Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Perikanan yang Dilakukan oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus Putusan No. 12 Pid.P 2011 PN.MDN)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laut merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia
yang memberian begitu banyak manfaat bagi terselenggaranya kehidupan dan
kesejahteraan manusia. Laut merupakan sumber makanan bagi manusia, sebagai
jalan raya transportasi dan perdagangan sebagai batas sekaligus pemersatu antar
negara serta berbagai manfaat lainnya. 2
Indonesia merupakan salah satu negara yang terdiri adari beribu-ribu pulau
yang dipisahkan oleh perairan-perairan dangkal maupun perairan-perairan dalam
(selat, laut territorial dan laut lepas), yang mana wilayah perairan Indonesia
memiliki keanekaragaaman sumber daya hayati, dan inilah ciri negara maritim
yang dimiliki Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari negara
kepulauan dan dua pertiga wilayahnya adalah perairan laut yang terdiri atas laut
pesisir, laut lepas, teluk dan selat myang kaya akan sumber daya laut dan ikan. 3
Status Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang memiliki
banyak pantai . Hal ini tentu saja mengakibatkan Indonesia juga rentan terkena
masalah tindak pidana perikanan. Apalagi Indonesia juga dikenal sebagai negara
dengan potensi sumber daya hayati yang besar. Sumber perikanan laut Indonesia
diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun, akibat letak posisi
silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua


2

Frans E. Lidkaja dan Daniel F. Bassie, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan,
Ghalia Indonesia, Jakarta , 1985, hlm 21.
3
http://hasaanudinnoor.blogspot.com/hukum-acara-pengdilan-perikanan.html. Diakses
tanggal 20 Mei 2015 pukul 18.20 WIB.

1
Universitas Sumatera Utara

2

Samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya
tindak pidana perikanan. 4
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas 18.108 pulau dengan
garis pantai terpanjang kedua di dunia sesudah Kanada. 5 Luas perairan atau
wilayah laut Indonesia yaitu 5,9 juta km, yang terdiri dari 0,4 juta km2 perairan
teritorial, perairan nusantara seluas 2,8 juta km2 , serta Zona Ekonomi Eksklusif

seluas 2,7 juta km2. Kondisi geografis yang menjadikan Indonesia sebagai salah
satu negara maritim terbesar di dunia. 6 Kejahatan yang umumnya terjadi di
wilayah periran Indonesia adalah tindak pidana perikanan, yaitu kegiatan
perikanan yang tidak sah, kegitan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan
yang berlaklu, aktivitasnya tidak dilporkan kepada suatu institusi atau lembaga
perikanan yang bersedia/berwenang.Tindak pidana perikanan ini paling sering
terjadi di wilayah Indonesia pengelolaan perikanan di Indonesia adalah pencurian
ikan oleh kapal-kapal ikan asing yang berasal dari beberapa negara tetangga
seperti negara Thailand, Fillipina, dan Vietnam, walaupun sulit untuk memetakan
dan mengistemasi tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah perairan
Indoneisa. 7

4

http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatantransnasionalyang-dilupakan. Diakses tanggal 21 Mei 2016 pukul 18.00 WIB.
5
Lihat Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia,
dalam Towards Sustainable Fisheries Law, A Comparative Analysis,Gerd Winter (ed) IUCN
Enviromental Policy and Law Paper No.74, 2009, hlm. 31.
6

Alma Manuputty dkk, Identifikasi Konseptual Akses Perikanan Negara Tak Berpantai
dan Negara yang Secara Geografis Tak Beruntung di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Makassar: Arus Timur, 2012, hlm. 1-2.
7
http://mukhtar-api.blogspot.com../2011/05/illegal-fishing-di-indonesia-.html. Diakses
tanggal 21 Mei 2016 pukul 18.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

