Khazanah Ekoleksikal, Sikap, Dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang : Kajian Ekolinguistik

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Semua masyarakat yang mempunyai bahasa menginginkan bahasanya terpelihara,
digunakan dalam komunikasi, serta mampu beradaptasi dengan semua perubahan
sosial, budaya, dan lingkungan. (Lihat Fishman, 1972: 24). Hampir semua masyarakat
tutur di seluruh belahan bumi ini peduli terhadap bahasa ibu (daerah) mereka. Mereka
berkeinginan untuk memberdayakan dan memperkuat bahasa mereka serta
membuatnya menjadi lebih baik.
Penutur suatu bahasa senantiasa berubah karena dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti: perubahan sosial, perubahan budaya, dan perubahan lingkungan penutur
bahasa itu sendiri. Edwards, (1985:49) mengatakan bahwa tidak ada satu pun bahasa di
dunia ini yang bertahan atau mati sama sekali. Nasib bahasa-bahasa yang ada di dunia
ini terkait erat dengan sikap dan konsistensi prilaku penuturnya. Jika sebuah bahasa
mengalami pergeseran, penyusutan atau punah, itu hanya semata-mata karena keadaan
penuturnya telah berubah.
Perubahan sosial dalam bidang pertanian seperti gotong royung dalam mengelola
ladang atau sawah dan kerapkali berinteraksi dengan bahasa lokal mereka kini telah

berganti dengan berdirinya pabrik-pabrik

di daerah Serdang dan Serdang Bedagai

mengakibatkan sejumlah leksikal yang berhubungan dengan ladang atau sawah pun

berganti bahkan hilang. Misalnya: ditugal yakni membuat lubang dengan menggunakan
kayu yang diruncingi untuk memasukkan bibit padi, diketam yakni memotong padi satu
demi satu untuk dipanen, ani-ani sebagai nama sejenis alat untuk memotong padi, dan
emping padi merupakan nama sejenis makanan yang dibuat dari padi muda. Masa
memanen ini diikuti oleh seluruh keluarga termasuk muda-mudi sambil mencari jodoh.

2.1.1 Beberapa Penelitian Pergeseran dan Kebertahanan Bahasa
Telaah mengenai pergeseran dan kebertahanan bahasa telah banyak dilakukan
terutama

keterancaman bahasa minoritas karena dominasi bahasa mayoritas.

Keterancaman bahasa minoritas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: adanya
kontak bahasa, faktor perubahan lingkungan kebahasaan masyarakat tutur yang

bilingual atau multilingual, migrasi maupun ekologi. Para ahli yang telah melakukan
penelitian mengenai kebertahanan dan pergeseran bahasa antara lain: Coetzee (1993),
Fasold, (1984), Parasher (1980), Gal (1979), Dorian (1973) dan Greenfield (1972).
Hasil penelitian Coetzee (dalam De Bot, ed 1993) menunjukkan bahwa bahasa
Afrikaans adalah satu-satunya bahasa ibu di Afrika Selatan yang pemakaiannya sangat
luas, baik di kalangan penutur kulit putih maupun penutur kulit berwarna. Keberadaan
bahasa Afrikaans pada awalnya bernama Cape Dutch karena pertama kali diprakarsai
oleh bangsa Belanda. Bahasa Afrikaans disejajarkan dengan bahasa Inggris.
Beberapa faktor yang menyebabkan bahasa Afrikaans bertahan yaitu:
(1) fungsinya sebagai lingua franca antarmulti ras; (2) kepentingan politik karena Afrika
Selatan adalah salah satu negara di dunia yang dihuni oleh banyak suku bangsa. Untuk
menghindari rasa paling berkuasa dari segi bahasa, maka bahasa Afrikaans dipakai

dalam media komunikasi bagi mereka, (3) peran penulis dari ras kulit putih, kulit hitam,
dan kulit berwarna untuk memperjuangkan pemakaian bahasa ini untuk menghindari
dominasi dari ras tertentu dari segi bahasa; (4) satu-satunya bahasa (selain bahasa
Inggris) yang dimengerti dan dipakai oleh sebahagian besar penduduk Afrika Selatan (5)
keterpakaiannya dalam karya-karya sastra penting; dan (6) adanya tradisi tulis. Terkait
dengan penelitian penulis, maka faktor-faktor penyebab kebertahanan bahasa Afrikaans
ini dijadikan pembanding untuk mengkaji pergeseran dan kebertahanan BMS dari segi

leksikal.
Fasold (1984:231-239) melakukan penelitian mengenai komunitas Indian di Tiwa,
New Mexico dengan menyebarkan kuesioner tentang pengakuan diri (self report). Hasil
penelitian yang dilakukan Fasold menunjukkan bahwa pada generasi pertama

(usia 50

– 75) ditemukan indikasi adanya penutur yang sebahagian besar masih merupakan
dwibahawan Tiwa- Spanyol, beberapa orang telah mengenal bahasa Inggris dan
beberapa orang lagi ekabahasawan Tiwa. Pada generasi kedua (usia 30 – 45), bahasa
Spanyol sudah mulai kehilangan penuturnya. Jumlah dwibahasawan Tiwa- Inggris
hampir lima kali lipat dwibasawan Tiwa-Spanyol. Jumlah orang yang mengenal bahasa
Tiwa-Inggris-Spanyol sama jumlahnya dengan orang yang mengenal bahasa TiwaSpanyol. Jumlah yang terbanyak adalah dwibahasawan Tiwa-Inggris. Dengan demikian,
hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran B2 dan pemertahanan B1 pada
komunitas dwibahasawa yakni B2 baru (bahasa Inggris) menggeser B2 lama (bahasa
Spanyol) sedangkan B1, yakni bahasa Tiwa tetap bertahan.
Parasher (1980) melakukan penelitian terhadap 350 orang terdidik pada dua kota
di India. Penetian ini dilakukan dengan meminta subjek untuk menentukan bahasa yang
dipakai dalam tujuh ranah, yaitu (1) keluarga, (2) persahabatan, (3) ketetanggaan), (4)


transaksi, (5) pendidikan, (6) pemerintahan, dan (7) pekerjaan. Penelitian yang penulis
lakukan untuk melihat pergeseran BMS juga menggunakan ranah namun hanya dua
ranah saja yang digunakan yakni ranah rumah dan ranah pekerjaan dalam hal ini sebagai
nelayan atau petani (ladang).
Selanjutnya penelitian Gal, (dalam Fasold, 1984: 198) mengenai orang Hongaria di
Oberwart. Pembahasan penelitian ini adalah mengenai pergeseran bahasa Hungaria (B1)
ke bahasa Jerman (B2). Adapun hasil penelitian Fasold yang disusunnya dalam bentuk
tabel menunjukkan bahwa penutur antara umur 14-

