Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

KURNIA RAMADHANA NIM : 100200398

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

KURNIA RAMADHANA NIM : 100200398

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum NIP. 19660303 198509 1 001

Pembimbing I Pembimbing II

Muhammad Hayat, SH Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum NIP. 195008081 98002 1 002 NIP. 19590205 198601 2 001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Saya yang bertandatangan dibawah ini Nama : Kurnia Ramadhana NIM : 100200398

Departemen : Hukum Keperdataan BW

Judul Skripsi : Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008) Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa ini Skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari Skripsi atau Karya Ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari Skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Agustus 2015


(4)

Kurnia Ramadhana*

Muhammad Hayat, SH.** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum**

Perjanjian berlangganan listrik dilakukan dalam bentuk perjanjian standar yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Untuk memperoleh aliran listrik tersebut, masyarakat banyak yang cenderung untuk berlangganan listrik di PLN. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka timbul adanya hak dan kewajiban secara timbal balik antara pelanggan listrik dengan perusahaan listrik negara, maka kedua belah pihak mempunyai kehendak untuk melakukan suatu prestasi yang diperjanjikan tersebut.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan jalan menelaah dan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan pemecahan masalah.

Jika salah satu pihak tidak melaksanakan atau melakukan pelanggaran terhadap isi perjanjian dan telah diberi teguran/peringatan tetapi tidak melaksanakan kewajibannya, maka dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang membawa akibat dapat diminta pertanggungjawaban. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN didasarkan bahwa perbuatan Termohon Keberatan melakukan hal berupa merusak segel bawah tutup terminal, merusak segel kiri dan kanan dan mengendorkan baut klem tegangan yang sebelah kiri sehingga mengakibatkan terkadang tidak berputarnya piringan KWH meter adalah merupakan perbuatan melawan hukum. Akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN maka dapat dikenakan denda, tagihan susulan dan pemutusan aliran listrik sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan olehnya sedangkan pihak PT. (Persero) PLN dapat juga dinyatakan lalai atau wanprestasi apabila ia tidak memenuhi prestasi atau pun kewajibannya yang telah ditetapkan dalam kontrak penyambungan arus listrik. Bentuk wanprestasi dari pihak PT. (Persero) PLN dapat berupa tidak menyediakan daya listrik yang dimintakan oleh pihak pelanggan. Penyelesaian hukum akibat perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, maka para pihak akan menyelesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila penyelesaian perselisihan dengan cara musyawarah tidak tercapai, para pihak akan menyerahkan penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri


(5)

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(6)

Puji Dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala berkat, nikamt, karunia, dan rahma-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk itulah maka penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Hukum Perdata Media Cetak dalam Menyelesaikan Sengketa Akibat Memuat Berita yang Salah (Riset Pada PT. Harian Waspada Medan)”.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, M.H. D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembmantu Dekan III Fakultas Hukum Universaitas Sumatera Utara.


(7)

Hukum Keperdataan sekaligus juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan motivasi kepada penulis dan ikhlas meluangkan waktu untuk memberikan pengetahuan dan arahan kepada penulis.

6. Bapak Zulkifli Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan memberikan nasehat dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membantu dalam proses perkuliahan.

8. Bapak/Ibu para dosen beserta seluruh staf adminitrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan pengetahuan yang berguna dalam penulisan skripsi ini semasa kuliah.

9. Bapak Erwan Effendi dan Bapak Zultamsir selaku bagian Humas di PT. Harian Waspada beserta seluruh staff yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan.

10.Kepada orangtua tercinta Freddy Arianto dan Mutiara yang telah memberikan kasih sayang serta mendidik dan mendoakan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini dengan baik. 11.Kepada kakak sepupu Meifani Juwita yang telah banyak memberikan


(8)

Kemala, Dwi Desy Jayanti, dan Dilla Khairani Lubis.

13.Kepada anak geng Kaca Besar Apep, Doni, Bang Vinno, Ruzeiq, Alwi, Dandi, Akbar, Zaki, Alda, Tiffany, Indri, Dara, Hani, Mutia, Agatha, Annisa, dan Depi.

14.Kepada Kurnia Ramadhana sebagai seseorang yang paling banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih telah mendoakan, membantu dalam situasi tersulit sekalipun, serta menjadi pendengar yang baik.

15.Dan terakhir terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Seperti kata pepatah Tiada Gading yang Tidak Retak, demikian pula skripsi ini pasti banyak kekurangan serta kesalahannya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima koreksi serta saran yang membangun dari pembaca.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2015


(9)

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI. ... iv

BAB I : P E N D A H U L U A N ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D.Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 6

F. Keaslian Penulisan ... 8

G.Sistematika Penulisan ... 9

BAB II : PERBUATAN MELAWAN HUKUM ... 11

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum ... 11

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum... 17

C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum ... 25

D. Tuntutan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum ... 26

E. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum... 28

BAB III : PERJANJIAN BERLANGGANAN LISTRIK ... 31

A. Pengertian Perjanjian Berlangganan Listrik ... 31

B. Para Pihak dalam Perjanjian Berlangganan Listrik ... 36

C. Tanggung Jawab Pelanggan Dan PLN Di Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik ... 44


(10)

A. Kasus Posisi ... 56

B. Analisis Kasus ... 62

1. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN ... 62

2. Akibat Hukumnya Jika Terjadi Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN ... 66

3. Penyelesaian Hukum Akibat Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN. ... 75

BAB V ... : KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN


(11)

Kurnia Ramadhana*

Muhammad Hayat, SH.** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum**

Perjanjian berlangganan listrik dilakukan dalam bentuk perjanjian standar yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Untuk memperoleh aliran listrik tersebut, masyarakat banyak yang cenderung untuk berlangganan listrik di PLN. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka timbul adanya hak dan kewajiban secara timbal balik antara pelanggan listrik dengan perusahaan listrik negara, maka kedua belah pihak mempunyai kehendak untuk melakukan suatu prestasi yang diperjanjikan tersebut.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan jalan menelaah dan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan pemecahan masalah.

Jika salah satu pihak tidak melaksanakan atau melakukan pelanggaran terhadap isi perjanjian dan telah diberi teguran/peringatan tetapi tidak melaksanakan kewajibannya, maka dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang membawa akibat dapat diminta pertanggungjawaban. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN didasarkan bahwa perbuatan Termohon Keberatan melakukan hal berupa merusak segel bawah tutup terminal, merusak segel kiri dan kanan dan mengendorkan baut klem tegangan yang sebelah kiri sehingga mengakibatkan terkadang tidak berputarnya piringan KWH meter adalah merupakan perbuatan melawan hukum. Akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN maka dapat dikenakan denda, tagihan susulan dan pemutusan aliran listrik sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan olehnya sedangkan pihak PT. (Persero) PLN dapat juga dinyatakan lalai atau wanprestasi apabila ia tidak memenuhi prestasi atau pun kewajibannya yang telah ditetapkan dalam kontrak penyambungan arus listrik. Bentuk wanprestasi dari pihak PT. (Persero) PLN dapat berupa tidak menyediakan daya listrik yang dimintakan oleh pihak pelanggan. Penyelesaian hukum akibat perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, maka para pihak akan menyelesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila penyelesaian perselisihan dengan cara musyawarah tidak tercapai, para pihak akan menyerahkan penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri


(12)

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Listrik memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Dapat dikatakan bahwa listrik telah menjadi sumber energi utama dalam setiap kegiatan baik di rumah tangga maupun industri.1 Tenaga listrik sangat penting artinya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi pada khususnya, dan oleh karenanya usaha penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan, dan pengelolaannya perlu ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata dengan mutu pelayanan yang baik. Pembangunan dalam bidang kelistrikan ini dari tahun ke tahun meningkat. Hal ini didasarkan dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam pemakaian tenaga listrik, di mana dari tahun ke tahun jumlah masyarakat semakin bertambah banyak.

PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) selanjutnya disebut PT. PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara yang diberi kuasa ketenagalistrikan oleh Pemerintah, sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, diserahi tugas utama untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik bagi sebesar-besarnya untuk kepentingan umum. Hal ini sejalan dengan tujuan Nasional Indonesia seperti tertuang dalam Pembukaan

1

http://lpksm-purworejo.blogspot.com//pln-pemegang-hak-monopoli.html. diakses tanggal 05 Maret 2015 Pukul 10.00 Wib.


(14)

Undang Dasar 1945, khususnya untuk ikut memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.2

Dengan meningkatnya jumlah penduduk serta dibarengi dengan pembangunan sarana dan prasana serta peningkatan di bidang usaha dan kegiatan ekonomi, mau tidak mau kebutuhan akan tenaga listrik harus tersedia dan perlu ditingkatkan, agar dapat menyediakan tenaga listrik yang cukup serta merata dengan mutu pelayanan yang baik.3

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, PLN sebagai salah satu ujung tombak pelayanan di bidang jasa ketenagalistrikan dari waktu ke waktu, seharusnya PLN melakukan peningkatan pelayanan kepada konsumen. Kepedulian tersebut seharusnya tidak hanya terbatas pada pelayanan di bidang bisnis utama PT. PLN (Persero), yaitu pengadaan listrik dengan kualitas yang baik dengan segala indikator sesuai harapan pelanggan pada umumnya, tetapi juga kepada peningkatan administrasi pelayanan pelanggan.

Peningkatan pelayanan di bidang administrasi kepada pelanggan antaranya yaitu tentang Perjanjian Jual beli Tenaga Listrik antara PT PLN (Persero) dengan pelanggannya, karena pada saat seorang calon pelanggan yang akan mengajukan sambungan listrik rumahnya dan si calon pelanggan tersebut telah menyetujui syarat-syarat yang ditentukan oleh PT PLN (Persero), kondisi seperti ini seharusnya ditindak lanjuti dengan suatu perjanjian, yaitu perjanjian jual beli tenaga listrik dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi pelanggan dengan PT PLN (Persero), karena di dalam perjanjian tersebut akan diatur secara jelas hak dan kewajiban antara pelanggan dengan PT PLN (Persero), di samping

2

Ibid

3


(15)

itu juga berpedoman kepada Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada hakekatnya bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan kepada pelanggan (konsumen) serta keterbukaan informasi sekaligus menumbuhkan kesadaran PLN sebagai pelaku usaha (produsen), mengenai pentingnya perlindungan konsumen sebagai perwujudan kepedulian PLN kepada pelanggan.

PT. PLN (Persero) merupakan perusahaan penyedia jasa kelistrikan terbesar di Indonesia.4 Perusahaan ini telah banyak memberikan kontribusi yang besar dalam memasok kebutuhan listrik untuk masyarakat. Selaku perusahaan BUMN yang menangani masalah kepentingan listrik dan memberikan jumlah pasokan listrik kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar, tentunya PT. PLN (Persero) memberikan pelayanan sebagai upaya pasti dalam memberikan pelayanan publik yang maksimal untuk kepentingan dan kemajuan bangsa.

Tenaga listrik merupakan salah satu sumber daya yang sangat vital bagi kehidupan manusia karena tenaga listrik merupakan salah satu energi yang sangat penting untuk menopang kehidupan manusia. Untuk memperoleh tenaga listrik, maka seseorang harus mengadakan hubungan dengan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai perusahaan negara yang diberi hak dan wewenang berdasarkan untuk bertanggung jawab atas pembangkit, transmisi dan pendistribusian tenaga listrik.

Mengingat peranan listrik sangat penting di dalam kehidupan masyarakat, maka dijalinlah suatu hubungan melalui suatu perjanjian jual-beli antara PT. PLN (Persero) sebagai penjual jasa berupa tenaga listrik dengan pelanggan listrik

4

http://.blogspot.com/2011/07/proses-pemasangan-listrik-baru.html. diakses tanggal 05 Maret 2015 Pukul 10.00 Wib.


(16)

sebagai pembeli jasa (tenaga listrik), di mana hubungan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan, dan kesepakatan tersebut di tuangkan dalam surat perjanjian jual-beli tenaga listrik. Surat perjanjian jual beli tenaga listrik ini merupakan perjanjian baku yang mengatur dan menerapkan tentang prosedur berlangganan, aturan pemakaian, serta hak dan kewajiban para pihak.

Seperti diketahui, sebelum menjadi pelanggan arus listrik pada PLN, calon pelanggan tersebut sebelumnya haruslah mengajukan suatu permohonan penyambungan arus listrik pada pihak PLN. Dalam permohonan tersebut dicantumkan besarnya daya atau kapasitas yang diinginkan, dan selanjutnya atas dasar permohonan ini pula pihak PLN akan mengadakan penyambungan arus listrik sebesar daya atau kapasitas yang dimohonkan. Kesepakatan inilah yang membuat ikatan hukum bagi kedua belah pihak.

Hukum perjanjian mengenal banyak asas, di antaranya adalah asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas iktikad baik, dan asas mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda).5 Asas iktikad baik mempunyai peranan tertinggi di antara asas-asas yang ada.6 Iktikad baik diatur dalam Pasal

1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.

Dalam hubungan hukum yang terjadi diantara konsumen dengan perusahaan PLN, bisa terjadi adanya wanprestasi yang mengakibatkan salah satu pihak menderita kerugian. Misalnya pelanggan secara sepihak melakukan tindakan-tindakan seperti menambah atau memperbesar daya dari daya yang

5

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3.

6


(17)

sebenarnya menurut kontrak yang telah disepakati. Jika hal ini dilakukan, maka dikatakanlah pelanggan tersebut telah melakukan wanprestasi.

Tindakan para konsumen yang dinyatakan wanprestasi dalam pemakaian arus listrik merupakan tindakan yang merugikan PT. PLN, sehingga menimbulkan akibat hukum yaitu mewajibkan konsumen untuk mengganti kerugian yang diderita oleh PT. PLN berupa tagihan susulan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan oleh konsumen. Ditambah dengan biaya-biaya lainnya sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya dan PT. PLN berhak melakukan pemutusan sambungan arus listrik para konsumen sebelum dilunasinya tagihan susulan dari konsumen yang wanprestasi..

Dengan latar belakang di atas, maka penulis memilih judul skripsi tentang Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)”.