3

Tindak Pidana Perikanan merupakan masalah klasik yang sering dihadapi
oleh negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak
dulu. Namun hingga sekarang masalah tindak pidana perikanan masih belum
dapat diberantas.Hal itu dikarenakan untuk mengawasi wilayah laut yang banyak
secara bersamaan itu merupakan hal yang sulit.Negara yang sudah memiliki
teknologi yang maju dibidang pertahanan dan keamanan sekalipun pasti juga
pernah terkena kejahatan dalam tindak pidana perikanan.
Tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh nelayan asing maupun
lokal tampaknya merupakan suatu ancaman yang cukup serius dalam penegakan

hukum.Secara faktual tindak pidana tersebut ada kecenderungan untuk mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, dan terjadi hampir di seluruh pelosok
Indonesia.Peningkatan

tindak

pidana

tersebut

mengisyaratkan

bahwa

penanggulangannya harus dilakukan secara sistematik.
Kasus tindak pidana perikanan di Indonesia sendiri masih kurang
mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia sendiri dan penaggulangannya
masih

kurang


maksimal

dilaksanakan.Padahal

kejahatan

tindak

pidana

perikanandi perairan Indonesia khususnya ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif)
Indonesia mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi pemerintah Indonesia. 8
Sumber perikanan di Indonesia masih merupakan sumber kekayaan yang
memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk dapat dikembangkan bagi
kemakmuran bangsa Indonesia, baik untuk memenuhi kebutuhan protein
rakyatnya, maupun untuk keperluan ekspor guna mendapatkan dana bagi usaha8

http://m.antaranews.com/berita/439091/18-titik-perairan-indonesia-rawan-pencurian-ikan.
Diakses tanggal 22 Mei 2016 pukul 11.00 WIB.


Universitas Sumatera Utara

4

usaha pembangunan bangsanya, 9menunjukan betapa pentingnya sumber kekayaan
hayati dalam hal ini perikanan bagi Indonesia.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perikanan di
ZEE Indonesia. Salah satunya yaitu celah hukum yang terdapat dalam
ketentuanPasal 29 ayat (2)Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa
orang atau badan hukum asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE Indonesia untuk
melakukan usaha penangkapan ikan berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku. 10Ketentuan Pasal 29 ayat (2)Undang
- Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan 11 seakan membuka jalan bagi nelayan atau badan
hukum asing untuk masuk ke ZEE Indonesia untuk kemudian mengeksplorasi
serta mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE Indonesia.
Namun hal itu tidak dapat disalahkan karena merupakan salah satu
bentuk penerapan aturan yang telah ditentukan dalam Konvensi Hukum Laut

Tahun 1982 yang merupakan salah satu konvensi internasional yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Dalam ketentuan Pasal 62 ayat (3) dan (4) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982
9

Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, 1979,

hlm. 3.
10

Lihat ketentuanPasal 29 ayat (2) Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan
atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
11
Pasal 29 ayat (2) Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas UndangUndang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan: Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik
Indonesia berdasarkan persetujuaan Internasional atau ketentuan hukum Internasional yang
berlaku.

Universitas Sumatera Utara


5

mengharuskan negara pantai untuk memberikan hak akses kepada negara lain
untuk mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE negara pantai apabila
terjadi surplus dalam hal pemanfaatan sumber daya hayati oleh negara pantai.
Kapal-kapal ikan asing yang mempunyai hak akses pada zona ekonomi eksklusif
suatu negara pantai harus menaati peraturan perundang-undangan negara pantai
yang bersangkutan, yang dapat berisikan kewajiban-kewajiban dan persyaratanpersyaratan mengenai berbagai macam hal, seperti perizinan, imbalan keuangan,
kuota, tindakan-tindakan konservasi, informasi, riset, peninjau, pendaratan
tangkapan, persetujuan-persetujuan kerja sama, dan lain sebagainya. 12
Faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perikanan
di perairan Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis global terutama
kondisi perikanan di Negara lain yang memiliki perbatasan laut, dan sistem
pengelolaan perikanan di Indonesia. Secara garis besar faktor penyebab tersebut
dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan berikut: 13
1. Kebutuhan ikan di dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia
menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini
mendorong armada perikanan dunia berburu ikan dimanapun dengan cara legal
atau illegal.