25 masih memakai bahasa

Hungaria untuk berbicara dengan orang yang lebih tua seperti orang tua, kakek, nenek.
Namun jika penutur berbicara dengan orang yang sebaya, saudara kandung, pejabat
pemerintah maupun dokter mereka menggunakan bahasa Jerman. Penelitian Gal ini
menunjukkan rapuhnya pemertahanan bahasa Hungaria pada generasi muda. Penelitian
Gal ini nampaknya mirip dengan penelitian ini yakni masyarakat Melayu Serdang
terutama generasi mudanya sudah mulai malu menggunakan BMS dalam kehidupan
sehari-hari disebabkan berbagai faktor sosial, budaya, dan lingkungan.
Penelitian Dorian (1973) mengenai pergeseran bahasa dialek Ghaelic Scotlandia.
Penutur bahasa dialek Ghaelic yang ada hanya berusia sekitar 40 – 80 tahun . Mereka

bilingual dalam bahasa Inggris dan dialek Ghaelic. Studi kasus terhadap variasi dialek
Ghaelic scotlandia yang dilakukan Dorian menunjukkan kelas kata kerja sangat lemah
dan meminjam kata-kata dalam bahasa Inggris dengan jumlah yang sangat besar.
Penutur yang berkisar usia empat puluh tahunan tidak percaya diri berbicara dalam
bahasa dialek Ghaelic dengan benar karena mereka tidak menguasai bahasanya dengan
baik. Ditemukan oleh Dorian bahwa penutur dialek Ghaelic yang mengaku bahasa
ibunya adalah bahasa dialek Ghaelic justru lebih kompeten menggunakan bahasa

Inggris. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran bahasa dari dialek Ghaelic ke bahasa
Inggris. Hal ini sejalan dengan generasi muda Indonesia saat ini tidak lagi menggunakan
BD, mereka sudah malu jika menggunakan BD maka BI menjadi satu-satunya bahasa
yang digunakan generasi muda Indonesia.

2.1.2 Beberapa Penelitian Ekolinguistik dan Bahasa Melayu
Hasil kajian pustaka menunjukkan bahwa pembahasan mengenai ekolinguistik
masih sangat sedikit dilakukan, bahkan dalam BMS belum pernah dibicarakan. Padahal
ekolinguistik merupakan kajian penting mengingat kondisi alam di Indonesia yang
demikian kritisnya. Di mana-mana terjadi longsor, gempa, letusan gunung merapi
bahkan tsunami. Kajian ekolinguistik membahas tiga ranah yakni : bahasa, masyarakat,
dan lingkungan. Perubahan-perubahan lingkungan mengakibatkan perubahan dalam

bahasa.
Ada beberapa artikel-artikel mengenai ekolinguistik berikut ini bermanfaat bagi
penelitian penulis. Penelitian-penelitian diringkas berikut ini.
Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja
di Stabat, Langkat oleh Mbete dan Adisaputra (2009). Kajian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan ekolinguistik dan semantik leksikal. Dari hasil tes penguasaan
leksikal responden terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikal
Bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong rendah. Perubahan ini dipicu oleh: (1)
kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu,
(2) langka bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam pikiran

penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam
piranti BML, tetapi dalam bahasa lain.
Acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikal, teknik
pengumpulan, pemerolehan, dan analisis data. Penelitian Mbete dan Adisaputra ini
dilakukan dengan mendokumentasikan leksikal Bahasa Melayu Langkat yang terkait
dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada 150 leksikal yang diujikan
kepada responden dengan tujuan melihat keterpahaman responden terhadap leksikal
yang berhubungan dengan lingkungan alamiah dalam bahasa Melayu Langkat. Hasil
pengujian dapat dijelaskan dengan memparafrasekan situasi penggunaan leksikal

tersebut yang dikaitkan

dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap

leksikal dideskripsikan sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu
di Stabat.
Penulis juga mengujikan leksikal namun tidak terbatas pada leksikal nomina saja
melainkan mencakup leksikal verba dan leksikal ajektiva. Ada 200 leksikal yang diujikan
yakni 150 leksikal nomina ditambah leksikal verba 50 dan leksikal ajektiva 50. Hal ini
dilakukan mengingat leksikal nomina lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan
leksikal verba dan leksikal ajektiva.
Selanjutnya penelitian

Adisaputra 2010 bertajuk

Ancaman Terhadap

Kebertahanan BML: Studi Pada Komunitas Remaja di Stabat Kabupaten Langkat. Kajian
kebertahanan Bahasa Melayu Langkat didasarkan pada komunitas tutur remaja
berdasarkan penelitian bahasa, sikap bahasa, dinamika bahasa dan faktor-faktor sosial

budaya dan sosial ekologi yang berpengaruh.Hasil penelitian kajian ini membuktikan
bahwa telah terjadi pergeseran BML ke BI pada setiap ranah penggunaan dan dalam
berbagai situasi dan komunikasi.

Khusus mengenai pergeseran bahasa dan konsep komunitas remaja terhadap
ekologi disebabkan berbagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
berpengaruh adalah (1) sikap toleransi yang tinggi terhadap etnik lain, (2) tingginya
mobilitas sosial remaja, (3) penyusutan aktivitas

budaya, (4) penyusutan konsepsi

ekologi Melayu, (5) sikap tidak setia terhadap BML, dan (6) tidak simultannya prosesi
adat dengan penggunaan BML.
Faktor eksternal penyebab pergeseran bahasa pada komunitas remaja di Stabat di
antaranya adalah (1) dominannya etnis mendatang khususnya etnis Jawa (Eja), (2) Pola
pemukiman yang semakin lama semakin membaur, (3) adanya BI sebagai bahasa
nasional yang pemakaiannya lebih luas dipahami bersama oleh dwibahasawan dan
memiliki prestise tinggi dalam pergaulan, dan (4) tingginya interaksi dengan komunitas
lain yang berbeda etnis dan bahasa. Yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah
metode yakni kualitatif dan kuantitatif. Selanjutnya Adisaputra meneliti khusus remaja

saja sedangkan penulis meneliti generasi dan muda dan generasi tua.
Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan oleh Sinar (2010).
Dibicarakan Sinar mengenai ungkapan verbal etnis Melayu Serdang yang berhubungan
dengan pantun-pantun dalam Bahasa Melayu Serdang. Selain itu dibicarakan juga
mengenai realitas konstekstual kelangsungan hidup ungkapan-ungkapan verbal dalam
pantun di tengah-tengah etnis Melayu Serdang.
Hasil pembahasan dalam tulisan ini menyatakan bahwa telah terjadi perubahan besar
sastra lisan dan falsafah keekologiaan Bahasa Melayu Serdang dalam sejarah
perkembangannya. Untuk itu maka keberadaan sastra lisan dan falsafah keekologian
BMS layak dikaji dan dipertahankan kembali karena merupakan salah satu kekuatan dan
ciri jati diri masarakat Melayu Serdang diantara komunitas tutur lainnya di Deli Serdang

dan Serdang Bedagai. Tulisan ini menginspirasi penulis untuk menelaah ekolinguistik
BMS.
Kajian Ekolinguistik dan Upaya Pengayaan Bahasa Nasional oleh Setia, (2010)
Dibahas oleh Setia bahwa kajian ekologi memiliki tiga ranah yakni bahasa, ekologi dan
masyarakat. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu keseluruhan multidimensi yang
kompleks meliputi: (1)

Cara menggunakan bahasa dalam komunikasi, (2) Realitas


masyarakat kapitalis secara global, dan (3) bentuk-bentuk kehidupan manusia dan nonmanusia. Selanjutnya Setia mengupas hal yang berkaitan dengan linguistik dialektikal
yang secara tradisional berhubungan dengan analisis wacana eko kritis (Eco-Critical
Discourse Analysis)
Sukhrani (2010) membahas Leksikal Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan
Kedanauan Lut Tawar : Kajian Ekolinguistik. Hasil penelitian Sukhrani bahwa leksikal
nomina bahasa Gayo masih dikenal, dipahami, dan digunakan. Pemahaman penutur
Bahasa Gayo terhadap leksikal nomina bahasa Gayo didukung dengan pengetahuan
penutur bahasa Gayo terhadap lokasi tempat referen leksikal tersebut ditemukan.
Leksikal nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian
besar masih dikenal dan digunakan dalam berkomunikasi. Kebertahanan leksikal nomina
bahasa Gayo dalam berkomunikasi disebabkan: (1) biodiversitas lingkungan danau, (2)
penutur dari masing-masing usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang
beragam, (3) penutur

masing-masing kelompok masih berbahasa Gayo dalam

keseharian. Penelitian Sukhrani yang membahas leksikal nomina ini menginspirasi
penulis untuk meneliti leksikal nomina, verba, dan ajektiva dalam Bahasa Melayu
Serdang termasuk ekologi Kesultanan Melayu Serdang.


Mahriyuni, (2009) Konfigurasi Medan Leksikal Emosi Bahasa Melayu Serdang
membahas sejumlah medan leksikal emosi yang dihasilkan oleh penutur BMS
berdasarkan variasi sosial. Fokus kajian ini membicarakan makna kata leksikal emosi
Melayu Serdang yang dibentuk oleh leksem ajektiva. Tulisan ini meski bukan kajian
ekolinguistik, namun dapat dijadikan acuan untuk memahami latar belakang budaya
lewat makna emosi dalam Masyarakat Melayu Serdang.
Selanjutnya Thyrhaya, (2009) menulis Representasi Idiologi Masyarakat Melayu
Serdang dalam Teks, Situasi dan Budaya. Tulisan ini mengkaji fenomena semiotik sosial
Melayu Serdang dengan fokus pengungkapan representasi idiologi dalam bahasa teks,
situasi, dan budaya serta idiologi dalam Masyarakat Melayu Serdang. Penelitian ini sama
sekali tidak berhubungan dengan ekolinguistik maupun sosiolinguistik, namun dapat
dijadikan acuan mengenai lokasi karena sama - sama membicarakan Melayu Serdang.

2.2 Konsep
2.2.1 Pemertahanan dan Pergeseran Bahasa
Pilihan bahasa terjadi pada komunitas tutur yang dwibasawan atau multibahasawan.
Konsekuensi

dari pilihan bahasa tersebut adalah pola penggunaan bahasa.

Pola

penggunaan bahasa yang mantap menyebabkan pemertahanan bahasa (language
maintenance), sedangkan pola yang goyah menyebabkan pergeseran bahasa (language
shiff).
Pemertahanan dan pergeseran bahasa terjadi dalam jangka panjang dan bersifat
kolektif. Wujud pemertahanan bahasa itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa
tersebut masih dipakai dan dipilih pada ranah-ranah penggunaan bahasa oleh para

penuturnya. Indikator utama sebagai penanda pemertahanan atau pergeseran bahasa
adalah ranah (domain) penggunaan bahasa (language in use).

Analisis ranah

penggunaan bahasa dan kajian-kajian tentang pemertahanan bahasa oleh Fishman
(1972) selalu dikaitkan dengan konsep diglosia tentang ragam prestasi tinggi (T) dan
rendah (R). Kaitan antara pilihan bahasa dengan konsep
pemertahanan bahasa

T- R ini penting dalam

karena pemertahanan dan kebocoran yang menebabkan

pergeseran bahasa dapat dilihat (Sumarsono, 1993: 14).
Kajian terhadap pemertahanan dan pergeseran bahasa sangat kompleks. Setidaknya
Romaine (1995:40) mencatat ada 10 faktor penting yang terkait dengan pemertahanan
dan pergeseran bahasa. Kesepuluh faktor yang dimaksud, yakni: (1) kekuatan secara
kuantitatif antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas; (2) kelas sosial; (3) latar
belakang agama dan pendidikan; (4) pola perkampungan/ kemasyarakatan; (5) kesetiaan
terhadap tanah air atau tanah kelahiran; (6) derajat kesamaan antara bahasa mayoritas
dan bahasa

minoritas; (7) luas perkawinan campuran ; (8) sikap mayoritas dan

minoritas; (9) kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bahasa dan pendidikan
minoritas; (10) pola-pola penggunaan bahasa.
Teori pergeseran bahasa berikut ini dibahas dengan mengacu kepada pendapat
Gunarwan (2006: 95 – 113). Bahasa dikatakan bergeser jika dan bila masyarakat bahasa
itu secara kolektif mulai tidak lagi menggunakan bahasa tradisionalnya, dan alih-alih itu
menggunakan bahasa yang lain (Gunarwan, 2006:95). Sebaliknya bahasa dikatakan
bertahan jika dan bila masyarakat secara kolektif tetap menggunakan bahasa
tradsisionalnya walaupun ada desakan untuk beralih menggunakan bahasa yang lain.
Kehadiran bahasa lain dalam suatu masyarakat yang semula eka bahasa merupakan
pemicu lahirnya pergeseran bahasa. Dengan kata lain jika dalam suatu masyarakat

terdapat dua bahasa atau kedwibahasaan (bilingualisme) inilah yang menyebabkan
terjadinya pergeseran bahasa.
Sejumlah faktor yang diprediksi dapat menyebabkan pergeseran bahasa adalah
sebagai berikut: (1) faktor sosiolinguistis, (2) faktor psikologis, (3) faktor ekonomis, dan
(4) faktor demografis. Dikatakan bahwa yang termasuk faktor sosiolinguistis adalah
adanya bilingualisme atau multilingualisme jika lebih daripada dua bahasa terlibat.
Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa monolinguisme tidak menyebabkan
adanya bahasa yang terancam, dan dengan sendirinya tidak ada bahasa yang bergeser.
Yang menyebabkan bahasa dapat terancam adalah bilingualisme terutama yang di
dalamnya kedua bahasa telah membentuk diglosia dan tiris. Jadi ketirisan diglosia juga
dapat dilihat

sebagai kondisi sosiolinguistis penyebab terus terjadinya pergeseran

bahasa.
Dapat dikatakan termasuk faktor psikologis adalah bagaimana pandangan para
anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan mengenai bahasa mereka di dalam
konstelasi bahasa-bahasa yang ada di dalam masyarakat. Dapat ditanyakan dalam hal
ini (1) bagaimana sikap warga pada umumnya terhadap bahasa mereka ; (2) apakah
mereka menganggap bahasa mereka lebih rendah daripada bahasa lain; (3) banggakah
mereka dengan bahasa dan budaya mereka; (4) apakah mereka menganggap bahwa
bahasa mereka sebagai nilai inti (core value ); (5) apakah mereka mempunyai kesetiaan
yang tinggi kepada bahasa mereka; (6) apakah ada rasa malu menggunakan bahasa
mereka seperti yang dicontohkan oleh Wilasa (1999), yakni adanya kecendrungan
pemuda desa Bali berbahasa Indonesia alih-alih berbahasa Bali bila berinteraksi dengan
pemuda kota.

Sebagai faktor demografis dapat dilihat jumlah penutur yang kecil dapat
menyebabkan bahasa yang bersangkutan rawan terhadap resiko keterdedahan
(keterpajanan) (exposure to risk) sehingga bahasa itu mudah tergeser.Secara tidak
langsung faktor ekonomik juga mempercepat pergeseran bahasa. Hal ini dapat
dcontohkan dengan kasus ketidakberhasilan pembendungan pergeseran bahasa Gaelik
Irlandia (Fishman, 1972). Bahwa bahasa Inggris merupakan jembatan menuju pekerjaan
yang lebih menguntungkan itu merupakan kenyataan yang telah menyebabkan orangorang Irlandia, demi alasan pragmatis memilih menggunakan bahasa dunia itu alih-alih
bahasa Irlandia mereka. Bahwa orang Irlandia lebih suka berbahasa Inggris daripada
bahasa tradisional mereka, merupakan pertimbangan analisis biaya maslahat bagi
masyarakat Irlandia.

2.2.2

Leksikal dan Semantik Leksikal

2.2.2.1 Leksikal
Konsep leksikal dikemukakan dengan mengacu kepada beberapa pendapat berikut
ini: Kamus linguistik

(Kridalaksana:126) mendefinisikan leksikal (lexicon,vocabulary)

Komponen bahasa yang memuat informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam
bahasa; Kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara , penulis atau suatu
bahasa; kosa kata; perbendaharaan kata; daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi
dengan penjelasan singkat dan praktis. Sedangkan Haspelmath (2002:39) menjelaskan
leksikal sebagai berikut: Leksikal paling tidak mengandung semua informasi yang tidak
predictable dari aturan umum. Selanjutnya Sibarani (1997:7) membedakan leksikal
dengan perbendaharaan kata dengan mengatakan bahwa leksikal mencakup komponen
yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti prilaku

semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologis, sedangkan perbendaharaan kata adalah
lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa. Spencer
(1993:47) mengemukakan bahwa leksikal merupakan kamus singkat yang memuat
daftar kata bersama arti. Elson dan Pickett (1987:1) mendefenisikan: seluruh jumlah
morfem

atau kata-kata sebuah

bahasa. Kata yang mempunyai makna dan cara

penggunaannya. Selanjutnya Crystal (2008:78) mengatakan bahwa leksikal merupakan
komponen yang mengandung informasi

tentang ciri-ciri kata dalam suatu bahasa,

seperti prilaku semantis, sintaksis, dan fonologis.
Berikutnya, Kridalaksana (1982: 98) mendefinisikan leksikal sebagai berikut: (1)
komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata
dalam bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis atau sesuatu
bahasa; kosa kata; perbendaharaan kata; (3) daftar kata yang disusun seperti kamus
tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis.

2.2.2.2 Semantik Leksikal
Menurut Kridalaksana, (1982: 194) “Semantik leksikal adalah penyelidikan makna
unsur-unsur kosa kata suatu bahasa pada umumnya”. Kajian semantik leksikal adalah
pembahasan makna alamiah kata. Yang dimaksud dengan makna kata dalam semantik
leksikal adalah makna kata yang dianggap sebagai satuan yang mandiri bukan makna
kata dalam kalimat. (Lihat Pateda, 2001: 74). Selanjutnya dinyatakan Sibarani “setiap
kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan budaya bahasa yang bersangkutan”
(Sibarani, 1997: 7).

Melalui ketiga defenisi di atas dapat dikatakan bahwa makna kata sesuai dengan
referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera atau makna yang sungguh-sungguh
nyata dalam kehidupan kita disebut semantik leksikal. Contoh dalam BMS

cekur

referennya` kencur`, jelebau referennya `labi-labi` , kelambir referennya `kelapa`
Semantik berhubungan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang
(simbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (Sign) (Pateda,
2001: 25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda, diatur oleh
tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda. Tanda-tanda itu
mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh
alam (Pateda, 2001: 31). Misalnya, air sungai keruh menandakan bahwa di hulu telah
turun hujan. Tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah
merusak alam.
Dalam pembahasan semantik leksikal kata merupakan tumpuan. Sebagaimana yang
dikemukakan Sweet dalam Palmer (1976 : 37) membagi kata atas kata penuh (full
words), kata tugas, dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna
tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya: nomina,
verba, adjektiva, dan adverbial

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori

ekolinguistik, sosiolinguistik, dan antropologi

sebagai landasan teoretis. Alasan memilih tiga pendekatan teori ini adalah yang
pertama, penelitian ini memilih pendekatan ekolinguistik khususnya karena parameter

ekolinguistik melihat hubungan antara, bahasa, lingkungan, dan keberagaman leksikal
lingkungan Serdang.
Penyingkapan makna dan nilai-nilai etnik Melayu Serdang sangat terkait dengan
lingkungan seperti yang dinyatakan Sinar

(2010:72) bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi keberadaan dan kelangsungan leksikal lingkungan penutur BMS di
tengah-tengah etnik Melayu dalam perspektif konteks situasi ekolonguistik. Pendekatan
ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat
mempertahankan

kehidupannya

dalam

mengadakan

hubungan

timbal

balik

antarmakhluk hidup (biotik) dan dengan benda tak hidup (abiotik) di tempat hidupnya
atau lingkungannya.
Kedua, teori sosiolinguistik karena melalui kajian sosiolinguistik peneliti dapat
melihat hubungan

antara perlakuan bahasa dan status sosial. Selanjutnya dapat

dinyatakan bahwa penelitian ini adalah mengkaji tentang bahasa dalam hubungannya
dengan

masyarakat sehingga melalui teori sosiolinguistik dapat diteliti mengenai

hakekat bahasa dan hakekat penutur BMS.
Ketiga,

teori antropolinguistik digunakan dalam penelitian ini karena melalui

antroponguistik kita mencermati apa yang dikatakan orang dengan bahasa, dan semua
ujaran yang diproduksi termasuk diam, dan gerak (gestures) dengan konteks
pemunculannya

2.3.1 Teori Ekolinguistik
Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel (1834-1914). Ekologi
merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat

mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antarmakhluk hidup
dan dengan benda tak hidup di tempat hidupnya atau lingkungannya.
Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi
semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa
dengan ekologi seperti yang dikatakan oleh Fiil (2001:126) dalam Lindo & Bundsgaard
(eds.)

(2000)

yakni

suatu

pendekatan

yang

mempelajari

bahasa

dan

menghubungkannya dengan lingkungan.
Tiga

parameter

ekolinguistik

yakni

(1)

adanya

ketersalinghubungan

(interrelationships), interaksi, (interaction) dan kesalingtergantungan (interdepedensi)
(2) adanya lingkungan (environment) tertentu, dan (3) adanya keberagaman (diversity)
di lingkungan itu baik manusia maupun makhluk-makhluk lainnya sebagai isi alam di
lingkungan tertentu dapat dijadikan pegangan dalam membedah bahasa dan lingkungan
(Fill and Muhlhausler, 2001: 1).
Semua berubah yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Begitu juga dengan
perubahan bahasa, kebudayaan, lingkungan, tentu saja lingkungan sosial-ekologi
kesultanan. Bila ditinjau dari sudut pandang ekolinguistik keberadaan bahasa dengan
guyub tuturnya juga dipandang sebagai suatu organisme yang hadir, hidup, tumbuh
berkembang bahkan punah, setidak-tidaknya tampak jelas pada tataran leksikal lihat Fill
and Muhlhausler, dalam (Mbete, 2010:5)
Menurut Haugen (1972) dalam Peter (1996: 57) ekolinguistik merupakan interaksi
bahasa dengan lingkungan. Demikian pula Crystal (2008:161-162) menjelaskan bahwa :
menyoroti perubahan bahasa, keberagaman linguistik, peranan sikap, dan kesadaran
berbahasa.

Para pakar yang membicarakan tentang defenisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau
linguistik hijau dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap
objek kajian ekolinguistik. Jelaslah bahwa ekolinguistik menekankan tujuan mereka
kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan
secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi
dari persfektif yang lebih luas.
Haugen (1970 lihat Mbete (2009: 11-12) menyatakan, ada sepuluh ruang kajian
ekologi bahasa, antara lain: pertama linguistik historis komparatif, kedua linguistik
demografi, ketiga sosiolinguistik, keempat dialinguistik, kelima dialektologi, keenam
filologi, ketujuh linguistik preskriptif, kedelapan geopolitik, kesembilan etnolinguistik,
kesepuluh tipologi.
Ekolinguistik, secara tradisional dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu:
ecocritical discourse analysis dan linguistics ecology (Fill, 1996, dalam Wikipedia). Yang
pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedangkan yang kedua, linguistik ekologi
yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik.
Kajian leksikal lingkungan yang dibahas dalam tesis ini berhubungan dengan
ekolinguistik.

Linguistik

ekologi pada tataran leksikal misalnya menggambarkan

pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan, baik lingkungan alam maupun
lingkungan sosial budaya dalam bentuk kode-kode lingual. Seiring dengan pengetahuan
dan pemahaman masyarakat bahasa tentang lingkungan alam dan lingkungan sosial
budaya yang berarti adanya interaksi dan interelasi masyarakat bahasa itu. Selanjutnya
dikemukakan Sapir bahwa kosa kata suatu bahasa

paling jelas menggambarkan

lingkungan fisik dan sosial para penuturnya. Kosa kata yang lengkap dari suatu bahasa
sesungguhnya bisa dilihat sebagai temuan yang kompleks terhadap keseluruhan ide,

minat dan kedudukan yang dapat menjadi perhatian komunitas itu dan mungkin kita
bisa memperluasnya pada karakter lingkungan fisik dan karakteristik dan budaya orangorang yang menggunakan kosa kata itu. (lihat, Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:
14)
Kendatipun demikian, seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika lingkungan
apalagi adanya dominasi bahasa yang lebih tinggi posisinya, perubahan bahasa dalam
pelbagai tataran, secara khusus tataran leksikal membawa dampak perubahan bahasa
(lihat Mbete, 2009). Dengan kata lain perubahan bahasa

mencerminkan perubahan

lingkungan sosial budaya dan perubahan lingkungan fisik. Perangkat leksikal, juga ciri
leksikal lingkungan penutur BMS menyusut dan mengembang bentuk dan maknanya
sekaligus mempresentasikan dinamika lingkungan
Dalam

perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau

menggambarkan perubahan lingkungan. Demikian sebaliknya baik lingkungan budaya
maupun lingkungan alam berubah dalam arti berkurang atau menghilangnya biota
entah fauna atau flora di lingkungan alam budaya tertentu, mengubah pula
pengetahuan, pemahaman, dan interelasi manusia dengan alam lingkungan itu. Kondisi
ini pada akhirnya memengaruhi pemakaian bahasa , misalnya penggunaan sampiran
dalam pantun Melayu (Sinar, 2010: 73).
Sampiran pantun menggunakan tetumbuhan selasih beberapa puluhan tahun silam
misalnya, karena memang masa itu tanaman selasih masih ada dan tumbuh di banyak
lingkungan. Setakat ini, seiring pula dengan menghilangnya tanaman selasih satuan
lingual yang membangun pola sampiran pada pantun telah memuncukan satuan-satuan
lingual kata yang berkaitan dengan kehidupan praktis di lingkungan itu, saat warga
berbalas pantun dalam hajatan tertentu. Dengan demikian, telah terjadi pula

penyusutan fungsi leksikal yang metaforis bertautan dengan nama tumbuhan atau
berbeda-beda alam di lingkungan Melayu.

Ini berarti konteks penggunaan bahasa

menjadi variabel penting, tanda hidupnya bahasa dan organisme di ligkungan tertentu.
Pendekatan ekolinguistik memandang bahasa sebagai wadah yang secara
fungsional merekam pengetahuan manusia tentang lingkungan alam sekitarnya juga
lingkungan sosial budaya sebagai tanda adanya relasi dan interaksi mereka dengan
alam. Selaras dengan pandangan Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, Eds 2001: 2), di
atas. Khazanah kosa kata dan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya dan lengkap
mencerminkan dan merefleksikan perbendaharaan pengetahuan komunitas penuturnya
tentang lingkungan ragawinya, sosialnya, gagasan-gagasan mereka juga karakter
lingkungan hidup dan kebudayaan para pemilik bahasa itu.
Dalam kaitan dengan penelitian ini dapat diasumsikan sejak keemasan zaman
kesultanan sampai pada era informasi ini bahasa Melayu Serdang telah terbangun
gagasan kolektif, kerja sama dan kebersamaan terbangun, dibina dan diwariskan antargenerasi masyarakat BMS.
BMS merealisasikan

makna dan nilai-nilai

kehidupan komunitas masyarakat

penuturnya. Di dalamnya terdapat seperangkat nilai sosialekologis yang diwariskan
antargenerasi. Didasarkan pemikiran di atas, dalam kajian ini akan dijelaskan fungsi
bahasa sebagai perekam pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sultan
penggunaannya dalam ranah-ranah pemakaian seperti: ranah keluarga, ranah
keagamaan, tradisi lokal dan ranah adat.
Masihkah bahasa Melayu Serdang hidup

dan berfungsi

dalam ranah-ranah

penting khususnya dalam kehidupan keluarga dan dalam kehidupan sosio religius oleh
masyarakat. Pertanyaan berikut apakah kaum mudanya memiliki pengetahuan dan

pemahaman serta penggunaan perangkat leksikal yang khas tentang lingkungan mereka
ataukah sudah beralih secara intens ke penggunaan bahasa kedua dalam pelbagai ranah
kehidupan? Bila jawaban ya, ini berarti

tanda-tanda kematian bahasa lokal telah

menggejala secara serius (Fishman: 1972).
Seperdua bahasa etnik di pelbagai belahan bumi yang menjadi indeks dan simbol
budaya etnik, seperti juga bahasa-bahasa di kawasan Nusantara

terancam punah

khususnya sejumlah bahasa minor (Sutjaja, 2007) bahkan juga telah mati. Bertolak dari
konsep Fishman (1991) selanjutnya Crawford (1996) lihat Mbete (2004) menyatakan
beberapa gejala penyebab kepunahan dan upaya penyelamatan bahasa-bahasa minor
yakni: (1) Faktor internal komunitas penuturnya sebagai penyebab sehingga penyadaran
internal bagi ahli warisnya menjadi sangat strategis dan penting, (2) Perubahan pijakan
kerohanian internal komunitas pendukungnya sebagai cikal bakal yang mengawali
terjadinya kegoyahan, (3) perubahan tata nilai lingual-kultural sebagai kondisi pengikis
fungsi sehingga pembenahan sistem nilai kebahasaan dan kebudayaan sangat
diperlukan, (4) kegoncangan situasi kedwibahasaan sehingga pembelajaran intensif dan
integral kedwibahasaan menjadi tuntutan, (5) faktor eksternal semisal kehadiran bahasa
kedua dan globalisasi kebahasaan sebagai faktor penyebab sehingga kebijakan bahasa
secara berimbang sangat diperlukan.
Seperti diuraikan di atas perubahan sistem bahasa baik pada tataran leksikal,
gramatika

maupun

pola

kewacanaan

dalam

fenomena

penggunaannya

menggambarkan pula adanya perubahan sosialekologis (Muhlhausler dan Alwin, Eds
2001). Selain ada dalam jiwa penuturnya bahasa muncul dalam interaksi sosial
komunitas penutur dan di dalamnya terjadi saling pengaruh antar bahasa (Haugen
1972).

Bahasa yang lebih kuat secara sosial politik dan ekonomi akan mendominasi
bahasa yang lemah dalam penggunaannya. Perkembangan dan perubahan khazanah
leksikal suatu bahasa misalnya mempresentasikan pula perubahan sosial dan ekologi.
Suatu masyarakat peladang yang sebelumnya tidak mengenal jenis tanaman komoditas
baru namun setelah mengalami transformasi ekonomi pertanian terjadi pula
penambahan kata-kata baru sementara itu leksikal lama tentang ranah perladangan
tertentu, dapat saja tergusur. Dampak lanjutannya baik leksikal maupun pola
kewacanaan masyarakat akan berubah pula, sekaligus menggeser pola-pola kewacanaan
lama dalam tradisi kelokalannya misalnya dari dunia perladangan ke dunia industri
(barang dan jasa). Perubahan persepsi dan representasi verbal yang terjadi adalah tanda
tanda adanya hubungan sistematis antara bahasa dan dunia yang ada di lingkungan
bahasa yang hidup (Trampe, 2001:232-233).

2.3.2 Teori Antropologi Linguistik
Franz Boaz adalah

pelopor antropologi linguistik dengan variannya lingustik

antropologi di Amerika, sedangkan di Eropa digunakan istilah etnolinguistik (Duranti,
1997) Di Indonesia dikenal dengan istilah linguistik budaya (lihat Riana, 2003: 8). Pada
dasarnya

linguistik

budaya,

linguistik

antropologi,

antropologi

linguistik

dan

etnolinguistik secara umum memiliki kesamaan (lihat Crystal, 1992: 20; Duranti, 2001: 12 ). Masalah sudut pandang sajalah yang menyebabkan terdapat perbedaan terhadap
istilah tersebut. Kita mencermati apa yang dilakukan orang dengan bahasa dan ujaranujaran

yang

diproduksi,

diam,

dan

gestures

dihubungkan

dengan

pemunculannya melalui pendekatan antropolinguistik.(lihat Duranti, 2001: 9).

konteks

Salah seorang yang berkontribusi dalam pengembangan antropologi linguistik
adalah Franz Boas. Konsep relativitas bahasa yang dilahirkan Sapir dan Benyamin L
Whorf merupakan pengaruh dari Franz Boas. Dalam konsep relativitas dinyatakan
bahwa bahasa tidak bisa dipisahkan dari fakta sosio budaya masyarakat pendukungnya
(Oktavianus, 2005: 80) . Salah satu kontribusi Sapir via Bonvillain, 1997:49) yang sangat
terkenal adalah gagasannya yang menyatakan bahwa analisis terhadap kosa kata suatu
bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial tempat penutur suatu
bahasa

bermukim. Hubungan

antara

kosa

kata

dan

nilai budaya

bersifat

multidireksional.
Dikemukakan oleh Malinowski (dalam Hymes 1974:4) bahwa melalui etnoliguistik
kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek
budaya, sosial, mental dan psikologis; apa hakikat sebenarnya dari bentuk dan makna
dan bagaimana hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi
cendrung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling
mempengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan (Lihat Hymes,1974: 5).
Kebudayaan terbentuk melalui interaksi manusia termasuk interaksi dan interelasi
manusia dan lingkungannya. Sebagai hasil interaksi manusia, kebudayaan berada di
antara individu, bukan pada individu karena kebudayaan merupakan simbol yang
berdimensi sosial. Geertz (1992:12) berpendapat bahwa kebudayaan bersifat ideasional
tetapi bukan terdapat di dalam kepala seseorang; kebudayaan bersifat fisik, tetapi bukan
entitas yang tersembunyi.

2.3.2.1 Hipotesis Sapir Whorf.

Sebelum meninjau hipotesis Sapir (HSW) perlu dikemukakan Sapir, terutama
pengaruhnya terhadap perkembangan linguistik selama abad kedua puluh. Dengan
memahami Sapir, kita akan didapatkan gambaran yang lebih jelas tentang ide-ide pokok
yang mendorong lahirnya hipotesis Sapir (HSW). Bagian kedua dari makalah ini terdiri
atas dua bagian: pemikiran linguistik dan tinjauan teoritis terhadap hipotesis Sapir
(HSW).

2.3.2.2 Tinjauan Teoretis Terhadap Hipotesis Sapir Whorf
Setiap pembicaraan tentang bahasa dan budaya atau bahasa dan pola pikir hampir
selalu dikaitkan dengan Hipotesis Sapir Worf (HSW). Seperti bisa dilihat, misalnya pada
karya-karya Caroll (1999). Hal (2002) Jannedy et al. (1994), Sampson (1980), dan Trudgill
(1974). Ini menunjukkan bahwa bahasawan yang membicarakan antara bahasa dan
budaya wajib mengetahui dan memahami Hipotesis Sapir Whorf (HSW),

juga

mengisyaratkan betapa pentingnya Hipotesis Sapir Whorf sebagai penjelasan betapa
keterkaitan antara bahasa dan budaya. Bahkan dapat dikatakan bahwa Hipotesis Sapir
Whorf (HSW) hampir identik dengan topik tentang bahasa, pola pikir, dan budaya.
Hipotesis Sapir Whorf (HSW) memiliki dua versi, versi ekstrim dan versi moderat.
Versi ekstrim menyatakan bahwa cara pandang kita terhadap realitas ditentukan
sepenuhnya oleh bahasa kita. Ini adalah determinisme bahasa, persis seperti pandangan
Von Humboldt. Sebaliknya, versi moderat menyatakan bahwa cara pandang kita
terhadap realitas dipengaruh oleh bahasa pertama kita. Ini adalah relativisme atau
relativitas bahasa. Berikut diulas asal usul Hipotesis Sapir Whorf (HSW) versi ekstrem
dan versi moderat, dan juga dikemukakan pandangan bahasawan masa kini terhadap
keduanya.

2.3.2.3 Warisan Intlektual Edward Sapir
Orisinalitas pemikiran Sapir di bidang linguistik tak perlu dipertanyakan. Menurut
Newmeyer (1986:4), strukturalisme Sapir mendahului strukturalise De Saussure:
Gramatika Bahasa Takelma oleh Sapir terbit pada tahun 1911, sedangkan Course of the
Linguistic Generale de Saussure baru terbit pada tahun 1916. Begitu pula Language oleh
Sapir (1921) terbit dua belas tahun lebih awal daripada Language oleh Blomfield (1933).
Perhatian Blomfield terfokus sepenuhnya pada struktur bahasa, sehingga masa kejayaan
aliran Bloomfield di paroh pertama abad kedua puluh disebut The Decades of Phoneme
of morpheme. Sebaliknya, Sapir, seperti gurunya Boas, yang menekuni linguistik
antropologi sekaligus memiliki perhatian yang sangat luas.
Linguistik Sapir tidak terhenti pada

struktur bahasa, tetapi juga merambah

kawasan budaya, sastra, mitologi, dan agama. Ia adalah seorang ”mentalis” dan
mentalisme Sapir nampak jelas misalnya, dalam tulisannya the Phsycological Reality of
Phoneme (1933-1949). Representasi fonetik tidak selalu sama dan sejajar dengan
representasi fonemik: karena yang terakhir terkait langsung dengan makna ujaran, dan
dengan demikian ia memiliki realitas psikologis dalam pikiran penutur bahasa.
Metalisme itu bergerak semakin jauh dan dalam ketika Sapir mengatakan bahwa
struktur bahasa juga berpengaruh terhadap cara pandang penuturnya terhadap realitas.
Berbicara tentang bahasa dan budaya, Sapir (1921: 207, 218), mengingatkan kita
bahwa idiologi, sosiologi bahasa tidak selalu ada hubungan kausal antara keduanya,
meskipun bahasa tidak pernah lepas dari budaya. Ketika ia berbicara tentang bahasa dan
sastra (1921:221- 2), ia menunjukkan kepada kita arti kebebasan kreatif namun sekaligus

juga keterbatasannya, karena kondisi alami medium bahasa. Ketika ia mengatakan all
grammar leak (1921: 38), ia mengingatkan kita betapa rumitnya struktur bahasa,
sehingga gramatika yang kita hasilkan tidak pernah sempurna menjaring seluruh aturan
bahasa. Semua itu mengisyaratkan bahwa pikiran kebahasaan Sapir bersifat relatif dan
humanistic (Newmeyer, 1986: 4). Bahkan, bila direnungkan lebih mendalam, yang
tersurat dalam pemikiran Sapir adalah “relativitas bahasa” namun yang tersirat di
dalamnya adalah relativitas keilmuwan. Sapir adalah bahasawan dengan visi yang jauh
ke depan mendahului zamannya. Pemikiran linguistiknya yang luas dan mendalam
tersebut

telah menjadi warisan intlektual yang sangat berharga terutama bagi

bahasawan yang tertarik mempelajari bahasa dalam konteks sosialkulturalnya.

2.3.3 Teori Sosiolinguistik
Dikemukakan oleh Hudson bahwa sosiolinguistik adalah suatu kajian bahasa dalam
hubungannya dengan masyarakat (Hudson, 1995: 1) Dari definisi yang dikemukakan
Hudson dapat dinyatakan dua hal yakni hakikat bahasa dan hakikat masyarakat. Dalam
hakekat bahasa dinyatakan keberagaman bahasa. Seperti dalam fonologi, ada penutur
bahasa Indonesia yang mengucapkan /redio/ atau /radio/ untuk kata “radio”. Dalam
morfologi ada penutur yang menggunakan akhiran

- kan di samping akhiran - i.

Selanjutnya dalam hakekat kemasyarakatan dijelaskan seluruh gejala, sifat, ciri-ciri
masyarakat dan budaya dalam perwujudannya secara keseluruhan.
Menurut Fishman kajian sosiolinguistik dapat dikategorikan sebagai suatu disiplin
ilmu dengan didasarkan atas tiga hal. Pertama, membenahi pandangan linguistik umum
yang berfokus hanya pada internal kebahasaan ke arah studi kebahasaan yang berkaitan
dengan

masyarakat.

Kedua,

memperluas

pandangan

tentang

konsep-konsep

kemampuan linguistik (linguistic competence) dari penutur asli ke arah konsep
kemampuan komunikatif (communicative competence), dengan cara mengubah
pandangan dan studi keabsahan yang abstrak menjadi studi kebahasaan yang berkaitan
dengan konteks sosial (siapa berbicara dengan siapa tentang apa dalam situasi yang
bagaimana) yang lebih dikenal dengan istilah etnografi komunikasi. Ketiga, mengacu
kepada sosiologi yang sering disebut sosiologi bahasa yang difokuskan pada bahasa
dalam masyarakat (speech community). Ketiga orientasi ini sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan tapi memiliki kekhasan dalam prinsip-prinsip dasar sosiolinguistik. Yang
pertama dan kedua termasuk ke dalam sosiolinguistik mikro sedangkan yang ketiga
termasuk ke dalam sosiolinguistik makro (Fishman , 1972:2).
Pandangan-pandangan di atas dijadikan landasan dalam mengembangkan ilmu
tersebut oleh para ahli antara lain kelompok Hymes, dkk dengan formulasi : kapan
berbicara; kapan tidak berbicara; apa yang dibicarakan; kepada siapa, dimana, dan
dalam situasi yang bagaimana (Hymes, 1974:277). Kelompok Dell Hymes dan J. A.
Fishman mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebahasan dalam kaitannya dengan
masyarakat penutur dengan menggunakan metode kualitatif.
Trend baru dalam ilmu sosiolinguistik dikembangkan oleh Labov dan kawan-kawan.
Pandangan mereka dikatakan sedikit ekstrim dengan pernyataannya, “studi bahasa
dalam komunikasi ujaran adalah linguistik,” Selanjutnya dikatakan bahwa, “kelihatannya
cukup alamiah bahwa data dasar untuk setiap bentuk linguistik umum adalah bahasa
sebagaimana yang digunakan penutur asli dalam berkomunikasi antara satu dengan
yang lainnya dalam kehidupan sehari-hari
Dikembangkan oleh Labov Linguistik sekuler yakni studi linguistik yang didasarkan
kepada asumsi bahwa hipotesis lingiustik harus didasarkan kepada observasi dan analisis

keanekaragaman bahasa sehari-hari (vernacular varieties) yang dipergunakan oleh
penutur dalam hubungannya dengan konteks sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan ini dikenal dengan kuantitatif sosiolinguistik.
Pionir analisis kuantitatif dalam ilmu linguistik ialah William Labov. Pandangan ini
memunculkan pakar-pakar sosiolinguistik antara lain : Trudgill (1984), Milroy dan J.
Milroy (1987), David and Sankoff (1979), Holmes (2001), Gal (1979). Teknik-teknik
penelitian yang dipadukan dengan disiplin ilmu lain seperti sosiologi, antropologi dan
statistika merupakan perkembangan dari Labov.

2.3.4 Perubahan Bahasa
Tingkah laku berbahasa yang berubah-ubah oleh pemakai bahasa dapat
memunculkan berbagai macam fenomena kebahasaan. Pada mulanya fenomenafenomena itu sering ditandai dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dari normanorma baku dari sebuah pemakaian bahasa. Labov (1994) sendiri mengistilahkannya
dengan language change in progress, dari istilah itu dapat dijabarkan bahwa sebuah
perubahan biasanya terjadi secara bertahap-tahap dan biasanya di dahului oleh suatu
hal yang kecil yang terjadi pada saat ini.
Labov (1994) dan Aitchison (1991) ialah salah satu dari beberapa ahli bahasa yang
mengemukakan pendapatnya tentang perubahan bahasa ini. Menurut Labov (1994)
untuk mengkaji sebuah perubahan bahasa ada dua cara yang dapat digunakan. Pertama,
untuk menelusuri unsur-unsur bahasa yang berubah secara perlahan-lahan ialah dengan
cara membandingkan bentuk-bentuk yang ada sekarang dengan bentuk-bentuk yang
telah ada sebelumnya. Kedua, menganalisis hubungan tingkah laku berbahasa penutur

yang teridentifikasi mengalami perubahan dengan kategori sosial dan kemudian dapat
ditemukannya hubungan antara perubahan unsur-unsur bahasa karena faktor sosial
dengan perubahan unsur-unsur bahasa secara internal.
Dari penjelasan Labov (1994) di atas, terungkap bagaimana mekanisme
penyebaran perubahan bahasa. Ada dua segi yang dapat ditinjau dari penyebaran
perubahan bahasa ini, yaitu penyebaran yang berhubungan dengan penutur bahasa dan
penyebaran yang berhubungan dengan internal kebahasaan. Pengelompokkan
Penyebaran perubahan bahasa yang berhubungan dengan penuturnya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu penyebaran secara alamiah dan penyebaran secara sadar.
Penyebaran perubahan bahasa secara alamiah dapat terjadi secara sistematis dan
umumnya digunakan oleh sebagian kelompok masyarakat yang secara tidak sengaja
menggunakan unsur-unsur bahasa tertentu yang berbeda dengan kaedah-kaedah yang
telah berlaku selama ini dan pada akhirnya menimbulkan variasi baru. Jika masyarakat
itu memakai variasi baru ini dan bersifat umum serta penggunaannya sudah sampai
batas tertentu dalam penyebarannya, maka variasi itu akan menjadi kaedah baru dan
kemudian semua lapisan masyarakat akan menerapkannya sehingga menjadi marker
guyup tutur tersebut. Labov (1994) menyebut perubahan ini ialah change from below,
yang ada saatnya penggunaan variasi baru itu mengalami adaptasi dengan unsur-unsur
kebahasaaan lainnya yang telah ada lebih dulu.
Sedangkan penyebaran perubahan bahasa secara sadar sudah pasti dilakukan
dalam keadaan sadar, yang artinya anggota masyarakat secara sengaja dan nyata
menerapkan unsur-unsur bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa yang telah
berlaku selama ini. Penyebaran jenis ini umumnya dilakukan oleh semua lapisan

masyarakat yang dianggap mempunyai kekuasaan, status sosial yang tinggi dan prestise
yang akhirnya diimitasi oleh kelompok “subordinate” sebagai contoh.
Penyebaran perubahan bahasa secara internal terkait dengan perubahan unsurunsur kebahasaan seperti unsur leksikal, morfologi, sintaksis dan unsur bunyi. Contoh
nyata yang dapat diamati ialah terjadinya difusi leksikal dan difusi bunyi pada bahasa
tertentu yang umunya didahului dengan perubahan kecil tetapi perlahan. Ketika
perubahan ini masuk kedalam beberapa kata, maka terjadi fluktuasi pemakaian antara
bentuk lama dengan bentuk baru oleh masyarakat dan secara pelan-pelan bentuk yang
lama akan ditinggalkan oleh masyarakat. Perubahan seperti ini akan terjadi secara cepat
dalam kurun waktu yang singkat, jika penyebaran perubahan bahasa itu terjadi pada
kata dengan jumlah yang tidak sedikit (Suastra, 2004:8-15).
Aitchison (1991:105-106) mengungkapkan bahwa penyebab perubahan bahasa
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal psikolinguistik dan faktor sosial. Faktor
yang pertama ini berhubungan dengan system bahasa itu sendiri dan keadaan kejiwaan
penutur, dalam hal ini pengetahuan dan sikap penutur dalam dinamika sosialekologis,
khususnya situai keanekabahasaan sedangkan faktor kedua berhubungan dengan faktor
luar sistem kebahasan.

a.

Faktor internal kebahasaan.
Setiap bahasa akan mengalami perubahan jika bahasa itu sendiri mempunyai

perangkat untuk perubahan yang dapat berakibat pada muncul variasi-variasi baru, hal
ini terjadi karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan bahasa.
Misalnya adanya asimilasi dalam bidang bunyi antara dua bahasa yang berbeda. Pada
saat seperti ini berlaku “push and drag chain theory”yang menjabarkan adanya
pergeseran bahasa dalam dikotomi push dan drag, sehingga tergesernya unsur bahasa

yang asli dikarenakan adanya penyusupan salah satu unsur bahasa ke bahasa lainnya.
Akhirnya unsure bahasa yang asli akan tergeserkan dan akan meninggalkan posisinya
dan posisi ini akan diisi oleh unsur-unsur bahasa yang lain pula. Kasus seperti ini
dicontohkanoleh Aitchison (1991) terjadi pada bahasa proto-Indo Eropa, seperti kasus
berikut. Bunyi [bh] [dh] [gh] bergeser menjadi bunyi [b] [d] [b] [d] [g] kemudian bergeser
menjadi [p] [t] [k] ; dan [p] [t] [k] bergeser lagi menjadi [f] [e] [h].
Selain asimilasi, kontak bahasa yang dapat mengakibatkan adanya proses
peminjaman (borrowing proses) uns