Hak Ulayat Tanah Sianggunon, Dusun Sianggunon Desa Sipagabu Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir Tahun 1940- 2000 Chapter III V

BAB III
STATUS DAN FUNGSI HAK ULAYAT
3.1 Pengertian Hak Ulayat Tanah Adat
Hak Ulayat memiliki beberapa pengertian yang berbeda-beda walaupun secara
Hak Ulayat itu sama prinsipnya. Berikut ini terdapat beberapa pengertian Hak Ulayat dari
beberapa segi:
3.1.1 Segi Hukum Adat
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan
masyarakat Hukum Adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda.
Merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi
semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat Hukum Adat
tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. 7

7

Rosnida Sembiring.Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun,
Pustaka Bangsa Press, Medan 2008, h. 70

33
Universitas Sumatera Utara


Prof. C. Van Vollenhoven memberikan istilah teknik terhadap hak persekutuan
dengan istilah “beschhikkings recht”sedangkan tanah yang merupakan wilayahnya
dinamakan “Beschikkingkring”. Istilah ini ke dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia diartikan dengan Hak Ulayat ataupun hak pertuanan, sedangkan
istilah Beschikkingkring diterjemahkan menjadi lingkungan ulayat.

1.1.2

Segi Hukum Lainnya

Pengertian Hak Ulayat juga dapat dari dua hukum lainnya, yaitu 8:


Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960:
Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut Hukum Adat dipunyai oleh
masyarakat, Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam termasuk tanah dan dalam wilayah tersebut bagi kelaangsungan hidup dan
kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turuntemurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
menyebutkan Hak Ulayat ada jika di dalam kenyataannya masih ada, jadi dengan
demikian tidak mungkin diadakan yang telah tiada.



Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1999
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

8

Ibid, hal. 7.

34
Universitas Sumatera Utara

Di dalam peraturan ini mengatakan bahwa Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat Hukum Adat didefenisikan sebagai suatu kewenangan yang menurut
hukum adat dipunyai oleh masyarakat Hukum Adat tertemtu yang merupakan lingkungan

hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubngan secara lahiriah dan
batiniah secara turun-tenurun dan tidak terputus antara masyarakat Hukum Adat tersebut
dengan wilayah yang bersangkutan.

3.1.3 Aliansi Masyarakat
Aliansi masyarakat meberikan defenisi dan kriteria hak ulayat yang berbeda-beda.
Namun dapat disimpulkan bahwa menurut aliansi masyarakat, Hak Ulayat adalah hak
yang dimiliki masyarakat Hukum Adat tersebut untuk memiliki wewenang untuk
mengelola dan mengambil sumber daya alam atas wilayah itu untuk kepentingan hidup
dan demi kelangsungan hidup masyarakat Hukum Adat tersebut. 9
Tuntutan atas kesamaan hak bagi setiap manusia didasarka pada prinsip-prinsip
masyarakat, dalam hal ini Hak Asasi Manusia (HAM). Sifat dari HAM adalah unversal
dan tanpa pengecualian, tidak dapat dipisahkan, dan saling tergantung. 10 Berangkat dari
pemahaman tersebut, seyogianya sikap-sikap didasari pada ethnocentrism, racism,
religius fanaticism, religius fanaticism, dan discrimination harus dipandang sebagai
tindakan-tindakan yang menghambat pengembangan demokrasi, penegakan hukum dalam
kerangka pemajuan dan pemenuhan HAM.


9

Ibid, hal.75.
Ibid,hal.75.

10

35
Universitas Sumatera Utara

Pasal 281 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap pelakuan yang bersifat
diskriminatif itu”. Sementara itu Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM telah menegaskan bahwa “...setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan
martabat yang sama dan sederajat...”. Ketentuan tersebut merupakan landasan hukum
yang mendasari prinsip non-diskriminasi di Indonesia, dan diambil dari Pasal 1 Deklarasi
Universal HAM.
Kesetaraan dalam bidang hukum, kesederajatan dalam perlakuan adalah salah satu
wujud ideal dalam kehidupan negara yang demokratis. Akan tetapi, berbagai penelitian
dan pengkajian menunujukkan bahwa kondisi di Indonesia saat ini belum menceerminkan

penerapan asas persamaan di muka hukum (equality before the law) secara utuh. Di
Indonesia, perlakuan diskiminatif salah satunya dialami oleh masyarakat Adat.
Masyarakat Adat merupakan suatu kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur
(secara turun-temurun) di ilayah geografis tertentu serta memiliki nilai, ideologi, politik,
ekonomi, budaya, sosial dan wilayah sendiri. 11 Eksistensi masyarakat adat sebetulnya
telah diakui secara konstitusional. Pada pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Selain itu, pada Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 telah
memberikan landasan konstitusional dan hukum atas hak-hak masyarakat adat.
Sementara, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
11

Ibid, hal. 76.

36
Universitas Sumatera Utara


Manusia secara tegas telah menyatakan, “Dalam rangka Manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat, dan Pemerintah”.
Namun pada kenyataannya banyak hak-hak masyarakat adat yang tidak
terlindungi. Sementara, undang-undang organik pun ternyata tidak terlihat banyak
mengatur mengenai hak-hak masyarakat adat. Misalnya saja, hak-hak masyarakat adat.
Misalnya saja, hak-hak masyarakat atas tanah adat diwariskan oleh leluhurnya yang pada
beberapa kasus tidak diakui, dihormati, dan dilindungi oleh pemerintah sebagai bagian
dari Hak Asasi Manusia telah menegaskan bahwa, “Identitas budaya masyarakat hukum
adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.
Konvensi International Labor Organization (ILO) Nomor1989 mengenai
Penduduk Asli dan Kelompok Masyarakat suku di negara-negara merdeka (ILO
Convention on Indigeneous and Tribal Peoples) sebetulnya telah menetapkan bahwa
setiap pemerintah harus menghormati kebudayaan dan nilai-nilai spiritual masyarakat asli
yang dijunjung tinggi dalam hubungan mereka dengan lahan yang mereka tempati atau
gunakan. Peraturan ini bersumber pada gagasan bahwa masyarakat asli yang dijunjung
tinggi dalam hubungan mereka dengan lahan yang mereka tempati atau gunakan.
Peraturan ini berumber pada gagasan bahwa masyarakat asli, yang dengan cara-cara
tradisional telah menghuni suatu kawasan dan memanfaatkannya, dan berhak untuk
melanjutkan hubungan mereka dengan lahan dan sumber daya yang ada di dalamnya.

Tidak terintegrasinya hak-hak masyarakat adat dapat terlihat dari beberapa contoh,
misalnya konsep penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UndangUndang Nomor 5 tahun 1985 tentang Perikanan. Artinya, perlindungan hak masyarkat

37
Universitas Sumatera Utara

adat terutama dalam kaitannya dengan Hak Ulayat (tanah dalam hutan). Meskipun Hak
Ulayat dari masyarakat diatur dalam pasal 3 UUPA, namun hal ini belum diakui secara
resmi dalam undang-undang yang berakibat pada pengabaian terhadap Hak Ulayat yang
dimaksud. 12
3.1.4. Masyarakat Pemilik Hak Ulayat Sianggunon
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bahwa sanya Hak Ulayat adalah
suatu hak yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat atas wilayah tertentu. Dan
pada dasarnya Hak Ulayat tersebut dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat atas
wilayah tertentu. Dan pada dasarnya Hak Ulayat tersebut dimiliki oleh orang pertama
yang menduduki suatu wilayah tertentu. Dan orang pertama inilah yang menjadi pewaris
awal dari Hak Ulayat tersebut. Hak Ulayat Sianggunon ini juga merupakan Hak yang
diturunkan oleh leluhur mereka yang dimana hak tersebut diatur hukumnya oleh Ketua
Adat setempat. Meskipun demikian, peraturan akan hukum tanah yang diatur oleh Ketua

Adat Sianggunon tersebut pada dasarnya disesuaikan juga dengan Peraturan PerundangUndangan yang ada.
Hak Ulayat ini selayaknya digunakan dengan semestinya, agar hubungan lahiriah
dan batiniah antara masyarakat pemilik Hak Ulayat dengan wilayah tetap ada. 13 Dengan
begitu, akan tampak manfaat dari dimilikinya suatu Hak Ulayat bagi masyarakat
setempat. Sebagaimana yang dipahami masyarakat Sianggunon, bahwa pemanfaatan
wilayah Hak Ulayat dilihat dari segi pengertian dapat digunakan oleh para pemilik Hak
Ulayat, dengan tujuan memberi kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

12

Ibid, hal.78.
Wawancara dengan Agnes Siagian.

13

38
Universitas Sumatera Utara

Besar harapan para putera daerah Dusun Sianggunon pemanfaatan Wilayah Ulayat
Dusun Sianggunon ini dapat memberi jaminan kepada para putera daerah untuk

memperoleh lapangan pekerjaan bagi mereka, agar putera daerah tidak harus merantau ke
wilayah lain dikarenakan telah adanya lapangan pekerjaan di tanah kelahiran mereka
sendiri. 14 Oleh sebab itu, diinginkan akan adanya kerjasama pemerintah daerah dan pusat,
untuk pembukaan lahan perkebunan besar di wilayah ini. Kerjasama ini berupa dukungan
dan juga jaminan terhadap para investor dalam membuka wilayah tertentu. Dengan
begitu, masyarakat dan investor dapat merasakan kesejahteraan dengan adanya kerjasama
yang baik antara masyarakat, pemerintah, juga para investor yang membuka lahan di
wilayah ulayat Dusun Sianggunon.
3.2 Subjek dan Objek Hak Ulayat
3.2.1 Subjek Hak Ulayat
Subjek Hukum merupakan setiap pendukung hak dan kewajiban. Berkaitan
dengan Subjek Hak Ulayat merupakan konsep Hak Ulayat dalam Undang-Undang seperti
Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 yang menyebutkan tentang kriteria dan
penentuan masih adanya Hak Ulayat meliputi 3 unsur:


Ada subjek Hak Ulayat




Ada objek Hak Ulayat



Ada hubungan antara subjek dan objek Hak Ulayat
Ciri terpenting subjek hukum adalah sebagai pendukung Hak dan Kewajiban.

Menurut Ilmu Hukum, di samping manusia (orang), Badan Hukum adalah subjek hukum

14

Ibid.,

39
Universitas Sumatera Utara

karena dapat juga memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti
seorang manusia. 15
Wirjono Prodjodokoro dalam bukunya menyatakan bahwa, terhadap tanah,
adakalanya tidak hanya perseorangan (individu) mempunyai hak milik atas tanah,

melainkan juga suatu persekutuan desa sendiri. 16
Permasalahannya adalah apakah masyarakat Hukum Adat dapat menjadi subjek
hak milik. Masyarakat Adat dianggap sama dengan suku, misalnya Padang/Minang,
Punan, Kenyah, Melayu, orang Rimba dan sebagainya. Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) mengartikan masyarakat adat sebagai: “kelompok masyarakat yang
memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu serta
memiliki nilai ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri”.17 Secara
lebih sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat adat terikat oleh Hukum Adat,
keturunan dan tempat tinggal. Keterikatan akan Hukum Adat berarti bahwa hukum adat
memang dipatuhi. Walaupun di banyak tempat aturan yang berlaku tidak tertulis, namun
diingat oleh sebagian besar masyarakatnya.
Pengertian masyarakat adat menjadi sangat penting karena pemerintah hanya
mengakui Hak Masyarakat Adat atas sumber daya alam bila keberadaan masyarakat adat
itu terbukti. Untuk itu pemerintah merencanakan peraturan yang sekarang dalam tahap
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Hutan Adat.

15

R. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1984 hal.21
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1986, hal 39=
17
Opcit, hal.79.
16

40
Universitas Sumatera Utara

Dalam RPP tersebut, Pasal 3 dan 4 secara khusus menetapkan bagaimana
masyarakat adat dapat diakui pemerintah. Adapun alasannya adalah karena masih
berbentuk usulan, proses ini masih mungkin diperbaiki dan disempurnakan.
Proses pembuktian keberadaan masyarakat adat dijabarkan secara khusus dalam
Pasal 3 dan 4 RPP Hutan Adat dan harus mengikuti ketetapan sebagai berikut:


Keberadaan masyarakat adat pada suatu wilayah tertentu harus ditetapkan dengan
Peraturan Daerah;



Penetapan itu harus didasarkan atas hasil penelitian tentang masyarakat adat
setempat. Penelitian dapat diprakarsai oleh masyarakat Hukum Adat itu sendiri
atau oleh pemerintah daerah yang kemudian mengusulkannya pada menteri;



Penelitian dilaksanakan oleh lembaga yang mempunyai otoritas ilmiah, yang
berarti bahwa suatu lembaga penelitian resmi yang diakui pemerintah dengan
anggota peneliti yang ditetapkan menteri;



Juga hal-hal yang harus diteliti dan cara penelitian juga harus ditetapkan menteri.
Masyarakat Hukum Adat harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan dan

mengikuti berbagai ketentuan perlindungan hasil Hutan Adat, pembinaan dan
pengawasan. Di lain pihak, tidak ada ketentuan perlindungan hak masyarakat adat atas
Hutan Adat tersebut.
Meskipun yang diberi hak pengelolaan adalah masyarakat Hukum Adat, mereka
boleh melaksanakannya bersama perusahaan. Karena persyaratan begitu banyak,
masyarakat Hukum Adat akan cendrung menyerahkannya pada perusahaan sehingga
keuntungan atas Hukum Adat hanya sedikit yang hanya diperoleh masyarakat adat.

41
Universitas Sumatera Utara

Menurut Van Vallonven, masyarakat Hukum Adat/ desa tidak mempunyai Hak
Milik yang dinamakan Hak Kommunal (Hak Ulayat) sebetulnya Hak Menguasai
(beschikkingsrecth) desa atau masyarakat lainnya. 18 Namun demikian, menurut Breman
pengakuan oleh adanya Hak Komunal itu pada zaman hanyalah pertajaman dari sebuah
ungkapan pelembut saja terhadap penyangkalan adanya milik perorangan. 19
Masyarakat Hukum Adat yakni terdapat sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan Hukum Adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari (subjek Hak Ulayat).
Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya Hak Ulayat
meliputi 3 unsur, antara lain: unsur masyarakat adat, terdapatnya sekelompok orang yang
masih merasa terikat oleh tatanan Hukum Adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum Adat tertentu, yang menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari (subjek Hak Ulayat). Berbicara mengenai Hak
Masyarakat adat atas tanah memerlukan klarifikasi terlebih dahulu tentang terminologi
pemegang (subjek) hak atas tanah tersebut. Ada dua terminologi yang digunakan untuk
menyebut subjek yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah dan sumber daya alam
lainnya tersebut. 20 Secara internasional sudah cukup populer digunakan istilah
“Indegeneus peoples”, yang diterjemahkan sebagai masyarakat adat untuk menyebutkan

18

Imam Soetikjno, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1990, hal

19

Chadizah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia, USU Press, Medan, 1998, hal. 24.
Dahlan, Makalah Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah di Propinsi Daerah Istimewa Aceh,

65.
20

2000. hal 3

42
Universitas Sumatera Utara

subjek atas tanah adat. Sementara itu, dalam masyarakat Indonesiadikenal pula dengan
istilah masyarakat Hukum Adat. 21
Rumusan pengertian tentang masyarakat adat itu sendiri tidaklah tunggal.
Konvensi ILO 169 tentang Bangsa Prbumi dan Masyarakat Adat di negara-negara
merdeka merumuskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah: Masyarakat
yang berdiam di negara-negara merdeka, di mana kondisi sosial, kultral dan ekonominya
membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan status
diatur, baik seluruhnya maupun sebahagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut
atau dengan hukum atau pengaturan khusus. 22

Kriteria untuk kelompok masyarakat

adat tersebut adalah sebagai berikut: 23
1. Kedekatan hubungan dengan wilayah keturunannya dan dengan sumber daya alam
di wilayah itu;
2. Menentukan jati diri dan diidentifikasi oleh orang-orang sebagai anggota dari
suatu kelompok kultural yang berbeda;
3. Mempunyai bahasa asli yang kerapkali berbeda-beda dengan bahasa nasional; dan
4. Mempunyai pranata adat di bidang sosial, dan politik serta;
5. Produksinya terutama berorientasi subsistem.
Definisi lain tentang masyarakat adat dikemukakan oleh Ruwiastuti, bahwa
masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang leluhurnya merupakan orang-orang
pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan sumber-sumber agraria selain
merupakan sumber ekonomi juga merupakan perpangkalan budaya. Artinya, kalau
21

Opcit, hal. 85.
Myrna Safitri, Pengelolaan Hutan, Akses Masyarakat Lokal dan Pengembangan Gagasannya
dlam Kebijakandan Perdebatan Internasional, P3AE-VI, 1997, hal.14.
23
Fisty Husbani, Kajian atas Pengakuan terhadap Hak dan Eksistensi Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup di Indonesia,
dalam Jurnal Ilmu Lingkungan, Tahun IV Nomor 1, September 1995, hal.88
22

43
Universitas Sumatera Utara

sumber-sumber tersebut lenyap (atau berpindah penguasaan kepada kelompok lain), maka
yang ikut lenyap bukan saja kekuatan ekonomi mereka, melainkan identitas kultural. 24
Dalam persekutuan hukum yang disebut masayarkat Hukum Adat tersebut, setiap
anggota merasa ada ikatan dan bersikap serta bertingkah laku sebgai suatu kesatuan, dan
hal itu bertanam dalam kehidupan mereka. Pendapat ini dapat diterima oleh hampir semua
orang, karena sudah merupakan sifat dari manusia untuk selalu hidup berkelompok:
apakah karena faktor geneologis teritorial atau oleh keduanya. Untuk menjaga kehidupan
kelompuk ada aturan-aturan walaupun sifatnya sangat sederhana. Ada pimpinan atau yang
mengatur dan sudah pasti ada kekayaan material maupun yang bersifat immateral.
Untuk menentukan suatu kelompok masyarakat sebagai persekutuan hukum, ahli
Hukum Adat sepakat, harus dipenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: 25
1. Adanya suatu keteraturan atau tata susunan yang tetap yang mengatur tingkah laku
warganya, dapat juga dikatakan ada sistem masyarakat sendiri;
2. Memiliki pengurus atau pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok
baik keluar maupun ke dalam;
3. Memiliki kekayaan sendiri serta wilayah tempat tinggal dan lingkungan kehidupan
sendiri.
Dengan demikian, konsep masyarakat Hukum Adat merupakan pengertian yang
bersifat teknis untuk menunjuk sekelompok orang dengan persyaratan-persyaratan
tertentu. Sementara itu, masyarakat adat atau indigenous peoples merupakan sebuah
pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu pula.
24

Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria Membongkar Alas Penguasaan
Negara Alas Penguasaan Negara atas Hak-hak Adat, Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2000, hal. 5.
25
Mardigjo, Tinjauan tentang hak Ulayat di Kalimantan, Kodam VI Tanjung Pura Balikpapan,
1991, hal. 3.

44
Universitas Sumatera Utara

Menghindari perdebatan berkaitan dengan pemegang (subjek) hak atas tanah adat itu,
maka dalam uraian tidaklah digunakan terminologi “Masyarakat Adat”, melainkan
“Masyarakat Hukum Adat”. Masyarakat Hukum Adat, sebagaimana diuraikan di atas,
merupakan sebuah pengertian teknis-juridis, yang menunjuk sekelompok orang yang
hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan hidup tertentu,
memiliki kekayaan dan pemimpin (pengurus) yang bertugas menjaga kepentingan
kelompok (ke luar dan ke dalam) dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan
pemerintahan.
Persekutuan hukum adalah sekelompok orang-orang yang terikat sebagaoi satu
kesatuan dalam suatu susunan yang teratur yang bersifat abadi dan memiliki pimpinan
serta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami atau hidup di atas
suatu wilayah tertentu. 26 Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat Hukum Adat adalah
subjek hukum, sebagai suatu kesatuan totalitas, yang mempunyai kedaulatan penuh dalam
wilayah baik ke dalam maupun ke luar.
Masyarakat Adat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari
jumlah populasi saat diperkirakan antara 50-70 juta orang, maupun nilai kerugian materiil
dan spiritual atas penerapan politik pembangunan yang selama lebih dari tiga dasawarsa
terakhir. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik,
hukum maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian
semakin ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar
dalam struktur negara- bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua
politik nasional, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda
politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari
26

Djaren Saragih, Opcit, hal. 67

45
Universitas Sumatera Utara

pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat
terasing”, “peladang berpindah”, “masyarakat rentan”, masyarakat primitif”, dan
sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan
mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural.
Para pendiri negara-negara (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari
bahwa Negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk, baik menyangkut sistem
politik dan sistem hukum maupun sistem sosial-budaya dan agama. Semboyan “Bhineka
Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas
kemajemukan atau keragaman sosial, budaya, politik dan agama. Hanya saja bangunan
“negara-negara” yang majemuk sebagaimana digagas oleh pendiri negara ini telah
dikhianati begitu saja oleh penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak
masyarakat adat yang merupakan struktur dasar “negara-negara” yang majemuk. Berbagai
kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil
dan tidak demokratis telah mengambil alih hak asal-usul, hak atas wilayah adat, hak untuk
menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak untuk ekonomi, dan yang paling
utama adalah, hak politik masyarakat adat. Perangkat-perangkat kebijakan dan hukum
diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan. Kedaulatan
negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk
mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.2.2

Objek Hak Ulayat

Mengenai objek Hak Ulayat, Ter Haar mengemukakan bahwa Hak Ulayat berlaku
baik atas tanah, maupun perairan (sungai-sungai, perairan pantai, laut) dan juga atas
tanaman yang tumbuh sendiri (pohon-pohonan, lebah, buah-buahan, pohon untuk

46
Universitas Sumatera Utara

pertukangan) beserta atas binatang-binatang liar. 27 Jadi dapat disimpulka bahwa Objek
Hak Ulayat adalah:
1. Tanah (daratan);
2. Air (sungai-sungai, perairan pantai, laut atau danau);
3. Tumbuh-tumbuhan/tanam-tanaman yang tumbuh secara liar (pohon-pohonan,
buah-buahan, pertukangan dan lain-lain);
4. Binatang liar.
Objek Hak Ulayat tidak selalu sama di tiap-tiap daerah, karena menurut Ter Haar
dalam berbagai keadaan berlakunya Hak Ulayat berbeda-beda.
Karena pengaruh dari berbagai-bagai tempat, maka berlakunya Hak Ulayat pada
tiap-tiap daerah adalah berbeda-beda. Juga dalam suatu lingkungan ulayat daya
berlakunya ulayat mungkin berbeda-beda sesuai dengan tempatnya. Di samping hal-hal
tersebut, Hak Ulayat juga dapat berlaku terhadap tanah milik anggota-anggota ulayat.
Misalnya, apabila pemilik tanah tersebut meninggal tanpa keturunan, maka pimpinan
ulayat boleh mengangkat pemilik baru terhadap tanah tersebut yang sama kekuasaannya
dengan pemilik tanah yang lama. Tetapi apabila hak milik atas tanah tersebut adalah hak
milik atas tanah pertanian yang sudah ditanami, sehingga tanah tersebut telah berupa
suatu tanah yang telah menjadi kebun, maka pemilik boleh menggadaikan atau menjual
tanahnya. Tanah seperti ini jarang kembali terkena Hak Ulayat.
Menurut hasil penelitian ada 2 hal yang menyebabkan tanah memiliki kedudukan
yang sangat penting dalam masyarakat adat, yaitu: 28
1. Karena sifatnya merupakan satu-satunya benda kekayaan yang tetap;
27
28

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Sumur, Bandung, 1985, hal 82
Rosnidar Sembiring, Opcit, hal.94.

47
Universitas Sumatera Utara

2. Karena fakta bahwa tanah:


Tempat tinggal persekutuan;



Memberikan penghidupan kepada masyarakat persekutuan;



Tempat warga yang meninggal dikuburkan;



Tempat roh para leluhurnya.

Status Tanah Adat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 29
1. Tanah Hak Ulayat (tanah milik seluruh warga masyarakat adat secara bersama).
Terhadap tanah Hak Ulayat pada prinsipnya tidak diperbolehkan warga luar
persekutuan turut menggarap Tanah Ulayat beserta segala tumbuh-tumbuhan,
binatang yang ada di atasnya;
2. Tanah Milik Perorangan: apabila hak milik perorangan yang menguat, maka Hak
Ulayat akan menipis, sebaliknya apabila perorangan menipis (ditinggalkan) maka
tanah tersebut menjadi Tanah Ulayat.

3.3 Hubungan Hukum Subjek dan Objek Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat mempunyai hak atas tanah, yaitu hak penguasaan dan
pemilikan masyarakat Hukum Adat di lingkugnannya. Hak Ulayat mempunyai arti yang
sangat luas, karena memberikan bermacam-macam hak kepada anggota masyarakat
berupa hak untuk menggunakan tanah sebagai tempat tinggal (pemukiman) termasuk
tempat kuburan, sebagai lahan pertanian, penggembalaan ternak, mengambil hasil-hasil
hutan berburu binatang dan menangkap hasil hutan yang kesemuanya berada di bawah

29

Rosnidar Sembiring, Opcit, hal. 95

48
Universitas Sumatera Utara

persekutuan sebagai pelaksana Hak Ulayat dan mengawasi serta membatasi hak
warganya.
Ter Haar telah mengemukakan berlakunya Hak Ulayat berarah dua, ke dalam
menyangkut peraturan hak dan kewajiban anggota masyarakat Hukum Adat, sedangkan
keluar merupakan kewajiban orang luar dan hak untuk mempertahankan Hak Ulayat-nya
terhadap gangguan dari pihak luar. Adanya hak dan kewajiban, pemanfaatan dan
penggunaan Hak Ulayat merupakan isi pokok dari Hukum Tanah Adat. Adanya hubungan
yang saling berkaitan ini karena masyarakat Hukum Adat sebagai totalitas, kesatuan
politik dan Badan Hukum. Sebagaimana totalitas masyarakat Hukum Adat merupakan
penjumlahan dari warga-warganya termasuk kepala adatnya. Kesatuan publik karena ia
merupakan badan hukum penguasa yang memiliki hak untuk menerbitkan dan mengambil
tindakan tertentu terhadap warganya, sedangkan sebagai badan hukum ia diwakili kepada
adat dan lebih banyak bergerak di bidang hukum perdata. 30
Jadi dapat ditemukan adanya fungsi pengaturan tersebut di atas perkenaan dengan
daya berlaku Hak Ulayat ke dalam dan ke luar. Hak ini juga dikemukakan oleh Hooker,
bahwa masyarakat Hukum Adat mengatur alokasi dan penggunaan tanah. 31
Di dalam masyarakat Hukum Adat hak menguasai dipegang oleh kepala
masyarakat Hukum Adat, mengenai tanah yang ada di sekitar lingkungan untuk
kepentingan anggota masyarakat Hukum Adat dan juga bagi yang bukan anggota.
Kewenangan berdasarkan Hak Ulayat dipegang kepala/pimpinan masyarakat hukum,
meliputi:

30
31

Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 19
MB. Hooker, Adat Law in Madura Indonesia, Oxport University Press, Kuala Lumpur, 1978, hal

118.

49
Universitas Sumatera Utara

1. Menerima pemberitahuan anggota masyarakat hukum yang ingin nembuka tanah;
2. Melindungi hak-hak anggota suku tanahdan mendamaikan apabila ada
perselisihan mengenai tanah;
3. Menjadi saksi apabila ada perbuatan hukum mengenai tanah yang menurut Hukum
Adat memerlukan saksi;
4. Mewakili suku/masyarakat hukum keluar. 32
3.4 Pelakasana Hak Ulayat Oleh Masyarakat Hukum Adat
Hak Ulayat memberikan kewenangan tertentu kepada masyarakat hukum adat
terhadap tanah ulayatnyayang sumber, dasar pelaksanaan, dan ketentuan tata cara
pelaksanaannya adalah hukum adat yang bersangkutan. Kewenangan tersebut meliputi
hak penguasaan tanah oleh para dan pelepasan tanah untuk keperluan “orang luar”.
Mengingat hukum adat tersebut bersifat dinamis, maka hak penguasan tanah yang
diperoleh menurut hukum adat yang bersangkutan apabila dikehendaki boleh didaftar
sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Dengan
demikian tujuan “meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan hukum dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan” sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Pokok Agraria akan dapat terwujud secara alamiah dan bertahap.

3.5 Kepemilikan Tanah Menurut Hukum Adat

32

Imam Soetiknjo, Opcit. 199,hal 49.

50
Universitas Sumatera Utara

Sebelum berlakunya UUPA terdapat hak milik atas tanah yakni hak milik menurut
Hukum Adat, yang disebut inlandsch bezitrecht dan hak milik menurut KUH Perdata
(BW), yang disebut dengan hak eigendom. Sekarang hanya dikenal suatu hak milik yaitu
hak milik menurut Hukum Adat (inlandsch bezitrecht) bersifat komunalistik religius,
maksudnya memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas
tanah yang bersifat pribadi yang mengandung unsur kebersamaan. Konsepsi komunalistik
religius di dalam Hukum Adat dapat dilihat dengan dikenalnya lembaga Hak Ulayat.
Sedangkan hak milik menurut KUH Perdata (BW) yang dimaksud dengan hak eigendom
adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat
bebas terhadap kebendaan tersebut, asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undangundang (Pasal 570). Hak milik itu merupakan droit inviolable et sacre yaitu tak dapat
diganggu gugat. Jadi sifatnya lebih menonjolkan kepentingan masyarakat (komunal).
Dari hubungan manusia dengan tanah dapat melahirkan hak-hak atas tanah. Hak
atas tanah menurut Hukum Adat dapat berupa hak persekutuan (Hak Ulayat) dan hak
perseorangan. Hak persekutuan atas tanah (Hak Ulayat) merupakan

suatu hak atas

sebidang tanah yang secara langung dikuasai oleh masyarakat Hukum Adat/persekutuan
adat. Hak atas tanah yang dikuasai/dimiliki oleh suatu persekutuan atau masyarakat adat
lazim disebut Hak Ulayat.

3.6 Sejarah Kepemilikan Hak Ulayat Atas Tanah Atas Tanah Tanah Adat

Dusun

Sianggunon
Konsepsi hukum tanah nasional sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 ayat 1
UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan:

51
Universitas Sumatera Utara

Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Dan dalam pasal 1 ayat 2 dinyatakan pula dengan tegas:
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional..
Jika dicermati pasal tersebut hukum tanah Indonesia mengandung sifat
komunialistis yakni tanah dalam wilayah negara merupakan tanah bersama milik seluruh
rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Di samping itu juga
menganut unsur religius yang ditunjukkan dalam pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang
angkasa Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan
karunia Tuhan Yang Masa Esa kepada bangsa Indonesia. Hukum tanah Indonesia
berdasarkan

Undang-Undang

Pokok

Agraria

Nomor 5

Tahun

1960

tersebut

mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah nasional
jangan sampai mengabaikan, melainkan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama. 33
Atas dasar tersebutlah para pewaris Tanah Ulayat Dusun Sianggunon meyakini
bahwa langkah mereka untuk mengolah wilayah ulayat tersebut sebagai tempat bermukim
dan juga sebagai sumber mata pencharian warga di sekitar wilayah Hak Ulayat tidak
salah, didasari oleh Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.

Pewaris Hak Ulayat

33

Ini bertumpu pada konsideran bahwa hukum agraria merupakan wujud dari Ketuhanan Yang
Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial sebagai azas kerohanian negara
dan cita-cita bangsa yang tercantum sebagai dasar negara dalam pembukaan UUD 1945. Lihat konsideran
UUPA Nomor 5 tahun 1960

52
Universitas Sumatera Utara

Dusun Sianggunon ini dahulunya menempatti wilayah ini sebagai Huta. 34 Pada zaman
dahulu,

parhutaan Sianggunon ini masih dikelilingi oleh pepohonan yang tergolong

pepohonan liar, yang tumbuh secara alami di wilayah parhutaan tersebut. Parhutaan ini
juga masih banyak berkeliaran binatang-binatang buas dan binatang berbisa, dan dipimpin
oleh seorang Raja Adat, atau sekarang lebih dikenal dengan nama Ketua Adat. 35 Ketua
adat inilah yang memiliki tugas untuk mengatur segala sesuatu yang akan dan harus
dilakukan oleh warga-warganya.
Dusun Sianggunon ini di tempati oleh penduduk, sekitar tahun 1902 dan orang
pertama yang menempati Wilayah Sianggunon ini adalah Opung Raja Malintang Siagian.
Beliaulah yang menjadi leluhur masyarakat setempat, yang dipercayai sebagai pemilik
awal Hak Ulayat Dusun Sianggunon tersebut. Beliau juga lah yang menurunkan Hak
Ulayat tersebut kepada para keturunannya. Dahulunya Tanah Ulayat ini dipergunakan
hanya sebagai tempat bermukim dan sebagai lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hak Ulayat adalah serangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah
tertentu yang merupakan ulayatnya, sebagai “lebensraum” para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, yang ada pada wilayah
tersebut. 36 Jadi dapat dikatakan masyarakat mengolah lahan tersebut untuk kepentingan
bersama dalam meningkatkan kesejahteraan para warganya, dan hal ini juga berlangsung
hingga saat ini.

34

Huta (Kampung) adalah tempat terkumpulnya beberapa rumah tempat kediaman warga.
Wawancara dengan Bapak. K.H Siagian (Salah seorang pemilik Hak Ulayat di Dusun
Sianggunon)
36
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakrta,
2003, hal. 57
35

53
Universitas Sumatera Utara

Meskipun sejak tahun 1902 Tanah Adat Sianggunon ini sudah ditempati dan di
manfaatkan warga, namun wilayah ini dapat dipastikan sebagai wilayah Tanah Ulayat
Raja Malintang Siagian dan keturunannya sejak tahun 1940-an. Dikatakan demikian
karena pemilik Hak Ulayat tersebut memiliki beberapa surat perizinan, seperti izin
membakar rumput, menebang pohon dan sebagianya di sekitar wilayah Ulayat, yang
dibuat dan diberi izin tertulis sekitar pertengahan tahun 1930-1940-an.
Jadi dapat dikatakan bahwa keabsahan para pemilik Hak Ulayat Dusun
Sianggunon ini didapat di pertengahan tahun 1930-1940-an. Dimulai dari ditempatinya
wilayah ini sekitar tahun 1902-an hingga pada tahun dimiliknya izin tertulis tersebut,
fungsi dari tanah Ulayat ini masih sama atau belum beralih fungsi. Fungsi dari Hak Ulayat
ini sendiri masih sama seperti pada masa awal kedatangan Raja Malintang Siagian, yakni
pemanfaatan sebagai lahan pemukiman dan juga lahan pertanian. 37 Namun semenjak
zaman penjajahan Belanda, wilayah Dusun Sianggunon ini selain sebagai wilayah
pemukiman dan pertanian, warga juga memanfaatkan wilayah Dusun Sianggunon ini
sebagai benteng pertahanan terhadap serangan bangsa Belanda.
Nama Dusun Sianggunon ini sendiri diberikan oleh Raja Malintang Siagian
ketika beliau peratma sekali menempati wilayah Tanah Adat tersebut. Nama Sianggunon
ini berasal dari Bahasa Batak daerah setempat yang bermakna “bagus;kesayangan”.38
Nama tersebut diberikan karena Tanah Ulayat Sianggunon diyakini akan dapat menjadi
tumpuan pengharapan bagi masyarakat setempat, karena dapat dijadikan sebagai sumber
mata pencaharian bagi para warga. Dan ini lah yang menjadikan tanah Sianggunon ini
menjadi Tanah Ulayat yang hingga sampai saat ini masih dapat dijadikan sebagai tempat
tinggal juga sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar.
37
38

Wawancara dengan Rangit Siagian (warga yang juga pemilik Hak Ulayat Dusun Sianggunon)
Wawancara dengan Lasmaito Siagian (warga yang juga pemilik Hak Ulayat Dusun Sianggunon)

54
Universitas Sumatera Utara

Dikarenakan Hak Ulayat yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat adat adalah
Hak kelompok masyarakat tersebut, yang dimana masyarakatnya memiliki hubungan
kekerabatan satu sama lain, dan mereka memiliki hubungan lahiriah dan batiniah dengan
tanah ulayatnya tersebut, 39 maka masyarakat pemilik Hak Ulayat ini meyakini bahwa Hak
mereka tersebut merupakan warisan dari leluhur mereka yakni Oppung Raja Malintang
Siagian. Dan pada umumnya pewaris Hak Ulayat Sianggunon yang terdahulu hingga saat
ini adalah Keturunan Oppung Raja Malintang Siagian yang juga bermarga Siagian.
3.7 Status dan Fungsi Hak Ulayat Sianggunon
3.7.1 Status dan Fungsi Hak Ulayat Sianggunon Pada Masa Penjajahan Belanda
Masa Penjajahan Belanda adalah masa dimana sistem kenegaraan
Republik Indonesia diadaptasi dari sistem yang diterapkan oleh sistem yang ada pada
negara-negara Eropa. Sama halnya dengan sistem tatanan Hukum Pertanahan,
sistemnya pun banyak di atur oleh sistem tatanan yang diterapkan oleh negara-negara
Eropa.
Teori Eropa merupakan penguasaan atas tanah berdasarkan pemikiran
orang eropa. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa lalu wilayah nusantara pernah
menjadi bahagian dari wilayah kekuasaan bangsa eropa sehingga hukum pertanahan
yang diterapkan oleh penguasa Eropa tersebut dipengaruhi oleh pemikiran orang
eropa. Sejarah eropa telah mencatat bahwa sebelum terjadinya Revolusi Prancis, di
Eropa berlaku doktrin bahwa raja adalah wakil Tuhan di bumi, sehingga pada masa itu
raja-raja di Eropa memiliki kekuasaan yang sangat tinggi untuk mengatur negaranya,

39

Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 179.

55
Universitas Sumatera Utara

bahkan raja dianggap berkuasa atas segala hal, raja adalah penguasa negara dan raja
pula berkuasa atas tanah-tanah di negaranya. 40
Seiring dengan berkuasanya bangsa-bangsa eropa di Indonesia, maka
pemikiran bahwa raja adalah penguasa mutlak atas tanah negara diberlakukan juga di
Indonesia oleh penguasa bangsa eropa tersebut. dalam hal ini Kalo mencatat sebagai
berikut:
Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja adalah
penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” atau Negara
adalah Saya, teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas tanah. Raja dianggap
sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori ini juga berlaku di
Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda memberlakukan teori
ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan
dengan demikian oleh karena raja takluk kepada pemerintahan kolonial, maka semua
tanah di negara jajahan dikonversi menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu
pemerintah Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik
penguasa kolonial. Dengan memberlakukan azas domein verklaring, dengan arti
bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi
tanah negara. Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanahtanah kepada perusahaan onderneming dengan skala besar. 41
Kebijakan pemberlakuan teori domein verklaring didasari atas alasanalasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang
40

Agus Salam Nasution, Teori Hukum Pertanahan yang Pernah Berlaku di Indonesia (Makalah),
Universitas Muhammadiyah, Medan. 2012.

41

Syafruddin Kalo, Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan Akibatnya Terhadap
Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan, Orde
Baru dan Reformasi, Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, t.t. hal. 3.

56
Universitas Sumatera Utara

mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah maka dengan sendirinya hak domein itu
juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang kedaulatan di Indonesia. 42
Teori ini sengaja diterapkan agar pemerintah Hindia Belanda dapat memiliki tanahtanah rakyat indonesia yang pada waktu hampir seluruhnya masih menerapkan sistem
hukum adat. Karena pemilikan atas tanah berdasarkan sistem adat tidak ada satupun
yang menyamai hak eigendom. 43
Dasar hukum pemberlakuan domein verklaring oleh pemerintah Hindia
Belanda di dasarkan kepada Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 118) yang terkait
dengan Agrarische Wet (staatblad 1870 nomor 55). Pasal 1 Agrarische Besluit
menetukan bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya
akan menjadi milik Negara. 44
Pada zaman penjajahan Belanda, wilayah Ulayat Sianggunon ini masih
tetap diakui sebagai Hak Ulayat warga keturunan dari Oppung Raja Malintang
Siagian. Namun tidak dapat dipungkiri, kuatnya

bangsa Belanda dalam

mempengaruhi sistem yang sudah ada, sedikit banyak membuat pewaris Hak Ulayat
merasa terusik dengan sistem yang dibuat oleh pemerintahan Belanda di Indonesia
pada masa itu.
Kebijakan pemerintahan Belanda dalam menerapkan domen velklering
tersebut tegas ditolak oleh pemilik Hak Uayat pada masa itu. Para warga yang juga
merupakan pewaris Hak Ulayat Dusun Sianggunon memilih tetap bertahan di wilayah
yang mereka klaim adalah wilayah Tanah Adat mereka, dan memfungsikan wilayah
42

Ibid, hal.7
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Bayang-Bayang Cultuurstelsel Dan Domein Verklaring Dalam
Praktik Politik Agraria, http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/11/07/ bayang-bayangcultuurstelsel-dan-domein-verklaring-dalam-praktik-politik-agraria/, (7 November 2008).
44
Heru Kuswanto, Hukum Agraria, (Modul) Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya,
2011, halaman 2.
43

57
Universitas Sumatera Utara

Tanah Adat Sianggunon tersebut sebagai benteng pertahanan mereka dalam melawan
serangan dari bangsa Belanda. 45
Pada masa ini, warga bergotong royong untuk membuat pertahanan berbentuk parik
(benteng)

keliling

perkampungan

sebagai

benteng

perlindungan

mencegah

marabahaya dari luar benteng. Benteng ini selain digunakan sebagai benteng
pertahanan dari penjajahan Belanda, juga digunakan sebagai penolak bala (begu-begu
dan roh-roh jahat) dan juga sebagai pertahanan untuk mencegah gangguan binatang
buas. 46
Parik ini biasanya dibuat dari tanah galian sekelilingnya dan batu yang
disusun beberapa bendungan/benteng mengelilingi kampung dengan ukuran yang
dianggap cukup kuat menghadapi segala kemungkinan buruk. Di atas dan di lereng
benteng (parik) ditanami pohon dan sekelilingnya ditanami bambu pagar (buluh). 47
Untuk pintu keluar masuk dibuatkan pintu gerbang yang dinamakn
Harbangan. Harbangan dibuat didua tempat yaitu di depan bentuk besar dan di
belakang ukurannya sedang. Harbangan dijaga secara bergantian siang dan malam
oleh peranggap (marari) 48. Adakalanya Harbangan digantungi sesuatu, bila dibuka
atau ditutup menimbulkan suara, maksudnya agar memberi tanda adanya orang keluar
ataupun masuk ke kampung tersebut.
3.7.2 Status dan Fungsi Hak Ulayat Sianggunon Pada Masa Kemerdekaan
Masa kemerdekaan adalah masa kejayaan bagi setiap masyarakat di Indonesia,
tak terkecuali warga Dusun Sianggunon yang dengan gigihnya memperjuangkan Hak
Ulayat mereka, yang sempat diganggu oleh kolonial Belanda. Sejak dikumandangkannya
45

Wawancara dengan Sardolok Siagian (Warga dan juga pewaris Hak Ulayat Dusun Sianggunon)
Ibid. Sardolok Siagian (Wawancara)
47
Op.cit. Rosmidar Sembiring, hal. 176
48
Op.cit. Rosmidar Sembiring, hal 176.

46

58
Universitas Sumatera Utara

kemerdekaan Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1945, maka sah lah status Hak
Ulayat Sianggunon yang sempat terganggu oleh kolonial Belanda, sebagai hak atas Tanah
Ulayat Sianggunon, yang dimiliki oleh turunan Oppung Raja Malintang Siagian. 49 Hak
mereka atas Tanah Adat tersebut, mereka manfaatkan dengan mengolah kembali lahanlahan pertanian, sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
Status kepemilikan Hak Ulayat atas Tanah Ulayat Dusun Sianggunon yang
mereka miliki tersebut di kuatkan dengan dirancangnya Undang-Undang Pokok Agraria
pada tahun 1960. Mengingat bahwa pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengatakan: “Bumi dan
air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, maka dapat dipahami bahwa segala tanah air
Indonesia berada di bawah kekuasaan negara, dan sebagai konskwensinya negara
berkewajiban untuk mempergunakan tanah air tersebut bagi kemakmuran rakyatnya.
.
Tanah memang menjadi hal penting dalam kehidupan manusia, untuk itu penting
diatur keberadaannya, dan negara sebagai penguasa tanah bertanggungjawab untuk
membuat peraturan tentang pertanahan tersebut. maka setelah Indonesia merdeka dan
situasi politik agak normal, pada tanggal 24 September 1960 disusunlah UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan
Undang Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA sebagai turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengandung asas (prinsip)
bahwa semua hak atas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah
“dapat dicabut untuk kepentingan umum”. prinsip ini tertuang dalam pasal 2 dan pasal 18
UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang
49

Wawancara dengan Bapak K.H Siagian (Warga dan Pewaris Tanah Ulayat Sianggunon)

59
Universitas Sumatera Utara

mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga
hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga
pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan
menerapkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UUPA tersebut. 50
Dengan demikian Menurut Syafruddin Kalo, “pemerintah menjadi pihak yang
wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang
muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa”. 51
Kewenangan keagrariaan ada pada pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat
dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum
adat. 52
Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria ini, Hak Ulayat yang
dimiliki warga dapat terjamin, dikarenakan

Undang-undan ini yang mengatur dan

melindungi mereka sebagai pemilik Hak Ulayat tersebut. Dan dengan adanya Undangundang ini warga dapat mempergunakan lahan terseebut sebagai lahan pertanian dan
pemukiman, dengan tujuan mensejahterakan hidup masing-masing penduduk.

3.7.3 Status dan Fungsi Hak Ulayat Sianggunon Pada Masa Orde

Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. 53 Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966
hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat
50

Op.cit, syafaruddin Kalo, hal.3.
Ibid, Syafaruddin Kalo, hal.3
52
Op.cit, Syafaruddin Kalo, hal 7
53
www.wikipedia.com
51

60
Universitas Sumatera Utara

meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini.
Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan
secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.

Semenjak Orde Baru, namun baru merebak setelah era reformasi, banyak
terjadi konflik dalam pemanfaatan tanah ulayat ini. Permasalahan utamanya adalah
penggunaan tanah ulayat (menurut masyarakat) oleh investor, terutama untuk perkebunan,
namun tidak melibatkan masyarakat setempat. Ini terjadi karena ”dualisme hukum”,
meskipun UUPA disusun untuk menghapuskan dualisme ini. Akar permasalahannya
adalah ”dualisme” yang sedari awal mestinya diluruskan. Seharusnya, hukum cukup satu,
yaitu hukum negara, namun hukum negara tersebut disusun berdasarkan spirit hukum
adat, mungkin ditambah spirit hukum-hukum lain (misalnya agama). 54 Jika kita
konsekuen dengan satu hukum (UUPA sebagai payungnya), maka begitu negara Republik
Indonesia ada, seluruh hak ulayat itu diserahkan ke negara. Kemudian, untuk
pemanfaatannya berpedoman kepada prinsip ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Negaralah yang memegang hak ulayat, bukan kelompok-kelompok masyarakat.
Tampaknya selama ini ada kekhawatiran bahwa jika hukum negara yang dipakai akan
bertolak belakang dengan persepsi rakyat dan tidak akan menyerap sistem dan prinsip
hukum masyarakat yang telah lama eksis (yaitu hukum adat). Akibat ”dualisme” ini,

54

Syahyuti, Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Pengembangan Agribisnis Perkebunan (Arttikel)

TT.

61
Universitas Sumatera Utara

maka terjadi tumpang tindih antara apa yang disebut dengan ”tanah negara” dengan
”tanah ulayat” pada tanah yang persis sama.

Menurut negara, tidak ada tanah adat, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan
eigendomnya adalah tanah negara. Sebaliknya, menurut hukum adat pada dasarnya tak
ada tanah negara, yang ada hanyalah Tanah Ulayat (tanah adat). 55

Menurut hukum positif, ”tanah negara” adalah bidang-bidang tanah yang belum
ada hak atas tanah atau bekas hak yang habis masa berlakunya. Tanah ini langsung
dikuasai negara dan berfungsi untuk kepentingan publik atau perlindungan. Disini
termasuk tanah-tanah bentukan baru berupa tanah oloran, tanah endapan baru di pantai
maupun sungai atau tanah timbul dan sebagainya. Negara menjadi organisasi kekuasaan
tertinggi untuk mengelola tanah dan sumber daya alam lainnya sebagai aset bangsa. Pada
prinsipnya, konsep Hukum Tanah Nasional adalah konsepsi hukum adat yang
ditingkatkan cakupannya meliputi semua tanah diseluruh wilayah Indonesia.

D