2. Disparitas atau perbedaan harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain
dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya
surplus pendapatan.

12

http://dkp.kaltimprov.go.id/berita-157-kkp-kesulitan-awasi-perairan-indonesia.html.
Diakses tanggal 22 Mei 2016 pukul 22.00 WIB.
13
Rohmin Dahuri, Petunjuk Teknis Penyelesaian Tindak Pidana Perikanan, Pusdiklat
Kejagung RI, 2012, hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara

6

3. Fishing ground di negara-negara lain

sudah mulai habis, sementara di


Indonesia masih sangat menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan
produksi pengolahan di negara tersebut harus tetap bertahan.
4. Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, disisi lain kemampuan pengawasan
khususnya armada pengawasan nasional (kapal nasional) masih sangat terbatas
dibandingkan kebutuhan untuk mengawasi daerah rawan. Luasnya wilayah laut
yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya
ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi
magnet masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan
tindak pidana perikanan.
5. Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat
terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap ( input
restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual
geografi ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
6. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta sumber daya
manusia pengawasan khususnya dari sisi kuantitas dibandingkan dengan luas
wilayah perairan yang harus diawasi. Hal ini ditambah lagi dengan
keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.
7. Presepsi dan langkah kerjasama aparat hukum masih dalam penanganan
perkara tindak pidana perikanan masih belum terorganisasi dengan optimal,
terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal

pengawas di ZEE.

Universitas Sumatera Utara

7

Masalah tindak pidana perikanan ini terus menggelayuti perairan
Indonesia, meskipun secara jelas dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang perikanan, bahwa pelaku tindak pidana perikanan diganjar dengan pidana
penjara dan denda yang sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan. Penerapan
hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan sangat menarik untuk
dikaji khususnya warga negara asing sebagai pelaku tindak pidana perikanan. Hal
ini ditujukan agar praktek-praktek tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh
kapal-kapal yang dioperasikan oleh warga negara asing dapat dihentikan melalui
penegakan hukum pidana.
Oleh karena hal tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk
mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap
Tindak Pidana Perikanan yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus
Putusan Nomor.12/Pid.P/2011/PN MDN)”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagaiberikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana perikanan di Indoneia?
2. Bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak pidana
perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing menurut putusan
No.12/Pid.P/2011/PN.MDN?

Universitas Sumatera Utara

8

C. Tujuan dan manfaat penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahuai pengaturan tentang tindak pidana perikanan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak
pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing menurut putusan
No.12/Pid.P/2011/PN.MDN.
Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat memberi
manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya
tentang pemahaman mengenai penangan tindak pidana perikanan khususnya yang
dilakukan oleh warga negara asing.
2. Manfaat Praktis
Memberi masukan kepada pemerintah, aparat penegak hukum dan pihak
yang berkompeten dibidang penanganan tindak pidana perikanan.

D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “ Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana
Perikanan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus Putusan No.
12/Pid.P/2011/PN.MDN)”

sepengetahuan

penulis

bahwa

dilingkungan

Universitas Sumatera Utara penulisan tentang judul tersebut belum pernah
dilakukan oleh mahasiswa lain sebelumnya dan skripsi ini asli disusun oleh

Universitas Sumatera Utara

9

penulis sendiri dan bukan plagiat. Semua ini merupakan implikasi etis dari proes
menemukan

kebenaran

ilmiah.

Sehingga

penelitian

ini

dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, apabila dikemudian hari
terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung
jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit . 14 Para ahli hukum mengemukakan
istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feith
sayangnya sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Beberapa istilah
yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam
literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit ini adalah sebagai
berikut: 15
a. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita, hampir seluruh peraturan perundang-undangan
menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan
istilah ini seperti Wirdjono Prodjodikoro
b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya
Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, H.J.Van
Schravendijk dalam buku pelajaran tentang hukum pidana, Zainal
Abiding, dalam buku beliau Hukum Pidana
c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latinDelictum juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit.

14

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana edisi 2, USU Press, Medan, 2013,

hlm.73.
15

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan
&Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2005, hlm. 68

Universitas Sumatera Utara

10

Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan
perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya.
“Tindak” menunjuk pada kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata,
dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negativ (naleten). Padahal
pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan
aktif maupun pasif tersebut. 16 Menurut Tongat, Penggunaan berbagai istilah
tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaanya
disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya. 17 Secara harfiah tindak
pidana, peristiwa pidana, dan perbuatan pidana merupakan beberapa istilah dari
penterjemahan istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia, dimana istilah
strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia, dimana istilah strafbaar feit terdiri dari:
straf berartihukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit

berarti

peristiwa (perbuatan). Jadi istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat
dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. 18
Beberapa Pengertian Tindak Pidana yang dirumuskan oleh para ahli
yaitu: 19
a. D. Simons
Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan

16

Ibid., hlm. 70.
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,UMM
Press, Malang, hlm. 102.
18
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1997,
hlm. 181.
19
Tongat, Op.cit., hlm 105
17

Universitas Sumatera Utara

11

seperti ini, maka menurut simons untuk adanya suatu tindak pidana harus
dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1). Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif (berbuat)
maupun negatif (tidak berbuat)
2). Diancam dengan pidana
3). Melawan hukum
4). Dilakukan dengan kesalahan
5). Oleh orang yang mampu bertanggungjawab
b. J. Bauman
Menurut J. Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan.
c. Wirdjono Prodjodikoro
Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan pidana.
d. Pompe
Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit
(tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.
2. Pengertian Tindak Pidana Perikanan
Secara ilmiah tindak pidana perikanan dikenal dengan praktek perikanan
IUU, yaitu:
a. I adalah Ilegal (tidak sah)
b. U adalah Unreported (tidak dilaporkan)

Universitas Sumatera Utara

12

c. U adalah Unregulated (tidak diatur)
Defenisi perikanan IUU secara Internasional, menurut alinea 3.1, 3.2, 3.3
IPOA-IUU. Alinea 3.1 IPOA-IUU mengatakan tindak pidana perikanan adalah: 20
1). Kegiatan penengkapan ikan yang dilakukn oleh suatu negara tertentu atau
kapal asing diperairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa izin dari
negara

yang

memiliki

yurisdiksi

atau

kegiatan

penengkapan

ikan

bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu. (Activities conducted
national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state, Without
permission of that state, or in contravention of its laws and regulation).
2). Kegitan penengkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera
salah satu negar yang tergabung sebagi anggota organisasi pengelolaan
perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO)
tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan
konservasi dan pengelolaan perikanan regional yang telah diadopsi oleh
RFMO. Negara anggota RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu
atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional. (Activities
conducted by vessels flying the flag of satates that are parties to a relevant
regional fisheries management organization (RFMO) but operate on
contravention of conservation and management measures adopted by the
organization and by wich Statesare are bound, and relevant provisions of the
applicable international law).

20

Victor PH Nikijuluw, Blue Water Crime, Cidesindo, Jakarta, 2008, hlm. 14-15.

Universitas Sumatera Utara

13

3). Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan
suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang
ditetapkan negara anggota RFMO. (Activities in violation of national laws or
international obligations, including those undertaken by cooperating satates
to a relevant regional fisheries management organization RFMO).
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tindak pidana
perikanan merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang
dengan sengaja dibawah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
penengkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan
bahan kimia, bahan biologis bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. 21
3. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Berbicara masalah pidana tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai
pemidanaan. 22 Menurut Sudarto, pemidanaan itu kerap kali sinonim dengan kata
penghukuman. Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat
diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya
(berechten). Penghukuman dalam perkara pidana, sinonim dengan pemidanaan
atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini
mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling, misalnya dalam

21

Pasal 84 ayat (1) UU No.31 tahun 2004 jo. UU No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan
atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
22
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 33.

Universitas Sumatera Utara

14

pengertian sentenced conditionally atau voorwaadelijk veroordeeld yang sama
artinya dengan dihukum bersyarat atau pidana bersyarat. 23
Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang kepentingankepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan atau
yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Sedangkan “pemidanaan” diartikan
sebagai penghukuman. Bapak Amir Ilyas dalam bukunya menjelaskan bahwa
“pemidanaan bisa diartikan sebagai tahapan penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana”. 24
Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan
matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang
bersalah melanggar suatu aturan hukum. 25
Jerome Hall dalam M. Sholehuddin membuat deskripsi yang terperinci
mengenai pemidanaan, yaitu sebagai berikut: 26
a. Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diiperlukan dalam hidup;
b. Ia memaksa dengan kekerasan;
c. Ia diberi atas nama negara ; ia “diotoritaskan”;
d. Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan
penentuannya, yang diekspresikan di dalam putusan;

23
24

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 71-72.
Amir Iliyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012, hlm

95.
25
26

Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm.7.
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana,Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hlm.70.

Universitas Sumatera Utara

15

e. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini
mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya,
kejahatan dan pemidanan itu signifikan dalam etika;
f. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan
diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si
pelanggar, motif dan dorongannya.
Ted Honderich dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah
berpendapat, bahwa pemidanaan harus memuat tiga unsur berikut: 27
a. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau
kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran
dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya merupakan
kerugian atau kejahatan yang di derita oleh subjek yang menjadi korban
sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara aktual, tindakan subjek
lain itu dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi
orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah;
b. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum
pula. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah dari suatu
tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu
lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan
balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan
penderitaan;

27

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 75-76.

Universitas Sumatera Utara

16

c. Penguasa yang berwenang, berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada
subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan
yang berlaku dalam masyarakat. unsur yang ketiga ini memang mengundang
pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo ekonomi yang
dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian,
secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbukti sebagai denda (penalty)
yang diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atau
peraturan.
4. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana
a. Menurut Waktu
1). Asas Legalitas 28
Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, prinsip hukum Romawi
memperlihatakan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam
bidang politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu. 29 Pada zaman itu
hukum pidana sebagian besar tidak tertulios sehingga kekeuasaan raja yang
sangat absolut dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenang-wenang.
Proses pengadilan berjalan tidak fair karena hukum ditetapkan menurut
perasaan hukum hakim yang mengadili. 30

28

Asas legalitas merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam Hukum Acara
Pidana. Berdasarkan asas legalitas, maka semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan
ketentuan hukum dan undang-undang, sehingga jajaran penegak hukum tidak dibenarkan bertindak
diluar ketentuan hukum dan melaklukan tindakan sewenang-wenang. (lihat M. Yahya Harahap
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua,
Cet.11, Sinar Grafika,Jakarta, 2009, hlm,36)..
29
John Gillisen dan Frist Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005, hlm. 177.
30
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara

17

Pada saat yang bersamaan muncul para ahli pikir seperti Montesquieu
dan Rousseau yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undangundang tertulis. Pasca Revolusi Prancis struktur hukum mulai dibangun dengan
adanya hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah, antara
kekuasaan negara dengan individu. 31
Asas legalitas pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des
droit de L’homme et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar
pada tahun pecahnya Revolusi Prancis. Selanjutnya Napoleon Bonaparte
memasukkan asas legalitas dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal
1 WvS Nederland 1881 dan pasal 1 WvSNI 1918. Pasal 1 ayat (1) KUHP
mengatur asas legalitas sebagai berikut: 32
“Tiada satu berperbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan”. Anselm vonb Feurbach dalam bukunya Lehrbuch des
peinlichen Recht (1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum
delictum nulla poena siena praevia lege poenali” (tidak ada tindak
pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang pidana yang
mendahului)yang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang
dicetuskannya.
Konsekuensi asas legalitas formil
a). Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dala peraturan
perundang-undangan, yaitu bahwa perbuatan seseorang yang tidak
tercantum dalam un dang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat

31

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,
2016, hlm. 63.
32
Ahmad Bahiej, “Kekuatan Berlakunya Hukum Pidana Indonesia Menurut waktu dan
Perkembangannya
dalam
Pembaharuan
Hukum
Pidana
Indonesia”,
http://kubuskecil.blogspot.com/202/12/kekuatan-berlakunya-hukum-pidana. hal. 1. Diakses
tanggal 24 Mei 2016 pukul 16.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

18

dipidana dan dilarang untuk melakuykan analogi untuk membuat suatu
perbuatan menjadi tindak pidana.
b). Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana, yaitu bahwa aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif).
Yang menjadi dasar dari hal ini adalah:
(1). Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan
penguasa.
(2). Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselm von
Feurbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan
terpengaruh jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan
ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya itu akan
mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.
Menurut asas legalitas formil, tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam telah ditentukan dengan aturan pidana.Hal ini menjadi masalah,
jika menurut hukum adat/ masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang
menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan
(dengan tidak dicantumkan didalam KUHP).Dalam sistem peradilan di
Indonesia hakim sangat diharapkan untuk memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

Universitas Sumatera Utara

19

masyarakatsebagimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 33
Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak
tertulis, artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun
juga berdasar asas legalitas materil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak
tertulis/hukum adat.Artinya suatu perbuatan menurut hukum yang
hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan
dalam undang-undang pidana, tetapi dapat dianggap sewbagai tindak
pidana.

b. Menurut Tempat
Batas berlakunya hukum pidana menurut tempat diatur didalam Pasal
2-9 KUHP. Ajaran berlakunya hukum pidana menurut tempat merupakan hal
yang penting, karena dengan ajaran ini dapat diketahui:
(1). Sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu
negara, apabila terjadi perbuatan pidana;
(2). Bilamana negara berhak menuntut seseorang atas suatu perbuatan pidana
yang dilakukan. 34
Berlakunya undang-undang hukum

pidana menurut tempat dapat

dibagi atas empat asas, yaitu: 35

33

Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan
bahwa:“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
34
Satochid Kartanegara, Dictaat Hukum Pidana I jilid IV, Disusun oleh Mahasiswa PTIK
Angkatan V, Tahun 1954-1955, hlm. 132.
35
Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm. 19.

Universitas Sumatera Utara

20

(a). Asas teritorial (territorialiteitsbeginsel);
(b). Asas personal (personaliteitsbeginsel);
(c). Asas perlindungan atau nasional yang pasif (bescermingsbeginsel atau
passief nationliteitsbeginsel); dan
(d). Asas universal (universaliteitsbeginsel)
Pompe dalam Bambang Poernomo, menyatakan bahwa yang
mendasari sifat hukum pidana adalah melindungi, maka asas perlindungan
menjadi sumber dari semua asas-asas, oleh karena itu ke empat asas itu dapat
dipersatukan menjadi satu asas perlindungan untuk kepentingan dan
kewibawaan dari setiap subjek hukum yang harus dilindungi. 36
1). Asas teritorial (territorialiteitsbeginsel)37
Asas teritorial dianut oleh Indonesia dan disebutkan dalam pasal 2 dan
3 KUHP. Dalam pasal 2, yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak
mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya,
siapapun baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak
pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka diberlakukan hukum pidana
Indonesia.
Asas teritorial merupakan asas yang penting sebagai dasar utama dari
kedaulatan hukum, sedangkan asas-asas yang lainnya dipandang sebagi
pengecualian

yang

bersifat

perluasan

dari

asas

ini.

38

Satochid

36

Bambang Poernomo, Op.Cit, hlm.58.
Menurut Moeljanto, asas ini diartikan perundang-undangan hukum pidana suatu negara
berlaku bagi semua orang yang melakukan perbuatan pidana di negara tersebut, baik oleh warga
negaranya sendiri maupun warga negara asing. (Lihat Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana,
Rineka Cipta, hlm. 38).
38
Bambang Poernomo, Op. Cit, hlm. 59.
37

Universitas Sumatera Utara

21

Kertanegara, 39 menyebutkan bahwa dasar hukum (rechtground) dari asas
teritorialitas adalah de souvereniteit van de staat (kedaulatan negara).
Berdasarkan asas teritorialitas, maka perundang-undangan hukum
pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah
negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun
orang asing. Berlakunya undang-undang hukum pidana dititikberatkan pada
“tempat” perbuatan diwilayah negara Indonesia dan tidak mensyaratkan bahwa
si pembuat harus berada di dalam wilayah, tetapi cukup dengan bersalah telah
melakukan perbuatan pidana yang “terjadi” di dalam wilayah negara
Indonesia. 40
Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial
dengan memandang kendaraan air/perahu (vaartuig) sebagai ruang berlakunya
hukum pidana. Pasal ini tidak memperluas wilayah Indonesia, arti harafiah
vaartuig adalah segala sesuatau yang dapat berlayar, yang dapat bergerak
diatas air. Namun berdasrkan hukum Internasional, kendaraan air yang dapat
diberlakukan asas teritorial ini adalah kapal perang dan kapal dagang laut
terbuka yang diberlakukan ius passagii innoxii (ketentuan yang mengatur suatu
kapal yang lewat secara damai diwilayah laut negara lain). Pasal 3 kemudian
diubah dengan keluarnya UU Nomor 4 Tahun 1976, ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah

39
40

Satochid Kertanegara, Op. Cit, hlm. 144.
Bambang Poernomo, Op. Cit, hlm. 58.

Universitas Sumatera Utara

22

Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara
Indonesia. 41
2). Asas personal (personaliteitsbeginsel)42
Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak
pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga
negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti
warga negara Indonesia ke mana pun ia berada. Dalam KUHP, asas ini diatur
dalam Pasal 5- Pasal 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan sejumlah pasal yang
jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan hukum
pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut
dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang
Indonesia itu berada. Karena dianggap membahayakan kepentingan negar
Indonesia, maka sejumlah pasal dalam Psal 5 ayat (1) tersebut tetap dapat
diberlakukan hukum pidana Indonesia.
Pasal 5 ayat (1) ke-2 menentukan bahwa hukum pidana Indonesia
berlaku bagi warga negar Indonesia yang diluar Indonesia melakukan tindak
Pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar
negeri danb kemudian pulang ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri tidak
bebas dari pemidanaan. Namun demikian, negar Indonesia tidak akan

41

UU No. 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam
KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan
Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
42
Asas personalitas merupakan suatu asas yang mendasari lahirnya norma yang
menentukan, bahwa berlakunya peraturan perundang-undangan pidana suatu negara didasarkan
pada kewarganegaraan (nasionalitas) orang yang melakukan suatu tindak pidana. (Lihat
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 62.

Universitas Sumatera Utara

23

menyerahkan warganya diadili di luar Indonesia. Angka ke-2 ini juga
membatasi bahwa yang dapat dipidana adalah yang masuk kategori kejahatan.
3). Asas perlindungan atau nasional yang pasif (bescermingsbeginsel atau
passief nationliteitsbeginsel)
Asas perlindungan atau nasionaliteit pasif , merupakan suatu asas
yang mendasari lahirnya norma yang menentukan, bahwa berlakunya hukum
pidana didasrkan kepada kepentingan hukum (rechtsbelang/rechtsgoed) yang
dilindungi oleh suatu negara, yang dilanggar. 43
Asas perlindungan menentukan bahwa hukum pidana suatu negara
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yng dilakukan di luar negeri, jika perbuatan
tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga
diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi
tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negar Indonesia, baik yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang bukan warga negara
Indonesia. 44
Asas perlindungan ini diatur dalam pasal 4,7 dan 8 KUHP, diperluas
juga dengan UU No. 4 Tahun 1976 Tentang Kejahatan Penerbangan dan UU
No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP,
beberapa tindak pidana yang dikelompokkan ke dalam asas perlindungan
adalah: 45
a). Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (pasal 104, 106,
107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131).
43

Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 66.
Sudarto, Op. Cit, hlm. 34.
45
Satochid Kertanegara, Op. Cit, hlm. 166.

44

Universitas Sumatera Utara

24

b). Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia.
c). Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia.
d). Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP).
e). Kejahatan Pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).
Tindak pidana tersebut dianggap menyerang kepentingan negara, oleh
karena itu asas ini tidak berlaku jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan
individu/pribadi warga negara di luar negeri.
1.

Asas universal (universaliteitsbeginsel)
Asas universal melihat kepada suatu tata hukum internasional, diamana

terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia. Jika ada suatu tindak
pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara, maka adalah
layak bahwa tindak pidana itu dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan
setiap negara, dengan tidak dipersoalkan siapa yang melakukannya dan tempat
melakukannya. 46
Pengertian asas universal adalah asas yang menyatakan, bahwa setiap
orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dituntut undang-undang hukum
pidana Indonesia di luar wilayah negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh
dunia. 47
Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan huklum pidana Indonesia
berdasarkan asas universal adalah:

46
47

Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm 43.
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 70.

Universitas Sumatera Utara

25

a). Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (pasal 4 sub ke2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.
b). Kejahatan perampokan/pembajakan di laut/udara (pasal 4 sub 4 KUHP
yang dibaharui dengan UU No. 4 Tahun 1976 Tentang Kejahatan
Penerbangan) yang didasarkan pada Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo
1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.
Pasal 9 menyebutkan bahwa berlakunya pasal 2-5, 7 dan 8 dibatasi
oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum Internasional.
KUHP tidak merinci hukum Internasional mana yang membatasi pasal-pasal
tersebut. dengan demikian, aturan ini cukup luasa karena dimungkinkan adanya
perubahan-perubahan ketentuan dasar pada hukum Internasional. pengecualian
yang didasarkan pada hukum internasional ini adalah hak imunitas atau
exterritorialitas.

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu
dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui
pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data skunder, yang
diperoleh dari:

Universitas Sumatera Utara

26

a. Bahan hukum primer
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. 48 Bahan hukum primer dalam tulisan ini diantarnya UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perubahan atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif, dan
Peraturan lain yang terkait.
b. Bahan Hukum Skunder
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang
berkaitan dengan tindak pidana perikanan, seperti: seminar-seminar,
jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, surat kabar/koran, karya tulis
ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan
diatas.
c.

Bahan Hukum Tertier
Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti:
kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penenlitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data
48

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
1988, hlm 19.

Universitas Sumatera Utara

27

sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antar lain berasal dari
buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik
yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen
pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.
4. Analisa Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudianm
dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif
dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan
metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumberyang
berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan
yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
Data yang diperoleh dari penelitian studi dokumen ini disusun secara
sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang penyelesaian hukum dalam
tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing. Analisis data
dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan
dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat
pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan
deduktif.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi
ini dan utuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini
kedalam 4 (empat) Bab.
BAB I

: PENDAHULUAN

Universitas Sumatera Utara

28

Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, keasliaan penulisan, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II

:TINDAK

PIDANA

PERATURAN

PERIKANAN

DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN

DI

INDONESIA.
Berisi tentang penegakan hukum diperairan Indonesia,
dan bentuk-bentuk tindak pidana dibidang perikanan
serta sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap tindak
pidana perikanan.
BAB III

:PENERAPAN

HUKUM

TERHADAP

PELAKU

PIDANA
TINDAK

MATERIL
PIDANA

PERIKANAN MENURUT PUTUSAN NO.12/PID.P
2011/PN MEDAN
Berisi tentang penerapan hukum pidana materil terhadap
pelaku tindak pidana perikanan, dimana penulis akan
mendeskripsikan kasus yang menyangkut tentang tindak
pidana perikanan dan penulis akan memberikan analisa
terhadap kasustersebut.
BAB IV

: KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dari pembahasan skripsi ini
dan saran-saran yang berguna bagi siapa saja yang
membaca skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara