Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)
KEWENANGAN KREDITUR DALAM PERMOHONAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA
No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)
TESIS
Oleh
SOPHIA 097005084/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
KEWENANGAN KREDITUR DALAM PERMOHONAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA
No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
SOPHIA 097005084/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : KEWENANGAN KREDITUR DALAM
PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG MENURUT UU NO. 37
TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEW PUTUSAN AJIBAN
PEMBAYARAN UTANG (STUDI TERHADAP
PENGADILAN NIAGA No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)
Nama Mahasiswa : Sophia Nomor Pokok : 097005084 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal 11 Juli 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
(5)
Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan Hukum Kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian
utang piutang mereka. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Sursence
van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap Debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294, dapat diajukan oleh Debitur atau oleh Kreditur. Permasalahan dalam penelitian tesis ini mengenai latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU, dan menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.
Penelitian dalam Tesis ini bersifat Deskriptif Analitis, menguraikan atau memaparkan, sekaligus menganalisa sejauhmana kewenangan Kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diberikan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dengan studi terhadap Putusan Perkara PKPU No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan, metode penulisan dengan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder dengan alat penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan wewenang kepada kreditur untuk memohonkan PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3), didasarkan pada pertimbangan dimana para Kreditur memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk merestrukturisasikan utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga ada kemungkinan dibayarkan piutangnya dari Debiturnya secara penuh. Rencana Perdamaian agar
dibuat oleh debitur, untuk hal ini perlu dibuat insolvency test untuk membuktikan
bahwa debitur benar-benar dalam keadaan insolvent dari sisi finansial atau
benar-benar tidak mampu membayar utangnya, sehingga pailitnya debitur akan sesuai dengan filosofi Hukum Kepailitan. Pertimbangan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga - Medan adalah tidak sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004, karena dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) menurut UU No. 37 Tahun 2004, tidak memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Kata Kunci: kreditur,Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(6)
ABSTRACT
Along with the development of trade in large and global scale, the problem of debt and credit of a company or an individual becomes more complicated so that it needs effective legal provisions. The development of global economy needs bankrupty law which can fulfill the need of law for businessmen in handling their debt and credit in which the globalization of law is in accordance with the global economy. There fore, the old bankrupty law is considered out of date so that it cannot fulfill the need of law for businessmen who want the process of bankrupty to run speedily, transparently, effectively, equitably, and be able to quarantee legal certainty. Therefore, the government made the policy to revise faillisement verordening by enacting perpu (Government Regulation) No.1/1998 which was then ratified to law No.4/1998. on october18, 2004 it was revamped to law No.37/2004 on bankruptcy and postponement of the obligation of paying off debt (henceforth PKPU).
PKPU in law No.37/2004 is regulated in capter III, from article 222 to article 294, which can be filed by debitor or by creditor. A good debitor has the right to file the PKPU to his creditor. But in law No.37/2004, a creditor can also file the PKPU to his debitor when he is sure enough that the debitors can pay up their matured debt and it can be pay able, according to the agreed PKPU.
The research was descriptive analytic which described and analyzed to what extent the creditors authority in filing the PKPU as it was stipulated in law No.37/2004 on bankruptcy and PKPU by studying the verdict on PKPU case No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan. The type of the research was the written method with judical normative approach, ie, a research which was referred to judical norms found in the legal provisions with a normative base witch came from general premise and came to a specific conculation. The data were collected by using library research in order to obtain theoretical concept or doctrine, conceptual ideas, and preliminary research which were related to the subject matter of the research such as legal provisions and other scientific works.
(7)
K A T A P E N G A N T A R
Segala puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis dengan judul: “Kewenangan Kreditur dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan).”
Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Peneliti menyadari sepenuhnya, Tesis ini tidak akan tersusun dengan baik dan selesai pada waktunya tanpa bantuan dari berbagai pihak pendukung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, perkenankanlah Peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, CTM
(K), Sp.A (K),
2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas pemberian
kesempatan menjadi mahasiswi di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan,
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., yang juga sebagai Penguji, telah memberikan petunjuk serta saran yang bermanfaat dan sangat mendukung dalam penyelesaian Tesis ini,
4. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Ketua Komisi Pembimbing yang telah
memberikan motivasi, bimbingan, petunjuk dan saran yang sangat bermanfaat bagi saya dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini,
(8)
5. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan telah banyak memberikan bantuan berupa motivasi, bimbingan, petunjuk, saran dan arahan, dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini,
6. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, Komisi Pembimbing III Tesis yang telah
meluangkan waktu dan pemikiran untuk mengoreksi isi dan juga cara penulisan, serta memberikan sumbang saran, arahan dan petunjuk, dalam penelitian Tesis ini,
7. Dr. Deddi Harianto, S.H., M.Hum, Panitia Penguji Tesis yang telah memberikan
petunjuk dan saran dalam menyelesaikan Tesis ini,
8. Bapak/ Ibu dosen pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan Ilmunya yang sangat berarti bagi masa depan saya,
9. Staf Administrasi Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan bantuan dalam informasi mengenai perkuliahan,
10.Dalam kesempatan ini, dengan penuh sukacita, Peneliti mengucapkan terima
kasih kepada Orangtua tercinta ayahanda D. Eddy dan Ibunda Linda, atas segala jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, mendidik, membimbing Peneliti sejak lahir, serta senantiasa mengiringi Penulis dan keluarga dengan doa yang tiada putus. Dan kepada saudara-saudara terkasih, adik-adik tersayang, atas segala dukungan moril yang diberikan, Peneliti mengucapkan terima kasih,
11.Teristimewa kepada: Suami tercinta Prof. Dr. dr. Hadyanto Lim, M.Kes., Sp. FK.,
FESC, FIBA, yang dengan penuh cinta kasih, kesabaran, dalam memberikan segala dukungan yang sangat berarti, dorongan semangat belajar dan pengorbanan yang tiada terhingga, demikian juga anak-anak saya, sehingga menjadi motor penggerak tersendiri untuk keberhasilan studi Peneliti.
Dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada seluruh keluarga dan teman-teman yang tidak dapat diucapkan
(9)
namanya satu persatu, dan juga semua pihak yang telah turut membantu dalam proses penyelesaian Tesis ini.
Peneliti menyadari pula, bahwa substansi Tesis ini tidak luput dari berbagai kekhilafan, kekurangan dan kesalahan, dan tidak akan sempurna tanpa bantuan, nasehat, bimbingan, arahan, kritikan. Oleh karenanya, apapun yang disampaikan dalam rangka penyempurnaan Tesis ini, penuh sukacita Peneliti terima dengan tangan terbuka.
Semoga Tesis ini dapat memenuhi maksud penelitiannya, dan dapat bermanfaat bagi semua pihak, sehingga Ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa.
Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati dan melindungi, serta memberikan anugerahnya bagi kita semua, mahkluk hidup yang disayangiNya. Amin.
Medan, Mei 2011.
(10)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Sophia
Tempat/Tanggal Lahir : Tebing Tinggi Deli, 12 Oktober 1971
Jenis Kelamin : Wanita
Agama : Kristen Protestan
Jabatan/ Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jl Ibus Raya, No. 110, Medan.
Pendidikan : SD Methodist II, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun
1979,
SMP Methodist II, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun 1982,
SMA Negeri 1, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun 1985,
Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, Lulus Tahun 2009,
Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Lulus Tahun 2011.
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Keaslian Penelitian ... 8
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10
1. Kerangka Teori ... 10
2. Kerangka konsepsi ... 19
G. Metode Penelitian ... 23
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 23
2. Sumber Bahan Hukum ... 25
3. Tehnik Pengumpulan Data ... 26
(12)
BAB II KEWENANGAN KREDITUR DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG (PKPU) BERDASARKAN UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 29
A. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Surseance
vanBetaling, Suspension of Payment) ... 29
B. Permohonan PKPU Dalam Hukum Kepailitan Sebelum Keluarnya
UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ... 33
C. Permohonan PKPU Dalam Hukum Kepailitan Setelah Keluarnya
UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ... 38
D. Alasan Kewenangan Kreditur mengajukan PKPU Berdasarkan UU
No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 42 1. Filosofi Kewenangan Kreditur Dalam Mengajukan PKPU ... 48 2. Pengertian dan latar belakang dilakukannya restrukturisasi
Utang ... 51 3. Pihak-Pihak yang mengajukan PKPU Berdasarkan
UU No. 37 Tahun 2004 berdasarkan pasal 222 s/d 294 uu No.37 Tahun 2004 diatur mengenai PKPU ………. 59
(13)
BAB III MEKANISME RENCANA PERDAMAIAN DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BERDASARKAN
UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 62
A. Maksud Dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.... 63
B. Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Utang ... 65
C. Perdamaian (accord) Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... . 71
D. Status Hukum Debitur Selama Berlangsungnya PKPU ... . 84
E. Akibat Hukum Perdamaian Dan Pembatalan Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... . 86
BAB IV PENERAPAN HUKUM KEPAILITAN DALAM PERMOHONAN PKPU OLEH KREDITUR PADA PUTUSAN PERKARA NO. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90
A. Kronologis Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam Putusan Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 96
1. Permohonan PKPU Tidak Memenuhi Persyaratan Jumlah Kreditur ... 96
2. Debitur Tidak Dapat Dinyatakan Pailit, Jika Tidak Ada Perdamaian ... 97
3. Sifat utang Tidak didasarkan Atas Suatu Perjanjian ... 98
4. Pembuktian Utang Tidak Sederhana ... 98
(14)
C. Putusan Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90
D. Analisa Kasus Dalam Putusan Pengadilan Niaga Medan No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga – Medan ... 100
1. Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan Tidak Tepat Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 ... 100
2. Majelis Hakim Tidak Berwenang Untuk Membatalkan PKPU .... 107
3. Majelis Hakim Menggunakan Pertimbangan Syarat-Syarat Kepailitan... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 110
A. Kesimpulan ... ... 110
B. Saran ... .. 112
(15)
Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan Hukum Kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian
utang piutang mereka. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Sursence
van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap Debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294, dapat diajukan oleh Debitur atau oleh Kreditur. Permasalahan dalam penelitian tesis ini mengenai latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU, dan menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.
Penelitian dalam Tesis ini bersifat Deskriptif Analitis, menguraikan atau memaparkan, sekaligus menganalisa sejauhmana kewenangan Kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diberikan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dengan studi terhadap Putusan Perkara PKPU No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan, metode penulisan dengan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder dengan alat penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan wewenang kepada kreditur untuk memohonkan PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3), didasarkan pada pertimbangan dimana para Kreditur memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk merestrukturisasikan utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga ada kemungkinan dibayarkan piutangnya dari Debiturnya secara penuh. Rencana Perdamaian agar
dibuat oleh debitur, untuk hal ini perlu dibuat insolvency test untuk membuktikan
bahwa debitur benar-benar dalam keadaan insolvent dari sisi finansial atau
benar-benar tidak mampu membayar utangnya, sehingga pailitnya debitur akan sesuai dengan filosofi Hukum Kepailitan. Pertimbangan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga - Medan adalah tidak sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004, karena dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) menurut UU No. 37 Tahun 2004, tidak memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Kata Kunci: kreditur,Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(16)
ABSTRACT
Along with the development of trade in large and global scale, the problem of debt and credit of a company or an individual becomes more complicated so that it needs effective legal provisions. The development of global economy needs bankrupty law which can fulfill the need of law for businessmen in handling their debt and credit in which the globalization of law is in accordance with the global economy. There fore, the old bankrupty law is considered out of date so that it cannot fulfill the need of law for businessmen who want the process of bankrupty to run speedily, transparently, effectively, equitably, and be able to quarantee legal certainty. Therefore, the government made the policy to revise faillisement verordening by enacting perpu (Government Regulation) No.1/1998 which was then ratified to law No.4/1998. on october18, 2004 it was revamped to law No.37/2004 on bankruptcy and postponement of the obligation of paying off debt (henceforth PKPU).
PKPU in law No.37/2004 is regulated in capter III, from article 222 to article 294, which can be filed by debitor or by creditor. A good debitor has the right to file the PKPU to his creditor. But in law No.37/2004, a creditor can also file the PKPU to his debitor when he is sure enough that the debitors can pay up their matured debt and it can be pay able, according to the agreed PKPU.
The research was descriptive analytic which described and analyzed to what extent the creditors authority in filing the PKPU as it was stipulated in law No.37/2004 on bankruptcy and PKPU by studying the verdict on PKPU case No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan. The type of the research was the written method with judical normative approach, ie, a research which was referred to judical norms found in the legal provisions with a normative base witch came from general premise and came to a specific conculation. The data were collected by using library research in order to obtain theoretical concept or doctrine, conceptual ideas, and preliminary research which were related to the subject matter of the research such as legal provisions and other scientific works.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat dengan PKPU,
Sursence van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik. Melalui pengajuan PKPU, debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta
kekayaannya dalam hal debitur berada dalam keadaan insolven.1
PKPU sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan terhadap debitur yang masih beritikad baik untuk membayar hutang-hutangnya kepada seluruh krediturnya. PKPU diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Pasal 222 ayat (1) disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh:
1. Debitur.
Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur yang tidak dapat, atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU, dengan
1
Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 321.
(18)
maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian, yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada kreditur.2
2. Kreditur:
Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tersebut tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon ke Pengadilan Niaga, agar kepada debitur diberi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, untuk memungkinkan si debitur mengajukan Rencana Perdamaiannya kepada mereka, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utangnya kepada kreditur-krediturnya.3
3. Pengecualian, terhadap debitur Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik4, maka:
a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang oleh kreditur terhadap bank tersebut, atau permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur bank ini sendiri, hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia5
2
Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. 3
Pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004. 4
Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004. 5
(19)
b. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang debitur ini atau oleh krediturnya,
hanya dapat diajukan oleh atau melalui Badan Pengawas Pasar Modal6
c. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur ini atau oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh
atau melalui Menteri Keuangan.7
Pada dasarnya, maksud dari pemberian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kepada debitur adalah agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven (insolvency), mempunyai kesempatan untuk mengajukan suatu Rencana Perdamaian, baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian atas utangnya, Oleh karena itu, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan kesempatan bagi si debitur untuk melunasi atau melaksanakan kewajibannya atas
utang-utang tersebut, sehingga si debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit. 8
Dalam melaksanakan PKPU melalui restrukturisasi utang, diperlukan syarat paling utama, yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam restrukturisasi, antara lain:
6
Pasal 2 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004. 7
Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004. 8
(20)
melakukan penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring), sehingga diperoleh jalan keluar bagi penyelesaian pembayaran utang macet tersebut tanpa menimbulkan
banyak kerugian bagi pihak kreditur dan pihak debitur.9
Dalam hal kreditur tersebut merupakan kreditur separatis, apabila restrukturisasi utang telah dilakukan, dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi debitur gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak beritikad baik, maka pihak kreditur dapat melakukan pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan gugatan perdata atau
permohonan pailit terhadap utang-utang debiturnya ke Pengadilan.10
Terkait dengan pengajuan permohonan PKPU, terdapat perkembangan yang
cukup menarik dalam pengajuan permohonan PKPU. Apabila dalam Faillissement
verordening dan dalam UU No. 4 Tahun 1998, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh debitur maka dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitur dan kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk mengetahui mengapa pihak kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan PKPU padahal yang mengetahui kondisi kesehatan suatu perusahaan hanyalah debitur itu sendiri.
9
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 162.
10
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2001), hal. 292 - 293.
(21)
Pemberian kewenangan kepada si kreditur agar dapat memohonkan PKPU bagi debiturnya, membawa arti bahwa utang si debitur itu dapat terbayarkan kepada kreditur dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi si debitur saat itu, dan bila si debitur dan krediturnya beritikad baik, maka harapan kedua pihak itu adalah
tercapainya Rencana Perdamaian yang dapat mengcover kewajiban debitur dan hak
kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara bersama dalam rapat perdamaian dan
dilakukan pengesahan perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga (homologasi).11
Dari sudut pandangan hukum, Undang-Undang Kepailitan ini bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar oleh debitur, dan Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan melindungi debitur dengan memberikan cara baginya untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar sekaligus secara penuh, sehingga usahanya
dapat bangkit kembali tanpa beban utang.12
Meskipun ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk penyelesaian utang piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya
niat yang sungguh-sungguh dari para debitur untuk melunasi utang-utangnya.13
Dalam hal ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur, yang pada akhirnya hukum dapat mendorong
11
Ibid,. hal. 142. 12
Artikel Kepailitan, http:// cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/08/artikel-kepailitan.html, diakses pada tanggal 17 Januari 2011.
13
Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Artikel, tgl. 14 Maret 2002), hal. 14.
(22)
pemulihan ekonomi, dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas dan
keadilan dalam hukum negara.14
Diberikannya kesempatan bagi kreditur untuk mengajukan permohonan PKPU dalam UU No. 37 Tahun 2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam berbagai perkara kepailitan dan PKPU, termasuk diantaranya adalah putusan No. 05/ PKPU/ PN. Niaga – Medan, yang diajukan oleh kreditur perusahaaan dan debitur perseorangan.
Putusan ini menarik untuk dikaji dengan alasan sampai saat ini putusan ini merupakan satu-satunya permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditur di Pengadilan Niaga Medan, yang dimana putusan hakim atas perkara tersebut tidak sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004. Atas dasar hal di atas maka penelitan ini penting untuk dilakukan.
B. Permasalahan
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Mengapa kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan Permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat PKPU) terhadap debitur dalam UU No. 37 Tahun 2004?
14
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 14.
(23)
2. Bagaimana mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU?
3. Bagaimana penerapan Hukum Kepailitan dalam perkara No. 05/ PKPU/ 2010/
PN. Niaga - Medan menurut UU No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur
untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004.
2. Untuk mengetahui mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU.
3. Untuk menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
D. Manfaat Penelitian
Dari sudut penerapannya dalam Ilmu Pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang Hukum Kepailitan di Indonesia pada umumnya, dan khususnya tentang Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(24)
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan, yakni: 1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan kajian bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan,
b. Memperkaya khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukkan bagi Pemerintah, khususnya untuk lebih
menegaskan indikasi dan standar kepentingan umum dalam peraturan
perundang-undangan terhadap Permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang diajukan oleh para Kreditur, sehingga akan lebih menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum.
b. Sebagai bahan masukkan bagi masyarakat umum yang mencari keadilan yang
hak-haknya telah dirugikan oleh perorangan atau persoon maupun badan
hukum, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang telah merugikan mereka tersebut.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan, khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian tentang Permohonan PKPU dengan judul “Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi
(25)
Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan) sudah pernah dilakukan, antara lain:
1. Tesis dengan judul “Analisis Mengenai Keadaan Tidak Membayar Utang Yang
Telah Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih Menurut Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 Dan Dalam Prakteknya Di Peradilan Niaga”, oleh Fahren pada tahun 2003.
2. Tesis dengan judul “Suatu Analisis Pengertian Utang Di Dalam Undang-Undang
No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan (Studi Kasus Pengadilan Niaga Medan)”, oleh Chairuni Nasution pada tahun 2003.
Keduanya memiliki rumusan permasalahan dan kajian yang berbeda. Penelitian lanjutan ini, mengkaji mengenai kewenangan kreditur, khususnya dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mekanisme Rencana Perdamaian sesuai dengan Hukum Acara Perdata dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan penerapannya dalam perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga. Penelitian ini juga menjunjung kode etik penulisan karya ilmiah, oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya, baik dilihat dari materi, permasalahan dan kajiannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
(26)
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Sistim hukum Indonesia pada awalnya menganut sistim hukum Eropah Kontinental yang diadopsi dari Belanda. Namun, pada perkembangan selanjutnya
pengaruh unsur-unsur hukum dalam sistim hukum Anglo Saxon banyak mewarnai
perkembangan hukum di Indonesia khususnya hukum bisnis, yang salah satu diantaranya adalah Hukum Kepailitan di Indonesia. Pada UU No. 4 Tahun 1998
maupun UU No. 37 Tahun 2004 sudah dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon,
diantaranya adalah pembentukan Pengadilan Niaga, adanya kurator pemerintah, dan kurator swasta, serta pemberian kewenangan mengajukan permohonan PKPU oleh
kreditur dalam UU No. 37 Tahun 2004.
Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan teori yang dikemukakan oleh Aristoteles dan John Rawls, yakni teori keadilan. Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat, bukan merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian
menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Aristoteles
mendefinisikan keadilan sebagai berikut:15
“Justice is a political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right.”
15
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 223.
(27)
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke V buku
Nicomachean Ethics.16 Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus
dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2)
apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim, apakah keadilan itu terletak.17
Menurut Aristoteles, arti keadilan ada 2 (dua), yakni:18
1. Keadilan Dalam Arti Umum
Keadilan sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.
Secara umum, dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak
patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka
orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair.
Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil.
Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Dengan demikian, keadilan
16
Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2011.
17
Ibid., hal. 2. 18
(28)
bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain.
2. Keadilan Dalam Arti Khusus
Keadilan dalam arti khusus, terkait dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu:
a. Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau
hal lainnya, kepada mereka yang memiliki bagian haknya. Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara
“yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah
titik tengah atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice). Dasar
persamaan antara anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki, dasar persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran, sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya
adalah keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut
menjadikan keadilan lebih pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah
(29)
b. Perbaikan suatu bagian dalam transaksi
Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification).
Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang yang dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik
tengah (intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip
timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan, serta
ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat.
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21
lebih menekankan pada keadilan sosial.19 Hal ini terkait dengan munculnya
pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. John Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup
manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.20
John Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi; dimana kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil, atau tidak melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
19
Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: Internasional Law Book Review, 1994), hal. 278.
20
(30)
Menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang
digunakan adalah:21
1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua
pihak;
2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling
lemah.
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari
keadilan, yaitu:22
1. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioritas,
2. Perbedaan,
3. persamaan yang adil atas kesempatan.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu, baru kemudian kepentingan umum, dimana hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan, maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun, realitas masyarakat menunjukkan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat, sehingga perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk
21
Ibid., hal. 138. 22
(31)
memenuhi kepentingannya, walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu
masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.23
Teori Keadilan dari John Rawls menyatakan bahwa cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut, tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Tegasnya, prinsip-prinsip dimana orang yang rasional akan memilih jika ia belum tahu kedudukannya dalam masyarakat; prinsip keadilan inilah yang kita pilih, karena orang-orang akan selalu bertindak menurut kepentingannya sendiri, maka kita tidak dapat membiarkan seseorang dengan kepentingan-kepentingannya memutuskan persoalannya atau kasusnya sendiri, jadi satu-satunya cara yang dapat kita putuskan mengenai keadilan itu adalah dengan membayangkan keadaan dimana kita tidak atau belum mempunyai kepentingan-kepentingan. Dalam
keadaan ini, tidak ada pilihan lain, kecuali memutuskan dengan jujur.24
John Rawls juga membahas isu tentang kondisi-kondisi untuk memilih asas-asas keadilan yang dapat dibuat melalui penggambaran tentang apa yang
dinamakannya “original position”25; Menurut Rawls, dengan cara yang sama tentang
keadilan, orang yang rasional akan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan secara netral, seperti ia akan memotong kue secara netral atau jujur, jika ia mengetahui
23Ilham, Teori Keadilan John Rawls, Pemahaman Sederhana Buku A Theory of Justice, http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 20 juni 2011.
24 Ibid., hal. 2.
(32)
bagian mana yang akan diterimanya sendiri. Orang yang rasional, dan belum mengetahui bagian mana yang akan diterimanya, tentu akan memotong kue secara sama; Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, tanpa mengetahui bagian mana yang akan diterimanya dari masyarakat, akan memilih prinsip-prinsip keadilan
yang fair (netral, jujur, dan adil); teori Rawls ini sering disebut justice as fairness
(keadilan sebagai kelayakan). Jadi, yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang
paling fair, itulah yang harus dipedomani.26
Kreditur memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan maksud agar Debiturnya mengajukan suatu Rencana Perdamaian yang dapat mengcover kewajiban Debitur dan hak Kreditur, yang kemudian disetujui bersama dalam suatu rapat perdamaian, dimana langkah hukum ini merupakan jalan yang pasti untuk menyelesaikan permasalahan utang Debitur terhadap Krediturnya. Oleh karena itu, dengan pendekatan teori keadilan ini, diharapkan suatu gambaran (deskripsi)
yang utuh tentang berbagai aspek yang dirumuskan dalam permasalahan.27
Dengan demikian, beberapa alasan menggunakan teori keadilan dari Aristoteles dan John Rawls untuk menjawab permasalahan utama berupa kewenangan Kreditur untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Debitur dengan studi terhadap putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan:
26
Achmad Ali, Op Cit., hal. 280 27
(33)
Syarat pengajuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yakni adanya 2 Kreditur atau lebih, dan utang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, telah menunjukkan adanya unsur keadilan yang dibangun di dalamnya. Para Kreditur konkuren maupun kreditur lain yang haknya didahulukan, memberikan kesempatan kepada Debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai dengan situasi dan kondisi Debitur saat itu, dengan syarat utama dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah adanya kemauan, itikad baik dan kooperatif Debitur, dan para Kreditur akan mendapatkan pembayaran utang
sesuai dengan proporsi piutangnya (prinsip pari passu prorate parte).28 Dalam hal
merestrukturisasi utang, Kreditur ada memberi kesempatan kepada Debitur yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya, ini sesuai dengan teori Keadilan menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan seperti yang disebutkan di atas.
Unsur-unsur keadilan bekerja secara integral satu dengan yang lainnya agar tujuan dari hukum dapat tercapai, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tercapainya tujuan hukum, akan dapat meningkatkan kepercayaan para pelaku bisnis nasional maupun internasional.
Selanjutnya teori Keadilan ini dipergunakan sebagai teori umum, yang diperkuat oleh sejumlah teori-teori yang dipergunakan untuk menjawab hal-hal yang
28
(34)
lebih bersifat aplikasi/terapan. Teori yang dimaksud digali dari teori-teori di bidang disiplin ilmu Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Aristoteles dan John Rawls menegaskan mengenai keadilan, yang sama halnya dengan suatu konsep hukum yang abstrak, maka demikian pula konsep tentang keadilan merupakan konsep abstrak yang bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut
oleh masing-masing individu dan masyarakat. 29 Namun, seyogianyalah jika keadilan
bersama-sama dengan kemanfaatan dan kepastian hukum, dijadikan tujuan hukum secara prioritas.
John Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, akan memilih
prinsip-prinsip keadilan yang fair (netral, jujur, dan adil), yang dalam permasalahan
tesis ini, pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan, seharusnya mempedomi prinsip keadilan.
Penelitian tesis ini akan lebih difokuskan pada aspek keadilan hukum dalam penegakan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, khususnya mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam konteks ini ingin disampaikan bahwa terdapat ketidakadilan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam putusannya. Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaarn Utang yang diajukan Kreditur, tidak mencerminkan keadilan bagi para kreditur yang mengharapkan pengembalian piutangnya sesuai dengan keadaan, situasi dan kondisi Debitur saat itu.
29
(35)
Dengan melihat pada yang telah diuraikan di atas, Pengadilan Niaga sebagai lembaga Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus adil dalam menyikapi hak dan kewajiban masing-masing pihak Kreditur dan Debitur dalam penyelesaian masalah utang piutang mereka, sehingga tercapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
2. Kerangka Konsepsi
Dalam melakukan penelitian tesis ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di bawah ini yang sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang digunakan, yakni:
1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ialah penawaran rencana perdamaian
oleh debitur yang merupakan pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang meliputi pembayaran seluruh atau
sebagian utang kepada kreditur konkuren.30
2. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur untuk
kepentingan seluruh krediturnya bersama-sama, yang pada waktu si debitur dinyatakan pailit mempunyai utang dan untuk jumlah piutang yang
masing-masing kreditur miliki pada saat itu.31
30
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta : PT. Sofmedia, Cet - 1, 2010), hal. 200. 31
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal. 35.
(36)
3. Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan sesuatu barang, mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung, atau mencegah timbulnya suatu perkara.32
4. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitur, yang bila tidak dipenuhinya maka memberi hak kepada kreditur untuk mendapat
pemenuhan dari harta kekayaan debitur.33
5. Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan
pengadilan.34
6. Rencana Perdamaian dalam PKPU adalah pemberian kesempatan oleh
kreditur-kreditur kepada debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya, yang dapat
meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada krediturnya.35
32
Pasal 1851 KUHPerdata. 33
Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004. 34
Setiawan, “Komentar Atas Putusan Pengadilan Niaga No. 13 Tahun 2004 Jo. Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2004”, (Jakarta: Atmajaya, 2005), hal. 95.
35
HFA. Vollman, De Faillisementswet, vierde druk, HD, Tjoenk Wlink & Zoon, (Jakarta: N.V. Harlem, 1953), hal. 236; Dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 161.
(37)
7. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan.36
8. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
Undang-Undang, yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan.37
9. Kreditur Separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan
seolah-olah tidak ada kepailitan.38
10.Kreditur Preferen atau Kreditur Istimewa adalah kreditur yang mempunyai hak
pelunasan dahulu/ istimewa, sesuai dengan Pasal 1133, 1134, 1139, 1149
KUHPerdata.39
11.Kreditur Konkuren adalah kreditur yang pelunasan piutang-piutangnya
dicukupkan dari sisa penjualan atau pelelangan harta pailit setelah diambil
bagiannya oleh kreditur separatis dan kreditur preferen atau kreditur istimewa.40
12.Debitur Pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan Putusan
Pengadilan.41
13.Concursus creditorium adalah keharusan adanya dua atau lebih kreditur.42
14.Insolventie adalah keadaan berhenti membayar dimana debitur tidak membayar utangnya yang disebabkan karena ketidakmampuan debitur untuk melakukan
36
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004. 37
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004. 38
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), hal. 35.
39
Kartini Muljadi, “Kreditur Preferen dan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan”, Dalam:
Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum), hal. 174 - 175. 40
H. Man S. Sastrawidjaja, Op.Cit., hal. 35. 41
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 UU No. 37 Tahun 2004. 42
(38)
pembayaran maupun debitur yang tidak mau melakukan pembayaran atas
utang-utangnya.43
15.Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau
lebih kreditur, dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh Pemohon Pailit atau Pemohon PKPU tidak menghalangi dijatuhkannya Putusan Pernyataan Pailit.44
16.Prinsip debt forgiveness adalah pranata hukum sebagai alat untuk memperingan
beban yang harus ditanggung oleh debitur, karena sebagai akibat kesulitan keuangannya, sehingga ia tidak mampu membayar utang-utangnya sesuai dengan
agreement semula, bahkan keringanannya itu sampai pada pengampunan atas
utang-utangnya, bahkan sampai pada utang-utangnya hapus semua.45
17. Kepastian hukum adalah landasan hukum yang kukuh, dimana setiap pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib untuk menghormati dan menegakkan substansi hukum yang berlaku dengan tujuan untuk menjamin dan
meningkatkan kepercayaan pemodal terhadap industri efek nasional.46
43
Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. 44
Ricardo Simanjuntak, “Kepailitan Dan Likuidasi (Studi Kasus: BPPN vs PT. Muara Alas Prima)”, Dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Dan Pengadilan Niaga, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia, 2005), hal. 315.
45
Emmy Yuassarie, “Pemikiran Hukum Kepailitan Indonesia” Dalam Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. xix.
46
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Book Terrace & Library, Edisi Revisi, Cet. 3, 2009), hal. 28.
(39)
18. Homologasi adalah Pengesahan rencana perdamaian oleh Pengadilan.47 G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan juridis normatif. Dengan demikian, objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dan sejumlah peraturan perundang-undangan. Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan dalam penelitian ini mengikuti metode-metode penelitian hukum, sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) dalam melakukan pengkajian kewenangan kreditur dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pemilihan metode ini untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, pilihan metode penelitian untuk tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan norma/pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia serta praktik penerapan Hukum Kepailitan di Pengadilan Indonesia.
Menurut Johnny Ibrahim, bahwa penelitian hukum normatif ini adalah untuk menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan norma-norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai
47
(40)
bahan hukum maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna memecahkan problema hukum faktual yang dihadapi oleh masyarakat, maka tidak ada jalan lain hanya berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu hukum praktis normologis dan
mengandalkan penelitian hukum normatif.48 Sedangkan dari sudut penerapannya,
penelitian ini adalah penelitian terapan (applied research). Tujuan utamanya yakni
diharapkan penelitian ini nantinya akan diterapkan dan dimanfaatkan dengan baik
oleh praktisi hukum di Indonesia.49
Spesifikasi penelitian Tesis ini termasuk deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.
Sifat dari penelitian ini adalah Deskriptif Analitis, yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep,
teori-teori, dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari Peneliti pendahulu, baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
48
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media Publishing, Cet. Ke - 2, 2006), hal. 73.
49
Alvi Syahrin, Hubungan Berfikir Ilmiah dan Karya Ilmiah, (Medan: program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 12 - 13.
(41)
Sehubungan dengan Tipe Penelitian yang digunakan, yakni yuridis normatif, maka penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yakni:
1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach)
Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang
ditangani.50
2. Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap putusan Pengadilan atas kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan Penundaan Kewajban Pembayaran Utang dan Kepailitan. Yang menjadi kajian pokok di
dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu
pertimbangan Pengadilan untuk sampai pada satu putusan.51
3. Pendekatan Konsep (conceptual approach)
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan dalam Hukum Kepailitan.
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber data kepustakaan dalam penelitian Tesis ini diperoleh dari:
50
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Hal. 93. 51
(42)
a. Bahan hukum primer, yaitu: Peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan putusan Hakim dalam Permohonan PKPU No. 05/PKPU/2010/PN. Niaga-Medan.
b. Bahan hukum sekunder, seperti: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,
artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau Bahan Hukum Penunjang, yang mencakup bahan
yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan Hukum Primer dan Sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta bahan-bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam
penelitian ini.52 Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan Tesis ini
sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, seluruh bahan dikumpulkan dengan menggunakan
tehnik studi kepustakaan (library research), dengan mempelajari berbagai dokumen
dari sumber yang dipandang relevan, yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam Tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah
52
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 41.
(43)
hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan Pengadilan yang berkaitan dengan penelitian, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan penunjang lainnya. Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penelitian ini sepenuhnya mempergunakan data sekunder dengan alat penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses pengorganisasian dan mengurutkan data pada suatu pola kategori dan satuan. Data-data yang diperoleh melalui studi pustaka yang dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan
satuan uraian dasar.53 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari,
menganalisis, dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data, sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan, selanjutnya akan ditelaah dan dianalisa. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beserta konsekwensi hukumnya, kemudian membuat
53
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke - 10, 1999), hal. 103.
(44)
sistematika dari Pasal-Pasal tersebut, sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu, sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tesis ini.
Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung, sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dilihat dari tujuan analisis, maka ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis kualitatif, yaitu: 1) Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi,
data, dan proses suatu fenomena.54
54
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, (Jakarta: PT. Kencana, Edisi I, Cet. 3, 2009), hal. 153.
(45)
BAB II
KEWENANGAN KREDITUR DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Surseance van Betaling, Suspension of Payment).
1. Pengertian
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Bab Ketiga yaitu dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dilakukan dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur. Pasal 222 UUK dan PKPU menentukan bahwa:
1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitur yang
mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditur atau oleh Kreditur,
2) Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk
(46)
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditur,
3) Kreditur yang memperkirakan bahwa Debitur tidak dapat melanjutkan membayar
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitur diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Krediturnya.
Dari ketentuan Pasal 222 UUK dan PKPU ini dapat diartikan, yang dimaksud dengan penundaan kewajiban pembayaran utang pada umumnya adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk memungkinkan seorang debitur meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.55
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disebut juga moratorium, harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara esensial berarti bahwa seorang debitur tidak melakukan pembayaran utangnya. Gagal bayar terjadi apabila si peminjam tidak mampu untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga maupun atas utang pokok.
55
(47)
Debitur yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya dalam kesulitan sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utangnya, dapat memilih beberapa langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut. Beberapa upaya dimaksud antara
lain, sebagai berikut:56
1. Mengadakan perdamaian di luar Pengadilan dengan para Krediturnya,
2. Mengadakan perdamaian di dalam Pengadilan apabila debitur tersebut digugat
secara Perdata,
3. Mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
4. Mengajukan perdamaian dalam PKPU,
5. Mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit oleh Pengadilan,
6. Mengajukan perdamaian dalam Kepailitan.
Berkaitan dengan alternatif pilihan yang tersebut di atas, Debitur seyogianya memilih alternatif yang terbaik, salah satu pilihan adalah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Permohonan PKPU ini harus diajukan oleh Debitur sebelum adanya putusan Pernyataan Pailit; apabila putusan Pernyataan Pailit sudah diucapkan oleh Hakim terhadap Debitur tersebut, maka Debitur tersebut tidak dapat lagi mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sebaliknya, Debitur dapat mengajukan permohonan
56
(48)
Kepailitan bagi dirinya bersama-sama dengan permohonan PKPU.57 Dalam keadaan
demikian, Hakim akan mendahulukan memeriksa PKPU,58 dan apabila permohonan
Pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, maka PKPU harus
diputuskan terlebih dahulu.59
Dikaji dari perspektif pandangan doktrina, maka Jerry Hoff lebih detail menyebutkan bahwa tujuan PKPU adalah:
The purpose of suspension of payment is to prevent the bankruptcy of debtor
who is unable to pay but who maybe to pay in the near future. The debtor merely facestemporary liquidity problem. In such cases, a bankruptcy would inevitavly lead to erosion of capital value. This is clearly not in the interest of creditors. Suspension of payment gives the debtor temporary relief (or a breathing space) against pressing creditors in order to reorganize and continue in business, and ultimately to satisfy creditors claims. If the reorganization of the business is not successful of payment can be easily converted into bankruptcy.60
Konklusi dari konteks di atas mendeskripsikan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hanya dapat diajukan oleh Debitur sebelum Debitur tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Secara tegas dinyatakan bahwa bila Debitur yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan, tidak dimungkinkan untuk mengajukan PKPU. Dalam praktik, terhadap pengajuan PKPU tersebut dapat diajukan secara
57
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hal. 50.
