Pembatalan Akta Wasiat Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Notaris (Studi Putusan MA No 3124 K PDT 2013 Antara Penggugat DM VS Notaris LSN) Chapter III V

68

BAB III
TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM YANG
MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
DALAM PEMBUATAN AKTA

A. Tinjauan Tentang Notaris
1.

Pengertian Notaris
Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang

dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang
disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang
dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris hakikatnya
ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum
untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan
kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan
oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya
di tengah masyarakat.128 Notaris seperti yang dikenal di zaman Belanda sebagai

Republik der Verenigde Nederlanden mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad
ke-17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.129
Pengertian Notaris dalam Pasal 1 Instructie voor De Notarissen in Indonesia,
menyebutkan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang harus mengetahui seluruh perundangundangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta
dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan
128
129

G.H.S Lumban Tobing, (Notaris Reglement), 1999, Op.cit., hal. 41.
Ibid., hal. 15.

68

Universitas Sumatera Utara

69

dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli dan
minutanya atau mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan

benar”.130
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia131, “notaris mempunyai arti orang
yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan
berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya”.
Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini”. Sementara dalam penjelasan atas UUJN menyatakan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya”.
Pengertian yang diberikan oleh UUJN tersebut merujuk pada tugas dan
wewenang yang dijalankan Notaris. Artinya Notaris memiliki tugas sebagai pejabat
umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan
lainnya yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.132
Dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) 1860 ditegaskan bahwa pekerjaan
“Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijke verrichtingen) dan satu-satunya pejabat
130


Ibid., hal. 20.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cetakan ke-3, Jakarta: Balai Pustaka,1990), hal. 618.
132
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Op.cit., hal. 14.
131

Universitas Sumatera Utara

70

umum yang berwenang membuat akta otentik, sepanjang tidak ada peraturan yang
memberi wewenang serupa kepada pejabat lain”.133
Menurut G.H.S Lumban Tobing:
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan

umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang
lain”.134
Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan
jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak
memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai
panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia
demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat
manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.135
2.

Notaris sebagai Pejabat Umum
Istilah Pejabat Umum, merupakan terjemahan dari istilah Openbare

Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan Pasal 1868
KUHPerdata. Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa:
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
133

C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 2003), hal. 87.
134
G. H. S Lumban Tobing, Op. Cit., hal. 31.
135
Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, (Medan: Upgrading dan Refreshing Course
Nasional Ikatan Notaris Indonesia, 2007), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

71

diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.
Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di
tempat akta itu dibuat”.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan:
“Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Menurut kamus hukum, salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat.
Demikian dengan Openbare Ambtenaren adalah “pejabat yang mempunyai tugas
yang bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga Openbare Ambtenaren
diartikan sebagai Pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang
melayani kepentingan masyarakat, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada
Notaris”.136
Berdasarkan ketentuan di atas, Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat
umum, tapi kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum, tidak hanya untuk Notaris
saja, karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi
kualifikasi sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai
Pejabat umum kepada pejabat lain selain kepada Notaris, bertolak belakang dengan
136

Habib Adjie, 2014, Cetakan IV, Op. Cit., hal. 13.

Universitas Sumatera Utara


72

makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta
tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah
ditentukan, dan Pejabat Lelang untuk lelang saja.
Dengan demikian Notaris berperan melaksanakan sebagian tugas negara
dalam bidang hukum keperdataan, dan kepada Notaris dikualifikasikan sebagai
Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dan akta merupakan
formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam
akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris, dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam UUJN.137
3.

Tugas/ Kewenangan Notaris
Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan

kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
mengatur jabatan tersebut. Wewenang Notaris memiliki batasan sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan yang mengatur jabatan pejabat yang bersangkutan.
Setiap perbuatan pemerintah disyaratkan harus bertumpu pada kewenangan

yang sah. Tanpa ada kewenangan yang sah seorang Pejabat ataupun Badan Tata
Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena
itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap Pejabat ataupun bagi setiap
Badan.138

137
138

Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN.
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004),

hal. 77.

Universitas Sumatera Utara

73

Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yaitu atribusi, delegasi
dan mandat.139 Kewenangan yang diperoleh dengan cara atribusi, apabila terjadi
pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan perundangundangan


dan

perundang-undanganlah

yang

menciptakan

suatu

wewenang

pemerintahan yang baru. Kewenangan secara delegasi merupakan pemindahan/
pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan
atau aturan hukum. Kewenangan mandat sebenarnya bukan pengalihan atau
pemindahan wewenang tapi karena yang berkompeten berhalangan.
Berdasarkan UUJN tersebut ternyata Notaris sebagai Pejabat Umum
memperoleh kewenangan secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan
diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi, wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal

dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.140Jadi
Notaris memiliki legalitas untuk melakukan tindakan hukum dalam membuat akta
otentik.
Berkaitan dengan tugas seorang notaris dalam pembuatan akta, A.W. Voors
membagi pekerjaan notaris menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1.

Pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang yang juga disebut pekerjaan
legal, maksudnya bahwa tugas notaris sebagai pejabat untuk melaksanakan
sebagian kekuasaan pemerintah, antara lain memberi kepastian tanggal, membuat
grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, memberi suatu keterangan dalam
suatu akta yang menggantikan tanda tangan, dan memberi kepastian mengenai
tanda tangan seseorang.

139

Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2005), hal. 139-140.
140
Habib Adjie, 2014, Cetakan ke IV, Op. cit., hal. 78.


Universitas Sumatera Utara

74

2.

Pekerjaan ekstralegal, yaitu pekerjaan yang dipercayakan padanya dalam jabatan
itu yaitu menjamin dan menjaga perlindungan kepastian hukum bahwa setiap
warga mempunyai hak dan kewajiban yang tidak diperbolehkan secara sembrono
dikurangi atau disingkirkan begitu saja, baik karena yang berkepentingan masih
di bawah umur ataupun mengidap penyakit ingatan. 141
Sebagai

pejabat

umum,

dalam

menjalankan

tugas

yang

menjadi

kewenangannya notaris tidak boleh memihak, dan tidak boleh atau bukan menjadi
salah satu pihak. Itulah alasan mengapa dalam menjalankan tugas dan jabatannya
sebagai pejabat umum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, notaris
tidak diperbolehkan sebagai pihak yang berkepentingan pada akta yang dibuat oleh
atau dihadapannya.142
Seorang notaris tidak diperkenankan untuk menolak memberikan jasanya
kepada orang yang berkepentingan yang membutuhkan jasanya, namun apabila
notaris berpendapat bahwa terdapat alasan yang mendasar untuk menolaknya maka ia
wajib memberitahukan secara tertulis mengenai hal tersebut kepada pihak atau pihakpihak yang meminta jasanya atau penolakan tersebut harus merupakan penolakan
dalam arti hukum, artinya ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas
sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahaminya.143
Kewenangan Notaris dalam pembuatan akta, tecantum dalam ketentuan Pasal
15 UUJN, dimana kewenangan Notaris dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Kewenangan Umum Notaris
141

Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Houve, 2000), hal. 452.
142
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, Cetakan Pertama, (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), hal. 87.
143
Ibid., hal. 88.

Universitas Sumatera Utara

75

Kewenangan umum Notaris tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang
menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris adalah membuat akta secara
umum, namun dengan batasan sepanjang tidak dikecualikan kepada Pejabat lain yang
ditetapkan oleh undang-undang, menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang
membuat akta otentikmengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan, mengenai
subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta dibuat atau
dikehendaki oleh yang berkepentingan.
2.

Kewenangan Khusus Notaris
Kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu

tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, seperti :
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftarkan ke dalam buku khusus;
2. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftarkan ke dalam buku
khusus;
3. Membuat copy dan asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan ke dalam surat yang
bersangkutan;
4. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau membuat akta risalah
lelang.
Adapun kewenangan khusus Notaris lainnya, yang membuat akta dalam
bentuk In Original, yaitu:
1. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pesniun;
2. Penawaran pembayaran tunai
3. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

Universitas Sumatera Utara

76

4. Akta kuasa;
5. Keterangan kepemilikan;
6. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tersebut
dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulisan atau
kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta akta yang telah ditandatangani, dengan
cara membuat Berita Acara Pembetulan dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan
tersebut Notaris wajib menyampaikannya kepada para pihak.
3.

Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian
Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tercantum dalam Pasal

15 ayat (3) UUJN. Dimana kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian
merupakan kewenangan yang akan muncul dan akan ditentukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Dalam arti bahwa, jika Notaris melakukan tindakan
di luar wewenang yang telah ditentukan, maka Notaris telah melakukan tindakan di
luar wewenang, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum
atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable), dan pihak atau mereka yang merasa
dirugikan oleh tindakan Notaris diluar wewenang tersebut, maka Notaris dapat
digugat secara Perdata ke Pengadilan Negeri.144
144

Setiap orang yang datang menghadap Notaris sudah tentu berkeinginan agar perbuatan
atau tindakan hukumnya yang diterangkan dihadapan atau oleh Notaris dibuat dalam bentuk akta
Notaris tapi dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, kepada mereka, dibuatkan akta
dibawah tangan yang kemudian dilegalisasi atau dibukukan oleh Notaris sendiri. Tindakan Notaris
tersebut sebenanrnya tidak dapat dibenarkan untuk membuat surat semacam itu, tapi yang dibenarkan
adalah melegalisasi atau membukukan surat tersebut, agar sesuai dengan kewenangan Notaris.
Tindakan tersebut tidak perlu dilakukan oleh Notaris, kalau ingin dibuat dengan akta dibawah tangan

Universitas Sumatera Utara

77

4.

Kewajiban dan Larangan Notaris
Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajiban-

kewajiban sebagaimana diatur dalam Bab III bagian kedua UU Perubahan atas
UUJN. Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama, dan tidak memihak. Notaris
perlu memperhatikan apa yang disebut perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur
yaitu perilaku Notaris harus memiliki integritas moral yang mantap, harus jujur
bersikap terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangannya
dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.145
Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh
karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang
kepercayaan

Notaris

berkewajiban

untuk

merahasiakan

semua

apa

yang

diberitahukan kepadanya selaku Notaris.146
Notaris dalam menjalankan kewajibannya menganut beberapa asas yang dapat
dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Asas atau prinsip
merupakan sesuatu yang dapat dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk
menyadarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. 147
Asas-asas dalam pelaksaan tugas Jabatan Notaris yang baik adalah sebagai
berikut:148

dapat dibuat sendori oleh yang bersangkutan saja, bukan dibuat oleh Notaris. (Habib Adjie, 2014, Op.
Cit, hal. 82.)
145
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
hal. 93.
146
G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 117.
147
Mahadi, Falsafah Suatu Pengantar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 119.

Universitas Sumatera Utara

78

a. Asas persamaan
Sesuai dengan perkembangan zaman, institusi Notaris telah menjadi bagian
dari masyarakat Indonesia dan dengan lahirnya UUJN semakin meneguhkan
Institusi Notaris. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris
tidak boleh membeda-bedakan satu dengan lainnya berdasarkan keadaan
sosial ekonomi atau alasan lainnya. Hanya alasan hukum yang dapat dijadikan
dasar bahwa Notaris tidak dapat memberikan jasa kepada pihak yang
menghadap.
b. Asas kepercayaan
Salah satu bentuk dari Notaris sebagai jabatan kepercayaan, yaitu Notaris
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta
yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta
sesuai dengan sumpah/ janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain
(Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN) (Pasal 4 ayat (2) UUJN).
c. Asas kepastian hukum
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara
normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang
akan diambil untuk kemudian dituangkan dalam akta. Akta yang dibuat oleh
Notaris harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yang apabila terjadi
permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman bagi para pihak.

148

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 82-87.

Universitas Sumatera Utara

79

d. Asas kecermatan
Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan
keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar
untuk dituangkan dalam akta. Asas kecermatan ini merupakan penerapan dari
Pasal 16 ayat (1) huruf a antara lain:
1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya
yang diperlihatkan kepada Notaris.
2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab).
3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak
para pihak tersebut.
4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi
keinginan atau kehendak para pihak tersebut.
5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan
untuk minuta.
6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
jabatan Notaris.
e. Asas pemberian alasan
Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus sesuai dengan
alasan serta fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada
pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak/ penghadap..
f. Asas Larangan penyalahgunaan wewenang
Batas kewenangan Notaris dituangkan dalam Pasal 15 UUJN, apabila Notaris
melakukan tindakan di luar kewenangannya maka tindakan tersebut dapat
disebut sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang. Jika tindakan seperti itu
merugikan para pihak, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat
menuntutu Notaris yang bersangkutan dengan kualifikasi sebagai suatu

Universitas Sumatera Utara

80

tindakan hukum yang merugikan para pihak. Para pihak yang menderita
kerugian dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada
Notaris.
g. Asas Larangan bertindak sewenang-wenang
Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang
diperlihatkan kepadanya, dalam hal ini Notaris mempunyai peran untuk
menentukan suatu tindakan apakah dapat dituangkan dalam bentuk akta atau
tidak, dan keputusan yang diambil harus didasarkan pada alasan hukum yang
harus dijelaskan kepada para penghadap.
h. Asas Proposionalitas
Berdasarkan Pasal 16 angka (1) huruf a UUJN, Notaris wajib menjaga
kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau dalam
menjalankan tugas jabatannya, wajib mengutamakan adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban para penghadap.
i. Asas Profesionalitas
Dalam menjalankan tugas jabatannya mengutamakan keahlian (keilmuan)
berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris. Hal tersebut diwujudkan dalam
melayani masyarakat dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.
Asas-asas tersebut sangat penting bagi seorang Notaris agar Notaris dapat
menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak bertentangan dengan aturan hukum
yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

81

Notaris merupakan salah satu bagian dari masyarakat Indonesia, sehingga
sesuai dengan asas persamaan maka Notaris tidak boleh membeda-bedakan
masyarakat satu dengan yang lain dalam memberikan pelayanan baik dilihat dari
sosial ekonomi maupun alasan lainnya. Selain itu, berdasarkan asas kepercayaan
maka seorang Notaris merupakan pihak yang sangat dipercaya oleh masyarakat yang
dalam hal ini adalah para pihak yang menghadap Notaris.
Salah satu bentuk jabatan kepercayaan yaitu dengan melihat Notaris yang
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu tentang akta yang
dibuatnya sesuai dengan sumpah atau janji yang telah diucapkan sebelum diangkat
sebagai Notaris kecuali undang-undang menentukan lain. Dengan demikian,
batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk
membuka rahasia isi akta dan keterangan ataupun pernyataan yang diketahui Notaris
yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud. Hal ini sesuai dengan isi
Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN yaitu: “merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta
yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai kewenangan dalam membuat
akta otentik tentunya memiliki kewajiban yang harus dijalankan dan tidak boleh
bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Kewajiban
seorang Notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN yaitu sebagai berikut:
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

Universitas Sumatera Utara

82

b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari
satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya
pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan Akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementrian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dalam waktu 5
(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang Negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan
tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2
(dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta
wasiat dibawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan Notaris;
n. Menerima magang calon Notaris.
Dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN, “Notaris bersumpah atau berjanji untuk
merahasiakan isi akta dan keterangan yang ia peroleh dalam pelaksanaan jabatan
Notaris”. Secara umum Notaris memiliki kewajiban untuk merahasiakan segala
keterangan sehubungan dengan akta yang dibuat dihadapannya, dengan batasan
bahwa hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan seorang Notaris untuk

Universitas Sumatera Utara

83

membuka rahasia tersebut. Hal ini dinamakan sebagai kewajiban ingkar
(verschoningsplicht). Kewajiban ingkar untuk Notaris melekat pada tugas jabatan
Notaris. Notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris
itu sendiri melainkan kepentingan para pihak yang menghadap. Hal ini disebabkan
para pihak telah mempercayakan sepenuhnya kepada Notaris tersebut.
Adapun kewajiban-kewajiban Notaris yang harus dirahasiakan berdasarkan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN meliputi:
keseluruhan isi akta yang terdiri dari awal akta, badan akta dan akhir akta, akta-akta
yang dibuat Notaris sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 54 UUJN, serta keteranganketerangan dan serangkaian fakta yang diberitahukan oleh klien kepada Notaris baik
yang tercantum dalam akta maupun yang tidak tercantum di dalam akta dalam proses
pembuatan akta.149
Selain kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang Notaris, terdapat pula
larangan bagi seorang Notaris. Larangan bagi seorang Notaris diatur dalam Pasal 17
ayat (1) UUJN yaitu sebagai berikut:
a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturutturut
tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
149

Eis Fitriyana Mahmud, “Batas-batas Kewajiban Ingkar Notaris dalam Penggunaan Hak
Ingkar pada Proses Peradilan Pidana”, Jurnal, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2013, hlm.18.

Universitas Sumatera Utara

84

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat
Lelang Kelas II diluar tempat kedudukan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
Apabila seorang Notaris melanggar larangan yang tersebut dalam Pasal 17 ayat (1)
UUJN tersebut diatas maka Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. Peringatan tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat, atau
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, “Notaris dilarang untuk membuat akta dalam suatu keadaan tertentu
seperti membuat akta untuk diri sendiri maupun keluarga sendiri”. Apabila seorang
Notaris melanggar Pasal 52 ayat (1) tersebut diatas berdasarkan Pasal 52 ayat (3)
maka Notaris tersebut dikenakan sanksi perdata yaitu dengan “membayar biaya, ganti
rugi dan bunga kepada para penghadap dan konsekuensinya adalah akta yang dibuat
hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan”.
Notaris dalam keadaan tertentu tidak berwenang dalam membuat akta karena
alasan-alasan yang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris, seperti150:
1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 4 UUJN).
2. Selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 UUJN).
150

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Cetakan Kesatu, Op. Cit, hal. 157.

Universitas Sumatera Utara

85

3. Diluar wilayah jabatannya (Pasal 17 huruf a dan Pasal 18 ayat (2) UUJN.
4. Selama Notaris cuti (Pasal 25 UUJN).

B. Perbuatan Melawan Hukum Oleh Notaris Dalam Pembuatan Akta
1.

Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Istilah “perbuatan melawan hukum” ini, dalam bahasa Belanda disebut

dengan istilah “onrechtmatige daad” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
“tort”. Kata tort itu sebenarnya hanya berarti “salah” (wrong). Akan tetapi khususnya
dalam bidang hukum, kata tort itu berkembang sedemikian rupa sehingga berarti
kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. 151 Jadi serupa dengan
pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatge daad) dalam sistem hukum
Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata “tort” berasal dari
kata latin “torquere” atau “tortus” dalam bahasa Perancis, seperti kata “wrong”
berasal dari kata “wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).
Sehingga pada prinsipnya, tujuan dari dibentuknya suatu sistem hukum yang
kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat
tercapai seperti apa yang disebut oleh peribahasa latin, yaitu: Juris praecepta sunt
haec; honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (Semboyan hukum
adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain
haknya).152

151

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), hal. 2.
152
Ibid.,

Universitas Sumatera Utara

86

Menurut pasal 1365 KUH Perdata, maka yang disebut dengan perbuatan
melawan hukum adalah :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
Rumusan perbuatan melawan hukum menurut Wiryono Prodjodikoro adalah:
“Perbuatan yang mengakibatkan keguncangan dalam kehidupan
bermasyarakat dan keguncangan ini tidak hanya terdapat dalam kehidupan
bermasyarakat apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat
dilanggar (langsung). Oleh karena itu, tergantung dari nilai hebatnya
keguncangan itu. Meskipun secara langsung hanya mengenai peraturan
kesusilaan, keagamaan atau sopan santun, tetapi harus dicegah keras, seperti
mencegah suatu perbuatan yang langsung melawan hukum”.153
Menurut Ter Haar, Pengertian Perbuatan Melawan Hukum adalah: “tiap-tiap
gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang kelahiran dan
kerohaniaan dari milik hidup seseorang atau gerombolan orang-orang”. 154
Secara klasik, yang dimaksud dengan “perbuatan” dalam istilah perbuatan
melawan hukum adalah155:
a. Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh
hukum.
b. Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah,
perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia
mempunyai hak untuk melakukannya.
153

http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-perbuatan-melawan-hukum-menurutpakar-hukum.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2016.
154
Ibid.,
155
Munir Fuady, Op. cit., hal. 5

Universitas Sumatera Utara

87

c. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan

dimana

pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.
Beberapa definisi lain terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai
berikut156:
a. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban
kontraktual atau kewajiban quasi kontraktual yang menerbitkan hak untuk
meminta ganti rugi.
b. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya
kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum,
dimana perbuatan atau tidak berbuat sesuatu baik merupakan suatu perbuatan
biasa maupun bisa juga merupakan suatu keelakaan.
c. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban
mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak
memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
d. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti rugi kerugian
dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau
wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban
lainnya.
e. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih
tepatnya merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang
diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.
f. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan
hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu
ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
2.

Unsur- Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Apabila mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melawan

hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut157:

a. Adanya suatu perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si
pelakunya. Perbuatan tersebut dapat berarti berbuat sesuatu (aktif) maupun
tidak berbuat sesuatu (pasif).
156
157

Ibid., hal. 3
Ibid., hal. 10

Universitas Sumatera Utara

88

b. Perbuatan tersebut melawan hukum
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum, unsur melawan
hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni dalam hal:
perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku, melanggar hak orang
lain yang dijamin oleh hukum, perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan,
perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat
untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
c. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku
Pasal 1365 mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” (schuld) dalam suatu
perbuatan melawan hukum. Suatu tindakan diangap oleh hukum mengandung
unsur kesalahan sehinga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum
jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya unsur kesengajaan, atau
2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond),
seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain.
d. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi korban
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dikenakan. Berbeda dengan
kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil, maka
kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil,

Universitas Sumatera Utara

89

yuriprudensi juga mengakui konsep immateril, yang juga akan dinilai dengan
uang.
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Kerugian yang dialami oleh si korban haruslah memiliki hubungan kausal
dengan perbuatan si pelaku. Seandainya tidak ada perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh si pelaku maka tidak ada kerugian yang dialami si
korban.
3.

Perbuatan Melawan Hukum Oleh Notaris Dalam Pembuatan Akta
Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang menimbulkan

kerugian, dan secara normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata. Bentuk tanggung gugat yang dianut oleh Pasal 1365 KUHPerdata ini
adalah tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based fault). Hal ini dilihat
dalam ketentuan pasal tersebut yang mensyaratkan adanya kesalahan pada pelaku
untuk sampai kepada keputusan apakah perbuatan seseorang itu merupakan perbuatan
melawan hukum. Selain itu, unsur kesalahan harus dibuktikan oleh pihak yang
menderita kerugian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata dan 163
HIR.158
Perbuatan melawan hukum, yang dimaksud dalam perbuatan melawan hukum
oleh Notaris, tidak hanya perbuatan yang langsung melawan hukum, melainkan juga
perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain, dimana yang dimaksud
158

Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, (Bandung:
Mandar Maju, 2011), hal. 179.

Universitas Sumatera Utara

90

peraturan lain adalah peraturan yang berada dalam lapangan kesusilaan, keagamaan
dan sopan santun dalam masyarakat yang dilanggar.159
Notaris melakukan perbuatan melawan hukum juga dapat didasarkan pada
Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
mengganti kerugian tersebut. Apabila Notaris melakukan suatu pembuatan akta atas
perintah dan permintaan dari para pihak dan syarat-syarat formil yang ditentukan oleh
undang-undang dalam pembuatan akta telah dipenuhi oleh Notaris, maka Notaris
tidak bertanggungjawab. Pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya
praktis baru ada arti apabila melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh
hukum. Sebagian besar di dalam KUHPerdata dinamakan perbuatan melawan hukum
(onrechmatige daad)160.
Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah
satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut161:
1.
2.
3.
4.

Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
Perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
Perbuatan yang bertentangan dengan kaidah kesusilaan.
Perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehatihatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan masyarakat.
Untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum tidak disyaratkan adanya

keempat kriteria itu secara kumulatif, namun dipenuhinya salah satu kriteria secara
159

R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum
Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 6-7.
160
R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur Bandung,
1984), hal. 80.
161
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

91

alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya mengenai penjelasan kriteria perbuatan melawan hukum tersebut sebagai
berikut:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht)
Kewajiban hukum bagi Notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN
adalah membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan
yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan /atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta. Atas dasar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, maka
terhadap akta otentik diberikan kekuatan pembuktian, sehingga mewujudkan suatu
akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Dalam pelaksanaan wewenang tersebut berkaitan dengan kewajiban bagi
Notaris untuk mewujudkan akta otentik yang berkekuatan pembuktian sempurna.
Oleh karena itu, seorang Notaris harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
UUJN, ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Kode Etik Notaris Indonesia,
maupun ketentuan-ketentuan lainnya. Dengan dibuatnya akta yang cacat hukum, yang
kemudian dinyatakan tidak otentik karena syarat-syarat formal akta otentik tidak
terpenuhi, sehingga menjadi akta di bawah tangan atau bahkan dinyatakan batal, atau
menjadi batal demi hukum, maka terhadap kejadian tersebut menjadi bertentangan
dengan kewajiban hukum bagi notaris.162
2. Melanggar hak subjektif orang lain

162

Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 180-181.

Universitas Sumatera Utara

92

Suatu perbuatan atau tidak berbuat merupakan perbuatan melanggar hukum
apabila terjadi pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang. Yang dimaksud dengan
hak subjektif adalah suatu kewenangan khusus seseorang yang diakui oleh hukum,
kewenagan itu diberikan kepadanya untuk mempertahankan kepentingannya.
Hak-hak yang diakui sebagai hak subjektif, menurut yurisprudensi:
a. hak-hak kebendaan serta hak-hak absolut lainnya (eigendom, erfpacht, hak
oktrooi, dan lain-lain).
b. hak-hak pribadi (hak atas integritas pribadi dan integritas badaniah,
kehormatan, serta nama baik dan sebagainya).
c. hak-hak khusus, seperti hak penghunian yang dimiliki seorang
penyewa.163
Beberapa contoh dibawah ini dikatakan sebagai pelanggaran hak orang lain:
1. seseorang melakukan perbuatan yang semata-mata menjadi wewenang
orang lain (pelanggaran atas hak eksklusif suatu hak).
2. Seseorang melakukan perbuatan yang menghalangi, atau mempersulit
orang lain yang berhak untuk melaksanakan hak-haknya.
Bentuk kesalahan yang kedua inilah yang paling tepat untuk diterapkan
terhadap kasus pembuatan akta notaris, sebab perbuatan Notaris yang bersangkutan
telah menghalangi atau mempersulit klien atau orang yang berhak atas akta untuk
melaksanakan haknya. Hak klien yang dijamin undang-undang selaku yang berhak

163

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 2008),
hal. 260-261.