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

4. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN

5. Bagaimanakah akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN

6. Bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

C. Tujuan Penulisan


(18)

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN

2. Untuk mengetahui akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum terhadap akibat perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini nantinya diharapkan akan memberi manfaat :

1. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah kepustakaan di bidang keperdataan, khususnya tentang perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya masyarakat tentang perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan mengemukakan kasus yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan


(19)

perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan.

3. Sumber Data

Data yang kemudian diharapkan dapat diperoleh di tempat penelitian maupun di luar penelitian adalah :

a. Data primer

Data primer, adalah data yang diperoleh dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Untuk memperoleh data primer peneliti melakukan analisis kasus putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti yang sebelumnya telah diolah orang lain. Untuk memperoleh data sekunder peneliti melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah penelitian terhadap bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini, sebagai bahan referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan hukum dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder. Bahan Hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan:7

1) Bahan hukum primer, terdiri dari bahan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum positif termasuk peraturan perundang-undangan dan website.

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.14


(20)

2) Bahan hukum sekunder atau sering dinamakan Secondary data yang antara lain mencakup di dalamnya:

a) Kepustakaan/buku literatur yang berhubungan dengan perbuatan melawan hukum.

b) Data tertulis yang lain berupa karya ilmiah para sarjana.

c) Referensi-referensi yang relevan dengan perbuatan melawan hukum. 3) Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ekslopedia, Kamus umum dan lain sebagainya.

Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.8

4. Analisis Data.

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.

F. Keaslian Penelitian.

Skripsi ini berjudul “Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)”.

Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan

8

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 98


(21)

maupun media cetak maupun elektronik dan di samping itu juga diadakan penelitian. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

Berikut dikemukakan beberapa penelitian yang berkenaan dengan penelitian peneliti, yaitu :

1. Venny RD, NIM: 920200240, dengan judul penelitian : Efektifitas Perjanjian Damai Dalam Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi Pada

Pengadilan Negeri Medan)”.

2. Andayani S., Ade Irmanti, NIM: 030200264, dengan judul penelitian : Tinjauan Yuridis Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik Pada PLN Cabang Medan,

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan, yaitu :

BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan, Sistematika Penulisan


(22)

BAB II : Perbuatan Melawan Hukum meliputi : Pengertian Perbuatan Melawan Hukum, Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum, Subjek Perbuatan Melawan Hukum, Tuntutan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum, Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum..

BAB III Perjanjian Berlangganan Listrik meliputi : Pengertian Perjanjian Berlangganan Listrik, Para Pihak dalam Perjanjian Berlangganan Listrik, Tanggung Jawab Pelanggan Dan PLN Di Dalam Perjanjian Pemakaian Arus Listrik, Berakhirnya Perjanjian Berlangganan Listrik.

BAB IV Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/PDT/2008) meliputi : Kasus Posisi, Analisis Kasus, Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN, Akibat Hukumnya Jika Terjadi Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN, Penyelesaian Hukum Akibat Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN.

BAB V Kesimpulan dan Saran, sebagai layaknya dalam penulisan skripsi, maka dalam penulisan ini penulis membuat suatu kesimpulan dan juga saran-saran yang menjadi bahan masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam skripsi ini akan turut pula dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.


(23)

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon.9

Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum di negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode yaitu :

a. Periode sebelum tahun 1838

Adanya kodifikasi sejak tahun 1838 membawa perubahan besar terhadap pengertian perbuatan melawan hukum yang diartikan pada waktu itu sebagai

on wetmatigedaad (perbuatan melanggar undang-undang) yang berarti bahwa

suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang. b. Periode antara tahun 1838-1919

9

Munir Fuady I, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 80


(24)

Setelah tahun 1883 sampai sebelum tahun 1919, pengertian perbuatan melawan hukum diperluas sehingga mencakup juga pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain. Dengan kata lain perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak subjektif orang lain. Dalam hal ini Pasal 1365 KUH Perdata diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in

committendo) sedangkan Pasal 1366 KUH.Perdata dipahami sebagai

perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo). Apabila suatu perbuatan (berbuat atau tidak berbuat) tidak melanggar hak subjektif orang lain atau tidak melawan kewajiban hukumnya/tidak melanggar undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak termasuk perbuatan melawan hukum.

c. Periode setelah tahun 1919

Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes.

Menurut sistem Common Law sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain.10

Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum

10


(25)

mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian: a. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)

b. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)

c. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak).11

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu : a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)

c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. 12

Dengan demikian tiap perbuatan melanggar, baik sengaja maupun tidak sengaja yang sifatnya melanggar. Berarti unsur kesengajaan dan kelalaian di sini telah terpenuhi. Kemudian yang dimaksud dengan hukum dalam Pasal tersebut di atas adalah segala ketentuan dan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan segala sesuatu yang dianggap sebagai hukum. Berarti jelas bahwa yang dilanggar itu adalah hukum dan yang dipandang atau dianggap sebagai hukum, seperti undang-undang, adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain sebagainya.

Selanjutnya agar pelanggaran hukum ini dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari pelanggaran hukum itu harus membawa kerugian bagi pihak lain. Karena adakalanya pelanggaran hukum itu

11

Ibid, hal.3 12


(26)

tidak harus membawa kerugian kepada orang lain, seperti halnya seorang pelajar atau mahasiswa tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ? padahal dalam hal itu ada peraturan yang dibuat oleh sekolah atau universitas masing-masing.

Dengan demikian antara kalimat "tiap perbuatan melanggar hukum", tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, bahkan harus sejalan dalam mewujudkan pengertian dari perbuatan melawan hukum tersebut. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut di atas.

Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum diartikan bahwa "orang yang berbuat pelanggaran terhadap orang lain atau ia telah berbuat bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri".13 Setelah adanya

arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari 1919, maka

pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu :

Hal berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain, atau itu adalah bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat (sampai di sini adalah merupakan perumusan dari pendapat yang sempit), atau berlawanan baik dengan kesusilaan maupun melawan kepantasan yang seharusnya ada di dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang lain)".14

Dengan demikian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas berdasarkan pernyataan di atas, bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau yang berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di

13

H.F.A.Volmar, Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan Oleh I.S. Adiwinata), Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hal.184.

14


(27)

dalam masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.

Abdulkadir Muhammad berpendapat, bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti sempit hanya mencakup Pasal 1365 KUHPerdata, dalam arti pengertian tersebut dilakukan secara terpisah antara kedua Pasal tersebut. Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah merupakan penggabungan dari kedua Pasal tersebut.

Lebih jelasnya pendapat tersebut adalah :

Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum" meliputi perbuatan positif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "daad" (Pasal 1365) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "nataligheid" (kelalaian) atau "onvoorzigtgheid" (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata.15

Dengan demikian Pasal 1365 KUHPerdata untuk orang-orang yang betul-betul berbuat, sedangkan dalam Pasal 1366 KUHPerdata itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran kedua Pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian. Perumusan perbuatan positif Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPerdata hanya mempunyai arti sebelum ada putusan Mahkamah Agung Belanda 31 Januari 1919, karena pada waktu itu pengertian melawan hukum (onrechtmatig) itu masih sempit. Setelah putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut, pengertian melawan hukum itu sudah menjadi lebih luas, yaitu mencakup juga perbuatan negatif. Ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata itu sudah termasuk pula dalam rumusan Pasal 1365 KUHPerdata.

15


(28)

Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum di atas, baik yang secara etimologi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keputusan Mahkamah Agung Belanda dengan arrest tanggal 31 Januari 1919 dan pendapat para sarjana hukum, walaupun saling berbeda antara satu sama lainnya, namun mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penegasan terhadap tindakan-tindakan seseorang yang telah melanggar hak orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, sementara tentang hal tersebut telah ada aturannya atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, seperti adat kebiasaan dan lain sebagainya.16

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materil.17

1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.

2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil.

Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai

16

Ibid, hal.144. 17

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.21


(29)

perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan-alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ialah :

1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig). 2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).

4. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.18 Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin, yang mengatakan :

Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undang. Perbuatan itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.19

Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.

2. Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab.

3. Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.20

18

Ibid, hal.24 19

R. Suryatin, Hukum Perikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal.82. 20


(30)

Dibandingkan kedua unsur-unsur tersebut di atas, jelas terlihat perbedaannya, dimana menurut pendapat Abdulkadir Muhammad, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakannya lebih luas, jika dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh R. Suryatin. Kalau perbuatan yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya Undang-Undang. Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R. Suryatin, hanya terhadap Undang-undang saja. Kemudian antara perbuatan dan akibat terdapat hubungan kausal (sebab musabab), menurut Abdulkadir Muhammad merupakan salah satu unsur, sedangkan menurut R. Suryatin digabungkan dengan unsur perbuatan itu menimbulkan kerugian.

Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum yaitu :21

1. Perbuatan itu harus melawan hukum

Prinsipnya tentang unsur yang pertama ini telah dikemukakan di dalam sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-syarat perbuatan melawan hukum. Dalam unsur pertama ini, sebenarnya terdapat dua pengertian, yaitu "perbuatan" dan "melawan hukum". Namun keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara penafsiran bahasa, melawan hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu dengan kata lain "melawan hukum" merupakan kata sifat, sedangkan "perbuatan" merupakan kata kerja. Sehingga dengan adanya suatu "perbuatan"

21

R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 2003, hal.72.


(31)

yang sifatnya "melawan hukum", maka terciptalah kalimat yang menyatakan "perbuatan melawan hukum".

Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini terhadap kedua pengertian tersebut, yaitu "perbuatan", untuk jelasnya telah diuraikan di dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi hak orang lain, dan kewajiban si pembuat yang bertentangan atau hanya melanggar hukum/undang-undang saja. Pendapat ini dikemukakan sebelum adanya arrest Hoge Raad Tahun 1919. Sedangkan dalam arti luas, telah meliputi kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang-barang orang lain. Pendapat ini dikemukakan setelah pada waktu arrest Hoge Raad Tahun 1919 digunakan.

2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

Kerugian yang dimaksud di dalam unsur kedua ini, Undang-undang tidak hanya menjelaskannya tentang ukurannya dan yang termasuk kerugian itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari kerugian tersebut, yaitu

materiil dan imateriil. “Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil dan kerugian inmateril, Apa ukurannya, apa yang termasuk kerugian itu, tidak ada ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan

melawan hukum”.22

Dengan pernyataan di atas, bagaimana caranya untuk menentukan kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Karena undang-undang sendiri tidak ada menentukan tentang ukurannya dan apa saja

22


(32)

yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang hanya menentukan sifatnya, yaitu materil dan inmateril.

Termasuk kerugian yang bersifat materil dan inmateril ini adalah :

1. Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk). Contohnya : Kerugian karena kerusakan tubrukan mobil, rusaknya rumah, hilangnya keuntungan, keluarnya ongkos barang dan sebagainya. 2. Immateril, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya :

Dirugikan nama baik seseorang, harga diri, hilangnya kepercayaan orang lain, membuang sampah (kotoran) di pekarangan orang lain hingga udara tidak segar pada orang itu atau polusi, pencemaran lingkungan, hilangnya langganan dalam perdagangan.23

Berdasarkan pernyataan di atas, apakah contoh-contoh tersebut telah memenuhi ukuran dari kerugian yang diisebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat saja terjadi, karena undang-undang itu sendiri tidak ada mengaturnya. Namun demikian bukan berarti orang yang dirugikan tersebut dapat menuntut kerugian orang lain tersebut sesuka hatinya. Karena ada pendapat yang mengatakan :

Hoge Raad berulang-ulang telah memutuskan, bahwa kerugian yang

timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal 1246-1248), walaupun ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Akan tetapi jika penerapan itu dilakukan secara analogis, masih dapat diperkenankan.24

Dalam praktek hukumnya, pernyataan di atas dapat dibuktikan kebenarannya, bahwa secara umum pihak yang dirugikan selalu mendapat ganti kerugian dari si pembuat perbuatan melawan hukum, tidak hanya kerugian yang nyata saja, tetapi keuntungan yang seharusnya diperoleh juga diterimanya. Dengan demikian, kerugian yang dimaksud pada unsur kedua ini, dalam prakteknya dapat diterapkan ketentuan kerugian yang timbul karena

23

Marheinis Abdulhay, Hukum Perdata, Pembinaan UPN, Jakarta, 2006, hal.83 24


(33)

wanprestasi dalam perjanjian. Walaupun penerapan ini hanya bersifat analogi. Namun tidak menutup kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut terhadap perbuatan melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan lebih lanjut dari Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah ini dapat merupakan salah satu masalah pengembangan hukum perdata, yang layak untuk diteliti.

3. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.

Kesalahan dalam uraian ini, ialah perbuatan yang disengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan atau yang perbuatan itu melawan hukum

(onrechtmatigedaad).

Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-dira. Dapat dikira-kira itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak di lakukan.25

Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawan hukum itu adalah perbuatan yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan. Kesalahan dalam unsur ini merupakan suatu perbuatan yang dapat dikira-kira atau diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian, melakukan atau tidak melakukan dapat dikategorikan ke dalam bentuk kesalahan. Pendapat di atas dapat dimaklumi, karena sifat dari hukum adalah mengatur, yang berarti ada larangan dan ada suruhan. jika seseorang melakukan suatu perbuatan, perbuatan mana dilarang oleh undang-undang, maka orang tersebut dinyatakan telah bersalah. Kemudian jika seseorang tidak melakukan perbuatan, sementara

25


(34)

perbuatan itu merupakan perintah yang harus dilakukan, maka orang tersebut dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian kesalahan dari maksud pernyataan di atas.

Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa "kesalahan itu dapat terjadi, karena : disengaja dan tidak disengaja".26 Tentunya yang dimaksud dengan disengaja dan tidak disengaja dalam pernyataan di atas adalah dalam hal perbuatan. Apakah perbuatan itu disengaja atau perbuatan itu tidak disengaja. Tentang disengaja dan tidak disengaja berarti kesalahan itu dapat terjadi dan dilakukan akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur dari kesalahan, maka menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan satu pedoman dasar di dalam menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam suatu perbuatan yang melawan hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih banyak orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, dapat menghindari dirinya dari tuduhan dan gugatan tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan hukum yang ditunjukkan kepadanya.

Perbuatan yang memang disengaja, berarti sudah ada niat dari pelakunya atau si pembuat. Tetapi jika perbuatan itu tidak disengaja untuk dilakukan, dalam arti unsur kesilapan, suatu contoh dalam hal pembayaran harga barang dalam jual beli tanah yang dilakukan si pembeli, apakah si pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, menurut pendapat di atas. Atau seorang kasir pada suatu bank, yang silap

26


(35)

melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut.

4. Antara perbuatan dan kerugian ada hubungan kausal.

Pasal 1365 KUH. Perdata, hubungan kausal ini dapat terlihat dari kalimat perbuatan yang karena kesalahaannya menimbulkan kerugian. Sehingga kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan, atau kerugiaan itu merupakan akibat dari perbuatan. Hal yang menjadi masalah di sini, apakah kerugian itu merupakan akibat perbuatan, sejauhmanakah hal ini dapat dibuktikan kebenarannya. Jika antara kerugian dan perbuatan terdapat hubungan kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa setiap kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan. Apakah pendapat tersebut tidak bertentangan dengan hukum alam, yang menyatakan bahwa terjadinya alam ini, mengalami beberapa proses yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan.

Kemudian menurut pendapat sarjana sosiologi, timbulnya hukum di dalam masyarakat hukum hanya disebabkan adanya faktor persaingan hidup dalam masyarakat itu sendiri, tetapi dipengaruhi oleh disebabkannya adanya faktor kehidupan lainnya, seperti faktor biologis, faktor kejiwaan, faktor keamanan dan faktor-faktor kebendaan lainnya. Tujuannya untuk mengatur dan melindungi serta mengayomi hidup dan kehidupannya, baik secara individu maupun secara kelompok dalam masyarakat.27

27


(36)

Berarti, dilihat dari uraian di atas, hubungan kausalitas tersebut terdiri dari beberapa sebab yang merupakan peristiwa, sehingga kerugian bukan hanya disebabkan adanya perbuatan, tetapi terdiri dari beberapa syarat dari perbuatan.

Hal ini sesuai dengan pendapat atau teori yang dikemukakan oleh Von Buri, yaitu :

Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi dan oleh sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab.28

Hubungan kausalitas yang merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum dapat dikatakan bahwa kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan yang sifatnya melawan hukum.

Marheinis Abdulhay menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum itu adalah :

Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut dapat ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yaitu : 1. Perbuatan.

2. Melanggar. 3. Kesalahan. 4. Kerugian.29

Diperhatikan pernyataan di atas dan jika dibandingkan dengan pembagian unsur-unsur yang telah dikemukakan terdahulu, perbedaan-perbedaan unsur-unsur tersebut sangat jelas terlihat. Hubungan kausalitas atau sebab musabab yang termasuk salah satu unsur atau bagian dari salah satu unsur perbuatan yang mengakibatkan kerugian, menurut pendapat para sarjana

28

R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung, 2007, hal.87 29


(37)

terdahulu. Sementara menurut Marheinis Abdulhay, hubungan kausalitas atau sebab musabab ini bukan merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum.30

Tidak termasuknya hubungan kausalitas tersebut ke dalam unsur-unsur perbuatan melawan hukum disebabkan tidak terdapatnya hubungan kausalitas tersebut di dalam pengertian Pasal 1365 KUHPerdata, sehingga sarjana tersebut hanya melihat hal-hal yang jelas dan nyata saja dari bunyi Pasal tersebut, dalam arti ia hanya melihat hal-hal yang tersurat. Sedangkan hubungan kausalitas menurut pendapat sarjana yang lain, itu merupakan hal yang tersirat. Sehingga tidak perlu disebutkan sebagai salah satu unsur.

Selain itu, kelihatannya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh Marheinis Abdulhay ini jelas sederhana jika dibandingkan dengan dengan unsur-unsur yang dikemukakan oleh sarjana yang lain. Namun demikian secara kenyataannya, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.31

C. Subjek Perbuatan Melawan Hukum

Menurut Marheinis Abdulhay bahwa "yang dinyatakan bersalah adalah subjek hukum atau orang (person), karena subjek diakui mempunyai hak dan

30

Ibid, hal.83 31


(38)

kewajiban".32 Berarti berdasarkan pernyataan tersebut dinyatakan bersalah adalah subjek hukum yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum adalah juga subjek hukum, alasannya karena subjek hukum mempunyai hak dan kewajibaan.

Subjek dalam kamus istilah hukum adalah "pokok, subjek dari hubungan hukum, orang pribadi atau badan hukum yanag dalam kedudukan demikian berwenang melakukan tindakan hukum".33 Berarti yang termasuk dikatakan atau digolongkan sebagai subjek dalam pandangan hukum adalah orang pribadi dan badan hukum. Kemudian yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang dalam kedudukannya sebagai subjek mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan hukum. Dengan demikian yang termasuk subjek perbuatan melawan hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang telah melakukan tindakan atau perbuatan yang sifatnya melawan hukum.

D. Tuntutan Ganti Kerugian Karena Perbuatan Melawan Hukum

Ada hubungan yang erat antara ganti rugi yang terjadi karena adanya wanprestasi dalam suatu perjanjian dengan apa yang dikenal dengan ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum (onrechtmetige daad). Sebab dengan tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban "tidak tepat waktu" atau "tidak layak", adalah jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti pula merupakan perbuatan melawan hukum atau

onrechtmatigedaad.

“Memang hampir serupa onrechtmatigedaad dengan wanprestasi, itu sebabnya dikatakan bahwa wanprestasi adalah juga merupakan "genus

32

Marheinis Abdulhay., Op.Cit, hal.89 33


(39)

specifik" dari onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365

KUHPerdata”.34

Dengan demikian, jika diperhatikan bahwa para ahli menyebutkan juga bahwa ketentuan tentang ganti rugi yang terdapat di dalam bagian wanprestasi tersebut juga berlaku akan halnya dengan ganti rugi sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan pengertian lain, ketentuan ganti rugi dalam wanprestasi dapat diberlakukan secara analogis dalam hal adanya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.

Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksudkan dengan ganti kerugian itu ialah "ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai".35 Sebagai perbandingan tentang ganti kerugian disebabkan wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat adanya perbuatan yang melawan hukum, berikut ini akan dikutipkan Pasal 1243 KUHPerdata dan Pasal 1365 KUHPerdata.

Pasal 1243 KUHPerdata, dengan tegas disebutkan bahwa penggantin biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Sedangkan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata disebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.

34

M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal.61 35


(40)

Jika diperhatikan dengan seksama kedua kutipan pasal tersebut, jelas tidak ada disebutkan dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan ganti rugi itu sendiri, hanya saja, ganti rugi dalam hal wanprestasi berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata baru timbul bilamana debiturnya telah dinyatakan berada dalam keadaan lalai setelah dilakukannya peringatan tetapi tetap juga dilalaikannya. Sedangkan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata juga tidak disebutkan tentang apa yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi itu.36

E. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa yang dimaksud dengan wanprestasi adalah "tidak memenuhi kewajiban yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".37 Berdasarkan pendapat tersebut, maka unsur-unsur wanprestasi itu adalah :

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru. 3. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.38

Diperhatikan pengertian dan unsur-unsur wanprestasi tersebut bukanlah tidak menutup kemungkinan tindakan wanprestasi ini dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, karena dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu ada kemungkinan disebabkan dua hal yaitu :

1. Kesalahan salah satu pihak, baik sengaja maaupun karena lalai. 2. Keadaan memaksa (force majeur).39

36

Ibid, hal.41 37

Ibid, hal.42 38

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 2002, hal.47 39


(41)

Kemungkinan itu disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeur) mungkin hal ini dapat diterima sebagai wanprestasi, Tetapi jika kemungkinan itu disebabkan kesalahan baik disengaja maupun tidak sengaja. Apakah kemungkinan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi juga atau dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.

Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik.

Pasal 1338 KUHPerdata ini dihubungkan dengan kemungkinan yang disebabkan kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja yang merupakan salah satu kemungkinan terjadinya wanprestasi. Berarti tindakan itu bukan tindakan wanprestasi, tetapi perbuatan melawan hukum dengan alasan salah satu pihak telah melangar persetujuaan yang berlaku sebagai undang-undang atau bertentangan dengan kewajibannya.

Sebenarnya dari pengertian kedua lembaga ini dapat dilihat perbedaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum yaitu bahwa di dalam wanprestasi terdapat istilah somasi yaitu penetapan lalai yang disebut dalam Pasal 1274 KUHPerdata. Dengan demikian wanprestasi itu terjadi apabila salah satu pihak atau debitur misalnya setelah penetapan lalai ini ia masih tetap tidak melakukan atau memenuhi pretasinya maka si debitur dapat dikatakan


(42)

wanprestasi. Di samping itu, pada umumnya tindakan wanprestasi ini ada dikarenakan suatu perikatan yang dibuat oleh kedua belah pihak, baik perikatan yang berdasarkan perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Sedangkan perbuatan melawan hukum tidak ada penetapan lalai atau peringatan terlebih dahulu. Kemudian pada umumnya perbuatan melawan hukum terjadi bukan karena suatu perikatan tetapi terjadi dengan sendirinya yang dilakukan oleh si pembuat terhadap aturan hukum atau ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Persetujuan itu berlaku sebagai undang-undang, namun bukan berarti pihak yang dengan kesalahannya tidak melakukan perjanjian itu dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi ia dikatakan telah wanprestasi. Karena bersalah tidak melakukan prestasi yang telah diperjanjikan dengan pihak lain.40

40

Munir Fuady III., Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hal.34


(43)

A. Pengertian Perjanjian Berlangganan Listrik.

Pasal 1313 KUHPerdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih”.

Ketentuan Pasal di atas, pembentuk undang-undang tidak menggunakan istilah perjanjian tetapi memakai kata persetujuan. Hal yang menjadi masalah adalah apakah kedua kata tersebut yaitu perjanjian dan persetujuan memiliki arti yang sama.

Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.41

Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.

Berdasarkan kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata dapat dibaca dengan perjanjian.

Menurut para sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan perjanjian dalam KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu.

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

41


(44)

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan

tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum

(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya

dipakai kata “persetujuan”.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku Ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan Pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.42

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan

antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan

hukum”.43 M. Yahya Harahap mengatakan perjanjian adalah “hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.44 R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan

perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan

antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.45

Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah : 1. Terdapatnya para pihak yang berjanji.

42

Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 78 43

Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 97. 44

M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 6 45


(45)

2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat / kesesuaian hendak. 3. Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum. 4. Terletak dalam bidang harta kekayaan.

5. Adanya hak dan kewajiban para pihak.

6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat.46

Enam unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan konsep perjanjian yang menurut paham KUH Perdata dikatakan perjanjian hanya merupakan perbuatan (handeling), selanjutnya oleh para sarjana disempurnakan menjadi perbuatan hukum (rechtshandeling) dan perkembangan terakhir dikatakan sebagai hubungan hukum (rechtsverhoudingen). Jadi para ahli hukum perdata hendak menemukan perbedaan antara perbuatan hukum dengan hubungan hukum. Perbedaan ini bukan hanya mengenai istilahnya saja tetapi lebih kepada subtansi yang dibawa oleh pengertian perjanjian itu.

Sudikno Mertokusumo menjelaskan :

Perbedaan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang melahirkan konsep perjanjian sebagai berikut : bahwa perbuatan hukum

(rechtshandeling) yang selama ini dimaksudkan dalam pengertian

perjanjian adalah satu perbuatan hukum bersisi dua (een

tweezijdigerechtshandeling) yakni perbuatan penawaran (aanbod) dan

penerimaan (aanvaarding). Berbeda halnya kalau perjanjian dikatakan sebagai dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee

eenzijdige rechtshandeling) yakni penawaran dan penerimaan yang

didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum, maka konsep perjanjian yang demikian merupakan suatu hubungan hukum (rechtsverhoudingen). 47

Sehubungan dengan perkembangan pengertian perjanjian tersebut,

Purwahid Patrik menyimpulkan bahwa “perjanjiian dapat dirumuskan sebagai

46

Ibid, hal.15 47


(46)

hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan

hukum sepihak”.48

Perjanjian itu adalah merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan diantara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberi sesuatu. Atau dengan kata lain pihak yang mempunyai hak disebut kreditur, sedangkan pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur.

Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan debitur. Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya. Juga jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan seorang debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu.49

Berdasarkan perumusan perjanjian, maka suatu perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Ada pihak-pihak minimal dua pihak

Dikatakan pihak bukan orang karena mungkin sekali dalam suatu perikatan terlibat lebih dari dua orang, tetapi pihaknya tetap dua.

2. Ada persetujuan antara para pihak, mengenai : a. Tujuan

b. Prestasi

48

Purwahid Patrik, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2000, hal.15.

49

Djanius Djamin dan Syamsul Arifin., Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas Medan, 2001, hal.153.


(47)

c. Bentuk tertentu lisan/tulisan

d. Syarat tertentu yang merupakan isi perjanjian.50

Perjanjian itu sendiri terdapat 3 (unsur), yaitu sebagai berikut : 1) Unsur essensialia

Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Dengan demikian unsur ini penting untuk terciptanya perjanjian, mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga merupakan syarat sahnya perjanjian.

2) Unsur naturalia;

Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan bawaan atau melekat pada perjanjian. Dengan demikian, unsur ini oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan. Jadi sifat unsur ini adalah

aanvullendrecht (hukum mengatur).

3) Unsur accidentalia

Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian artinya undang–undang tidak mengaturnya. Dengan demikian unsur ini harus secara tegas diperjanjikan para pihak.51

Berdasarkan pengertian perjanjian yang diuraikan di atas, maka yang dimaksud dengan perjanjian berlangganan listrik adalah perjanjian yang dilakukan antara PT. PLN dengan konsumen untuk berlangganan pemakaian arus listrik.

50

Ibid, hal.154. 51


(48)

B. Para Pihak dalam Perjanjian Berlangganan Listrik.

Para pihak dalam perjanjian berlangganan listrik sesuai dengan ketentuan berlangganan tenaga listrik adalah pihak pertama yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara yang didirikan dengan Akta Notaris Sutjipto, SH di Jakarta Nomor 169 tanggal 30 Juli 1994 dan perubahannya dan pihak kedua adalah setiap orang atau Badan Usaha atau Badan/Lembaga lainnya yang membeli Tenaga Listrik dari Instalasi pihak pertama berdasarkan alas hak yang sah.

Setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, apakah itu persetujuan langganan arus listrik atau lainnya, harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dijadikan sebagai pedoman hukum bagi para pihak dalam proses penyambungan arus listrik adalah diatur pada buku pedoman dan petunjuk Perusahaan Umum Listrik Negara NO. S.E. 1/2008 yang memuat tentang tata usaha langganan.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pelanggan arus listrik yaitu kepada konsumen haruslah menurut prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan di dalam Surat Edaran PT. (Persero) PLN Nomor 68 K/010/DIR/2008. Selanjutnya pihak PLN akan meneliti bekas permohonan tersebut, apakah telah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Apabila calon pelanggan telah memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan, maka pihak PT. Persero) PLN akan melakukan penyambungan arus listrik kepada pihak pemohon.

Adapun prosedur izin penyambungan aliran listrik yang diatur pada buku pedoman dan petunjuk Surat Edaran PT. (Persero) PLN Nomor 68 K/010/DIR/2008 adalah sebagai berikut :


(49)

1. Permintaan sambungan baru :

a. Peminta (pemohon) datang sendiri keperusahaan PT. (Persero) PLN melalui fungsi pelayanan langganan PT. (Persero) PLN dikantor PT. (Persero) PLN. Peminta dimohon untuk mengisi formulir tatausaha langganan I-01 (TUL.I- 01) yang telah tersedia di loket serta membubuhkan tanda tangannya. Setiap permintaan yang diterima oleh pelayanan langganan harus diberi nomor urut dengan contoh sebagai berikut :

Peminta tanggal 2 November 1997 dengan urut kesepuluh, harus ditulis dalam formulir tata usaha langganan I-01 (TUL.I-01) dengan diberi nomor 106/11/02/10/P.B (Permintaan baru). Jadi angka pertama menunjukkan bulan dan angka kedua menunjukkan tanggal sedangkan angka ketiga penunjukkan urutan nomor pelanggan yaitu urutan nomor kesepuluh. b. Permintaan melalui surat.

Permintaan yang melalui surat, petugas fungsi pelayanan langganan harus membuat formulir tata usaha langganan I-01 (TUL.I-01)berdasarkan dengan surat yang diterima dari kepala cabang kemudian diberi nomor urut 1.a.

c. Permintaan menunggu penyelesaian.

Formulir tata usaha langganan I-01 (TUL.I-01) dibuat dalam rangkap tiga dan pada hari yang bersangkutan :

1) Aslinya dikirim kepada kepala cabang untuk mendapatkan persetujuan atau dikirim langsung kebagian teknik untuk ditinjau kemungkinan teknisnya.


(50)

2) Lembaran kedua dimasukkan dalam arsip permintaan yang menunggu penyelesaian.

3) Lembaran ketiga diberikan kepada peminta. Pada waktu petugas pelayanan langganan mengirim lembar pertama kepada kepala cabang atau bagian teknis (dalam buku expedisi) ,tanggal pengiriman dicatat pada lembar kedua. Dua kali seminggu wajib diperiksa arsip ini pegawai senior (Kepala seksi, oleh seorang yang ditunjuk untuk hal ini) , agar tidak terjadi keterlambatan-keterlambatan, fungsi pelayanan langganan dengan bagian teknik bersama-sama menyelesaikannya. 2. Permintaan yang dikabulkan atau diizinkan.

Setelah formulir tata usaha I-01 (TUL.I-01) lembar pertama dikembalikan dari Kepala cabang kepada bagian, selanjutnya peminta diberitahu dengan mengirimkan surat izin penyambungan melalui pos atau menyampaikannya kepada peminta sewaktu ia datang kefungsi pelayanan. Surat izin penyambungan disiapkan oleh fungsi sekretariat dengan rangkap 3 (tiga), setelah ditanda tangani oleh kepala cabang. Lembar pertama disampaikan pada pemohon, lembar kedua bersama-sama dengan formulir I-01 (TUL.I-01). Lembar pertama dikembalikan kepada bagian pelayanan langganan sedangkan lembar ketiga disimpan sebagai arsip di sekretariatan PT. (Persero) PLN. Bentuk dan redaksi surat izin tersebut dibuat secara seragam oleh kantor distribusi atau wilayah, yang berisikan antara lain, daya yang tersedia, biaya penyambungan, uang jaminan langganan, juga anjuran kepada peminta untuk menghubungi instalatir yang diakui sah oleh PLN setempat. Lembar pertama formulir I-01 (TUL.I.01) dan surat izin lembar kedua oleh pelayanan


(51)

langganan bersama-sama lembar kedua formulir I-01 (TUL.I-01) diarsipkan di dalam arsip permintaan yang menunggu penyelesaian.

3. Permintaan yang ditolak.

Bilamana hasil pemeriksaan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat penyambungan, maka fungsi sekretariat akan membuat surat penolakan ditanda tangani oleh kepala cabang maka lembar pertama dikirimkan kepada pemohon dan lembar kedua bersama-sama lembar pertama formulir I-01 (TUL.I-01) dikirim kembali ke bagian pelayanan langganan, yang selanjutnya menggabungkannya dengan lembar kedua yaitu surat izin dan digabungkan ke dalam arsip permintaan yang ditolak, sedangkan lembaran yang ketiga dari surat penolakan merupakan arsip kesekretariatan PT. (Persero) PLN.

4. Permintaan yang menunggu pembayaran.

Dimaksud permintaan yang menunggu pembayaran adalah permintaan dimana instalasi yang telah dipasang oleh intalatir yang sah dan telah diperiksa oleh PT. (Persero) PLN, tetapi pemohon belum membayar biaya penyambungan dan uang jaminan langganan. Semua surat-surat permintaan ini beserta lampirannya diarsipkan dengan arsip permintaan yang menunggu pembayaran. 5. Permintaan yang diluluskan.

Permintaan yang diluluskan adalah permintaan dari pemohon yang telah menyelesaikan uang jaminan langganan dan biaya penyambungan pada PT. (Persero) PLN. PT. (Persero) PLN mengeluarkan surat perintah kerja sambungan rumah dan perubahan data langganan (PDL) tetapi penyambungannya masih dalam proses teknis. Surat-surat sehubungan dengan permintaan ini akan dimasukkan ke dalam arsip permintaan yang diluluskan.


(52)

6. Permintaan yang digugurkan.

Jika dalam waktu yang telah ditentukan oleh PT. (Persero) PLN pada surat izin penyambungan, peminta tidak menyelesaikan pembayaran biaya penyambungan dan uang jaminan langganan maka permintaan menjadi gugur. Surat permintaan beserta lampirannya dimasukkan ke dalam permintaan yang digugurkan oleh PT. (Persero) PLN.

7. Sambungan yang diberikan.

Bilamana penyambungan telah dilaksanakan oleh bagian teknik, maka surat permintaan beserta lampirannya dan lain-lainnya dimasukkan ke dalam arsip sambungan yang diberikan.

8. Permintaan Perubahan Daya.

Formulir ini dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan dipergunakan untuk melayami langganan yang menghendaki penambahan, penurunan daya dan perubahan tarif.

9. Permintaan Tambahan Daya.

Prosedur ini sama dengan pemasangan baru arus listrik dengan catatan bahwa setiap catatan yang masuk perlu diperiksa oleh bagian teknik untuk mengetahui apakah instalasi yang ada perlu direvisi atau tidak.

10.Permintaan Turun Daya.

Formulir I-01 (TUL.I-01) diisi dalam rangkap 3 (tiga). Lembaran ketiga diberikan kepada langganan. Lembaran kedua dijadikan arsip dan lembar pertama tidak dikirimkan kepada bagian teknik tetapi dibuatkan dalam perubahan data langganan (PDL) setelah syarat-syarat dipenuhi.


(1)

susulan akan menimbulkan kerugian bagi pihak PT. (Persero) PLN. Biaya pengoperasian prasarana dan fasilitas PT. (Persero) PLN membutuhkan dana yang besar sehingga apabila para pelanggar menunggak pembayaran rekening listrik maupun tagihan susulan ataupun biaya-biaya lainnya tentunya akan menyulitkan pihak PT. (Persero) PLN dalam menutupi biaya pengoperasian prasarana listrik tersebut, Pihak PT. (Persero) PLN tentunya tidak akan mengambil risiko atas adanya kerugian tersebut.72 Apabila tagihan susulan karena suatu dan lain hal tidak dilunasi oleh pelanggar maka pihak PT. (Persero) PLN akan melakukan tindakan sebagai berikut :

a. Pihak PT. (Persero) PLN akan melakukan penyambungan kembali arus listrik yang telah terputus

b. Jika tagihan susulan tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, maka sambungan listrik akan dibongkar dengan ketentuan bahwa penyambungan kembali akan dilayani sebagai sambungan baru dengan memperhitungkan dengan biaya penyambungan baru (BP baru).

c. Bila pelanggar bukan pelanggan maka melalui Pengadilan Negeri persoalannya diajukan sebagai tindak pidana pencurian.

Apabila dikaitkan dengan ketentuan KUH.Perdata, maka tindakan yang dilakukan oleh pelanggar merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Perbuatan melanggar hukum tersebut tentunya membawa kerugian bagi pihak PT. (Persero) PLN. Oleh sebab itu wajar apabila pihak PT. (Persero) PLN menuntut ganti rugi kepada pelanggar. Walaupun bentuk ganti rugi yang ditetapkan oleh pihak PT. (Persero) PLN merupakan bentuk ganti rugi yang bersifat lex specialis (khusus), yang mengenyampingkan bentuk ganti rugi yang diatur secara umum di dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Bentuk ganti rugi yang ditetapkan oleh pihak PT.

72

Ibid


(2)

(Persero) PLN merupakan bentuk ganti rugi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi PT. (Persero) PLN Nomor 68 K/010/DIR/2008.

Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak PT. (Persero) PLN dalam menyelesaikan masalah pelanggaran pemakaian arus listrik pelanggan adalah dengan jalan musyawarah terlebih dahulu. Dengan musyawarah tersebut sedapat mungkin PT. (Persero) PLN akan memberikan kelonggaran-kelonggaran sanksi kepada pelanggan yang pelanggaran pemakaian arus listrik.

Kelonggaran-kelonggaran tersebut baru dapat diberikan apabila diantara kedua belah pihak telah mencapai kata mufakat dalam musyawarah tersebut. Apabila tidak tercapai kata mufakat, maka kedua belah pihak akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan sengketa tersebut ke Pengadilan. Pengajuan tersebut diharapkan untuk mencapai penyelesian sengketa dengan adil dan seimbang.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN didasarkan bahwa perbuatan Termohon Keberatan melakukan hal berupa merusak segel bawah tutup terminal, merusak segel kiri dan kanan MCB dan mengendorkan baut klem tegangan yang sebelah kiri sehingga mengakibatkan terkadang tidak berputarnya piringan KWH meter adalah merupakan perbuatan melawan hukum

2. Akibat hukumnya jika terjadi perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN maka dapat dikenakan denda, tagihan susulan dan pemutusan aliran listrik sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan olehnya sedangkan pihak PT. (Persero) PLN dapat juga dinyatakan lalai atau wanprestasi apabila ia tidak memenuhi prestasi atau pun kewajibannya yang telah ditetapkan dalam kontrak penyambungan arus listrik. Bentuk wanprestasi dari pihak PT. (Persero) PLN dapat berupa tidak menyediakan daya listrik yang dimintakan oleh pihak pelanggan.

3. Penyelesaian hukum akibat perbuatan melawan hukum akibat merusak segel meteran milik PT. PLN, maka para pihak akan menyelesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila penyelesaian perselisihan dengan cara musyawarah tidak tercapai, para pihak akan menyerahkan penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri.


(4)

B. Saran

1. Memberantas atau mencegah pencurian arus listrik dengan cara lebih meningkatkan pengawasan dan pengkontrolan pemakaian arus listrik kepada pelanggan serta meningkatkan staf serta karyawan PLN untuk lebih disiplin dan jujur dalam menjalankan pengawasan dan pengontrolan.

2. Masyarakat agar tidak segan-segan untuk melaporkan kepada kepolisian bila melihat adanya gejala-gejala tidak baik yang dapat menjurus kepada atau ke arah terjadinya kriminalitas seperti pencurian arus listrik agar dapat secara cepat mencegah terjadinya kejahatan ditengah-tengah masyarakat.

3. Agar para pihak yang mengadakan perjanjian dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan para pihak yang tertuang dalam perjanjian, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak terjadi silang sengketa dalam perjanjian tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulhay, Marheinis, Hukum Perdata, Pembinaan UPN, Jakarta, 2006. Algra. N.E., Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 2003.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUH.Perdata Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 2003

Djamin, Djanius dan Syamsul Arifin., Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas Medan, 2001

Fuady, Munir, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

---; Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. ---; Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya

Bhakti, Bandung, 2001

Harahap. M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2002

HS, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002.

Patrik, Purwahid, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2000

Prodjodikoro, R. Wirjono, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 2003.

Satrio, J, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 2002 Setiawan, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung, 2007.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.

Surbekti, R, Aneka Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2002


(6)

Suryatin, R, Hukum Ikatan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001

Volmar, H.F.A., Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan Oleh I.S. Adiwinata), Rajawali Pers, Jakarta, 2004.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.

C. Internet

http://lpksm-purworejo.blogspot.com//pln-pemegang-hak-monopoli.html. diakses tanggal 05 Maret 2015 Pukul 10.00 Wib.

http://.blogspot.com/2011/07/proses-pemasangan-listrik-baru.html. diakses tanggal 05 Maret 2015 Pukul 10.00 Wib.

http://www.pln.co.id/listrik prabayar, diakses tanggal 17 Maret 2015 Pukul 10.00 Wib.

http://tri.co.id/post-paid/syarat-ketentuan listrik prabayar, diakses tanggal 17 Maret 2015 Pukul 10.00 Wib.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

8 151 149

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Gugatan perkara ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 720.K/Pdt/1997 Tanggal 9 Maret 1999)

1 7 76

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum - Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

0 0 10

Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

0 0 10