Suatu Tinjauan Tentang Pembatalan Akta Notaris Yang Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.3641 K/Pdt/2001).

(1)

DI DALAM RUMAH TAHANAN (STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG RI NO.3641 K/Pdt/2001)

TESIS

Oleh

MAHALIA NOLA POHAN

097011124/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DI DALAM RUMAH TAHANAN (STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG RI NO.3641 K/Pdt/2001)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAHALIA NOLA POHAN

097011124/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

DALAM RUMAH TAHANAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3641 K/Pdt/2001)

Nama Mahasiswa : Mahalia Nola Pohan

Nomor Pokok : 097011124

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

Anggota : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : MAHALIA NOLA POHAN

Nim : 097011124

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : SUATU TINJAUAN TENTANG PEMBATALAN AKTA

NOTARIS YANG PENANDATANGANANNYA

DILAKUKAN DI DALAM RUMAH TAHANAN (STUDI

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3641

K/Pdt/2001)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :MAHALIA NOLA POHAN


(6)

Notaris adalah pejabat umum yang oleh Undang-Undang diberikan kewenangan dan kepercayaan dari masyarakat untuk menjalankan sebagian kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis yang otentik dalam bidang hukum perdata. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta memberikan kepastian hukum. Untuk itu Notaris dituntut agar selalu berusaha dalam koridor asas kehati-hatian dalam pembuatan suatu akta. Ketidakhati-hatian Notaris dalam membuat akta Notaris dapat mengakibatkan suatu akta dapat batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dapat mengetahui unsur-unsur yang dapat membatalkan suatu akta, sehingga Notaris dapat terhindar dari tuntutan-tuntutan atas pembatalan akta yang dibuat dihadapannya.

Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melihat putusan-putusan hakim. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati mengenai kecakapan seorang terdakwa atau tersangka, unsur-unsur suatu tindakan dalam

paksaan serta akibat hukum terhadap pembatalan akta Notaris yang

penandatangannya dilakukan di dalam rumah tahanan. Status seseorang sebagai terdakwa atau tersangka tidak mengakibatkan kehilangan haknya untuk melakukan perbuatan hukum dalam suatu akta Notaris. Sementara unsur-unsur yang dapat mengakibatkan pembatalan suatu akta dapat terjadi dikarenakan adanya unsur paksaan fisik dan paksaan psikologis, dimana salah satu pihak pada saat penandatanganan akta dalam keadaan tertekan. Sedangkan akibat hukum dari pembatalan suatu akta, maka Notaris dapat dikenakan berupa sanksi administratif, sanksi perdata maupun sanksi pidana apabila ternyata terbukti adanya unsur pidana dalam proses pembuatan akta, selain itu Notaris harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh para pihak.


(7)

Notary is a public official who is given an authority by the Law and trust by the members of society to implement part of State’s authority to make authentic written evidence in the field of civil law. The authentic act made by a Notary has perfect proving evidence and provides legal certainty. For this purpose, a Notary is required to always work based on the principle of caution in making an act. Notary’s carelessness in making an act can result in an act that can be cancelled by law. Therefore, in implementing his/her service, a Notary must know the elements that can annul an act, which the Notary can avoid the claims on the act made before him/her.

This is an analytical descriptive study with normative judical approach. The data for this study comprised primary and secondary data obtained through documentation study. The primary data were obtained through studying judge’s decisions and the secondary data were obtained through studying the primary, secondary, and tertiary legal materials. The data obtained were then qualitatively analyzed.

Based on the result of this study, skills of a defendant or suspect, the elements of an act in force, the legal consequences of the cancellation of a notarial document signed in the penitentiary, were found out. Status of someone as a defendant or suspect does result in this his losing his right to perform legal acts in a notarial document. While the elements than can lead to an act cancellation can occur due to the elements of physical and psychological forces, in which one of the parties is in the state of depression an the time of signing the act. The legal consequence of an act cancellation is that the Notary may be subject to either civil administrative, civil and criminal penalties if the existence of criminal elements in the process of making the act is proven, and in addition, the Notary shall be responsible for any damages suffered by the parties.


(8)

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW berikut keluarga, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, atas terselesaikannya penulisan Tesis dengan judul “Suatu Tinjauan Tentang Pembatalan Akta Notaris Yang Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No.3641 K/Pdt/2001).”

Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk melengkapi syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan penuh kesadaran bahwa tiada satupun yang sempurna di muka bumi ini, penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan terlebih dengan keterbatasan kemampuan, baik dari segi penyajian teknik penulisan maupun materi.

Penulisan tesis ini tidaklah mungkin akan menjadi sebuah karya ilmiah tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah ikut serta baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.


(9)

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Anggota Komisi Penguji dalam penelitian ini.

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini.

5. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini.

7. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH., MKn., selaku Anggota Komisi Penguji dalam penelitian ini.

8. Seluruh Staff Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

restunya sehingga penulis dapat melanjutkan dan meyelesaikan pendidikan di Program Study Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Terima kasih kepada Abang dan Kakak, Muhammad Reinur Pohan, ST., MCP., Ledy Sharah Pohan, S.Sos., Trisilia Pohan, ST., atas dukungannya selama ini kepada penulis.

11.Terima kasih kepada Abang dan Kakak Ipar, Ruswan Nurmadi, SE, Muhammad Desdin Nasution, SH., MKn dan Putri Komalasari, S.Psi., atas dukungannya selama ini kepada penulis.

12.Terima kasih kepada Keluarga Besar Pohan dan Machmuders atas segala dukungannya selama ini kepada penulis.

13.Terima kasih kepada teman-teman SMU Negeri 1 Tahun 2004 Medan dan Fakultas Hukum USU atas segala dukungan dan bantuannya kepada Penulis. 14.Terima kasih kepada teman-teman dalam bermusik di Au Revoir atas

dukungannya kepada Penulis.

15.Terima kasih kepada Rico Triputra Bayu Waas, S.Sn., atas dukungan semangatnya kepada penulis.

16.Seluruh staff pegawai administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(11)

rekan-18.Seluruh pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian penulisan Tesis ini.

Akhirnya tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak sengaja. Penulis hanya bisa mendoakan agar semua pihak yang telah membantu selama ini dilipatgandakan pahalanya. Dengan iringan doa semoga Allah SWT berkenan menerima amal ini menjadi sebuah nilai ibadah disisi-Nya dan dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga Tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Amiin Yaa Robbal’alamin

Wasalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, Nopember 2011

Penulis


(12)

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Mahalia Nola Pohan

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 13 Februari 1986

3. Alamat : Tasbi Blok A No.49 A - Medan.

II. IDENTITAS KELUARGA

1. Orang Tua

Ayah : Alm. Ir. Karnold Pohan

Ibu : Wenny Dwi Julia

2. Abang : Muhammad Reinur Pohan, ST, MCP.

3. Kakak : Ledy Sharah Pohan, S.Sos.

Trisilia Pohan, ST.

