UAS Politik Islam Pemikiran Politik Imam
Nama : Isnina Intan Cahya
NIM : 111315000105
Kelas : 7B
Email : [email protected]
Judul : Pemikiran Politik Imam Khomeini
Abstrak
Dalam kehidupan dewasa kini, Islam mulai di guncang dengan berbagai isu dan tindakan yang begitu fenomenal. Walaupun negara Indonesia
sudah terbebas dari penjajahan secara fisik namun sampai detik ini, saya merasa bahwa Indonesia masih dijajah secara mental dan psikologis.
Sebagai negara pemeluk agama Islam terbesar di dunia, Indonesia selalu dijadikan ladang dalam mengarap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
segelintir orang yang sudah menyelewengkan beberapa tindakan yang seharusnya sejalan dengan agama Islam namun berbeda penafsirannya. Ada
begitu banyak aliran dalam Islam seperti HTI, Syi’ah, dan Sunni. Hukum-hukum semua aliran tersebut berasal dari satu sumber yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Mereka semua meyakini bahwa Allah SWT merupakan pencipta seluruh alam dan jagat raya ini, dan juga mereka percaya bahwa
Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam. Visi dan misi merekapun hampir
sama yaitu mendirikan sebuah negara yang berlandaskan dengan hukum Islam dan sekaligus menyebarkan agama Islam (berdakwah) dengan cara
adanya seorang anggota pemerintahan yang merupakan anggota aliran tersebut sehingga hukum yang ada di negara tersebut berlandaskan pada
agama Islam. Aliran Syi’ah merupakan aliran yang sering sekali ditakutkan sebagai ancaman bagi Islam Sunni. Syi’ah terkenal di negara Iran.
Republik Islam Iran adalah sebuah negara yang telah melalui rentang sejarah yang cukup panjang. Di masa lalu (mulai dari abad VI SM),
Iran (dulu dikenal dengan nama Persia) merupakan salah satu imperium terbesar di dunia selain Romawi. Selama itu pula bangsa Iran berhasil
membangun peradabannya hingga diakui sebagai salah satu bangsa yang paling berperadaban dalam sejarah. Sejak dahulu, bangsa Iran termasuk
bangsa yang diperhitungkan dalam kancah perpolitikan dan peradaban dunia. Dalam peta dunia Islam, Iran merupakan representasi kawasan Persia
dengan penduduk mayoritas menganut paham Syiah Imamiyah. Paham Syiah Imamiyah mendapat tempat yang istimewa sebagai mazhab resmi
negara sejak berdirinya dinasti Shafawi (tahun 1501).2 Sejak itu, ajaran Syiah Imamiyah memberikan pengaruh secara dominan dalam struktur sosial
dan kehidupan masyarakat Iran. Sejak revolusi Islam 1979 yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, Iran pun mengukir sejarah baru dalam babakan
sejarah politiknya, menjadi Republik Islam dengan sistem Wilayat al-Faqih sebagai sistem pemerintahannya. Dari segi politik, Iran menampilkan
corak yang khas dalam pemikiran dan sistem politik Islam dengan kepemimpnan Negara yang dipegang oleh para ulama (mullah). Sistem Wilayat
al-Faqih merupakan ijtihad politik dari Ayatullah Khomeini yang didasarkan pada doktrin Imamah dalam Syiah Imamiyah. 1
Kata kunci : Syi’ah, Imamah, Bentuk Pemerintahan Islam, Wilayah al-Faqih dan Khums
Pemikiran Politik Imam Khomeini
1. Sejarah Syi’ah
Setidaknya ada tiga pendapat lahirnya Syiah. Pertama, bahwa istilah Syiah sudah dilekatkan oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ra
dan pengikutnya. Pertama, dalam Al-Quran, istilah Syiah digunakan pada 12 tempat16seperti dalam ayat “... dan sesungguhnya Ibrahim itu benarbenar termasuk golongannya (syiatihi)” (QS Ash-Shaffat ayat 83) dan “... kemudian pasti akan kami tarik dari setiap golongan (syiah) siapa di antara
mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS Maryam ayat 69). Kedua, Syiah dilekatkan pada orang-orang Islam yang
tidak membaiat Abu Bakar ketika peristiwa Saqifah karena meyakini Ali sebagai washi. Ketiga, Syiah dilekatkan pada umat Islam yang setia bersama
Ali setelah peristiwa tahkim (perundingan) yang mengakhiri Perang Shiffin. Dalam perang antara pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan melawan
pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib, Dalam sejarah, Syiah Ali ini mengalami perkembangan dan terbagi dalam golongan-golongan yang satu sama
lain memiliki perbedaan dalam kepemimpinan. Ada mazhab Syiah yang masih dalam ajaran Islam dan ada pula yang dianggap menyimpang. Syiah
yang masih termasuk dalam agama Islam, menurut Allamah Muhammad Husein Thabathabai, adalah Imamiyah (Itsna Asyariyah),Zaidiyah,dan
Ismailiyah.Sedangkan yang menyimpang adalah Rafidhah, Ghulat, dan Alawi2. Kaum Syiah meyakini konsepsi politik berasal bagian dari
ushuluddin, khususnya rukun imamah. Para ulama Syiah berdasarkan ajaran Islam memahami bahwa Allah selaku pemegang otoritas tertinggi dalam
agama Islam memilih utusan-Nya yang terpilih, Nabi Muhammad saw, untuk membawa risalah Islam dan menyebarkannya ke seluruh umat manusia
sampai menjelang Kiamat. Peran Nabi Muhammad saw di dunia adalah pembawa syariat dan pembimbing umat manusia. Seiring dengan wafatnya
Nabi Muhammad saw maka agama Islam menjadi penutup hingga Kiamat. Meski pembawa ajaran agama Islam tidak ada, tetapi risalah Ilahi berupa
ajaran agama Islam tidak berakhir karena penyebaran dan bimbingan dalam agama dilanjutkan para Imam pilihan Rasulullah SAW dari Ahlulbait.3
2. Imamah
Al-Imamah dalam madzhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik
lainnya ,guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas pondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran,
pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam kultur Safawi, imamah sama artinya dengan beriman kepada dua belas imam
yang suci dan supranatural, yang setiap orang harus memuja dan memulyakannya dan mengikutinya dan menjadikan mereka sebagai suri teladan
dalam segenap prilaku personal dan sosial mereka. Otoritas seorang imam berhak menuntut ketaatan dari para pengikutnya kendatipun ia tidak
memiliki kekuasaan politis. Dalam hal ini terlihat jelas dalam kemampuan seorang imam untuk menginterpretasikan wahyu ilahi secara otoritatif.
Apa yang diputuskan para imam, wakil-wakil yang dapat membangkitkan suatu kepercayaan baik dikalangan biasa ( awam ) maupun elit ( alim )
Syi’ah untuk mencapai otoritatif dalam kosmologi mereka yaitu sistem keagamaan mereka. Menurut Mahmud Salabi, imam dua belas yang dijadikan
sebagai pemimpin oleh kaum Syi’ah antara lain adalah Ali, Hasan, Husein, Ali Bin Husein, Muhammad al-Baqir, Ja’far as-Sidiq, Musa bani Abbas,
Putra Musa Ali Arridha, Muhammad Taqi, Ali Naghi, Hasan al Askari, Muhammad Almahdi atau Imam sepanjang zaman. menurut para pengikut
Syi’ah, Imam dua belas lahir pada tahun 255 H /869 M. Mereka masih hidup tetapi tidak tampak dalam pandangan zohir. Demikian kepercayaan
mereka yang mereka sandarkan pada ramalan Rasulullah saw. Demikian pula terhadap para wali lainnya, bahwa ia akan muncul kembali dengan
membawa keadilan pada saat dunia sedang dilanda kegelapan dan penuh dengan kekejaman.4
3. Biografi Imam Khomeini
Imam Ayatullah Ruhullah Khomeini adalah tokoh paling fenomenal pada abad ke-20. Ulama pemimpin Syi’ah modern ini berhasil
menumbangkan sebuah rezim otoriter Reza Pahlevi di Iran melalui Revolusi Islam Syi’ah pada tahun 1979. Dengan pengaruhkuat yang diperolehnya
dari berbagai lapisan masyarakat Syi’ah Iran. Ia berhasil menjatuhkan pemerintahan Shah Iran yang didukung sepenuhnya oleh Amerika Serikat dan
Barat pada umumnya, serta menggantikam pemerintahan Iran yang sekuler menjadi sebuah Republik Islam Syi’ah. Iran pascarevolusi 1979 yang
dipimpin oleh Imam Khoemaini merupakan contoh konkret praktik kenegaraan Syi’ah yang berakar pada prinsip Imamah. Khomeini dilahirkan pada
24 Oktober 1902 di Khomein, sebuah desa kecil di dekat Israfah, Iran Tengah. Secara silsilah, ayah Khomeini, Sayyid Mustafa Musawi, adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Imam ketujuh Syi’ah, yaitu Musa al-Kazhim. Sementara ibunya adalah anak Ayatullah Mizra Ahmad,
seorang teolog terkenal yang disegani. Ayatullah Sayyid Mustafa, ayah Khomeini, adalah penentang rezim tirani dinasti Qajar. Ayahnya meninggal
dibunuh oleh agen rahasia penguasa Qajar pada 1903, persis ketika umur Khomeini masih tujuh bulan. Ia lalu diasuh oleh abangnya tertua yang
bernama Morteza bersama ibunya. Namun, pada usia enam belas tahun Khomeini, ibunya meninggal dunia. Ketika masih anak-anak, ia sering
melukiskan perasaannya yang memprihatinkan kondisi masyarakat sekitar dalam corat-coret buku gambarnya. Perasaan itu semakin dalam ia rasakan
sejalan dengan perjalanan waktu. Dalam salah satu bukunya yang ia tulis ketika masih berusia antara 9 dan 10 tahun ia mengekspresikan
kegalauannya “di manakan kecemburuan Islam?/ di manakah gerakan kebangsaan?” kepada bangsa Iran, Sayid Ruhullah menulis “wahai bangsa
Iran, Iran terancam petaka/Negeri Daryush dijarah bangsa Nicholas” Pada usia 17 tahun, Khomeini berangkat ke Sultanabad dan belajar agama pada
Syekh Abdul Karim Ha’eri Yazdi, ulama terkenal di Persia yang memiliki pandangan modern dan dinamis. Tahun 1937, Abdul Karim Ha’eri
meninggal dan Khomeini mulai mengajar di Madrasah Feiziah dan Qum sebagai asisten Ayatullah Burujurdi, pengganti Ayatullah Ha’eri . Di sini
ia mengajar filsafat, kalam (teologi), tasawuf, dan akhlak.5
1
Abdul Kadir, Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran, No. 1 Vol.5 (tahun 2015), h.2.
Ahmad Syafii Maarif, dkk., Maarif Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, No. 2 (Desember 2015), h. 36-38.
3
Maarif, dkk., Maarif Arus Pemikiran Islam dan Sosial, h. 40.
4
Zulkarnain, Konsep Al-Imamah dalam Perspektif Syi’ah, No.13 Vol. 7 (Juli-Desember 2011), h. 47.
5
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Kencana Prenada Media Group: Jakarta,
2013), h. 230-232.
2
Dari segi konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang benar-benar baru dari Ayatullah Khomeini. Hal ini menurutnya sendiri,
karena persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya dikalangan Syi’ah.
Di bawah ini adlah hadis yang termasyhur di kalangan Syi’ah, yang bersumer dari Imam Ja’far Al-Shadiq (imam keenam), “menyangkal wewenang
seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam brarti menentang wewenang Nabi SAW. Menentang wewenang
Nabi SAW brarti menentang Allah SWT. Menentang wewenang Allah sama dengan syirik”. Menurut Imam Khomeini, semua muslim tahu, bahwa
Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin
sebagai suatu kesatuan sosial. Untuk menjadikan pelaksanaan hukum-hukum itu efektif diperlukan kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tafidziyyah).
