaian dalam waktu selambat-lambatnya 8 hari sebelum diadakannya rapat pencocokan utang piutang dan telah diumumkan oleh pengadilan, maka rencana tersebut setelah rapat pencocokan utang piutang harus dibicarakan dan diputuskan, kecuali:

b) Bila rencana perdamaian tidak diumumkan di tempat tertentu oleh panitera maupun kurator dalam waktu yang ditentukan dan sebagian besar kreditur yang hadir menghendaki rapat tersebut ditunda.

Dalam hal-hal tersebut, rapat untuk membicarakan dan mengambil keputusan rencana perdamaian harus ditunda sampai rapat berikutnya, yang harus ditentukan paling lambat 3 minggu kemudian oleh hakim pengawas.

Menurut Pasal 168 UUK, apabila rencana perdamaian dilakukan pada rapat pencocokan piutang dan ditolak, maka harta pailit demi hukum berada

73Ibid


(61)

dalam keadaan tidak mampu membayar. Dan apabila perdamaian atau pengesahan perdamaian ditolak, maka debitur pailit tersebut tidak boleh menawarkan lagi perdamaian baru (Pasal 153 UUK).

Apabila pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan pasti, kepailitan berakhir (Pasal 156 UUK). Karena itu kurator wajib melakukan perhitungan dan pertanggungjawaban kepada debitur pailit di hadapan hakim pengawasan. Bila dalam perdamaian tidak ditetapkan lain, kurator harus mengembalikan semua barang, uang, buku dan surat yang termasuk harta pailit kepada debitur pailit.

Menurut Pasal 160 UUK, perdamaian yang telah disahkan dapat dituntut pembatalan oleh setiap kreditur dengan alasan debitur lalai memenuhi isi perdamaian. Dalam ayat (2) mengatakan apabila ada permohonan pembatalan perdamaian, maka debitur pailit yang harus membuktikan bahwa ia telah memenuhi isi perdamaian itu. Selanjutnya dalam ayat (3,) hakim karena jabatan berwenang penuh untuk memberikan keleluasaan kepada debitur pailit untuk memenuhi kewajiban itu sampai waktu selambat-lambatnya dalam satu bulan.

Perdamaian dibatalkan, maka kepailitan dibuka kembali seperti semula. Akibatnya, semua perbuatan yang dilakukan debitur dalam waktu antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali kepailitan, akan mengikat harta pailit (bandingkan Pasal 41 dan 164 UUK). Selanjutnya setelah kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat ditawarkan perdamaian atau akur untuk kedua kalinya (Pasal 165 UUK).


(62)

1. Insolvensi atau Pemberesan Harta Pailit

Insolvensi terjadi bilamana dalam suatu kepailitan tidak ditawarkan akur/perdamaian atau akur dipecahkan karena tidak dipenuhi sebagaimana yang telah disetujui. Menurut Pasal 168 UUK, bila dalam rapat pencocokan utang piutang tidak ditawarkan perdamaian atau bila perdamaian yang telah ditolak dengan pasti maka demi hukum, harta pailit berada dalam keadaan tak mampu setengah membayar (insolvensi).74

Dalam waktu 8 hari setelah pengesahan perdamaian secara pasti telah ditolak, kurator atau seorang kreditur yang hadir dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk melanjutkan perusahan debitur pailit. Untuk itu hakim pengawas harus mengadakan rapat untuk merundingkan usul tersebut dan mengambil keputusan. Pemanggilan terhadap kreditur Menurut Pasal 168 a ayat (1), bila dalam rapat pencocokan utang piutang tidak ditawarkan perdamaian atau bila perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, maka kurator atau seorang kreditur yang hadir dalam rapat tersebut dapat mengusulkan agar perusahaan debitur pailit dilanjutkan. Atas permintaan kurator dan seorang kreditur yang hadir dalam rapat tersebut sampai pada rapat yang ditentukan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari kemudian. Usulan tersebut harus diterima bila jumlah kreditur yang mewakili lebih dari setengah dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan bersyarat dan tidak dijamin dengan hak tanggungan atau gadai, menyokong usulan tersebut.

74


(63)

oleh kurator harus dilakukan minimal 10 hari sebelum rapat diadakan. Atas permohonan seorang kreditur atau kurator, hakim pengawas dapat memerintahkan agar kelanjutan perusahaan dihentikan. Dalam hal ini kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur apabila:

a) Usul untuk mengurus perusahan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu diatur dalam undang-undang ini atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak atau;

b) Pengurusan terhadap perusahaan debitur dihentikan.

Pasal 170 ayat (2) UUK mengatur tentang pemberian perabot rumah tangga yang ditujuk oleh hakim pengawas untuk keperluan debitur pailit. Semua barang harus dijual di hadapan umum atau secara di bawah tangan ijin atau di bawah tangan tanpa ijin hakim pengawasan akan mempengaruhi jual beli tersebut.

Menurut Pasal 70 UUK, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan jual beli yang hanya dipertanggungjawabkan kepada debitur pailit dan para kreditur. Kemudian dalam Pasal 174, pada setiap waktu, bila menurut hakim pengawas tersedia cukup uang tunai, maka ia memerintahkan suatu pembagian kepada para kreditur yang piutangnya telah mendapatkan pencocokan. Hal ini berarti setelah kepailitan selesai, debitur pailit dapat ditagih kembali apabila ia mempunyai uang yang cukup. Kurator selalu wajib membuat suatu daftar pembayaran untuk disahkan oleh hakim pengawas. Daftar tersebut berisi:


(64)

a) Pertelaan tentang penerimaan dan pengeluaran (di dalamnya termasuk upah kurator);

b) Nama para kreditur;

c) Jumlah pencocokan tiap piutang;

d) Pembagian yang harus diterima oleh setiap piutang tersebut.

Seorang kreditur yang piutangnya tidak dicocokkan, juga seorang kreditur yang piutangnya dicocokkan untuk jumlah yang terlalu rendah menurut laporannya sendiri, boleh mengajukan perlawanan selanjutnya dalam sidang umum.75

Piutang atau bagian piutang yang tidak dicocokkan tadi disampaikan kepada kurator, satu salinannya dilampirkan pada surat keberatan dan dalam surat keberatan ini diajukan pula permohonan untuk mencocokkan piutang tersebut. Terhadap ketetapan pengadilan tersebut, kurator atau setiap kreditur dapat mengajukan kasasi dalam waktu 8 hari setelah ketetapan tersebut diambil. Mahkamah Agung dapat memanggil kurator atau para kreditur untuk didengar.76

Menurut ketentuan Pasal 182 ayat (4) UUK, karena lewatnya tenggang waktu yang tersebut dalam Pasal 178 UUK, atau apabila telah dimajukan perlawanan dan perlawanan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, maka daftar pembagian tersebut mengikat demi hukum. Selanjutnya kurator wajib segera melaksanakan pembayaran yang telah ditetapkan, kecuali bagi kreditur yang diterima dengan syarat

75Ibid

, hal 184.

76Ibid


(1)

63 A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Peranan pengadilan niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah kelemahan-kelemahan yang ada pada proses peradilan menurut ketentuan Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 dengan semasa Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan juga pada Undang-Undang Kepailitan yang baru Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, sudah lebih maju lagi khususnya dalam hal pengajuan PKPU antara lain :

a. Permohonan PKPU tidak hanya dapat diajukan oleh pihak debitor saja tetapi juga sudah dapat diajukan oleh pihak kreditornya, hal ini tentunya menjadi sangat penting karena membuka secara luas ke arah proses perdamaian tidak semata-mata mempailitkan debitor.

b. Proses di pengadilan niaga yang sangat cepat dalam memutuskan/ mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimana jika permohonan diajukan oleh pihak debitor hanya memerlukan batas waktu 3 hari, harus sudah dikabulkan PKPUnya oleh pihak pengadilan yaitu PKPU sementara pada Undang-Undang


(2)

105

No. 4 Tahun 1998 hal ini tidak disebut dengan jelas. Pada Pasal 214 ayat (2) hanya dikatakan pengadilan harus segera mengabulkan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang tanpa menetapkan batas waktu segera tersebut.

2. PKPU dan manfaatnya bagi pihak debitor dan kreditor menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah sebagai berikut :

1. PKPU memberikan kesempatan pemulihan usaha debitor. 2. Penyelesaian utang-utang debitor secara baik dan terjadwal. 3. Penyelesaian utang-utang dalam pengawasan pengadilan.