III. KETERANGAN PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar : SD Harapan 2

Tamat Tahun 1998

2. Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 1 Medan

Tamat Tahun 2001

3. Sekolah Menengah Atas : SMU Negeri 1 Medan

Tamat Tahun 2004

4. Stara 1 (S1) Fakultas Hukum : Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2008

5. Stara 2 (S2) Magister Kenotariatan : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2011


(13)

ABSTRAK... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitan ... 24

1. Spesifikasi Penelitian... 24

2. Metode Pendekatan... 25

3. Sumber Data ... 26

4. Teknik Pengumpulan Data ... 27

5. Alat Pengumpulan Data... 27

6. Analisis Data... 28

BAB II KECAKAPAN HUKUM SESEORANG YANG BERADA DI DI DALAM RUMAH TAHANAN MENANDATANGANI AKTA NOTARIS... 29

A. Tinjauan Umum Notaris ... 29

1. Sejarah Notaris... 29


(14)

B. Tinjauan Umum tentang Akta Otentik ... 43

1. Pengertian Akta ... 43

2. Jenis-Jenis Akta ... 46

3. Akta Notaris Sebagai Akta Otentik ... 47

4. Kekuatan Akta Otentik Sebagai Alat Bukti... 50

C. Kedewasaan Menurut Hukum Dalam Pembuatan Akta Notaris... 57

D. Kecapakan Hukum Seseorang Yang Berada Di Dalam Rumah Tahanan Dalam Pembuatan Akta Notaris... 62

1. Kecakapan Hukum Bertindak... 62

2. Kecapakan Hukum Tersangka atau Terdakwa Dalam Pembuatan Akta Notaris ... 65

BAB III UNSUR PAKSAAN YANG DAPAT MENIMBULKAN PEMBATALAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG DITANDATANGANI DI DALAM RUMAH TAHANAN... 69

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian... 69

1. Pengertian Perjanjian ... 69

2. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian ... 71

3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 77

4. Pembatalan Suatu Perjanjian... 79

B. Unsur-Unsur Suatu Tindakan Paksaan Dalam Perjanjian ... 81

C. Adanya Unsur Paksaan Sebagai Alasan Pembatalan Akta Notaris oleh Mahkamah Agung Berdasarkan Putusan No.3641 K/Pdt/2001. ... 85

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA YANG DIBUAT DIHADAPANNYA DITANDATANGANI DI DALAM RUMAH TAHANAN... 92

A. Tinjauan tentang Tanggung Jawab Profesi... 92

1. Pengertian tentang Tanggung Jawab ... 92


(15)

C. Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Notaris Dalam Pembuatan

Akta... 104

D. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembatalan Akta... 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 118


(16)

Notaris adalah pejabat umum yang oleh Undang-Undang diberikan kewenangan dan kepercayaan dari masyarakat untuk menjalankan sebagian kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis yang otentik dalam bidang hukum perdata. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta memberikan kepastian hukum. Untuk itu Notaris dituntut agar selalu berusaha dalam koridor asas kehati-hatian dalam pembuatan suatu akta. Ketidakhati-hatian Notaris dalam membuat akta Notaris dapat mengakibatkan suatu akta dapat batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dapat mengetahui unsur-unsur yang dapat membatalkan suatu akta, sehingga Notaris dapat terhindar dari tuntutan-tuntutan atas pembatalan akta yang dibuat dihadapannya.

Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melihat putusan-putusan hakim. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati mengenai kecakapan seorang terdakwa atau tersangka, unsur-unsur suatu tindakan dalam

paksaan serta akibat hukum terhadap pembatalan akta Notaris yang

penandatangannya dilakukan di dalam rumah tahanan. Status seseorang sebagai terdakwa atau tersangka tidak mengakibatkan kehilangan haknya untuk melakukan perbuatan hukum dalam suatu akta Notaris. Sementara unsur-unsur yang dapat mengakibatkan pembatalan suatu akta dapat terjadi dikarenakan adanya unsur paksaan fisik dan paksaan psikologis, dimana salah satu pihak pada saat penandatanganan akta dalam keadaan tertekan. Sedangkan akibat hukum dari pembatalan suatu akta, maka Notaris dapat dikenakan berupa sanksi administratif, sanksi perdata maupun sanksi pidana apabila ternyata terbukti adanya unsur pidana dalam proses pembuatan akta, selain itu Notaris harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh para pihak.


(17)

Notary is a public official who is given an authority by the Law and trust by the members of society to implement part of State’s authority to make authentic written evidence in the field of civil law. The authentic act made by a Notary has perfect proving evidence and provides legal certainty. For this purpose, a Notary is required to always work based on the principle of caution in making an act. Notary’s carelessness in making an act can result in an act that can be cancelled by law. Therefore, in implementing his/her service, a Notary must know the elements that can annul an act, which the Notary can avoid the claims on the act made before him/her.

This is an analytical descriptive study with normative judical approach. The data for this study comprised primary and secondary data obtained through documentation study. The primary data were obtained through studying judge’s decisions and the secondary data were obtained through studying the primary, secondary, and tertiary legal materials. The data obtained were then qualitatively analyzed.

Based on the result of this study, skills of a defendant or suspect, the elements of an act in force, the legal consequences of the cancellation of a notarial document signed in the penitentiary, were found out. Status of someone as a defendant or suspect does result in this his losing his right to perform legal acts in a notarial document. While the elements than can lead to an act cancellation can occur due to the elements of physical and psychological forces, in which one of the parties is in the state of depression an the time of signing the act. The legal consequence of an act cancellation is that the Notary may be subject to either civil administrative, civil and criminal penalties if the existence of criminal elements in the process of making the act is proven, and in addition, the Notary shall be responsible for any damages suffered by the parties.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Lembaga Notaris masuk ke Indonesia didasari oleh kebutuhan akan suatu alat bukti. Pada era reformasi terjadi perubahan lembaga notariat yang signifikan. Perubahan itu ditandai dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN) yang merupakan pengganti Peraturan Jabatan Notariat (Stb. 1860-3) dan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860: 3) yang dahulu merupakan peraturan Pemerintah Kolonial Belanda.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN, Notaris didefinisikan sebagai, “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Dalam penjelasan UUJN menyatakan bahwa, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Prinsip dari Negara hukum yaitu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.” Lebih lanjut dijelaskan bahwa, “Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menghendaki bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat”.


(19)

Notaris berdasarkan sistem hukum nasional, merupakan Pejabat Umum yaitu organ Negara yang mewakili serta bertindak untuk dan atas nama Negara di dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata.1 Sebagai Pejabat Umum, Notaris diangkat oleh Negara serta dilengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata.