Universitas Sumatera Utara

93

atas akta adalah hak untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti haknya
yang sah, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat meneguhkan atau mendalilkan
haknya, bahkan membantah hak orang lain. Kemudian, ternyata akta tersebut
dibatalkan dengan putusan pengadilan, sehingga klien Notaris tersebut tidak
mendapatkan hak atas akta otentik, atau tidak dapat mempergunakan akta tersebut
sebagaimana layaknya peran dan fungsi sebuah akta otentik, sehingga klien yang
seharusnya sebagai pemegang hak menjadi tidak dapat melaksanakan haknya.
3. Melanggar kaidah tata susila
Pelanggaran terhadap kaidah tata susila merupakan kriteria ketiga perbuatan
melawan hukum. Hal ini mencerminkan kesadaran setidak-tidaknya dalam hukum
perdata, bahwa pengertian hukum dan undang-undang tidak identik, dan untuk
menghindari tanggung gugat keperdataan tidak cukup dengan mematuhi aturanaturan tingkah laku dalam undang-undang saja, melainkan harus pula dipatuhi normanorma sopan santun yang tidak tertulis.
Pasal 1335 KUHPerdata dan 1337 KUHPerdata menentukan bahwa:
“perjanjian yang bertentangan dengan kaidah tata susila tidak diperkenankan dan
tidak memiliki kekuatan hukum, demikian pula ajaran tentang perbuatan melawan
hukum menentukan bahwa suatu perbuatan ataupun tidak berbuat yang bertentangan
dengan kesusilaan adalah suatu perbuatan melawan hukum”. Kaidah tata susila
sebagai suatu pengertian hukum dimaksudkan kaidah-kaidah moral, sejauh ini
diterima oleh masyarakat sebagai kaidah hukum tidak tertulis. Namun dasar putusan

Universitas Sumatera Utara

94

hakim perdata untuk menilai apakah suatu perbuatan bersifat melawan hukum, jarang
yang mendasarkan pertimbangannya pada pelanggaran terhadap kaidah tata susila.164
4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati
Kriteria keempat perbuatan melawan hukum ini berbunyi sebagai berikut:
bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat atau
terhadap barang milik orang lain, kriteria ini bersumber pada hukum tidak tertulis.
Kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati mewajibkan setiap orang dalam
memenuhi kepentingannya memperhatikan kepentingan orang lain. Pemenuhan
kepentingan seseorang haruslah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga tidak
berbahaya bagi kepentingan warga masyarakat yang lain. Dalam melaksanakan
kepentingan tersebut seseorang haruslah memperhatikan norma-norma kepatutan,
ketelitian, serta sikap hati-hati, sehingga tindakannya tidak boleh membahayakan atau
merugikan orang lain. Dalam hal ia bertindak tanpa memperhatikan norma-norma
tersebut dan tindakannya itu menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka dapat
dikatakan bahwa orang itu melakukan perbuatan melawan hukum. Kepatutan,
ketelitian, serta sikap hati-hati yang dimaksud disini bertujuan agar sedapat mungkin
Notaris memberikan pemecahan atas permasalahan yang dihadapi kliennya melalui
nasihat dan penyuluhan hukumnya. Disamping menghasilkan suatu akta otentik yang
sah menurut hukum, sehingga dapat dipergunakan di kemudian hari oleh kliennya
sebagai bukti atas haknya.165

164
165

Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 183.
Ibid.,

Universitas Sumatera Utara

95

Sikap kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati ini dapat diwujudkan dalam
bentuk memberikan bantuan atau nasihat hukumnya. Notaris diwajibkan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan dari sisi yuridis mengenai permasalahan yang
dihadapi oleh klien, tidak terkecuali konsekuensi-konsekuensi hukum apa yang
mungkin terjadi secara yuridis dapat diprediksikan. Sehingga sedapat mungkin upaya
ini dapat menunjukkan adanya langkah antisipatif terhadap akta otentik yang akan
dihasilkannya merupakan akta otentik yang sah dan dapat berperan sebagai alat bukti
yang sempurna.166
Dalam kasus pembuatan akta yang cacat hukum, dalam hal ini kewajiban
Notaris untuk menjelaskan dan menunjukkan kelemahan-kelemahan atau kekurangan
yang terdapat dalam suatu akta otentik tidak dilakukan, sehingga tindakan notaris
tersebut membahayakan atau merugikan orang lain. Dan apabila tindakan tersebut
merugikan orang lain, maka dapatlah dikatakan bahwa Notaris tersebut telah
melakukan perbuatan melawan hukum.167
Disamping persyaratan-persyaratan di atas, Achmad Sanusi mengemukakan
syarat-syarat untuk menjalankan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum yaitu:
Causalitas antara perbuatan melawan hukum dengan timbulnya kerugian, dalam
pembuktiannya terdapat teori atau ajaran adequate yang dikemukakan oleh J. Von
Kries, yaitu apabila kerugian tersebut adalah menurut kebiasaan-kebiasaan dalam
pengalaman merupakan suatu akibat langsung dari perbuatan melawan hukum. 168

166

Ibid, hal. 184
Ibid.,
168
Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia,
(Bandung: Tarsito,1991), hal. 189.
167

Universitas Sumatera Utara

96

Lebih lanjut Moeljatno mengartikan teori J. Von Kries sebagai syarat yang
pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal dapat menimbulkan akibat
atau kejadian tersebut, dimana pengertian normal ini diartikan:
a. tergantung subjek tentang pandangannya mengenai bagaimanakah yang
dinamakan moral.
b. sepanjang

terdakwa

secara

persoonlijk

mengetahui

atau

seharusnya

mengetahui keadaan sekitar akibat.169
Pada intinya prinsip dari syarat causalitas, bahwa secara normal kerugian yang
diderita para pihak adalah akibat dari perbuatan notaris tersebut, sehingga dapat
dikatakan bahwa perbuatan notaris yang bersangkutan melawan hukum. Secara
normal, perbuatan notaris yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya kerugian,
karena notaris dianggap mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan sekitar.
Seorang Notaris yang membuat akta cacat hukum secara normal atas perbuatannya
tersebut telah menimbulkan kerugian bagi kliennya mengingat seorang notaris
mengetahui atau seharusnya mengetahui, bahwa pembuatan akta yang cacat hukum
akan dibatalkan oleh pengadilan dan seharusnya mengetahui juga konsekuensi dari
pembuatan akta tersebut. Kalimat mengetahui atau seharusnya mengetahui
ditekankan, dengan alasan bahwa seorang Notaris tidak dapat mengatakan, bahwa
dirinya tidak mengetahui adanya larangan tersebut berikut konsekuensinya, asal
pembuatan akta tersebut disepakati para pihak, sebagai pembelaan diri. Seorang

169

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

97

Notaris dituntut untuk harus mengetahui mengingat seorang Notaris sebelum
memasuki dunia praktek telah dibekali kemampuan praktis dan teoritis.170
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelumnya diartikan
secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang
timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang, sehingga
menimbulkan suatu pelanggaran. Demikian juga dalam pelanggaran terhadap UUJN
yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta, yaitu tidak terpenuhinya
ketentuan sebagai berikut:
1. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i,
Pelanggaran yang dilakukan Notaris yaitu Notaris tidak membacakan akta di
hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi
dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan
Notaris.171Pelanggaran seperti ini termasuk ke dalam cacat bentuk akta
Notaris, karena pembacaan akta oleh Notaris di hadapan para pihak dan saksi
merupakan suatu kewajiban dengan kehendak yang bersangkutan, dan telah
dilakukan pembacaan tersebut wajib dicantumkan pada bagian akhir akta
Notaris.172

170

Sjaifurrachman, Op.Cit., hal. 185.
Penandatanganan para pihak, saksi dan Notaris merupakan suatu kewajiban. Khusus untuk
para pihak yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya karena cacat fisik tangannya atau tidak
dapat membaca-menulis, maka Notaris wajib menuliskan pada akhir akta keadaan tersebut.
172
Habib Adjie, 2011, Op. Cit., hal. 83
171

Universitas Sumatera Utara

98

2. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada
Pasal 39 UUJN dan Pasal 40 UUJN
Melanggar Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN mengenai tidak dipenuhinya
ketentuan dalam Pasal 39 mengenai kecakapan penghadap melakukan
perbuatan

melawan

hukum,

penghadap

dikenal

oleh

Notaris

atau

diperkenalkan kepadanya 2 (dua) orang saksi. Pasal 40 mengenai akta
dibacakan Notaris dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi yang cakap melakukan
perbuatan hukum.
Ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN berkaitan dengan aspek subjektif
sahnya akta Notaris, yaitu cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Pelanggaran terhadap Pasal ini termasuk ke dalam tidak mampunya
pejabat umum yang bersangkutan untuk memahami batasan umum dewasa
untuk melakukan suatu perbuatan hukum.173
Ketentuan-ketentuan tersebut dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal
dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, akta Notaris mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Selain itu terdapat juga
pelanggaran yang dilakukan Notaris sehingga akta Notaris yang batal demi hukum
yaitu sebagai berikut:
1. Pelanggaran Notaris terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf l
Melanggar kewaj