Sebab menurutnya tak ada gunanya suatu peraturan tanpa adanya kekuasaan eksekutif yang melaksanakan pelaksanaan hukum Islam, khususnya
sebagian dari padanya yang merupakan kewajiban. Negara meurut Imam Khomeini adalah instrumen bagi pelaksanaan undang-undang Tuhan di
muka bumi. Memberikan kepada rakyat hak untuk membuat undang-undang selain bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana diyakini Imam
Khomeini, juga hanya akan memaksa negara untuk mnerima perundang-undangan yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat, ataupun
menolak perundang-undangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat. Syi’ah justru menganggap bahwa pemenang akhir ada
pada kelommpok elite ahli (wali atau authority) yang paling mengetahui dan, oleh karena itu, berhak menafsirkan hukum-hukum Tuhan. Seluruh
bagian struktur politik negara mestilah dibawahkan kepada wali ini. Inilah yang dsebut sebagai sistem wilayah al-faqih.6 Struktur pemerintahan
Wilayat al-Faqih terpusat di tangan rahbar namun dalam pelaksanaannya berbentuk trias politica yang terdiri atas 3 badan legislative (Parlemen,
Dewan Ahli, dan Majelis Ahli), kekuasaan eksekutif di tangan presiden, dan kekuasaan yudikatif di tangan mahkamah Agung atau Dewan Tertinggi
Peradilan Nasional. Selain itu ada Dewan Revolusi, Dewan politik dan ekonomi Revolusi, dan Pemimpin Agama yang berfungsi sebagai
administrator lokal.7
4. Bentuk Pemerintahan Islam
Pemerintahan Islam tidak sama dengan bentuk pemerintahan lain yang ada di antara kita saat ini. Pemerintahan Islam tidak bersifat tirani dan
juga absolut kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional yaitu berdasarkan persetujuan yang disahkan oleh hukum dengan berdasarkan suara
mayoritas. Terdapat perbedaan mendasar antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan monarki dan republik. Pada pemerintahan republik atau
monarki konstitusional, sebagian besar para pemimpinnya mengklaim bahwa mereka mewakili suara mayoritas rakyat. Dalam pemerintahan Islam
kedaulatan hanyalah milik Allah SWT serta hukum adalah berupa keputusan dan perintah-Nya. Hukum-hukum Islam, yang berasal dari perintahperintah Allah SWT, memiliki kewenangan mutlak atas semua individu. Dalam Islam hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada hukumhukumnya, yang mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur masyarakat. 8
Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini atau Imam Khomeini adalah sosok yang luar biasa besar pada Abad ini. Dalam usianya yang
hampir satu kurun ia mampu menggetarkan sendi-sendi jagat raya dengan menumbangkan sebuah rezim yang didukung penuh oleh kekuatan adidaya
Amerika. Rezim yang telah menjadikan Iran sebagai kekuatan ke-5 di dunia masa itu, dan memerintah Iran dengan kekuatan tangan besinya dapat
tumbang begitu saja oleh gelombang revolusi. Revolusi itu bukan hanya menggulung rezim yang berkuasa sebelumnya, akan tetapi juga merubah
politik dunia dan menghembuskan angin semangat kebangkitan Islam di seluruh penjuru dunia dan menjadi simbol perlawanan kaum mustad’afin
terhadap kaum mustakbirin. sistem ini bukan sistem yang asing, karena sistem ini berangkat dari konsep dasar aqidah Syi‟ah yaitu Imamah. Imamah
adalah prinsip dasar dari mazhab Syi‟ah. Prinsip dasar ini yang membedakan antara mazhab Syi‟ah dan mazhab Ahlussunnah. Dalam keyakinan
Syi‟ah, Rasulullah tidak membiarkan ummat Islam berada dalam kekacauan tanpa seorang pemimpin 9. beberapa argumentasi tentang keharusan
negara Islam yang ditulis beberapa pemikir Islam termasuk tentunya Imam Khomeini. Argumentasi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama , Islam
memiliki dasar bimbingan dan petunjuk, amar ma’ruf nahi munkar. Islam memiliki aturan penetapan hukum kriminal, aturan sosial dan masyarakat
yang tidak hanya dalam persoalan personal antara seorang hamba dengan Tuhannya tetapi hubungan dengan sesamanya, Islam memberikan petunjuk
terhadap jalan yang harus ditempuh dan disampingnya terdapat tuntutan tanggung jawab, Islam datang berhadapan dengan semua keyakinan dan
memerangi kezaliman dan kebatilan, maka tidak mungkin Islam tidak memiliki sistem pemerintahan dan politik sendiri (Amuli, 1378:1). Kedua,
kumpulan dari aturan-aturan untuk memperbaiki masyarakat tidak cukup, karena itu diperlukan juga kekuatan untuk merealisasikannya. Atas dasar
ini, Allah di samping mewahyukan sekumpulan aturan-aturan yang disebut hukum- hukum syari‟at, juga menetapkan sarana pelaksanaan dan
pengaturan (pemerintahan). Demikian pula yang dilakukan Rasulullah (Khomeini, 1373: 22). Ketiga, dalam fiqh terdapat banyak aturan yang
berkaitan dengan kehidupan sosial, seperti misalnya hukum harta benda dan pajak, hukum mempertahankan negara atau hukum penegakan hak-hak
serta hukuman terhadap pelanggaran, yang semua itu tidak mungkin terlaksana kecuali dengan adanya negara Islam. Keempat, Nabi Muhammad
mendirikan pemerintahan dengan Madinah sebagai pusat pemerintahan- nya.Madinah merupakan contoh dasar dari negara Islam, dimana ajaran
Islam menjadi rujukan dalam pengaturan dan pengendalian. Madinah dan Rasulullah langsung sebagai pemimpin utama. 10
Ketika Imam Khoemaini menjadi guru di Madrasah telah telah terjadi suatu keadaan politik di mana pada masa itu merupakan menguatnya
kekuasaan Reza Shah, penguasa Iran ketika itu. Ia bahkan ingin menghidupkan tradisi agama Persia kuno (Zoroaster) dan menjadikannya sebagai
agama resmi kedua, selain Islam Syi’ah. Pada tahun 1941, Rusia dan Inggris cempur tangan terhadap kondisi politik Iran dan memaksakan
pemakzulan Reza Shah untuk kemudian digantikan oleh putranya Shah Muhammad Reza Pahlevi yang masih belum dewasa. Ternyata dinasti
Pahlevi semakin tidak bersahabat dengan agama. Penguasa semakin memojokkan ulama dan berusaha menghancurkannya. Pada tahun 1944, Imam
Khomeini menulis buku Kasyf al-Asrar (Menyingkap Rahasia), yang berisi kritikan terhadap pemerintahna Reza Pahlevi. Ia menyerukan para Mullah
atau ulama agar melibatkan diri dalam politik dan menyelamatkan integritas budaya Syi’ah di Iran. Menurutnya,ulama harus mengendalikan
pemerintahan, tetapi tidak harus menjadi Shah, menteri atau panglima perang. Selama periode kepemimpinan Ayatullah Burujurdi, Khomeini
menahan diri dari aktivitas politik. Hal ini dilakukannya untuk menjaga kepemimpinan Ayatullah Burujurdi di pusat pendidikan Qum. Akan tetapi,
setelah tahun 1960, ketika Ayatullah Burujurdi meninggal tahun 1961 mulai terjun ke garis politik dan lebih khusus ketika Ayatullah Burujurdi
meninggal, ceramah-ceramahnya tentang etika mulai secara terbuka mengkritik pemerintahan Reza Pahlevi. Aktivitas politik Khomeini ini mendapat
sambutan dari rakyat Iran. Wibawa Khomeini semakin besar di kalangan rakyat Iran yang Syi’ah. Khomeini yang sejak tahun 1950 sudah
memperoleh gelar “Ayatullah” tampil sebagai kekuatan baru yang meggoyang kesewenangan-wenangan Reza Pahlevi. Penguasa menjadi gerah
dengan aktivitas Khomeini. Selama tahun 1963, sudah tiga kali ia mengalami penangkapan, yaitu tanggal 25 Januari, 5 Juni, dan 5 November.
Akhirnya pada tahun 1965 Khomeini ditangkap dan diasingkan ke Bursa, Turki pada Oktober 1965. Ia menetap di Najar. Sementara itu sejak tahun
1965 Reza Pahlevi semakin meningkatkan tekanannya terhadap rakyat Iran. Tindak kekerasan dan pembunuhan dilakukan oleh Shah bersama alatalat kekuasaanya. Dari pengasingannya Khomeini mengeluarkan pernyataan bahwa kejahatan dan kekejaman alat-alat pemerintah harus segera
diakhiri dan mengajak tentara Iran serta para pemimpin untuk membebaskan Iran dari kehancurantotal. Pernyataan ini mengangkat Khomeini sebagai
pemimpin revolusi. Melancarkan protes dan kecaman terhadap kesewenang-wenangan Reza Pahlevi dan rencana menggantikan pemerintahan Iran
dengan demokrasi Islam. Pada tahun 1978 Khomeini pindah ke Paris, Perancis. Dari sinilah secara lebih intensif Khomeini mengemukakan gagasan
revolusinya menentang Shah Iran. Pidato-pidatonya yang direkam dalam bentuk kaset diselundupkan ke Iran untuk disebarluaskan kepada seluruh
masyarakat Islam Iran. Gelombang demonstrasi terjadi di mana-mana di Iran. Tahun 1978, praktis Shah Iran tidak dapat menguasai keadaan. Pada
tanggal 16 Januari 1979 Shah Reza Pahlevi mengungsi keluar negeri (mulanya ke Mesir). Lima belas hari kemudian, Khomeini mengambil laih
kepemimpinan revolusi langsung. Akhirnya pada tanggal 11 februari 1979 angkatan bersenjata Iran mengundurkan diri dari jalan-jalan yang dikuasai
demonstran. Pendukung Khomeini akhirnyapun dapat menguasai keadaan. Tanggal tersebut kemudian diakui secara resmi sebagai Hari Revolusi
Islam Iran. Setelah 10 tahun memimpin Revolusi Islam Iran dan menjadi Pemimpin Spiritual Iran, Imam Khomeini meninggal dunia pada tanggal 3
Juni 1989. Gagasan kenegaraa Imam Khomeini tentang wilayah al-faqih sepenuhnya berasal pada tradisi teologi-politik Syi’ah Imamiyah tentang
Imamah. Prinsip terpenting dari ajaran Syi’ah adalah tentang Imamah. Bagi Syi’ah, Imamah adalah bagian dari keyakinan keagamaan. 11 Bagi Syi’ah
Imamiyah, Imam memiliki kekuasaan agama dan politik sekaligus. Imam, dengan demikian, memiliki otoritas yang penuh terhadap umat Syi’ah
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan ajaran Islam pada umumnya. Imam haruslah sosok pribadi yang ma’shum terpelihara dari perbuatan
6
Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini, (Mizan: Bandung, 2002), h.114-118
Abdul Kadir, Syiah dan Politik, h. 14.
8
Khomeini, Sistem, h. 47-49.
9
Kholid Al Walid, Wilayah Al-Faqih Sebuah Konsep Pemerintahan Teo-Demokrasi, No. 01 (Juni 2013): h.141.
10
Al Walid, Wilayah Al-Faqih Sebuah Konsep Pemerintahan Teo-Demokrasi, h. 143.
11
Iqbal dan Nasution, Pemikiran, h. 233-235.
7
dosa. Dalam perkembangan aliran Syi’ah, pada sebagian besar perjalanan sejarahnya, mereka selalu berada dalam tekanan dan penindasan penguasa
pada masanya. Ini membuat mereka harus bersikap hati-hati dan kalau perlu menyembunyikan identitas ke-Syi’ah-an mereka (taqiyah) untuk
menyelamatkan diri.12
Gagasan kenegaraan Imam Khomeini lebih ekspresif tertuang dalam kitabnya Hukumat-i Islam (Pemerintahan Islam) yang ditulis dalam bahasa
Persia. Dalam buku ini setidaknya ada tiga hal penting yang dibahas Khomeini, yaitu kebutuhan terhadap pembentukan intitusi politik Islam, konsep
wilayah al-faqih atau pemerintaha ulama, dan program kerja yang disusun Imam Khomeini untuk membentuk sebuah negara Islam. Menurut
Khomeini, Islam adalah agama yang dinamis, membela keadilan, menegakkan kebenaran, dan membebaskan manusia dari kesewenang-wenangan
dan penindasan. Imam Khomeini mengingatkan kewaspadaan umat Islam dari propaganda pihak-pihak yang memusuhi Islam, yang menyatakan
bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik dan pemerintahan. Ia menegaskan
penyatuan antara agama dan politik. Khomeini melihat bahwa Dunia Islam masih mengalami kendala yang hebat dalam mewujudkan cita-cita
pemerintahan Islam ini. Khomeini mendiagnosis dua faktor yang menyebabkan belum terlaksananya cita-cita negara Islam ini, yaitu: (1) pengaruh
imperialisme bangsa-bangsa Barat terhadap Dunia Islam, (2) pemerintahan yang tidak Islami. 13
Imam Khomeini melanjutkan bahwa Imam yang akan menegakkan hukum-hukum Allah SWT dan menolak kediktatoran penguasa boneka
imperialisme Barat harus memiliki sifat ilmu pengetahuan dan adil. Karena pemerintahan Islam adalah pemerintahan hukum, maka mereka yang
mengetahui hukum dan agama pada umumnya (yaitu fuqaha), harus melaksanakan tanggung jawabnya mengawasi permasalahan eksekutif dan
administrasi negara, berikut semua perencanaannya. Fuqaha adalah pemegang amanah dan pelaksana hukum-hukum Tuhan dalam memungut pajak,
menjaga perbatasan dan melaksanakan hudud. Mereka tidak boleh membiarkan hukum-hukm Islam dilanggar dan tidak ditaati. Menurut Imam
Khomeini, ada beberapa karakteristik pemerintahan Islam. Pertama, tidak bersifat tirani, yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang yang
bertindak sewenang-wenang atas masyarakatnya. Kedua, berbasih hukum, kedaulatan hanyalah milik Allah SWT dan hukum adalah keputusan dari
pemerintah-Nya, semua manusia adalah subjek hukum. Ketiga, hakikat pemerintahan Islam, sejalan dengan prinsip kedua, adalah ketaatan kepada
hukum, hukum Allah SWT berlaku bagi siapa saja, bagi pemimpin maupun yang dipimpin. Keberadaan wilayah al- faqih atau kekuasaan politik
ulama dalam pandangan Imam Khomeini adalah atas dasar penunjukan. Menurut Imam Khomeini, tugas wilayah al-faqih ini bisa jadi dilaksanakan
secara individu meupun kolektif. Dalam realitasnya wilayah al-faqih pertama kali pasca-Revolusi Islam Iran dipegang oleh Imam Khomeini sendiri
sebagai ulama yang paling disegani dan paling menonjol di Iran. Di tangannyalah kekuasaan eksekutif, legilatif, dan yudikatif mendapat persetujuan.
Setelah Imam Khomeini meninggal dunia pada 3 Juni 1989, pemegang kekuasaan wilayah al-faqih ini beralih ke tangan Ali Khamenei. Peralihan
wilayah al- faqih ini dilakukan melalui pilihan rakyat. Ini sesuai dengan bunyi pasal 107 UUD Iran:
Ayat 1 : setelah wafatnya Imam Khomeini, tugas mengangkat pemimpin terpikul pada pundak ahli yang dipilih oleh rakyat. Para ahli itu akan
meninjau dan bermusyawarah di antara sesama mereka mengenai semua faqih yang memiliki kualifikasi, sebagaimana ditunjukkan dalam pasal 5
dan 109.
Ayat 2 : pemimpin tersebut mempunyai kedudukan yang ama dengan seluruh rakyat di negeri ini dalam pandagan hukum.
Sebagian memandang konsep wilayah al-faqih ini merupakan ambisi Khomeini untuk memonopoli kekuasaan. Karena itu, Mark Juergensmeyer
mengemukakan tiga hal dalam memahami Revolusi Islam Iran, yaitu: Dalam hal pertama, memahami Syi’ah berarti memahami perjuangan panjang
mereka melawan penindasan dan ketidakadilan yang dialami, baik oleh imam-imam mereka maupun oleh kaum Syi’ah sendiri. hal kedua, kekuasaan
politik dan agama ulama (mullah) menempati posisi sentral dan strategis bagi Islam Syi’ah dibandingakn Sunni. Dalam hal ketiga tentang harapan
mesianisme, kaum Syi’ah meyakini bahwa Imam mereka yang kedua belas bersembunyi dan akan turun kembali ke dunia mengalahkan segala
kekuatan jahat. Tiga hal demikian menjadikan gerakan Islam di Iran yang dikomandoi oleh Ayatullah Khomeini sebagai revolusi yang ditunggutunggu. Revolusi Islam Iran telah mengguncangkan sendi-sendi sekuler pemerintahan Shah Pahlevi dan menggantikannya dengan nilai-nilai Islam
Syi’ah. Kekuatan Khomeini terletak bukan pada senjata, karena Shah Iran dengan dukungan penuh Amerika Serikat jauh lebih memiliki senjata
yang serba canggih dan mutakhir. Kekuatan Khomeini terlihat pada kedalaman ilmu pengetahuan yang dimilikinnya, karisma yang lahir dari dalam
dirinya. Selanjutnya, konsep wilayah al-faqih ini mendapat tempat di dalam konstitusi Iran modern. Pemerintahan Iran pasca-Revolusi 1979 berusaha
mengakomodasikan prinsip-prinsip negara modern dengan dokrin Syi’ah yang dikembangkan oleh Khomeini. Dengan demikian, Republik Islam
Iran yang muncul setelah Revolusi 1979 adalah kombinasi pemahaman ketatanegaraan Syi’ah dengan pola pemerintahan modern. Demikianlah
evolusi pemikiran politik Islam Syi’ah di Iran. Teori imamah yang merupakan bagian terpenting keyakinan Syi’ah menjadi Islam Iran dan
membentuk sebuah negara yang dilandasi pada agama.14
5. Sistem Pemerintahan Islam
Secara historis, gerakan Islam telah bertentangan dengan kaum Yahudi, karena mereka yang pertama kali mengumandangkan propaganda antiIslam dan memberlakukan pengonakan yang beraneka ragam (memilah-milih anggota masyarakat berdasarkan status sosial dan ekonominya).
Mereka menyimpulkan bahwa hambatan utama bagi ambisi materialistis mereka dan ancaman bagi kekuasaan politik mereka hanyalah Islam, beserta
aturan-aturan dan keyakinan atasnya. Oleh karena itu, mereka bersekongkol dan mengampanyekan perlawanan atas agama Islam dengan berbagai
cara dapat mereka ciptakan. Para pengajar yang mereka tempatkan di sekolah-sekolah agama, di universitas-universitas, institusi pendidikan milik
pemerintah, dan badan usaha penerbitan, mereka semua telah mengerahkan tenaga dalam usaha untuk menyimpangkan prinsip-prinsip Islam.
Hasilnya, banyak anggota masyarakat Islam terutama kaum terpelajar, yang pada diri mereka terbentuk pemikiran-pemikiran Islam yang keliru.
Mereka telah menciptakan pemikiran palsu atas ide-ide Islam. Versi Islam yang menyimpang yang telah mereka tampilkan di sekolah-sekolah agama
menghilangkan ajaran Islam yang asli serta aspek revolusionernya. Sebagai contoh, Islam dikatakan tidak memiliki bentuk pemerintahan yang
khusus, hanya berisi aturan-aturan tentang haid dan nifas, memiliki prinsip etika, tetapi tidak memiliki gagasan untuk diterapkan di dalam kehidupan
manusia secara umum dan pengaturan atas masyarakat. Propaganda keji seperti inilah yang sayangnya justru memberikan pengaruh. Kaum terpelajar
memiliki pemahaman yang salah atas ide-ide Islam. Jika, seseorang menampilkan Islam sebagaimana mestinya, agen-agen imperialisme di sekolah
agama pun akan segera berteriak menentangnya. Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber perintah-perintah dan aturan-aturan Islam, yang mana jelas
sangat berbeda dengan kitab-kitab risalah amaliyah. Hukum-hukum Islam adalah sebuah sistem yang progresif, berkembang, dan mencakup banyak
hal. Mencakup prosedur peradilan, transaksi sosial, hukum perundang-undangan, retribusi, hubungan internasional, pengaturan yang berkenaan
dengan perdamaian dan perang, hukum pribadi dan umum dan semuanya ini merupakan contoh hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.15
Karenanya, kelompok-kelompok pembuat paraturan, yang merupakan boneka-boneka imperialisme dan ingin menyebarluaskan yang mereka
katakan keburukan (kekurangan) Islam ini, akan memandang Islam sebagai suatu ajaran yang tidak sempurna sehingga mereka harus mendatangkan
hukum-hukum yang mereka anggap tepat dari negeri Inggris, Prancis, Belgia, dan belakangan ini juga dari Amerika. Konspirasi yang dilangsungkan
oleh pemerintah imperialisme Inggris pada awal gerakan konstitusional memilki dua tujuan. Pertama , yang telah diketahui pada saat itu, untuk
mengurangi pengaruh Tsar Rusia di Iran. Kedua , untuk menghilangkan kekuatan dan pelaksanaan hukum-hukum Islam dengan mengenalkan hukumhukum Barat. Jika seseorang terdakwah diadili dengan sistem peradian di Iran atau negara-negara sejenis, maka kemungkinan ia harus menghabiskan
seluruh hidupnya utuk membuktikan kasusnya. Hukum-hukum peradilan sekarang tidak memberi rakyat apapun selain kesulitan, menyebabkan
mereka mengabaikan tugas-tugas harian mereka dan membuka kesempatan bagi segala macam praktik penyalahgunaan. Sangat sedikit orang yang
dapat memperoleh hak mereka yang sah. Para agen imperialisme terkadang menulis di buku-buku dan koran-koran mereka bahwa ketetapan hukum
Islam terlalu keras. Bahkan seseorang dengan lancangnya menulis bahwa hukum-hukum Islam itu keras karena berasal dari bangsa Arab, sehingga
“kekerasan” bangsa Arab direfleksikan dalam “kekerasan” hukum-hukum Islam. Ketika Islam menetapkan bahwa para peminum Khamr harus
dihukum dengan delapan puluh kali cambukan, maka mereka langsung mengatakan bahwa hukuman itu “terlalu keras”. Rencana mereka adalah
untuk membuat kita mundur (terbelakang), membuat kita tetap berada dalam kesengsaraan seperti sekarang ini, sehingga mereka bisa
mengeksploitasi kekayaan-kekayaan kita, kekayaan tambang kita, lahan kita, dan sumber daya manusia kita mereka menginginkan agar kita tetap
menderita dan sengsara, serta kaum miskin kita terperangkap dalam kesengsaraan mereka. Untuk menutupi kekalahan mereka akan superioritas
aturan-aturan Islam, yang dapat memberikan solusi bagi masalah kemiskinan, mereka dan para agen mereka menjalani kehidupan dalam istana-
12
Iqbal dan Nasution, Pemikiran, h. 237-238.
Iqbal dan Nasution, Pemikiran, h. 239-241
14
Iqbal dan Nasution, Pemikiran, h. 243-250
15
Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, penerjemah: Muhammad Anis Maulachela, (Pustaka Zahra: Jakarta, 2002), h. 9-13.
