Studi Etnografi Mengenai Budaya Literasi di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Penelitian ini akan berfokus pada permasalahan tidak tumbuhkembangnya

budaya literasi di masyarakat pesisir. Di Indonesia masyarakat yang tinggal di
pesisir dan bermatapencaharian sebagai nelayan mempunyai permasalahan yang
lebih kompleks dari permasalahan yang ada di perkotaan. Mulai dari kemiskinan,
kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah akibat dari keterbatasan akses
pendidikan, akses kesehatan dan pelayanan publik.
Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu
komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya
bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka
terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan,
sarana produksi perikanan (Mudjahirin, 2009).

Pekerjaan nelayan dikategorikan pekerjaan yang berat, seseorang yang
menjadi nelayan sulit membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah dan sesuai

dengan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu pekerjaan sebagai nelayan
merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan
pengalaman, oleh karena itu setinggi apa pun tingkat pendidikan masyarakat
pesisir tidak akan mempengaruhi kemahiran mereka dalam melaut (Sudarso,
2005:48). Pandangan ini tentu mempengaruhi cara berpikir anak-anak pesisir yang
dibesarkan dari lingkungan seperti itu, secara tidak langsung anak-anak ini ikut
menganut pandangan bahwa pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan kasar yang

Universitas Sumatera Utara

lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman tanpa memikirkan pendidikan
yang tinggi.
Pandangan ini sesuai dengan teori watak bangsa yang dipandang sebagai
watak kebudayaan, dimana kesamaan (regularities) sifat di dalam organisasi intrapsikis individu anggota suatu masyarakat tertentu, yang diperoleh karena
mengalami cara pengasuhan yang sama dalam suatu kebudayaan masyarakat
bersangkutan (Danandjaja, 1988:73).
Permasalahan

pendidikan


di

Indonesia

saat

ini

memang

kian

memprihatinkan, masih banyak anak-anak di Indonesia yang putus sekolah di usia
dini. Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) pada tahun 2010 angka putus sekolah anak-anak Indonesia
mencapai 13.685.324 siswa dengan rata-rata usia 7 sampai dengan 15 tahun.
Permasalahan putus sekolah selalu dikaitkan dengan permasalahan sosial dan
ekonomi. Adanya kesenjangan sosial, ekonomi, sulitnya memperoleh pekerjaan,
serta mahalnya biaya pendidikan menjadi faktor utama anak-anak putus sekolah.
Kondisi ini dapat mempengaruhi pembangunan di Indonesia, jika salah satu

indikator sebuah negara maju adalah dilihat dari pendidikannya. Di dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 terdapat kalimat
“memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” , yang
artinya negara harus bertanggungjawab atas pendidikan rakyatnya.
Untuk itu perlu solusi agar mampu meminimalisir angka putus sekolah
demi pertumbuhan dan pembangunan di Indonesia. Saat ini pemerintah Indonesia
sudah menerapkan wajib belajar 12 tahun, mengadakan program-program
beasiswadi Perguruan Tinggi seperti Beasiswa Bidik Misi, Beasiswa Peningkatan

Universitas Sumatera Utara

Prestasi Akademik (PPA), Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) dan
beasiswa-beasiswa lain. Pemerintah Indonesia juga mendirikan sarana prasarana
pendidikan bagi masyarakat guna meningkatkan mutu pendidikan masyarakat
yang salah satunya adalah dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) adalah sebuah wadah yang bergerak
dalam bidang pendidikan yang mempunyai tujuan memberikan akses layanan
bahan

bacaan


bagi

masyarakat

dalam

rangka

mendorong

dan

menumbuhkembangkan masyarakat gemar membaca dan menulis. Taman bacaan
masyarakat didirikan untuk melayani masyarakat sekitar yang terdiri dari
beberapa lapisan dan golongan tanpa memandang status sosial, ekonomi, budaya,
agama, tingkat pendidikan, umur dan lain sebagainya. Bagi masyarakat Indonesia
khususnya ekonomi menengah ke bawah, membeli buku masih menjadi sesuatu
hal yang mahal, sehingga membeli buku bukan menjadi kebutuhan utama. Salah
satu solusi untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan mendirikan sebuah taman

bacaan masyarakat, sebagai sarana-prasarana masyarakat untuk membaca maupun
belajar tanpa mengeluarkan dana pribadi.
Taman bacaan masyarakat dapat didirikan dan dikelola oleh masyarakat,
pemerintah daerah, maupun masyarakat yang bekerjasama dengan pemerintah
daerah. Pembentukannya yang tidak terlalu rumit serta pengelolaannya yang
mudah menjadi perbedaan dengan perpustakaan pada umumnya. Jika biasanya
perpustakaan dikelola oleh pustakawan maka di taman bacaan masyarakat ini
dapat dikelola oleh relawan dari masyarakat itu sendiri. Taman bacaan masyarakat
saat ini sudah mengalami perluasan fungsi, pada awalnya hanya bertujuan
memberikan akses layanan bahan bacaan bagi masyarakat, kini sudah mulai

Universitas Sumatera Utara

menjangkau sebagai sarana pendidikan anak usia dini dengan tujuan mendorong
anak-anak untuk lebih terampil, memiliki wawasan luas, serta membiasakan lebih
melek aksara sejak dini.Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan
yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan

melalui


pemberian

rangsangan

pendidikan

untuk

membantu

pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU No.20 Tahun 2003).
Di Sumatera Utara taman bacaan masyarakat jumlahnya masih terbilang
sedikit. Salah satu taman bacaan masyarakat yang masih berjalan hingga saat ini
adalah Rumah Baca Bakau yang berada di Dusun 18 Desa Percut, Kec. Percut Sei
Tuan, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Rumah Baca Bakau ini merupakan
taman bacaan masyarakat yang menyediakan buku-buku bacaan, menjadi pusat
informasi lingkungan pesisir di Percut Sei Tuan, serta sebagai ruang belajar dan
bermain anak-anak pesisir.

Penelitian ini akan mendiskripsikan tentang bagaimana budaya literasi di
Desa Percut, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Saat ini
sudah ada upaya yang dilakukan taman bacaan masyarakat Rumah Baca Bakau
dalam menumbuhkembangkan budaya literasi di Desa Ini.
Penelitian ini juga akan melihat upaya-upaya yang dilakukan Rumah Baca
Bakau dalam menumbuhkembangkan budaya literasi. Salah satu upaya yang
sudah dilakukan Rumah Baca Bakau yaitu dengan menerapkan metode visual
literasi sebagai metode pembelajaran. Visual literasi adalah kemampuan seseorang
dalam menangkap, menyimak, membaca, serta memahami pesan dari simbolsimbol yang ada di sekitarnya. Di Rumah Baca Bakau metode ini diterapkan

Universitas Sumatera Utara

kepada anak-anak terkhusus yang belum bisa membaca. Anak-anak yang belum
bisa membaca ini diajak keluar ruangan terbuka dan melihat sekeliling mereka
sambil belajar membaca dari apa yang mereka lihat.
Istilah literasi visual (visual literacy), pertama sekali digunakan oleh
seorang penulis bernama John Debes tahun 1968. Literasi visual sebagai cara
memperoleh pengetahuan dan pengalaman tentang fungsi media visual dan
digabungkan dengan tingginya kesedaran tentang fungsi-fungsi tersebut. Literasi
visual saat ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari,

penggunaan rambu-rambu lalu lintas di jalan, traffic light 1, spanduk, pamflet,
selebaran, dan lain sebagainya merupakan bentuk dari literasi visual. Artinya
dalam berkomunikasi atau ingin menyampaikan pesan-pesan melalui apa yang
bisa dilihat dengan kasat mata. Pendidikan dengan metode literasi visual sangat
dibutuhkan untuk saat ini, anak-anak yang sudah jenuh belajar di sekolah umum
diajak belajar sambil bermain melalui pertunjukkan film, pemandangan di luar
ruangan, serta dengan perlengkapan pendukung lain seperti gambar-gambar.
Taman bacaan masyarakat Rumah Baca Bakau dalam programnya juga
tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu seperti yang didapat di sekolah formal.
Taman bacaan masyarakat Rumah Baca Bakau menerapkan program-program lain
dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak pesisir, di antaranya
pendidikan mengelola organisasi, pendidikan pelestarian lingkungan dan
pemberdayaan pesisir, serta keterampilan berwirausaha. Saat ini sudah ada 15
relawan di rumah baca bakau yang diberikan pendidikan dan tanggung jawab

1

Lampu berwarna merah, kuning dan hijau untuk mengatur lintas yang biasanya berada di
persimpangan jalan.


Universitas Sumatera Utara

untuk mengelola organisasi di Rumah Baca Bakau, serta mengelola pusat
budidaya mangrove 2 dan budidaya ikan.
Tanggung jawab untuk relawan meliputi pengelolaan organisasi rumah
baca bakau, mengelola dana operasional rumah baca bakau dan mendapat hak
gaji. Dana operasional rumah baca bakau adalah anggaran untuk kegiatan belajar
mengajar, pembelian bahan bacaan, dana event, serta gaji relawan. Pengelola
rumah baca bakau bertanggung jawab atas berjalannya roda organisasi kepada
lembaga pilar selaku penyelenggara program. Adanya fungsi kordinasi antara
relawan di rumah baca bakau dengan lembaga pilar untuk menjalankan program
yang dilakukan setiap awal tahun dan rutin setiap sebulan sekali. Untuk
pengelolaan wirausaha kolam ikan, relawan bertanggung jawab setiap hari
memberi makan ikan, membersihkan areal kolam bersama dengan penjaga kolam
yang dipilih oleh lembaga Pilar dari masyarakat setempat. berikut adalah
pembagian peran yang ada di Rumah Baca Bakau:
1. Koordinator/manajer Rumah Baca Bakau (Juhaina)
2. Fasilitator/tutor kegiatan visual literasi (Maulidayani)
3. Tim pendukung kegiatan
4. Pengelola kolam ikan (Ijol)

Untuk apresiasi kpd relawan di Rumah Baca Bakau, lembaga Pilar
memberikan beasiswa kepada relawan yg fokus menjadi fasilitator/tutor dalam
menjalankan program di Rumah Baca Bakau ditambah dengan uang transport
bulanan. Untuk tim pendukung diberikan uang transport bulanan tetapi
nominalnya sedikit lebih kecil karena tanggung jawab mereka juga hanya pada
2

Mangrove: adalah tumbuhan di atas kopitiam mitra raya, berair payau yang terletak pada batam
center dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.

Universitas Sumatera Utara

saat penyelenggaraan kegiatan atau membawa tamu. Untuk relawan yang sudah
direkrut menjadi staff di lembaga Pilar, setiap menjalankan proyek maka mereka
akan diberikan salary bulanan sesuai posisi dan durasi proyek yang mereka
terlibat di dalamnya.
Dari pengamatan saya sejak pertama mengenal taman bacaan masyarakat
Rumah Baca Bakau, mereka sudah beberapa kali melakukan kegiatan-kegiatan
untuk mengupayakan keberaksaraan di lingkungan pesisir Percut Sei Tuan.
Taman bacaan masyarakat Rumah Baca Bakau pada bulan oktober 2014

melakukan kegiatan festival pesisir, yaitu sebuah ajang pertunjuk kan
keterampilan anak-anak pesisir. Rumah Baca Bakau juga melakukan kegiatan
penanaman pohon bakau 3, dan rutin melakukan kegiatan belajar mengajar baik di
dalam ruangan maupun di luar ruangan. Seluruh rangkaian kegiatan di taman
bacaan masyarakat Rumah Baca Bakau ini dikelola oleh relawan yang merupakan
remaja di sekitar taman bacaan masyarakat. Mereka yang menjadi relawan juga
sudah dibekali dengan pendidikan ataupun pelatihan yang diberikan pemerintah
daerah dan lembaga yang menjadi mitra taman bacaan masyarakat Rumah Baca
Bakau.
Sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, antropologi dapat
melihat budaya yang melekat di Desa Percut serta melihat budaya di taman
bacaan masyarakat Rumah Baca Bakau. Dalam hal ini pendekatan–pendekatan
antropologi psikologi dan budaya organisasi dapat dijadikan sebuah patokan
untuk melakukan studi etnografi 4 tentang budaya literasi di pedesaan.

3
4

Bakau: salah satu jenis pohon di hutan mangrove
Diskripsi tentang suatu kebudayaan suku-suku bangsa

Universitas Sumatera Utara

1.2.

Tinjauan Pustaka

1.2.1. Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik di
dalam suatu masyarakat. Pendidikan sebagai suatu proses menaburkan benihbenih budaya dan peradaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau
visi yang berkembang dan dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Inilah
pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan (Tilaar, 1999: 9).Salah satu konsep
yang dikemukakan oleh Freeman Butt dalam bukunya yang berjudul Cultural
History of Western Eduction, pendidikan adalah kegiatan menerima dan
memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke
generasi berikutnya (Djumransjah: 2004). Pendidikan merupakan sarana strategis
dalam usaha manusia mencapai tahap pembebasan dari segala belenggu
pembodohan.
Prinsip dasar pendidikan menurut socrates (Uyoh: 2009) adalah metode
dialektis. Metode ini digunakan socrates sebagai dasar teknis pendidikan yang
direncanakan untuk mendorong seseorang belajar berpikir secara cermat, untuk
menguji diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Dengan kata lain
tujuan pendidikan ini adalah untuk merangsang manusia untuk menertibkan diri
sendirinya dan mengubah dirinya sendiri.
Pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan fisik dan
psikologis anak. Anak akan memperoleh pengalaman-pengalaman baru dalam
hubungan sosialnya dengan anak-anak lain yang berbeda status sosial, suku,
agama, jenis kelamin dan kepribadiannya. Keluarga menjadi lembaga pertama

Universitas Sumatera Utara

yang paling berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Keluarga
mendidik anak agar mencapai perkembangan dan intelektual yang selaras,
khsusunya pada bidang pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan kecakapan.
Sedangkan di sekolah proses pendidikan lebih kepada proses pemahaman yang
ilmiah. Keluarga memiliki tanggungjawab untuk membantu memanusiakan,
membudayakan, dan menambah nilai-nilai terhadap anaknya.
Pendidikan merupakan kebutuhan pokok dalam merumuskan bentuk atau
pola suatu kebudayaan yang menjadi ciri suatu masyarakat. Dan pendidikan juga
sebagai media transformasi nilai-nilai kebudayaan dari suatu generasi ke generasi
selanjutnya sekaligus sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan yang dinamis
sesuai kebutuhan masyarakat itu sendiri (Nazili, 1989).
Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup kegiatan mendidik, mengajar,
serta melatih. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu upaya untuk
mentransformasikan nilai-nilai. Nilai-nilai yang ingin ditransformasikan berupa
nilai-nilai religi, kebudayaan, sains, teknologi, seni dan keterampilan (Uyoh,
2009).
Pendidikan masyarakat merupakan suatu proses di mana upaya pendidikan
yang diprakarsai pemerintah diwujudkan secara terpadu dengan upaya penduduk
setempat untuk meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih
bermanfaat dan memberdayakan masyarakat. Pendidikan sangat penting bagi
keberlanjutan kehidupan masyarakat dalam menghadapi perkembangan jaman.

Universitas Sumatera Utara

1.2.2. Perubahan Pada Masyarakat
Orangtua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan
baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak
juga mempengaruhi setiap orangtua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya
(Anwar,2000).

Proses enkulturasi diajarkan kepada individu dengan sengaja tidak hanya
dalam lingkungan keluarga dan dalam pergaulan di luar keluarga, tetapi juga
meliputi pendidikan formal. Dalam proses itu seorang individu dari masa kanakkanak hingga orangtua belajar pola-pola tidakan dalam interaksi dengan segala
macam individu di sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial
yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 1990).
Untuk
menggunakan

melihat proses enkulturasi yang diajarkan individu bisa
pendekatan

antropologi

psikologi.

Antropologi

psikologis

merupakan cabang dari antropologi yang bersifat interdisipliner dan mengkaji
interaksi kebudayaan dan proses mental. Cabang ini terutama memperhatikan cara
perkembangan manusia dan enkulturasi dalam kelompok budaya tertentu-dengan
sejarah, bahasa, praktik, dan kategori konseptualnya sendiri-membentuk proses
perolehan kognisi, emosi, persepsi, motivasi, dan kesehatan mental. Juga
memeriksa tentang bagaimana pemahaman kognisi, emosi, motivasi, dan proses
psikologis sejenis membentuk model proses budaya dan sosial. Setiap aliran
dalam antropologi psikologis memiliki pendekatannya sendiri-sendiri 5.

5

http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi_psikologis

Universitas Sumatera Utara

“Sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat berperan
dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota
masyarakat yang bermakna bagi masyarakatnya”.
Melalui pendidikan formal akan terbentuk kepribadian
seseorang yang diukur dari perkembangan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik seperti terdapat dalam teori
Bloom” 6

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau
dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Ciri-ciri masyarakat adalah (1)
interaksi antar warga-warganya; (2) adat-istiadat, norma, hukum, dan aturanaturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga Negara kota atau
desa; (3) kontinuitas waktu; (4) dan rasa identitas kuat yang mengikat semua
warga. Dengan memeperhatikan ciri-ciri tersebut maka secara khusus dapat
dirumuskan definisi mengenai masyarakat yaitu masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang
bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama
(Koentjaranungrat, 2009: 116).
Menurut Abdullah (2012) peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM) tentunya terus mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Dicontohkan
dalam masyarakat nelayan, peningkatan kualitas sumber daya diarahkan untuk
membentuk seseorang menjadi nelayan yang mempunyai pengetahuan luas dan
terampil. Peningkatan sumber daya manusia bisa dilihat dari mereka yang semula
awam terhadap permasalahan yang menyangkut kehidupan nelayan, setelah
memperoleh pendidikan dan pengetahuan mereka menjadi nelayan profesional,

6

https://tarmizi.wordpress.com/2010/03/01/faktor-sosial-budaya-penyebab-rendahnya-minatterhadap-pendidikan/ (diakses 04 maret 2015)

Universitas Sumatera Utara

mencakup ketepatan menangkap ikan, penggunaan perangkat, pembuatan perahu
dan peralatan lain.

1.2.3. Taman Bacaan Masyarakat
Taman Bacaan Masyarakat merupakan salah satu bentuk pendidikan
berbasis masyarakat. Taman bacaan masyarakat diartikan sebagai sebuah wadah
yang bergerak dalam bidang pendidikan yang mempunyai tujuan memberikan
akses layanan bahan bacaan bagi masyarakat dalam rangka mendorong dan
menumbuhkembangkan masyarakat gemar membaca dan menulis.
Taman bacaan masyarakat secara legalitas termaktub dalam UU No.20
tahun 2003 pasal 26 ayat 4, yaitu “Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis”. Lebih
lanjut tentang pendidikan berbasis masyarakat dijelaskan dalam pasal 55 bagian
kedua UU No 20 Tahun 2003 yang berisi:
1.

Masyarakat

berhak

meneyelenggarakan

pendidikan

berbasis

masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan
kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan
masyarakat.
2.

Penyelenggara pendididkan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen
dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan

3.

Dana penyelenggaraan pendidikan

berbasis masyarakat dapat

bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah

Universitas Sumatera Utara

Paerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4.

Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan
teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
Pemerintah dan/atau pemerintah Daerah.

5.

Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan pemerintah.
Taman bacaan masyarakat pada dasarnya adalah perpustakaan yang

berbasis pada masyarakat (community based library). Taman Bacaan Masyarakat
secara fisik memang bukan/belum dikatakan perpustakaan, meskipun fungsinya
tidak berbeda, yakni sebagai sumber ilmu yang dapat dimanfaatkan oleh setiap
orang”. Menurut Murniati (2012) taman bacaan masyarakat harus memiliki unsurunsur manajemen pengelolaan seperti:
1. Pengelola TBM harus orang yang mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan
dedikasi yang tinggi serta memiliki kemampuan teknis dalam mengelola
layanan kepustakaan kepada masyarakat.
2. Sumber anggaran yang pasti, tetap, dan teratur merupakan hal yang dapat
menjamin tersedianya anggaran pendapatan dan belanja TBM setiap
tahun. Anggaran ini pula yang dapat digunakan sebagai biaya operasional
TBM sehari-hari.
3. Perlengkapan dan perabotan (meubelair) TBM sekurang-kurangnya
tersedianya meja dan kursi baca untuk pemakai dan meja dan kursi kerja

Universitas Sumatera Utara

untuk pengelola TBM, tikar/atau karpet, rak-rak buku, lemari untuk
penyimpanan/pemajangan bahan pustaka, laci katalog, dan lain-lain.
4. Kegiatan yang dilakukan oleh sebuah TBM sangat bervariasi, tergantung
pada besar kecilnya ruang lingkup organisasi TBM.
5. Kegiatan administrasi di TBM menekankan kepada urusan surat keluar
dan surat masuk ke TBM dan juga pencatatan dari setiap program dan
kegiatan-kegiatan TBM.
6. Pengadaan koleksi bahan pustaka merupakan proses awal dalam mengisi
TBM dengan berbagai sumber informasi seperti buku, majalah, surat
kabar, kliping, foto-foto kegiatan masyarakat, dan lain-lain.
7. Pengolahan koleksi adalah pekerjaan yang diawali sejak koleksi diterima
di TBM sampai koleksi tersebut dapat ditempatkan di rak buku dan dapat
dilayankan kepada pengunjung TBM.
Fasilitator di TBM Rumah Baca Bakau dipilih berdasarkan pendidikan
yang sudah ditempuh. Untuk fasilitator minimal telah menamatkan pendidikan
tingkat Sekolah Menengah Atas untuk selanjutnya diberikan beasiswa menempuh
jenjang strata 1 (satu) sesuai kebutuhan kelas di Rumah Baca Bakau. Sumber
pendanaan di dapat secara rutin dari lembaga-lembaga donor seperti Indonesia
Climate Change Trust Fund (ICCTF), Friends of The Orangutans, dan United
Nations Development Programme (UNDP).
Administrasi di Rumah Baca Bakau meliputi surat keluar dan masuk serta
administrasi untuk laporan ke lembaga donor yang dilakukan oleh lembaga Pilar
selaku penyelenggara program. Rumah Baca Bakau memiliki bahan bacaan yang
didapat dari membeli atau donasi serta sarana kursi dan meja untuk tempat

Universitas Sumatera Utara

belajar. Dalam pengolahan sudah ada rak-rak buku yang dimiliki Rumah Baca
Bakau.

Foto 1: Rak buku yang ada di Taman Bacaan Masyarakat
Rumah Baca Bakau

1.2.4. Budaya Literasi
Literacy merupakan kemampuan menggunakan membaca dan menulis
dalam melaksanakan tugas-tugas yang bertalian dengan dunia kerja dan
kehidupan di luar sekolah. Istilah literasi visual (visual literacy) ini, pertama
sekali digunakan oleh seorang penulis bernama John Debes dalam tahun 1968.
Literasi bukanlah sekedar keterampilan membaca dan menulis secara mekanis.
Literasi meliputi tanggapan, pemahaman, dan kegiatan kehidupan sehari-hari yang
tersusun dan diaplikasikan melaui kegiatan pembelajaran berkelanjutan.
Dalam hal ini, konsep literasi mempunyai arti yang luas sebagaimana
disarankan Wagner (1987) yaitu penguasaan suatu tahap ilmu yang berdasarkan
keterpaduan antara keterampilan mendengar, berbicara, membaca, menulis, berhitung
dan berpikir. Kemampuan ini melibatkan kegiatan mengumpulkan pengetahuan yang

Universitas Sumatera Utara

mengarahkan seseorang untuk memahami dan menggunakan bahasa yang tepatsesuai
dengan situasi sosial. Konsep literasi yang digunakan dalam kegiatan in imemadukan
konsep literasi fungsional, literasi skill (keterampilan dasar hidup dan literasi
budaya).

Cessilia (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa di kalangan
mahasiswa budaya literasi masih belum melekat. Minimnya budaya literasi ini
disebabkan karena kesibukkan mahasiswa dengan berbagai tugas kuliah terutama
kegiatan laboratorium 7. Selain itu rendahnya budaya literasi juga disebabkan oleh
faktor eksternal seperti orang tua, pemerintah, lingkungan pendidikan serta faktor
internal yaitu kemauan dari diri sendiri.
Gould menyatakan bahwa dalam setiap proses belajar, kemampuan
mendapatkan keterampilan-keterampilan baru tergantung dari dua faktor, yaitu
faktor internal seperti kematangan individu dan eksternal seperti stimulan dari
lingkungan. Faktor eksternal yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah
lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan.

1.2.5. Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat merupakan upaya mengembangkan sebuah
kondisi masyarakat secara berkelanjutan dan aktif berlandaskan prinsip-prinsip
keadilan

sosial

menerjemahkan

dan

saling

nilai-nilai

menghargai.

keterbukaan,

Pengembangan

persamaan,

masyarakat

pertanggungjawaban,

kesempatan, pilihan, partisipasi, saling menguntungkan, saling timbal balik, dan
pembelajaran terus menerus (Zubaedi, 2013). Inti dari pengembangan masyarakat
7

Tempat atau kamar tertentu yang di dalamnya terdapat peralatan atau perlengkapan
percobaan. Seperti di Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara, Laboratorium
digunakan sebagai wadah diskusi sebelum melakukan penelitian dan pengembangan di lapangan.

Universitas Sumatera Utara

adalah mendidik, membuat anggota masyarakat mampu mengerjakan sesuatu
dengan memberikan kekuatan atau sarana yang diperlukan dan pemberdayaan
mereka.
Di lokasi penelitian ini pengembangan masyarakat dilakukan lembaga
Pilar dengan menyelenggarakan wirausaha pengolahan produk berbahan dasar
mangrove. Produk olahan mangrove dibuat oleh masyarakat dengan bahan dasar
yang mudah diperoleh di sekitar mereka dan dibantu modal oleh lembaga pilar.
Saat ini masyarakat sudah mampu membuat produk olahan mangrove sirup
mangrove dan cendol mangrove yang akan siap dipasarkan. Hasil dari penjualan
produk ini nantinya akan menjadi pendapatan tambahan ibu-ibu nelayan di sekitar
Rumah Baca Bakau.
Selain itu, dalam memberdayakan masyarakat di sekitar Rumah Baca
Bakau, lembaga Pilar juga membuatkan kolam ikan bandeng dan memberikan
modal untuk operasionalnya yang kemudian dikelola bersama. Kolam bandeng ini
dikelola bersama warga di sekitar Rumah Baca Bakau dan relawan Rumah Baca
Bakau. Hasil dari panen nantinya akan dibagi sesuai kesepakatan yang sudah
ditentukan yaitu 40% untuk lembaga pilar selaku pemilik modal, 40% untuk
pengelola kolam, dan 20% untuk membantu operasional Rumah Baca Bakau.
Pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk pembangunan yang berpusat
pada rakyat dan ditujukan untuk membangun kemandirian masyarakat. Konsep
pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu proses perencanaan
pembangunan dengan memusatkan pada partisipasi, kemampuan, dan masyarakat
lokal. Oleh karena itu, masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program yang mereka
lakukan (Suparjan, 2007; 24).
Kebanyakan aktivis sosial melakukan peran-peran pendampingan ketika
program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sedang berjalan. Peran
aktivis sosial sebagai pendamping sangat krusial dalam menghidupkan dan
mengembangkan kegiatan kelompok. Ada beberapa hal yang perlu diperhatkan
dalam kegiatan pengembangan masyarakat. Seorang atau kelompok aktivis
pengembangan masyarakat dalam program dampingan hendaknya memperhatikan
prinsip-prinsip substansial dari pengembangan masyarakat itu sendiri. Menurut
Zubaedi (2013) setidaknya ada 22 prinsip dalam pengembangan masyarakat yang
kesemuanya saling berkaitan. Pengembangan masyarakat harus:
1. Bersifat pembangunan yang menyeluruh
2. Melawan kesenjangan struktural
3. Memperhatikan Hak Asasi Manusia
4. Sustainable ( berkelanjutan )
5. Pemberdayaan
6. Personal dan politik
7. Kepemilikan masyarakat
8. Kemandirian
9. Kebebasan dari negara
10. Tujuan langsung dan visi yang benar
11. Pembangunan organik
12. Laju pembangunan
13. Kepakaran eksternal

Universitas Sumatera Utara

14. Pembentukan masyarakat
15. Proses dan hasil
16. Integritas proses
17. Tanpa kekerasan
18. Keterbukaan
19. Konsensus
20. Kooperatif, dan
21. Partisipasi
22. Menentukan kebutuhan
Untuk masuk ke dalam suatu kelompok masyarakat pedesaan, orang kota
(luar) terlebih dahulu harus memperkenalkan diri sebelum masuk menjadi
pendamping

agar

tidak

muncul

asumsi-asumsi

negatif

di

masyarakat.Memperkenalkan diri dalam arti melakukan pendekatan-pendekatan
sosial, moral, dan emosional dengan masyarakat setempat (Saragih, Sabastian,
1996).
Dalam melakukan pengembangan masyarakat dibutuhkan sumberdaya
manusia yang muncul dari masyarakat itu sendiri sebagai jembatan antara orang
luar dengan masyarakat dampingan. Sabastian Saragih (1996) mengungkapkan
bahwa untuk menentukan kader orang luar bisa melihat bakat yang dimiliki
seseorang

seperti

senang

bergaul,

dan

senang

melakukan

kegiatan

pengorganisasian. Kader ini lahir dari proses pendampingan yang dilakukan,
kader-kader inilah yang nantinya akan memperkuat kekuatan yang dimiliki
masyarakat itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Kaji F Jalal (1999: 5) LSM adalah organisasi swasta yang secara
umum bebas dari intervensi pemerintah. LSM didirikan dengan sebuah idealisme
untuk memberikan perhatian terhadap isu-isu sosial, kemanusiaan, perbaikan
kesejahteraan

kelompok

marjinal,

perlawan

terhadap

kesenjangan

dan

kemiskinan, perlindungan terhadap lingkungan atau sumber daya alam,
manajemen, dan pengembangan sumberdaya manusia.
LSM hadir sebagai jembatan bagi masyarakat kalangan bawah dalam
menyampaikan aspirasinya ataupun sebagai pendamping masyarakat kecil.
Program-program pembangunan lembaga swadaya masyarakat cenderung
berbasis masyarakat atau community based development. Paradigma yang dipakai
pun bersifat bottom updan lokalitas. Bagi sebagaian orang LSM sebagai kumpulan
warga akar rumput yang aktivitasnya dilakukan secara terorganisir untuk
mengkritisi proyek-proyek pemerintah.
Sebagaian kalangan lain memahami LSM sebagai kumpulan para ahli
yang memberi saran kepada pemerintah tentang suatu masalah secara netral, atau
koalisi dari perwakilan kalangan industri yang menyampaikan pemikirannya
kepada pemerintah (Zubaedi, 2013). Upaya-upaya LSM dalam mengembangkan
masyarakat lapis bawah dapat dilihat sebagai salah satu bentuk gerakan sosial
yang sistematis dan terorganisir.
Jika

dinarasikan

Robert

Chambers

(1987)

menerangkan

bahwa

permasalahan program pendampingan yang tidak berjalan panjang yang dilakukan
LSM maupun pemerintah disebabkan oleh kurang cermatnya pendamping dalam
melihat masyarakat. Rangkaian kegiatan yang dilakukan masih bersifat
seremonial, mementingkan dokumen laporan kegiatan, tidak ikut berpartisipasi

Universitas Sumatera Utara

dalam kegiatan yang dilakukan masyarakat bahkan tidak rutin mendampingi, serta
bersifat menggurui.

1.3.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan budaya literasi di Desa Percut ini ?
2. Mengapa Budaya Literasi di Desa Percut masih rendah padahal sudah
ada upaya yang dilakukan pemerintah maupun pihak swasta ?

1.4.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendiskripsikan bagaimana budaya literasi di Desa Percut.
2. Untuk mengetahui program-program yang ada di rumah baca bakau dalam
upayakeberaksaraan di Desa Percut.
Manfaat dari penelitian ini adalah menjadi bahan informasi awal yang
konkret dan empirik untuk mengubah budaya literasi yang rendah di pedesaan.
Hasil penelitian ini juga bisa digunakan pemerintah maupun organisasi swasta
sebagai pedoman dalam program menumbuhkembangkan budaya literasi di
pedesaan. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat sebagai salah satu referensi dan
pustaka ilmu antropologi dalam kajian budaya literasi.

Universitas Sumatera Utara

1.5.

Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah etnografi. Etnografi digunakan dalam

penelitian antropologi untuk melihat perilaku-perilaku manusia yang berkaitan
dengan perkembangan teknologi komunikasi dalam setting sosial dan budaya
tertentu. Metode penelitian etnografi dianggap mampu untuk menggali informasiinformasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik
observasi partisipatif, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik
karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam suatu komunitas
atau masyarakat tertentu. Seperti yang diungkapkan Marzali (2005) etnografi
merupakan ciri khas dari antropologi, yang artinya merupakan sebuah metode
penelitian lapangan asli dari ilmu antropologi itu sendiri.

1.6.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan,

Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia. Desa Percut dipilih karena
belum ada penelitian tentang budaya literasi yang dilakukan di Desa ini. Desa
Percut bisa menjadi representasi desa-desa di daerah pesisir Indonesia khususnya
Sumatera Utara.

1.7.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi partisipatif.

Observasi pertisipatif merupakan pengamatan yang dilakukan melibatkan peneliti
atau observer dalam kegiatan-kegiatan yang sedang diamati. Dalam melakukan

Universitas Sumatera Utara

observasi partisipatif ini, peneliti mengamati secara langsung dan dapat
merasakan apa yang ada dalam masyarakat tersebut. Peneliti ikut serta dalam
kegiatan mengajar baca-tulis bersama peserta didik Rumah Baca Bakau dan
kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan literasi di Desa Percut.
Pada tanggal 22 juni 2015 peneliti ke lokasi penelitian untuk menetap
beberapa waktu. Saya berangkat pagi dari medan dan sudah membawa
perlengkapan seperti baju, perlengkapan mandi, laptop dan alat tulis. Saya tiba di
percut sebelum dzuhur, langsung menuju Rumah Baca Bakau tempat saya akan
menetap. Sebelumnya saya sudah melakukan komunikasi dengan Direktur Pilar
untuk meminta izin tinggal di Rumah Baca Bakau. Sampai di Rumah Baca Bakau
saya menunggu relawan Rumah Baca Bakau yang memang tinggal di Rumah
Baca Bakau.
Setelah beberapa menit Bang Adi (relawan Rumah Baca Bakau) datang
menemui saya untuk berjumpa dengan Bang Ijol (relawan Rumah Baca Bakau)
yang mengelola budidaya ikan. Saya diantar Bang Adi ke pusat budidaya ikan nila
dan bandeng milik Rumah Baca Bakau yang dikelola oleh Bang Ijol. Setelah
sampai saya langsung merasa lega ternyata di kolam ikan tempat budidaya ini
udaranya beda dengan di sekitar Rumah Baca Bakau. Di kolam lebih dingin dan
lebih banyak angin yang membuat saya ingin tidur.
Peneliti menetap bersama masyarakat di Desa Percut mulai dari awal
ramadhan sampai menjelang hari raya islam (lebaran). Setelah lebaran peneliti
kembali ke Desa Percut lagi untuk menambah data penelitian ini. Peneliti kembali
menetap di Percut selama 13 hari.

Universitas Sumatera Utara

Dalam mengumpulkan data peneliti juga menggunakan teknik wawancara.
Wawancara merupakan percakapan antara dua individu dengan maksud tertentu.
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam atau in-depth interview.
Wawancara mendalam ini dilakukan untuk mendapatkan persepsi, opini, dan
prediksi dari seorang individu serta fakta dalam konteks permasalahan tertentu.
Wawancara mendalam ini juga untuk memunculkan reaksi perorangan terhadap
suatu hal dalam mencari-cari pemecahan masalah tertentu.
Untuk itu perlu ditetapkan terlebih dahulu siapa yang ingin dijadikan
informan kunci. Menurut J. Moleong (2004) informan pangkal atau informan
kunci adalah informan yang akan membuka wawancara dengan pengetahauan
yang ia ketahui. Informan kunci dapat ditentukan menurut konsep Benard ( 1994:
166) yaitu orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap informasi
yang dibutuhkan, dan dengan gembira memberikan informasi kepada peneliti.
Spradley (1977) mengatakan bahwa ada lima syarat dalam menentukan
informan yaitu: (1) enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya
dengan baik, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal,
biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia tidak
akan basa-basi, (4) memiliki waktu yang cukup, (5) non analitis. Dalam hal ini
informan yang dipilih adalah warga di Desa Percut, anak-anak yang sudah tidak
bersekolah, perangkat Desa dan pengelola rumah baca bakau. Pemilihan informan
dilakukan secara acak sesuai kebutuhan data.
Peneliti juga harus bersikap rendah hati, mengosongkan pikiran bahwa
lebih pintar dari informan, dan tetap seperti seorang anak yang ingin belajar dari

Universitas Sumatera Utara

masyarakat guna mencapai rapport 8dan mendapatkan data-data yang sesuai fakta
di lapangan.Peneliti harus sering ke lapangan guna membangun emosional dengan
informan, dengan begitu peneliti akan lebih mudah menggali informasi yang lebih
dalam dari informan.
Data yang dikumpulkan bisa berupa gambar, ataupun kata-kata. Data-data
ini berasal dari naskah, rekaman, catatan lapangan peneliti, memo, serta dokumendokumen lain yang mendukung.
Untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data, peneliti
menggunakan alat bantu perekam seperti Tape Recorder, serta Kamera.

1.8.

Analisis Data
Data yang sudah diperoleh selama peneliti di lapangan baik berupa hasil

wawancara, observasi, serta dokumen pendukung lain setiap harinya dituliskan
dalam bentuk catatan lapangan atau field note. Catatan lapangan ini merupakan
catatan yang ditulis secara rinci, cermat, luas, dan mendalam yang diperoleh dari
hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti tentang subjek,
aktivitas, ataupun tempat berlangsungnya kegiatan tersebut. (Idrus, 2009). Setelah
itu data diklasifikasikan berdasarkan tema.
Selain itu peneliti juga akan menggunakan data kepustakaan guna
meelengkapi informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Data
kepustakaan bisa diperoleh dari sumber tertulis seperti buku, dokumen, jurnal,
skripsi, dan sumber lain.

8

Membangun hubungan baik dengan informan

Universitas Sumatera Utara