Gambaran Indek Massa Tubuh (IMT) pada Pasien Psoriasis Vulgsris di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Psoriasis

2.1.1. Definisi
Psoriasis adalah penyakit kulit kronik-residif yang ditandai adanya
epidermis yang hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal (Jean et al., 2011).

2.1.2. Epidemiologi
Psoriasis tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi di berbagai populasi
bervariasi. Di Amerika Serikat prevalensi psoriasis kira-kira 2,2% - 2,6% dengan
perkiraan 150.000 kasus baru didiagnosis tiap tahunnya. Sementara insidensi
psoriasis di Asia rendah yaitu 0,4 % (Gudjonsson dan Elder, 2008). Angka
prevalensi psoriasis di Indonesia belum diketahui secara pasti. Di RSUP H. Adam
Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode
Januari – Desember 2010, dari total 3.230 orang yang berobat ke Poliklinik Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, 34 pasien (1,05%) diantaranya merupakan pasien
dengan diagnosis psoriasis. Dari jumlah 16 pasien (47%) berjenis kelamin pria
dan 18 pasien (52,9%) berjenis kelamin wanita (Natali, 2013).

Psoriasis dapat mengenai laki-laki dan wanita dengan insidensi yang
seimbang. Psoriasis juga dapat menyerang semua golongan umur, baik anak-anak
maupun orang dewasa. Awitan psoriasis biasanya terjadi pada usia 15-30 tahun
(Gudjonsson dan Elder, 2008). Berdasarkan awitan psoriasis, psoriasis dibagi
menjadi dua yaitu: psoriasis tipe I, psoriasis muncul saat atau dibawah umur 40
tahun, dan tipe II, psoriasis muncul ketika umur diatas 40 tahun. Psoriasis tipe I
ditemukan > 75% kasus dan pasien dengan tipe ini biasanya lebih parah
dibandingkan psoriasis tipe II. Psoriasis tipe I juga dilaporkan bahwa tipe ini
berhubungan dengan HLA, sedangkan tipe II tidak berhubungan dengan HLA
(Langley et al., 2005).

2.1.3. Etiopatogenesis
Penyebab psoriasis belum diketahui secara pasti serta patogenesis penyakit
ini kompleks melibatkan berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
1.

Faktor Genetik
Resiko seseorang untuk mendapat psoriasis jika orangtuanya tidak


menderita psoriasis yaitu sebesar 12 % sedangkan jika salah satu orangtuanya
menderita psoriasis resikonya mencapai 34-39% (Djuanda, 2010). Hal ini
didukung dengan adanya studi penelitian yang menunjukkan ditemukannya HLA
terutama HLA-cw0602 pada pasien penyakit ini (Johnston et al., 2008).
2.

Faktor Imunologik
Saat ini, psoriasis dikenal sebagai penyakit autoimun disebakan adanya

gangguan aktivasi sistem sel imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks
diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit. Pada lesi psoriasis ditemukan
peningkatan jumlah limfosit T yaitu sel T CD8+ di epidermis dan sel T CD4+ dan
sel dendritik di dermis. Aktivasi dari sel T diatas akan melepas IFN-

yang akan

menstimulasi signal tranducer and activator of transcription 1 (STAT1) untuk
meningkatkan transkripsi gen yang berhubungan dengan imun seperti induction of
nitric oxide synthase (iNOS), interferon inducible T cell α chemoattractant (I-


TAC), interferon inducible protein 10 (IP10), IL8 yang berperan dalam timbulnya
inflamasi dan proliferasi epidermal pada psoriasis (Krueger dan Bowcock, 2005).
3.

Faktor Pencetus
Faktor ini tidak dapat berdiri sendiri tetapi bersama dengan faktor lainnya

untuk memicu timbulnya psoriasis. Faktor pencetus psoriasis meliputi obesitas,
merokok, infeksi dan obat-obatan. Individu yang obesitas atau merokok akan
memiliki psoriasis dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dibandingkan
pasien psoriasis yang tidak obesitas atau merokok. Setelah infeksi Streptococcus
pada salauran napas bagian atas dapat menyebabkan psoriasis tipe gutata. Obatobatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi psoriasis adalah obat antimalaria,
litium,

β-blocker ,

NSAID,

(Gudjonsson dan Elder, 2008).


ACE-inhibitor ,

imiquimod

dan

gemfibrozil

2.1.4. Gambaran Klinis

Gambar 2.1 Lesi Psoriasis Terdistribusi secara Simetris
Sumber: Langley et al. ( 2005)

Psoriasis

merupakan

penyakit

papuloskuamosa


dengan

gambaran

morfologi, distribusi, dan derajat keparahan yang bervariasi. Lesi klasik psoriasis
biasanya berupa papul atau plak berbatas tegas, bentuk bulat dan merah dengan
skuama tebal berlapis yang berwarna keputihan pada permukaan lesi. Lesi ini
umumnya terdistribusi secara simetris di daerah kulit kepala, siku, lutut,
lumbosakral dan lipatan tubuh. Di bawah skuama akan tampak kulit berwarna
kemerahan mengkilat dan tampak bintik-bintik perdarahan pada saat skuama
diangkat. Hal ini disebut dengan Auspitz’s sign. Poriasis juga dapat timbul pada
tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan Koebner phenomenon.
Penggoresan skuama utuh dengan menggunakan pinggir gelas objek akan
menyebabkan terjadinya perubahan warna menjadi lebih putih seperti tetesan lilin
(Langley et al., 2005).

Selain dari presentasi klasik yang disebutkan di atas terdapat beberapa tipe
klinis psoriasis:
1. Psoriasis bentuk plak (Psoriasis Vulgaris)

Psoriasis bentuk plak merupakan tipe psoriasis yang paling sering terjadi,
kira-kira 90% dari semua pasien psoriasis. Tipe ini sering dikenal dengan
nama “psoriasis” saja ataupun psoriasis vulgaris (Jean et al., 2011).
Psoriasis ini mempunyai ciri-ciri berupa plak kemerahan dengan skuama
berwarna keputihan, berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas, atau plak
numular (bentuk lesi seperti koin). Lesi awalnya berupa makula yang
eritem (datar dan < 1 cm) atau papul, yang berubah menjadi plak dengan
ukuran ≥ 1 cm (Langley et al., 2005).

Gambar 2.2 Lesi Psoriasis : Plak Numular (bentuk seperti koin)
Sumber: Langley et al. (2005)
2. Psoriasis Gutata
Psoriasis gutata ditandai dengan ukuran lesi yang kecil yaitu 2-10 mm.
Lesi ini biasanya ditemukan di batang tubuh, ekstremitas atau wajah. Tipe
ini sering muncul setelah infeksi akut Streptococcus haemolytic grup B di
saluran napas bagian atas. Dapat mengenai anak-anak atau dewasa. Pada
anak-anak tipe ini umumnya bersifat self limited disease, sedangkan pada
dewasa sering bersifat kronik (Langley et al., 2005).

3. Psoriasis Pustulosa

Kelainan kulit pada tipe ini berupa pustul berukuran kecil yang muncul di
atas plak eritematosa yang telah ada sebelumnya. Pustul ini dapat
ditemukan di bagian pinggir atau tengah dari plak eritematosa tersebut
(Jean et al., 2011).
4. Eritroderma Psoriatik
Eritroderma psoriatik mempunyai gambaran khas yaitu terdapat eritema
dan skuama yang menutupi kira-kira ≥ 90% dari seluruh permukaan tubuh
(Jean et al., 2011). Hal ini dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis itu
sendiri yang semakin parah dan meluas atau akibat pemakaian obat
psoriasis seperti kortikosteroid yang tidak sesuai dengan petunjuk
pemakaian. Kelainan kulit ini akan mengganggu fungsi kulit sebagai
pengatur suhu sehingga dapat menyebabkan hipotermia (Langley et al.,
2005).
5. Psoriasis Fleksural (Psoriasis Inversa)
Psoriasis ini mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor,
inframammary, perineum, dan aksila (Langley et al., 2005).

2.1.5. Gambaran Histologi
Gambaran histologi pada kulit pasien psoriasis sebagai berikut:
1. Hiperplasia Epidermis

Kulit pasien psoriasis akan mengalami penebalan akibat sel keratinosit
mengalami hiperproliferasi. Normalnya, keratinosit akan masuk ke siklus
diferensiasi terminal dan berubah menjadi sel keratinosit matur yang
ditandai hilangnya inti. Sedangkan pada pasien psoriasis ditemukan sel
keratinosit berinti atau imatur di stratum korneum akibat siklus
diferensiasi terminal yang tidak sempurna. Perubahan ini menyebabkan
epidermis mempunyai permeabilitas yang meningkat (Jean et al., 2011).
2. Akumulasi sel-sel inflamatori di kulit
Sel-sel inflamatori dapat ditemukan di epidermis dan dermis. Sel-sel
tersebut terdiri dari sel leukosit polimorfonuklear (netrofil) dan

mononuklear (limfosit T, monosit, dan sel dendritik). Akumulasi sel
netrofil di stratum korneum disebut mikro abses Munro yang khas pada
psoriasis (Jean et al., 2011).
3. Angiogenesis yang meningkat
Pembuluh darah pada lesi psoriasis mengalami perubahan yaitu ukuran
dan jumlahnya meningkat. Dilatasi pembululuh darah menyebabkan
kemerahan pada plak psoriasis. Angiogenesis yang meningkat ini
berhubungan dengan akumulasi sel-sel inflamatori pada kulit (Jean et al.,
2011).


Gambar 2.3 Penebalan Epidermis dan Akumulasi Sel-sel Inflamatori
Sumber: Nestle et al. (2009)

2.1.6. Diagnosis
Diagnosis psoriasis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
gambaran klinis lesi pada kulit. Pada anamnesis, hal yang penting ditanyakan
kepada pasien yaitu usia berapa awal terjadinya psoriasis dan apakah ada riwayat
keluarga yang mempunyai psoriasis. Pemeriksaan penunjang yang paling umum

dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu psoriasis ialah biopsi histopatologi
(Gudjonsson dan Elder, 2008). Gambaran histopatologi akan menunjukkan
adanya penebalan epidermis, akumulasi sel inflamatori dan meningkatnya
angiogenesis (Jean et al., 2011).
Selain biopsi kulit, pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan tetapi bersifat
tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis
vulgaris yang luas, psoriasis pustular generalisata, dan eritroderma tampak
penurunan serum albumin dan peningkatan kadar asam urat serum. Peningkatan
marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, α-2 makroglobulin, dan
erythrocyte sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus yang berat


(Gudjonsson dan Elder, 2008).

2.1.7. Diagnosis Banding

Tabel 2.1. Diagnosis Banding Psoriasis
Psoriasis Vulgaris

Psoriasis Gutata

Eritroderma

Psoriasis

Psoriatik

Pustulosa

Eczema numular


Pityriasis rosea

Drug-induced

Impetigo

Cutaneus T-cell

Pityriasis

erythroderma

Kandidiasis

lymphoma (CTCL)

lichenoides cronica

Eczema

superfisial

Tinea korporis

Lichen planus

CTCL

Folikulitis

Pityriasis rubra

Parapsoriasis

Pityriasis rubra

superfisial

pilaris

dengan plak kecil

pilaris

Pemfigus

Dermatitis seboroik

Sifilis sekunder

Dermatitis kontak
Eritrokeratoderma
Hypertrophic lichen
planus

Infeksi Candida
Sumber: Gudjonsson dan Elder (2008)

foliaseus

2.1.8. Penatalaksanaan

Tabel 2.2. Daftar Terapi Psoriasis
Topikal

Kortikosteroid
Analog vitamin D
Tazaroten
Asam Salisilat

Fototerapi

Sistemik

Biologikal

Broadband UVB

Methotrexate

Infliximab

Narrowband UVB

Acitrecin

Etanercept

Excimer Laser

Siklosporin A

Adalimumab

Psoralen-UVA

Ester asam fumarat

Efalizumab

(PUVA)

Sulfasalazine

Alefacept

Hydroxyurea

Ustekinumab

Mycophenolate

Briakinumab

Calcineurin
inhibitor

mofetil
Sumber: Jean et al. (2011)
Ada berbagai macam pengobatan yang dapat diberikan pada pasien
psoriasis, yaitu:
1. Pengobatan topikal
Pengobatan ini diberikan pada pasien psoriasis derajat ringan atau sedang.
Sedangkan pada psoriasis derajat berat, obat topikal dapat diberikan jika
pemberiannya diikuti dengan pengobatan sistemik. Pengobatan ini
bertujuan mengurangi inflamasi lokal dan/atau hiperproliferasi keratinosit
dan mengatur diferensiasi sel (Jean et al., 2011).
2. Pengobatan dengan penyinaran (fototerpi)
Ada dua tipe fototerapi

yaitu menggunakan UVB (broadband,

narrowband, dan excimer laser ) dan PUVA (oral atau lokal). Pengobatan

ini diberikan jika psoriasis tidak menunjukkan perbaikan dengan
pengobatan topikal (Jean et al., 2011).
3. Pengobatan sistemik
Pasien psoriasis dengan derajat keparahan tinggi atau memiliki lesi yang
sangat luas dan tidak respon terhadap pengobatan topikal dan terapi sinar,
maka dilakukan pengobatan sistemik dengan pemantauan terhadap efek

samping, interaksi obat dan kontraindikasinya (Gudjonsson dan Elder,
2008).
4. Pengobatan biologikal
Pengobatan ini diberikan jika pengobatan sistemik gagal. Mekanisme
kerjanya sebagai berikut: mengurangi sel T patogenik, menghambat
aktivasi sel T, dan menghambat aktivitas sitokin yang terlibat dalam
terjadinya inflamasi pada psoriasis (Jean et al., 2011).

2.2.

Indeks Massa Tubuh

2.2.1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan
berat badan dan tinggi badan seseorang. IMT dapat menggambarkan kadar lemak
tubuh seseorang walaupun IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung.
IMT merupakan pilihan yang sering digunakan untuk mengidentifikasi kelebihan
berat badan dan obesitas karena mudah dilakukan (Center for Disease Control
and Prevention, 2012).

Untuk mengetahui nilai IMT, dapat dihitung dengan rumus berikut:
IMT =

Berat badan (kg)
[Tinggi badan (m)]2

2.2.2. Kategori Indeks Massa Tubuh
Penggunaan IMT untuk mengidentifikasi kelebihan berat badan dan
obesitas hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia 20 tahun ke atas baik
laki-laki maupun perempuan. IMT tidak diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu
hamil, olahragawan, serta seseorang dengan keadaan khusus seperti edema, asites,
dan hepatomegali (CDC, 2012).

Tabel 2.3. Klasifikasi IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik
IMT (kg/m2)

Klasifikasi

< 18,5

Kurus (underweight)

18,5 – 22,9

Normal (ideal)

23,0 – 24,9

Kelebihan berat badan (overweight)

25,0 – 29,9

Obesitas I

≥ γ0,0

Obesitas II

Sumber : Sugondo (2009)

2.3.

Indeks Massa Tubuh dan Psoriasis
Pada studi penelitian di Itali, 560 pasien psoriasis mempunyai IMT yang

bervariasi yaitu 59,1% mempunyai IMT < 26 kg/m2, 28% mempunyai IMT 26-29
kg/m2, dan 1β,9 % mempunyai IMT ≥ γ0 kg/m2 (Naldi et al., 2005). Tetapi pasien
psoriasis yang obesitas dilaporkan mempunyai psoriasis dengan derajat keparahan
sedang atau berat (Sterry et al., 2007). Hal ini dikarenakan penambahan jaringan
adiposa pada orang obesitas menyebabkan makrofag berpindah ke jaringan
adiposa

tersebut.

Makrofag

tersebut

merupakan

sumber

utama

untuk

pembentukan sitokin seperti TNF-α, IL-6, dan CXC chemokine ligand-8
(CXCL8). Sitokin ini ditemukan dalam jumlah yang banyak pada lesi psoriasis.
Kadar sitokin tersebut berhubungan dengan derajat keparahan psoriasis pada
penderita obesitas (Johnston et al., 2008).
Selain itu, terdapat korelasi positif antara IMT dengan kadar leptin.
Semakin meningkat IMT maka kadar leptin dalam serum juga meningkat. Leptin
merupakan sitokin turunan adiposa yang meningkatkan aktifitas makrofag untuk
menghasilkan IL-1 , IL-6, TNF-α, dan IL-12. Leptin juga dapat mengubah
morfologi sel dendritik turunan monosit dan meningkatkan produksi sitokin dari
sel dendritik tersebut yaitu IL-1 , IL-6, TNF-α, dan IL-12p70. Sitokin tersebut

akan terlibat dalam terjadinya inflamasi pada psoriasis. Semakin meningkat IMT
seseorang maka produksi sitokin yang dihasilkan oleh leptin juga meningkat
(Johnston et al., 2008). Oleh karena itu, inflamasi pada pasien psoriasis yang
obesitas juga meningkat atau lesi psoriasis ≥ β0% permukaan tubuh (Sterry et al.,
2007). Serum resistin yang meningkat pada pasien psoriasis yang obesitas juga
akan meningkatkan derajat keparahan lesi psoriasis itu sendiri. Hal ini
dikarenakan resistin dapat menstimulasi monosit untuk memproduksi CXCL8 dan
TNF-α (Johnston et al., 2008).