Hubungan Motivasi dan Psikis terhadap Keikutsertaan Suami dalam Vasektomi di Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deliserdang

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Komitment internasional untuk mewujudkan sasaran pembangunan global

telah disepakati dalam Dokument Millennium Declaration yang dituangkan sebagai
MDGs (Millenium Development Goals) pada tahun 2000. Program kependudukan,
khususnya hak-hak dan kesehatan reproduksi, yang didalamnya mencakup keluarga
berencana mulai tahun 2005 secara eksplisit telah dimasukkan sebagai target baru
dalam MDGs (BKKBN, 2008).
MDGs adalah target yang harus dicapai sedangkan strategi untuk mencapai
target tersebut tetap mengacu kepada berbagai komitment pembangunan yang telah
disepakati oleh PBB, diantaranya ICPD (International Conference Population and
Development). Keterkaitan Target MDGs dengan tujuan ICPD diantaranya dalam
tujuan 3 (tiga) MDGs yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan. Hal ini berkaitan dengan prinsip ke 4 (empat) ICPD yang berbunyi :

peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan penghapusan
segala kekerasan terhadap perempuan untuk mengontrol fertilitasnya adalah kunci
dari program yang mengkaitkan masalah kependudukan dan pembangunan.
Peningkatan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi adalah langkah yang
tepat dalam upaya mendorong kesetaraan gender (Ekasari, 2008).
1

2

Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) tahun
2008, pertambahan jumlah penduduk merupakan masalah di suatu negara
apabila tidak disertai peningkatan kualitas hidupnya. Saat ini penduduk Indonesia
berjumlah 224,9

juta pada tahun 2007, sebelumnya 205,8 juta jiwa (Sensus

Penduduk, 2000) dan berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah
penduduk Indonesia sudah mencapai sekitar 237,6 juta jiwa dan berada di peringkat
ke 4 (empat) di dunia berpenduduk tertinggi, berdasarkan kuantitasnya penduduk
Indonesia tergolong sangat besar namun dari segi kualitasnya masih memprihatinkan

dan tertinggal dibandingkan negara Asean lainnya.
Berdasarkan Human Development Report tahun 2007, posisi kualitas
penduduk dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia berada pada
peringkat 107 dari 177 negara. Penduduk yang besar disertai dengan kualitas yang
tidak memadai nampaknya bukan menjadi aset tetapi justru beban pembangunan, dan
menyulitkan

pemerintah

untuk

meningkatkan

pertumbuhan

ekonomi

dan

pembangunan (BKKBN, 2008).

Meskipun telah dilakukan pembangunan secara terus menerus, namun
sampai saat ini Indonesia masih menghadapi masalah kependudukan yang belum
banyak berbeda dengan kondisi tahun 1970. Hal tersebut berkaitan dengan
kecepatan dan efektifitas keberhasilan pembangunan yang tidak seimbang
dengan tingkat ketertinggalan di Indonesia dibanding kemajuan Internasional.
Dan salah satu masalah terbesarnya adalah jumlah dan petumbuhan penduduk

3

di Indonesia yang sangat besar lebih kurang 210 juta jiwa atau no 4 di dunia.
Tingkat pertumbuhannya cepat sekitar 1,85% pertahun (Meilani, 2010).
Program KB yang bertujuan untuk mengendalikan laju pertumbuhan
penduduk melalui pengaturan kelahiran, serta sebagai salah satu program peningkatan
kualitas SDM, diapresiasi oleh masyarakat sebagai program yang terpinggirkan
dalam era reformasi. Implikasi pencapaian KB dalam sepuluh tahun terakhir hasilnya
adalah stagnan. Secara nasional angka kelahiran total 2007 berdasarkan hasil Survey
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) adalah 2,6 anak, masih sama dengan
keadaan tahun 1997. Kondisi ini tentu dikhawatirkan oleh banyak pihak, oleh karena
penduduk yang terlalu banyak dengan kualitas SDM yang kurang akan menjadi beban
pembangunan (Mudita, 2009).