Tanggung jawab yang diemban Notaris sangat besar dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Dalam Negara hukum, kedaulatan berada ditangan rakyat dan pemerintah sebagai penyelenggara bernegara mempunyai kewenangan untuk memberikan kepastian hukum di masyarakat agar dalam hidup bernegara dapat berjalan dengan baik. Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah secara tak langsung bertanggung jawab terhadap kepastian hukum di masyarakat.

Profesi Notaris pada saat ini menjadi sangat penting karena Notaris oleh Undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu alat pembuktian berupa akta otentik yang pada intinya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk semua orang yang membutuhkan suatu alat pembuktian untuk keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan usaha. Pembuatan akta otentik bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan serta masyarakat secara keseluruhan.

1 Herlien Budiono, Pertanggungjawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 (Dilema Notaris Diantara Negara, Masyarakat dan Pasar),Majalah Renvoi, Jakarta, 3 September 2005, hal. 32-33.


(20)

Masyarakat telah menganggap bahwa seorang Notaris adalah pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang dapat diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.2

Berkaitan dengan kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta, dikenal ada 2 (dua) macam akta Notaris, yaitu: akta partij (Partij Acte) atau akta pihak, yaitu akta yang dibuat di hadapan Notaris berdasarkan keterangan penghadap dan perbuatan pihak yang menghadap Notaris dan keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris untuk dibuatkan akta, misalnya akta sewa menyewa, dan yang kedua, akta relaas (Ambtelijke Acte) atau akta pejabat, yaitu akta yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum yang memuat uraian secara otentik tentang semua peristiwa atau kejadian yang dilihat dialami dan disaksikan oleh Notaris itu sendiri atas permintaan yang berkepentingan, misalnya berita acara RUPS dalam perseroan.

Akta Notaris merupakan salah satu jenis dari akta otentik, karena akta Notaris dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa dan Undang-undang. Dalam hal menjamin otensitas dari akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam Undang-undang, sehingga hal itu merupakan jaminan dipercayainya pejabat tersebut, maka akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi akta otentik dianggap dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.3

2

Tan Thong Kie,Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hal. 7.

3Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2002, hal.


(21)

Pengertian akta otentik sendiri adalah apa yang dirumuskan dalam Buku IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) tentang hukum pembuktian, yang mengatur mengenai syarat-syarat agar suatu akta dapat berlaku sebagai akta otentik, hal ini terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata, didalam Pasal tersebut ditentukan: “akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya”.

Keberadaan suatu akta otentik sebagai bukti tertulis dibuat atas perintah undang-undang dan dapat juga karena kehendak para pihak. Menurut ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata, menyatakan: “bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai yang benar, selama ketidakbenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

G.H.S. Lumban Tobing, berpandangan mengenai kekuatan pembuktian dari suatu akta Notaris, yakni meliputi kekuatan pembuktian material, pembuktian formil dan pembuktian lahiriah, yakni:

Kekuatan pembuktian akta otentik, dengan demikian juga akta Notaris, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-Undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu.4


(22)

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyatakan bahwa akta Notaris mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, yaitu:

1. Kekuatan pembuktian luar (uitwendige bewijskracht).

yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan agar akta Notaris dapat berlaku sebagai akta otentik.

2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht).

yaitu kepastian, bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap.

3. Kekuatan Pembuktian materiil (materiele bewijskracht).

yaitu kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta tersebut merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).5

Akta Notaris yang telah dibuat pada awalnya tidak ada masalah, akan tetapi dalam pelaksanaannya seringkali terjadi permasalahan, permasalahan itu timbul ketika salah satu pihak merasa dirinya dirugikan dan pada akhirnya akan menimbulkan suatu sengketa, dimana salah satu pihak menghendaki pembatalan atas akta Notaris yang telah dibuat sebelumnya.

Suatu akta otentik yang dibuat atas permintaan para pihak yang berkepentingan, apabila terjadi pelanggaran maupun penyimpangan dari isi akta terhadap ketentuan perundang-undangan, maka akta itu hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.6

5

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta, Rajawali Pers, 1982, hal. 55.

6Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,


(23)

Sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka akta yang dimintakan pembatalannya tersebut dapat dikatakan tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat sesuatu, artinya, pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perijinannya) secara tidak bebas.7

Karena akta Notaris merupakan suatu alat bukti yang sempurna, maka bilamana terdapat suatu kebatalan(nulitas)dalam akta Notaris (otentik), tidak seperti halnya akta dibawah tangan, terdapat perbedaan berdasarkan alasan kebatalannya dalam hal membuktikan bahwa terdapatnya akta batal demi hukum atau dibatalkan oleh pengadilan atau arbitrase sedangkan berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas

dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak.8 Karena sebagaimana diketahui terdapatnya akta relaas (akta yang disaksikan oleh Notaris, dibuat oleh para pihak) dengan akta partij (akta yang dibuat oleh Notaris setelah mendapatkan keterangan, dilihat dan didengar keinginan para pihak yang menghadap dihadapan Notaris) dengan menjamin kepastian hari, tanggal dan waktunya.

Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian menjadi batal jika terdapat paksaan terdapat dalam Pasal 1323 KUHPerdata yang berbunyi: “paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut telah tidak dibuat”, serta ketentuan dalam

7Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 2005, hal. 20.

8Gunawan Widjaja,Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht)


(24)

Pasal 1325 KUHPerdata yang berbunyi: “paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun ke bawah”.

Pasal 1335 KUHPerdata mengatakan, “suatu persetujuan tanpa sebab yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diartikan bahwa suatu persetujuan yang dibuat dengan sebab-sebab palsu maka dapat dimintakan pembatalan ataupun batal demi hukum. Dengan batalnya suatu perbuatan hukum itu maka menjadikan tidak mempunyai akibat hukum, baik terhadap orang tertentu maupun terhadap semua pihak.

Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa, adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian, dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana.9

Apabila subyek hukum tersebut tidak bebas dalam membuat suatu perjanjian yang disebabkan adanya unsur paksaan (dwang), unsur kekeliruan (dwaling), atau unsur penipuan, kecuali paksaan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut dapat dituntut untuk dibatalkan.

9 Nurul Muslimah Kurniati, Batasan Asas Kebebasan Berkontrak,

http://notarisnurulmuslimah kurniati.blogspot.com/2009/04/batasan-asas-kebebasan-berkontrak.html, diakses tanggal 4 Mei 2011.


(25)

Pengertian paksaan yang terjadi, dapat berupa paksaan badan, ataupun paksaan jiwa, kecuali paksaan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti paksaan yang terjadi sebagai akibat terjadinya kelalaian atau wanprestasi dan satu pihak kemudian melakukan penggugatan ke muka pengadilan dan sebagai akibatnya pengadilan memaksa untuk memenuhi prestasi.

Dalam menjalankan prakteknya sehari-hari, kadangkala ada akta yang dibuat oleh Notaris isinya dipermasalahkan bahkan diragukan kebenarannya, dianggap bertentangan dengan hukum dan keadilan serta dirasakan merugikan kliennya, sehingga akta tersebut dibatalkan melalui putusan pengadilan.

Salah satu kasus pembatalan terhadap akta Notaris adalah berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 3641 K/PDT/2001 yang dalam putusannya telah membatalkan akta Notaris yang penandatanganannya dilakukan di dalam rumah tahanan (rutan). Pembatalan terhadap akta Notaris yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, dikarenakan Mahkamah Agung berpandangan bahwa penandatanganan akta Notaris kepada seseorang yang dalam keadaan terpaksa karena berada dalam tahanan merupakan suatu penyalahgunaan keadaan atau kesempatan, sehingga sebagai salah satu pihak dalam perjanjian yang telah disepakati itu dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.

Kronologis kasus tersebut terjadi bermula dari adanya laporan Bank Artha Graha (sebagai Tergugat I) kepada Kepolisian tentang adanya sangkaan yang ditujukan kepada seorang pengusaha di Jakarta yaitu Made Oka Masagung (sebagai Penggugat) telah melakukan tindak pidana korupsi perbankan dan oleh karena itu Penggugat ditahan dalam rumah tahanan.


(26)

Pada saat berada dalam tahanan, Penggugat diminta untuk menandatangani akta Notaris, yaitu akta Notaris No. 41 yang memuat pernyataan bahwa Penggugat masih mempunyai hutang kepada Tergugat I sebesar Rp.215.837.382.000,- (duaratus lima belas milyar delapan ratus tigapuluh juta tigaratus delapanpuluh duaribu rupiah) dan telah ditentukan harus dibayar kepada Tergugat I hanya sebesar Rp.100.000.000.000.-(seratus milyar rupiah). Selanjutnya diikuti dengan pembuatan akta Notaris No. 42 yang isinya mengenai penjaminan utang (bortogcht) dengan mencantumkan pihak ketiga sebagai pihak yang menjamin atas utangnya kepada pihak Tergugat I. Selain itu dibuat akta No. 31 sebagai perubahan akta No. 42 yang mengganti penjaminan (bortogcht) dengan harta kekayaan pihak ketiga lainnya. Dalam keadaan frustasi dan tertekan karena sedang ditahan di kepolisian, dan dengan adanya janji-janji dari Tergugat I yang akan membantu untuk melakukan penangguhan tahanan, maka Penggugat akhirnya menandatangani semua akta Notaris tersebut.

Setelah kasus yang menimpa Penggugat disidangkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada akhirnya Penggugat dinyatakan tidak bersalah dan selanjutnya dibebaskan dari dakwaan. Oleh karena itu, Penguggat yang merasa dirugikan dengan terbitnya akta Notaris itu, yang mana harta kekayaan Penggugat beralih kepada Tergugat I, maka Penggugat mengajukan gugatan perdata dengan salah satu tuntutan ataupetitum,agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan batal terhadap akta-akta Notaris yang dibuat di rumah tahanan (rutan) dihadapan Tergugat IV (Notaris), karena akta-akta tersebut dibuat dalam keadaan dimana Penggugat tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya yaitu pada saat berada


(27)

dalam tahanan yang berwajib, yang mana penandatanganan itu dilakukan dengan adanya sifat keterpaksaan.

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dilakukan penelitian tentang ”Pembatalan Akta Notaris Yang Penandatangannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No.3641 K/Pdt/2001)”.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kecakapan hukum seseorang yang berada di dalam rumah tahanan menandatangani Akta Notaris?

2. Bagaimanakah jika ada unsur paksaan yang dapat menimbulkan pembatalan terhadap Akta Notaris yang ditandatangani di dalam rumah tahanan?

3. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris terhadap pembatalan akta yang dibuat dihadapannya ditandatangani di dalam rumah tahanan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kecakapan hukum seseorang yang berada di dalam rumah tahanan menandatangani Akta Notaris.

2. Untuk mengetahui jika ada unsur paksaan yang dapat menimbulkan pembatalan terhadap Akta Notaris yang ditandatangani di dalam rumah tahanan.


(28)

3. Untuk mengetahui tanggung jawab Notaris terhadap pembatalan akta yang dibuat dihadapannya yang ditandatangani di dalam rumah tahanan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

a. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan secara

akademis dalam memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum

kenotariatan, terutama tentang kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang melakukan penandatanganan terhadap akta yang salah satu pihaknya berada di dalam rumah tahanan (rutan).

b. Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pemikiran-pemikiran baru bagi kalangan Notaris dalam menjalankan profesinya serta menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik sesuai UUJN.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Suatu Tinjauan Tentang Pembatalan Akta Notaris Yang Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No.3641 K/Pdt/2001)” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti


(29)

pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah tugas jabatan Notaris, namun secara judul dan substansi pokok permasalahan yang dibahas sangat jauh berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris tersebut yang pernah dilakukan adalah :

1. Mohandas Sherividya, NIM: 067011056, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2008 dengan judul “Pengawasan Terhadap Notaris dan Tugas Jabatannya Guna Menjamin Perlindungan Bagi Kepentingan Umum”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah:

a. Sejauh mana kewenangan Notaris sebagai pejabat umum pembuat akta?

b. Bagaimana kedudukan majelis pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris dibandingkan dengan tugas dewan kehormatan Notaris? c. Apakah pengawasan terhadap Notaris dan tugas jabatannya telah menjamin

perlindungan hukum bagi kepentingan umum?

2. Edi Natasari Sembiring, NIM: 077011016, mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2009, dengan judul “Kewenangan Notaris Dalam Status Tersangka Menjalankan Tugas Sebagai Pejabat Umum Membuat Akta Otentik”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah:

a. Bagaimana prosedur untuk melakukan penyidikan terhadap Notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana?

b. Bagaimana kewenangan Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana menjalankan tugas jabatannya membuat akta otentik? c. Bagaimana prosedur untuk menetapkan pemberhentian sementara terhadap


(30)

3. Masda Nadapdap, NIM: 087011080, mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU, Tahun 2010 dengan judul “Analisis Yuridis Tentang Tanggung Jawab Notaris Kaitannya Dengan Mal Administrasi”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah:

a. Faktor–faktor apakah yang dapat mempengaruhi seorang Notaris untuk melakukan mal administrasi?

b. Bagaimana tanggungjawab notaris dalam hal terjadinya mal administrasi? c. Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dan Majelis Pengawas Notaris

dalam hal meminimalisir terjadinya mal administrasi di kalangan profesi Notaris?

Jika diperhadapan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.10


(31)

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.11

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”12

Snelbecker mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.13

Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori keseimbangan berkontrak. Menurut Laesio Enormis, menyatakan bahwa, “suatu janji yang tidak diimbangi dengan sesuatu yang equivalent (sama nilainya) dengan isi janji itu oleh pihak kedua (lazimnya perjanjian sepihak eenzijdige overeenkomst atau abstract promise) tidak merupakan janji yang wajar, dan karenanya tidak pula mengikat”.14

11 M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal. 80. 12 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal. 6. 13

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002, hal. 34-35.

14Sunarjati Hartono,Mencari Bentuk Dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita,Alumni,


(32)

Prinsip di atas mencerminkan telah adanya rasa keadilan di dalam melakukan perjanjian. “Walaupun teori tersebut ternyata bukanlah yang tumbuh dalam hukum perjanjian kita yang bersumber dari KUHPerdata, dimana dikatakan masih berasaskan kehendak bebas perseorangan, yang merupakan falsafah hidup masyarakat Eropa pada abad ke-19”.15

Pencapaian keadaan yang seimbang mengimplikasikan, dalam konteks pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah dirugikannya salah satu pihak dalam perjanjian. “Dalam asas keseimbangan, faktor yang menentukan bukanlah kesetaraan prestasi yang diperjanjikan, melainkan kesetaraan para pihak, yakni jika keadilan pertukaran perjanjianlah yang hendak dijunjung tinggi”.16

Mengenai asas keseimbangan R. Kranenburg mengatakan bahwa:

Asas keseimbangan merupakan dasar berfungsinya kesadaran hukum orang, yang mana kesadaran hukum seseorang adalah menjadi sumber hukum seseorang. Dalil atas asas keseimbangan tersebut adalah bahwa tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu, dan dalam hal pembagian keuntungan dan kerugian tersebut tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, maka tiap-tiap anggota-anggota masyarakat hukum sederajat dan sama.17

Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini menjelaskan bahwa:

Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.18

15 Ibid, hal. 60.

16 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 318-319.

17

C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,Balai Pusaka, Jakarta, 1984, hal. 63 - 64.


(33)

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.19

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Jika terdapat unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan keadaan maka perjanjian dinyatakan tidak berlaku.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang dinyatakan tidak cakap menurut hukum adalah :

a. Orang-orang yang belum dewasa.

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

3. Mengenai suatu hal tertentu.

Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai objek dalam perjanjian tersebut. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun suatu kepentingan yang melekat pada benda. Apa saja yang menjadi objek dari yang diperjanjikan harus disebut secara jelas.


(34)

4. Suatu sebab yang halal.

Mengenai suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan/yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. “Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. Sedangkan apabila salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan”.20

Perjanjian yang dari sudut substansi ternyata bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum adalah batal demi hukum (nietig) dan pada prinsipnya hal serupa berkenaan dengan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang. Dalam tercipta atau terbentuknya perjanjian, ketidakseimbangan bisa muncul sebagai akibat perilaku para pihak sendiri ataupun sebagai konsekuensi dari muatan isi perjanjian atau pelaksanaan perjanjian.21

20 Subekti,Op.cit.,hal. 20.

21Herlien Budiono,Asas Keseimbangan Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Op.cit.,


(35)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Tiada suatu persetujuanpun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Maksud paksaan dalam KUHPerdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas.22

Begitu juga dengan akta Notaris, apabila dalam pembuatannya terdapat unsur paksaan, unsur kekeliruan, atau unsur penipuan, maka pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam memintakan pembatalan terhadap akta tersebut. Oleh karena itu, Notaris menjalankan profesinya harus lebih melindungi pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan akta. Hal tersebut diperlukan agar pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan akta akan mendapatkan kepastian hukum dan tidak mengalami kerugian.

Profesi Notaris menitikberatkan ketrampilan teknik dan keahlian khusus di bidang pembuatan akta otentik secara profesional. Seorang Notaris diwajibkan memiliki kualitas ilmu yang tidak diragukan dalam melayani klien, sehingga mampu bekerja secara mandiri. Tanggung jawab hukum, Notaris dalam menjalankan tugas profesinya terikat oleh aturan hukum yang mengaturnya, dituntut harus mampu menguasai segala aturan hukum yang berlaku.

22 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang


(36)

Apabila aturan hukum dipatuhi, maka risiko bagi Notaris untuk menghadapi gugatan atau tuntutan hukum sangat kecil. Bentuk tanggung jawab hukum Notaris adalah tanggung jawab hukum perdata bilamana Notaris melakukan kesalahan karena ingkar janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.

Terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang mengakibatkan akta yang dibuat dihadapannya batal demi, maka akan menimbulkan kerugian bagi pihak klien atau pihak lainnya. Sebagai dampaknya, maka Notaris dapat dimintakan pertanggung jawaban atas kesalahannya tersebut. Bentuk tanggung jawab Notaris yang telah melakukan melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai yang menimbulkan kerugian pihak lain dapat dituntut secara perdata maupun pidana.

Beberapa ketentuan di dalam UUJN telah mendefinisikannya baik secara eksplisit maupun implisit terhadap pembatalan akta Notaris. Sanksi-sanksi terhadap pembatalan akta Notaris diatur dalam Pasal 84 yaitu:

Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

Lebih lanjut dalam Pasal 85 mengatur bahwa:

Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j,


(37)

Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa :

a. teguran lisan; b. teguran tertulis;

c. pemberhentian sementara;

d. pemberhentian dengan hormat; atau e. pemberhentian dengan tidak hormat.

Hans kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.23

Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan:24

Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum di sebut “kekhilapan” (negligence); dan kekhilapan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari “kesalahan” (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.

Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembenanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).25

Menurut kamus hukum ada 2 istilah pertanggungjawaban yaitu, liability (the state of being liable)danresponsibility (the state or fact being responsible). Liability

merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang

23Hans Kelsen sebagaimana diterjemakan oleh Somardi,General Theory Of law and State,

Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik,Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007, hal. 81.

24Ibid

, hal. 83.

25Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka,


(38)

paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang.26 Sedangkanresponsibility

berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan yang telah ditimbulkannya.27

Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, membedakannya menjadi 4 (empat) hal, yaitu:

1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil akta yang dibuatnya;

2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil akta yang dibuatnya

3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Peraturan jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil akta yang dibuatnya

4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.28

Notaris sebagai Pejabat Umum (openbaar ambtenaar) mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Dengan kewenangan ini, akta Notaris mengikat para pihak

26

Ridwan HR.,Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 335.

27Ibid.,hal. 335-336.

28 Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta, Center For


(39)

atau mereka yang membuatnya, dan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti tidak perlu didukung atau ditunjang oleh alat bukti lain, tapi akta Notaris itu sendiri harus dilihat sebagaimana apa adanya yang tertulis di dalamnya.

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seseorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.29

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 UUJN, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya”. Dengan diaturnya kewenangan Notaris dalam UUJN, maka dapat diketahui bahwa Notaris memiliki kewenangan atribusi, dimana kewenangan yang dimilikinya ini melekat pada jabatannya sebagai seorang pejabat umum.

2. Konsepsi

Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.”30 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis

29Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris), Bandung, Refika Aditama, 2009, hal. 15.


(40)

yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”31

Samadi Surya Brata memberikan arti mengenai pengertian konsep, yaitu sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional, “konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.32 Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah, tidak boleh memiliki makna ganda.

Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan. Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

1. Pembatalan menurut kamus umum bahasa Indonesia yaitu berasal dari kata “batal”, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada.

2. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.33

3. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang di tetapkan dalam undang-undang ini.34

31Soerjono Soekanto,Op.cit, hal. 133. 32 Samadi Surya Barata,Op.cit, hal. 3. 33

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 1.

34 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,


(41)

4. Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula parap, teraan atau cap tanda tangan atau cap parap, teraan cap nama atau lainnya sebagai pengganti tanda tangan.35

5. Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut Rutan adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan.36

6. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.37

7. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945.38

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya dalam penelitian akan menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.

35Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, Pasal 1

Ayat 2 (b).

36 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan

Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.

37

Republik Indonesia, Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 1 angka 11.

38 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas


(42)

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimasudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk(teoritis).

Penelitian yuridis normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu “penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge trough judicial process)”.39

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Dimana Pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur tentang jabatan profesi Notaris, sehingga akan diketahui secara hukum tentang kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dalam pembuatan akta otentik.

39

Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 18 Februari 2003, hal. 1.


(43)

3. Sumber Data

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, cacatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa :

1. Bahan Hukum Primer

yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor: M.02.PR.08.10 tahun 2004, tertanggal 7 Desember 2004, tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.


(44)

2. Bahan Hukum Sekunder

yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.”40

3. Bahan Hukum Tertier

yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data, dengan cara mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian yaitu terkait dengan kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil

40Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005,


(45)

penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen.

Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. “Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud di mulai dari studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier”.41

6. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.42

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan metodededukatifditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah tersebut yang merupakan hasil penelitian.

41Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 13-14.


(46)

BAB II

KECAKAPAN HUKUM SESEORANG

YANG BERADA DI DALAM RUMAH TAHANAN MENANDATANGANI AKTA NOTARIS

A. Tinjauan Umum Notaris 1. Sejarah Notaris

Lembaga Notariat mempunyai peranan yang penting, karena yang menyangkut akan kebutuhan dalam pergaulan antara manusia yang menghendaki adanya alat bukti tertulis dalam bidang hukum perdata, sehingga mempunyai kekuatan otentik mengingat pentingnya lembaga ini maka harus mengacu pada peraturan perundang-undangan dibidang Notariat, yaitu Peraturan Jabatan Notaris (staatblad 1860 Nomor 3, Reglement op het Notaris Ambt in Indonesie) yang selanjutnya disebut PJN.

Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke 11 atau ke 12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan “Latijnse Notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. Namun untuk mengetahui asal dari lembaga notariat, para sarjana Italia telah mencoba mengadakan penelitian sumbernya secara mendalam, namun mereka belum juga mencapai kesatuan pendapat mengenai hal itu.43


(47)

Notariat di Italia adalah sebagai pengabdian kepada masyarakat umum. Namun notariat berasal dari nama pengabdinya yaitu “Notarius” yang merupakan golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu. Sebelum penggunaan nama notarius, ada beberapa nama yang pernah digunakan, yaitu :

a. Notarii

Pada abad ke 2 dan ke 3 sesudah masehi sebelum nama notarius, dikenal dengan nama “Notarii” yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian untuk mempergunakan tulisan cepat atau sekarang ini dikenal sebagai

“Stenografen”. Nama notarii awalnya diberikan kepada orang-orang yang mencatat atau menuliskan pidato yang dahulu diucapkan oleh cato dalam senat romawi dengan menggunakan tanda-tanda kependekan, yang lalu berkembang menjadi menuliskan segala sesuatu yang dibicarakan dalam konsorsium kaisar pada rapat yang membahas tentang kenegaraan.

b. Tabeliones

Selain nama notarii, pada permulaan abad ke 3, juga dikenal dengan nama

“Tabeliones”, yang dalam pekerjaannya mempunyai beberapa persamaan yaitu untuk membuat akta-akta dan lain-lain surat untuk kepentingan masyarakat umum, walaupun jabatan atau kedudukan mereka tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk atau diangkat oleh kekuasaan umum untuk melakukan suatu formalitas yang ditentukan oleh undang-undang.


(48)

Akta-akta dan surat-surat yang dibuat oleh tabeliones tidak mempunyai kekuatan sebagai akta otentik sehingga hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.

c. Tabulari

Nama“Tabulari” juga dikenal sebagai pegawai negeri yang mengadakan dan memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan pengawasan terhadap arsip-arsip dari mengisrat kota-kota di bawah ressort mana mereka berada, hal ini menimbulkan persaingan dengan tabeliones. Para tabeliones yang diangkat menjadi notarii mempunyai kedudukan yang lebih terhormat di mata rakyat sehingga banyak tabeliones yang menjadi notarii walaupun tanpa pengangkatan, maka nama“Tabelio”menjadi “Notarius”.44

Lembaga notariat yang berada di Italia Utara, dibawa ke Perancis dan pada abad ke 13 mencapai puncak perkembangannya. Raja Lodewijk De Heilige banyak berjasa dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang notariat, hal tersebut dapat dilihat dengan diundangkannya undang-undang di bidang notariat pada tanggal 16 Oktober 1791 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang 25

Ventosa an XI (16 Maret 1803). Sejak diundangkannya undang-undang tersebut, notaris menjadi “ambtenaar” dan berada di bawah pengawasan “Chamber Des Notaires”.

Pelembagaan notariat yang pertama ini, dimaksudkan untuk memberi jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat, oleh karena tidak boleh dilupakan, bahwa notariat mempunyai fungsi yang harus diabaikan bagi


(49)

masyarakat umum dan tidaklah dimaksudkan oleh undang-undang untuk memberikan suatu kedudukan yang kuat bagi notariat itu sendiri, akan tetapi untuk kepentingan umum.45

Peraturan kelembagaan notariat di Perancis kemudian dibawa ke Belanda dan berlaku di Belanda berdasarkan dua dekrit kaisar, di mana pada saat itu Belanda berada dalam kekuasaan Perancis sehingga peraturan perundang-undangan mengenai notariat juga berlaku di Belanda.

Setelah lepas dari kekuasaan Perancis pada tahun 1813 peraturan tersebut tetap ada. Dengan adanya desakan dari rakyat Belanda maka dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan nasional tentang notariat yang sesuai dengan masyarakat Belanda maka dikeluarkanlah Undang-Undang tanggal 9 Juli 1842 (Ned.Stb. No. 20) tentang Jabatan Notaris namun isinya merupakan perubahan-perubahan dari peraturan-peraturan “Ventosewet”.46

Lembaga Noariat masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke 17 dari Belanda. Pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkatlah notaris pertama di Indonesia yaitu Melchior Kerchem oleh Gubernur Belanda saat itu yaitu Jan Pieterz Coen, setelah pengangkatan notaris pertama di Indonesia pada tahun 1620, lambat laun jumlah notaris di Indonesia terus bertambah.

Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai dengan tahun 1822, notariat hanya diatur dengan dua reglemen yaitu tahun 1625 dan tahun 1765, lalu pada tahun 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan “Instructie Voor De Notarissen In Indonesia” yang

45Ibid.,hal. 12. 46Ibid.,hal. 13.


(50)

terdiri dari 34 pasal, Yang merupakan resume dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya.47

Pada tahun 1860, pemerintah Belanda menganggap sudah waktunya bagi bangsa Indonesia untuk sedapat mungkin menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris maka diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) tanggal 26 Januari 1860 (Stb. No. 3) yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1860.

Peraturan-peraturan yang mengatur mengenai notaris di Indonesia tersebut setelah sekian lama dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, oleh karena itu, perlu untuk diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum, yang berlaku bagi semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.

2. Pengertian Notaris

Munculnya lembaga Notaris dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang mengikat, mengingat alat bukti saksi kurang memadai lagi sebab sesuai dengan perkembangan masyarakat,


(51)

perjanjian-perjanjian yang dilaksanakan anggota masyarakat semakin rumit dan kompleks.

Notaris berasal dari kata notarius, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan menulis pada zaman Romawi. Pada abad kelima dan keenam sebutan notarius, majemuknyanotarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi raja.48Ada juga pendapat mengatakan bahwa nama notarius itu berasal dari perkataan ”nota literaria”, yaitu yang menyatakan sesuatu perkataan.

Pengertian Notaris menurut Pasal 1 butir 1 UUJN yaitu: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud Undang-Undang ini”. Sementara dalam penjelasan atas UUJN menyatakan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya”.

Pengertian yang diberikan oleh UUJN tersebut merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh Notaris. Artinya Notaris memliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.49

Sebutan Notarius pada abad ke-lima dan ke-enam diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi dari raja dan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan administrasi. Pejabat-pejabat yang dinamakan Notaris merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani

48Nico,Op.cit., hal. 31.

49 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia persfektif Hukum dan Etika,


(52)

publik, yang melayani publik dinamakantabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan pekerjaan penulis untuk publik atau umum yang membutuhkan keahliannya. Fungsi dari pejabat ini agak mirip dengan Notaris pada masa sekarang, hanya saja tidak mempunyai sifat Ambtelijk, sehingga akta-akta yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik.

Dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) 1860 ditegaskan bahwa pekerjaan Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijke verrichtingen) dan satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, sepanjang tidak ada peraturan yang memberi wewenang serupa kepada pejabat lain.50

Jabatan Notaris merupakan jabatan yang keberadaannya dikehendaki guna mewujudkan hubungan hukum diantara subyek-subyek hukum yang bersifat perdata. Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting yang dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Notaris sebagai salah satu penegak hukum karena notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian.

Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian

50 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta,


(53)

dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya adalah benar.51

3. Tugas Dan Wewenang Notaris

Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.52

Menurut GHS. Lumban Tobing, bahwa “selain akta otentik, notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan.” Notaris juga memberikan nasihat hukum dan penjelasan mengenai peraturan perundang-undang kepada pihak yang bersangkutan.

Hakikat tugas notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat dan mufakat meminta jasa notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan keadilan di antara para pihak yang bersengketa. Dalam konstruksi hukum Kenotariatan, salah satu tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan atau tindakan penghadap/para penghadap kedalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.

Bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan sebagai salah satu pihak dan tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan. Itulah sebabnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat ketentuan

51 Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, Semarang, Agung, 1991,

hal. 4.


(54)

Undang-undang yang demikian ketat bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat dihadapannya.

Tugas pokok Notaris ialah membuat akta otentik. adapun kata otentik itu menurut Pasal 1870 KUHPerdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari seorang notaris, bahwa notaris karena Undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya.

Sementara yang menjadi kewenangan Notaris sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN adalah:

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selain kewenangan yang bersifat luas tersebut, Notaris juga diberi kewenangan lain yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat 2, yaitu:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dan


(55)

Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat 3 UUJN disebutkan bahwa: “selain kewenangan tersebut diatas, Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Selain penambahan kewenangan yang signifikan tersebut, UUJN juga memberikan perluasan wilayah kewenangan (yuridiksi) yang oleh UUJN tersebut disebut sebagai wilayah jabatan. Wilayah jabatan ini sebelum berlakunya UUJN, yaitu Peraturan Jabatan Notaris (PJN), adalah meliputi Kabupaten/Kota, namun berdasarkan Pasal 18 ayat 2 UUJN, diperluas wilayah kerjanya meliputi Provinsi, dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota.

Habib Adjie lebih lanjut menyatakan bahwa:

Notaris sebagai sebuah jabatan (bukan profesi atau profesi jabatan), dan jabatan apapun yang ada di negeri ini mempunyai wewenang tersendiri. Setiap wewenang harus ada hukumnya. Kalau kita berbicara mengenai wewenang, maka wewenang seorang pejabat apapun harus jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pejabat atau jabatan tersebut. Sehingga jika seorang pejabat melakukan suatu tindakan di luar wewenang disebut sebagai perbuatan melanggar hukum.53

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa wewenang Notaris yang utama adalah membuat akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti yang sempurna. Suatu akta Notaris memperoleh stempel otentisitas menurut ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata jika akta yang bersangkutan memenuhi persyaratan:

a. Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

53 Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No 30 Tahun 2004


(56)

c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Muhammad Adam menyebutkan bahwa: “Suatu akta akan memiliki suatu karakter yang otentik, yaitu jika hal itu akan mempunyai daya bukti antara pihak-pihak dan pihak ketiga, maka perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangan yang dikemukakan akan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan”.54

Kewenangan yang demikian luas ini tentunya harus didukung pula oleh peningkatan kemampuannya untuk melaksanakannya, sehingga program kegiatan yang bertujuan mengevaluasi dan meningkatkan kemampuan Notaris merupakan sebuah tuntutan dan sebuah keharusan.

4. Hak dan Kewajiban Notaris

Sumpah jabatan Notaris mengandung substansi rahasia jabatan yang mempunyai konsekuensi adanya hak ingkar bagi Notaris. Letak rahasia jabatan Notaris terletak pada bagian sumpah bahwa Notaris akan merahasikan serapat-rapatnya isi akta-akta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hak ingkar pada Notaris merupakan pengecualian untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan yaitu sepanjang mengenai isi akta-akta seperti yang diatur dalam Pasal 1909 ayat 3 KUHPerdata, yang menyatakan: “siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan

54Muhammad Adam,Asal Usul dan Sejarah Akta Notaris,Bandung, Sinar Bandung, 1985,


(1)

117

dikarenakan, karena adanya paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan.

Unsur paksaan yang terjadi dapat dikarenakan adanya, paksaan fisik dalam pengertian kekerasan dan paksaan psikologis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.

Adanya unsur paksaan yang dilakukan dalam pembuatan akta Notaris dapat menjadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat karena dibawah paksaan atau ancaman tersebut.

3. Seorang Notaris bertanggung jawab terhadap para pihak yang berkepentingan pada akta yang dibuatnya apabila akta yang dibuatnya tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang yang mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum atau akta tersebut dianggap hanya dapat berlaku sebagai akta yang dibuat di bawah tangan.

Tanggung jawab Notaris terhadap pembatalan akta yang dibuat dihadapannya karena melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan atau disebabkan kelalaiannya, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak dalam akta, maka Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata maupun pidana. Pertanggungjawaban Notaris secara perdata dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Selain itu, pihak-pihak yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian kepada Notaris akibat pembatalan akta tersebut.


(2)

118

Apabila pembatalan akta Notaris disebabkan adanya unsur-unsur suatu tindak pidana dalam proses pembuatannya, maka Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.

B. Saran

1. Hendaknya masyarakat yang memerlukan jasa Notaris dalam suatu perbuatan hukum yang akan dilakukannya dalam akta Notaris untuk memiliki kesadaran hukum, itikad baik dan tidak memaksakan kehendaknya. Hal ini sangat diperlukan agar perbuatan hukum para pihak yang tertuang dalam akta Notaris dapat terjaga keotentikannya dan dengan demikian akta yang dibuat tersebut tidak dapat dibatalkan oleh putusan Pengadilan atau batal demi hukum.

2. Hendaknya Pemerintah melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUJN, terutama mengenai pengaturan nasib akta Notaris yang dibatalkan oleh putusan Pengadilan dan pelarangan untuk dikeluarkan lagi salinannya. Diperlukan pengaturan tersebut dalam UUJN dirasakan sangat penting, sehingga akan menjadi pegangan bagi Notaris Notaris atau Notaris pemegang protokol untuk tidak lagi mengeluarkan salinannnya.

3. Hendaknya dalam penyempurnaan UUJN yang dilakukan, agar mencantumkan mengenai pembatasan terhadap tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugasnya membuat akta otentik. Dengan adanya pengaturan pembatasan tanggung jawab dalam UUJN, maka akan dapat diketahui sampai sejauh mana Notaris harus bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat dihadapannya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku:

Adam, Muhammad, Asal Usul dan Sejarah Akta Notaris, Bandung, Sinar Bandung, 1985.

Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,Surabaya, Rafika Aditama, 2007.

____________, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Bandung, Refika Aditama, 2009.

Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia persfektif Hukum dan Etika, Yogyakarta, UII Press, 2009.

Badrulzaman, Mariam Darus,Aneka Hukum Bisnis,Alumni, Bandung, 1994.

____________, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001.

Barata, Samadi Surya,Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998. Baskoro, Wahyu,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,Jakarta, Setia Kawan, 2005. Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

____________, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

Djojodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1982.

Fuady, Munir,Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,Cet. 2, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999.

Friedmann, W., Teori dan Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996. Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan,


(4)

Hartono, Sunarjati, Mencari Bentuk Dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita, Alumni, Bandung, 1974.

Hamzah, Andi,Kamus Hukum,Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986.

HR., Ridwan,Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007. HS., Salim,Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,cet. 3, Jakarta,

Sinar Grafika, 2005.

Iksan, Achmad,Hukum Perdata IB, Jakarta, Pembimbing Masa, 1969.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pusaka, Jakarta, 1984.

____________, dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 2003.

Kie, Tan Thong, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.

Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan,Ke Notaris,Jakarta, Raih Asa Sukses, 2009. Kohar, Abdul,Notaris Dalam Praktek Hukum,Bandung, Alumni, 1983.

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994. Lubis, Suhrawardi K.,Etika Profesi Hukum,Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1993.

____________,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2002.

Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002.

Muhammad, Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1980.


(5)

Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta, Center For Documentation And Studies Of Bussiness Law (CDSBL), 2003.

Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, (Suatu Penjelasan), Jakarta, Rajawali, 1982.

Prodjodikoro, Wirjono, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung, Sumur Bandung, 1984.

____________,Azas-Azas Hukum Perjanjian,cet. 8, Bandung, Mandar Maju, 2000. Satrio, J., Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Bandung, Citra Aditya

Bakti,1999.

Situmorang, Victor. M., dkk,Grosse Akta Dalam Pembuktian Dan Eksekusi,Jakarta, Rineka Cipta, 1992.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995.

____________,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.

Somardi,General Theory Of law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007, hal. 81.

Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,Jakarta, Intermasa, 1985.

____________,Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 2005.

Suhardana, F.X., Hukum Perdata I: Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

Tedjosaputro, Liliana, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, Semarang, Agung, 1991.

____________,Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana,Yogyakarta, Bayu Grafika, 1995.


(6)

Widjaja, I.G. Rai, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Cet. 2., Jakarta, Kesaint Blanc, 2003.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006.

B. Makalah, Majalah, Kamus dan Internet:

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 18 Februari 2003.

Suharjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Majalah Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123, Desember 1995.

Budiono, Herlien, Pertanggungjawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (Dilema Notaris Diantara Negara, Masyarakat dan Pasar),Majalah Renvoi, Jakarta, 3 September 2005. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai

Pustaka, 2002.

Kurniati, Nurul Muslimah, Batasan Asas Kebebasan Berkontrak, http://notaris nurulmuslimah kurniati.blogspot.com/2009/04/batasan-asas-kebebasan berkontrak.html, diakses tanggal 4 Mei 2011.

C. Undang-Undang:

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang

Undang Hukum Acara Pidana.


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

ANALISA YURIDIS SAHNYA PERJANJIAN YANG DIBUAT DENGAN AKTA NOTARIIL YANG DITANDA TANGANI DI RUMAH TAHANAN KEPOLISIAN (Kajian Putusan Mahkamah Agung RI No. 3641 K/Pdt/2001)

0 16 79

KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN YANG DIBUAT DI DALAM RUMAH TAHANAN NEGARA ( Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3641.K/Pdt/2001 )

2 8 18