Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Perikanan yang Dilakukan oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus Putusan No. 12/Pid.P/2011/PN.MDN)

(1)

DAFTAR PUSTAKA A.Buku-buku

Anwar, Chairul, 1995, ZEE Di Dalam Hukum Internasional, Penerbit PT Sinar Grafika, Jakarta.

Arto, Mukti, 2004, Praktek Perkara Perdata dan Pengadilan Agama, cet v, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bassar, M.Sudrajat, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, Bandung.

Chazawi, Adami, 2002,Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

, 2005, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan

&Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Djalal, Hasjim, 1979, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Penerbit Binacipta, Bandung.

Effendy, Rusli, 1986, Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Leppen UMI, Ujung Pandang.

Ekaputra, Mohammad, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana edisi 2, USU Press, Medan.

E. Lidkaja, Frans dan Daniel F. Bassie, 1985, Hukum Laut dan Undang-Undang

Perikanan, Penerbit PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Gillisen, John dan Frist Gorle, 2005,Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung.

Hamzah Andi, 1983,Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta. , 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cet.11, Penerbit PT Sinar

Grafika, Jakarta.

Hiariej, Eddy O.S, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Penerbit PT Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

Iliyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rangkang Education, Yogyakarta.


(2)

Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.

Kartanegara, Satochid, 1954-1955,Dictaat Hukum Pidana I jilid IV, Disusun oleh

Mahasiswa PTIK Angkatan V.

Khair, Abdul dan Mohammad Ekaputra, 2011, Pemidanaan, USU Press, Medan. Lamintang, P.A.F, 1997,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar

Baru, Bandung.

Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung.

Mertokusumo, Soedikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.

, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Moeljanto, 1982, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi A,1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Ed.Rev. Alumni, Bandung.

Poernomo, Bambang, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT Liberty, Yogyakarta.

, 1985, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit PT Ghalia Indonesia, Jakarta. ,1993,Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT Ghalia Indonesia, Yogyakarta. Prasetyo, 2005, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana:

Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono dan Mohammad Saihu, Pembaharuan Hukum Pidana. Sholehuddin, M, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana,Raja Grafindo Persada,

Jakarta,

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Penerbit Yayasan Sudarto, Semarang. , 1986,Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.


(3)

Suparni, Niniek, 2007,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan

Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.

Tongat,1986, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan,UMM Press, Malang.

Tribawono, Djoko, 2002, Hukum Perikanan Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sasrodanukusum, E. Bona, Tuntutan Pidana, Siliwangi, Djakarta.

Wicaksono, Divera, 2011, Menutup Celah Pencurian Ikan, Yayasan Penerbit Nusantara, Jakarta.

B.Jurnal

Laode M. Syarif, 2009, Promotion and Management of Marine Fisheries in

Indonesia, dalam Towards Sustainable Fisheries Law, A Comparative Analysis,Gerd Winter (ed) IUCN Enviromental Policy and Law Paper

No.74.

Alma Manuputty dkk, 2012, Identifikasi Konseptual Akses Perikanan Negara Tak

Berpantai dan Negara yang Secara Geografis Tak Beruntung di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Makassar: Arus Timur.

Dahuri, Rohmin, 2012, Petunjuk Teknis Penyelesaian Tindak Pidana Perikanan, Pusdiklat Kejagung RI.

Victor PH Nikijuluw, 2008, Blue Water Crime, Cidesindo, Jakarta.

C.Internet


(4)

http://kkp.go.id/index.php/berita

Ahmad Bahiej, “Kekuatan Berlakunya Hukum Pidana Indonesia Menurut waktu dan Perkembangannya dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Indonesia”,

http:// brainly.co.id/tugas/212887. D.Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Rancangan KUHP Baru Tahun 2009.

UU No. 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

UU No.31 tahun 2004 jo. UU No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

UU No. 17 Tahun 2009 Tentang Pelayaran.

Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(5)

BAB III

PENERAPAN HUKUM PIDANA MATERIL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERIKANAN YANG DILAKUKAN OLEH WARGA

NEGARA ASING MENURUT PUTUSAN NO.12/PID.P/2011/PN.MDN

Sebelum membahas mengenai penerapan hukum pidana materil dalam kasus putusan No. 12/Pid.P/2011/PN.MDN, maka terlebih dahulu menguraikan ringkasan posisi kasus pada putusan No. 12/Pid.P/2011/PN.MDN yaitu sebagai berikut:

A.Posisi Kasus

1. Kronologis

Terdakwa Mr. Thanongsak pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010 sekira pukul 09.20 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain bertempat di wilayah Perairan Indonesia tepatnya pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E atau pada wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI)61

61Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur diluar dan perbatasan dengan laut

teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya, dan air diatasnya dengan batas terluar 200(dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. (Lihat: Pasal 1 angka 21UU No 45 Tahun 2009 Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan).

,atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, terdakwa memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing dan melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikananRepublik Indonesia dan/atau di laut lepas yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), dan perbuatan tersebut dilakukan dengan cara berikut:


(6)

Terdakwa selaku nahkoda kapal penangkap ikan KM. PFKB 1108 berbendera Malaysia bertolak dari Port Klang Malaysia pada hari Senin tanggal 6 Desember 2010 bertolak ke laut bersama dengan 4 orang ABK62

Terdakwa menambah kecepatan kapal agar mudah melarikan diri, namun sebelum berhasil lari kapal patroli sudah mendekat dan dilakukan pemeriksaan dimana kapal KM. PKFB 1108 adalah kapal jenis penangkap ikan dari Negara Malasyia yang masuk ke Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dengan melakukan usaha/kegiatan penangkapan tanpa memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan ditemukan hasil tangkapan berupa ikan campur sebanyak 1.055 kg, sedangkan terdakwa tidak dapat memperlihatkan dokumen kapal yang menyertai sehingga kapal digiring menuju ke Dermaga Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Gabion Belawan untuk ditindak lanjuti sesuai hukum yang berlaku sebagiamana diatur dan diancam bernama Mr. Adisak, Mr. Luk Tak Hong, Mr.Joe, dan Mr.Un hingga pada hari Selasa tanggal 7 Desember 2010 melakukan kegiatan penangkapan ikan dan pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010 pukul 9.20 wib kapal yang dinahkodai terdakwa telah masuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tepatnya pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E atau pada wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI)dan ketika sedang melakukan penangkapan ikan/menarik jaring dengan menggunakan pukat trawl tanpa disadari dipergoki oleh Kapal Patroli HIU 001.

62Anak Buah Kapal (ABK) adalah awak kapal selain Nahkoda. (Lihat: Pasal 1 Angka 42


(7)

pidana dalam Pasal 92 jo. Pasal 102 UU Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

2. Dakwaan63

Dalam kasus ini Penuntut Umum Penuntut Umum

64

mengajukan dakwaan alternatif65, yaitu antara dakwaan yang satu dengan dakwaan yang lain saling “mengecualikan”, atau one that substitutes for another. Adapun pengertian yang diberikan kepada bentuk dakwaan yang bersifat alternatif, antara rumusan dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan, antara rumusan dakwaan yang satu dengan yang lain memberikan pilihan kepada hakim atau pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang paling tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya.66

63Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang

dimuat dalam surat itu hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan, (Lihat E. Bona- Sasrodanukusum, Tuntutan Pidana, Siliwangi, Djakarta, hlm. 236.

64Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hukum, (Lihat: Pasal 1 angka 6 KUHAP)

65

Dakwaan dapat disusun secara Tunggal, Kumulatif, Alternatif, ataupun Subsider. (Lihat: Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996, hlm. 188).

66 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan

dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cet.11, Sinar Grafika,Jakarta, 2009, hlm, 399-400.

Terdakwa diajukan dipersidangan oleh Penuntut Umum dengan surat dakwaan tanggal 19 September 2011 sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan Nomor Registrasi Perkara: 13/Rp.9/Ft.2/08/2011 yang berbunyi sebagai berikut:


(8)

Terdakwa Mr.Thanongsak pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010 sekira pukul 09.20 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain bertempat di wilayah Perairan Indonesia tepatnya pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E atau pada wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI),atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1).

Perbuatan terdakwa tersebut merupakan tindak pidana perikanan Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 92 jo. Pasal 102 UU Nomor 31 tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Atau

Dakwaan kedua:

Terdakwa Mr. Tanongsak pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010 sekira pukul 09.20 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain bertempat di wilayah Perairan Indonesia tepatnya pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E atau pada wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI),atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asaing melakukan penangkapan di wilayah Zona


(9)

Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)yang tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

Perbuatan terdakwa tersebut merupakan tindak pidana perikanan Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 93 jo. Pasal 102 UU Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

3. Tuntutan67

Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menuntut terdakwa Penuntut Umum

68

a. Menyatakan terdakwa Mr. Tanongsak telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa memiliki SIPI sebagimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2) melanggar pasal 92 jo. Pasal 102 UU Nomor 31 tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, atau melanggar pasal 93 jo. Pasal 102 UU Nomor 31 tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; dengan tuntutan sebagai berikut:

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan;

67Tuntutan atau penun tutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. (Lihat Pasal 1 angka 7 KUHAP).

68Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang


(10)

c. Menyatakan barang bukti berupa: 1). 1 (satu) unit kapal KM. PKFB 1108; 2). 1 (satu) unit alat tangkap Trwal; 3). 1 (satu) unit Radio Super Star;

4). 1 (satu) unit Radio UHF KENWOOD; 5). 1 (satu) unit Kompas;

6). uang tunai Rp 2.095.000,- (Dua Juta Sembilan Pulu Lima Ribu Rupiah) sebagai hasil penjualan ikan sebanyak 1.055 kg ikan campur-campur. Dirampas untuk negara;

7). menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

4. Fakta-Fakta Hukum a). keterangan saksi69

Saksi dibawah sumpah menerangkan, saksi ditugaskan oleh pimpinanya dengan surat perintah No.:SP.11.19.1/PSDKP.3/TU.2010/XI/2010, tanggal 19 November 2010 Surat Perintah Gerak No.: PG.11.19.1/PSDKP.3/TU 2010/XI/2011, tanggal 19 November 2010 dengan menggunakan Kapal Hiu Macan 001 melaksanakan gelar Operasi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan 1). Samson

69Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. (Lihat Pasal 1 angka 27 KUHAP)


(11)

Perikanan dimana jabatan saksi adalah sebagai Nahkoda70

Pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010, pukul 09.20 wib di Perairan Selat Malaka (ZEEI), pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”Esaksi beserta ABK nya menangkap kapal ikan KM. PKFB 1108 berbendera Malaysia yang sedang melakukan penangkapan ikan, selanjutnya dilakukan pemeriksaan ternyata Nahkoda KM. PKFB 1108 mengaku bernama Mr. Thanongsak, umur 38 Tahun, Agama Budha, Warga negara Thailand, setelah diperiksa KM. PKFB 1108 tidak memiliki Dokumen Perijinan Perikanan yang sah (SIUP, SIPI) dari Pemerintah Indonesia serta mengaku mendapat hasil tangkapan sebanyak 1.055 kg ikan campur, selanjutnya kapal beserta Nahkoda dan ABK di Ad Hock ke Belawan dan diserahkan kepada PPNS pada kantor Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di Gabion Belawan.

Hiu Macan 001, dengan ABK masing-masing bernama: Surono selaku Mualim I, Sutisna Wijaya selaku Mualim II, Handy Juwariadi selaku Markonis, Nurhidayanto selaku KKM, Edison Valen Weyai selaku Masinis I, Suryadi selaku Masinis II, Oobet selaku Serang, Adhi Susanto selaku Juru Mudi I, Eduardo Da Costa F selaku Juru Mudi II, Ronaldi Said selaku Oiler I, Malius Salem selaku Oiler II, Dedi selaku Oiler III, Syafari Ardiansyah selaku Kelasi I, Iwan Kurniawan selaku Kelasi II, Suleman Bugis selaku Kelasi, Dede Suyana selaku Kelasi, A’ang Yuli selaku Juru Masak dan Agus Arfan selaku Juru Masak.

70Nahkoda adalah seorang dari awak kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan

mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Lihat: Pasal 1 angka 41 UU no. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran).


(12)

Saat Kapal Patroli Hiu Macan 001 melaksanakan patroli di Perairan Indonesia Selat Malaka (ZEEI), saksi melihat kapal ikan KM. PKFB 1108 sedang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap trawl, kemudian saksi beserta ABK nya menangkapnya, selanjutnya diperiksa ternyata kapal KM. PKFB 1108 tidak memiliki dokumen perijinan yang sah atau tanpa SIPI dan SIUP dari Pemerintah Republik Indonesia, dan Nahkoda kapal KM. PKFB 1108 bernam Mr. Thanongsak berumur 38 tahun, beragama Budha dan berkewarganegaraan Thailand.

Petugas Patroli melakukan pemeriksaan terhadap kapal KM PKFB 1108 ternyata kapal tersebut berasal dari Malaysia dan telah mendapatkan hasil tangkapan ikan lebih kurang 1.055 kg ikan campur dengan menggunakan trawl.

Penjualan ikan hasil tangkapan KM. PKFB 1108 adalah sebesar Rp 2.095.000,- (Dua Juta Sembilan Pulu Lima Ribu Rupiah). Dijadikan sebagai barang bukti.

Alat-alat kelengkapan yang ada diatas kapal ikan KM. PKFB 1108 yang ditangkap saksi beserta ABK nya adalah:

(a). 1 (satu) unit kapal KM. PKFB 1108; (b). 1 (satu) unit alat tangkap Trwal; (c). 1 (satu) unit Radio Super Star;

(d). 1 (satu) unit Radio UHF KENWOOD; (e). 1 (satu) unit Kompas;


(13)

(f). uang tunai Rp 2.095.000,- (Dua Juta Sembilan Pulu Lima Ribu Rupiah). Dijadikan sebagai hasil penjualan ikan sebanyak 1.055 kg ikan campur-campur.

Posisi penangkapan kapal ikan KM PKFB 1108 pada koordinat 040 36’10” N- 990 35’ 50”Eadalah benar dan sudah diakui dan ditandatangani oleh Nahkoda.

Saksi masih mengenal terdakwa Mr. Thanongsak dan benar orang tersebut yang ditangkap pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010, pukul 9.20 wib di perairan Selat Malaka (ZEEI) pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E dikarenakan telah melakukan penangkapan ikan secara ilegal tanpa dokumen Perijinan Perikanan yang sah (SIUP, SIPI) dari Pemerintah RI dengan menggunakan alat tangkap trawl.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah salah dan melanggar hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perbuatan yang telah dilakukan terdakwa berdampak buruk karena dapat mengakibatkan hasil tangkapan ikan nelayan Indonesia menurun.

2). Surono

Memberikan keterangan dibawah sumpah yang dibacakan di dalam persidangan atas persetujuan terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

Saksi bersama Nahkoda dan ABK lainnya ditugaskan oleh

pimpinannya dengan surat perintah No.: SP.11.19.1/PSDKP.3/TU.2010/XI/2010, tanggal 19 November 2010


(14)

Surat Perintah Gerak No.: PG.11.19.1/PSDKP.3/TU 2010/XI/2011, tanggal 19 November 2010 dengan menggunakan Kapal Hiu Macan 001 melaksanakan gelar Operasi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dimana jabatan saksi adalah sebagai Mualim I Kapal Patroli Hiu Macan 001, dengan Nahkoda bernama Samson, dengan ABK masing-masing bernama: Sutisna Wijaya selaku Mualim II, Handy Juwariadi selaku Markonis, Nurhidayanto selaku KKM, Edison Valen Weyai selaku Masinis I, Suryadi selaku Masinis II, Oobet selaku Serang, Adhi Susanto selaku Juru Mudi I, Eduardo Da Costa F selaku Juru Mudi II, Ronaldi Said selaku Oiler I, Malius Salem selaku Oiler II, Dedi selaku Oiler III, Syafari Ardiansyah selaku Kelasi I, Iwan Kurniawan selaku Kelasi II, Suleman Bugis selaku Kelasi, Dede Suyana selaku Kelasi, A’ang Yuli selaku Juru Masak dan Agus Arfan selaku Juru Masak.

Pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010, pukul 09.20 wib di Perairan Selat Malaka (ZEEI), pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”Esaksi beserta ABK nya menangkap kapal ikan KM. PKFB 1108 berbendera Malaysia yang sedang melakukan penangkapan ikan, selanjutnya dilakukan pemeriksaan ternyata Nahkoda KM. PKFB 1108 mengaku bernama Mr. Thanongsak, umur 38 Tahun, Agama Budha, Warga negara Thailand, setelah diperiksa KM. PKFB 1108 tidak memiliki Dokumen Perijinan Perikanan yang sah (SIUP, SIPI) dari Pemerintah Indonesia serta mengaku mendapat hasil tangkapan sebanyak 1.055 kg ikan campur, selanjutnya kapal beserta Nahkoda dan ABK di


(15)

Ad Hock ke Belawan dan diserahkan kepada PPNS pada kantor Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di Gabion Belawan.

Saat Kapal Patroli Hiu Macan 001 melaksanakan patroli di Perairan Indonesia Selat Malaka (ZEEI), saksi melihat kapal ikan KM. PKFB 1108 sedang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap Trawl, kemudian saksi beserta ABK nya menangkapnya, selanjutnya diperiksa ternyata kapal KM. PKFB 1108 tidak memiliki dokumen perijinan yang sah atau tanpa SIPI dan SIUP dari Pemerintah Republik Indonesia, dan Nahkoda kapal KM. PKFB 1108 bernam Mr. Thanongsak berumur 38 tahun, beragama Budha dan berkewarganegaraan Thailand.