Pemerintah Indonesia telah mulai melaksanakan pembangunan yang
berorientasi pada kesetaraan dan keadilan jender, namun masalah utama yang kita
hadapi saat ini adalah rendahnya partisipasi pria dalam melaksanakan program KB
dan kesehatan reproduksi. Partisipasi pria baik dalam praktek KB maupun dalam
pemeliharaan kesehatan ibu dan anak termasuk pencegahan kematian maternal hingga
saat ini masih rendah. Sedangkan faktor lain yang menyebabkan rendahnya kesertaan
pria dalam ber-KB adalah faktor psikologis dimana masyarakat masih berpandangan
bahwa vasektomi akan mengurangi kejantanan laki-laki (Pramesti, 2012).
Indikatornya antara lain masih sangat rendahnya kesertaan KB pria, yaitu hanya lebih
kurang 4,4 persen meliputi: pengunaan kondom 0,9 persen, vasektomi/metode operasi
pria (MOP) 0,4 persen, senggama terputus 1,5, persen dan pantang berkala 1,6 persen

4

(SDKI, 2007). Dimana program RPJM mengharuskan partisipasi pria dalam program
KB khususnya pemakaian kontrasepsi oleh para pria harus mencapai target minimal
4,5% (Saputra, 2008).
Terdapat sekitar 50 juta pria di seluruh dunia telah mengandalkan
vasektomi untuk kontrasepsi. Data-data pengguna vasektomi di negara-negara
Islam seperti Pakistan pada tahun 1999, memiliki peserta vasektomi (5,2%),

Bangladesh tahun 1997 (13,9%) dan Malaysia tahun 1998 (16,8%). Sementara
di Indonesia sendiri peserta vasektomi masih tergolong rendah yaitu 0,4%
(BKKBN, 2007).
Disisi lain kebutuhan pasangan usia subur (PUS) untuk ikut KB yang saat ini
sebesar 70,6 persen, dan masih ada kebutuhan PUS untuk KB belum dapat dipenuhi
(unmeet need) sebesar 9,1 persen yang terdiri dari kebutuhan untuk spacing sebesar
4,3 persen dan untuk limiting sebesar 4,7 persen. Upaya pemenuhan kebutuhan
(unmeet need) merupakan tantangan mendasar dalam pelaksanaan program KB.
Sebagai suatu kebutuhan, kontrasepsi terkait dengan kebutuhan fisik dan sosial.
Sebagai kebutuhan fisik, kontrasepsi memiliki peranan dalam setiap fase reproduksi,
yaitu untuk menunda kehamilan, menjarangkan serta mencegah kehamilan.
Sedangkan sebagai kebutuhan sosial, kontrasepsi terkait dengan upaya mewujudkan
program pembangunan suatu negara (BKKBN, 2008).
Upaya meningkatkan kesertaan pria dalam ber-KB khususnya peserta
vasektomi, tidak terlepas dari peran motivator KB pria dalam mengajak para pria lain
untuk berpartisipasi menjadi peserta KB. Motivator yang tepat biasanya adalah

5

pengurus atau anggota kelompok KB pria yang aktif di masyarakat, tokoh

masyarakat/panutan atau warga yang diterima masyarakat setempat (BKKBN, 2008).
Rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB menurut hasil penelitian
Suprihastuti, dkk (2002), yaitu pria pengguna metode kontrasepsi hanya
menyumbang 3% dari total peserta KB aktif pada tahun 1997 yang berjumlah 57,4%.
Bahkan dari hasil SDKI dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1997 tampak adanya
kecenderungan penurunan pemakaian alat kontrasepsi pria, khususnya pada metodemetode kontrasepsi modern (kondom dan vasektomi). Perlunya peningkatan peranan
pria sebagai suami juga lebih ditekankan dengan adanya keluhan dari wanita
berkenaan dengan kurangnya partisipasi pria dalam KB, padahal peran dan dukungan
suami sangat berHubungan terhadap kelestarian KB (Suprihastuti, 2002).
Salah satu rendahnya partisipasi pria dalam KB dilihat dari laporan bulanan
Badan Kesejahteraan Keluarga (BKK) Kabupaten Bantul Juni 2007 yang dikutip oleh
Budisantoso (2009), dimana partisipasi pria dalam ber-KB masih rendah yaitu hanya
4,3% dari total peserta aktif, yang terdiri dari Metode Operasi Pria (MOP) 0,6% dan
Kondom 3,7%. Dilihat dari pengetahuan responden tentang partisipasi pria dalam KB
khususnya pengetahuan KB tentang Vasektomi masih kurang dipahami responden,
yaitu 44 % berpengetahuan salah yang menganggap vasektomi dapat menurunkan
kejantanan pria (Budisantoso, 2009).
Rendahnya penggunaan kontrasepsi oleh pria terutama karena keterbatasan
macam dan jenis kontrasepsi pria serta rendahnya pengetahuan dan pemahaman
tentang hak-hak reproduksi serta rendahnya partisipasi pria dalam pelaksanaan


6

program KB baik dalam praktik KB, mendukung istri dalam menggunakan
kontrasepsi, sebagai motivator atau promotor dan merencanakan jumlah anak. Faktor
lain adalah (a) Kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat dan keluarga yang
masih

menganggap

partisipasi pria belum atau tidak penting dilakukan,

(b) Pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarganya dalam ber KB rendah, dan
(c) Keterbatasan penerimaan dan aksesibilitas pelayanan kontrasepsi pria, selain itu
juga karena pelayanan KIP/Konseling kontrasepsi pria masih terbatas (d) Adanya
anggapan, kebiasaan serta persepsi dan pemikiran yang salah yang masih cenderung
menyerahkan tanggung jawab KB sepenuhnya kepada para istri atau perempuan
(BKKBN, 2007).
Pendapat suami mengenai KB cukup kuat hubungannya untuk menentukan
penggunaan metode KB. Menurut hasil penelitian Anggraeni, dkk (2007), tentang

peran suami dalam penggunaan alat kontrasepsi yang berwawasan gender adalah
belum optimalnya peran suami dalam pelaksanaan pelayanan KB dan kesehatan
reproduksi, sehingga laki-laki dan perempuan belum dapat secara seimbang
berpartisipasi serta memperoleh manfaat yang sama dari informasi dan pelayanan KB
dan kesehatan reproduksi. Akses pengetahuan yang masih rendah tentang KB, sosial
ekonomi keluarga, stigma di masyarakat bahwa KB adalah urusan wanita, pilihan
metode KB bagi pria masih terbatas, dan faktor pemahaman terhadap masalah
kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan tanggung jawab keluarga (Anggraeni,
2007).

7

Secara umum kedudukan perempuan dalam hukum adat masih mencerminkan
sub-ordinasi dan bias gender. Disamping adanya perbedaan, terdapat pula adanya
persamaan terutama yang menyangkut kekuasaan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan hasil penelitian Suprihastuti, dkk (2002), tentang pengambilan
keputusan pengunaan alat kontrasepsi pria di Indonesia menyimpulkan bahwa pada
pengguna vasektomi, variabel-variabel yang berHubungan secara bermakna meliputi
diskusi tentang KB, alasan utama pengunaan alat kontrasepsi, jumlah anak ideal,
pendidikan, agama, tempat tinggal sedangkan variabel yang tidak berHubungan

secara siqnifikan : preferensi jenis kelamin, nilai ekonomis anak, umur, pekerjaan dan
mortalitas anak, sedangkan menurut Budisantoso (2009), mengungkapkan beberapa
faktor yang memiliki hubungan secara signifikan terhadap tingkat adopsi inovasi
KB pria dikalangan pria yaitu: pengetahuan, sikap, persepsi, sikap istri terhadap
partisipasi suami dalam KB, praktik istri dalam ber-KB, sikap teman sedangkan
faktor-faktor yang tidak memiliki hubungan yaitu Akses pelayanan, Pendidikan,
jumlah anak, umur, dan sifat inovasi.
Hal ini terlihat juga dari data Badan Kependudukan Keluarga Berencana
Nasional Sumatera Utara untuk kota Medan pada bulan Agustus 2009 diperoleh
317.084 pasangan usia subur 209.337 (66,02%) pasangan merupakan peserta
KB aktif, sedangkan 107.747 (33,98%) pasangan tidak merupakan akseptor KB.
Data pemakaian kontrasepsi menunjukkan bahwa jumlah peserta KB perempuan
lebih tinggi dibandingkan pria. Dari akseptor KB yang ada 200.920 orang
(95,81%) adalah wanita yang ber-KB, sedangkan pria yang menjadi akseptor

