Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik

(1)

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN TIMBAL

BALIK

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

D

DO

OM

MI

IN

NI

IC

CU

US

S

D

DI

IP

PO

OM

MA

AG

GT

TO

O

R

R

NIM. 070200359

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN TIMBAL

BALIK

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum Oleh :

D

DOOMMIINNIICCUUSSDDIIPPOOMMAAGGTTOORR NIM. 070200359

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 Windha, SH, M.Hum

Pembimbing I

NIP. 197501122005012002 Windha, SH.M.Hum

Pembimbing II

NIP. 195303121983031002 Ramli Siregar, SH.M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

ABSTRAK

Sebagai suatu objek penelitian yang akan dibahas dalam kajian hukum penundaan kewajiban pembayaran utang adalah perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bagaimana akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik serta bagaimana penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditemukan dalam ketentuan bab III, Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik ialah tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan pengurus. Di sini ia tetap memiliki hak untuk mengurus hartanya, hanya saja segala tindakan yang dilakukan terhadap hartanya harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pengurus Apabila ternyata melanggar ketentuan ini ketentuan pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor tersebut. Kewajiban Debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat dibebankan kepada harta Debitor sejauh hal itu menguntungkan harta Debitor. Selama penundaan kewajiban pembayaran utang berlangsung, terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain dapat dilakukan melalui jalur di luar pengadilan seperti melalui arbitrase dan lain sebagainya. Juga dapat dilakukan melalui Pengadilan.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Adapun skripsi ini berjudul : “Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik”

Proses menyelesaiakn skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH. MH. DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dr. O.K Saidin, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Windha, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Ramli Siregar, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.


(5)

4. Kepada ayahanda Ir. Eko Harianto dan ibunda Magdalena Damanik, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 7. Civitas Akademik Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, khususnya stambuk 2007.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala keterbatasan, kesalahan dan kekurangan, saya bersedia untuk menerima teguran dan bimbingan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, 2014

Penulis

Dominicus Dipomagto R


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Metode Penelitian ... 21

H. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 ... 26

A. Syarat Peraturan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 26

B. Prosedur Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 33

C. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 39 D. Upaya Hukum Dalam Penundaan Kewajiban


(7)

Pembayaran Utang ... 50

E. Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang…. 53

BAB III. AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN TIMBAL BALIK ... 56

A. Perjanjian Timbal Balik Dalam Sistem Hukum Perdata di Indonesia ... 56

B. Jenis Perjanjian di Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 61

C. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik Dalam Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Niaga ... 64

BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN TIMBAL BALIK YANG TIDAK DILANJUTKAN PELAKSANAANNYA ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI PIHAK LAIN ... 67

A. Sengketa Dalam Perjanjian Timbal Balik ... 67

B. Jenis Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Timbal Balik Yang Tidak Diajukan Pelaksanaannya Atas Kerugian Yang Dialami Pihak Lain ... 70

C. Akibat Hukum Penyelesaian Dalam Perjanjian Timbal Balik Yang Tidak Dilanjutkan Pelaksanaannya Atas Kerugian Yang Dialami Pihak Lain ... 74

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82


(8)

ABSTRAK

Sebagai suatu objek penelitian yang akan dibahas dalam kajian hukum penundaan kewajiban pembayaran utang adalah perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bagaimana akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik serta bagaimana penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditemukan dalam ketentuan bab III, Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik ialah tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan pengurus. Di sini ia tetap memiliki hak untuk mengurus hartanya, hanya saja segala tindakan yang dilakukan terhadap hartanya harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pengurus Apabila ternyata melanggar ketentuan ini ketentuan pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor tersebut. Kewajiban Debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat dibebankan kepada harta Debitor sejauh hal itu menguntungkan harta Debitor. Selama penundaan kewajiban pembayaran utang berlangsung, terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain dapat dilakukan melalui jalur di luar pengadilan seperti melalui arbitrase dan lain sebagainya. Juga dapat dilakukan melalui Pengadilan.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disingkat dengan PKPU (Sursence van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik. Melalui pengajuan PKPU, debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya dalam hal debitur berada dalam keadaan insolven.1

PKPU sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan terhadap debitur yang masih beritikad baik untuk membayar hutang-hutangnya kepada seluruh krediturnya. PKPU diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 294 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Pasal 222 ayat (1) disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh: 2

Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur yang tidak dapat, atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU, dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada kreditur.

2. Kreditur: 1. Debitur.

Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tersebut tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat

1 ฀

Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 321.

2 ฀

Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(10)

memohon ke Pengadilan Niaga, agar kepada debitur diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan si debitur mengajukan rencana perdamaiannya kepada mereka, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditur-krediturnya.3

3. Pengecualian, terhadap debitur bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga Kliring dan Penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, Perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun dan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka: 4

Pada dasarnya, maksud dari pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang kepada debitur adalah agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven

(insolvency), mempunyai kesempatan untuk mengajukan suatu rencana perdamaian, baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian atas utangnya. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan kesempatan bagi si debitur untuk melunasi atau melaksanakan kewajibannya atas utang-utang tersebut, sehingga si debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit.

a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh kreditur terhadap bank tersebut, atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh debitur bank ini sendiri, hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

b. Dalam hal debiturnya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, maka permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang debitur ini atau oleh krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau melalui badan pengawas pasar modal.

c. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur ini atau oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau melalui Menteri Keuangan.

5

3 ฀

Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

4 ฀

Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

5 ฀


(11)

Dalam melaksanakan PKPU melalui restrukturisasi utang, diperlukan syarat paling utama, yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam restrukturisasi, antara lain: melakukan penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring), sehingga diperoleh jalan keluar bagi penyelesaian pembayaran utang macet tersebut tanpa menimbulkan banyak kerugian bagi pihak kreditur dan pihak debitur.6

Dalam hal kreditur tersebut merupakan kreditur separatis, apabila restrukturisasi utang telah dilakukan, dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi debitur gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak beritikad baik, maka pihak kreditur dapat melakukan pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan gugatan perdata atau permohonan pailit terhadap utang-utang debiturnya ke pengadilan.7

Terkait dengan pengajuan permohonan PKPU, terdapat perkembangan yang cukup menarik dalam pengajuan permohonan PKPU. Apabila dalam

Faillissement verordening dan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh debitur maka dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitur dan kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk mengetahui mengapa pihak

6 ฀

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 162.

7 ฀

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2001), hal. 292 - 293.


(12)

kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan PKPU padahal yang mengetahui kondisi kesehatan suatu perusahaan hanyalah debitur itu sendiri.