4. Dipenuhinya pengembalian utang para kreditor dan tidak terputusnya hubungan para bisnis pihak.

3. Akibat PKPU terhadap kedudukan hukum debitor dalam perjanjian sewa menyewa menurut UU No. 37 Tahun 2004 adalah sebagai berikut :

a. Apabila dalam perjanjian sewa menyewa debitor bertindak sebagai penyewa suatu barang maka segera setelah PKPU dimulai dengan kewenangan dari pengurus dapat mengakhiri sewa tersebut untuk sementara, asalkan pemberitahuan untuk menghentikan sewa itu dilakukan menjelang suatu waktu perjanjian akan berakhir menurut kebiasan setempat. Bila uang sewa telah dibayar sebelumnya, maka sewa tersebut tidak boleh dihentikan sampai menjelang hari akhir waktu untuk mana pembayaran uang muka dilakukan.

b. Selama penundaan kewajiban pembayaran utang tanpa diberi kewenangan oleh pengurus, debitor tidak dapat melakukan tindakan


(3)

kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian hartanya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 240 UUK No. 37 Tahun 2004 (sebelum Pasal 226 UUK No. 4 Tahun 1998).

B. Saran

Sebelum diakhiri penulisan skripsi ini akan dicoba diberikan saran yang dianggap perlu, sebagai berikut :

1. Undang-undang No. 37 Tahun 2004 masih harus diuji keberadaannya setelah kekurangan Undang-undang No. 4 Tahun 1998 diperbaiki/ disempurnakan dan ditambah pengalaman-pengalaman dalam kasus-kasus kepailitan dan PKPU yang terjadi selama ini, hendaknya nanti dapat lebih dalam penerapannya ditinjau dari makna tujuan kepailitan dan PKPU itu diberikan. Untuk itu kemungkinan diperlukan studi-studi banding dengan hukum kepailitan yang diterapkan di negara lain yang menjalankan aturan-aturan mengenai kepailitan (bankruptcy) ini dengan baik.

2. Bagi pihak penegak hukum dan praktisi hukum, penerapan Undang-undang kepailitan dan PKPU ini secara baik mendukung hidupnya hukum bisnis di Indonesia dan akan mengundang investor masuk dan tentu saja akan memperbaiki iklim dan pertumbuhan ekonomi nasional yang masih lesu sekarang ini.

3. Sebaiknya permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor hanya sebagai ajang penyelamatan pertama untuk mengulur waktu pailit dengan adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor, maka si


(4)

107

debitor mengajukan permohonan PKPU untuk menangkis ancaman pailit tersebut, sehingga terhadap perjanjian sewa menyewa lebih baik dilakukan penyelesaiannya di luar pengadilan (out-court) menggunakan ADR (Alternative Dispute Resolution).


(5)

108

Ali Mohamad Chidir, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Bandung: Mundur Maju, 1995)

Artmanda W Frista, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lintas Media, 2004)

Asikin Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 1991)

Badrul Zaman Mariam Durus, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni,

1996)

________, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994)

Djohansyah J, Pengadilan Niaga, Jakarta, (Jakarta:Proyek Pembinaan, Teknis Yudisial Mahkamah Agung RI, 1999)

Fuady Munir, Hukum Pailit, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999)

Gautama Sudargo, contoh-contoh Kontrak, Rekes dan Surat Resmi sehari-hari, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990)

Hadad Mulaiman, Indikator Kepailitan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003)

Harahap M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986)

Hartini Rahayu, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008)

Hartono, Siti Sumantri, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, (Yogyakarta: PT Gajah Mada, 1993)

Hartono, Sri Redjeki, Pengantar Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008) Karim Iswayudi, Restrukturisasi Piutang, (Jakarta: Diklat Profesi Penunjang untuk Konsultan Hukum Pasar Modal,2003)

Lontoh A. Rudhy, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001)


(6)

109

Poerwadarminta W.J.S, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006)

Rai Widjaya I.G, Merancang suatu kontrak, (Bekasi: Megapoin, 2004)

Remi Sjahdeni Sutan, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Raja Pres, 2009)

Salim H, Perancangan kontrak dan Memorandum Of Understanding (MOU), (Mataram: Sinar Grafika, 2007)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1986)

_______, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980)

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004)


Dokumen yang terkait

Tugas dan Wewenang Pengurus PKPU Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

10 159 93

Analisis Yuridis Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Bank Oleh Bank Indonesia Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

3 72 165

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Harta Warisan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

24 183 81

Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik

4 98 92

Dampak Pemberi Waralaba (Franchisor) Asing yang Dipailitkan Terhadap Penerima Waralaba (Franchisee) Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

0 0 2

PERMOHONAN PKPU YANG DIAJUKAN KEPADA DEBITOR SERTA PARA GUARANTORNYA DITINJAU BERDASARKAN HUKUM PERJANJIAN DAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTA.

0 0 1

Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik

0 0 7

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang Kepailitan - Ubharajaya Repository

0 0 17

JURNAL ILMIAH RENVOI DALAM KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

0 0 16