8

KB sebanyak 8.417 orang (4,19%). Padahal selayaknya pria juga diharapkan
berperan aktif, karena pria mempunyai hak-hak reproduksi yang sama dengan
perempuan, pria juga bertanggung jawab secara sosial, moral dan ekonomi

dalam membangun keluarga (BKKBN, 2008).
Menurut
Berencana

Badan

Pemberdayaan

Perempuan,

kecamatan Lubuk Pakam kabupaten

Anak

Deli Serdang

dan

Keluarga


tahun

2011,

keikutsertaan pria dalam kontrasepsi masih rendah, walaupun demikian Badan
Pemberdayaan Perempuan, Anak dan KB masih terus berupaya untuk meningkatkan
keikutsertaan pria dalam Keluarga Berencana, hal ini terbukti dengan didapatkannya
peserta KB pria dari tahun 2010 sampai Oktober 2011 yaitu KB pria yang
menggunakan kondom sebanyak 610 orang (14,2%) dari 4.296 PUS dan yang
melakukan kontrasepsi vasektomi sebanyak 46 orang (1,07%) dari 4.296 PUS,
data ini didapatkan dari 13 desa kelurahan yang ada di kecamatan Lubuk Pakam
kabupaten Deli Serdang (Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga
Berencana Deli Serdang, 2011).
Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan bulan Februari di kantor
kecamatan Lubuk Pakam di desa sekip diperoleh data bahwa peserta vasektomi pada
suami PUS yang mengikuti vasektomi berjumlah 14 orang dari total PUS 830 orang.
Hal ini berarti hanya sekitar 1,6% suami yang mengikuti vasektomi, angka ini jauh
dibawah target pemerintah yang harus mencapai target 4,5%, yang menjadi alasan
rendahnya peserta vasektomi di desa Sekip antara lain: karena beberapa tanggapan
dari beberapa suami menyebutkan bahwa vasektomi dapat menyebabkan gangguan

9

terhadap ejakulasi, menganggap vasektomi sama dengan kebiri, dan menganggap
vasektomi adalah tindakan operasi yang menyeramkan, dan dari 14 orang yang telah
mengikuti vasektomi menyebutkan bahwa alasan mengikuti vasektomi dikarenakan
adanya insentif berupa uang yang diberikan setelah mengikuti vasektomi.
Berdasarkan BKKBN (2008), Sebab

lain

mengapa

vasektomi

kurang

diminati oleh kaum pria adalah karena selama ini kaum pria takut bila daerah
kemaluan mereka mendapat cedera/luka. Mereka selalu membayangkan bahwa
luka di daerah tersebut dapat berakibat fatal terutama impotensi, oleh karena
itu, sekarang ini telah dikembangkan teknik vasektomi yang baru yaitu
vasektomi tanpa pisau.
Rumor dan fakta lain tentang vasektomi sama dengan kebiri, dapat
membuat pria impotensi, dapat menurunkan libido, membuat pria tidak bisa
ejakulasi, tindakan operasi yang menyeramkan, pria/suami dapat dengan mudah
untuk selingkuh, dan beberapa pria cemas terhadap prosedur pelaksanaan MOP.
Ternyata turut memHubungani rendahnya keikutsertaan pria dalam melakukan
vasektomi (Everett, 2008).
Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti tertarik untuk membuat
penelitian mengenai Hubungan Motivasi dan Psikis terhadap Keikutsertaan Suami
dalam Vasektomi di Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang
tahun 2012.

10

1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dilihat bahwa keikutsertaan suami
dalam vasektomi masih rendah, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Hubungan Motivasi dan Psikis terhadap Keikutsertaan Suami dalam Vasektomi di
Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui hubungan motivasi dan psikis terhadap
keikutsertaan suami dalam vasektomi

1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan signifikan antara motivasi
dan psikis terhadap keikutsertaan suami dalam vasektomi.

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan
Kabupaten Deli Serdang.
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan dalam rangka
pengambilan kebijakan untuk program peningkatan keikutsertaan suami
dalam vasektomi dan dapat dijadikan sebagai contoh bagi kecamatan lain
dalam upaya peningkatan keikutsertaan suami dalam vasektomi.
1.5.2. Bagi Sub Dinas Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Kabupaten Deli
Serdang.

11

Penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam melakukan upaya
peningkatan keikutsertaan suami dalam Vasektomi.
1.5.3. Bagi Keilmuan
Penelitian ini dapat menambah khasana keilmuan dibidang kesehatan
reproduksi khususnya dalam upaya peningkatan keikutsertaan suami
dalam vasektomi .