Investasi sebagai Kerja Budaya pdf

INVESTASI SEBAGAI KERJA BUDAYA
Oleh: Tantan Hermansah*

Pendahuluan
Bagaimanapun, keyakinan para perencana pembangunan untuk
menempatkan investasi sebagai aspek utama yang mampu mendorong
perekonomian, patut diapresiasi. Akan tetapi tidak cukup sampai di sana,
proses investasi harus diberikan pemahaman yang lebih dari sekedar
memberikan kenyamanan bagi para pelakunya. Sehingga ketika pemerintah
membuat event-event yang mampu mengundang para investor itu ke sini,
rakyat akan benar-benar menikmati kesempatan untuk hidup lebih baik.
Jika membicarakan peluangnya sendiri, sesungguhnya sangatlah besar.
Berdasarkan kepada catatan Bappenas, nilai investasi di bidang infrastruktur
tahun 2005-2009 mencapai 72,14 miliar dollar AS atau senilai Rp 613,2
triliun. Nilai investasi itu meliputi investasi jalan raya sebesar 20,83 miliar
dollar AS, energi listrik 28,44 miliar dollar AS, sambungan telepon tetap
11,02 miliar dollar AS, sambungan telepon seluler 7,48 miliar dollar AS, air
bersih 2,16 miliar dollar AS, dan sanitasi sebesar 2,21 miliar dollar AS.
Catatan Bappenas di atas, memang bersambungan dengan asumsi ekonom
dunia mengenai situasi di negara-negara berkembang yang akan terus
bertumbuh dan menunjukkan masa depan lebih cerah. Sebagai contoh adalah

apa yang dikemukakan oleh Presiden Templeton Emerging Markets Fund Inc.
Mark Mobius, di mana prospek itu terjadi karena tingkat inflasi yang semakin
menurun dan terkontrol. "Negara-negara berkembang, khususnya di Asia,
belajar dari pengalaman krisis pada 1997 lalu," katanya dalam diskusi
mengenai investasi di global emerging market (pasar negara berkembang) di
Hotel Grand Hyatt, beberapa bulan lalu (Lihat: www.tempointeraktif.com.
Rabu 11 April, 2007).
Critical Questions
Pertanyaan kritis kita adalah, apakah dengan gelontoran calon investor
maupun sambutan baik dari para pengamat itu, berjalin-berkelindan dengan
kesiapan kita sebagai daerah tujuan investasi? Lalu, bagaimana sikap
pemerintah—khususnya pemerintah daerah dalam merespon prospek
pertumbuhan investasi tersebut?

Paradigma Investasi dalam Konteks Pembangunan
Tulisan ini ingin memberikan pandangan lain mengenai perencanaan
pembangunan berbasis investasi. Tahun 2003, Susilo Bambang Yudhoyono –
presiden NKRI saat ini—menulis bahwa dalam konteks pemulihan ekonomi
Indonesia, ada tiga tahapan opsi yang harus dilakukan oleh pemerintah yang
sedang berkuasa saat ini, yaitu: Pertama, tahap recovery. Proses recovery

harus dilakukan karena pada saat ini terjadi peluruhan khususnya di bidang
kepercayaan kepada pemerintah dan juga masalah mendasar yang ada pada
rakyat yakini kesejahteraan. Tahapan ini memberikan kesempatan kepada
kita untuk mengembalikan kapasitas produksi kita sehingga para
penganggur akan kembali bekerja, dan daya beli masyarakat dapat terbantu
untuk ditingkatkan. Pada tahapan ini, SBY juga menggarisbawahi mengenai
indegenous knowledge yang perlu dijadikan sebagai pijakan.
Kedua, tahap keberlanjutan pertumbuhan (sustained growth). Tahap ini
hanya akan terjadi jika produktifitas masyarakat tinggi dan terus meningkat.
Sumber-sumber pertumbuhan berkualitas ini harus sensitif bagi masyarakat,
baik dalam perspektif lokasi, tingkat perkembangan, maupun keadilan. Dan,
ketiga, tahap pengembangan ekspansif dari sistem ekonomi kita ke depan.
Pada tahap ini, peranan investasi swasta akan dominan (Lihat, Susilo
Bambang Yudhoyono, Revitalisasi Ekonomi Indonesia. Bisnis, Politik, dan Good
Governance. 2003).
Ada yang menarik dari kerangka yang dikemukakan SBY, terkait dengan
persoalan investasi di Jawa Barat yang menjadi substansi tulisan ini.
Tahapan-tahapan yang dikemukakan yakni: recovery, reformasi dan
rekonstruksi, dan rekonsiliasi tetap aktual untuk dijadikan cara pandang kita
mengenai pengembangan investasi di Jawa Barat. Dan sebenarnya, jika kita

telisik lebih mendasar lagi bahwa paradigma yang menjadi pendekatan SBY
adalah satu proses pembangunan dalam kerangka kerja kebudayaan.
Investasi sebagai Kerja Budaya: Pandangan Awal
Dikaitkan dengan pemaknaan kita mengenai investasi sebagai kerja
kebudayaan, maka dimunculkan beberapa agenda strategis sebagai berikut:
Pertama, seluruh aspek pembangunan bangsa mulai dari perencanaan
sampai kepada aspek operasional, dibangun dengan pendekatan kebudayaan,
yakni terciptanya iklim yang selalu diorientasikan kepada kebaikan bersama
(public good), seperti masyarakat yang semakin sejahtera, daya beli yang
semakin baik, dan sebagainya.
Setelah pada proses perencanaan di tingkat elit berjalan, maka tahap
selanjutnya adalah melakukan proses pembudayaan di tingkat rakyat. Pada
level ini, proses-proses belajar dilangsungkan. Sehingga tidak ada lagi model

perencanaan dan aplikasi pembangunan yang top down. SBY menyebutkan
sebagai kepedulian kepada local knowledge. Sehingga ketika proses ini
ditancapkan pada life style masyarakat, maka seluruh perencanaan ini akan
berubah menjadi kebutuhan keseharian.
Akan tetapi sebaliknya, karena semuanya diposisikan sebagai proses belajar,
segala energi yang memancing kreativitas, inovatif, dan produktif, harus

terus dipacu. Misalnya, jika pemerintah Jawa Barat mau mengundang
investor yang akan berkecimpung di bidang energi, prosesnya harus
mengacu kepada benar-benar kebutuhan rakyat, yang kemudian diwujudkan
dalam progaram partisipasi, baik di level produksi maupun distribusi dan
manajemen. Dari sini kemudian bisa muncul berbagai ide dan inovasi yang
bersumber kepada kualitas hidup rakyat.
Kedua, implikasi dari yang pertama adalah bahwa target dari program
menjadi sangat jangka panjang. Jika investasi dimaknai sebagai kerja budaya,
maka otomatis yang harus dilakukan adalah perencanaan yang simultan,
berikut keterlibatan pengguna. Inilah yang akan menjawab kelemahan kita
selama ini dalam merencanakan pembangunan.
Sebagai contoh, lagi-lagi kita mengambil contoh yang menjadi kebutuhan
dasar masyarakat: energi. Selama ini pemaknaan terhadap energi selalu
parsial. Artinya ketika kita merencanakan untuk menataulang persoalan
energi, maka yang terbayang dalam benak para perencana adalah bagaimana
menyediakan listrik, BBM, atau sumber energi lain yang murah dan gampang
dikonsumsi rakyat. Dengan menggunakan pendekatan investasi, maka
perencanaan model demikian harus dihilangkan.
Pertama-tama kebutuhan energi berikut proses penyediaannya harus
diletakkan sebagai proses investasi. Di sini rakyat harus mulai dikenalkan

akan kapasitas sumberdaya energi yang dimiliki oleh kita saat ini. Kemudian
proses ini harus menjadi sarana belajar rakyat untuk: (1) melakukan
penghematan akan sumberdaya energi. Jadi persoalannya bukan pada
kemampuan membeli energi, tetapi pada kepedulian bahwa konsumsi energi
yang boros akan menyebabkan terjadinya chaos sosial sehingga akan
mengganggu semua; (2) memahami bahwa menghadirkan energi ke hadapan
mereka bukan perkara yang mudah. Sehingga inovasi rakyat untuk jika
mampu memproduksi energi sangat diharapkan. Contoh di daerah yang
memiliki sumberdaya air yang melimpah, mengapa tidak membuat sumber
energi berbasis air melalui teknologi mikro hidro, misalnya. Dan begitu
seterusnya.
Jika dua hal ini sudah terlaksanakan, maka langkahnya kemudian adalah
mengajak rakyat melakukan investasi di sektor ini. Mulai dari produksi,
distribusi, sampai manajemen pengelolaannya, sehingga bisa menjadi
sumber-sumber kesejahteraan baru bagi rakyat. Di sinilah relevansi apa yang

kami sebut sebagai Integrated model of Open Source-accessed Energy”
(Brighten, 2008). Model ini menjelaskan antara lain bahwa proses
pengembangan energi yang adil-inovatif, akan memancing pelakunya, rakyat,
mengembangkan model investasi kesejahteraan baru, selain tentu ada

multiplier effect lain yakni terpeliharanya sumber-sumberdaya alam seperti
air, sungai, dan hutan-hutan. Hal ini terjadi karena model pengembang energi
yang Open Source-accessed, hanya mungkin bisa dilakukan jika sumberdaya
alam terpelihara dengan baik.
Sumbu Utama Investasi
Pilar kebudayaan bersumbu pada beberapa komponen program: (1) Tertib
sosial yang diorientasikan untuk pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar
rakyat; (2) Perencanaan yang ditancapkan pada kualitas dari arkeologi
kebudayaan masyarakat setempat—bukan sesuatu yang diturunkan begitu
saja dari teori-teori yang belum tentu cocok dengan situasi dan kondisi lokal.
Dan, (3) Keseluruhan proses sebesar-besarnya diarahkan untuk menjadikan
rakyat sebagai subyek utama—bukan yang lain.
Kecemasan pembangunan berbasis investasi terletak pada siapa (who)
pelaku utama dari proses perjalan investasi tersebut. Artinya, apakah rakyat
hanya bisa menjadi subyek aktif yang terlibat dalam keseluruhan proses, atau
hanya menjadi penonton ketika gegap gempita investasi datang ke sebuah
daerah?
Jika kita melihat selama ini, proses pembangunan berbasis investasi banyak
tidak melibatkan rakyat setempat. Dengan berbagai alasan mulai dari
kecakapan sumberdaya manusia (human capital) yang tidak memenuhi

syarat, sampai persoalan-persoalan non-teknis seperti budaya.
Memang kedua hal itu harus menjadi perhatian semua. Akan tetapi proses
integrasi antara investasi dengan masyarakat setempat tetap harus menjadi
perhatian. Dengan proses yang apik, terencana, dan tidak mudah tergoda
oleh keuntungan sesaat, maka ke depan sublimasi antara kedua pihak ini
akan terjadi. Di sinilah peran pemerintah sebagai regulator menjadi sangat
penting. Persenyawaan antara eksekutif dengan legislatif dalam
memproduksi aturan yang membasiskan pada kepentingan rakyat, akan
menjadikan proses mengundang investor berbuah kesejahteraan. Selain itu
dengan menjadikan rakyat sebagai subyek utama dari proses investasi, maka
jaminan keberlanjutan investasi akan terjadi.
Penutup
Sebenarnya dengan melakukan integrasi antara para investor dengan
masyarakat dan (maupun) kultur setempat akan lebih banyak
menguntungkan. Sebagai contoh, sebuah slogan bank cukup mengerti akan

fakta ini ketika ia mengumandangkan slogan yang berbunyi: Bank Dunia
Bertradisi Anda! Sebuah slogan yang genius untuk menggambarkan bahwa
sebuah proses investasi akan menguntungkan jika sistem yang dibangun
mengacu kepada kebudayaan setempat.

Tulisan ini pernah terbit di Warta Bapeda Jabar
*Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)