Pemberian kewenangan kepada si kreditur agar dapat memohonkan PKPU bagi debiturnya, membawa arti bahwa utang si debitur itu dapat terbayarkan kepada kreditur dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi si debitur saat itu, dan bila si debitur dan krediturnya beritikad baik, maka harapan kedua pihak itu adalah tercapainya rencana perdamaian yang dapat mengcover kewajiban debitur dan hak kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara bersama dalam rapat perdamaian dan dilakukan pengesahan perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga (homologasi).8

Meskipun ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk penyelesaian utang piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya niat yang sungguh-sungguh dari para debitur untuk melunasi utang-utangnya.

Dari sudut pandangan hukum, Undang-Undang Kepailitan ini bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar oleh debitur, dan Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan melindungi debitur dengan memberikan cara baginya untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar sekaligus secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.

9

Dalam hal ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur, yang pada akhirnya hukum dapat

8 ฀


(13)

mendorong pemulihan ekonomi, dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas dan keadilan dalam hukum negara.10

Sebagai suatu objek penelitian yang akan dibahas dalam kajian hukum penundaan kewajiban pembayaran utang adalah perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya.

Diberikannya kesempatan bagi kreditur untuk mengajukan permohonan PKPU dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam berbagai perkara kepailitan dan PKPU.

11

Menurut M.Yahya Harahap, suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak yang memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.12

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu.”

9 ฀

Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi, Jakarta: Artikel, tgl. 14 Maret 2002, hal. 14.

10 ฀

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 14.

11 ฀

Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 1992), hal. 86-88.


(14)

"Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik".

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pokok dalam permasalahan skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

2. Bagaimana akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka yang menjadi pokok penelitian skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Untuk mengetahui akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.

12 ฀


(15)

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Mengacu pada latarbelakang dan permasalahan di atas, maka penelitian ini dapat bermanfaat antara lain :

1. Secara teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi akademis maupun sebagai bahan pertimbangan hukum bagi para pihak yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan tentang akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.

b. Memberikan informasi mengenai akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.

2. Secara praktis

a. Memberikan masukan kepada masyarakat luas serta instansi terkait lainnya dalam kaitannya dengan akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.

b. Mencari solusi untuk mengatasi permasalahan dan meminimalisasi persoalan bilamana timbul sengketa dalam akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik.


(16)

E. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul “Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik” belum pernah dilakukan. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan alternatif penyelesaian utang untuk menghindari kepailitan. Menurut Munir Fuady penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh Undang-Undang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditor dan debitor diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut. Dengan demikian penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal moratorium.13

13 ฀


(17)

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 222 ayat (2) dikatakan : “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”.

Permohonan PKPU dapat diajukan oleh kreditor maupun debitor kepada pengadilan niaga. Permohonan PKPU dapat diajukan sebelum ada permohonan pailit yang diajukan oleh debitor maupun kreditor atau dapat juga diajukan setelah adanya permohonan pailit asal diajukan paling lambat pada saat sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Namun jika permohonan pailit dan PKPU diajukan pada saat yang bersamaan maka permohonan PKPU yang akan diperiksa terlebih dahulu.14

Oleh karenanya langkah-langkah perdamaian ini adalah untuk menyusun Pada hakekatnya tujuan PKPU adalah untuk perdamaian. Fungsi perdamaian dalam proses PKPU sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama bagi si debitor, dimana si debitor sebagai orang yang paling mengetahui keberadaan perusahaan, bagaimana keberadaan perusahaannya kedepan baik petensi maupun kesulitan membayar utang-utangnya dari kemungkinan-kemungkinan masih dapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang terhadap sekalian kreditornya.

14 ฀

Pasal 229 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(18)

suatu strategi baru bagi si debitor menjadi sangat penting. Namun karena faktor kesulitan pembayaran utang-utang yang mungkin segera jatuh tempo yang mana sementara belum dapat diselesaikan membuat si debitor terpaksa membuat suatu konsep perdamaian, yang mana konsep ini nantinya akan ditawarkan kepada pihak kreditor, dengan demikian si debitor masih dapat nantinya, tentu saja jika perdamaian ini disetujui oleh para kreditor untuk meneruskan berjalannya perusahaan si debitor tersebut. Dengan kata lain tujuan akhir dari PKPU ini ialah dapat tercapainya perdamaian antara debitor dan seluruh kreditor dari rencarta perdamaian yang diajukan/ ditawarkan si debitor tersebut.

Apabila rencana perdamaian tidak tercapai atau pengadilan menolak rencana perdamaian, maka pengadilan wajib menyatakan debitor dalam keadaan pailit. Pengadilan dapat menolak rencana perdamaian karena:

PKPU pada dasarnya, hanya berlaku/ ditujukan pada para kreditor konkuren saja. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 pada Pasal 222 ayat (2) tidak disebut lagi perihal kreditor konkuren sebagaimana halnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 pada Pasal 212 jelas menyebutkan bahwa debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar

utang-15

1. Harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian 2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin

3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkokolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini

4. Imbalan jasa dan biaya dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayaran.


(19)

utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Namun pada Pasal 244 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 disebutkan: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap:

Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.

16

a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.

b. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan.

c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup pada point b.”

2. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

17

15 ฀

Pasal 285 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

16

Pasal 244 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

17


(20)

Ada beberapa penulis yang memakai perkataan persetujuan yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan persetujuan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda

overeenkomst yang dipakai oleh BW, tetapi karena perjanjian oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum.

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.

18

Mengenai batasan pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.

19

20

18

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 11.

19

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 93.

20

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 45.

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh


(21)

ketentuan-ketentuan tersendiri, sehingga hukum ke III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.21

Berdasarkan pengertian singkat di atas terdapat didalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/

rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya, oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian, suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat.

21

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005, hal. 18.


(22)

Hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum, dinamakan perikatan karena hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan, secara hukum. Suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan (unenforceable) adalah bukan perikatan.22

Hukum kebendaan dikatakan bersifat tertutup, dan karenanya tidak boleh ditambah, diubah, dikurangi atau dimodifikasi oleh orang perorangan atas kehendak mereka sendiri, hukum kebendaan, seringkali juga disebut sebagai hukum yang memaksa.

Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Berdasarkan hal tersebut maka satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis, tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

22

Notaris Nurul Muslimah Kurniati, “Kontrak Dan Perikatan”, Melalui

http://notarisnurulmuslimahkurniati.blogspot.com/2009/04/kontrak-dan-perikatan.html, Diakses tanggal 3 Agustus 2014.

23

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan Pada Umumnya , (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 21.


(23)

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan Undang-Undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling. Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht

dengan hukum perjanjian.

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite.

24

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite, tidak

24

Universitas Sumatera Utara, “Tinjauan Umum Tentang Kompensasi”,

Diakses tanggal 7


(24)

mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, buku II Burgelijk Wetboek (BW) tidak dinyatakan berlaku lagi.

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada persoon

tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian:

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

25

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi, ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan

25


(25)

pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Apabila debitur tidak mau secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa, akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis

adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke verbintenis. Ketidaksempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.


(26)

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota masyarakat. Ini berarti bahwa unsur hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dengan kepentingan orang lain.

Wirjono Prodjodikoro, berpendapat “Bahwa dalam hal gangguan oleh pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga, adalah sifat lain dari hak benda yaitu sifat absolut. Sedangkan dalam hukum perjanjian seseorang yang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak mutlak yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni orang pihak lain yang turut membikin perjanjian itu ”.

Suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata membedakan hak terhadap benda dan hak terhadap orang. Meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dengan orang, lebih tegasnya antara orang tertentu dengan orang lain tertentu. Artinya, hukum perdata tetap memandang suatu perjanjian sebagai hubungan hukum, di mana seorang tertentu, berdasarkan atas suatu janji berkewajiban untuk melakukan suatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu. Misalnya, A dan B membuat perjanjian jual beli, yaitu A adalah penjual dan B adalah pembeli, dan barang yang dibeli adalah sebuah lemari tertentu yang berada di dalam rumah A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri

26

26


(27)

yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut jatuh ke tangan seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.

Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada hukum benda, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda. Sedangkan pada hukum perjanjian, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat orang-orang tersebut, dengan sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak dapat dengan bebas menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, yang artinya hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap, yaitu pasal-pasal itu dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan mengatur sendiri sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

KUH Perdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan


(28)

dan ketertiban umum.

Dalam setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.

27

Dikarenakan hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

G. Metode Penelitian

28

Kata metode berasal dari Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikata Yang Lahir Dari Perjanjian. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 47.

28

Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hal. 328.

29

Koenjtaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), hal. 16.


(29)

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis artinya dari data penelitian yang dianalisis dapat menggambarkan fakta dan pelaksanaan akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik sesuai permasalahan yang dikemukakan. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan gabungan antara yuridis normatif dan yuridis sosiologis yang didukung oleh data sekunder.

30

Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hal 11

30

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3. Sumber Data

Sumber data yang berupa bahan hasil penelitian kepustakaan, dalam hal ini sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier.

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari : (1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari ;


(30)

a. Pancasila

b. Undang-Undang Dasar 1945

c. KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitas, selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan, sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif.

31

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.76-77.


(31)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan.

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II. Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: syarat peraturan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, prosedur permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang, upaya hukum dalam penundaan kewajiban pembayaran utang serta berakhirnya penundaan kewajiban pembayaran utang.

Bab III. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: perjanjian timbal balik dalam sistem hukum perdata di Indonesia, jenis perjanjian di Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, serta akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal


(32)

balik dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Niaga.

Bab IV. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain. Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: sengketa dalam

perjanjian timbal balik, jenis penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain serta akibat hukum penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(33)

BAB II

PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

A. Syarat Peraturan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Dalam ilmu hukum dagang, penundaan kewajiban pembayaran utang ini dikenal juga dengan Surseance Van Betaling atau Suspension Of Payment. 32 Ada dua cara yang disediakan oleh UUK-PKPU agar debitor dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah atau akan berada dalam keadaan insolven. Cara yang pertama adalah dengan mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang disingkat PKPU. PKPU diatur dalam bab III, Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK-PKPU).33

Tujuan pengajuan PKPU, menurut Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Menurut penjelasan Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud dengan kreditor adalah baik kreditor konkuren maupun kreditor yang didahulukan.

32 ฀

Sunarmi, Op. Cit. hal. 200.

33 ฀


(34)

Cara yang kedua yang dapat ditempuh oleh debitor agar harta kekayaan terhindar dari likuidasi adalah mengadakan perdamaian antara debitor dengan para kreditornya setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian itu memang tidak dapat menghindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi, tetapi apabila perdamaian itu tercapai maka kepailitan debitor yang telah diputuskan oleh pengadilan itu menjadi berakhir.34

PKPU adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap debitor maupun kreditor yang tidak dapat memperkirakan melanjutkan pembayaran utangnya, yang sudah jatuh tempo.

Dengan kata lain, dengan cara ini pula debitor dapat menghindarkan diri dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya sekalipun kepailitan sudah diputuskan oleh pengadilan. Perdamaian tersebut dapat mengakhiri kepailitan debitor hanya apabila dibicarakan bersama melibatkan semua kreditor. Apabila perdamaian hanya diajukan dan dirundingkan dengan hanya satu atau beberapa kreditor, maka kepailitan debitor tidak dapat diakhiri.

35

PKPU terbagi dalam dua (2) tahap, yaitu tahap PKPU Sementara dan tahap PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal 225 ayat (2) UUK-PKPU, pengadilan niaga harus mengabulkan permohonan PKPU sementara. PKPU sementara diberikan untuk jangka waktu 45 hari, sebelum diselenggarakan rapat kreditor untuk memberikan kesempatan kepada debitor untuk mempresentasikan rencana

PKPU dapat diajukan secara sukarela oleh debitur yang telah memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat membayar utang-utangnya.

34 ฀


(35)

perdamaian yang diajukannya. Sedangkan PKPU tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke-45 atau rapat kreditor belum dapat memberikan suara mereka terhadap rencana perdamaian tersebut (Pasal 228 (6) UUK-PKPU).

PKPU adalah suatu keringanan yang diberikan kepada suatu debitur untuk menunda pembayaran utangnya, si debitur mempunyai harapan dalam waktu yang relatif tidak lama akan memperoleh penghasilan yang akan cukup melunasi semua utang-utangnya.36

Berbagai asas hukum yang dapat digunakan dalam keadaan PKPU, adalah: 1. Asas good faith (itikad baik), yang memberikan perlindungan hukum bagi

pihak beritikad baik. Asas ini berkaitan dengan asas equity / reasonableness

(kepatutan) dalam arti, jika asas itikad baik merupakan keinginan secara pribadi yang subjektif, maka asas kepatuhan mengandung unsure objektif, sehingga suatu keadaan wanprestasi harus dilihat dari keadaan perjanjian itu dibuat. R. Subekti mendefinisikan itikad baik dengan uraian, sebagai berikut: “Dalam melaksanakan hak-haknya seorang kreditur di dalam keadaan tertentu harus memperhatikan kepentingan debitornya. Kreditor yang mengklaim hak-haknya pada saat-saat yang tidak menguntungkan bagi debitor, harus dipertimbangkan sebagai perbuatan yang beritikad buruk”.

35 ฀

Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 37.

36 ฀

Robinton Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitn, Tinjauan Yuridis: Tanggung Jawab Komisaris, Direksi dan pemegang Saham Terhadap Perusahaan Pailit, (Karawaci: Pusat study Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2000), hal 32.


(36)

2. Asas Pacta Sunt Servanda (Perjanjian Harus Ditaati).

Perjanjian yang dibuat antara debitor dan kreditor pada proses PKPU, didalamnya terdapat rencana perdamaian yang diusulkan oleh debitor, maka harus dijalankan sesuai dengan rencana yang telah disepakati.

Kewajiban seseorang terhalang dengan adanya keadaan memaksa. Kriteria tentang kaadaan memaksa tersebut, antara lain:

a. Keadaan itu terjadi setelah dibuatkannya persetujuan;

b. Keadaan yang menghalangi itu harus mengenai prestasinya sendiri.

c. Debitur telah cukup berusaha menghindari peristiwa yang menghalangi tersebut.

d. Debitur tidak harus menanggung resiko.

e. Debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.

PKPU diberikan hanya pada saat-saat debitur benar-benar sudah tidak mampu yang harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang menyatakan penerimaan PKPU sementara.

Selain itu, dikenal pula empat (4) kualifikasi suatu perusahaan berdasarkan ukuran solvabilitas dengan likuiditas, yaitu:

1. Solvabel Likuid, jika jumlah seluruh harta kekayaan perusahaan itu lebih besar dari jumlah utangnya dan perusahaan itu mampu melunasi utang-utang dan kewajiban-kewajibannya yang lain tepat pada waktunya.


(37)

2. Solvabel Illikuid, jika seluruh harta kekayaan perusahaan (berikut utangnya) lebih besar dari utang-utangnya, tetapi perusahaan itu tidak dapat melunasi utang-utangnya tepat pada waktunya.

3. Insolvabel Likuid, jika seluruh harta kekayaan perusahaan (berikut utangnya) lebih kecil dari utang-utangnya, tetapi perusahaan tersebut masih dapat melunasi utang-utangnya tepat pada waktunya.

4. Iinsolvable Illikuid, jika seluruh harta kekayaan perusahaan termasuk piutang, lebih kecil dari jumlah seluruh utang-utangnya dan perusahaan itu tidak mampu dan berada dalam keadaan berhenti membayar/ pailit (disebut insolvensi).

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, upaya yang dapat dilakukan oleh debitor untuk dapat menghindari kepailitan adalah dengan melakukan upaya yang disebut PKPU, upaya tersebut hanya dapat diajukan oleh debitor sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, karena berdasarkan Pasal 229 ayat (3) UUK-PKPU, permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU sedang diperiksa pada saat yang bersaamaan.

Permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap debitor, dapat diputus terlebih dahulu sebelum permohonan pernyataan pailit diputuskan, maka menurut Pasal 229 ayat (4) wajib permohonan PKPU itu diajukan pada sidang pertama permohonan pemeriksaan


(38)

pernyataan pailit.37

Pada hakikatnya PKPU berbeda dengan kepailitan, PKPU tidak berdasarkan pada keadaan dimana debitor tidak membayar utangnya atau insolven dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan budel pailit. PKPU tidak dimaksudkan untuk kepentingan debitor saja, melainkan juga untuk kepentingan para kreditornya. Menurut Fred B.G. Tumbuan, PKPU bertujuan menjaga jangan sampai seorang debitor, yang karena suatu keadaan semisal keadaan likuid dan sulit memperoleh kredit, dinyatakan pailit, sedangkan bila ia diberi waktu besar kemungkinan ia akan mampu untuk melunaskan utang-utangnya, jadi dalam hal ini akan merugikan para kreditor juga.

Dalam penjelasan UUK-PKPU tidak secara tegas menyatakan tentang hal itu namun memerlukan analogi atau penafsiran yang lebih luas yaitu sebelum ada keputusan pernyataan pailit oleh hakim maka pemohonan PKPU masih bisa diajukan ke pengadilan yang sama, dan dalam hal ini hakim tetap harus mendahulukan permohonan PKPU.

38

Kartini Muljadi, menambahkan bahwa debitor selama PKPU tidak kehilangan penguasaan dan hak (beheer en beschikking) atas kekayaannya, tetapi hanya kehilangan kebebasannya dalam menguasai kekayaannya.

Oleh karenanya dengan memberi waktu dan kesempatan kepada debitor melalui PKPU maka debitor dapat melakukan reorganisasi usahanya ataupun restrukturisasi utang-utangnya, sehingga ia dapat melanjutkan usahanya dan dengan demikian ia dapat melunasi utang-utangnya.

39

37 ฀

Sutan Remi Syahdeini, Op. Cit., hal 329

38 ฀

Ibid, hal 329.

Apabila dalam kepailitan debitor tidak lagi berwenang mengurus dan memindahtangankan kekayaannya, tetapi dalam PKPU debitor masih dapat melakukan pengurusan dan


(39)

kepemilikan atas harta kekayaannya asalkan hal tersebut disetujui oleh pengurus PKPU (Pasal 240 ayat (1) PKPU). Selanjutnya Pasal 240 ayat (4) UUK-PKPU menyebutkan, bahkan atas dasar kewenangan yang diberikan oleh pengurus PKPU, debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga semata-mata dalam rangka meningkatkan nilai harta debitur. Dalam hal ini bila untuk mendapatkan pinjaman dimintakan jaminan atau agunan maka yang dapat dijaminkan adalah terhadap harta debitor yang belum dijadikan jaminan utang sebelumnya.

Dengan demikian jelaslah perbedaan antara PKPU dan kepailitan, dimana dalam PKPU debitor tetap memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum mengalihkan dan mengurus kekayaannya sepanjang hal itu dilakukan dengan persetujuan pengurus PKPU yang ditunjuk secara khusus oleh pengadilan berkenaan dengan prose PKPU tersebut. Sedangkan dalam hal debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka debitor tersebut tidak lagi berwenang untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya yang telah menjadi harta pailit. Kewenangan tersebut sepenuhnya berada ditangan kurator.

Prinsip PKPU jelas berbeda dengan prinsip kepailitan, yaitu untuk memperoleh pelunasan secara proporsional dari utang-utangn debitor. Meskipun pada prinsipnya kepailitan masih membuka pintu menuju perdamaian.40

39 ฀

Ibid, hal 330.

40 ฀

Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 37.

PKPU dan kepailitan adalah dua hal yang berbeda, dimana PKPU jelas sangat bermanfaat, karena perdamaian yang dilakukan melalui PKPU akan mengikat juga kreditor lain diluar PKPU, sehingga debitor dapat melanjutkan restrukturisasi


(40)

usahanya, tanpa takut direcoki oleh tagihan-tagihan kreditor yang berada di luar PKPU. Selain itu, kreditor juga seharusnya terjamin melalui PKPU, karena bila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian tersebut, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian kepada pengadilan niaga dan debitor otomatis dinyatakan pailit. Hal ini juga berbeda dengan proses

restructuring biasa, yang apabila terjadi breach perjanjian, tentunya harus dilalui proses gugat perdata yang berliku-liku dan waktunya panjang. Proses restructuring hanya mengikat kreditor tertentu saja namun dalam PKPU mengikat semua kreditor. Sedangkan dalam kepailitan, walaupun juga ada mengenal perdamaian, namun pada dasarnya kepailitan itu ditujukan pada pemberesan harta pailit yang dilakukan dengan cara menjual seluruh boedel pailit dan membagikan hasil penjualan tersebut kepada para kreditor yang berhak menurut urutan yang ditentukan dalam Undang-Undang.

B. Prosedur Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan kemungkinan penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diajukan baik oleh debitor maupun oleh kreditor (Pasal 222 ayat (1) UUK-PKPU). Syarat bagi kreditor untuk dapat mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang apabila secara nyata debitor tidak lagi membayar piutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sedangkan bagi debitor sendiri untuk dapat mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang bukan hanya setelah tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya, tetapi


(41)

juga apabila debitor memperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya itu ketika utang-utang-utangnya itu jatuh waktu dan dapat ditagih.

41 ฀

Sutan Remi Syahdeini, Op. Cit., hal 333.

41

Sebaiknya dalam hal ini dimungkinkan pula bagi kreditor apabila dari laporan keuangan yang dikirim oleh debitor kepada kreditor seperti dalam perjanjian kredit yang diberikan oleh bank ditentukan bahwa dalam waktu-waktu tertentu wajib menyampaikan laporan keuangannya kepada bank (kreditor), maka kreditor dapat pula untuk mengajukan permohonan PKPU, sama halnya seperti debitor. Maka dalam hal ini tidak menolak permohonan PKPU oleh kreditor apabila kreditor dapat membuktikan bahwa debitor diperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya ketika utang-utang itu sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Menurut Pasal 222 ayat (1), debitor dapat mengajukan PKPU hanya apabila debitor mempunyai lebih dari satu kreditor, selain itu menurut Pasal 222 ayat (2) debitor juga sudah dalam keadaan tidak dapat membayar utang-utangnya yang sudah:

a. Mempunyai lebih dari satu kreditor, dan

b. Sudah dalam keadaan tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, atau

c. Memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.


(42)

Jatuh waktu dan dapat ditagih artinya adalah debitor telah berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Seorang debitor dapat mengajukan PKPU apabila: Menurut Pasal 222 ayat (1) dan ayat (3) UUK-PKPU, dapat diketahui juga bahwa selain debitor maka kreditor juga dapat mengajukan PKPU. Untuk jelasnya isi Pasal 222 ayat (3) adalah sebagai berikut: “Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi PKPU, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya”.

Dari ketentuan Pasal 222 ayat (3) diatas, maka pengajuan PKPU dapat saja diajukan oleh kreditor namun rencana perdamaian tetap diajukan oleh debitor dan kreditor tinggal menyetujui atau tidak rencana perdamaian tersebut.

Seorang debitor yang diperkirakan tidak akan dapar melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dalam UUK-PKPU tidak ditentukan mengenai tolak ukurnya, maka dalam hal ini menurut Sutan Remi Syahdeini haruslah berdasarkan financial audit dan analisis keuangan yang dilakukan oleh suatu akuntan public. Jadi dalam hal ini bukan berdasarkan pertimbangan subjektif dari kreditor semata. Dalam hal debitor yang berbentuk Perseroan Terbatas, penyerahan laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik tidak merupakan masalah karena menurut Undand-undang tentang Perseroan Terbatas, ditentukan bahwa perseroan terbatas harus menunjuk akuntan publik guna melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangannya. Dan bagi perusahaan yang sudah tercatat sahamnya di bursa efek, Undang-Undang Pasar


(43)

Modal juga menentukan hal yang sama guna kepentingan para pemegang saham. Perbedaan antara PKPU dengan kepailitan juga terdapat dalam bidang prosedur yang harus ditempuh. Peraturan prosedur pada PKPU kurang luas dibandingkan dengan peraturan prosedur dalam kepailitan.42

b. Permohonan pernyataan pailit telah diterima oleh pengadilan niaga, dan sementara permohonan pernyataan pailit itu sedang diperiksa oleh pengadilan niaga, debitor atau kreditor yang bukan pemohon kepailtan juga mengajukan PKPU.

PKPU diajukan sebelum debitor dinyatakan pailit, sebab apabila PKPU diajukan setelah debitor dinyatakan pailit, maka hal ini tidak ada gunanya lagi. Oleh karena itu, PKPU harus diajukan sebelum debitor dinyatakan pailit.

Permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitor baik sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan maupun setelah permohonan pernyataan pailit diajukan sebagimana ketentuan Pasal 222 jo Pasal 229 ayat (4) UUK-PKPU, yang penting sebelum adanya keputusan hakim yang tetap menyatakan debitor pailit. Sehubungan dengan dimungkinkannya permohonan PKPU diajukan setelah pengadilan niaga menerima permohonan pernyataan pailit, dapat terjadi kemungkinan sebagai berikut:

a. Permohonan pernyataan pailit telah diterima oleh pengadilan niaga tetapi belum diperiksa, dan sementara permohonan pernyataan pailit belum diperiksa, pengadilan niaga menerima pula permohonan PKPU dari debitor atau dari kreditor yang bukan pemohon kepailitan.

42 ฀

Sunarmi, Op.Cit., hal 202.