58
H. Man S Sastrawidjaja, Op. Cit., hal. 202. 59
Pasal 229 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004. 60
(49)
tersendiri (PKPU murni), dan dapat diajukan bersamaan dengan pengajuan
permohonan pailit (PKPU tidak murni).61
B. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Hukum Kepailitan Sebelum Keluarnya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 37 tahun 2004, peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menyelesaikan utang piutang antara Kreditur dan Debitur adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan PKPU.
Dalam penyelesaian utang piutang antara debitur dan kreditur, seorang debitur yang hanya mempunyai satu kreditur dan debitur tersebut tidak membayar utangnya dengan sukarela, maka kreditur akan menggugat debitur secara perdata ke Pengadilan
Negeri yang berwenang dan seluruhharta debitur menjadi sumber pelunasan
utangnya kepada kreditur tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitur dipergunakan untuk membayar piutang kreditur. Sebaliknya dalam hal debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang
secara adil.62 Jerry Hof merumuskan hukum kepailitan dari segi fungsinya sebagai
suatu sitaan umum: “bankruptcy is general statutory attachment encompassing all
assets of the debtor”.63 Hukum kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi
61
Lilik Mulyadi, Op. Cit., hal. 51. 62
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal 230. 63
(50)
massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitur, yang selanjutnya akan dibagikan kepada para kreditur secara seimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang
berwenang.64 Ada dua tujuan klasik kepailitan yaitu pembagian yang adil kekayaan
debitur untuk kemanfaatan seluruh kreditur dan “fresh start” bagi debitur.65
Instrumen hukum kepailitan sangat penting, karena jika instrumen ini tidak ada, kesemrawutan setidak-tidaknya yang menyangkut pelaksanaan hak-hak ganti
kerugian akan timbul.66 Prinsip yang mendasari pembagian pari passu adalah untuk
menjamin bahwa seorang kreditor konkuren tidak memperoleh prioritas lebih dari Ronald A. Anderson dan Walter A.Kumft berpendapat bahwa:
“bankcruptcy and insolvency laws provide a means by which the debtor may yield or be compelled to yield to a court the property he has so that he will be relieved of all unpaid debts and can start economic life a new.”67
Namun, Hukum Kepailitan dipergunakan sebagai langkah terakhir apabila upaya yang lain untuk melakukan penagihan hutang tidak dapat dilakukan lagi.
64
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 24.
65
Warren, Elizabeth and Westbrook, Jay Lawrence, The Law of Debtors and Creditors, Text Cases, and Problems, (Boston: Little Brown and Company, 1991), hal. 199.
66
Huizink, Mr. J. B., Insolventie, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), hal. 135. 45
Ronald A.Anderson, Walter A. Kumf, Business Law: Principles and Cases (Fourth Edition), (Ohio: South Western Publishing Co. Cincinnati, 1967), hal. 862.
(51)
Terdapat 2 (dua) cara yang disediakan oleh UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, agar Debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta
kekayaannya dalam hal Debitur telah atau akan berada dalam keadaan insolven:68
a) Mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau Surseance
van Betaling atau Suspension of Payment. Pengajuan PKPU dapat dilakukan sebelum permohonan pernyataan pailit atau pada waktu permohonan perayataan pailit sedang diperiksa oleh Pengadilan Niaga.
b) Mengadakan perdamaian antara Debitor dengan para Kreditornya setelah Debitur
dinyatakan pailit oleh PN. Apabila tercapai, maka kepailitan itu menjadi berakhir.
Perbedaan antara PKPU dan Kepailitan: dalam PKPU, Debitur tetap memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum mengalihkan dan mengurus kekayaannya sepanjang hal itu dilakukan dengan persetujuan pengurus yang ditunjuk secara khusus oleh pengadilan berkenaan dengan PKPU tersebut, sedangkan dalam hal Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan, maka Debitur tidak lagi berwenang untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya yang telah menjadi harta pailit; dan kewenangan tersebut ada pada Kurator.
Perbedaan antara kepailitan dan PKPU seperti telah diterangkan dapat pula
dibandingkan dengan perbedaan antara liquidation menurut Chapter 7 dan
reorganization menurut Chapter II U.S. Bankruptcy Code. Pada liquidation menurut
68
Herna Pardede http: // herna thesis multiply.com/ journal/ item/ 18, diakses tanggal 6 Oktober 2005.
(52)
Chapter 7 diangkat seorang trustee. Pada kasus reorganization menurut Chapter 11
tidak diangkat seorang trustee. Pada kasus Chapter 7, trustee menguasai harta pailit
(theproperty of the estate) dan melikuidasi harta tersebut. Para Kreditur dibayar dari hasil likuidasi itu dan jumlah yang dapat diterima oleh seorang Kreditur ditentukan
oleh Undang-Undang. Dalam Chapter 11 ini, Debitur yang disebut “debtor in
possession” tetap menguasai harta kekayaannya. Para Kreditur pada umumnya, dibayar dari pendapatan-pendapatan yang diperoleh oleh Debitur setelah pengajuan
permohonan reorganization, dan setiap Kreditur memperoleh hasil pelunasannya
sesuai dengan rencana yang telah disetujui baik oleh Kreditur dan pengadilan. Dalam
suatu kasus Chapter 7, pembebasan dari kewajiban membayar utang (discharge) bagi
seorang Debitur tergantung pada ketentuan Undang-Undang. Sedangkan pada kasus
Chapter 11, seorang Debitur dapat dibebaskan dari kewajiban membayar utang sesuai
dengan reorganization plan yang telah disetujui oleh para Kreditur dan Pengadilan
itu.69
Hak Debitur mengajukan PKPU berdasarkan Pasal 212 UUK adalah sebagai berikut:
“Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditur konkuren.”
69
(1)
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU
A. Anderson, Ronald., Walter A. Kumf, Business Law: Principles and Cases (Fourth Edition), Ohio: South Western Publishing Co. Cincinnati, 1967.
A. Lontoh, Rudhy., et. al., Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2001. Asikin, Zainal., Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Badrulzaman, Mariam Darus., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya, 2001.
Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, St. Paul Minnasota: West Publishing Co., 1979.
Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, Jakarta: PT. Kencana, Edisi I, Cet. 3, 2009.
Chand, Hari., Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur: Internasional Law Book Review, 1994.
Darmadji, Tjiptono., Restrukturisasi: Memulihkan dan Mengakselerasi Ekonomi Nasional, Jakarta: Grasindo, 2001.
Dirjosisworo, Soedjono., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983.
Fuady, Munir., Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Gifis, Steven. H., Dictionary of Legal Terms, Third Edition, New York: Barron’s
Educational Series, 1998.
Harahap, Yahya., Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Penerbit Kencana, 2008.
(2)
Hoff, Jerry., Indonesian Bankruptcy Law, Jakarta: CV. Tatanusa, 1999.
Huizink, Mr. J. B., Insolventie, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Ibrahim, Johnny., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke – 2, Surabaya: Bayu Media Publishing, 2006.
………., Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Macet, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004.
Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Kartono, Kepailitan Dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
K. Shim, Jae., dan Joel G. Siegel, CFO: Tools for Executives, Jakarta: Elex Media Komputindo, 1994.
Lubis, M. Solly., Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: CV. Mandar Maju, 1994. Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Moleong, Lexy., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Muljadi, Kartini., Pengertian dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, Jakarta:
Makalah, 2000.
……….., Kreditor Preferen Dan Kreditor Separatis Dalam Kepailitan, Dalam: Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.
Nasution, Bismar., Hukum Kegiatan Ekonomi, Cet. Ke – 3, Ed. Revisi, Bandung: Book Terrace & Library, 2009.
Purwostjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid 8, Jakarta: Penerbit Jambatan, 1992.
Raharjo, Satjipto., Ilmu Hukum, Cet. Ke – 3, Bandung: PT. Alumni, 1991.
Sastrawidjaja, H. Man S., Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Rajawali Pers, 1991.
(3)
Setiawan, Komentar Atas Putusan Pengadilan Niaga No. 13 Tahun 2004 jo. Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2004, Jakarta: Atmajaya, 2005.
Simanjuntak, Ricardo, Kepailitan Dan Likudasi (Studi Kasus BPPN VS P.T. Muara Alas Prima), Dalam: Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Dan Pengadilan Niaga, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia, 2005.
Shubhan, M.Hadi., Standar Ganda Pailit Manulife, Jakarta: Jawa Pos, Tanggal 28 Juni 2002.
………, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, Dan Praktik Di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXVI, Jakarta: PT. Intermasa, 1994. Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1998.
………, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System), Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004.
---, Hukum Kepailitan,Edisi 2, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010.
---, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010.
Soekanto, Soerjono., dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Syahdeini, Sutan Remy., Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002.
Vollman, HFA., De Faillisementswet, vierde druk, HD, Tjoenk Wlink & Zoon, Jakarta: N.V. Harlem, 1953.
Warren, Elizabeth., and Westbrook, Jay Lawrence., The Law of Debtors and Creditors, Text Cases, and Problems, Boston: Little Brown and Company, 1991.
(4)
Winarta, Frans Hendra., Gagasan Tentang Hukum Ke III, Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni F.H. UNPAR, Editor Wila Chandrawila Supriadi, Bandung: CV. Mandar Maju, 1998.
Wuisman, J.J.J.M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial & Asas-Asas, Jakarta: FE. UI Press, tanpa tahun.
Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Yuhassarie, Emmy., Pemikiran Kembali Hukum Kepailitan Indonesia, Dalam: Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2003.
ARTIKEL DAN MAKALAH
Alvi Syahrin, Hubungan Berfikir Ilmiah Dan Karya Ilmiah, disampaikan pada kuliah Metode Penelitian Hukum, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010.
Badrulzaman, Mariam Barus., Ruang Lingkup Undang-Undang Kepailitan, Medan: Makalah disajikan dalam Seminar Hukum Kepailitan yang diselenggarakan oleh AEKI – SUMUT bekerjasama dengan STIH Graha Kirana, pada tanggal 19 Oktober 1998.
Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi, Jakarta: Artikel, tgl. 14 Maret 2002.
Lubis, M. Solly., Diktat Teori Hukum, disampaikan pada rangkaian sari kuliah Semester II, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2007.
“Menggosok Sekrup Yang Karatan”, Jakarta: Forum Keadilan, No. 2 Tahun VII, 4 Mei 1998.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/1993, Jakarta: Bank Indonesia, tanggal 29 Mei 1993 tentang Pengaturan Penyelamatan Kredit Bermasalah Sebelum Diselesaikan Melalui Lembaga Hukum.
Tumbuan, Fred B.G., Tanggungjawab Direksi Sehubungan dengan Kepailitan Perseroan Terbatas, Jakarta: Makalah, 1998.
(5)
INTERNET
Artikel Kepailitan, http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/08/artikel-kepailitan .html, diakses tanggal 17 Januari 2011.
Bisnis.com, diakses pada hari Kamis, tgl. 27 Maret 2003.
Pardede, Herna., http: // herna thesis multiply.com/ journal/ item/ 18, diakses tanggal 6 Oktober 2005.
Raharjo, Satjipto., “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, Jurnal Progresif, Vol. 1 No.2, hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, hhtp://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses tanggal 26 Januari 2011. Sanjaya, Roy., http://Roy
Sanjaya.blogspot.com/2011/01/penundaan-kewajiban-pembayaran-utang.html., diakses tanggal 7 Juni 2011.
Sriwijiastuti, http:// eprints.undip.ac.id/23774/i/srijiastuti.pdt., diakses tanggal 18 Juni 2011.
T. Tarmidi, Lepi., “Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran”, http://www.bi.go.id., diakses pada tanggal 5 Juli 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Peraturan Kepailitan (Faillissement verordening) S. 1905 - 217 jo. S.1906 - 348. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
(6)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan.
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1998 tentang Perhitungan Jumlah Hak Suara Kreditur.