13
istana yang besar dan menikmati hidup dengan kemewahan yang buruk sekali. Rencana-rencana mereka ini mempunyai jangkauan yang luas, bahkan
mereka telah menyentuh institusi pendidikan agama.16
Mereka telah membuang semua proses peradilan dan hukum-hukum politik Islam dan menggantinya dengan produk orang-orang Eropa, yang
karenanya mengurangi jangkauan Islam dan menjauhkannya dari masyarakat Islam. Demi kepentingan eksploitasi, mereka telah menempatkan agenagen mereka di dalam dan lingkaran kekuasaan. Propaganda semacam ini merupakan bagian dari rencana para imperialis untuk mencegah kaum
Muslim untuk ikut berperang dalam aktivitas politik dan menegakkan pemerintahan Islam. Hal ini sangat kontradiktif dengan keyakinan fundamental
kita. Hukum memerlukan seseorang untuk melaksanakannya. Hal yang sama juga berlaku pada negara-negara di dunia, di mana mereka juga
berupaya untuk menegakkan hukum, namun upaya mereka tersebut hanya memberikan sedikit manfaat dan tidak dapat menjamin kebahagiaan
manusia. Setelah hukum ditegakkan, maka diperlukan juga kesungguhan untuk menciptakan kekuasaan eksekutif. Kebutuhan akan berjalannya
hukum Ilahi, kebutuhan akan kekuasaan eksekutif dan pentingnya kekuasaan itu dalam memenuhi tujuan-tujuan dari misi kenabian serta menegakkan
aturan yang adil yang akan memberikan kebahagiaan bagi umat manusia. Pada masa Rasulullah SAW, hukum-hukum tidak semata-semata dijelaskan
dan diajarkan, namun juga dilaksanakan.17
Mereka tidak menginginkan kita untuk menjadi sebenar-benarnya manusia karena takut pada manusia yang sebenarnya, yang akan memperoleh
pengaruh yang dapat menghancurkan seluruh fondasi tirani, imperialisme dan pemerintahan boneka yang telah mereka bangun, sehingga kapan saja
manusia yang sebenarnya muncul, maka mereka akan membunuhnya, atau memenjarakan dan mengasingkannya serta memfitnahnya dengan
mengatakan “dia adalah seorang ulama politik”. Seperti yang kita ketahui Nabi Muhammad SAW juga seorang ahli politik. Propaganda jahat ini
dilakukan oleh agen-agen politik imperialisme semata-mata untuk membuat jauh dari politik, mencegah dari campur tangan dalam urusan
masyarakat dan berjuang melawan pemerintahan yang curang. 18
6. Kebutuhan Akan Pemerintahan Islam
Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada kekuasaan
eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor. Rasulullah SAW telah membentuk intitusi eksekutif dan administratif bagi masyarakat. Dengan
cara inilah beliau membentuk negara Islam. Ketika nabi Muhammad SAW menunjuk seorang penerus kepemimpinan, beliau melakukannya bukan
hanya untuk menjelaskan tentang akidah dan hukum yang telah diajarkannya, tetapi juga melakukan eksekusi berdasarkan hukum Allah SWT. Inilah
fungsinya pengeksekusian hukum dan penegakkan institusi Islam yang menjadikan penunjukan seorang penerus kepemimpinan menjadi sesuatu
yang penting, kaum Muslim tetap memerlukan seseorang yang dapat mengeksekusi hukum dan menegakkan institusi Islam dalam masyarakat.
Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin terwujudnya kebaikan untuk manusia. Setelah penegakkan legislatif, kekuasaan eksekutif harus terbentuk.
Kekuasaan inilah yang akan melaksanakan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Islam mewujudkan seseorang yang patas
menduduki kekuasaan eksekutif. Orang yang memegang kekuasaan eksekutif ini disebut Wali Amr , As-Sunnah dan Thariqah. Pengundang-undangan
atas hukum tetap diperlukan pada masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dan akan tetap demikian sampai akhir masa dunia ini. Demikian
pula dengan bentuk pemerintahan dan penegakan organ-organ eksekutif dan administratif. Tanpa adanya bentuk pemerintahan dan penegakkan
organ-organ tersebut yang dapat menjamin bahwa melalui perundang-undangan atas hukum, semua aktivitas individu akan berjalan dalam kerangka
sistem yang adil maka kekacauan dan anarki akan berlaku serta kerusakan sosial, intelektual, dan moral akan muncul.19 Asas dan karakter hukumhukum Islam serta aturan-aturan Tuhan (Syariat) memberikan bukti tambahan atas kebutuhan akan tegaknya pemerintahan, karena hukum-hukum
itu memberikan indikasi bahwa mereka ditetapkan untuk tujuan menciptakan sebuah negara dan menangani permasalahan politik, ekonomi dan
budaya dalam masyarakat. Hukum-hukum syaria’at mencakup bermacam-macam badan hukum dan peraturan yang membentuk sebuah sistem sosial
yang lengkap. Pada sistem hukum ini semua kebutuhan manusia terpenuhi. Hukum Islam memuat ketetapan-ketetapan yang berhubungan dengan
persiapan pernikahan, melakukan ijab dalam pernikahan, perkembangan janin dalam kandungan. Islam memberi hukum-hukum dan aturan-aturan
untuk semua hal tersebut dengan tujuan untuk membentuk penganutnya menjadi manusia sutuhnya dan juga shaleh serta menerapkan hukumhukumnya dan secara alam (tanpa pemaksaan) melaksanakannya.20 Dalam mengatur pendapatan dan anggaran negara, negara Islam
melaksanakannya dengan adanya pengenaan pajak. Pajak yang telah terkumpul dan anggaran untuk penggunaannya tidak semata-mata untuk
memberikan penghidupan kepada masyarakat miskin melainkan juga untuk mendukung tegaknya sebuah pemerintahan besar dan untuk menanggung
pembelajaan yang diperlukan. Menurut Syi’ah, khums dikumpulkan dengan cara yang pantas (sesuai perhitungan) dari sektor pertanian, perdagangan
dan semua sumber daya alam baik yang di udara maupun di bawah tanah. Hal ini juga diberlaukan bagi para penjual sayuran yang ada di luar masjid,
pengusaha perkapalan, dan pertambangan. Mereka harus membayar sebesar seperlima (20%) dari pendapatan mereka, setelah dikurangi biaya-biaya
umum (biaya pokok), kepada hakim Islam untuk dimasukkan ke dalam baitul mal. Jika kita hitung seperlima dari surplus pendapatan seluruh negara
Islam, atau dari seluruh dunia seumpama ada di bawah kekuasaan Islam maka akan menjadi jelas bahwa tujuan pembebanan pajak seperti ini tidak
semata-mata untuk menghidupi keluarga sayid atau pelajar sekolah agama, melainkan juga untuk sesuatu yang lebih penting, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan keuangan organ-organ dan institusi pemerintahan. Pemungutan pajak-pajak ini membuktikan bahwa keberadaan hakim dan pemerintah
merupakan sebuah kebutuhan di dalam masyarakat. Tugas hakim atau pemerintah adalah membebankan pajak yang di pungut dari Ahl adz-dzimmah,
sesuai dengan kemampuan pendapatan mereka dan menetapkan pajak yang tepat atas pertanian dan peternakan. Ia juga harus mengumpulkan kharaj
atas tanah luas, yang mana itu adalah harta Allah SWT dan berada dalam kuasa pengelolaan negara Islam. 21 Jika kaum muslim bertindak sebagaimana
yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dengan membentuk pemerintahan yang penuh dengan kesiapan untuk perang, maka tangan-tangan Yahudi
tidak akan pernah berani menduduki tanah kita serta menghancurkan dan membakar Masjidil Aqsa . Dan jika para pemimpin pemerintahan dari
negara-negara muslim sungguh-sungguh mencerminkan keyakinan akan hukum Allah SWT dan melaksanakannya, mengesampingkan perbedaan
yang remeh di antara mereka dan menjauhi perpecahan dan subversi serta bersatu bagai jari-jari dalam satu tangan, maka tangan-tangan kotor Yahudi
(para agen Amerika, Inggris, dan kekuasaan Asing lainnya) tidak akan pernah dapat mempertahankan apa yang mereka telah capai, tak peduli
seberapa besar dukungan negara Amerika dan Inggris kepada mereka.22
Kesimpulan
Islam merupakan agama yang modern, dimana sudah ada ketentuan dan ketetapan serta aturan yang ingin menjadikan umatnya sebagai
manusia yang sempurna. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang memiliki segala kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah SWT lainnya,
akal serta bentuk fisik yang sempurna merupakan anugrah yang sungguh sangat luar biasa yang telah Allah berikan. Salah satu bentuk keistimewaan
dari adanya akal adalah terciptanya manusia yang beragama. Dimana ketika menyangkut soal agama akan terjadi konfik karena agama sifatnya
sensitif, maksudnya adalah ketika agama tersebut disampaikan walaupun dari satu sumber namun pemahaman dari berbeda orang membuat keadaan
menjadi rumit. Misalnya syi’ah yang disebut sebagai pengikut dari Khilafah Ali bin Abi Thalib, dan banyak di pelopori oleh dua belas imam namun
yang paling terkenal dan fenomenal adalah Imam Khomeini.
Dari segi konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang benar-benar baru dari Ayatullah Khomeini. Hal ini menurutnya sendiri,
karena persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya dikalangan Syi’ah.
Di bawah ini adlah hadis yang termasyhur di kalangan Syi’ah, yang bersumer dari Imam Ja’far Al-Shadiq (imam keenam), “menyangkal wewenang
seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam brarti menentang wewenang Nabi SAW. Menentang wewenang
Nabi SAW brarti menentang Allah SWT. Menentang wewenang Allah sama denga n syirik”. Menurut Imam Khomeini, semua muslim tahu, bahwa
Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin
sebagai suatu kesatuan sosial. Untuk menjadikan pelaksanaan hukum-hukum itu efektif diperlukan kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tafidziyyah).
Sebab menurutnya tak ada gunanya suatu peraturan tanpa adanya kekuasaan eksekutif yang melaksanakan pelaksanaan hukum Islam, khususnya
sebagian dari padanya yang merupakan kewajiban. Negara meurut Imam Khomeini adalah instrumen bagi pelaksanaan undang-undang Tuhan di
muka bumi. Memberikan kepada rakyat hak untuk membuat undang-undang selain bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana diyakini Imam
16
Khomeini, Sistem, h. 15-19.
Khomeini, Sistem, h. 21-23
18
Khomeini, Sistem, h. 26.
19
Khomeini, Sistem, h. 27-29.
20
Khomeini, Sistem, h. 31-32
21
Khomeini, Sistem, h. 33-34.
22
Khomeini, Sistem, h. 36.
17
Khomeini, juga hanya akan memaksa negara untuk mnerima perundang-undangan yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat, ataupun
menolak perundang-undangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat. Syi’ah justru menganggap bahwa pemenang akhir ada
pada kelommpok elite ahli (wali atau authority) yang paling mengetahui dan, oleh karena itu, berhak menafsirkan hukum-hukum Tuhan. Seluruh
bagian struktur politik negara mestilah dibawahkan kepada wali ini. Inilah yang dsebut sebagai sistem wilayah al-faqih. Struktur pemerintahan
Wilayat al-Faqih terpusat di tangan rahbar namun dalam pelaksanaannya berbentuk trias politica yang terdiri atas 3 badan legislative (Parlemen,
Dewan Ahli, dan Majelis Ahli), kekuasaan eksekutif di tangan presiden, dan kekuasaan yudikatif di tangan mahkamah Agung atau Dewan Tertinggi
Peradilan Nasional. Selain itu ada Dewan Revolusi, Dewan politik dan ekonomi Revolusi, dan Pemimpin Agama yang berfungsi sebagai
administrator lokal.
Jika kaum muslim bertindak sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dengan membentuk pemerintahan yang penuh dengan
kesiapan untuk perang, maka tangan-tangan Yahudi tidak akan pernah berani menduduki tanah kita serta menghancurkan dan membakar Masjidil
Aqsa . Dan jika para pemimpin pemerintahan dari negara-negara muslim sungguh-sungguh mencerminkan keyakinan akan hukum Allah SWT dan
melaksanakannya, mengesampingkan perbedaan yang remeh di antara mereka dan menjauhi perpecahan dan subversi serta bersatu bagai jari-jari
dalam satu tangan, maka tangan-tangan kotor Yahudi (para agen Amerika, Inggris, dan kekuasaan Asing lainnya) tidak akan pernah dapat
mempertahankan apa yang mereka telah capai, tak peduli seberapa besar dukungan negara Amerika dan Inggris kepada mereka.
Daftar Pustaka
Buku Primer:
Khomeini, Imam. Sistem Pemerintahan Islam, penerjemah: Muhammad Anis Maulachela. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
Buku Sekunder:
Al Walid, Kholid. Wilayah Al-Faqih Sebuah Konsep Pemerintahan Teo-Demokrasi. No. 01. Juni 2013.
Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein. 2013. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Kencana Prenada
Media Group: Jakarta.
Kadir,Abdul. Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran. No. 1 Vol.5. tahun 2015.
Maarif, Ahmad Syafi’i, dkk.,. Maarif Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik. No. 2. Desember 2015.
Yamani. Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini. Mizan: Bandung, 2002.
Zulkarnain. Konsep Al-Imamah dalam Perspektif Syi’ah. No.13 Vol. 7 Juli-Desember 2011.
NIM : 111315000105
Kelas : 7B
Email : [email protected]
Judul : Pemikiran Politik Imam Khomeini
Abstrak
Dalam kehidupan dewasa kini, Islam mulai di guncang dengan berbagai isu dan tindakan yang begitu fenomenal. Walaupun negara Indonesia
sudah terbebas dari penjajahan secara fisik namun sampai detik ini, saya merasa bahwa Indonesia masih dijajah secara mental dan psikologis.
Sebagai negara pemeluk agama Islam terbesar di dunia, Indonesia selalu dijadikan ladang dalam mengarap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
segelintir orang yang sudah menyelewengkan beberapa tindakan yang seharusnya sejalan dengan agama Islam namun berbeda penafsirannya. Ada
begitu banyak aliran dalam Islam seperti HTI, Syi’ah, dan Sunni. Hukum-hukum semua aliran tersebut berasal dari satu sumber yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Mereka semua meyakini bahwa Allah SWT merupakan pencipta seluruh alam dan jagat raya ini, dan juga mereka percaya bahwa
Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam. Visi dan misi merekapun hampir
sama yaitu mendirikan sebuah negara yang berlandaskan dengan hukum Islam dan sekaligus menyebarkan agama Islam (berdakwah) dengan cara
adanya seorang anggota pemerintahan yang merupakan anggota aliran tersebut sehingga hukum yang ada di negara tersebut berlandaskan pada
agama Islam. Aliran Syi’ah merupakan aliran yang sering sekali ditakutkan sebagai ancaman bagi Islam Sunni. Syi’ah terkenal di negara Iran.
Republik Islam Iran adalah sebuah negara yang telah melalui rentang sejarah yang cukup panjang. Di masa lalu (mulai dari abad VI SM),
Iran (dulu dikenal dengan nama Persia) merupakan salah satu imperium terbesar di dunia selain Romawi. Selama itu pula bangsa Iran berhasil
membangun peradabannya hingga diakui sebagai salah satu bangsa yang paling berperadaban dalam sejarah. Sejak dahulu, bangsa Iran termasuk
bangsa yang diperhitungkan dalam kancah perpolitikan dan peradaban dunia. Dalam peta dunia Islam, Iran merupakan representasi kawasan Persia
dengan penduduk mayoritas menganut paham Syiah Imamiyah. Paham Syiah Imamiyah mendapat tempat yang istimewa sebagai mazhab resmi
negara sejak berdirinya dinasti Shafawi (tahun 1501).2 Sejak itu, ajaran Syiah Imamiyah memberikan pengaruh secara dominan dalam struktur sosial
dan kehidupan masyarakat Iran. Sejak revolusi Islam 1979 yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, Iran pun mengukir sejarah baru dalam babakan
sejarah politiknya, menjadi Republik Islam dengan sistem Wilayat al-Faqih sebagai sistem pemerintahannya. Dari segi politik, Iran menampilkan
corak yang khas dalam pemikiran dan sistem politik Islam dengan kepemimpnan Negara yang dipegang oleh para ulama (mullah). Sistem Wilayat
al-Faqih merupakan ijtihad politik dari Ayatullah Khomeini yang didasarkan pada doktrin Imamah dalam Syiah Imamiyah. 1
Kata kunci : Syi’ah, Imamah, Bentuk Pemerintahan Islam, Wilayah al-Faqih dan Khums
Pemikiran Politik Imam Khomeini
1. Sejarah Syi’ah
Setidaknya ada tiga pendapat lahirnya Syiah. Pertama, bahwa istilah Syiah sudah dilekatkan oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ra
dan pengikutnya. Pertama, dalam Al-Quran, istilah Syiah digunakan pada 12 tempat16seperti dalam ayat “... dan sesungguhnya Ibrahim itu benarbenar termasuk golongannya (syiatihi)” (QS Ash-Shaffat ayat 83) dan “... kemudian pasti akan kami tarik dari setiap golongan (syiah) siapa di antara
mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS Maryam ayat 69). Kedua, Syiah dilekatkan pada orang-orang Islam yang
tidak membaiat Abu Bakar ketika peristiwa Saqifah karena meyakini Ali sebagai washi. Ketiga, Syiah dilekatkan pada umat Islam yang setia bersama
Ali setelah peristiwa tahkim (perundingan) yang mengakhiri Perang Shiffin. Dalam perang antara pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan melawan
pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib, Dalam sejarah, Syiah Ali ini mengalami perkembangan dan terbagi dalam golongan-golongan yang satu sama
lain memiliki perbedaan dalam kepemimpinan. Ada mazhab Syiah yang masih dalam ajaran Islam dan ada pula yang dianggap menyimpang. Syiah
yang masih termasuk dalam agama Islam, menurut Allamah Muhammad Husein Thabathabai, adalah Imamiyah (Itsna Asyariyah),Zaidiyah,dan
Ismailiyah.Sedangkan yang menyimpang adalah Rafidhah, Ghulat, dan Alawi2. Kaum Syiah meyakini konsepsi politik berasal bagian dari
ushuluddin, khususnya rukun imamah. Para ulama Syiah berdasarkan ajaran Islam memahami bahwa Allah selaku pemegang otoritas tertinggi dalam
agama Islam memilih utusan-Nya yang terpilih, Nabi Muhammad saw, untuk membawa risalah Islam dan menyebarkannya ke seluruh umat manusia
sampai menjelang Kiamat. Peran Nabi Muhammad saw di dunia adalah pembawa syariat dan pembimbing umat manusia. Seiring dengan wafatnya
Nabi Muhammad saw maka agama Islam menjadi penutup hingga Kiamat. Meski pembawa ajaran agama Islam tidak ada, tetapi risalah Ilahi berupa
ajaran agama Islam tidak berakhir karena penyebaran dan bimbingan dalam agama dilanjutkan para Imam pilihan Rasulullah SAW dari Ahlulbait.3
2. Imamah
Al-Imamah dalam madzhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik
lainnya ,guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas pondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran,
pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam kultur Safawi, imamah sama artinya dengan beriman kepada dua belas imam
yang suci dan supranatural, yang setiap orang harus memuja dan memulyakannya dan mengikutinya dan menjadikan mereka sebagai suri teladan
dalam segenap prilaku personal dan sosial mereka. Otoritas seorang imam berhak menuntut ketaatan dari para pengikutnya kendatipun ia tidak
memiliki kekuasaan politis. Dalam hal ini terlihat jelas dalam kemampuan seorang imam untuk menginterpretasikan wahyu ilahi secara otoritatif.
Apa yang diputuskan para imam, wakil-wakil yang dapat membangkitkan suatu kepercayaan baik dikalangan biasa ( awam ) maupun elit ( alim )
Syi’ah untuk mencapai otoritatif dalam kosmologi mereka yaitu sistem keagamaan mereka. Menurut Mahmud Salabi, imam dua belas yang dijadikan
sebagai pemimpin oleh kaum Syi’ah antara lain adalah Ali, Hasan, Husein, Ali Bin Husein, Muhammad al-Baqir, Ja’far as-Sidiq, Musa bani Abbas,
Putra Musa Ali Arridha, Muhammad Taqi, Ali Naghi, Hasan al Askari, Muhammad Almahdi atau Imam sepanjang zaman. menurut para pengikut
Syi’ah, Imam dua belas lahir pada tahun 255 H /869 M. Mereka masih hidup tetapi tidak tampak dalam pandangan zohir. Demikian kepercayaan
mereka yang mereka sandarkan pada ramalan Rasulullah saw. Demikian pula terhadap para wali lainnya, bahwa ia akan muncul kembali dengan
membawa keadilan pada saat dunia sedang dilanda kegelapan dan penuh dengan kekejaman.4
3. Biografi Imam Khomeini
Imam Ayatullah Ruhullah Khomeini adalah tokoh paling fenomenal pada abad ke-20. Ulama pemimpin Syi’ah modern ini berhasil
menumbangkan sebuah rezim otoriter Reza Pahlevi di Iran melalui Revolusi Islam Syi’ah pada tahun 1979. Dengan pengaruhkuat yang diperolehnya
dari berbagai lapisan masyarakat Syi’ah Iran. Ia berhasil menjatuhkan pemerintahan Shah Iran yang didukung sepenuhnya oleh Amerika Serikat dan
Barat pada umumnya, serta menggantikam pemerintahan Iran yang sekuler menjadi sebuah Republik Islam Syi’ah. Iran pascarevolusi 1979 yang
dipimpin oleh Imam Khoemaini merupakan contoh konkret praktik kenegaraan Syi’ah yang berakar pada prinsip Imamah. Khomeini dilahirkan pada
24 Oktober 1902 di Khomein, sebuah desa kecil di dekat Israfah, Iran Tengah. Secara silsilah, ayah Khomeini, Sayyid Mustafa Musawi, adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Imam ketujuh Syi’ah, yaitu Musa al-Kazhim. Sementara ibunya adalah anak Ayatullah Mizra Ahmad,
seorang teolog terkenal yang disegani. Ayatullah Sayyid Mustafa, ayah Khomeini, adalah penentang rezim tirani dinasti Qajar. Ayahnya meninggal
dibunuh oleh agen rahasia penguasa Qajar pada 1903, persis ketika umur Khomeini masih tujuh bulan. Ia lalu diasuh oleh abangnya tertua yang
bernama Morteza bersama ibunya. Namun, pada usia enam belas tahun Khomeini, ibunya meninggal dunia. Ketika masih anak-anak, ia sering
melukiskan perasaannya yang memprihatinkan kondisi masyarakat sekitar dalam corat-coret buku gambarnya. Perasaan itu semakin dalam ia rasakan
sejalan dengan perjalanan waktu. Dalam salah satu bukunya yang ia tulis ketika masih berusia antara 9 dan 10 tahun ia mengekspresikan
kegalauannya “di manakan kecemburuan Islam?/ di manakah gerakan kebangsaan?” kepada bangsa Iran, Sayid Ruhullah menulis “wahai bangsa
Iran, Iran terancam petaka/Negeri Daryush dijarah bangsa Nicholas” Pada usia 17 tahun, Khomeini berangkat ke Sultanabad dan belajar agama pada
Syekh Abdul Karim Ha’eri Yazdi, ulama terkenal di Persia yang memiliki pandangan modern dan dinamis. Tahun 1937, Abdul Karim Ha’eri
meninggal dan Khomeini mulai mengajar di Madrasah Feiziah dan Qum sebagai asisten Ayatullah Burujurdi, pengganti Ayatullah Ha’eri . Di sini
ia mengajar filsafat, kalam (teologi), tasawuf, dan akhlak.5
1
Abdul Kadir, Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran, No. 1 Vol.5 (tahun 2015), h.2.
Ahmad Syafii Maarif, dkk., Maarif Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, No. 2 (Desember 2015), h. 36-38.
3
Maarif, dkk., Maarif Arus Pemikiran Islam dan Sosial, h. 40.
4
Zulkarnain, Konsep Al-Imamah dalam Perspektif Syi’ah, No.13 Vol. 7 (Juli-Desember 2011), h. 47.
5
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Kencana Prenada Media Group: Jakarta,
2013), h. 230-232.
2
Dari segi konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang benar-benar baru dari Ayatullah Khomeini. Hal ini menurutnya sendiri,
karena persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya dikalangan Syi’ah.
Di bawah ini adlah hadis yang termasyhur di kalangan Syi’ah, yang bersumer dari Imam Ja’far Al-Shadiq (imam keenam), “menyangkal wewenang
seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam brarti menentang wewenang Nabi SAW. Menentang wewenang
Nabi SAW brarti menentang Allah SWT. Menentang wewenang Allah sama dengan syirik”. Menurut Imam Khomeini, semua muslim tahu, bahwa
Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin
sebagai suatu kesatuan sosial. Untuk menjadikan pelaksanaan hukum-hukum itu efektif diperlukan kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tafidziyyah).
Sebab menurutnya tak ada gunanya suatu peraturan tanpa adanya kekuasaan eksekutif yang melaksanakan pelaksanaan hukum Islam, khususnya
sebagian dari padanya yang merupakan kewajiban. Negara meurut Imam Khomeini adalah instrumen bagi pelaksanaan undang-undang Tuhan di
muka bumi. Memberikan kepada rakyat hak untuk membuat undang-undang selain bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana diyakini Imam
Khomeini, juga hanya akan memaksa negara untuk mnerima perundang-undangan yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat, ataupun
menolak perundang-undangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat. Syi’ah justru menganggap bahwa pemenang akhir ada
pada kelommpok elite ahli (wali atau authority) yang paling mengetahui dan, oleh karena itu, berhak menafsirkan hukum-hukum Tuhan. Seluruh
bagian struktur politik negara mestilah dibawahkan kepada wali ini. Inilah yang dsebut sebagai sistem wilayah al-faqih.6 Struktur pemerintahan
Wilayat al-Faqih terpusat di tangan rahbar namun dalam pelaksanaannya berbentuk trias politica yang terdiri atas 3 badan legislative (Parlemen,
Dewan Ahli, dan Majelis Ahli), kekuasaan eksekutif di tangan presiden, dan kekuasaan yudikatif di tangan mahkamah Agung atau Dewan Tertinggi
Peradilan Nasional. Selain itu ada Dewan Revolusi, Dewan politik dan ekonomi Revolusi, dan Pemimpin Agama yang berfungsi sebagai
administrator lokal.7
4. Bentuk Pemerintahan Islam
Pemerintahan Islam tidak sama dengan bentuk pemerintahan lain yang ada di antara kita saat ini. Pemerintahan Islam tidak bersifat tirani dan
juga absolut kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional yaitu berdasarkan persetujuan yang disahkan oleh hukum dengan berdasarkan suara
mayoritas. Terdapat perbedaan mendasar antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan monarki dan republik. Pada pemerintahan republik atau
monarki konstitusional, sebagian besar para pemimpinnya mengklaim bahwa mereka mewakili suara mayoritas rakyat. Dalam pemerintahan Islam
kedaulatan hanyalah milik Allah SWT serta hukum adalah berupa keputusan dan perintah-Nya. Hukum-hukum Islam, yang berasal dari perintahperintah Allah SWT, memiliki kewenangan mutlak atas semua individu. Dalam Islam hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada hukumhukumnya, yang mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur masyarakat. 8
Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini atau Imam Khomeini adalah sosok yang luar biasa besar pada Abad ini. Dalam usianya yang
hampir satu kurun ia mampu menggetarkan sendi-sendi jagat raya dengan menumbangkan sebuah rezim yang didukung penuh oleh kekuatan adidaya
Amerika. Rezim yang telah menjadikan Iran sebagai kekuatan ke-5 di dunia masa itu, dan memerintah Iran dengan kekuatan tangan besinya dapat
tumbang begitu saja oleh gelombang revolusi. Revolusi itu bukan hanya menggulung rezim yang berkuasa sebelumnya, akan tetapi juga merubah
politik dunia dan menghembuskan angin semangat kebangkitan Islam di seluruh penjuru dunia dan menjadi simbol perlawanan kaum mustad’afin
terhadap kaum mustakbirin. sistem ini bukan sistem yang asing, karena sistem ini berangkat dari konsep dasar aqidah Syi‟ah yaitu Imamah. Imamah
adalah prinsip dasar dari mazhab Syi‟ah. Prinsip dasar ini yang membedakan antara mazhab Syi‟ah dan mazhab Ahlussunnah. Dalam keyakinan
Syi‟ah, Rasulullah tidak membiarkan ummat Islam berada dalam kekacauan tanpa seorang pemimpin 9. beberapa argumentasi tentang keharusan
negara Islam yang ditulis beberapa pemikir Islam termasuk tentunya Imam Khomeini. Argumentasi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama , Islam
memiliki dasar bimbingan dan petunjuk, amar ma’ruf nahi munkar. Islam memiliki aturan penetapan hukum kriminal, aturan sosial dan masyarakat
yang tidak hanya dalam persoalan personal antara seorang hamba dengan Tuhannya tetapi hubungan dengan sesamanya, Islam memberikan petunjuk
terhadap jalan yang harus ditempuh dan disampingnya terdapat tuntutan tanggung jawab, Islam datang berhadapan dengan semua keyakinan dan
memerangi kezaliman dan kebatilan, maka tidak mungkin Islam tidak memiliki sistem pemerintahan dan politik sendiri (Amuli, 1378:1). Kedua,
kumpulan dari aturan-aturan untuk memperbaiki masyarakat tidak cukup, karena itu diperlukan juga kekuatan untuk merealisasikannya. Atas dasar
ini, Allah di samping mewahyukan sekumpulan aturan-aturan yang disebut hukum- hukum syari‟at, juga menetapkan sarana pelaksanaan dan
pengaturan (pemerintahan). Demikian pula yang dilakukan Rasulullah (Khomeini, 1373: 22). Ketiga, dalam fiqh terdapat banyak aturan yang
berkaitan dengan kehidupan sosial, seperti misalnya hukum harta benda dan pajak, hukum mempertahankan negara atau hukum penegakan hak-hak
serta hukuman terhadap pelanggaran, yang semua itu tidak mungkin terlaksana kecuali dengan adanya negara Islam. Keempat, Nabi Muhammad
mendirikan pemerintahan dengan Madinah sebagai pusat pemerintahan- nya.Madinah merupakan contoh dasar dari negara Islam, dimana ajaran
Islam menjadi rujukan dalam pengaturan dan pengendalian. Madinah dan Rasulullah langsung sebagai pemimpin utama. 10
Ketika Imam Khoemaini menjadi guru di Madrasah telah telah terjadi suatu keadaan politik di mana pada masa itu merupakan menguatnya
kekuasaan Reza Shah, penguasa Iran ketika itu. Ia bahkan ingin menghidupkan tradisi agama Persia kuno (Zoroaster) dan menjadikannya sebagai
agama resmi kedua, selain Islam Syi’ah. Pada tahun 1941, Rusia dan Inggris cempur tangan terhadap kondisi politik Iran dan memaksakan
pemakzulan Reza Shah untuk kemudian digantikan oleh putranya Shah Muhammad Reza Pahlevi yang masih belum dewasa. Ternyata dinasti
Pahlevi semakin tidak bersahabat dengan agama. Penguasa semakin memojokkan ulama dan berusaha menghancurkannya. Pada tahun 1944, Imam
Khomeini menulis buku Kasyf al-Asrar (Menyingkap Rahasia), yang berisi kritikan terhadap pemerintahna Reza Pahlevi. Ia menyerukan para Mullah
atau ulama agar melibatkan diri dalam politik dan menyelamatkan integritas budaya Syi’ah di Iran. Menurutnya,ulama harus mengendalikan
pemerintahan, tetapi tidak harus menjadi Shah, menteri atau panglima perang. Selama periode kepemimpinan Ayatullah Burujurdi, Khomeini
menahan diri dari aktivitas politik. Hal ini dilakukannya untuk menjaga kepemimpinan Ayatullah Burujurdi di pusat pendidikan Qum. Akan tetapi,
setelah tahun 1960, ketika Ayatullah Burujurdi meninggal tahun 1961 mulai terjun ke garis politik dan lebih khusus ketika Ayatullah Burujurdi
meninggal, ceramah-ceramahnya tentang etika mulai secara terbuka mengkritik pemerintahan Reza Pahlevi. Aktivitas politik Khomeini ini mendapat
sambutan dari rakyat Iran. Wibawa Khomeini semakin besar di kalangan rakyat Iran yang Syi’ah. Khomeini yang sejak tahun 1950 sudah
memperoleh gelar “Ayatullah” tampil sebagai kekuatan baru yang meggoyang kesewenangan-wenangan Reza Pahlevi. Penguasa menjadi gerah
dengan aktivitas Khomeini. Selama tahun 1963, sudah tiga kali ia mengalami penangkapan, yaitu tanggal 25 Januari, 5 Juni, dan 5 November.
Akhirnya pada tahun 1965 Khomeini ditangkap dan diasingkan ke Bursa, Turki pada Oktober 1965. Ia menetap di Najar. Sementara itu sejak tahun
1965 Reza Pahlevi semakin meningkatkan tekanannya terhadap rakyat Iran. Tindak kekerasan dan pembunuhan dilakukan oleh Shah bersama alatalat kekuasaanya. Dari pengasingannya Khomeini mengeluarkan pernyataan bahwa kejahatan dan kekejaman alat-alat pemerintah harus segera
diakhiri dan mengajak tentara Iran serta para pemimpin untuk membebaskan Iran dari kehancurantotal. Pernyataan ini mengangkat Khomeini sebagai
pemimpin revolusi. Melancarkan protes dan kecaman terhadap kesewenang-wenangan Reza Pahlevi dan rencana menggantikan pemerintahan Iran
dengan demokrasi Islam. Pada tahun 1978 Khomeini pindah ke Paris, Perancis. Dari sinilah secara lebih intensif Khomeini mengemukakan gagasan
revolusinya menentang Shah Iran. Pidato-pidatonya yang direkam dalam bentuk kaset diselundupkan ke Iran untuk disebarluaskan kepada seluruh
masyarakat Islam Iran. Gelombang demonstrasi terjadi di mana-mana di Iran. Tahun 1978, praktis Shah Iran tidak dapat menguasai keadaan. Pada
tanggal 16 Januari 1979 Shah Reza Pahlevi mengungsi keluar negeri (mulanya ke Mesir). Lima belas hari kemudian, Khomeini mengambil laih
kepemimpinan revolusi langsung. Akhirnya pada tanggal 11 februari 1979 angkatan bersenjata Iran mengundurkan diri dari jalan-jalan yang dikuasai
demonstran. Pendukung Khomeini akhirnyapun dapat menguasai keadaan. Tanggal tersebut kemudian diakui secara resmi sebagai Hari Revolusi
Islam Iran. Setelah 10 tahun memimpin Revolusi Islam Iran dan menjadi Pemimpin Spiritual Iran, Imam Khomeini meninggal dunia pada tanggal 3
Juni 1989. Gagasan kenegaraa Imam Khomeini tentang wilayah al-faqih sepenuhnya berasal pada tradisi teologi-politik Syi’ah Imamiyah tentang
Imamah. Prinsip terpenting dari ajaran Syi’ah adalah tentang Imamah. Bagi Syi’ah, Imamah adalah bagian dari keyakinan keagamaan. 11 Bagi Syi’ah
Imamiyah, Imam memiliki kekuasaan agama dan politik sekaligus. Imam, dengan demikian, memiliki otoritas yang penuh terhadap umat Syi’ah
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan ajaran Islam pada umumnya. Imam haruslah sosok pribadi yang ma’shum terpelihara dari perbuatan
6
Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini, (Mizan: Bandung, 2002), h.114-118
Abdul Kadir, Syiah dan Politik, h. 14.
8
Khomeini, Sistem, h. 47-49.
9
Kholid Al Walid, Wilayah Al-Faqih Sebuah Konsep Pemerintahan Teo-Demokrasi, No. 01 (Juni 2013): h.141.
10
Al Walid, Wilayah Al-Faqih Sebuah Konsep Pemerintahan Teo-Demokrasi, h. 143.
11
Iqbal dan Nasution, Pemikiran, h. 233-235.
7
dosa. Dalam perkembangan aliran Syi’ah, pada sebagian besar perjalanan sejarahnya, mereka selalu berada dalam tekanan dan penindasan penguasa
pada masanya. Ini membuat mereka harus bersikap hati-hati dan kalau perlu menyembunyikan identitas ke-Syi’ah-an mereka (taqiyah) untuk
menyelamatkan diri.12
Gagasan kenegaraan Imam Khomeini lebih ekspresif tertuang dalam kitabnya Hukumat-i Islam (Pemerintahan Islam) yang ditulis dalam bahasa
Persia. Dalam buku ini setidaknya ada tiga hal penting yang dibahas Khomeini, yaitu kebutuhan terhadap pembentukan intitusi politik Islam, konsep
wilayah al-faqih atau pemerintaha ulama, dan program kerja yang disusun Imam Khomeini untuk membentuk sebuah negara Islam. Menurut
Khomeini, Islam adalah agama yang dinamis, membela keadilan, menegakkan kebenaran, dan membebaskan manusia dari kesewenang-wenangan
dan penindasan. Imam Khomeini mengingatkan kewaspadaan umat Islam dari propaganda pihak-pihak yang memusuhi Islam, yang menyatakan
bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan politik dan pemerintahan. Ia menegaskan
penyatuan antara agama dan politik. Khomeini melihat bahwa Dunia Islam masih mengalami kendala yang hebat dalam mewujudkan cita-cita
pemerintahan Islam ini. Khomeini mendiagnosis dua faktor yang menyebabkan belum terlaksananya cita-cita negara Islam ini, yaitu: (1) pengaruh
imperialisme bangsa-bangsa Barat terhadap Dunia Islam, (2) pemerintahan yang tidak Islami. 13
Imam Khomeini melanjutkan bahwa Imam yang akan menegakkan hukum-hukum Allah SWT dan menolak kediktatoran penguasa boneka
imperialisme Barat harus memiliki sifat ilmu pengetahuan dan adil. Karena pemerintahan Islam adalah pemerintahan hukum, maka mereka yang
mengetahui hukum dan agama pada umumnya (yaitu fuqaha), harus melaksanakan tanggung jawabnya mengawasi permasalahan eksekutif dan
administrasi negara, berikut semua perencanaannya. Fuqaha adalah pemegang amanah dan pelaksana hukum-hukum Tuhan dalam memungut pajak,
menjaga perbatasan dan melaksanakan hudud. Mereka tidak boleh membiarkan hukum-hukm Islam dilanggar dan tidak ditaati. Menurut Imam
Khomeini, ada beberapa karakteristik pemerintahan Islam. Pertama, tidak bersifat tirani, yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang yang
bertindak sewenang-wenang atas masyarakatnya. Kedua, berbasih hukum, kedaulatan hanyalah milik Allah SWT dan hukum adalah keputusan dari
pemerintah-Nya, semua manusia adalah subjek hukum. Ketiga, hakikat pemerintahan Islam, sejalan dengan prinsip kedua, adalah ketaatan kepada
hukum, hukum Allah SWT berlaku bagi siapa saja, bagi pemimpin maupun yang dipimpin. Keberadaan wilayah al- faqih atau kekuasaan politik
ulama dalam pandangan Imam Khomeini adalah atas dasar penunjukan. Menurut Imam Khomeini, tugas wilayah al-faqih ini bisa jadi dilaksanakan
secara individu meupun kolektif. Dalam realitasnya wilayah al-faqih pertama kali pasca-Revolusi Islam Iran dipegang oleh Imam Khomeini sendiri
sebagai ulama yang paling disegani dan paling menonjol di Iran. Di tangannyalah kekuasaan eksekutif, legilatif, dan yudikatif mendapat persetujuan.
Setelah Imam Khomeini meninggal dunia pada 3 Juni 1989, pemegang kekuasaan wilayah al-faqih ini beralih ke tangan Ali Khamenei. Peralihan
wilayah al- faqih ini dilakukan melalui pilihan rakyat. Ini sesuai dengan bunyi pasal 107 UUD Iran:
Ayat 1 : setelah wafatnya Imam Khomeini, tugas mengangkat pemimpin terpikul pada pundak ahli yang dipilih oleh rakyat. Para ahli itu akan
meninjau dan bermusyawarah di antara sesama mereka mengenai semua faqih yang memiliki kualifikasi, sebagaimana ditunjukkan dalam pasal 5
dan 109.
Ayat 2 : pemimpin tersebut mempunyai kedudukan yang ama dengan seluruh rakyat di negeri ini dalam pandagan hukum.
Sebagian memandang konsep wilayah al-faqih ini merupakan ambisi Khomeini untuk memonopoli kekuasaan. Karena itu, Mark Juergensmeyer
mengemukakan tiga hal dalam memahami Revolusi Islam Iran, yaitu: Dalam hal pertama, memahami Syi’ah berarti memahami perjuangan panjang
mereka melawan penindasan dan ketidakadilan yang dialami, baik oleh imam-imam mereka maupun oleh kaum Syi’ah sendiri. hal kedua, kekuasaan
politik dan agama ulama (mullah) menempati posisi sentral dan strategis bagi Islam Syi’ah dibandingakn Sunni. Dalam hal ketiga tentang harapan
mesianisme, kaum Syi’ah meyakini bahwa Imam mereka yang kedua belas bersembunyi dan akan turun kembali ke dunia mengalahkan segala
kekuatan jahat. Tiga hal demikian menjadikan gerakan Islam di Iran yang dikomandoi oleh Ayatullah Khomeini sebagai revolusi yang ditunggutunggu. Revolusi Islam Iran telah mengguncangkan sendi-sendi sekuler pemerintahan Shah Pahlevi dan menggantikannya dengan nilai-nilai Islam
Syi’ah. Kekuatan Khomeini terletak bukan pada senjata, karena Shah Iran dengan dukungan penuh Amerika Serikat jauh lebih memiliki senjata
yang serba canggih dan mutakhir. Kekuatan Khomeini terlihat pada kedalaman ilmu pengetahuan yang dimilikinnya, karisma yang lahir dari dalam
dirinya. Selanjutnya, konsep wilayah al-faqih ini mendapat tempat di dalam konstitusi Iran modern. Pemerintahan Iran pasca-Revolusi 1979 berusaha
mengakomodasikan prinsip-prinsip negara modern dengan dokrin Syi’ah yang dikembangkan oleh Khomeini. Dengan demikian, Republik Islam
Iran yang muncul setelah Revolusi 1979 adalah kombinasi pemahaman ketatanegaraan Syi’ah dengan pola pemerintahan modern. Demikianlah
evolusi pemikiran politik Islam Syi’ah di Iran. Teori imamah yang merupakan bagian terpenting keyakinan Syi’ah menjadi Islam Iran dan
membentuk sebuah negara yang dilandasi pada agama.14
5. Sistem Pemerintahan Islam
Secara historis, gerakan Islam telah bertentangan dengan kaum Yahudi, karena mereka yang pertama kali mengumandangkan propaganda antiIslam dan memberlakukan pengonakan yang beraneka ragam (memilah-milih anggota masyarakat berdasarkan status sosial dan ekonominya).
Mereka menyimpulkan bahwa hambatan utama bagi ambisi materialistis mereka dan ancaman bagi kekuasaan politik mereka hanyalah Islam, beserta
aturan-aturan dan keyakinan atasnya. Oleh karena itu, mereka bersekongkol dan mengampanyekan perlawanan atas agama Islam dengan berbagai
cara dapat mereka ciptakan. Para pengajar yang mereka tempatkan di sekolah-sekolah agama, di universitas-universitas, institusi pendidikan milik
pemerintah, dan badan usaha penerbitan, mereka semua telah mengerahkan tenaga dalam usaha untuk menyimpangkan prinsip-prinsip Islam.
Hasilnya, banyak anggota masyarakat Islam terutama kaum terpelajar, yang pada diri mereka terbentuk pemikiran-pemikiran Islam yang keliru.
Mereka telah menciptakan pemikiran palsu atas ide-ide Islam. Versi Islam yang menyimpang yang telah mereka tampilkan di sekolah-sekolah agama
menghilangkan ajaran Islam yang asli serta aspek revolusionernya. Sebagai contoh, Islam dikatakan tidak memiliki bentuk pemerintahan yang
khusus, hanya berisi aturan-aturan tentang haid dan nifas, memiliki prinsip etika, tetapi tidak memiliki gagasan untuk diterapkan di dalam kehidupan
manusia secara umum dan pengaturan atas masyarakat. Propaganda keji seperti inilah yang sayangnya justru memberikan pengaruh. Kaum terpelajar
memiliki pemahaman yang salah atas ide-ide Islam. Jika, seseorang menampilkan Islam sebagaimana mestinya, agen-agen imperialisme di sekolah
agama pun akan segera berteriak menentangnya. Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber perintah-perintah dan aturan-aturan Islam, yang mana jelas
sangat berbeda dengan kitab-kitab risalah amaliyah. Hukum-hukum Islam adalah sebuah sistem yang progresif, berkembang, dan mencakup banyak
hal. Mencakup prosedur peradilan, transaksi sosial, hukum perundang-undangan, retribusi, hubungan internasional, pengaturan yang berkenaan
dengan perdamaian dan perang, hukum pribadi dan umum dan semuanya ini merupakan contoh hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.15
Karenanya, kelompok-kelompok pembuat paraturan, yang merupakan boneka-boneka imperialisme dan ingin menyebarluaskan yang mereka
katakan keburukan (kekurangan) Islam ini, akan memandang Islam sebagai suatu ajaran yang tidak sempurna sehingga mereka harus mendatangkan
hukum-hukum yang mereka anggap tepat dari negeri Inggris, Prancis, Belgia, dan belakangan ini juga dari Amerika. Konspirasi yang dilangsungkan
oleh pemerintah imperialisme Inggris pada awal gerakan konstitusional memilki dua tujuan. Pertama , yang telah diketahui pada saat itu, untuk
mengurangi pengaruh Tsar Rusia di Iran. Kedua , untuk menghilangkan kekuatan dan pelaksanaan hukum-hukum Islam dengan mengenalkan hukumhukum Barat. Jika seseorang terdakwah diadili dengan sistem peradian di Iran atau negara-negara sejenis, maka kemungkinan ia harus menghabiskan
seluruh hidupnya utuk membuktikan kasusnya. Hukum-hukum peradilan sekarang tidak memberi rakyat apapun selain kesulitan, menyebabkan
mereka mengabaikan tugas-tugas harian mereka dan membuka kesempatan bagi segala macam praktik penyalahgunaan. Sangat sedikit orang yang
dapat memperoleh hak mereka yang sah. Para agen imperialisme terkadang menulis di buku-buku dan koran-koran mereka bahwa ketetapan hukum
Islam terlalu keras. Bahkan seseorang dengan lancangnya menulis bahwa hukum-hukum Islam itu keras karena berasal dari bangsa Arab, sehingga
“kekerasan” bangsa Arab direfleksikan dalam “kekerasan” hukum-hukum Islam. Ketika Islam menetapkan bahwa para peminum Khamr harus
dihukum dengan delapan puluh kali cambukan, maka mereka langsung mengatakan bahwa hukuman itu “terlalu keras”. Rencana mereka adalah
untuk membuat kita mundur (terbelakang), membuat kita tetap berada dalam kesengsaraan seperti sekarang ini, sehingga mereka bisa
mengeksploitasi kekayaan-kekayaan kita, kekayaan tambang kita, lahan kita, dan sumber daya manusia kita mereka menginginkan agar kita tetap
menderita dan sengsara, serta kaum miskin kita terperangkap dalam kesengsaraan mereka. Untuk menutupi kekalahan mereka akan superioritas
aturan-aturan Islam, yang dapat memberikan solusi bagi masalah kemiskinan, mereka dan para agen mereka menjalani kehidupan dalam istana-
12
Iqbal dan Nasution, Pemikiran, h. 237-238.
Iqbal dan Nasution, Pemikiran, h. 239-241
14
Iqbal dan Nasution, Pemikiran, h. 243-250
15
Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, penerjemah: Muhammad Anis Maulachela, (Pustaka Zahra: Jakarta, 2002), h. 9-13.
13
istana yang besar dan menikmati hidup dengan kemewahan yang buruk sekali. Rencana-rencana mereka ini mempunyai jangkauan yang luas, bahkan
mereka telah menyentuh institusi pendidikan agama.16
Mereka telah membuang semua proses peradilan dan hukum-hukum politik Islam dan menggantinya dengan produk orang-orang Eropa, yang
karenanya mengurangi jangkauan Islam dan menjauhkannya dari masyarakat Islam. Demi kepentingan eksploitasi, mereka telah menempatkan agenagen mereka di dalam dan lingkaran kekuasaan. Propaganda semacam ini merupakan bagian dari rencana para imperialis untuk mencegah kaum
Muslim untuk ikut berperang dalam aktivitas politik dan menegakkan pemerintahan Islam. Hal ini sangat kontradiktif dengan keyakinan fundamental
kita. Hukum memerlukan seseorang untuk melaksanakannya. Hal yang sama juga berlaku pada negara-negara di dunia, di mana mereka juga
berupaya untuk menegakkan hukum, namun upaya mereka tersebut hanya memberikan sedikit manfaat dan tidak dapat menjamin kebahagiaan
manusia. Setelah hukum ditegakkan, maka diperlukan juga kesungguhan untuk menciptakan kekuasaan eksekutif. Kebutuhan akan berjalannya
hukum Ilahi, kebutuhan akan kekuasaan eksekutif dan pentingnya kekuasaan itu dalam memenuhi tujuan-tujuan dari misi kenabian serta menegakkan
aturan yang adil yang akan memberikan kebahagiaan bagi umat manusia. Pada masa Rasulullah SAW, hukum-hukum tidak semata-semata dijelaskan
dan diajarkan, namun juga dilaksanakan.17
Mereka tidak menginginkan kita untuk menjadi sebenar-benarnya manusia karena takut pada manusia yang sebenarnya, yang akan memperoleh
pengaruh yang dapat menghancurkan seluruh fondasi tirani, imperialisme dan pemerintahan boneka yang telah mereka bangun, sehingga kapan saja
manusia yang sebenarnya muncul, maka mereka akan membunuhnya, atau memenjarakan dan mengasingkannya serta memfitnahnya dengan
mengatakan “dia adalah seorang ulama politik”. Seperti yang kita ketahui Nabi Muhammad SAW juga seorang ahli politik. Propaganda jahat ini
dilakukan oleh agen-agen politik imperialisme semata-mata untuk membuat jauh dari politik, mencegah dari campur tangan dalam urusan
masyarakat dan berjuang melawan pemerintahan yang curang. 18
6. Kebutuhan Akan Pemerintahan Islam
Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat mendukung reformasi dan mewujudkan kebahagiaan manusia, maka harus ada kekuasaan
eksekutif, yang dijalankan oleh seorang eksekutor. Rasulullah SAW telah membentuk intitusi eksekutif dan administratif bagi masyarakat. Dengan
cara inilah beliau membentuk negara Islam. Ketika nabi Muhammad SAW menunjuk seorang penerus kepemimpinan, beliau melakukannya bukan
hanya untuk menjelaskan tentang akidah dan hukum yang telah diajarkannya, tetapi juga melakukan eksekusi berdasarkan hukum Allah SWT. Inilah
fungsinya pengeksekusian hukum dan penegakkan institusi Islam yang menjadikan penunjukan seorang penerus kepemimpinan menjadi sesuatu
yang penting, kaum Muslim tetap memerlukan seseorang yang dapat mengeksekusi hukum dan menegakkan institusi Islam dalam masyarakat.
Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin terwujudnya kebaikan untuk manusia. Setelah penegakkan legislatif, kekuasaan eksekutif harus terbentuk.
Kekuasaan inilah yang akan melaksanakan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Islam mewujudkan seseorang yang patas
menduduki kekuasaan eksekutif. Orang yang memegang kekuasaan eksekutif ini disebut Wali Amr , As-Sunnah dan Thariqah. Pengundang-undangan
atas hukum tetap diperlukan pada masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dan akan tetap demikian sampai akhir masa dunia ini. Demikian
pula dengan bentuk pemerintahan dan penegakan organ-organ eksekutif dan administratif. Tanpa adanya bentuk pemerintahan dan penegakkan
organ-organ tersebut yang dapat menjamin bahwa melalui perundang-undangan atas hukum, semua aktivitas individu akan berjalan dalam kerangka
sistem yang adil maka kekacauan dan anarki akan berlaku serta kerusakan sosial, intelektual, dan moral akan muncul.19 Asas dan karakter hukumhukum Islam serta aturan-aturan Tuhan (Syariat) memberikan bukti tambahan atas kebutuhan akan tegaknya pemerintahan, karena hukum-hukum
itu memberikan indikasi bahwa mereka ditetapkan untuk tujuan menciptakan sebuah negara dan menangani permasalahan politik, ekonomi dan
budaya dalam masyarakat. Hukum-hukum syaria’at mencakup bermacam-macam badan hukum dan peraturan yang membentuk sebuah sistem sosial
yang lengkap. Pada sistem hukum ini semua kebutuhan manusia terpenuhi. Hukum Islam memuat ketetapan-ketetapan yang berhubungan dengan
persiapan pernikahan, melakukan ijab dalam pernikahan, perkembangan janin dalam kandungan. Islam memberi hukum-hukum dan aturan-aturan
untuk semua hal tersebut dengan tujuan untuk membentuk penganutnya menjadi manusia sutuhnya dan juga shaleh serta menerapkan hukumhukumnya dan secara alam (tanpa pemaksaan) melaksanakannya.20 Dalam mengatur pendapatan dan anggaran negara, negara Islam
melaksanakannya dengan adanya pengenaan pajak. Pajak yang telah terkumpul dan anggaran untuk penggunaannya tidak semata-mata untuk
memberikan penghidupan kepada masyarakat miskin melainkan juga untuk mendukung tegaknya sebuah pemerintahan besar dan untuk menanggung
pembelajaan yang diperlukan. Menurut Syi’ah, khums dikumpulkan dengan cara yang pantas (sesuai perhitungan) dari sektor pertanian, perdagangan
dan semua sumber daya alam baik yang di udara maupun di bawah tanah. Hal ini juga diberlaukan bagi para penjual sayuran yang ada di luar masjid,
pengusaha perkapalan, dan pertambangan. Mereka harus membayar sebesar seperlima (20%) dari pendapatan mereka, setelah dikurangi biaya-biaya
umum (biaya pokok), kepada hakim Islam untuk dimasukkan ke dalam baitul mal. Jika kita hitung seperlima dari surplus pendapatan seluruh negara
Islam, atau dari seluruh dunia seumpama ada di bawah kekuasaan Islam maka akan menjadi jelas bahwa tujuan pembebanan pajak seperti ini tidak
semata-mata untuk menghidupi keluarga sayid atau pelajar sekolah agama, melainkan juga untuk sesuatu yang lebih penting, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan keuangan organ-organ dan institusi pemerintahan. Pemungutan pajak-pajak ini membuktikan bahwa keberadaan hakim dan pemerintah
merupakan sebuah kebutuhan di dalam masyarakat. Tugas hakim atau pemerintah adalah membebankan pajak yang di pungut dari Ahl adz-dzimmah,
sesuai dengan kemampuan pendapatan mereka dan menetapkan pajak yang tepat atas pertanian dan peternakan. Ia juga harus mengumpulkan kharaj
atas tanah luas, yang mana itu adalah harta Allah SWT dan berada dalam kuasa pengelolaan negara Islam. 21 Jika kaum muslim bertindak sebagaimana
yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dengan membentuk pemerintahan yang penuh dengan kesiapan untuk perang, maka tangan-tangan Yahudi
tidak akan pernah berani menduduki tanah kita serta menghancurkan dan membakar Masjidil Aqsa . Dan jika para pemimpin pemerintahan dari
negara-negara muslim sungguh-sungguh mencerminkan keyakinan akan hukum Allah SWT dan melaksanakannya, mengesampingkan perbedaan
yang remeh di antara mereka dan menjauhi perpecahan dan subversi serta bersatu bagai jari-jari dalam satu tangan, maka tangan-tangan kotor Yahudi
(para agen Amerika, Inggris, dan kekuasaan Asing lainnya) tidak akan pernah dapat mempertahankan apa yang mereka telah capai, tak peduli
seberapa besar dukungan negara Amerika dan Inggris kepada mereka.22
Kesimpulan
Islam merupakan agama yang modern, dimana sudah ada ketentuan dan ketetapan serta aturan yang ingin menjadikan umatnya sebagai
manusia yang sempurna. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang memiliki segala kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah SWT lainnya,
akal serta bentuk fisik yang sempurna merupakan anugrah yang sungguh sangat luar biasa yang telah Allah berikan. Salah satu bentuk keistimewaan
dari adanya akal adalah terciptanya manusia yang beragama. Dimana ketika menyangkut soal agama akan terjadi konfik karena agama sifatnya
sensitif, maksudnya adalah ketika agama tersebut disampaikan walaupun dari satu sumber namun pemahaman dari berbeda orang membuat keadaan
menjadi rumit. Misalnya syi’ah yang disebut sebagai pengikut dari Khilafah Ali bin Abi Thalib, dan banyak di pelopori oleh dua belas imam namun
yang paling terkenal dan fenomenal adalah Imam Khomeini.
Dari segi konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang benar-benar baru dari Ayatullah Khomeini. Hal ini menurutnya sendiri,
karena persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya dikalangan Syi’ah.
Di bawah ini adlah hadis yang termasyhur di kalangan Syi’ah, yang bersumer dari Imam Ja’far Al-Shadiq (imam keenam), “menyangkal wewenang
seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam brarti menentang wewenang Nabi SAW. Menentang wewenang
Nabi SAW brarti menentang Allah SWT. Menentang wewenang Allah sama denga n syirik”. Menurut Imam Khomeini, semua muslim tahu, bahwa
Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin
sebagai suatu kesatuan sosial. Untuk menjadikan pelaksanaan hukum-hukum itu efektif diperlukan kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tafidziyyah).
Sebab menurutnya tak ada gunanya suatu peraturan tanpa adanya kekuasaan eksekutif yang melaksanakan pelaksanaan hukum Islam, khususnya
sebagian dari padanya yang merupakan kewajiban. Negara meurut Imam Khomeini adalah instrumen bagi pelaksanaan undang-undang Tuhan di
muka bumi. Memberikan kepada rakyat hak untuk membuat undang-undang selain bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana diyakini Imam
16
Khomeini, Sistem, h. 15-19.
Khomeini, Sistem, h. 21-23
18
Khomeini, Sistem, h. 26.
19
Khomeini, Sistem, h. 27-29.
20
Khomeini, Sistem, h. 31-32
21
Khomeini, Sistem, h. 33-34.
22
Khomeini, Sistem, h. 36.
17
Khomeini, juga hanya akan memaksa negara untuk mnerima perundang-undangan yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat, ataupun
menolak perundang-undangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat. Syi’ah justru menganggap bahwa pemenang akhir ada
pada kelommpok elite ahli (wali atau authority) yang paling mengetahui dan, oleh karena itu, berhak menafsirkan hukum-hukum Tuhan. Seluruh
bagian struktur politik negara mestilah dibawahkan kepada wali ini. Inilah yang dsebut sebagai sistem wilayah al-faqih. Struktur pemerintahan
Wilayat al-Faqih terpusat di tangan rahbar namun dalam pelaksanaannya berbentuk trias politica yang terdiri atas 3 badan legislative (Parlemen,
Dewan Ahli, dan Majelis Ahli), kekuasaan eksekutif di tangan presiden, dan kekuasaan yudikatif di tangan mahkamah Agung atau Dewan Tertinggi
Peradilan Nasional. Selain itu ada Dewan Revolusi, Dewan politik dan ekonomi Revolusi, dan Pemimpin Agama yang berfungsi sebagai
administrator lokal.
Jika kaum muslim bertindak sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dengan membentuk pemerintahan yang penuh dengan
kesiapan untuk perang, maka tangan-tangan Yahudi tidak akan pernah berani menduduki tanah kita serta menghancurkan dan membakar Masjidil
Aqsa . Dan jika para pemimpin pemerintahan dari negara-negara muslim sungguh-sungguh mencerminkan keyakinan akan hukum Allah SWT dan
melaksanakannya, mengesampingkan perbedaan yang remeh di antara mereka dan menjauhi perpecahan dan subversi serta bersatu bagai jari-jari
dalam satu tangan, maka tangan-tangan kotor Yahudi (para agen Amerika, Inggris, dan kekuasaan Asing lainnya) tidak akan pernah dapat
mempertahankan apa yang mereka telah capai, tak peduli seberapa besar dukungan negara Amerika dan Inggris kepada mereka.
Daftar Pustaka
Buku Primer:
Khomeini, Imam. Sistem Pemerintahan Islam, penerjemah: Muhammad Anis Maulachela. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
Buku Sekunder:
Al Walid, Kholid. Wilayah Al-Faqih Sebuah Konsep Pemerintahan Teo-Demokrasi. No. 01. Juni 2013.
Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein. 2013. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Kencana Prenada
Media Group: Jakarta.
Kadir,Abdul. Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran. No. 1 Vol.5. tahun 2015.
Maarif, Ahmad Syafi’i, dkk.,. Maarif Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik. No. 2. Desember 2015.
Yamani. Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini. Mizan: Bandung, 2002.
Zulkarnain. Konsep Al-Imamah dalam Perspektif Syi’ah. No.13 Vol. 7 Juli-Desember 2011.