43 ฀

Sutan Remi Syahdeini, Op. Cit., hal 338. 43


(44)

Sehubungan dengan kemungkinan-kemungkinan diatas, maka berdasarkan Pasal 229 ayat (3) UUK-PKPU menentukan bahwa” apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu”. Dengan demikian, asas hukum yang berlaku ialah permohonan PKPU harus diperiksa terlebih dahulu oleh pengadilan niaga mendahului pemeriksaan terhadap permohonan peryataan pailit.

Prosedur permohonan PKPU diuraikan berdasarkan ketentuan Pasal 224 UUK-PKPU yang berbunyi sebagai berikut:

1. Permohonan PKPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokadnya.

2. Dalam hal pemohon adalah debitor, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya.

3. Dalam hal pemohon adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7(tujuh) hari sebelum sidang.

4. Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada Rencana Perdamaian.

5. Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.


(45)

6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2) , ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan PKPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan ketentuan Pasal 224 UUK-PKPU tersebut, maka permohonan PKPU harus diajukan secara tertulis kepada pengadilan niaga disertai dengan daftar uraian mengenai harta pailit (lihat Pasal 102 UUK-PKPU) beserta surat-surat bukti selayaknya. Surat permohonan itu harus ditandatangani baik oleh debitor maupun penasehat hukumnya.44

44 ฀

Sutan Remi Syahdeini, Op. Cit., hal 341.

Dengan demikian, debitur harus menunjuk penasehat hukum bila ingin mengajukan permohonan PKPU. Permohonan tersebut juga tidak dapat diajukan sendiri oleh penasehat hukum tetapi juga harus bersama-sama dengan debitor. Pada surat permohonan tersebut dapat juga dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.

Pada dasarnya PKPU bertujuan untuk mencapai perdamaian antara debitor dan para kreditornya, maka apabila pengajuan permohonan PKPU sekaligus dilampiri juga dengan rencana perdamaian, agar para kreditor dapat mengambil sikap untuk menerima atau menolak permohonan PKPU tersebut. Tetapi sebaliknya apabila permohonan PKPU tidak disertai rencana perdamaian maka para kreditor akan mengalami kesulitan dalam pengambilan sikap, dan sebaiknya hakim memintakan rencana perdamaian tersebut pada debitor.


(46)

Sehubungan dengan kesepakatan mengenai rencana perdamaian hanya akan mempunyai arti apabila setiap kreditor terikat yaitu baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen. Apabila tidak setiap kreditor terikat dengan perdamaian yang tercapai, maka kedudukan debitor dan kepentingan para kreditor dapat dibahayakan oleh kreditor yang tidak terikat.45

Selama PKPU, debitor tanpa persetujuan pengurus PKPU tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.

Kreditor yang tidak terikat dengan perdamaian itu, misalnya apabila ditentukan perdamaian itu hanya berlaku bagi kreditor konkuren, tetapi tiba-tiba kreditor yang tidak terikat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa mempedulikan sedang berlangsungya PKPU, dan apabila permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim maka sia-sia saja perdamaian yang telah disepakati antara debitor dan kreditor konkuren. Oleh karena itu adalah tepat pemberlakuan UUK-PKPU yang menentukan bahwa pengajuan rencana perdamaian dalam rangka PKPU harus diajukan kepada semua kreditor, baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen.

C. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

46

45 ฀

Sutan Remi Syahdeini, Op. Cit., hal. 334.

46 ฀

Ibid, hal. 211.

Berdasarkan ketentuan Pasal 240 ayat (1), apabila debitor melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan pengurus PKPU maka hal-hal yang dapat dilakukan oleh pengurus PKPU adalah: (1). Pengurus PKPU berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan


(47)

karena tindakan debitor tersebut, dan ayat (3) menentukan bahwa kewajiban debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta debitor sejauh hal itu menguntungkan harta debitor.

Apabila tercapainya kesepakatan mengenai rencana perdamaian dalam rangka PKPU diharapkan oleh para kreditor agar usaha debitor tetap berjalan demi meningkatkan nilai harta kekayaan debitor, yaitu dengan cara mengadakan pinjaman seperti memperoleh kredit dari bank, maka UUK-PKPU memberikan kemungkinan untuk itu melalui Pasal 240 ayat (4) yang menyatakan bahwa atas dasar persetujuan yang diberikan oleh pengurus, debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga sepanjang perolehan pinjaman tersebut bertujuan untuk meningkatkan harta kekayaan debitor, dan ayat (5) menentukan bahkan apabila dalam melakukan pinjaman sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) memerlukan diberikannya agunan, maka debitor dapat membebani hartanya dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak kebendaan lainnya tetapi hanya terhadap bagian harta debitor yang belum dijadikan jaminan utang sebelum PKPU berlangsung (lihat Pasal 240 ayat (5) UUK-PKPU). Namun demikian pembebanan harta kekayaan debitor dengan hak-hak jaminan tersebut bukan hanya disetujui oleh pengurus saja tetapi juga disetujui oleh hakim pengawas.

Selama berlangsungnya PKPU, menurut Pasal 242 ayat (1) UUK-PKPU debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utangnya. Selain itu, semua tindakan eksekusi yang telah dimulai dalam rangka pelunasan utang harus ditangguhkan, dapat diartikan keadaan ini berlangsung baik selama PKPU


(48)

Sementara maupun selama PKPU Tetap.

Pasal 242 ayat (2) UUK-PKPU menentukan:

47

48

Ketentuan Pasal 242 ayat (1) dan (2) berlaku juga terhadap eksekusi dan sita yang telah dimulai atas benda yang tidak dibebani, sekalipun eksekusi dan sita tersebut berkenaan dengan tagihan kreditor yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau dengan hak yang diistimewakan berkaitan dengan kekayaan tertentu berdasarkan UUK-PKPU pasal 242 ayat (3).

a. Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh pengadilan berdasarkan permintaan pengurus, semua sita yang telah dipasang gugur (berakhir), dan b. Dalam hal debitor disandera, debitor harus dilepaskan segera setelah

diucapkannya putusan PKPU Tetap, atau

c. Setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau hakim pengawas, jika masih diperlukan, pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta debitor.

Apabila debitor telah menikah dalam persatuan harta, harta debitor mencakup semua aktiva dan passive persatuan (pasal 241 UUK-PKPU). Dan penjelasan Pasal 241 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan aktiva adalah seluruh

49

Selain hal-hal diatas, akibat-akibat hukum PKPU meliputi: 1. Terhadap Harta Persatuan.

PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala harta kekayaan debitor, untuk itu UUK-PKPU membedakan antara debitor yang telah menikah dengan persatuan harta dan yang menikah tanpa persatuan harta.

47 ฀

Sutan Remi Syahdeini,Op.Cit., hal. 357.

48

Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

49 ฀


(49)

kekayaan debitor, sedangkan pasiva adalah seluruh utang debitor.

c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup pada ayat (1)

50

2. Terhadap Perkara yang Sedang Berjalan.

PKPU tidak menghentikan berjalannya perkara-perkara yang sudah mulai diperiksa oleh pengadilan, maupun menghalangi diajukannya perkara baru Pasal 243 ayat (1). Namun, jika perkara tersebut mengenai gugatan pembayaran suatu piutang yang sudah diakui debitor, sedangkan penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk memperoleh suatu putusan untuk melaksanakan hak terhadap pihak ketiga, setelah dicatatnya pengakuan tersebut. Hakim dapat menangguhkan putusan sampai berakhirnya PKPU. Dalam hal ini debitor tidak dapat menjadi penggugat ataupun tergugat dalam perkara mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta kekayaannya tanpa persetujuan pengurus.

3. Kreditor pemegang jaminan dan biaya pemeliharaan. PKPU tidak berlaku terhadap:

a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak atas kebendaan lainnya.

b. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum PKPU yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diisteimewakan; dan

50 ฀


(50)

huruf b Pasal 242 UUK-PKPU, dalam PKPU pelaksanaan hak kreditor pemegang jaminan dan kreditor yang diistimewakan ditangguhkan selama berlangsungnya PKPU (Pasal 246 UUK-PKPU).

4. Terhadap Pembayaran Utang.

Pembayaran semua utang, selain yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 yang sudah ada sebelum diberikannya PKPU, selama berlangsungnya PKPU tidak boleh dilakukan, kecuali pembayaran utang tersebut dilakukan kepada semua kreditor menurut perimbangan piutang masing-masing, tanpa mengurangi berlakunya juga ketentuan Pasal 245 ayat (3) UUK-PKPU.

Pembayaran yang dilakukan kepada debitor, setelah diucapkannya putusan PKPU sementara yang belum diumumkan untuk memenuhi perikatan yang terbit sebelum putusan PKPU sementara, membebaskan pihakyang telah melakukan pembayaran terhadap debitor, kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak tersebut telah mengetahui adanya putusan PKPU sementara. Pembayaran yang dilakukan setelah pengumuman, hanya membebaskan orang yang melakukan pembayaran tersebut, apabila ia dapat membuktikan bahwa meskipun telah dilakukan pengumuman menurut Undang-Undang, akan tetapi ia tidak mungkin dapat mengetahui pengumuman yang dimaksud ditempat kediamannya, dengan tidak mengurangi hak pengurus PKPU untuk dapat membuktikan sebaliknya (Pasal 253 UUK-PKPU).

5. Perjumpaan Utang.

Perjumpaan utang dapat dilakukan bila baik utang maupun piutangnya telah dilahirkan sebelum dimulainya PKPU tersebut. Piutang terhadap debitor


(51)

tersebut akan dihitung menurut ketentuan Pasal 274 dan Pasal 275 UUK-PKPU.

Orang yang mengambil alih dari pihak ketiga atas utang kepada debitor atau piutang terhadap debitor dari pihak ketiga sebelum PKPU, tidak dapat melakukan perjumpaan utang apabila dalam pengambialihan utang-piutang tersebut tidak beritikad baik. Piutang atau utang yang diambil alih setelah dimulainya PKPU tidak dapat diperjumpakan (Pasal 248 UUK-PKPU).

6. Perjanjian Timbal Balik.

Bila pada saat putusan PKPU diucapkan terdapat perjanjian timabal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, maka pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepada pengurus untuk memberikan kepaastian tentang kelanjutan pelaksanaan dari perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh pengurus dan pihak tersebut. Bila tidak tercapai kesepakatan mengenai jangka waktu, maka hakim pengawas yang menetapkan jangka waktu tersebut. Bila dalam jangka waktu tersebut, pengurus tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melaksanakan perjanjian tersebut, perjanjian berakhir dan pihak tersebut dapat menuntut ganti rugi sebagai kreditor konkuren. Bila pengurus menyatakan kesanggupannya, maka pengurus memberikan jaminan atas kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap perjanjian yang mewajibkan debitor melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan (Pasal 249 UUK-PKPU).


(52)

7. Perjanjian Penyerahan Benda.

Apabila telah diperjanjikan penyerahan benda yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan sebelum penyerahan dilakukan telah diucapkan putusan PKPU Sementara, maka akibatnya perjanjian menjadi hapus, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan tersebut, ia boleh mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapat ganti rugi. Dalam hal harta kekayaan perusahaan yang dirugikan karena penghapusan tersebut, maka pihak lawan wajib membayar kerugian tersebut (Pasal 250 UUK-PKPU).

8. Perjanjian Sewa Menyewa.

Dalam hal debitor telah menyewa suatu benda, maka debitor dengan persetujuan pengurus, dapat menghentikan perjanjian sewa menyewa dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adapt kebiasaan setempat. Jika dilakukannya penghentian maka harus diindahkan jangka waktu menurut perjanjian itu atau menurut kelaziman, dengan ketentuan bahwa jangka waktu 90 (sebilan puluh) hari adalah cukup. Bila telah dibayar uang sewa dimuka (sebagai uang muka), maka sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu sewa yang telah dibayar uang tersebut. Sejak hari putusan PKPU sementara diucapkan maka uang sewa merupakan utang harta debitor (Pasal 251 UUK-PKPU).


(53)

9. Pemutusan Hubungan Kerja.

Segera setelah diucapkannya putusan PKPU Sementara maka debitor berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya, dengan mengindahkan ketentuan Pasal 240 dan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan pengertian pemutusan hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya. Sejak dimulainya PKPU Sementara maka gaji dan biaya lain yang timbul dalam hubungan kerja tersebut menjadi utang harta debitor (Pasal 252 UUK-PKPU). PKPU tidak berlaku bagi keuntungan sesama debitor dan penanggung (Pasal 254 UUK-PKPU).

Pengurus dalam PKPU harus mengetahui tingkatan para kreditor dalam PKPU yaitu mana yang memiliki hak untuk didahulukan dan mana yang digolongkan sebagai kreditor konkuren yaitu kreditor yang tidak memegang hak agunan dan yang tidak mempunyai hak yang istimewa, dan yang tagihannya telah diakui atau yang diakui secara bersyarat.

Dalam hukum kepailitan terdapat dua macam perdamaian yaitu perdamaian yang diajukan dalam proses kepailitan dan perdamaian yang diajukan dalam proses PKPU.

51

52

51 ฀

Ibid, hal 213-217.

52 ฀

Ibid, hal 219.

Dalam proses kepailitan, permohonan perdamaian diajukan pada saat verifikasi, sedangkan perdamaian dalam proses PKPU diajukan sebelum dinyatakan pailit, biasanya pada saat putusan PKPU Sementara. Dalam hal PKPU rencana perdamaian hanya dapat diajukan oleh debitor, bila perdamaian yang


(54)

ditawarkan oleh debitor dan ternyata ditolak oleh kreditor, maka perdamaian tersebut tidak dapat lagi ditawarkan lagi dalam proses PKPU. Itu artinya debitor tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melakukan perdamaian yang bertujuan pada rescedulling dan restrukturisasi utang-utangnya. Terhadap rencana perdamaian tersebut maka pengadilan niaga hanya mengesahkan atau melakukan konfirmasi saja terhadap hasil kesepakatan antara debitor dan para kreditor.

Dari ketentuan Pasal 224 ayat (4), Pasal 265 dan Pasal 266 UUK-PKPU dapat diketahui bahwa rencana perdamaian dalam PKPU dapat diajukan pada saat-saat sebagai berikut:

a. Bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU (Pasal 265).

b. Sesudah permohonan PKPU diajukan, namun rencana itu harus diajukan sebelum tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 UUK-PKPU.

c. Setelah tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (4) UUKPKPU, yaitu selama berlangsungnya PKPU Sementara itu, yang tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung sejak PKPU Sementara ditetapkan termasuk masa perpanjangannya.

Rencana perdamaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) UUK-PKPU dapat disimpulkan, dapat disediakan oleh kepaniteraan pengadilan niaga untuk dapat diperiksa oleh siapapun tanpa dikenakan biaya. Kemudian ayat (2) menyatakan bahwa salinan rencana perdamaian tersebut harus


(55)

disampaikan kepada hakim pengawas, dan pengurus serta para ahli bila ada.

Selanjutnya Pasal 267 UUK-PKPU menentukan bahwa rencana perdamaian akan gugur demi hukum apabila sebelum putusan PKPU berkekuatan hukum tetap, dan ternyata kemudian datang keputusan yang berisikan penghentian PKPU tersebut.

Menurut Sutan Remi Syahdeini, utang debitor dianggap layak untuk restrukturisasi apabila:

a. Perusahaan debitor masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu melunasi utang-utang tersebut, apabila perusahaan debitor diberi PKPU dalam jangka waktu tertentu, baik dengan atau tanpa diberi keringanan-keringanan persyaratan dan atau diberi tambahan utang baru. Pada waktu yang lalu The Jakarta Inisiative (Prakarsa Jakarta) menentukan jangka waktu untuk

restrukturisasi utang tidak lebih dari delapan tahun.

b. Selain hal tersebut diatas, utang-utang debitor dianggap layak untuk direstrukturisasi apabila para kreditor akan memperoleh pelunasan utang-utang mereka yang jumlahnya lebih besar melalui restrukturisasi daripada perusahaan debitor dinyatakan pailit, atau

c. Apabila syarat-syarat utang berdasarkana kesepakatan restrukturisasi menjadi lebih menguntungkan bagi para kreditor daripada apabila tidak dilakukan restrukturisasi.


(1)

perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ditemukan dalam ketentuan bab III, Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

2. Akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik ialah tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan pengurus. Di sini ia tetap memiliki hak untuk mengurus hartanya, hanya saja segala tindakan yang dilakukan terhadap hartanya harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pengurus Apabila ternyata melanggar ketentuan ini ketentuan pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor tersebut. Kewajiban Debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya penundaan kewajiban pembayaran utang, hanya dapat dibebankan kepada harta Debitor sejauh hal itu menguntungkan harta Debitor. Selama penundaan kewajiban pembayaran utang berlangsung, terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit.


(3)

3. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian timbal balik yang tidak dilanjutkan pelaksanaannya atas kerugian yang dialami pihak lain dapat dilakukan melalui jalur di luar pengadilan seperti melalui arbitrase dan lain sebagainya. Juga dapat dilakukan melalui Pengadilan.

B. Saran

Berdasarkan analisis dan kesimpulan, selanjutnya akan disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Kepada pihak yang bersengketa dalam penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perjanjian timbal balik dapat dilakukan secara musyawarah dan mufakat sehingga menghindarkan diri dari penyelesaian melalui pengadilan. 2. Untuk menghindari perselisihan dalam perjanjian timbal balik hendaknya para

pihak yang berjanji dapat melakukan prestasi sebagaimana yang diperjanjikan dengan itikad baik.

3. Dalam hal menjelaskan akibat hukum penundaan kewajiban pembayaran utang dalam kaitannya dengan perjanjian timbal balik hendaknya majelis hakim yang memeriksa perkara ini lebih mendahulukan mediasi daripada acara pemeriksaan biasa.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku:

Badrulzaman Darus Mariam, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005. ____________, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya,

Alumni, Bandung, 1993.

Budiono Herlien, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Fuady Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. H.S Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajagrafindo Persada,

Jakarta, 2007.

Harahap M.Yahya, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Koenjtaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1977.

Muhamad Kadir Abdul, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, 1992.

Muljadi Kartini dan Widjaja Gunawan, Kebendaan Pada Umumnya, Kencana, Jakarta, 2003.

____________, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Patrik Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994.

Poerwadarminta WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, susunan, diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2007.

Prodjodikoro Wirjono R, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1991 Satrio J, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.


(5)

____________, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001

Soemartono Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

Soemitro Hanitijo Roni, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980.

Subekti R, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979.

____________, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1984

____________, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1982 ____________, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1987.

Sulaiman Robinton dan Prabowo Joko, Lebih Jauh Tentang Kepailitn, (Tinjauan Yuridis: Tanggung Jawab Komisaris, Direksi dan pemegang Saham

Terhadap Perusahaan Pailit), Pusat study Hukum Bisnis, Fakultas Hukum

Universitaas Pelita Harapan, Karawaci, 2000.

Sumantri Suria S Jujun, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010.

Sutedi Adrian, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009.

Syahdeini Remy Sutan, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements

verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, PT. Pustaka

Utama Grafiti, Jakarta, 2002.

Syahmin, Hukum Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Khotibul Umam, Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010.

Usman Rachmadi, Aspek-Aspek hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, 2001.


(6)

Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 1996

B. Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar 1945 KUHPerdata

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

C. Internet:

Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi, Jakarta: Artikel.

Universitas Sumatera Utara, “Tinjauan Umum Tentang Kompensasi”,