Petugas Patroli melakukan pemeriksaan terhadap kapal KM PKFB 1108 ternyata kapal tersebut berasal dari Malaysia dan telah mendapatkan hasil tangkapan ikan lebih kurang 1.055 kg ikan campur dengan menggunakan Trawl.

Penjualan ikan hasil tangkapan KM. PKFB 1108 adalah sebesar Rp 2.095.000,- (Dua Juta Sembilan Pulu Lima Ribu Rupiah). Dijadikan sebagai barang bukti.

Alat-alat kelengkapan yang ada diatas kapal ikan KM. PKFB 1108 yang ditangkap saksi beserta ABK nya adalah:

(a). 1 (satu) unit kapal KM. PKFB 1108; (b). 1 (satu) unit alat tangkap Trwal; (c). 1 (satu) unit Radio Super Star;


(16)

(d). 1 (satu) unit Radio UHF KENWOOD; (e). 1 (satu) unit Kompas;

(f). uang tunai Rp 2.095.000,- (Dua Juta Sembilan Pulu Lima Ribu Rupiah). Dijadikan sebagai hasil penjualan ikan sebanyak 1.055 kg ikan campur-campur.

Posisi penangkapan kapal ikan KM PKFB 1108 pada koordinat 040 36’10” N- 990 35’ 50”Eadalah benar dan sudah diakui dan ditandatangani oleh Nahkoda.

Terdakwa Mr. Thanongsak, saksi masih mengenalnya dan benar orang tersebut adalah terdakwa yang ditangkap pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010, pukul 9.20 wib di perairan Selat Malaka (ZEEI) pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E dikarenakan telah melakukan penangkapan ikan secara ilegal tanpa dokumen Perijinan Perikanan yang sah (SIUP, SIPI) dari Pemerintah RI dengan menggunakan alat tangkap Trawl.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah salah dan melanggar hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perbuatan yang telah dilakukan terdakwa berdampak buruk karena dapat mengakibatkan hasil tangkapan ikan nelayan Indonesia menurun.

3). Sutisna Wijaya

Memberikan keterangan dibawah sumpah yang dibacakan di dalam persidangan atas persetujuan terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:


(17)

Saksi bersama Nahkoda dan ABK lainnya ditugaskan oleh

pimpinannya dengan surat perintah No.: SP.11.19.1/PSDKP.3/TU.2010/XI/2010, tanggal 19 November 2010

Surat Perintah Gerak No.: PG.11.19.1/PSDKP.3/TU 2010/XI/2011, tanggal 19 November 2010 dengan menggunakan Kapal Hiu Macan 001 melaksanakan gelar Operasi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dimana jabatan saksi adalah sebagai Mualim I Kapal Patroli Hiu Macan 001, dengan Nahkoda bernama Samson, dengan ABK masing-masing bernama: Sutisna Wijaya selaku Mualim II, Handy Juwariadi selaku Markonis, Nurhidayanto selaku KKM, Edison Valen Weyai selaku Masinis I, Suryadi selaku Masinis II, Oobet selaku Serang, Adhi Susanto selaku Juru Mudi I, Eduardo Da Costa F selaku Juru Mudi II, Ronaldi Said selaku Oiler I, Malius Salem selaku Oiler II, Dedi selaku Oiler III, Syafari Ardiansyah selaku Kelasi I, Iwan Kurniawan selaku Kelasi II, Suleman Bugis selaku Kelasi, Dede Suyana selaku Kelasi, A’ang Yuli selaku Juru Masak dan Agus Arfan selaku Juru Masak.

Pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010, pukul 09.20 wib di Perairan Selat Malaka (ZEEI), pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”Esaksi beserta ABK nya menangkap kapal ikan KM. PKFB 1108 berbendera Malaysia yang sedang melakukan penangkapan ikan, selanjutnya dilakukan pemeriksaan ternyata Nahkoda KM. PKFB 1108 mengaku bernama Mr. Thanongsak, umur 38 Tahun, Agama Budha, Warga negara Thailand, setelah diperiksa KM. PKFB 1108 tidak


(18)

memiliki Dokumen Perijinan Perikanan yang sah (SIUP, SIPI) dari Pemerintah Indonesia serta mengaku mendapat hasil tangkapan sebanyak 1.055 kg ikan campur, selanjutnya kapal beserta Nahkoda dan ABK di Ad Hock ke Belawan dan diserahkan kepada PPNS pada kantor Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di Gabion Belawan.

Saat Kapal Patroli Hiu Macan 001 melaksanakan patroli di Perairan Indonesia Selat Malaka (ZEEI), saksi melihat kapal ikan KM. PKFB 1108 sedang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap Trawl, kemudian saksi beserta ABK nya menangkapnya, selanjutnya diperiksa ternyata kapal KM. PKFB 1108 tidak memiliki dokumen perijinan yang sah atau tanpa SIPI dan SIUP dari Pemerintah Republik Indonesia, dan Nahkoda kapal KM. PKFB 1108 bernam Mr. Thanongsak berumur 38 tahun, beragama Budha dan berkewarganegaraan Thailand.

Petugas Patroli melakukan pemeriksaan terhadap kapal KM PKFB 1108 ternyata kapal tersebut berasal dari Malaysia dan telah mendapatkan hasil tangkapan ikan lebih kurang 1.055 kg ikan campur dengan menggunakan Trawl.

Penjualan ikan hasil tangkapan KM. PKFB 1108 adalah sebesar Rp 2.095.000,- (Dua Juta Sembilan Pulu Lima Ribu Rupiah). Dijadikan sebagai barang bukti.

Alat-alat kelengkapan yang ada diatas kapal ikan KM. PKFB 1108 yang ditangkap saksi beserta ABK nya adalah:


(19)

(a). 1 (satu) unit kapal KM. PKFB 1108; (b). 1 (satu) unit alat tangkap Trwal; (c). 1 (satu) unit Radio Super Star;

(d). 1 (satu) unit Radio UHF KENWOOD; (e). 1 (satu) unit Kompas;

(f). uang tunai Rp 2.095.000,- (Dua Juta Sembilan Pulu Lima Ribu Rupiah). Dijadikan sebagai hasil penjualan ikan sebanyak 1.055 kg ikan campur-campur.

Posisi penangkapan kapal ikan KM PKFB 1108 pada koordinat 040 36’10” N- 990 35’ 50”Eadalah benar dan sudah diakui dan ditandatangani oleh Nahkoda.

Terdakwa Mr. Thanongsak, saksi masih mengenalnya dan benar orang tersebut adalah terdakwa yang ditangkap pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2010, pukul 9.20 wib di perairan Selat Malaka (ZEEI) pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E dikarenakan telah melakukan penangkapan ikan secara ilegal tanpa dokumen Perijinan Perikanan yang sah (SIUP, SIPI) dari Pemerintah RI dengan menggunakan alat tangkap Trawl.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah salah dan melanggar hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perbuatan yang telah dilakukan terdakwa berdampak buruk karena dapat mengakibatkan hasil tangkapan ikan nelayan Indonesia menurun.


(20)

b). Keterangan Ahli71

(6). Badan Jaring (body);

Ahli Perikanan Marianus O. Brewon, S, St.Pi. Memberikan keterangan dibawah sumpah dalam persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut:

Saksi mengerti diperiksa selaku ahli dibidang perikanan, dan saksi berstatus PNS bertugas di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Kampung Nelayan Indah Medan Labuhan sejak tahun 2006.

Kapal penangkap ikan yang menangkap di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Berlayar (SIB) yang sah sesuai peruntukan dan kegunaanya dari Pejabat Perikanan Indonesia.

Pihak yang berwenang mengeluarkan SIUP dan SIPI adalah adalah Kementrian Kelautan dan Perikanan RI pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Saksi setelah mengamati kapal ikan KM. PKFB 1180, ternyata alat penangkap ikan yang digunakannya adalah jenis Trawl dengan ciri-ciri mempunyai bagian-bagian jaring yang terdiri dari:

(1). Bola Gelinding (bobbin); (2). Rantai Pengejut (tickler chain); (3). Tali Penarik ( warp);

(4). Papan Pembuka Mulut Jaring (otter board); (5). Sayap Jaring (wing);

71Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian

khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. (Lihat: Pasal 1 angka 28 KUHAP).


(21)

(7). Kantong Jaring (cod end); (8). Mulut Jaring.

Cara pengoperasaian jaring trawl yaitu dengan terlebih dahulu menurunkan bagian kntong, di ikuti bagian badan dan sayap jaring, dan dilanjutkan dengan penurunan otter board secara perlahan, selanjutnya setelah bagian kantong, badan, sayap dan otter board telah berada pas di dasar laut, alat tangkap tersebut ditarik dengan menggunakan kapal sambil berjalan sesuai dengan kecepatan kapal antara 3-5 knot, kemudian setelah berlangsung selama 2-4 jam alat tangkap trawl tersebut diangkat ke atas deck kapal untuk mengeluarkan ikan hasil tangkapan, dan demikian seterusnya sampai beberapa kali dalam satu hari satu malam.

Posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E setelah diplot ke peta laut dan dikonversikan kedalam Global Position System (GPS) termasuk wilayah ZEEI wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

c). Keterangan Terdakwa72

d). Barang Bukti

Terdakwa membenarkan keterangan para saksi. 73

(b). 1 (satu) unit Radio UHF KENWOOD;

(1). 1 (satu) unit kapal KM. PKFB 1108, dengan perlengkapan (a). 1 (satu) unit Radio Super Star;

72Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan

yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (LihaT: Pasal 189 KUHAP).

73Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud

yang twelah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. (Lihat: Pasal 1 angka 5 Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia).


(22)

(c). 1 (satu) unit Kompas;

(d). Uang tunai Rp 2.095.000,- (Dua Juta Sembilan Pulu Lima Ribu Rupiah). sebagai hasil penjualan ikan sebanyak 1.055 kg ikan campur-campur.

(2). Ikan campur-campur 1.055 kg.

(3). Alat tangkap, 1 (satu) unit alat tangkap trwal; e). Pembuktian

Jaksa Penuntut umum dalam pembuktian unsur-unsur tindak pidana menyebutkan sebagai berikut:

(1). Unsur ke- 1 “setiap orang”

Setiap orang adalah orang atau manusia sebagai subjek hukum yang mampu bertanggung jawab atas semua perbuatan yang telah dilakukannya.Dalam persidangan telah diperiksa identitas diri terdakwa Mr. Thanongsak dalam kedudukannya sebagai orang atau subjek hukum pelaku tindak pidana yang sehat jasmani dan rohani mempunyai hak dan kewajiban serta kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya melakukan tindak pidana.

Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi, barang bukti, petunjuk maupun keterangan terdakwa dapat disimpulkan bahwa terdakwa Mr. Thanongsak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.


(23)

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dengan demikian unsur setiap orang dalam hal ini telah secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

(2). Unsur ke- 2 “Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing”

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dari keterangan saksi- saksi Samson, Surono, dan Sutisna Wijaya, pada saat melakukan penangkapan kapal ikan KM. PFKB 1108 GT 52’20 diamana kapal dinahkodai oleh terdakwa Mr. Thanongsak dan diketahui dari terdakwa bahwa kapal berasal dari Malaysia dan juga saksi ahli menerangkan dengan melihat bentuk dan cat kapal dapat dengan mudah dikenal kalau berasal dari Negara Malaysia.

Terdaka Mr. Thanongsak selaku Nahkoda bertugas dan bertanggung jawab di atas kapal dalam hal:

(1). Mengoperasikan kapal, (2). Menentukan arah pelayaran,

(3).Memimpin ABK serta memerintahkan untuk menurunkan dan menarik alat tangkap ikan,

(4). Menugaskan ABK untuk menyortir dan mencuci ikan selanjutnya memasukkan ke dalam blong, dan

(5). Bertanggung jawab tewrhadap pelayaran kapal KM. PKFB 1108 dalam menangkap ikan.


(24)

Berdasarkan pengakuan terdakwa dan saksi, menerangkan bahwa terdakwa selaku nahkoda atas kapal ikan KM. PFKB 1108 yang mengemudikan serta memerintahkan ABK nya untuk melakukan penangkapan ikan, dengan demikian unsur memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di dalam perkara ini telah dapat dipenuhi.

(3). Unsur ke-3: “Melakukan penangkapan ikan di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia)”

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dari keterangan saksi Samson, Surono dan Sutisna Wijaya, maka ketika tertangkap tangan oleh kapal Patroli Hiu Macan 001/301, terdakwa Mr. Thanongsak sebagai nahkoda beserta 4 orang ABK-nya dipergoki sedang melakukan penangkapan ikan dengan kapal ikan KM. PFKB 1108 berbendera Malaysia pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E di perairan ZEE Indonesia Selat Malaka yang termasuk wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dimana posisi tersebut telah dikaui oleh terdakwa dalam berkas perkara penyidikan serta dikuatkan oleh keterangan AHLI PERIKANAN.

Berdasarkan keterangan AHLI PERIKANAN dimana posisi penangkapan yang dilakukan oleh petugas patroli terhadap kapal ikan KM. PFKB 1108 yaitu pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E setelah diplotkan ke atas peta laut Indonesia posisi tersebut masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dengan demikian


(25)

unsur Melakukan penangkapan ikan di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) di dalam perkara ini telah dapat dipenuhi.

(4). Unsur ke-4: “Tanpa Memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)” Terdakwa dengan kapal ikan KM. PFKB 1108 tertangkap tangan sedang menangkap ikan tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari Pemerintah Indonesia di Perairan ZEE Indonesia di Selat Malaka tepatnya pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E, sedangkan dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengopersikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia wajib memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

Kapal ikan KM. PFKB 1108 dalam kegiatannya menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (ZEE Indonesia Selat Malaka) tidak memiliki dokumen apapun juga termasuk Suarat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut maka unsur tidak memiliki SIPI didalam perkara ini telah dapat dipenuhi.


(26)

5. Pertimbangan Hakim74

74Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan

terwujudnya nialai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex eaquo et bono) dan megandung kepastian hukum, deasmping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Lihat: Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata dan Pengadilan Agama, cet v, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2004, hlm.140).

Pertimbangn hakim menyatakan perbuatan terdakwa telah diatur dan dan diancam dengan pidana Pasal 93 ayat (2) jo. Pasal 102 UU Nomor 31 tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Fakta hukum yang terungkap dalam persidangan tidak adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa mampu bertanggung jawab atas perbuatannya.

Terdakwa bersalah maka harus dijatuhi hukum pidana dan dibebani membayar biaya perkara.

Terhadap alat bukti yang diajukan dalam persidangan berupa:

a).Uang tunai Rp. 74.250.000.- (tujuh puluh empat juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sebagai hasil lelang kapal ikan KM. PKFB 1108;

b).Uang tunai Rp. 2.095.000,- (dua juta sembilan puluh lima ribu rupiah) sebagai hasil penjualan ikan sebanyak 1.055 kg ikan campur-campur;

Sebelum menjatuhkan pidana perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan:


(27)

a).Perbuatan terdakwa merugikan perekonomian Indonesia karena menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan dokumen kapal ikan lainnya;

b).Perbuatan terdakwa merusak kelestarian sumberdaya perikanan Indonesia karena menggunakan alat tangkap trawl yang merusak lingkungan;

Hal-hal yang meringankan:

a).Terdakwa mengakui perbuatannya secara berterus terang kepada penyidik pada saat penyidikan;

b).Terdakwa belum pernah dihukum, dan memiliki tanggungan keluarga dengan 2 orang anak;

Ancaman dalam pasal 93 ayat (2) UU Nomor 31 tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah berupa pidana penjara dan denda, sedangkan dalam pasal 102 ancaman pidana penjara tidak berlaku bagi kapal ikan asing yang menangkap ikan diperairan ZEE Indonesia karena tidak mempunyai perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Indonesia, maka kepada terdakwa yang telah dinyatakan terbukti bersalah akan dikenakan denda pembayaran sejumlah uang; Kapal ikan KM. PKFB 1108 telah digunakan oleh terdakwa untuk melakukan kejahatan dimana hasil lelang kapal ikan tersebut telah diajukan sebagai barang bukti dipersidangan serta uang tunai hasil penangkapan ikan yang telah dilelang merupakan hasil kejahatan, maka perlu ditetapkan agar barang bukti uang hasil lelang kapal ikan dan uang lelang hasil tangkapan ikan dirampas untuk negara;


(28)

Mengingat pasal 93 ayat (2) jo pasal 27 ayat (2), pasal 102 dan pasal 104 ayat (2) UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang terkait;

6. Amar Putusan75

Majelis dalam putusannya memutuskan sebagai berikut:

a). Menyatakan terdakwa Mr. Thanongsak telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa memiliki SIPI sebagimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2);

b). Menjatuhkan pidana berupa pidana denda sebesar Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan;

c). Memerintahkan barang bukti berupa: uang tunai hasil lelang kapal ikan PKFB 1108 sebesar Rp. 74.250.000,- (tujuh puluh empat juta dua ratus lima puluh ribu rupiah), uang hasil lelang penjualan ikan tangkapan sebesar Rp. 2.095.000,- (dua juta sembilanpulu lima ribu rupiah), DIRAMPAS UNTUK NEGARA;

d). Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (liama ribu rupiah).

75Amar Putusan atau Putusan Hakm menurut Prof. Sudikno Mertokusumo adalah suatu

pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengahiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak. (Lihat: Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 158).


(29)

B. Analisis Kasus

Berdasarkan ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempat, kasus ini merupakan sebuah bentuk penerapan yurisdiksi mengadili berdasarkan asas teritorial. Tolak pangkal pemikiran untuk penerapan asas teritorial adalah bahwa di wilayah Indonesia, (undang-undang) hukum pidana Indonesia mengikat bagi siapa saja (penduduk atau bukan). Dasarnya adalah bahwa setiap negara yang berdaulatwajib memelihara sendiri ketertiban hukum dalam wilayahnya.76

1. Setiap Orang

Asas teritorial mengajarkan bahwa bahwa hukum pidana suatu negara berlaku berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan kepada kedaulatan negara. Terdakwa Mr. Thanongsak warga negara Thailand didakwa melanggar pasal 93 ayat (2) jo. Pasal 102 UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 93 ayat (2) telah terpenuhi.

Jika dianalisa, maka unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 93 ayat (2) adalah sebagai berikut:

Unsur setiap orang dalam hal ini adalah subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban berupa orang perorangan, kelompok atau badan hukum. Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, barang bukti dan dan keterangan terdakwa dapat disimpulkan bahwa terdakwa Mr. Thanongsak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

76E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,


(30)

2). Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing Berdasarkan keterangan para saksi dapat disimpulkan bahwa kapal KM. PKFB 1108 yang dinahkodai oleh Mr. Thanongsak tidak dilengkapi dengan surat izin penangkapan ikan (SIPI) yang sah. Hal ini diperkuat dengan keterangan ahli dari dinas Perikanan Marianus O. Brewon, S, St.Pi. selaku ahli dibidang perikanan, bertugas di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Kampung Nelayan Indah Medan Labuhan, berdasarkan fisik dari kapal KM. PKFB 1108 adalah kapal ikan asing Malasyia yang seharusnya memiliki izin yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Per. 17/MEN/2006 Pasal 17 huruf (a), dengan demikian unsur memiliki dan/atau mengeporasikan kapal penangkap ikan berbendera asing telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

3). Melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI

Terdakwa Mr. Thanongsak tertangkap tangan oleh petugas Patroli pada pada posisi 040 36’10” N- 990 35’ 50”E yang merupakan wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (ZEE Indonesia Selat Malaka) dan tidak memiliki dokumen apapun juga termasuk Suarat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam tuntutannya jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan tuntutan denda sebesar Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah), subsider 6 bulan penjara.


(31)

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam sisitem KUHP yang sekarang berlaku, pidana denda dipandang sebagi jenis pidana pokok yang yang p[aling ringan. Pertama, hal ini dapat dilihat dari kedudukan urutan-urutan pidana pokok di dalam pasal 10 KUHP. Dan kedua, pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagi pidana penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancam dengan denda. Ketiga, jumlah ancaman pidana denda didalam KUHP pda umumnya relatif ringan.77

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya mencantumkan pidana denda saja merupakan ketentuan sebagaiman diatur dalam pasal 93 ayat (2) UU Tentang Perikanan, namun pidana yang denda yang didakwakan masih terlalu rendah karena dalam pasal 93 ayat (2) UU Perikanan memberikan ancaman pidana denda

Tuntutan denda sebesar 6.000.000.000,- (enanm milyar rupiah) kepada terdakwa terlalu ringan dan tidak tegas, sebab dalam pasal 93 ayat (2) UU tentang perikanan mengisyaratkan adanya kumulatif ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana, namun dengan adanya Pasal 102 “ketentuan pidana penjara dalam undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf (b), kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Negara yang bersangkutan”. Penerapan sanksi pidana penjara terhadap terdakwa tidak dapat dilaksanakan disebabkan tidak ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Negara Thailand dalam penangkapan ikan di wilayah ZEEI.

77Muladi dan Barda Nawawi A. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Ed.Rev. Alumni,


(32)

paling banyak Rp. 20.000.000.000,.- (dua puluh milyar rupiah), namun dalam dakwaanya Penuntut Umum hanya menuntut terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 6.000.000.000 (enam milyar rupiah). Seharusnya jaksa penuntut umum dalam dakwaan nya mencantumkan pidana denda yang lebih tinggi atau menjatuhkan pidana denda paling banyak/maksimal terhadap terdakwa pelaku tindak pidana perikanan. Dikaitkan dengan tujuan pemidanaan maka pidana denda juga seharusnya dapat dirasakan sifat penderitaanya bagi mereka yang dijatuhinya.78

Dengan adanya penegakan hukum dari lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum dalam kasus tindak pidana perikanan maka yang diuntungkan adalah masyarakat Indonesia, sebab kekayaan alam yang terkandung dalam dinikmati hasilnya oleh warga negara Indonesia sendiri sesuai dengan Pasal Apabila kita cermati hingga saat ini tindak pidana perikanan khusunya pencurian ikan (illegal fishing) masih begitu marak terjadi di wilayah peengelolaan perikanan Indonesia, khususnya di ZEEI yang dilakukan oleh kapal-kapal berbendera asing. Seharusnya penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing dilakukan dengan tegas sesuai dengan tujuan pemidanaan teori relatif atau teori tujuan beranggapan bahwa tujuan pidana ialah mengamankan masyarakat dengan jalan menjaga serta memberi rasa aman dan mempertahankan tata tertib masyarakat atau teori yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan dan menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana perikanan di wilayah perairan Indonesia.

78Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar


(33)

33 ayat (3) UUD Tahun 1945.79

a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Oleh sebab itu dengan diprosesnya pelaku dengan menggunakan hukum postif yang berlaku di Indonesia oleh penegak hukum sudah tepat, namun penerapan sanksi pidana nya harus lebih tegas terhadap pelaku tindak pidana perikanan oleh warga negara asing.

Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana perikanan hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dan non-yuridis. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap didalam Keterangan terdakwa persidangan atau faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat didalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ialah sebagai berikut :

b. Keterangan saksi c. Barang-barang bukti

d. Pasal-pasal dalam UU Perikanan

Disamping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat nonyuridis. Pertimbangan non-yuridis ialah antara lain sebagai berikut :

a. Akibat perbuatan terdakwa b. Kondisi diri terdakwa

79 Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung


(34)

Setiap putusan hakim senantiasa dimuat hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana. Oleh karena itu, dalam putusannya Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa.

Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi niat, motivasi, dan akibat perbuatan si pelaku. Tiap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa tentunya harus sesuai dengan pasal yang didakwakan dalam arti batas maksimal dan batas minimal sehingga hakim dianggap telah menjalankan dan menegakkan Undang-undang dengan benar dan tepat. Putusan Majelis Hakim yang menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda sudah tepat, karena ada juga keyakinan Hakim, dimana Hakim juga mempertimbangkan kondisi diri Terdakwa baik secara sosiologis dan psikologis serta status sosial terdakwa.

Keputusan pidana selain merupakan pemidanaan juga merupakan dasar untuk memasyarakatkan kembali si terpidana agar di kemudian hari si terpidana tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana di kemudian hari sehingga dapat menjaga kelestarian sumber daya ikan. Dengan adanya pidana denda yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana perikanan dapat menimbulkkan efek jera dan memberi kesadaran kepada para pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana perikanan di Indonesia. Disamping itu putusan Hakim juga diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana perikanan. Sehingga putusan hakim yang dijatuhkan kepada terdakwa Mr Thanongsak dalam Putusan No.12/Pid.P/2011/PN.MDN sudah sesuai.


(35)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Pengaturan tentang tindak pidana perikanan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tetang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan yakni dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 105, tindak pidana perikanan dapat berupa kejahatan dan pelanggaran. Ketentuan tentang penangkapan ikan tanpa izin (pencurian) diatur dalam pasal 92 sampai dengan pasal 95 dan pasal 98. Pasal 92 mengatur tentang setiap orang yang melakukan usaha perikanan dibidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan yang tidak memiliki Surat Usaha Penangkapan Ikan (SIUP). Pasal 93 mengatur tentang kapal penangkapa ikan baik yang berbendera Indonesia atau berbendera asing yang tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Pasal 94 mengatur tentang pengoperasian kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Pasal 95 mengatur tentang tindakan membangun, mengimpor atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan. Pasal 98 mengatur tentang sanksi pidana bagi nahkoda yang tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar.


(36)

2. Penerapan hukum pidana materil terhadap kasus tindak pidanaperikanan dalam putusan nomor 12/Pid.P/2011/PN.MDN sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tetang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan. Berdasarkan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa dan terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani, tidak terdapat gangguan mental sehingga dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidanaterhadap pelaku dalam Putusan Nomor 12/Pid.P/2011/PN.MDN telah sesuai. Berdasarkan penjabaran keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti serta adanya pertimbangan-pertimbangan yuridis, pertimbangan-pertimbangan-pertimbangan-pertimbangan non-yuridis, hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa, serta memperhatikan undang-undang yang berkaitan yang diperkuat dengan keyakinan hakim.


(37)

B.Saran

1. Perlu dalam penjatuhan sanksi aparat penegak hukum (Jaksa Penuntut Umum dan Hakim) lebih mempertimbangkan efek jera bagi si pelaku dan mencegah orang lain atau siapa saja untuk melakukan tindak pidana perikanan sehingga mungkin dalam tuntutannya menuntut sanksi yang maksimal, dan menjatuhkan putusan yang semaksimal mungkin. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir tindak pidana di bidang perikanan.

2. Perlu ada tindakan dari aparat hukum atau instansi terkait yang lebih berperan pada pencegahan sebelum tindak pidana itu dilakukan. Misalnya, dengan seringnya mengadakan penyuluhan atau seminar kepada masyarakat tentang pengertian hukum serta konsekuensi yang didapatkan apabila melanggar hukum dan Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah lebih menggalakakn Patroli dan pengawasan di Perairan wilayah Indonesia sehingga penanganan tindak pidana perikanan dan kedaulatan yurisdiksi Indonesia di laut dapat ditegakkan.


(38)

BAB II

TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Landasan Hukum Terhadap Penegakan Hukum di Perairan Indonesia

Status negara kepulauan yang diperoleh Indonesia sejak adanya Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang diberi landasan bentuk hukum dengan Undang-Undang Nomor. 4 Prp Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 1996. Demikian juga dengan diratifikasinya UNCLOS 1982, semakin membuktikan bahwa status NKRI telah diterima dan diakui dunia Internasional dengan segala konsekuensinya.49

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia mengatur tentang kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan wawasan nusantara, maka penegakan kedaulatan dan penegakan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan Konvensi dan ketentuan hukum internasional lainnya serta peraturan hukum nasional atau undang-undang yang berlaku.50

1. Landasan Hukum Penegakan Hukum di Laut

50

Pasal 24 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia menyebutkan Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konvensi hukum internasional dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


(39)

Di Indonesia landasan hukum dalam penegakan hukum dilaut, yaitu hukum nasional dan hukum internasional. Hukum nasional terdiri atas produk hukum peninggalan jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan hukum laut produk hukum nasional. Berdasarkan Pasal I aturan peralihan UUD Tahun 1945, bahwa peraturan–peraturan produk Hindia Belanda masih berlaku sepanjang belum dibuat penggantinya yang baru.51

1. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 Tentang Lalu Lintas Kapal Asing dalam Perairan Indonesia;

Satu-satunya produk hukum Pemerintahan Hindia Belanda yang masih berlaku hingga saat ini adalah Ordonansi 1939.Pasal 13 ordonansi tersebut menyatakan penyelenggaraan penegakan hukum di laut pada dasarnya dilakukan dibawah satu instansi yaitu Angkatan Laut dimana KSAL adalah sebagai penanggung jawabnya. Dalam hal ini KSAL membawahi Perwira AL, Pandu-pandu laut, Syahbandar, dan pegawai-pegawai semacam itu serta orang-orang yang ditunjuk untuk kepentingan tersebut.

Sedangkan landasan hukum yang merupakan produk hukum nasional yang berkaitan dengan bidang pelayaran yaitu:

2. Pengumuman Pemerintah RI 17 Februari 1969 Tentang Landasan Kontinen Indonesia.

3. Surat Keputusan Men/ Pangal 23 September 1961 Tentang Penunjukan Pejabat-Pejabat yang Diberi Wewenang untuk Mengadakan Penyidikan terhadap Kejahatan di Laut;

51Pasal I Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan: segala peraturan

perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.


(40)

4. Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 056 /D.A/7/1969 Tentang Penyelesaian Perkara-Perkara Tindak Pidana yang Menyangkut Perairan Indonesia;

5. Surat Keputusan Pangal No. 5810.3 Tahun 1969 Tentang Penunjukan Pejabat-Pejabatdi Lingkungan ALRI untuk melaksanakan wewenang Pangal dalam menyelesaikan perkara-perkara Tindak Pidana yang menyangkut perairan Indonesia;

6. Kep. Menhankam/ Pangab. No. Inst.B/92/1969/Tentang Pengamanan Pelabuhan di Wilayah RI;

7. Keppres RI Nomor 6 Tahun 1971 Tentang Wewenang Pemberian Izin Berlayar bagi segala kegiatan kerderaan asing dalam wilayah Perairan Indonesia;

8. Kep. Menhankam/ Pangab. No.Kep/17/IV/75 Tentang Penetapan Alur Pelayaran Kusus bagi Kapal-kapal Penanggkap ikan asing;

9. Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep/009/DA/12/71 Tentang Pendelegasian wewenang penyelesaian perkara–perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia;

10.Instruksi Jakasa Agung RI No. Inst.006/DA/12/72 Tentang Jumlah dan Cara-cara Penetapan Serta Penyetoran Densa Damai;

11. Surat Keputusan Bersama Antara Menhankam Pangab, Menhub, Menkeh, Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/75, SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS.B/72/1 dan Kep/085/JA/12/1972 Tentang Pembentukan Bakormala.


(41)

Mengingat sumber daya ikan yang dimiliki Indonesia cukup banyak diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan-peraturan pokok yang mengatur perikanan Indonesia:

1. Undang-Undang No.5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara 1983 No. 44)

2. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara 1984 No.23)

3. Undang-Unadng No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan Yang Diganti Dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Dan Disempurnakan Lagi Dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.

4. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 Tentang Usaha Perikanan (Lembaran Negara 1990 No. 19)

5. Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Sepanjang Yang Berkaitan Dengan Join Ventura Bidang Perikanan.

6. Beberapa surat Keputusan Menteri, diantaranya adalah:52

a. SK Menteri Pertanian No. 475/Kpts/IK.120/7/1985 Tentang Perizinan Bagi Orang Asing Untuk Menangkap Ikan di ZEEI Tanggal 1 Juli 1985.SK Menteri Pertanian No. 476/Kpts/IK.120/7/1985 Tentang Penetapan Tempat Melapor Bagi Kapal Perikanan Asing Yang Mendapat Izin Penangkapan Ikan di ZEEI Tanggal 1 Juli 1985

52 Chairul Anwar, ZEE Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm


(42)

b. SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK.120/7/1985 Tentang Pungutan Perikanan Yang Dikenakan Kepada Orang atau Badan Hukum Asing Yang Melakukan Penangkapan Ikan di ZEEI Tanggal 1 Juli 1985 c. SK Menteri Pertanian No. 277/Kpts/IK.120/5/1987 Tentang Perizinan

Usaha Di Bidang Penangkapan Ikan di Perairan Indonesia dan ZEEI Tanggal 6 Mei 1987.

d. SK Menteri Pertanian No. 417/Kpts/IK.250/6/1988 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di ZEEI Tanggal 23 Juni 1989

e. SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK.120/7/1988 Tentang Perubahan Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan Bagi Orang Atau Bdan Hukum Asing Yang Melakukan Penangkapan Ikan di ZEEI Tanggal 16 Juli 1988

f. SK Menteri Pertanian No. 900/Kpts/IK.250/12/1985 Tentang Kewajiban Mengekspor atau Menjual di dalam Negeri Ikan Hasil Tangkapan Kapal Perikanan Asing Tanggal 16 Desember 1988

g. SK Menteri Pertanian No. 816/Kpts/IK.120/11/1990 Tentang Tentang Penggunaan Kapal Perikanan Bebendera Asing Dengan Cara Sewa Untuk Menangkap Ikan di ZEEI Tanggal 1 November 1990

h. SK Menteri Pertanian No. 47A/Kpts/IK.250/6/1985 Tentang Jumlah Tanggkapan Ikan Yang Dipebolehkan di ZEEI


(43)

i. SK Menteri Pertanian No. 815/Kpts/IK.120/11/1990 Tentang Tentang Perizinan Usaha Perikanan.53

j. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. PER.03/MEN/2009 Tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas.

B.Tindak Pidana Perikanan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Kelautan.

Tindak pidana perikanan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang marak terjadi di perairan Indonesia. Lebih jelasnya berbagai tindak pidana dibidang perairan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pelanggaran Wilayah54

Kejahatan di sektor kelautan dan perikanan adalah sebuah kejahatan yang saling berkaitan dengan kejahatan lain, kejahatan perikanan transnasional yang merupakan kejahatan terorganisir, kejahatan di sektor kelautan dan perikanan kerap disebut juga kejahatan transnasional karena beberapa alasan, yaitu sering melibatkan lebih dari satu negara, mempengaruhi jumlah stok ikan di global karena tidak bertanggung jawab dan menggunakan metode penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dan juga biasanya beroperasi di bawah instruksi, kontrol, ilmu atau untuk sebuah perusahaan yang berada di negara lain.55

53 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,

hlm. 28.

54Pelanggaran wilayah adalah: penyalahgunaan atau mengeksploitasi di suatu lingkup

wilayah dimana suatu negara tidak memiliki hak atau berada diluar batas negaranya sehingga melanggar batas wilayah negara lain. (lihat:http:// brainly.co.id/tugas/212887)

55

http://kkp.go.id/index.php/berita


(44)

Instansi pertama yang berwenang dan bertanggung jawab melakukan pengamanan wilayah laut, yang semula berdasar UU No. 2 Drt 1949 Berada di tangan KASAL, Kemudian berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 1974 beralih ketangan Menhankam /Pangab. Berdasarkan Skep/B/371/V/1972 Menhankam Pangab telah menunjuk pejabat-pejabat untuk melaksanakan wewenang Menhankam/Pangab, Menhub, Menkeu, Jaksa Agung No. Kep/B.45/XII/1972; SK/901/B/1972, Kep/779/12/1972, JS.B/72/1 dan Kep/085/JA/12/1972 tanggal 19 Desember 1972 dibentuk Badan Kordinasi Keamanan Laut (Bakormala) dan komando.Pelaksanaan bersama keamanan di laut, sebagai usaha peneingkatan keamanan di laut.

2. Pencurian Ikan56

Berdasarkan UU No.4/Prp/1960 Tentang Perairan, Indonesia berdaulat penuh atas kekayaan alamnya di perairan Indonesia.Ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 PP No. 8 Tahun 1962 mengharuskan kendaraan air penangkap ikan selama ada atau melintas laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dan kapal-kapal penangkap ikan asing diharuskan berlayar melalui alur-alur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan Kep.Menhankam/Pangab Nomor Kep/17/IV/1975. Selanjutnya dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1983 , Indonesia memiliki hak berdaulat atas kekayaan alamnya dalam hal ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yaitu diluar laut teritorial

56Menurut Divera Wicaksono, pencurian ikan adalah “tindak pidana penangkapan ikan

secara ilegal atau yang dikenal dengan illegal fishing adalah memakai Surat Penangkapan Ikan (SPI) palsu, tidak dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), isi dokumen tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap jenis dan ukurn ikan yang dilarang. (Lihat: Divera Wicaksono, Menutup Celah Pencurian Ikan, Yayasan Penerbit Nusantara, Jakarta, 2011, hlm. 18).


(45)

yaitu 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut teritorial. Di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEEI), negara lain tidak boleh melakukan penangkapan ikan yang dijamin dengan Hukum Laut Internasional atau berdasarkan Pasal 5 UU No. Tahun 1983 terhadap sisa penangkapan yang diperbolehkan.Terhadap pelanggar ketentuan ini dapat dituntut pidana terhadap orang-orangnya serta penyitaan kapal oleh pihak Kejaksaan Pengadilan Negeri Setempat.

3. Pemberantasan Pembajakan57

Ketentuan yang mengatur pemberantasan pembajakan yang terjadi di lautdalam ordonansi 1939 pasl 14 menyebutkan beberapa pasal KUHP yang mengatur mengenai kejahatan pembajakan yang terjadi di laut, yaitu pasal 483 sampai dengan pasal 451. Dalam pasal-pasal ini membedakan empat macam jenis pembajakan menurut tempat diman kejahtan terjadi, yaitu pembajakn di laut, pembajakan di tepi laut, pembajakn di tepi pantai dan pembajakan di sungai.Ordonansi ini masih dalam pengertian hukum laut tradisional, oleh karena itu pengaturan dalam pasal-pasal tersebut belum dapat menampung permasalahan hukum di bidang pemberantasan penyeludupan di perairan Indonesia dengan konsepsi negara menurut UU No. 4/Prp/1960. Selain itu juga ditemukan dalam UU No.19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958, yaitu Pasal 14 sampai dengan Pasal 22, yang mengatur tentang pemberantasan

57Pembajakan sering dikenal dengan istilah perompakan yaitu setiap perbuatan dengan

kekerasan secara tidak sah atau penahanan atau setiap perbuatan yang merusak yang dilakukan dengan maksud untuk maksud untuk memiliki barang berharga milik orang secara tidak sah yang dilakukan oleh kru atau penumpang dari suatu kapal dan dilakukan dilaut bebas terhadap kapal lainnya atau terhadap seseorang atau barang berharga yang ada diatas kapal terhadap suatu kapal, seseorang atau barang berharga di luar juris diksi dari suatu negara tertentu. (Pasal 101 UNCLOS 1982).


(46)

pembajakan di laut lepas atau di tempat lain di luar kekeuasaan hukum suatu negara.

4. Pemberantasan Imigran Gelap58

Pengaturan mengenai keimigrasiaan terdapat dalam Ordonansi 1949, Stb. 19498-331, untu wajib lapor kepada oknum yang datang dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia untuk memberitahukan kedatangannya di pelabuhan-pelabuhan pendaratan yang ditunjuk, dan kepada bea cukai apabila kedatngannya yang bukan pelabuhan pendaratan. Kemudian dalam UU No.8 Drt dan Pasal 270 KUHP, menyatakan orang-orang yang menyeludup di/ke Indonesia tanpa mempunyai dokumen imigrasi yang sah, dikualifikasi sebagi tindak pidana kejahatan oleh karena itu dapat dituntut atau dihukum pidana.

5. Pemberantasan Penjualan Budak Belian dan Wanita

Ketentuan yang mengatur tentang pemberantasan penjualan budak belian diatur dalam Pasal 321, 325, 326, serta 327 KUHP. Selain itu dijumpai dalam UU No. 19 Tahun 1961, khususnya tentang konvensi laut lepas Pasal 13 dan 22 ayat (1) yang menetapkan tiap negara akan menyetujui peraturan yang efektif untuk mencegah serta menghukum pengangkutan budak-budak.

6. Pemberantasan Penyeludupan59

58Imigran gelap merupakan sekelompok orang yang masuk atau tinggal di sebuah negara

secara ilegal. Ilegal yang dimaksud adalah tidak mengikuti undang-undang imigrasi. Contohnya memasuki negara tujuan tanpa izin dan bukan dengan melalui pintu masuk utama. (Lihat: Diakses tanggal 9 Juni pukul 15.20 WIB.

59

Penyeludupan adalah perbuatan membawa barang atau orang secara ilegal dan tersenbunyi, seperti keluar dari sebuah bangunan, kedalam penjara, atau melalui perbatasan antar negara, bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lain.


(47)

Ketentuan yang mengatur bidang pemberantasan penyeludupan dalam Ordonansi 1939 dan Rechten Ordonantie (RO) memberikan wewenang polisionil angkatan laut dan bea cukai untuk tugas-tugas pemberantasan, penyeludupan, penangkapan dan pemeriksaan di kapal. Kejahatan demikian dapat dihukum atau dianjurkan untuk berdamai apabila perbuatan itu hanya merupakan pelanggaran saja. Berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung RI No. Kep 009/DA/12/1971, Jaksa Agung mendelegasikan wewenang kepada Menhankam/Pangab untuk menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana diperairan Indonesia di luar sidang pengadilan dengan syarat membayar sejumlah uang (denda damai) kepada negara.

Dengan adanya Intruksi Menhankam/Pangab Nomor T/59/1975 semua pelanggaran di perairan diserahkan kepada Kejaksaan untuk selanjutnya diajukan di muka sidang pengadilan.

C.Pengaturan Tentang Tindak Pidana Perikanan di Indonesia Menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Tindak pidana perikanan di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Terdiri atas sanksi pidana untuk jenis kejahatan dan pelanggaran dapat digambarkan sebagai berikut:60

1. Kejahatan

a. Penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan atau bangunan yang dapat &sig=APY536yi4qt8puYHeODyJ6zshOETDtdoNQ. Diakses tanggal 10 Juni 2016 pukul 19.00 WIB.

60 Sumber UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas


(48)

merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungan (Pasal 84 dan Pasal 110)

Hukuman:

(1).perseorangan atau korporasi: penjara 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan kepada pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

(2).nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli perikanan dan ABK: penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000.

(3).pemilik kapal perikanan, pemeeilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan dan/atau operator kapal perikanan: penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000.

(4).pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan: penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000.

2. Memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunkan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkap ikan yang berada di kapal penengkapan ikan yang tidak seseuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan yang tidak sesuai dengan peryaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penanggkap ikan yang dilarang (Pasal 85 dan pasal 101) Hukuman:


(49)

Perorangan atau korporasi: penjara 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

3. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungan. (Pasal 86 ayat (1)dan Pasal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 10 tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

4. Membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia (Pasal 86 ayat (2) dan Psal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

5. Membudidayakan ikan hasil rekayasa genetik yang dapat membahayakan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia (Pasal 86 ayat (3) dan Pasal 101). Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan


(50)

terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

6. Menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungan sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia (Psal 86 ayat (4) dan Pasal 101)

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

7. Memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, dan/atau lingkungan sumberdaya ikan di dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (Pasal 88 dan Pasal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

8. Menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan (Pasal 91 Dan Pasal 101).


(51)

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

9. Melakukan usaha perikanan dibidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan yang tidak memiliki SIUP (Pasal 92 dan Pasal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 8 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

10. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI dan/atau laut lepas, yang tidak memiliki SIPI (Pasal 93 ayat (1) dan Pasal 101)

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.


(52)

11. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI dan/atau laut lepas, yang tidak memiliki SIPI (Pasal 93 ayat (2) dan Pasal 101)

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

12.Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI (Pasal 94 dan Psal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 5 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

a. Pelanggaran

1. Merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumberdaya ikan (Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan


(53)

terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

2. Kelalaian sehingga mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumberdaya ikan (Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

3. Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, system jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (Pasal 89 dan Pasal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 1 tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

4. Melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan ke wilayah RI yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia (Pasal 90 dan Pasal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 1 tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan


(54)

terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

5. Membangun, mengimpor atau memodifikasai kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan menteri terlebih dahulu (Pasal 95 dan Pasal 110)

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 1 tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

6. Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI yang tidak mendaftarkan kapal perikananya sebagai kapal perikanan Indonesia (Pasal 96 dan Pasal 101).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara 1 tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000. khusus korporasi: tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan.

7. Menoperasikan kapal penengkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin menangkap ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan RI tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka (Pasal 97 ayat (1) ). Hukuman:


(55)

8. Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan satu jenis alat penengkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penengkap ikan lainnya (Pasal 97 ayat (2) ).

Hukuman:

Nahkoda: denda paling banyak Rp 1.000.000.000.

9. Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penengkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang di izinkan di wilayah pengelolaan perikanan RI (Pasal 97 ayat (3) ).

Hukuman:

Nahkoda: denda paling banyak Rp 500.000.000.

10. Berlayar tanpa memiliki izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh Syahbandar (Psasal 98).

Hukuman:

Nahkoda: penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.

11.Melakukan penelitian di wilayah pengelolaan perikanan RI yang tidak memiliki izin dari pemerintah (untuk peneliti asing) (Pasal 99).

Hukuman:

Perorangan atau korporasi: penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.


(56)

a. Jenis, jumlah dan ukuran alat penangkap ikan

b. Jenis, jumlah dan ukuran dan penempatan alat bantu penangkap ikan c. Daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan.

d. Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan e. System pemantauan kapal perikanan

f. Jenis ikan baru yang akan dibudidayakan

g. Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budidaya.

h. Pembudidayaan ikan dan dan perlindungannya

i. Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya serta lingkungannya. j. Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap

k. Suaka perikanan

l. Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan

m.Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah RI

n. Jenis ikan yang dilindungi Hukuman:


(57)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Laut merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia yang memberian begitu banyak manfaat bagi terselenggaranya kehidupan dan kesejahteraan manusia. Laut merupakan sumber makanan bagi manusia, sebagai jalan raya transportasi dan perdagangan sebagai batas sekaligus pemersatu antar negara serta berbagai manfaat lainnya.2

Indonesia merupakan salah satu negara yang terdiri adari beribu-ribu pulau yang dipisahkan oleh perairan-perairan dangkal maupun perairan-perairan dalam (selat, laut territorial dan laut lepas), yang mana wilayah perairan Indonesia memiliki keanekaragaaman sumber daya hayati, dan inilah ciri negara maritim yang dimiliki Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari negara kepulauan dan dua pertiga wilayahnya adalah perairan laut yang terdiri atas laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat myang kaya akan sumber daya laut dan ikan.3

Status Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak pantai . Hal ini tentu saja mengakibatkan Indonesia juga rentan terkena masalah tindak pidana perikanan. Apalagi Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan potensi sumber daya hayati yang besar. Sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun, akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua

2

Frans E. Lidkaja dan Daniel F. Bassie, Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan, Ghalia Indonesia, Jakarta , 1985, hlm 21.


(58)

Samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya tindak pidana perikanan.4

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas 18.108 pulau dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sesudah Kanada.5 Luas perairan atau wilayah laut Indonesia yaitu 5,9 juta km, yang terdiri dari 0,4 juta km2 perairan teritorial, perairan nusantara seluas 2,8 juta km2 , serta Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Kondisi geografis yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia.6Kejahatan yang umumnya terjadi di wilayah periran Indonesia adalah tindak pidana perikanan, yaitu kegiatan perikanan yang tidak sah, kegitan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaklu, aktivitasnya tidak dilporkan kepada suatu institusi atau lembaga perikanan yang bersedia/berwenang.Tindak pidana perikanan ini paling sering terjadi di wilayah Indonesia pengelolaan perikanan di Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing yang berasal dari beberapa negara tetangga seperti negara Thailand, Fillipina, dan Vietnam, walaupun sulit untuk memetakan dan mengistemasi tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah perairan Indoneisa.7

4

http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan-transnasionalyang-dilupakan. Diakses tanggal 21 Mei 2016 pukul 18.00 WIB.

5 Lihat Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia,

dalam Towards Sustainable Fisheries Law, A Comparative Analysis,Gerd Winter (ed) IUCN Enviromental Policy and Law Paper No.74, 2009, hlm. 31.

6Alma Manuputty dkk, Identifikasi Konseptual Akses Perikanan Negara Tak Berpantai

dan Negara yang Secara Geografis Tak Beruntung di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Makassar: Arus Timur, 2012, hlm. 1-2.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Perikanan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus Putusan No. 12/Pid.P/2011/PN.MDN)” dengan lancar dan tepat waktu sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan dan rasa hormat kepada semua pihak yang turut baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan bantuan kepada penulis sejak awal penulis menjalani perkuliahan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Orang tua Penulis yaitu, Bapak B. Sihombing dan Ibu S. Nainggolan. Terimakasih telah memberikan doa, nasihat, dan kepercayaan serta menjadi orang tua terhebat bagi penulis.

2. Saudar-saudar penulis yaitu, Rudi Anto Sihombing, Dani Charlos Sihombing, Supriyani Sihombing, Ester Lina Sihombing, Rahel Sihombing, Zefanya Sihombing dan Bedola Risky Sihombing. Serta semua keluarga penulis, terimakasih untuk segala dukungannya.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan IIFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Yusrin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

9. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablizar S.H., M.S selaku Dosen Pembimbing I penulis, yang telah mengajar penulis sejak awal perkuliahan serta bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

10.Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, mengoreksi dan memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

11.Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Segenap staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang sangat berjasa dalam mengajar penulis mengenai konsep dan pemahaman yang mendalam dari


(3)

ilmu hukum. Tanpa jasa Bapak dan Ibu Dosen, penulis tidak dapat menyelesaikan studi dan proses penulisan skripsi ini.

13.Staf administrasi dan pendidikan, serta seluruh pegawai perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang begitu berbaik hati dan ramah dalam melayani mahasiswa.

14.Kelompok kecil penulis “Serafim” terimakasih untuk doa dan kebersamaan kita selama ini semoga kita selalu bertumbuh dan semakin baik kedepan nya.

15.Sahabat-sahabat penulis, Bang Martin Jaga Langganan Ambarita, Bang suspim Idola Nainggolan, Maruli Somphie Sinaga, Oktanta Jumawa Ginting.

16.Kawan-kawan seperjuangan dalam GmnI Komisariat FH USU. 17.Rekan-rekan bertukar pikiran dalam Meriam Debating FH USU 18.Kawan-kawan panitia PKKMB FH USU 2015.

19.Kawan-kawan dan adik-adik di UKM Sepak Bola FH USU. 20.Kawan-kawan sepermainan “Futsal Hore-Hore” 2012. 21.Kawan-kawan kost “Apartement” Lorsem.

22.Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa perkuliahan maupun ketika menjalani proses penulisan skripsi, dan yang juga menguatkan dan mendoakan ketika penulis sempat kehilangan harapan. Dengan banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.


(4)

Akhir kata penulis ucapkan sekali lagi terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak, kiranya Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati kita semua. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pembacanya. Amin.

Medan, Juni 2016 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan dan Manfaat penulisan ... 8

D.Keaslian Penulisan ... 8

E.Tinjauan Pustaka ... 9

1. Pengertiaan Tindak Pidana ... 9

2. Pengertian Tindak Pidana Perikanan ... 11

3. Pengertiaan Pidana dan Pemidanaan ... 13

4. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana ... 16

F.Metode Penelitian ... 25

G.Sistematika Penulisan ... 27

BAB II TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ... 28

A. Landasan Hukum terhadap Penegakan Hukum di Perairan Indonesia. ... 29

B. Tindak Pidana Perikanan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Kelautan ... 34


(6)

C. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Perikanan di Indonesia menurut UU No.31 tahun 2004 jo. UU No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun

2004 Tentang Perikanan ... 38

BAB III PENERAPAN HUKUM PIDANA MATERIL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT PUTUSAN NO.12/PID.P 2011/PN. MDN ... 48

A. Posisi Kasus ... 48

1. Kronologis ... 48

2. Dakwaan Penuntut Umum ... 50

3. Tuntutan Penuntut Umum ... 52

4. Fakta-fakta Hukum ... 53

5. Pertimbangan Hakim ... 69

6. Amar Putusan... 68

B. Analisis Kasus ... 72

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA