Keberadaan Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir

(1)

KEBERADAAN HAK ULAYAT DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU

KABUPATEN TOBA SAMOSIR

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

LIMEI PASARIBU 097011039

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEBERADAAN HAK ULAYAT DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU

KABUPATEN TOBA SAMOSIR

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

LIMEI PASARIBU 097011039

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : KEBERADAAN HAK ULAYAT DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU KABUPATEN TOBA SAMOSIR

Nama Mahasiswa : LIMEI PASARIBU

Nomor Induk Mahasiswa

: 097011039

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum.

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota

Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn Anggota

Ketua Program Dekan Fakultas Hukum

Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum.


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS, CN 2. Notaris Syahril Sofyan, SH. MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 4. Dr. Idha Alprilliana, SH, M.Hum


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Limei Pasaribu

Nim : 097011039

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : KEBERADAAN HAK ULAYAT DALAM MASYARAKAT

HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU KABUPATEN TOBA SAMOSIR

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apa pun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak mana pun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, 10 September 2011 Yang membuat Pernyataan

Nama : Limei Pasaribu NIM : 097011039


(6)

A B S T R A K

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir merupakan masyarakat hukum adat yang masih memiliki tanah ulayat. Akan tetapi dalam kenyataannya luas wilayah hak ulayat tersebut mengalami penurunan karena penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Pengambilalihan tersebut menimbulkan masalah ekonomi bagi masyarakat Batak Toba karena tidak dapat lagi memanfaatkan tanah dan hutan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Udang-Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskritif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Pemilikkan hak atas tanah terdiri dari pemilikan tanah secara bersama (ripe-ripe), hak ulayat marga dan hak perorangan (individual). Kepemilikan tanah secara bersama-sama (ripe-ripe) dan hak ulayat dalam masyarakat Nassau semakin menurun sebagai akibat dari semakin menonjolnya pemilikan tanah secara perorangan (fragmentasi). Selanjutnya menurut hukum adat, tanah dengan pemiliknya mempunyai hubungan yang bersifat magis religius sehingga tanah jarang diperjualbelikan. Dengan demikian menunjukkan bahwa tanah-tanah sudah merupakan suatu komoditi yang setiap saat dapat diperjualbelikan sebagaimana terjadi didaerah-daerah perkotaan sehingga nilai magis religius tanah telah bergeser ke arah nilai ekonomis (komersial). Hal ini menunjukkan juga bahwa masyarakat semakin berkeinginan untuk memiliki tanah secara perorangan terlepas dari tanah (ripe-ripe) agar tanah dapat diperjualbelikan. UUPA menekankan pentingnya pendaftaran tanah sehingga nilai kepastian hukum melalui pembuktian hak secara tertulis itu mulai menggeser nilai hukum adat berupa sifat hukum adat tradisional yang tidak tertulis.


(7)

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat dan hidayatNya serta kasihNya yang sangat luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian tesis

ini, dengan judul “KEBERADAAN HAK ULAYAT DALAM

MASYARAKAT HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU KABUPATEN TOBA SAMOSIR”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sedalam – dalamnya, kepada yang sangat terhormat dan terpelajar, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Ketua Komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN serta Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat, bimbingan serta pengarahan kepada saya, dalam penulisan tesis ini. Demikian pula ucapan terima kasih kepada Dosen Penguji Ujian Tesis Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., CN, M.Hum., dan Ibu Dr. Idha. Alprilliana, SH., M.Hum. Dan juga semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sehingga tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.


(9)

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S., CN., selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (MKn) dan Ibu Dr. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum. selaku Sekretaris Pascasarjana Magister Kenotariatan (MKn) dan Dosen Penguji, Ibu Idha Aprilliana, SH, Mhum selaku dosen penguji, berserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing.

5. Bapak Notaris Dr. H. Syahril Sofyan, SH, MKn selaku dosen penguji.

6. Ibu Rosma Magdalena Kepala Badan Pertanahan Nasional Balige Tobasamosir yang telah membatu dan bersedia memberi informasi pada saat wawancara. 7. Bapak Lisber Sipahutar Sekretaris Camat Kecamatan Nassau Kabupaten


(10)

8. Bapak Saut Tua Siagian Kepala Desa Napajoring yang telah membatu dan bersedia memberi informasi pada saat wawancara.

9. Bapak Bintasa Lumbantoruan Kepala Desa Lumban Rau Utara yang telah membatu dan bersedia memberi informasi pada saat wawancara.

10. Bapak Walton Tambunan Kepala Desa Sipagabu yang telah membatu dan bersedia memberi informasi pada saat wawancara.

10.Bapak Henneri Siagian Kepala Desa Liattondung yang telah membatu dan bersedia memberi informasi pada saat wawancara.

11.Bapak Sondang Siagian Kepala Desa Siantarasa yang telah membatu dan bersedia memberi informasi pada saat wawancara.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang penulis sayangi :

1. Ayahanda Drs. Osman Pasaribu dan Ibunda Koima Siagian, Amd yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, juga buat saudara-saudaraku tercinta Bang Harul Nasib Pasaribu, ST; Bang Cardoes Pasaribu; pa nova dan mama nova; ade Dedi Pasaribu berserta keponakan-keponakan saya tercinta.

2. Yang tercinta Hermanto Marbun, S.H (bang Bram) terima kasih atas kesabaran, perhatian, dukungan, bantuan dan motivasinya selama penulisan tesis ini.

3. Terima Kasih yang mendalam kepada Sahabat-sahabat terbaikku Sari Fitri Daulay, Ramadani Fitri Manurung, Kak Nurul Mariati, dan Kak Rahminita Sembiring, kita akan gapai bintang tertinggi kita.


(11)

4. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, 02 Agustus 2011 Hormat saya,


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Limei Pasaribu

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Tempat/tanggal Lahir : Seibuah Keras/ 16- Mei-1986

Alamat :Jl. Sei Padang Gg. Saudara No. 4 Medan

Nama Orang Tua :

Ayah : Drs. Osman Pasaribu Ibu : Koima Siagian, AMd Abang :

1. Harul Nasib Pasaribu, ST 2. Cardoes Franatal Pasaribu Kakak :

Dewi Florida Pasaribu Adik :

Dedy Frayugo Pasaribu PENDIDKAN :

1992-1998 : SDN NO 014703 SIDOMULYO MEDANG DERAS

1998-2001 : SLTPN 2 BANDAR KHALIPAH DELI SERDANG

2001-2004 : SMA SANTA MARIA 2 BANDUNG

2004-2008 : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PALANGKA

RAYA, KALIMANTAN TENGAH

2009-2011 : PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIAATAN


(13)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1. Luas wilayah menurut desa/kelurahan tahun 2008………… 35

Tabel 2. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dirinci

menurut desa/kelurahan tahun 2008………. 36


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 18

1. Kerangka Teori ... 18

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 30

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan ... 30

2. Lokasi Penelitian ... 31

3. Sumber Data ... 31

4. Teknik Pengumulan Data ... 31

5. Alat Pengumpulan Data ... 33


(15)

BAB II KEBERADAAN HAK ULAYAT DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU KABUPATEN TOBA

SAMOSIR ... 34

A. Diskripsi Penelitian ... 34

1. Kondisi Wilayah ... 34

2. Keadaan Demografi/penduduk ... 36

3. Penggunaan Tanah ... 36

B. Hak Ulayat ... 38

1. Istilah Hak Ulayat ... 38

2. Sejarah Hak Ulayat ... 39

3. Keberadaan Hak Ulayat ... 50

C. Hubungan Hak Ulayat (persekutuan) dengan Hak Perseorangan ... 63

1. Hak ulayat (persekutuan) ... 63

2. Hak perseorangan ... 66

D. Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ... 72

1. Dasar pengakuan hak ulayat ... 72

2. kriteria penentu adanya hak ulayat ... 79

BAB III POLA PENGUASAAN DAN PERUNTUKAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU KABUPATEN TOBA SAMOSIR ... 93

A. Pola Penguasaan Hak ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat ... 93

B. Pola Peruntukan Hak Ulayat (Tanah Golat/ Tanah Adat) ... 106

1. Milik bersama (ripe-ripe) dan milik perorangan ... 106


(16)

C. Sifat Pimpinan Kepala-kepala Rakyat ... 112

BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN MASYARAKAT BATAK TOBA UNTUK MELINDUNGI HAK ULAYAT DI KECAMATAN NASSAU KABUPATEN TOBA SAMOSIR ... 114

A. Memelihara dan Mempertahankan Hak Ulayat ... 114

B. Pendaftaran Tanah Ulayat Masyarakat Batak Toba pada Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir ... 117

C. Kendala-kendala Yuridis dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak Ulayat Pada Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir ... 119

D. Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah Oleh Masyarakat Batak Toba Kepada Pihak Lain ... 122

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN


(17)

A B S T R A K

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir merupakan masyarakat hukum adat yang masih memiliki tanah ulayat. Akan tetapi dalam kenyataannya luas wilayah hak ulayat tersebut mengalami penurunan karena penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Pengambilalihan tersebut menimbulkan masalah ekonomi bagi masyarakat Batak Toba karena tidak dapat lagi memanfaatkan tanah dan hutan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Udang-Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskritif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Pemilikkan hak atas tanah terdiri dari pemilikan tanah secara bersama (ripe-ripe), hak ulayat marga dan hak perorangan (individual). Kepemilikan tanah secara bersama-sama (ripe-ripe) dan hak ulayat dalam masyarakat Nassau semakin menurun sebagai akibat dari semakin menonjolnya pemilikan tanah secara perorangan (fragmentasi). Selanjutnya menurut hukum adat, tanah dengan pemiliknya mempunyai hubungan yang bersifat magis religius sehingga tanah jarang diperjualbelikan. Dengan demikian menunjukkan bahwa tanah-tanah sudah merupakan suatu komoditi yang setiap saat dapat diperjualbelikan sebagaimana terjadi didaerah-daerah perkotaan sehingga nilai magis religius tanah telah bergeser ke arah nilai ekonomis (komersial). Hal ini menunjukkan juga bahwa masyarakat semakin berkeinginan untuk memiliki tanah secara perorangan terlepas dari tanah (ripe-ripe) agar tanah dapat diperjualbelikan. UUPA menekankan pentingnya pendaftaran tanah sehingga nilai kepastian hukum melalui pembuktian hak secara tertulis itu mulai menggeser nilai hukum adat berupa sifat hukum adat tradisional yang tidak tertulis.


(18)

(19)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Bila dipelajari sejarah kehidupan manusia, dari nenek moyang manusia pertama yang mendiami dunia ini tanah telah menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia.

Tanah merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup manusia bukan saja berfungsi sebagai tempat berdiam, mendirikan rumah, tempat berusaha atau tempat dimana jasad mereka dikubur, tetapi juga merupakan sumber kekuasaan dan jaminan hidup bagi suatu bangsa. Seperti diketahui Indonesia merupakan negara agraris dimana tanah sangat menetukan bagi kelangsungan hidup rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat 3 berbunyi:

“Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Realisasi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 melahirkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 yang disingkat dengan UUPA yang merupakan hukum Agraria Nasional yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pada zaman pemerintahan Belanda pelaksanaan terhadap peraturan-peraturan tentang tanah atau disebut juga dengan Agrarische Wet diatur lebih lanjut dengan bergabagi peraturan dan keputusan. Salah satu peraturan yang


(20)

terkenal adalah Pasal 1 Agrarische Besluit yang disebut juga dengan asas domein verklaring (pernyataan domein). Di dalam Asas domein verklaring menyebutkan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu tanah eigendom, adalah domein negara1. Domein negara dimaksudkan adalah menjadi milik negara, pernyataan ini mengakibatkan setiap hak ulayat yang tidak kuat alas haknya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara. Moh. Tauchid dalam buku Loekman Sutrisno yang dikutip kembali oleh Muhammad Yamin menyatakan bahwa Tanah Ulayat (komunal) sesungguhnya bukan asli Indonesia, melainkan diperkembangkan oleh kompeni untuk memudahkan jalannya Levercien dan contigenten2

Kepercayaan-kepercayaan masyarakat adat yang sudah lebih dahulu memanfaatkan tanah yang ada untuk kepentingan yang disebut juga sebagai budaya atau hukum adat dianggap dapat menghambat program percepatan terwujudnya pembangunan yang dilaksanakan pemerintah

. Hal ini tidak sesuai dan bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masyarakat adat yang memiliki kenyakinan bahwa tanah ulayat (komunal) tersebut merupakan tanah pusaka yang mereka milik turun-temurun dari nenek moyang yang didapat sebelum kompeni datang dan menjajah Indonesia.

3

1

Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria, Sedjarah Penyusun, Isi, dan Pelaksanaannya, PT. Djambatan, Jakarta,1968, hl.26

, sehingga menimbulkan pertentangan. Pertentangan semacam ini hampir terjadi merata di

2

Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Perss, Medan, 2003, hal.113

3


(21)

setiap masyarakat pedesaan saat ini apalagi setelah dibukanya daerah pedesaan tersebut untuk kepentingan investasi yang dibuka lebar oleh pemerintah4

Hubungan manusia dengan tanah sangat erat sekali, karena secara ritual dapat dikatakan bahwa manusia tercipta dari tanah dan akhirnya kembali ketanah. Sehingga tanah adalah suatu yang penting sekali dalam kehidupan manusia. Terlebih lagi bagi Bangsa Indonesia yang masyarakatnya bercorak agraris, dimana tanah merupakan unsur yang esensial bagi segala aspek kehidupannya.

.

Selanjutnya manusia pada suatu daerah atau tempat semakin hari semakin bertambah. Apalagi kalau dikaitkan dengan pembangunan fisik dan prasarana yang dibutuhkan untuk kepentingan umum seperti, jalan, jembatan, sekolah, perindustrian, gedung-gedung perkantoran, pertambangan, kepariwisataan serta sarana umum lainnya.

Masalah tanah adalah masalah yang semakin sensitif bagi manusia pada umumnya dan masyarakat Sumatera Utara dan lebih khusus lagi masyarakat di Kecamatan Nassau. Karena disamping itu tanah dapat juga menentukan kedudukan dan status seseorang atau kaum dalam masyarakat.

Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga perlu adanya suatu peraturan yang mengatur tentang pertanahan. Baik itu tentang penggunaan, peruntukan, penguasaan dan kepemilikan dari tanah tersebut. Oleh karena itu dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960, yang merupakan suatu pencerahan dalam sistem Agraria di Indonesia, selain itu adanya dualisme dalam bidang hukum pertanahan yaitu berlakunya hukum adat disamping hukum agraria

4


(22)

yang didasarkan atas hukum barat. Oleh karena itulah dirasakan perlunya Hukum Agraria yang seragam dan bersifat nasional dalam hal ini UUPA.

Pasal 5 UUPA berbunyi sebagai berikut: “ Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasioanal dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta aturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang berdasarkan hukum agama“.

Pasal 5 ini adalah merupakan “Penegasan” bahwa Hukum Adat dijadikan dasar dari hukum yang baru. Pengakuan keberadaan hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar karena hak ulayat berserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pasal 3 UUPA menegaskan pengakuan tersebut dengan menyebutkan “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak- hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada sehingga sesuai dengan kepentigan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang- undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.5

Ketentuan ini pertama-tama berpangkal adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam

keputusan-5

A.P. Parlindungan,Pengembangan Hak Ulayat Dalam Hukum Pertanahan, Proyek BPN, 1997. hal. 13.


(23)

keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam undang-undang dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria, hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan. Berhubungan dengan disebutnya hak ulayat itu di dalam UUPA, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.

Pasal 3 UUPA telah memberikan batasan-batasan yang berlaku untuk seluruh hak yang sejenis hak ulayat yang terdapat diseluruh Indonesia secara nasional disamping tentu ada pembatasan-pembatasan yang khusus yang berlaku di daerah/wilayah itu sendiri.

Pasal 3 ini juga harus dikaitkan dengan pasal 58 UUPA yang berbunyi sebagai berikut :

Selama peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah yang ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengn itu. 6

Hak ulayat mempunyai hubungan yuridis dengan hak menguasai negara. Ini dapat dilihat dari hak- hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah

6


(24)

Nasional disusun dalam tata susunan berjenjang seperti hukum tanah adat sebagai berikut:7

1. Hak Bangsa, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, mengandung baik unsur perdata maupun publik dan merupakan sumber utama bagi hak- hak penguasaan atas tanah yang lain, yang meliputi semua tanah dalam wilayah Negara sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa Kepada Rakyat Indonesi, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA;

2. Hak Menguasai dari Negara, yang merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penguasaan pelaksanaan Hak Bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua tanah dalam wilayah Negara, sebagai yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- undang Dasar 1945 dan Pasal 2 UUPA.

3. Hak Ulayat Masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, yang merupakan hak penguasaan atas tanah yng meliputi bidang tanah bersama dalam suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup dan kehidupan bersama bagi para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sebagai yang disebut dalam Pasal 3 UUPA;

4. Hak- hak Perorangan (individual) yang merupakan kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu berupa:

a. Hak- hak atas tanah, yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang hak guna memenuhi kebutuhan pribadi dan

7

Boedi Harsono, Hukum Agraria (Sejarah Pembentukan Undang- undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), edisi 1999, cetakan kedelapan Djambatan, Jakarta.


(25)

usahanya, sebagai yang disebut dalam Pasal 4, 6 dan 16 UUPA serta pasal- pasal lainnya;

b. Hak atas tanah wakaf, yang merupakan hak penguasaan atas suatu bidang tanah tertentu yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaan dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya ajaran Hukum Islam, sebagai yang disebut dalam Pasal 49 UUPA.

Jelaslah bahwa hak ulayat mempunyai tempat dan tata susunan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional. Pembatasan pengakuan hak ulayat dengan kata- kata “Sepanjang menurut kenyataannya masih ada” menunjuk kepada kenyataan bahwa dalam perkembangan masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan hak ulayatnya banyak yang sudah tidak ada lagi. Hak Ulayat dalam lingkup intern masyarakat hukum adatnya tetap merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, tetapi tidak demikian lagi dalam lingkup nasional8

Sekali lagi hubungan yuridis hak ulayat dengan hak menguasai negara dapat dilihat sebaga berikut:

.

Pertama secara konsepsi, hak menguasai negara atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkadung didalamnya diakui berasal dari konsepsi hak ulayat yang diangkat ke tingkat yang lebih luas/tinggi yakni meliputi seluruh wilayah Indonesia, jadi kalau dikatakan, bahwa konsep hak menguasai

8

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah), edisi 2000, cetakan ke- 14, Djambatan, Jakarta.


(26)

negara mencabut konsep domein verklaring, secara esensial yang sebetulnya konsep hak ulayat.

Kedua, pernyataan berlakunya hukum adat sebagai hukum agraria atas bumi, air dan kekayaan alam didalamnya (Pasal 5). Walaupun pernyataan pengakuan hukum adat tersebut harus memenuhi persyaratan yang ketat, seperti tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, namun sebagai kerangka acuan sebetulnya sudah membuka peluang bagi masyarakat untuk membuktikan mereka. Dengan bukti masih ada dan efektifnya hukum adat itu ditengah-tengah masyarakat, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengakuinya.

Ketiga, terkait dengan pernyataan berlakunya hukum adat tersebut diatas, lantas UUPA juga mengkhususkan pengakuannya lebih lanjut terhadap hak ulayat. Pengakuan ini juga mensyaratkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3).

Keempat, khususnya dalam konteks otonomi daerah, Pasal 2 ayat (4) UUPA menegaskan, bahwa hak menguasai negara dapat dilimpahkan pelaksanaannya kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Hal ini berarti, ketika hak menguasai negara itu diserahkan kepada masyarakat hukum adat, maka tentunya yang akan berlaku adalah konsep hak ulayat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Untuk itu pemerintah telah menyediakan perangkat hukum sebagai pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional dan langkah – langkah penyelesaian masalah yang menyangkut Hak Ulayat dengan


(27)

menerbitkan PMAN/KBPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan Menteri tersebut memberikan porsi yang sangat besar kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan jiwa dan maksud Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dengan dikaitkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1960, kewenangan mengatur tanah dan hak ulayat itu berada pada Pemerintahan Kabupaten/Kota. karena itu untuk menentukan dan menetapkan ada tidaknya Hak Ulayat penelitiannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Penelitian tersebut dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat dengan mengikut sertakan Ketua dan Ketua Adat, para pakar hukum adat, lembaga swadaya masyarakat para Akademis/Perguruan Tinggi, instansi- instansi pemerintah terkait serta para pihak atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat lebih lanjut apa secara nyata Hak Ulayat itu masih ada dengan menguji beberapa unsur atau variabel yang ada sesuai dengan PMA/KBPN No. 5 Tahun 1999, yaitu :

1. Masih adanya unsur masyarakat hukum adat, yang dirincikan terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui, menerapkan dan mematuhi ketentuan-ketentuan tersebut dalam kehidupan sehari-sehari.


(28)

2. Adanya unsur wilayah, yaitu terdapatnya Tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan tempat hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari-hari.

3. Unsur hubungan antar masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yang dicirikan terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan Tanah Ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan mneggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Sedangkan penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Hak Ulayat oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai meneurut ketentuan UUPA.

Disamping memberikan pengakuan konkrit terhadap hak ulayat, PMA/KBPN No. 5 Tahun 1999 juga telah membuka peluang bagi daerah-daerah yang betul-betul masih ada/nyata hak ulayatnya.

Pengakuan pengelolaan dimaksud tentu harus berdasarkan hukum adat yang betul-betul ditegakkan oleh masyarakatnya, agar misi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan.


(29)

Semua bidang tanah yang dikatakan tanah hak ulayat desa, adalah berupa tanah hutan, termasuk hutan larangan yang diserahkan pengawasannya kepada desa yang bersangkutan, seperti tanah hutan, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah yang berada dalam wilayah batas desa bersangkutan, yang dikuasai oleh desa.

Seperti diketahui bahwa konsepsi tanah adat dapat dirumuskan sebagai yang komunalistik, religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sedangkan hak ulayat itu sendiri menunjuk pada sifat yang komunalistik yakni adanya hak bersama daripada anggota masyarakat hukum adat yang teritorial juga dapat berupa masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga.9

Apabila keberadaan tanah adat dan Hak ulayat diakui suatu daerah, tidak berarti pengakuan demi kepentingan masyarakat hukum adat semata-mata, melainkan karena hak itu masih relevan bagi mereka dalam rangka kepentingan bangsa dan negara tanpa diskriminasi.10

Pada umumnya hak ulayat terdapat diseluruh wilayah Indonesia dan keberadaannya digantungkan pada dasar persekutuan yang ada, karenanya hak

9

Moshedayan Pakpahan, Tanah Adat Di Daerah – Daerah Indonesia, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1998, hal. 1 Dalam Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah), edisi 2000, cetakan ke- 14, Djambatan, Jakarta.

10

Djamanat Samosir, Eksistensi Hak Ulayat Di Daerah Samosir Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara, Tesis,1995, Program PPS USU Medan, hal 97


(30)

ulayat hanya ada pada persekutuan teritorial dan persekutuan geneologis teritorial.11

Dengan demikian juga, karena dasar ikatannya berbeda-beda pada tiap-tiap masyarakat hukum adat, maka cara pengaturannya pun berbeda. Sebagaimana kita ketahui masyarakat hukum adat sebagaimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk.12

Istilah tanah hak ulayat di berbagai daerah berbeda seperti “wawengkon” (Jawa), “torluk” (Angkola), “ulayat” (Minangkabau), “tanah marga” (Lampung), “panyampeto” atau “pewatasan” (Kalimantan), “limpo” (Sulawesi Selatan), “tatabuan” (Bolaang Mangondow), “patuanan” (Ambon), “paer” (Lombok), “prabumian” atau “payer” (Bali).

13

Jadi istilah hak ulayat sebagai hak komunal berasal dari masyarakat Minangkabau (di Sumatera Barat). Hak-hak sejenis yang ada di lingkungan hukum adat lain memberikan sejenis hak kepada masyarakatnya atas tanah dilingkungannya. Secara bersama mereka berhak memanfaatkannya bagi keperluan sendiri sedangkan masyarakat hukum adat lainnya hanya boleh mengambil manfaat dari tanah-tanah tersebut itupun atas izin ketua adat. Meskipun istilah yang dipakai berbeda sama- sama memberikan suatu pengertian tentang hak dari anggota masyarakat hukum adat (sama dengan ulayat), tetapi

11

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.12.

12

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta,1981, hal. 52.

13

Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 181.


(31)

bukan berarti harus mengambil kriteria hak ulayat dari daerah Minangkabau untuk daerah lain.

Dengan demikian istilah hukum yang resmi dari hak-hak yang sejenis dengan hak ulayat adalah Hak Ulayat, sebagaimana sudah dituangkan dalam Pasal 3 UUPA. Jadi pengertian hak ulayat itu tidaklah hanya hak yang terdapat di Sumatera Barat(Minangkabau) saja, atau hanya menunjuk suatu hak ulayat untuk masyarakat Minangkabau saja, tetapi adalah suatu hak pembentukan dan masyarakat yang terdapat diseluruh Indonesia.14

Pasal 3 UUPA telah memberikan batasan-batasan yang berlaku untuk seluruh hak yang sejenis hak ulayat yang terdapat di seluruh Indonesia secara nasional dan tentunya ada pembatasan-pembatasan yang khusus yang berlaku di daerah/wilayah itu sendiri.

Pelepasan Hak ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau diterlantarkan sehingga Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan yang bersangkutan sepanjang Hak Ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai kriteria tersebut diatas.

PMAN/KBPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Memuat kebijaksanaan yang memperjelas

14

A.P. Parlindungan, 1997, Komentar Atas Undang- undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. hal. 1.


(32)

prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UUPA.

Kebijaksanaan tersebut meliputi:

a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)

b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).

c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal 4)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagimana yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana keberadaan hak ulayat pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba Samosir saat ini?

2. Bagaimana pola penguasaan dan peruntukan hak ulayat di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan masyarakat Batak Toba untuk melindungi hak ulayat di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :


(33)

1. Untuk memperoleh data dan informasi keberadaan hak ulayat pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pola penguasaan dan peruntukan hak ulayat di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir .

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya yang dilakukan masyarakat Batak Toba untuk melindungi hak ulayat di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir.

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini akan memperluas cakrawala pengetahuan tentang hukum adat, khususnya mengenai lembaga Hak Ulayatsetelah PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999. Apalagi literatur tentang materi yang bersangkutan belum ada yang lengkap atau minim sekali membicarakan topik seperti tersebut di atas yang dapat ditemui dalam kepustakaan, terutama dari tinjauan atau kacamata seorang Sarjana Indonesia. Harus diakui bahwa memang banyak didapatkan inspirasi dari para sarjana asing, namun dirasakan adanya kejanggalan atas pandangan yang mereka ajukan, karena mereka terlihat dari kacamata peraturan yang berlaku di negerinya dan menurut sistem dan teori yang mereka anut. Dengan demikian penelitian ini dapat pula memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya yang membicarakan hak-hak adat termasuk hak ulayat tersebut.


(34)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu penyelesaian masalah- masalah hukum yang timbul sehubungan dengan diterapkannya ketentuan tentang “Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, dengan cara memberikan input kepada Pemerintah menyangkut upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pelaksanaan hak ulayat tersebut disamping itu diharapkan bahwa materi yang bersangkutan sangat diperlukan dalam rangka pembangunan dan pengembangan hukum nasional.

E.Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengetahuan dan informasi yan diperoleh dari perpustakaan pada saat dilaksanakan penelitian, ternyata belum ada dilakukan penelitian tentang Perkembangan Keberadaan Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat Pada Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir, kalau pun ada lokasinya objeknya berbeda dan tentu pengaturannya juga berbeda sesuai dengan hukum adatnya masing- masing maka keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Penelitian tentang hak ulayat pernah juga dilakukan oleh beberapa peneliti, tetapi disamping lokasi, objek dan cakupan penelitiannya berbeda:

1. Penelitian oleh Eviandi tahun 1997, judul: Eksistensi Tanah Adat (Ulayat) Dalam Sistem UUPA (Studi Kasus di Kabupaten Agam Sumbar), yang ditikberatkan pada aspek hukum agraria.


(35)

Permasalahannya, apakah kedudukan tanah-tanah adat (ulayat) yang diatur oleh hukum adat setempat sesuai dengan system UUPA? Temuan; Tanah ulayat di Kabupaten Daerah Tingkat II Agam yang dalam keberadaannya diatur oleh Hukum Adat masih relevan dan tidak bertentangan dengan sistem UUPA.

2. Penelitian oleh Yulia Mirwati Tahun 1993, judul” Suatu tinjauan Tentang Tanah Ulayat Sebagai Jaminan Kredit Bank Setelah Berlakunya UUPA di Daerah Kotamadya Payakumbuh”. dititikberatkan pada aspek hukum agraria.

Permasalahannya, bagaimanakah pelaksanaan pengikatan tanah ulayat sebagai jaminan kredit dalam praktek perbankan? Temuan; Terhadap tanah ulayat yang telah terdaftar (bersertifikat) dengan status hak milik kaum, ketentuannya sama dengan ketentuan hak tanggungan pada umumnya (UUPA, KUHPerdata dan UUPerbankan).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,15

15

J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203

dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak

16

Ibid., hal. 16.


(36)

benarannya.16 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.17

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis tentang keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat Batak Toba ini adalah Teori Kepastian Hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu pendaftaran tanah harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.

Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.18

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

19

18

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 49-50. 19

Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yoayarkta, 1988, hal. 58.

20

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, 1982, hal. 163.

21


(37)

Menurut Radbruch dalam Theo Huijbers:20

Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan.

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan:

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).21

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan payung hukum tertinggi terhadap pengakuan hak-hak masyarakat dalam mempergunakan berbagai sumber kekayaan yang ada dibumi, seperti hutan dan tanah atau lahan yang tujuannya sebesar-besar kemakmuran rakyat.


(38)

Pasal 5 Undang – undang Pokok Agraria Tahun 1960 menyebutkan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepajang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama.

Pasal ini memberikan kejelasan kepada kita bahwa hukum adat yang berlaku di dalam ketentuan ini bukanlah merupakan hukum adat yang murni akan tetapi hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang telah beradaptasi dengan situasi dan keadaan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga tidak dimungkinkan dikembangan hukum adat yang murni.

Dalam lingkungan hukum adat, tanah memiliki fungsi yang sangat fundamental, tidak semata- mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk sedimikian rupa melainkan juga sebagai tempat untuk mempertahankan hidup atau modal esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, selaku terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara hak-hak seseorang sebagai anggota masyarakat dengan hak-hak masyarakat secara umum atas tanah yang ditempati.

Pendaftaran hak atas tanah menimbulkan hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah, sebagaimana pendapat Pitlo yang dikutip Abdurrahman berikut ini:


(39)

Pada saat dilakukannya pendaftaran tanah, maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum, sejak saat itulah pihak-pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dimaksud, untuk mana ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.22

Pemerintah dalam hal melakukan pendaftaran tanah telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksanaannya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah beserta petunjuk teknis dalam pendaftaran tanah dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran atau Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Dalam hal pendaftaran tanah dikenal beberapa sistem pendaftaran yang dianut banyak negara yang telah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Sudah menjadi politik hukum agraria bahwa masalah pendaftaran tanah itu disesuaikan dengan sistem-sistem dan stelsel-stelsel hukum agraria dari negara-negara modern. Maka dalam melaksanakan pendaftaran hak-hak atas tanah rechtskadaster itu, dikenal sistem stelsel-stelsel pendaftaran sebagai berikut:23

22

Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 23. 23

Bachsan Mustafa dalam Y.W. Sumindo dan Ninik Widyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), cetakan I, Bumi Aksara, Jakarta, 1998, hal. 136.


(40)

1) Sistem Positif

Apabila orang sebagai subyek hak namanya sudah terdaftar dalam Buku Tanah, haknya mempunyai kekuasaan yang positif dan tidak dapat dibantah lagi.

2) Sistem Negatif

Apabila orang sebagai subyek hak namanya sudah terdaftar dalam Buku Tanah, haknya masih memungkinkan dibantah sepanjang bantahan-bantahan itu dapat dibuktikan dengan memberikan alat-alat bukti yang cukup kuat.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam penulisan konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.24

Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan nama yang berbeda- beda. Merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum tertentu, yang nerupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit. Agar tidak terjadi perbedaan pengertian konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

25

24

Soerjoo Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normati Suatu Tinjauan Singkat Edisi 1, Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 7.

25

Rosdinar Sembiring, Ekstensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat Simalungun, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal. 70.


(41)

Tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia yang telah dikaruniakan Tuhan kepada bangsa Indonesia harus dapat dikelola dan didayagunakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dipergunakan secara seimbang antara hak dan kewajiban terhadap tanah tersebut.26

Di dalam lingkungan hukum adat, tanah memegang peranan yang vital dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Tanah bukan hanya merupakan tempat mempertahankan hidup, akan tetapi kepada tanah pulalah setiap orang menjadi terikat. Eratnya hubungan antara tanah dengan masyarakat hukum adat melahirkan hak-hak masyarakat atas tanah yang didasarkan pengolahan yang dilakukan secara terus-menerus.

Tanah-tanah yang dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat yang diperoleh berdasarkan hak-hak adat disebut tanah adat atau tanah ulayat. Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dari persekutuan hukum atas tanah yang didiami sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh persekutuan hukum itu sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.

Ter Haar, telah mengemukakan, berlakunya hak ulayat berarah dua, ke dalam menyangkut pengaturan hak dan kewajiban anggota masyarakat untuk mempertahankan hak ulayatnya terhadap gangguan dari pihak luar.

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

26


(42)

Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa pengertian hukum adat dalam UUPA adalah identik dengan hukum yang asli, yang diartikan secara sempit dan tradisional sehingga kedudukan dan peranannya dikembalikan pada masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia.27 Berbeda dengan Soerjono Soekanto, Otje Salman Soemadiningrat cenderung untuk mengatakan bahwa undang-undang ini telah merombak hukum tanah adat dengan hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja dari padanya. Hukum tanah adat dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara atas tanah-tanah yang berada di wilayah Indonesia dan timbulnya hak milik yang diatur pemerintah.28

Masyarakat hukum adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu sampai saat ini. Sedangkan pengakuan terhadap hukum adat oleh UUD 1945, terdapat dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa : “Negara menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Reublik Indonesia”.

.

Hukum tanah adat pada pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukum keluarga, hukumtatanegara-adat, terutama apa yang diakatakan “rechtsgemeenschappen” (“persekutuan hukum).29

Hal ini senada dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat (9) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 jo Undang-Undang nomor 12 tahun 2008

27

Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang – perundangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984, hal. 44.

28

Otje Salman Soemadiningrat, Op Cit, hal. 161.

29

Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pemberdayaan Pancasila Bagian Pertama, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, hal. 25


(43)

tentang pemerintah daerah. Sehingga demikian keberadaan masyarakat hukum adat memang tidak boleh dipungkiri dan harus diakui, sebagaimana undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman juga mengakuinya, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memilliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistim nilai, idiologi, ekonomi, politik, budaya social dan wilayah sendiri.30

Masyarakat hukum adat atau yang dikenal dengan istilah lain seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau indigenious people yaitu suatu komunitas antropologi yang bersifat homogen secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar berasal dari suatu nenek moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan, serta tidak punya posisi yang dominan dalam struktur dan posisi politik yang ada.

Menurut Hazairin dikutip oleh Soerjono Soekanto memberikan uraian mengenai masyarakat hukum adat sebagai berikut:

Masyarakat-masyarakat seperti hukum adat Desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau. Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan – kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu

30

Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat.


(44)

mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaan (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan pemburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasi dan selalu punya peranan yang besar.31

Pada hukum adat yang berlaku dimasing-masing daerah di Indonesia dikenal hak ulayat atau dengan nama lain yang berbeda sesuai dengan sebutan di daerahnya, yaitu hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah hutan belukar yang ada disekitar desanya, menangkap ikan bahkan membuka tanah untuk melakukan pertanian baik yang berpindah maupun yang menetap.

Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut :

1. Terdapat masyarakat yang teratur. 2. Menempati suatu tempat tertentu. 3. Ada kelembagaan.

4. Memiliki kekayaan bersama.

5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah.

31

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 93.


(45)

6. Hidup secara komunal dan gotong royong.32

Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau kepemimpinan. Dalam hal ini dipimpin oleh seorang pimpinan (ketua adat). Masyarakat hukum ini mempunyai kedaulatan penuh (sovereign) atas wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan -hubungan antara warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi tujuan tersebut terwujud.

Hak ulayat merupakan asal dan akhir dari hak perseorangan dalam persekutuan hukum. Hak perseorangan berada dibawah naungan hak ulayat. Semakin intensif hubungan seseorang dengan tanah di lingkungan hak ulayat terhadapnya. Sebaliknya semakin lemah hubungan hukum seseorang dengan tanah itu, semakin lemah haknya semakin kuatlah hak ulayat, inilah yang disebut oleh Ter Haar dengan “menguncup/mengempis mengembang” bertimbal balik tiada hentinya.33

Menurut Budi Harsono, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang – wewenang dan kewajiban-kewajiban sautu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.34

32

Ibid, hal. 95

33

Ramli Zhein dalam Tunas Efendi dkk, Hutan Tanah Ulayat dan Permasalahannya, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan, Pekanbaru, 2005, hal. 12.

34

Kumpulan – kumpulan Seminar Tanah Adat, Atm Jaya & B. P.N di Puncak, September 1996.


(46)

Menurut Ramli zhein, secara objektif subtansi masalah pertanahan berpangkal pada ketidakserasian pandangan terhadap dua faktor yaitu, faktor manusia dan faktor tanah. Hukum Adat sebagai hukum asli telah menata hubungan manusia dengan tanah dengan suasana tradisional berdasarkan pandangan itu. Akan tetapi kemudian bangsa kita hampir gagal mengoperasikan pada masa paska tradisional.35

UUPA pada dasarnya juga memberikan pengakuan terhadap hak ulayat tersebut sepanjang memang menurut kenyataannya masih ada, dan dalam hal ini pun pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan Umum II angka 3 UUPA).

Selanjutnya pada Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa : “Hak Ulayat dan hak – hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada”.

Pengertian lain tentang hak ulayat ialah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu, atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah,

35


(47)

turun- temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.36

Adapun kriteria hak ulayat adalah :

1. Harus ada lingkungan daripada masyarakat hukum adat itu sendiri. 2. Adanya orang yang diangkat sebagai pengetua adat.

3. Masih didapati adanya tatanan hukum adat itu sendiri yang mengenal adanya satu likungan hidup dan yang berada dalam persekutuan hukum adat.37

Wujud hak ulayat tersebut berciri sebagai berikut :

a. Masyarakat hukum adat dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayah dengan bebas yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan, mengembala ternak dan lain sebagainya.

b. Bagi yang bukan anggota masyarakat hukum adat tersebut dapat pula mempergunakan hak-hak itu hanya saja harus mendapatkan izin lebih dahulu dari kepala masyarakat hukum adat dan membayar uang pengakuan atau recognitie (diakui setelah memenuhi kewajibannya).

c. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal. d. Masyarakat hukum adat tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat itu

untuk selama-lamanya kepada siapa saja.

36

Affan Mukti, Pokok – pokok Bahasan Hukum Agraria, USU Press, Medan, 2006, hal. 23

37


(48)

e. Masyarakat Hukum adat mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dimilikl oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli dan lain sebagainya.38

Dalam hak ulayat mengandung dua aspek/unsur, yaitu aspek hukum perdata dan aspek hukum publik. Aspek hukum perdata yaitu merupakan hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atau tanah ulayat, sedangkan aspek hukum publik yaitu sebagai kewenangan mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang yang bukan warga atau orang luar.

G.Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, maksudnya adalah suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dar hasil penelitian di lapangan.39

Penelitian ini dilakukan melalui metode pendekatan Yuridis Empiris, yaitu metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berfikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir. Cara kerja dari metode Yuridis Empiris dalam penelitian tesis ini, yaitu

38

Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak atas Tanah, Multi Grafik Medan, Medan, hal. 11.

39


(49)

dari hasil pengumpulan dan penemuan data serta informasi melalui studi kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian tesis ini, kemudian dilakukan pengujian secara induktif-verifikatif pada fakta mutakhir yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran dalam suatu penelitian telah dnyatakan reliable tanpa harus melalui proses rasionalisasi.40

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan, yaitu : 1. Kantor Pertanahan Tobasamossir di Balige 2. Dinas Kehutannan Tobasamosir di Balige 3. Kantor Camat Kecamatan Nassau

4. Kepala Desa Sipagabu 5. Kepala Desa NapaJoring

6. Kepala Desa Lumban Rau Utara 7. Kepala Desa Siantarasa

8. Kepala Desa Lumban Rau Tengah 9. Tokoh Masyarakat

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam pelaksanan penelitian ini dapat dibagi dalam dua golongan data yaitu:

40


(50)

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dan informan yaitu pegawai-pegawai Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tobasamosir, pegawai-pegawai Kecamatan Nassau,pengetua adat, masyarakat, kepala desa yang diperoleh melalui wawancara dan pengajuan kuisioner kepada responden dan informan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

b. Data Sekunder, yaitu data pendukung yang diperoleh dari hasil menelaah bahan-bahan perpustakaan dengan cara memabaca buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti serta membaca dan membahas peraturan-peraturan yang berhubungan langsung dengan masalah yang akan diteliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan menelaah sama literatur yang ber

hubungan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen perundang- perundangan yang ada berkaitannya dengan penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan

Data atau materi pokok dalam penelitian diperoleh langsung melalui penelitian dengan melakukan wawancara kepada beberapa sumber antara lain


(51)

instansi – instansi terkait dengan masalah hak ulayat atas tanah, serta masyarakat suku Batak Toba itu sendiri sebagai informan.

5. Alat Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat penelitian :

a. Studi Dokumen yaitu mempelajari serta menganalisa bahan pustaka (data sekunder).

b. Wawancara, yaitu kepada para pihak yang dianggap berkompeten dalam bidang pertanahan dan berwenang untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan materi yang menjadi objek penelitian.

6. Analisis Data

Analisis data merupakan upaya penyusunan dan telah terdapat data yang telah diolah untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Analisis yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang merupakan analisis yang tidak menggunakan angka-angka, analisis ini dilakukan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, ketentuan-ketentuan hukum adat, cerdik pandai serta para pemuka adat sedangkan penggunaan tabel dan angka-angka dalam penelitian ini hanya bersifat pendukung dari analisis yang dilakukan, sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif dan induktif sebagai jawaban dari segala permasalahan dalam penulisan tesis ini.


(52)

BAB II

KEBERADAAN HAK ULAYAT DALAM MASYARAKAT

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

HUKUM ADAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NASSAU KABUPATEN

TOBASAMOSIR

1. Kondisi Wilayah

Kecamatan Nassau merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Habinsaran dengan ibukota di Desa Lumban Rau Utara sesuai dengan Perda Toba Samosir Nomor 17 Tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Tampahan, Kecamatan Nassau, dan Kecamatan Siantar Narumonda.

Secara geografis Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir terletak antara 2o Lintang Utara dan 98o 42’- 98o 47’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 335,50 Km2

a) Sebelah Utara : Kabupaten Asahan

ditambah dengan terletak di atas Permukaan Laut 300-1650 meter dengan batas-batas sebagai berikut:

b) Sebelah Selatan : Kecamatan Habinsaran c) Sebelah Barat : Kabupaten Tapanuli Utara d) Sebelah Timur : Kabupaten Labuhan Batu41

Kecamatan Nassau terdiri dari 5 desa, yaitu Desa Lumban Rau Tengah, Lumban Rau Utara, Siantarasa, Sipagabu dan desa Napajoring. Desa Sipagabu merupakan desa paling luas wilayahnya, yaitu 1126,16 km2

41

Wawancara dengan Liber Sipahutar, Camat Nassau, tanggal 8 Juni 2011


(53)

dari total luas wilayah Kecamatan Nassau. Sedangkan Desa Lumban Rau Utara merupakan desa yang paling kecil dengan luas wilayah yaitu 29,61 km2

Kecamatan Nassau pada umumnya memiliki suku Batak Toba dimana daerah Nassau hanya terdapat beberapa marga yaitu Marga Siagian, Sianipar, Pasaribu dan Siahaan, sedangkan marga yang lain yang ada di daerah Nassau hanyalah pendatang.

atau sekitar 8, 83% dari total luas kecamatan.

Berikut perincian luas wilayah menurut desa/kelurahan dengan rasio terhadap luas kecamatan.

Tabel 1: Luas Wilayah Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2008

No Desa/ Kelurahn Luas

(Km2

Rasio Terhadap Luas

) Kecamatan (%)

1 Lumban Rau Tengah 30.29 9,03

2 Siantarasa 95,84 28,57

3 Lumban Rau Utara 29,61 8,83

4 Napajoring 67,60 20,14

5 Sipagabu 112,16 33,43

Jumlah 335,50 100,00


(54)

2. Keadaan Demografi/ penduduk

Jumlah penduduk Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir pada tahun 2008 sebanyak enam ribu dua ratus empat belas (6214) jiwa dengan kepadatan penduduk delapan belas koma limapuluh dua (18,52) jiwa per Km2

Berikut tabulasi jumlah penduduk dan kepadatan penduduk dirinci menurut desa/kelurahan pada tahun 2008.

.

Tabel 2:Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2008

No Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Kepadatan Penduduk (Jiwa) Km2

1 Lumban Rau Tengah 2177 71,87

2 Siantarasa 1343 14,01

3 Lumban Rau Utara 1214 41,00

4 Napajoring 429 6,35

5 Sipagabu 1051 9,37

Jumlah 6214 18,52

Sumber : Kepala Desa/Kelurahan se- Kecamatan Nassau

3. Penggunaan Tanah

Penggunaan tanah yang menonjol di Kecamatan Nassau adalah persawahan 439 Ha dan sisanya seluas 33.111 Ha merupakan tanah kering termasuk areal perumahan.


(55)

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tobasa tahun 2008 bahwa penggunaan tanah adalah sebagai berikut:

No Desa/Kelurahan Luas Lahan (Ha)

Sawah Bukan sawah Non Pertanian

1 Lumban Rau Tengah 115 2405 509

2 Siantarasa 89 5424 4071

3 Lumban Rau Utara 130 1456 1375

4 Napajoring 30 200 6530

5 Sipagabu 75 248 10893

Jumlah 439 9733 23378

Sumber : Camat Nassau

Sedangkan untuk penggunaan lahan terhadap hortikultural, perkebunan, kehutanan, pertenakan dan padi tidak dirinci berdasarkan luas penggunaan lahannya, namun berdasarkan jumlah rumah tangga pengguna lahan atau tanah tersebut, yakni:

a. Hortikultural : 2.232 Rumah Tangga b. Perkebunan : 150 Rumah Tangga c. Kehutanan : 161 Rumah Tangga d. Peternakan : 1. 284 Rumah Tangga


(56)

Klasifikasi penggunaan tanah tersebut adalah berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tobasamosir yaitu dalam tahun 2008. Artinya bahwa telah banyak terjadi perubahan-perubahan terhadap penggunaan tanah dalam kurun waktu yang agak singkat antara tahun 2008 himgga penulisan tesis ini yaitu tahun 2011.

Sebagaimana halnya yang berhubungan dengan perkembangan penduduk dan perkembangan pembangunan yang juga akan mempengaruhi penggunaan tanah. Hal ini dapat kita lihat dengan penggunanan tanah dengan pembangunan perhotelan, perkantoran dan juga rumah-rumah, pertanian serta sarana-sarana lainnya.

B. Hak Ulayat 1. Istilah hak ulayat

Terhadap hak persekutuan (masyarakat) atas tanah terdapat beberapa istilah, yakni beschikkingsrecht (Van Vollenhoven), hak purba (Djojodigoeno), hak pertuanan (Soepomo), hak ulayat (UUPA), dan sekarang lajim disebut dengan hak ulayat. Menurut Soekanto bahwa :

Van Vollenhoven menggunakan istilah “beschikkingsrecht”, melihat secara de fakto bahwa persekutuan mempunyai hak untuk menguasai tanah diduduki, hak atas pohon-pohon, tebat dan lain-lainya dalam suatu wilayah penguasaan (“beschikkingsrecht”) bagi warganya, dan juga bagi orang luar (gemeenschapsveende) yang membayar pancang atau retribusi.42

42

Soekanto, Meninjau Hukum Adat, Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 80


(57)

Dalam perundang-undangan Indonesia tidak di jumpai pengertian yang tegas mengenai hak persekutuan (hak ulayat). Penjelasan Pasal 3 UUPA hanya menyebutkan bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu, ialah apa yang di dalam perpustakaan disebut beschikkingsrecht.

Sedangkan istilah hak ulayat di daerah Nassau ini lebih dikenal dengan tanah adat dan dilain pihak ada juga yang memakai istilah tanah golat. Dimana tanah golat tersebut turun temurun dari nenek moyang satu marga dan tanah golat tersebut tidak dapat diperjual belikan, jika dilihat dari asal-usul tanah golat tersebut yaitu tanah yang dihasilkan dari pertumpahan darah dari marga siagian dan marga pasaribu, dimana pada waktu itu antara marga siagian dan marga pasaribu saling memperebut tanah golat itu yaitu di huta Sipagabu, yang akhirnya dimenangkan oleh marga siagian dan tanah marga tersebut jadi kepunyaan marga Siagian.

2. Sejarah Hak Ulayat

Hak ulayat atau tanah adat (golat) di Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir bila dilihat dari segi sejarah lahirnya atau terbentuknya tanah adat ini terjadi dengan:

a. berdasarkan penemuan oleh nenek moyang (orang yang pertama kali tinggal/mendiami daerah) tersebut.

Pada umumnya Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasamosir dihuni oleh suku Batak yang terdiri dari marga-marga yaitu marga Siagian, Pasaribu dan Sianipar, dan Siahaan. Sehingga adapun tanah adat adalah didasarkan atau


(58)

sifatnya kemargaan. Apabila ditelusuri dari sejarah dari pada struktur penguasaan tanah adat tersebut adalah dikarenakan ketika dahulu kala marga tersebut adalah orang yang pertama kali membuka lahan atau bertempat tinggal ke daerah tersebut yang pada waktu itu masih kosong (semak belukar).

Dengan waktu yang sangat lama marga tersebut beranak cucu dan tetap tinggal di daerah tersebut dan lama kelamaan terbentuklah sebuah perkampungan atau komunitas manusia yang ditempati oleh satu marga. Karena wilayah/daerah tersebut masih dalam penguasaan satu garis keturunan, tidak ada pembagian antara anak, melainkan untuk sebagai tempat mencari nafkah generasi ke generasi.

Dengan waktu yang tak terhitung maka marga tersebut terus berkembang hingga sampai beberapa keturunan (suddut), sehingga tak memungkinkan adanya lagi hak untuk melakukan pembagian. Karena hal tersebut maka dijadikanlah sebagai tanah adat yang berlaku secara terus menerus generasi ke generasi sebagai mereka mencari nafkah.

b. Berdasarkan Kemenangan Perang

Penguasaan terhadap tanah adat berdasarkan penemuan nenek moyang terdahulu terjadi di berbagai daerah atau di beberapa lahan serta oleh marga-marga yang saling berbeda pula. Seperti halnya dalam bab sebelumnya telah dijelaskan, bahwa pada umumnya daerah Nassau pada zaman dahulu adalah tanah adat. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nassau merupakan tanah adat dari berbagai marga-marga.

Oleh karena adanya klaim marga-marga tersebut atas tanah adat tersebut sehingga menimbulkan perkelahian antar marga. Yang mana marga yang berbeda


(59)

tersebut saling mengklaim bahwa tanah tersebut adalah kekuasaan mereka. Marga-marga tersebut saling mengklaim bahwa tanah tersebut adalah merupakan peninggalan atau wrisan nenek moyang mereka.

Setelah timbulnya konflik, lahir pulalah konflik yang lebih besar yaitu perang antar marga. Perang antar marga yang memperebutkan tanah tersebut akhirnya berujung kepada setelah adanya pemenang dari pada perang tersebut. Sehingga yang menjadi berhak atas tanah tersebut adalah mereka (marga) yang menang dalam perang tersebut.

Konflik yang terjadi di Desa Sipagabu antara marga Siagian dan Pasaribu yaitu memperebut tanah ulayat. Dahulu daerah ini khusus punya kerajaan marga pasaribu, sebelum pemerintahan Belanda. Pada saat terjadinya konflik antara marga Siagian dan marga Pasaribu banyak pertumpahan darah, dimana kedua marga ini saling membunuh untuk memiliki status tanah tersebut. Semakin banyaknya pertumpahan darah di daerah ini, sehingga daerah ini disebut dengan tanah golat yang artinya tanah darah, maka marga Pasaribu menarik diri dari daerah ini, sehingga yang berkuasa di daearah Sipagabu sampai sekarang yaitu marga siagian. Tetapi seiring dengan waktu kekuasaan marga Pasaribu di daerah Sipagabu ini dihidupkan kembali hak marga Pasaribu, karena sebenarnya yang mempunyai hak atas daerah ini adalah marga Pasaribu yaitu kepunyaan Raja Malintang.

Nassau yang disebut juga dengan tanah Batak, dimana dahulunya masih kentalnya tanah-tanah adat, sebagaimana bahwa keseluruhan tanah pada zaman dulu tidak adanya hak kepimilikan oleh perseorangan melainkan tanah adat.


(60)

Hukum adat dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang sangat erat karena aplikasi hukum adat berada pada masyarakat itu sendiri, sesuai dengan adagium yang menyatakan.”ubi societas, ibi ius” (dimana ada masyarakat disana ada hukum).

Masyarakat adat sebagai suatu struktur masyarakat merupakan pendukung pelaksanaan dan perkembangan hukum adat secara nyata. Demikian juga halnya hukum adat yang tertib dan damai sehingga segala hak dan kewajiban masyarakat senantiasa diatur oleh hukum termasuk hukum adat.

Selanjutnya jika ditinjau dari segi strukturnya, maka masyarakat hukum adat Batak Toba mempunyai struktur bertingkat dan dipengaruhi aturan-aturan adat dan agama. Pada tingkat paling atas disebut “Bius”, di bawahnya disebut “Horja” dan pada tingkat paling bawah disebut “Huta”. Bius pada masyarakat Batak Toba merupakan suatu unit yang bersifat geneologis dan teritorial. Setiap warga dalam suatu bius diikat oleh hubungan darah dan merupakan keturunan dari suatu leluhur.

Berdasarkan mitos Batak bahwa seluruh orang Batak adalah keturunan dari satu nenek moyang yang secra kolektif disebut Si Raja Batak”. Si Raja Batak menurunkan suku Batak (Toba), membangun suatu paguyuban yang disebut bius, terletak di Sianjur Mula-Mula di lereng Lembah “Pusuk Buhit” dan sampai sekarang orang Batak memandangnya sebagai awal mula seluruh suku (Batak) dan huta (kampung) pertama suku Batak terletak di Sianjur Mula-mula.

Menurut legenda Batak Toba (tarombo) yang diturunkan dari suatu generasi ke generasi lainnya, pemukiman pertama sebagai desa yang teroganisir


(61)

didirikan oleh leluhur orang Batak, dengan usaha pertanian, bersawah dengan memakai sistem irigasi. Kemudian faham bius mendasari hukum adat Batak dan sekaligus menjadi sumber perkembangan adat di kemudian hari. Bius-bius menurut model Sianjur Mula-mula sudah berfungsi sejak abad 13. Dari bius-bius di atas kemudian timbul arus migrasi ke daratan Pulau Samosir (dari pantai Barat) dan daratan tinggi sebelah Barat daerah “Humbang”. Kemudian berkembang kearah lembah Silindung (hulu sungai Batang Toru) dan keBarat sungai di tebing-tebing pegunungan Bukit barisan. Mengenai hal ini Sitor Situmorang mengatakan “Adat bius yang diwariskan Sianjur mula-mula menjadi konstitusi setiap bius desa, yang berfokus pada faham sakralitas tanah dan hak warga penggarap”. 43

Adapun keberadaan bius menjadi hilang sejak Pemerintah Belanda (1908) mulai mengatur administrasi tingkat terbawah untuk seluruh Batak Toba dan menggunakan bius sebagai titik tolak unit pemerintahan yang disebut “Negeri” dengan gelar “Jaihutan”. Dengan penghapusan bius, hukum adat tidak hilang karena hukum adat tetap dipelihara oleh marga sebagai alat legitimasi bagi hak-hak dan kewajiban dalam kewargaan dalam bius dan hak-hak ulayat.

Mengenai hal ini Sitor Situmorang mengatakan “Ideologi bius dinyatakan dalam ungkapan: Jonok partubu, Jumonok dope parhundul (betapapun hubungan darah penting, tetapi domisili lebih penting). Artinya, marga terikat mutlak pada tempat lahir/tempat berkubur bius”.44

43

Sitor Situmorang, 1993, Toba Na Sae, Cetakan Pertama, Penerbit Balai Pustaka Sinar Rajawali, Jakarta, hal.29.

44


(62)

Selanjutnya, horja merupakan gabungan dari beberapa huta. Bius membawahi horja sebagai sub devisi bius. Horja terbentuk oleh kelompok marga raja, kelompok yang bukan marga raja beserta kelompok marga boru. Di samping itu, horja juga berarti sebagai upacara yang bersifat pesta orang seketurunan atau kumpulan satu ompu (nenek moyang).

Mengenai horja ini, M.A. Marbun mengatakan sebagai berikut: “Horja dikepalai oleh raja horja atau raja marga yang dipilih dari antara raja-raja huta. Masing-masing raja huta duduk dalam dewan raja. Dalam sidang-sidang horja dibicarakan hal-hal yang mengenai kepentingan bersama”.45

Adapun struktur persekutuan yang berada pada tingkat paling bawah dalam masyarakat Batak adalah lembaga “Huta”. Huta adalah tempat tinggal satu marga, sebagai milik bersama dan merupakan satu kesatuan yang didiami sekelompok anggota masyarakat yang semarga. Rasa persaudaraan sangat kuat sekali dalam huta karena masih ada hubungan sedarah dan merupakan turunan dari seorang leluhur.

Pada umumnya, setiap huta dikepalai oleh seorang raja huta atau tunggane huta atau disebut juga Kepala hapung yaitu keturunan pendiri atau pembuka huta (kampung) dan jabatan ini bersifat turun temurun berdasarkan prinsip Primogeniture (hak waris di tangan putra tertua).

Raja huta mempunyai tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pengolahan kampung, penegakan hukum, ketertiban dan disiplin. Penduduk kampung harus menerima kepemimpinan seorang raja huta dalam transaksi

45


(63)

penjualan ternak, pelepasan tanah, perkawinan dan lain-lain. Untuk penghormatan kepada raja huta, maka raja huta berhak menerima upah raja atau jambar.

Sejalan dengan hilangnya bius sejak Pemerintah Belanda (1908) maka keberadaan “Horja” dan “Huta” pun semakin lama semakin hilang. Kepala Bius, Kepala Horja dan Kepala Huta menjadi semakin tidak berperan dalam struktur masyarakat Batak Toba dan setelah Indonesia merdeka, maka struktur pemerintahan berdasarkan struktur yang diatur oleh hukum adat Batak Toba tersebut, semakin tidak relevan karena pengaturan daerah termasuk desa-desa di seluruh Indonesia diatur secara nasional melalui perundang-undangan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah mengatur secara tegas mengenai desa, kelurahan, dusun dan lingkungan, dan semuanya tidak berdasarkan hukum adat termasuk hukum adat Batak Toba.

Orang Batak Toba mempunyai marga dalam sistem kekerabatan mereka, yaitu Mereka yang satu marga, dengan arti satu asal keturunan, satu nenek moyang disebut dongan sabutuha, artinya “teman satu perut”, satu asal. Jadi marga menunjukkan asal keturunan , karena orang Batak menganut paham garis keturunan bapak (Patrilineal), maka dengan sendirinya marga tersebut juga disusun berdasarkan garis bapak.

Dengan demikian bahwa tiapa-tiap keluarga memakai marga sebagai pertanda satu kakek yang sama (nenek moyang asal). Menurut orang Batak Toba, marga mempunyai arti yang sangat penting karena juga marga menentukan sejarah tiap generasi yang tidak akan terputus. Marga bukanlah pengertian teritorial, tetapi marga selalu dkaitkan dengan teritorial sebagai tempat lahir dan


(1)

3. Upaya yang dilakukan masyarakat Batak Toba untuk melindungi hak ulayat pada kecamatan Nassau kabupaten Toba Samosir yaitu dengan melakukan pendaftaran tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional agar terjamin kepastian hukumnya, tetapi masih banyak masyarakat Batak Toba di daerah ini yang belum mendaftarkan tanahnya karena adanya kendala-kendala yang dihadapi masyarakat hukum adat tersebut yaitu dilihat dari kedala secara pembuktian yuridis belum adanya pihak instansi seperti BPN, Pemda, Akademis yang turun langsung ke lokasi untuk melihat bahwa bahwa hak ulayat di dareah tersebut masih ada keberadaannya. Kendalanya yang lain yaitu kurangnya arahan kepada masyarakat bagaimana cara pendaftaran tanah tersebut dan dapat juga dilihat dari faktor ekonomi masyarakat hukum adat tersebut.

B. Saran

1. Perlu dikembangkannya upaya-upaya untuk mempertahankan keberadaan hak ulayat dan keberadaan nilai-nilai hukum adat baik oleh pemerintah maupun masyarakat di daerah Kecamatan Nassau. Tujuannya agar hak ulayat dan nilai-nilai hukum adat trdisional tersebut tidak musnah/hilang dan digeser oleh nilai-nilai baru yang belum tentu sesuai dengan kondisi daerah Kecamatan Nassau. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui peyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya masyarakat memelihara hak ulayat dalam masyarakat hukum adat.


(2)

2. Pemerintah hendaknya menciptakan perundang-perundangan Hak ulayat yang lebih kongkrit yang dapat melindungi dan lebih berpihak kepada masyarakat hukum adat tersebut, dan juga para akademis seharusnya dalam hal ini ikut berperan serta member sumbangsih untuk kemajuan dan kebebasan dalam penataan dan pelaksanaan peraturan pertanahan umumnya dan Hak Ulayat khususnya. Sehingga demikan bahwa para akademis tidak lagi hanya berkutak dan berteori belaka selaku salah satu pihak yang paling berkompoten dalam bidang pernahan (agrarian).

3. Pemerintah hendaknya melaksanakan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 itu sendiri, sebagaimana yang diketahui bahwa UUPA menghendaki bahwa tanah untuk rakyat (petani) yang nyatanya dilihat bahwa sebagian besar di negeri ini dikuasai oleh orang-orang tertentu melewati batas yang telah ditentukan oleh perundang-undangan sementara disisi lain petani tidak mempunyai tanah. Melihat bahwa Hak Ulayat adalah sebagai tempat masyarakat hukum adat tersebut untuk mencari kehidupan sehari-hari, sementara Hak Ulayat itu sendiri banyak masih dalam keadaan hutan belukar atau alang-alang, maka agar tanah tersebut semakin berproduksi sesuai dengan fungsinya seharusnya pemerintah harus melakukan suatu pemberdayaan terhadap masyarakat hukum adat tersebut demi peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum itu sendiri.


(3)

A. Buku - buku

Abdurrahman, 1984, Hukum Adat Menurut Perundang – perundangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta..

Adi, Rianto, 2004, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit Jakarta.

Ashshofa, Burhan, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ke II.

Bahri, Syamsul, 1987, Beberapa Aspek Hukum Adat Yang Berpengaruh Terhadap Pendaftaran Tana, Disertasi, USU.

Dahlan dan Bathlimus, 2000,Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Makalah.

Dalimunthe, Chaddijah, 1998, Pelaksanaan Landreform di Indonesia, edisi pertama, cetakan pertama, USU Press Medan.

Ediwarman, 2001, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan Di Sumatera Utara, disertasi pada PPS, USU, Medan.

Friedman, M, Lawrance. Dalam Mulhadi, 2006. Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Di Indonesia, Medan, USU, Responsitory

Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Haar, Ter, 1985, Asas- asas dan susunan Hukum Adat Indonesia, Cetakan kedelapan, Penerbit Sumur Bandung.

Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang- undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), edisi 1999, cetakan kedelapan Djambatan, jakarta.

Huijbers, Theo, 2001, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisuius, Yogyakarta.

Kartohadiprojo, Soediman, 1979, Tata Hukum Di Indonesia, Penerbit, Pembangunan Bandung.

Koesnoe, 1979, Catatan – catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga Universty Press.

Kumpulan – kumpulan Seminar Tanah Adat, Atm Jaya & B. P.N di Puncak, September 1996.

Lubis , M. Solly, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Cetakan 1.

Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR 1854, Alumni Bndung


(4)

Mortokusumu, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.

Muhammad, Bushar, 1988, Asas- asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya, Pramita, Jakarta.

Mukti, Affan, 2006, Pokok – pokok Bahasan Hukum Agraria, USU Press, Medan Pakpahan, Moshedayan, 1998, Tanah Adat Di Daerah – daearah Indonesia, Pusat

Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.

Parlindungan, A.P, 1993, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria,Mandar Maju, Bandung.

___________, 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia,Mandar Maju, Bandung. Promes J . H. A., dkk, 1993, Samosir Silsilah Batak Toba, Ordo Kapusin Regio

Medan, Siantar.

Ridwan, Fauzie, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pemberdayaan Pancasila Bagian Pertama

Ruchiyat, Eddy, 1986, Politik Pertanahn Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.

Saleh, Myrna, 1997, Hak Dalihan Natolu, Prinsip Dan Pelaksanaannya, Cetakan Pertama, Penerbit Grafina, Jakarta.

Samosir, Djamanat, 1995, Eksistensi Hak Ulayat Di Daerah Samosir Kabupaten

Daerah Tingkat II Tapanuli Utara,Tesis, Program PPS USU Medan.

Saragih, Djaren, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Penerbit TARSITO, Bandung.

Sembiring, 2001, Rosdinar, Ekstensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat Simalungun, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Situmorang, Sitor, 1993, Toba Na Sae, Cetakan Pertama Penerbit Balai Pustaka, Sinar Rajawali, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press), Jakarta

________, 2003, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. ________,dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normati Suatu Tinjauan


(5)

Saragih, Djaren , 1996,Pengantar Hukum Adat Indonesia,Tarsito, Bandung. Siregar, Anshari, Tampil, Mempertahankan Hak atas Tanah, Multi Grafik Medan,

Medan.

Soemadiningrat, Otje, Salman, 2002, Rekonseptulisasi Hukum Adat Kontemporer, PT. Alumni, Bandung.

Soepomo, 1977, Bab-bab Tentang Hukum Adat,Pradya Paramita, Jakarta.

Subekti. R, 1984, Pokok- pokok Hukum Perdata, Cetakan Ke-19, Penerbit Intermasa, Jakarta.

Soetikjo, Iman, , 1990, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada Iniversity Press Sudiyat, Iman, 1981, Hukum Adat (Seketsa Asas),Liberty, Yogyakarta.

Sumardjan,Selo, 1993, Adat Modernisasi Dan Pembangunan, Universitas Taruma Negara, Jakarta,

Vergouwen, J.C. 1985, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Penerbit Pustaka Azet, Jakarta.

Wigjodipoero, Soerjono, 1988, Pengantar Hukum Adat Indonesia, CV. Haji Mas Agung, Jakarta.

Yamin, Muhammad, , 2003 Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Perss, Medan

Zhein, Ramli dalam Tunas Efendi dkk, 2005, Hutan Tanah Ulayat dan Permasalahannya, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelawan, Pekanbaru.

B.Peraturan Perundang – undangan

Undang – Undang Dasar 1945

Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Undang – Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004


(6)

Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.