Khazanah Ekoleksikal Guyub Tutur Bahasa Lio, Flores.

(1)

KHAZANAH EKOLEKSIKAL

GUYUB TUTUR BAHASA LIO, FLORES

Tim Peneliti:

Aron Meko Mbete

Anak Agung Putu Putra

Ida Bagus Putra Yadnya

I Wayan Simpen

Veronika Genua

Gek Wulan Novi Utami

Didanai oleh

Program Doktor Linguistik

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

2015


(2)

Widi Wasa, akhirnya penelitian yang berjudul “Khazanah Ekoleksikal Guyub Tutur Bahasa, Lio, Flores” ini dapat dilapoirkan secara tertulis. Dalam pengumpulan data hingga penulisan laporan penelitian ini cukup banyak tantangan dan kendala yang dihadapi. Keterbatasn waktu merupakan tantangan tersendiri di tengah tugas pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat, terlebih lagi tugas-tugas kelembagaan dan pelayanan yang memang tidak boleh tertunda.

Laporan penelitian ini dapat terwujud seperti ini disadari oleh Tim Peneliti ikhwal banyaknya bantuan yang telah diterima selain kerjasama tim yang cukup kompak. Sehubungan dengan itu, rasa terima kasih patut disampaikan kepada semua pihak. Sejumlah pihak yang patut disampaikan rasa terima kasih dipilah berikut ini.

1. Kepada semua informan yang ada di Kabupaten Ende, khususnya para penutur bahasa Lio di sejumlah desa yang dijadikan sasaran penjaringan data yakni di Desa Wolotolo, Desa Wolosoko, dan Desa Bokasape, Wolowaru.

2. Semua informan kunci yang telah memberikan informasi dan akses untuk mendapatkan informan utama khususnya para perajin gerabah, tenun ikat, para penutur lainnya yang telah memberikan data-data leksikon tentang lingkungan.

3. Program Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah mengalokasikan dana dan fasilitas yang menjamin terlaksananya penelitian ini.

4. Semua anggota tim peneliti, baik para dosen mauupun para karyasiswa/mahasiswa Program Magister dan Doktor Linguistik Program Pascasarjana Lionguistik Universitas Udayana yang terlibat aktif dalam pengumpulan data, analisis, dan penulisan laporan ini.


(3)

6. Semua pihak baik yang secara langsung mapun tidak langsung memfasilitasi dan berpartisipasi dalam aneka bentuk keterlibatan.

Tim peneliti menyadari kekurangan penelitian ini. Oleh karena itu, kritik, saran, dan koreksi demi kesempurnaan penelitian ini sangat diharapkan.

Denpasar, 30 November 2015

Tim Peneliti


(4)

BAB I ……….……….. 1

BAB II ……… 9

BAB III ………..……… 12

BAB IV ……….……….…… 18

BAB V ………..……….……… 33

BAB VI ……….……….………… 47

BAB VII ……….…… 58

BAB VIII ……… 67

BAB IX ………..………. 70

PENUTUP ………..………. 72


(5)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahasa Lio, Flores, adalah salah satu bahasa lokal, atau bahasa daerah, atau juga bahasa etnik Lio yang ada di Flores Tengah, Nusa Tenggara Timur. Selain bahasa Lio, di Kabupaten Ende ada juga dialek Ende dan dialek Nage. Oleh masyarakat di Kabupaten Ende, ketiga dialek itu dikenal sebagai logat Aku untuk bahasa Lio, logat

Ja’o untuk dialek Ende, dan logat Nga’o dialek Nage. Ketiga bentuk persona pertama (tunggal) yang mengandung makna aku atau saya itu menjadi nama bahasa atau dialek-dialek. Kesalingpahaman dalam komunikasi verbal antardialek itu masih memadai atau cukup baik kendati disadari pula oleh para guyub tuturnya sebagai bahasa atau dialek yang berbeda. Pranasalisasi merepresentasikan dialek-dialek Ja’o dan Nga’o dan bahasa Lio. Selain bahasa Lio dan kedua dialek itu, di Kabupaten Ende, sebagai bagian NKRI, hidup pula Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai mata pembelajaran di sekolah-sekolah (SMP, SMA, dan SMK) dan di perguruan tinggi, sejumlah bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, juga hidup dan berkembang walau tidaklah menjadi bahasa sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat di Kabupaten Ende, seperti juga banyak masyarakat Indonesia lainnya, telah berkembang menjadi masyarakat dwibahasa (bilingualism) dalam arti lebih dari dua bahasa (lihat Romaine, 1995).

Bahasa Lio juga mengenal dan memiliki dialek yang berkorespondensi antara k-h. Dialek /k/ ada di kawasan barat dan utara Lio, sedangkan dialek /h/ ada di wilayah timur khususnya daerah Lise. Sebagai contoh dapat dilihat pada korespondensi berikut ini.

Dialek k Dialek h

ki hi ‘ilalang’

kasa hasa ‘pagat’

kea hea ‘sej. labu’

kolo holo ‘kepala’

kubu hubu ‘atap’


(6)

Dari segi daya dukung penuturnya, bahasa Lio dikuasai dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Kabupaten Ende. Bahasa Lio juga memiliki beberapa dialek dengan ciri-ciri fonologis dan leksikal, di samping ciri-ciri suprasegmental yang sangat jelas pula. Jumlah penutur bahasa Lio diperkirakan lebih dari 100 ribu orang jika penutur bahasa Lio di wilayah Kabupaten Sikka pun dimasukkan ke dalamnya. Dialek

Ende didukung oleh sekitar empat puluh ribu penutur sedangkan dialek Nag’o didukung

oleh sekitar tiga puluh ribu penutur. Perlu diinformasikan kembali bahasa Lio digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Sikka khususnya di dua kecamatan yakni Kecamatan Paga dan Kecamatan Mego. Kedua kecamatan itu berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Ende, termasuk Kecamatan Kotabaru di bagian Utara. Sungai Nangabolo di Kabupaten Sikka menjadi pembatas wilayah pakai bahasa Lio dan Bahasa Sikka. Masyarakat di kedua kecamatan itu juga berkembang menjadi masyarakat multibahasa, bahasa Lio, bahasa Sikka, dan bahasa Indonesia. Adat, budaya, dan tradisi Lio masih cukup kuat terpelihara di kedua kecamatan itu, Paga dan Mego kendati adat, budaya, dan tradisi Sikka juga kuat menyatu dalam masyarakat di kawasan itu.

Sebagai turunan Proto-Austronesia, bahasa Lio berkerabat erat (closed relationship) dengan bahasa Ngadha dan bahasa Palu’e (Fernandes, 1986; Mbete 1981).

Bahasa Palu’e terdapat di Pulau Palu’e, utara Kabupaten Ende dan secara adinistratif

termasuk wilayah Kabupaten Sikka. Secara administratif, dalam hubungan kekerabatan yang besar, bahasa Lio termasuk kelompok bahasa Flores Barat dengan bahasa Manggarai sebagai anggota kelompok yang lebih besar jumlah penuturnya. Pada jenjang lebih tinggi bahasa Lio berkerabat erat pula dengan subkelompok bahasa Flores Timur (termasuk bahasa Sikka dan Lamaholot). Bahasa-bahasa kerabat di Flores, termasuk bahasa Lio mewariskan ciri-ciri fonologis, morfologis, leksikal, gramatikal, dan semantik asali dari bahasa asalnya. Selain kadar dan ciri-ciri divergensi kelinguistikan yang genetis, unsur-unsur serapan dari Proto-Papua juga ada dalam bahasa itu.

Sebagai bahasa lokal yang menyatu dengan dan menjadi ciri jati diri guyub tutur pemilik dan para pewarisnya yakni para anggota guyub tutur bahasa Lio, bahasa Lio mengemban fungsi-fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Lio. Bahasa Lio adalah perekat persatuan sebagai Orang Lio, sarana komunikasi dan interaksi verbal antarwarga


(7)

etnik Lio, perekam dan pengalih (transmisi) kebudayaan Lio antargenerasi; kebudayaan Lio dalam pelbagai seginya. Bahasa Lio juga menjadi sarana pengungkap senisasatra dan budaya Lio, dan menjadi ciri pembeda jati diri Orang Lio dengan etnik-etnik lainnya di Flores dan Indonesia umumnya. Bahasa Lio pula yang membedakan Orang Lio dengan Orang Sikka, Orang Ende, Orang Nagekeo, Orang Ngada, Orang Manggarai, Orang Lamaholot, dan Orang Riung. Sebagaimana telah disinggung di atas, diinformasikan bahwa sesungguhnya secara linguistis, guyub tutur dan penutur bahasa Lio terdapat pula di bagian barat Kapupaten Sikka, khususnya di Kecamatan Paga dan Mego. Penduduk Kabupaten Sikka di kedua kecamatan itu, menguasai bahasa Lio dialek Paga-Mbengu dengan ciri suprasegmentalnya yang khas. Selain itu di antara mereka juga ada yang menguasai dan menggunakan bahaaa Sikka, dan tentunya bahasa Indonesia.

Sebagai warisan sejarah dan elemen budaya masa lalu, bahasa Lio telah hidup dan berfungsi bagi guyub tuturnya sejak ratusan bahkan ribuan tahuan silam. Adat istiadat, tradisi, dan kebudayaan Lio diungkapkan dan diwadahi dalam bahasa Lio. Lagu-lagu Lio yang cukup terkenal itu bersyairkan bahasa Lio, demikian juga teks-teks sastra lisan dengan paralelisme semantik sebagai pilar estetik berekspresi secara verbal, merupakan produk-produk seni-budaya bernilai tinggi. Karya sastra lisan yang bernlai tinggi dan tertuang dalam mitos Ine Pare ‘Dewi Padi’, merupakan pusat dan puncak adicita (ideology) etnik Lio yang hingga kini masih terawat kuat dalam bahasa dan budaya agraris komunitas etnik Lio. Mitos Ine Pare ‘Dewi Padi’ adalah sastra suci bagi masyarakat Lio terutama dalam konteks perladangan asli.

Peredaran waktu dan dinamika ruang telah pula mengubah banyak segi kebudayaan Lio. Jikalau sebelum masa Kemerdekaan (1940an hanya ada sara Lio (bahasa Lio) dan sara Melaju (bahasa Melayu), pasca Kemerdekaan Indonesia memang mengubah lingkungan kebahasaan bahasa Lio. Masyarakat etnik Lio yang semula umumnya ekabahasa (yang secara terbatas didampingi sara Melaju ‘bahasa Melayu’ di kalangan tertentu khususnya kaum terdidik kala itu, perubahan lingkungan kebahasaan pun semakin meluas dan mendalam. Meluas, karena semakin banyak pembelajar dan pengguna bahasa Indonesia khususnya etnik Lio, dan semakin mendalam karena banyak


(8)

segi kehidupan diwahanai oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan bahasa Negara. Pembelajaran, penggunaan, pemerluasan bahasa nasional, bahasa resmi bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa Indonesia dan posisi itu jelas menggeser kedudukan bahasa Lio. Jikalau pada masa lalu bahasa Lio menjadi bahasa ibu sebagian besar etnik Lio di kota, terutama di pedesaan, setakat ini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa ibu bagi sebagian etnik Lio. Seiring dengan itu, semakin terpinggir pula kedudukan dan semakin menyusut pula fungsi sosiokultural bahasa Lio (lihat Mbete, 1994).

Kehadiran bahasa Indonesia juga menandai masuknya kebudayaan Indonesia dalam pelbagai aspeknya. Pola pikir, cara dan gaya hidup, mata pencaharian, pola konsumsi berubah dan berkembang. Budaya agraris dengan mengandalkan pengolahan lading berpindah mulai menipis mengiringi pola pengihidupan dengan tanaman perdagangan yang lebih menjanjikan seperti kakao, cengkeh, vanili, kemiri, dan sebagainya. Mata pencaharian baru di bidang jasa lebih dipilih oleh generasi muda. Berladang dengan aneka tanaman tumpangsari asli dengan padi lokal sebagai primadona budaya agraris etnik Lio semakin terdesak. Seiring dengan itu, lahan untuk padi lokal dengan aneka tanaman pangan asli, semakin sempit. Kerajinan dan budaya tenun ikat semakin kurang dipilih oleh generasi muda putri. Demikian pula kerajinan keramik yatau gerabah yang mengolah sumber daya tanah liat semakin ditinggalkan pula, hanya ditekuni oleh segelintir perempuan tua, sedangkan kaum wanita muda sudah meninggalkan profesi itu.

Bahasa adalah gambaran atau representasi lingkungan tempat bahasa hidup, dalam arti hidup dalam manusia. Dengan demikian, bahasa Lio dalam subsistem leksikon, teks, dan wacana mengambarkan pula kenyataan yang ada di sekitarnya. Kekayaan leksikon khusus, merepresentasikan lingkungan alam dan budaya yang beragam pula. Khazanah leksikon bahasa Lio tentang keberagaman jenis, ukuran, bentuk ikan-ikan laut dapat ditemukan di lingkungan pesisir atau daerah pantai, baik di pantai selatan Kabupaten Ende dan Nage maupun di Pantai Utara Kabupaten Ende. Berdasarkan sifat laut selatan yang “garang”, oleh guyub tutur bahasa Lio dan dialek


(9)

Ende, pantai selatan disebut Ma’u Haki‘laut jantan’, sedangkan pantai utara yang relatif lebih tenang ombaknya disebut Ma’u Fai, ‘laut betina’.

Seperti halnya bahasa-bahasa lokal dengan kandungan lokalitasnya di pelbagai guyub tutur dan guyub etnik di Indonesia, bahasa Lio yang hidup sejak berabad-abad hingga dewasa ini, merepresentasikan hubungan timbal balik bahasa itu dengan lingkungan, baik dalam skala (buana) agung, mikrokosmos, maupun dalam skala (buana) alit, mikrokosmos. Ikhwal adanya hubungan timbal balik itu sesungguhnya terekam dan terwadahkan dalam bahasa Lio karena pada hakikatnya bahasa adalah

“wadah atau sarang kebudayaan”. Termasuk ke dalamnya adalah kategori produk

budaya material yang bersumber pada alam di lingkungannya. Budaya bahari berbasis laut tentu berbeda dengan budaya perladangan berbasis lahan atau tanah garapan dengan aneka tumbuhan. Dalam bahasalah tersimpan kekayaan makna dan nilai kehidupan insani tersimpan. Akan tetapi, perjalanan waktu, dinamika kebudayaan, perubahan lingkungan alami dan sosial, telah berdampak pada perubahan bahasa Lio sebagai wahana budaya etnik Lio. Generasi muda guyub etnik dan guyub tutur bahasa Lio

sebagai ahli waris sudah “meninggalkan” bahasa lokal warisan leluhur mereka. Generasi muda bahkan sudah mulai meninggalkan tradisi.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas berikut dirumuskan masalah yang dikaji dalam penelitian ini.

a. Bagaimanakah gambaran tentang khazanah leksikon dengan kategorinya spesifik tentang kegerabahan?

b. Bagaimanakah gambaran tentang kekayaan leksikon tentang tumbuhan dan tanaman dalam bahasa Lio?

c. Bagaimanakah gambaran tentang khazanah leksikon tentang binatang dan hewan umumnya dalam konteks budaya sebagai kekayaan bahasa Lio? d. Leksikon-leksikon spesifik tentang tenun ikat berbasis lingkungan dalam


(10)

e. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan tergusurnya pengetahuan leksikon-leksikon lingkungan spesifik dalam bahasa Lio?

f. Apa sajakah dampak perubahan pengetahuan leksikon-leksikon spesifik tersebut dalam kaitan dengan keberlanjutan unsur-unsur bahasa, budaya lokal, dan lingkungan hidup etnik Lio?

Khazanah leksikon yang makna referensial eksternalnya merujuk pada aneka tumbuhan pangan, obat-obatan tradisi, gerabah, tenun ikat, dan dunia kebaharian, secara linguistik mencakupi kategori nomina, verba, dan ajektiva. Kategori nomina dalam konteks ekoleksikal ini berkaitan dengan pengetahuan tentang kekayaan lingkungan, baik karegori biotik atau yang bernyawa, maupun abiotic atau yang tidak bernyawa. Taksonomi tentang tumbuhan dan hewan yang menjadi khazanah budaya kuliner lokal, dilengkapi pula dengan heronimi sebagai hasil olahan. Semuanya mengambarkan kekayaan leksikon, bahasa, dan budaya guyub tutur bahasa Lio. Termasuk di dalamnya adalah perangkat nomina turunan yang merepresentasikan hasil olahan tradisonal atas tumbuh-tumbuhan yang menjadi tanaman budaya itu.

Kategori adjektiva adalah kelompok leksikon merepresntasikan pengetahuan guyub tutur bahasa Lio tentang kualitas dan sifat-sifat aneka entitas yang dikenali dan dimanfaatkan oleh warga guyub tuitur bahasa Lio. Dengan demikian, gambaran tentang sifat, karakter, dan kualitas biotik sejumlah tumbuhan dan hewan yang diakrabi, juga entitas-entitas abiotic khususnya tanah, air, pasir, dan bebatuan, terekam dan terwadahkan dalam perangkat leksikon bahsasa Lio.

Kategori verba yang dijangkau dalam kajian ekoleksikal ini berkaitan dengan aktivoitas manusia dalam mengolah sumber daya yang ada di lingkungan. Verba tindakan dan verba proses, tercakup di dalamnya. Atas dasar kategori verba itu, subkategori verba tindakan berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas mengolah entitas tertentu, misalnya menebang dan mengolah batang pohon atau bagian tangkai pohon aren untuk dijadikan nira atau tuak manis misalnya, membeiikan informasi penting tentang keberagaman dan lingkungan. Selain keberagaman tanbaman, keberagaman atau kekayaan leksikon yang menandai aktivitas dan atau proses khusus di lingkungan yang


(11)

khusus menggambarkan interaksi, interelasi, dan interdependensi warga guyun tutur tertentu di lingkungan tertenu dengan jenis tumbuhan tertentu pula.

1.3Tujuan

1.3.1 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh fakta dan informasi tentang bahasa dan hubungannya dengan lingkungan. Hubungan itu secara khusus dapat ditemukan dalam kata-kata dan ungkapan ekologis tentang sumber daya alam yang ada di Lio, Flores. Khazanah lekikon yang berdimensi ekologis itu mencakup perangkat leksikon pangan atau kuliner lokal dan obatan-obatan, gerabah asli dan tenun ikat. Leksikon-seksikon yang diupayakan ditemukan itu berkaitan dengan kode-kode lingual aneka tanaman dan unsur-unsur ekologis yang didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan yang telah menjadi tradisi dan sumber daya budaya lokal. Sselain perangkat leksikon dan ungkapan, fakta dan informasi tentang ketergusuran atau penyusutan pengetahuan tentang khazanah leksikon dan ungkapan itu, faktor-faktor penyebabnya dan dampaknya akan diupayakan pula digali dan dideskripsikan.

1.3.2 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini juga diupayakan untuk memperoleh pemahaman tentang dinamika lingkungan dan dinamika budaya serta tradisi berkaitan dengan kekayaan sumber daya alam masyarakat etnik LIo, Flores. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk memperoleh fakta dan informasi tentang dampak-dampak perubahan, baik yang berdimensi positif maupun yang negatif.

1.4Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis jelas terkandung di dalam penelitian ini. Sebagaimana diketahui, sebagai pendekatan dan kerangka kaji teoretik linguistik terapan (applied linguistics) yang bersifat lintas bidang (interdisipliner), adalah bidang keilmuan yang relatif baru. Dengan demikian, fakta-fakta baru yang khas dan mutakhir diharapkan


(12)

bermanfaat untuk memperkuat dan mengembangkan konsep-konsep penguat kerangka teoretik ekolinguistik. Kajian kritis juga bermanfaat untuk itu.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini juga sangat diharapkan. Kesenjangan pengetahuan dan persepsi tentang sumber daya alam antara generasi tua dan muda mengandung makna bahwa telah terjadi perubahan kebudayaan, padahal sumber daya budaya berbasis lingkungan alam dengan keanekaragamannya sangat penting. Berdasarkan pengetahuan yang dikembangkan atau diberdayakannya kembali dalam proses pembelajaran dan pendidikan, kesenjangan pengetahuan dan pemahaman tentang sumber daya alam dan budaya antargenerasi dapat dijembatani, apalagi dalam kaitan pengembangan keterampilan mengolah keanekaragaman sumber daya bertautan dengan ekononomi kreatif berbasis sumber daya lokal.


(13)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Ada sejumlah karya ilmiah ekolinguistik yang secara substansial dan ontologis berkaitan dengan penelitian ini. Kaitan substansial, kesamaan, dan perbedaannya dengan kajian ini dipaparkan secara singkat. Upaya penjelajahan atas beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para pengembang ekolinguistik, khususnya ekoleksikal, bertujuan pula untuk memaknai dan memosisikan penelitian ekoleksikal bahasa Lio, Flores.

Penelitian Mbete dkk. (2007) bertajuk “Ungkapan-Ungkapan Verbal Etnik Lio

yang Berfunsi Melestarikan Lingkungan”, harus diakui sebagai salah satu sumber inspirasi untuk melanjutkan penelitian ini. Demikian pula penelitian Mbete (1992)

tentang “Fungsi Bahasa Lio, Flores” membuka ruang peduli akademis yang mendair dan

sumber daya air, orong peneliti ihwal pentingnya penelitian ini. Ungkapan-ungkapan verbal, baik berupa tuturan-turan parsial dalam kaitan dengan prinsip-prinsip hidup dan praktek hidup sehari-hari, mengandung makna, nilai, dan pesan-pesan adicita (ideology). Di antaranya adalah ungkapan verbal yang menekankan pentingnya kebersamaan, kekompakan, dan kesatuan dalam kehidupan sosial. Selain demi keserasian hidup dengan sesama, keharmonisan hidup dengan sesama makhluk yang digolongkan sebagai lingkungan alam, secara khusus amanat pelestarian mata air, adalah fungsi-fungsi ekologis yang sangat penting. Akan tetapi, hasil kajian tersebut juga merampatkan bahwa daya makna ungkapan-ungkapan tersebut sudah tidak kuat lagi. Pemahaman dan kepatuhan sikap untuk menjaga lingkungan telah menyusut. Meskipun tidak menggunakan teori dan metode ekolinguistik, secara tematik penelitian tersebut memiliki kaitan pula dengan penelitian ini.

Merosotnya fungsi-fungsi sosial bahasa Lio dalam sejumlah ranah juga telah dideskripsikan oleh Mbete (1992). Dalam penelitiannya ditemukan menurunnya penggunaan bahasa Lio dalam sejumlah ranah pakai bahasa. Kendati telah dilakukan 23 tahun silam, generasi muda dalam guyub tutur bahasa Lio, memang sudah enggan menggunakan bahasa Lio, sudah beralih ke bahasa Indonesia.


(14)

2.2 Kerangka Teori, Pendekatan, dan Metode

Penelitian ini menggunakan teori ekolinguistik sebagaimana telah dikembangkan oleh Sapir (1912; 2001) dan Haugen (1992; 2001), serta Bang and Door (2000). Eratnya hubungan timbal-balik antara manusia, lewat fungsi simbolik verbal, dalam wujud bahasa karena di dalamnya bentuk-bentuk lingual itu tidak hanya bentuk tetapi juga kandungan makna konseptual (lihat de Saussure, 1985). Bahasa lingkungan atau leksikon-leksikon lingkungan adalah gambaran tentang realitas lingkungan, sekaligus juga representasi pengetahuan dan pengalaman guyub tutur dalam berinteraksi, berinterelasi, dan berinterdependensi dengan entitas-entitas yang ada di lingkungan. Dalam konteks itu pula sarana kelinguistikan berperan. Proses leksikalisasi, yang diikuti pula dengan gramatikalisasi, misalnya ungkapan-ungkapan yang metaforik, juga proses kulturalisasi terjadi di dalamnya, di sisi sosialisasi. Yang dimaksudkan dengan kulturalisasi dalam konteks ekolinguistik ini adalah adanya pengetahuan dan proses pemahaman secara simbollik-verbal, kemudian bersasarkan pemahaman itu terjadi proses pemeliharaan dan pengolahan sumber daya alam itu sebagai produk budaya. Pengolahan atas padi atau kelapa menjadi produk kuliner yang khas, dengan cara-cara atau teknik yang khas, tentu direkam secara verbal dalam bahasa lokal itu, itulah yang merupakan proses pembudayaan atau kulturalisasi. Pemahaman makna simbolik, misalnya padi tidaklah hanya demi perut dan kebutuhan hidup ragawi, melainkan juga adanya makna adicita yang menuntun hidup manusia, itulah proses kultural berbasis sumber daya alam.

Seiring dengan bahasa dan leksikon-leksikon lingkungan itu, fenomena bahasa lingkungan sebagai praktik sosial dikembangkan juga oleh Bang dan Door (2000). Dimensi ideologikal berkaitan dengan bangunan pengetahunan kognitif guyub tutur tentang lingkungannya, dimensi sosiologikal bertautan dengan hubungan timbal balik dan kesalingtergantungan antarwarga guyub tutur. Di dalamnya dapat pula dispesifikasikan adanya kasih-sayang, cinta, atau sebaliknya benci, dendam, tidak saling kenal; sednagkan dimensi biologikal menggambarkan kesalingtergantungan dan kesalingterhubungan manusia dengan aneka entitas yang ada di lingkungan utamanya tetumbuhan, hewan, tanah, bahkan udara.


(15)

Haugen (1992; 2001) menegaskan pula bahwa bahasa yang hidup itu hanya ada dalam otak dan pikiran manusia, dan secara nyata terwujudkan dalam interaksi sosail antaranggota guyub tutur saja. Dimensi ruang atau lingkungan ragawi menjadi penting bagi Haugen, dengan demikian lingkungan-lingkungan khusus (bioregion dan ecoregion), secara khusus lingkungan-lingkungan tertentu berbasiskan kekayaan khusus lingkungan alam itulah yang menghasiilkan bahasa, ungkapan, dan kata-kata yang khas. Fenomena subtetnik, atau juga subkultur berbasiskan kekayaan lingkungan, merupakan gejala adanya hubungan antara bahasa, budaya, dan lingkungan (lihat Cassirer, 1999).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang ditunjang pula dengan pendekatan lapangan dengan human instrument sebagai alat penjaring data. Penggalian pengalaman-pengalaman probadi (personal experience) diandalkan dalam penelitian ini. Khazanah leksikon dan ungkapan dalam dinamikanya lintas generasi, khususnya generasi tua dan muda di lingkungan-lingkungan khusus subkultur, di antaranya dapat diangkakan dan dihitung (dikuantifikasi), khususnya berkaitan dengan penyusutan fungsi kulturalnya.

Sebagai penelitian kelinguistikan, sejumlah anggota guyub tutur yang berusia tua di atas 50 tahun (dengan memilih 5-7 orang) dan berusia muda di atas 25 tahun (5-7 orang) dijadikan nara sumber atau informan penghasil data. Anggota guyub tutur bahasa Lio, dengan mengutamakan mereka yang jarang meninggalkan lokasi dalam waktu lama, baik pria maupun wanita menjadi pilihan informan. Wawancara mendalam (depth interview) secara terstruktur dilakukan berdasarkan pedoman wawancara digunakan dalam pengumpulan data utama. Wawancara terstruktur untuk menggali data berkaitan dengan sejumlah subtopic ekolinguistik. Data-data tentang pengetahuan khazanah leksikon dan praktik kegerabahan diperoleh dari kaum perempuan pengrajin gerabah dan parktik kegerabahan. Data-data tentang tanaman dan tumbuhan serta hewan yang berkaitan dengandunia perladangan dalam arti luas, sedangkan khazanah bahasa kebaharian diperoleh dari para nelayan. Yang terakhir, data tentang tenun ikat juga diperoleh dari perempuan erajin tenun ikat Lio. Data sekunder diperoleh dari sejumlah pustaka yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian ini.


(16)

BAB III

GUYUB TUTUR BAHASA LIO, DINAMIKA BUDAYA DAN LINGKUNGAN

3.1Guyub Tutur Bahasa Lio

Sebelum menguiraikan ihwal guyub tutur, paparan singkat tentang bahasa Lio disajikan dalam tulisan ini. Bahasa Lio tergolong bahasa vokalis setelah mengalami perubahan atau penanggalan konsonan protobahasa Flores (lihat Fernandes, 1995; Mbete, 1999) pada posisi akhir. Gejala apokope atau penghilangan konsonan pada akhir kata itu, secara genetis menjadi evidensi atau bukti kualitatif yang memperkuat hubungan kekerabatan erat bahasa-baahsa di Flores. BAhasa Manggarai, bahasa Ngadha, bahasa Nagekeo, bahasa Riung, bahasa Lio, bahasa Sikka, bahasa Lamaholot di Flores adalah bahasa-bahasa vokalis. Kendati ada konsonan pada akhir kata, konsonan-konsonan sengau /n, ng, r/ saja. Selanjutya, korespondensi bunyi antara bahasa Lio dan Dialek Ende tampak pada hadirnya pranasal (sebagai contoh: bahasa Lio: bebo, dialek Ende mbembo ‘tidak tahu’).

Sebagaimana telah disinggung pada bab pendahuluan, khususnya pada uraian latar belakang, penelitian ini menjadikan guyub tutur bahasa Lio, menjadi sasaran utama sekaligus sumber informasi dan sumber data primer penelitian yamg ebrtajuk ekolinguistik bahasa Lio. Penutur bahasa Lio memang lebih banyak daripada bahasa atau dialek Ended dan Nage di bagian barat wilayah Kabupaten Ende. Wilayah pakai bahasa Lio pun melampau batas-batas administrasi Kabupaten Ende karena meluas hingga di dua kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Sikka, Flores yakni Kecamatan Paga dan Kecamatan Mego. Tuturan Lio dan batas wilayah pakainya dengan

bahasa Sikka bahkan “dibelah” secara ekologis oleh bentaran Sungai dan wilayah

Nangablo di Sikka Barat.

Bahasa Lio memang tidak mengenal dan tidak memiliki tingkat-tingkat penggunaan bahasa yang diglosik yang berkontras sebagai ragam halus atau ragam tinggi dan kasar atau sosiolek dalam menata penggunaan bahasa dalam konteks hubungan social yang berjenjang atau hirarkis. Kendatipun demikian, bentuk hormat dengan orangtua,


(17)

orang-orang tua, pemimpin, dan pejabat, termasuk tetua-tetua adat diwarnai secara suprasegmental dan sikap ragawi kinestik yang juga honorifik.

Variasi atau ragam bahasa Lio bersifat fungsional-kontekstual. Fungsi untuk menandai dan memaknai pelbagai kegiatan adat dan tradisi dalam sejumlah lini kehidupan tradisional berbasis keetnikan mengahsilkan ragam bahasa Lio yang disebut sebagai sara waga. Dalam guyub tutur bahasa Lio, juga dalam dialek Ende, dan dialek

Nage di Kabupaten Ende, kata ‘bahasa’ dipadankan dengan sara. Bahasa Lio dipadankan dengan sara Lio, bahasa/dialek Ende sara Ende, bahasa/dialek Nage, sara Nage, bahasa Sikka, sara Sikka, dan seterusnya. Ini berarti konsep bahasa yang hakiki bagi guyub tutur bahasa Lio adalah makna, nilai, dan fungsi penggunaannya, atau cara berkomunikasi. Secara etnografik konsep bahasa menjadi pangkal kebermaknaannya.

Secara morfologik, sara waga dapat dijelaskan kembali dalam konteks masyarakat dan kebudayaan Lio, Flores. Ragam bahasa sehari-hari memang berbeda dengan ragam sara waga. Sara waga sebagai salah satu ragam atau variasi fungsional berakarkan kata wangka ‘perahu’. Leksikon wangka ‘perahu’ (PAN) adalah butir bahasa dan budaya kebaharian para penutur bahasa-bahasa Austronesia. Sebagai elemen budaya kebaharian

leksikon wangka ‘perahu’ atau sejenisnya memang menuntut keseimbangan agar tidak

tenggelam. Keseimbangan itu secara verbal diungkapkan dalam sara waga yang memang berpakemkan kesepadanan makna, pengualangan yang pada hakikatnya bermakna maksud yang sama. Sebagai contoh dapat disimak sara waga berikut ini.

Boka ngere (k)hi ‘merebah bagai ilalang’ bere ngere ae ‘mengalir bagai air’

Ungkapan tersebut bermakna budaya yakni warga guyub tutur bahasa Lio harus

serempak “jatuh merebah bersama atau kompak ibarat alang-alang yang diterpa angin kencang puting beliung. Kekompakan itu juga ibarat air yang cepat mengalir begitu saja, lancer dan tanoa dalih bagaikan air yang cepat mengalir kencang di kali yang terjal sebagaimana tersirat dalam bere ngere ae. Ungkapan verbal yang padat dan sarat makna dan nilai tradisi etnik Lio itu, adalah ccontoh bentuk paralelisme semantic sebagai varian atau ragam fungsional dalam adat dan budaya etnik Lio.


(18)

Sesuai dengan pola strukturnya yang menggunalan pakem kesepadanan makna (semantic parallelism) sebagaimana pola penggunaan bahasa dalam konteks vudaya dan aneka ritual yang ada di sejumlah guyub etnik di Nusa Tenggara Timur khususnya (Fox, 2000), dan Indonesia bagian tengah dan timur umumnya. Hal ini dapat dibandinglan dengan pola dan pakem berpantun pada etnik-etnik Melayu, Minang, Aceh, Lampung, dan sebagainya. Sara waga masih hidup dan berfungsi. Dikaitkan dengan seni berbahasa atau sastra, dapat dikatakan bahwa sara waga adalah sastra lisan atau tradisi lisan yang indah dalam konteks penggunaan bahasa Lio dalam kehidupan sosialbudaya

sebagai “rumah atau istana tempat bahasa Lio hidup”. Sara waga memang menjadikan semua ritual adat dalam siklus hidup manusia dan perladangan sebagai basis dan rumah makna kultural bahasa Lio, sebagaimana juga bahasa-bahasa lokal lainnya.

Seni berbicara atau cara berkomunikasi verbal dengan pola kesepadanan makna maksud itu dtemukan secara kontekstual dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam kegiatan adat dan budaya. Dalam rangkaian pernikahan, sejak pranikah dengan tahapan tu ngawu ‘belis’ dan wuru mana ‘ikatan kekerabatan’ sara waga selalu digunakan secara fungsional. Patut dijelaskan pula bahwa tidak banyak orang atau warga guyub tutur bahasa Lio berusia tua yang mahir berbahasa sara waga. Hanya segelintir penutur tua tertentu, yang karena bakat berbahasa Lo sara waga sajalah yang mahir menggunakannya. Keterampilan itu dimiliki secara otodidak. Penutur yang mahir berbahasa sara waga itulah yang umumnya dijadikan sebagai juru bicara dalam pelbagai upacara adat dan tradisi yang dicontohkan di atas.

3.2Lingkungan Hidup yang Natural dan Kultural

Bahasa, budaya, masyarakat, dan tentunya ruang atau tempat bahasa, budaya, masyarakat memanfaatkannya untuk hidup, mengalami perubahan mengiringi perjalanan waktu. Dimensi ruang dengan segala isinya, termasuk manusia dengan kebudayaan dan bahasanya, semuanya mengalami perubahan kendati dengan irama dan cakupan yang sangat beragam. Sudah tentu perubahan ruang atau lingkungan alam, yang di dalamnya juga bersisi manusia, masyarakat, dan kebudayaannya itu, senantiasa berubah. Perubahan lingkungan hidup yang alamiah yang dikarenakan oleh bencana alam (gempa


(19)

bumi vulkanis dan tekntonis, tsunami, longsor, kekeringan, berdampak pada kondisi lingkungan dan manusia di dalamnya.

Sebagaimana halnya di belahan Bumi dan di pelbagai pelosok Tanah Air, Pulau Flores umumnya dan daerah Kabupaten Ende khususnya adalah lingkungan ragawi yang secara nisbih memiliki kesamaan topografi. Gunung-gemunung dan bukit-bebukitan dengan lembah yang curam adalah wajah yang sangat menonjol wilayah negeri ini. Sebagai pembanding, Pulau Sumba dan Pulau Timor memang bergunung-gunung dan berbukit-bukit namun tidaklah “sekaya dan sepadat” alam Pulau Flores, dan Kabupaten Endeh khususnya. Dataran rendah sangat sedikit. Bebukitan dan gemunung yang kaya itu pula ruang (space) untuk hidup manusia khususnya menjadi lebih banyak. Folres saja memiliki lebih dari tujuh gunung berapi selain puluhah gunung tidak berapi.

Sebagai wilayah dengan kekayaan gunung berapi yang cukup banyak, ada di setiap kabupaten, daratan Flores dengan curah hujan selama empat bulan, Desember-Maret, secara umum cukup subur. Aneka jenis atau spesies tumbuhan dan hewan ada di wilayah ini. Demikian pula, Flores yang dikelilingi dengan laut dan selat, perairan yang ada di sekitarnya menyimpak kekayaan ikan dan binatang laut. Baik darat maupun lautan, Pulau Flores, termasuk wilayah Kabupaten Ende yang menjadi tempat hidup bahasa Lio dengan kebudayaan dan masyarakatnya, memiliki kekayaan sumber daya alam darat dan laut yang memadai. Dengan demikian, relasi para warga guyub tutur bahasa-bahasa lokal di Flores berinteraksi dan berelasi dengan aneka fauna dang flora, selain dengan segi-segi topografi Flores. Pemahaman dan pengetahuan mereka tentang pelbagai entitas yang da di sekitar mereka diberi nama. Secara khusus nama-nama gunung dan lembah-lembah yang unik, demikian juga nama pantai dan muara, diberi nama. Tidaklah hanya alam dan lingkungan darat yang diakrabi melainkan juga lingkungan kelautan.

Sebagai bangsa yang pada mula dan muasalnya adalah bangsa pelaut, budaya kebaharian sesungguhnya cukup kuat melekat dan masih tetap hidup hingga setakat ini khususnya di kalangan masyarakat pesisir. Pada umumnya masyarakat pesisir adalam nelayan-nelayan handal. Sebagai contoh betapa hebantnya masyarakat LAmalera,


(20)

Lembata menguasa alam laut dengan dominsi dan budaya kebaharian mereka yang sudah etrkenal di seluruh dunia. Ketangkasan menangka sang raja laut, Ikan Paus, adalah prestasi yang menjadi ikon para guyub tutur bahsa dan budaya Lamalera. Ritual

yang mengantar dan menopang kekuatan adalah kekuatan untuk “menguasai” Ikan Paus dan lingkungan lautan yang ganas.

3.3 Dinamika Lingkungan Alam, Budaya, dan Bahasa

Perubahan lingkungan, baik alam maupun kebudayaan, termasuk situasi kebahasaan memang menandai dinamika kehidupan yang ada di Indonesia, di Pulau Flores, dan di Kabupaten Ende. Secara umum, alam yang pada beebrapa tahun silam lebih didominasi oleh kehijauan alamiah, di sisi kegersangan yang alamiah pula, kini mulai berubah. Jikalau masa lalu kehijauan didominasi oleh tumbuhan tropis dengan vegetasinya yang beraneka ragam dan yang endemis, sejak beberpa puluh tahun silam sudah mengalami perubahan yang cukup bermakna. Tanaman kemiri adalah tanaman yang terwaris sejak lama, pada era tahun 70an ebrtambah banyak melalui budidaya

masala masyarakat. Lebih “dahsyat” lagi,. Tanaman perdagangan cengkeh dan kakao telah mengubah banyak lahan, yang semula dihuni oleh tanaman padai lading, jagung, umbi-umbian, dan sebagainya, kini justru telah didominasi oleh cengeh dan kakao, di sisi tanaman baru seperti durian, salak, dan sebagainya.

Perubahan lingkungan patut dijadikan pertimbangan dan kajian. Bahasa hanya hidup dengan dan dalam lingkungan masyarakat pemilik bahasa, Bahasa juga hanya hidup dalam kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Selain itu bahasa juga hidup dengan dan dalam lingkungan alam kendati hanya dapat ditelusuri melalui leksikon (haugen, 1992). Akan tetapi karena bahasa adalah represntasi tetang dunia yang terekam secara verbal dan dalam sistem lekikon bahkan juga pengguanaan bahasa (green grammar) merupakan representasi hubungan antra manusia dan lingkungan, baik


(21)

hubungan yang mendukung kelestarian lingkungan, maupun sebaliknya hubungan yang justru merusak keharmonisan di suatu lingkungan alam dan manusia.


(22)

BAB IV

KHAZANAH LEKSIKON KEGERABAHAN GUYUB TUTUR BAHASA LIO

4.1 Sumber Daya Tanah dan Kerajinan Gerabah

Hubungan manusia dengan lingkungan sebagaimana terekam dalam khazanah leksikon dan tuturan tentang gerabah merepresentasikan betapa tanah sangat bermakna dan berfungsi bagi kehidupan manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Kebudayaan dalam arti cara dan hasil olahan manusia memanfaatkan sumber daya tanah adalah bahwa kebudayaan dimaknai sebagai proses (verba, kata kerja) dan kebudayaan sebagai nomina atau kata benda (lihat Kleden, 1997). Produk budaya dapat berwujud material, benda-benda ciptaan manusia yang kasat mata seperti aneka bentuk gerabah, jikalau sudah berproses secara sistematis. Dengan demikian, kebudayaan dipahami sebagai usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setelah manusia memanfaatkan dan mengolah sumber daya alam, khususnya tanah liat.

Lebih daripada itu, tanah, ruang atau space adalah lokasi tempat manusia menginjakkan kakinya. Hanya jikalau berada di atas tanahlah manusia dapat berdiri untuk hidup dan melakukan apa saja. hanya dengan tanah yang disebut sebagai lahan pula manusia mengolahnya untuk bercocok tanam dan mendirikan rumah tempat tinggalnya, dan hanya di atas tanah pula manusia dapat melakukan segala usaha, termasuk mengolah gerabah dengan produknya yang juga diberi nama, setelah manusia mengenal jenis tanah seperti tana taki ‘tanah liat’, bita

‘lumpur’, ta’i faka ‘ humus yang dihasilkan oleh kotoran dari cacing’. Ta’i faka adalah juga fakta lingual-natural yang menandai entitas jenis tanah tertentu, betapa jenis cacing tanah sangat penting dan berperan dalam menjaga kesuburan tanah garapan khususnya atau lahan. Ta’i faka


(23)

adalah salah satu faktor yang menjamin lahan menjadi sangat subur untuk ditanami apa saja yang dikehendaki oleh manusia.

Hanya tanah garapan atau lahan untk ditanami yang menggambarkan pentingnya lingkungan ragawi yang dipiujaki oleh manusia untuk hadir dan berdiri serta bergerak. Pengenalan sifat atau karakter tanah, yang tentu pula direkam secara verbal dalam ingatan mereka. Jenis tana taki ‘tanah liat’ digunakan oleh kaum perempuan Lio, khususnya di dua kampong yakni Kampung Wolosoko di Kecamatan Wolowaru dan Kampung Wolotolo Tengah di Kecamatan Wolotolo, Kabupaten Ende. Mengolah sumber daya tana taki ‘tanah liat’ atau yang dalam guyub tutur Lio disebut ju podo kawa itu diwariskan secara turun temurun. Kendatipun dewasa ini sudah kurang diminati lagi oleh generasi muda, tradisi ini masih bertahan kuat.

Secara linguistik dan ekoleksikal khususnya, pengenalan, pengetahuan, dan pemaknaan satuan-satuan atau entitas-entitas tanah secara spesifik dikodekan dalam bentuk leksikon dalam bahasa Lio. Perlu diuraikan bahwa leksikon tanah berasal dari bentuk purba etymon PAN *tanaq yang diturnkan menjadi bentuk tana, atau tanah dalam bahasa Indonesia. Bandinglan

dengan etmon *lemaq ‘tanah’ yang dalam beberapa bahasa lokal (lemah Abang atau Tanah

Abang, Jakarta) diturunkan sebagai bentuk lemah ‘tanah’ atau bentuk kompleks dalam bahasa Bali palemahan yang meluas maknanya menjadi lingkungan ragawi umumnya.

Bahasa, secara khusus khazanah leksikon adalah representasi lingkungan, sekaligus juga representasi pengetahuan, pengalaman, dan gambaran praksis sosial-kultural dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dalam hal ini sumber daya tanah. Pengetahuan dan pengalaman sebagai praktik sosial-budaya itu diturunkan dan diwariskan antargenerasi. Kendati kadangkala merusak lingkungan namun perilaku menutup kembali lubang-luban yang


(24)

bermula dari pengambilan tanah liat, penutupan kembali lubang-lubang. Baik secara sadar dilakukan maupun secara langsung oleh proses alamiah karena adanya tanaman-tanaman yang tumbuh, kondisi tanah dan lingkungan itu tidaklah mengalami kerusakan yang berarti. Pengambilan tanah liat dalam skala kecil dan terbatas, turut menjamin dan menjaga keseimbangan ekosistem. Kategori linguistik berupa nomina dengan makna referensial eksternal yang ada di sekitarnya berupa entitas-entitas tanah yang menggambarkan pengetahuan guyub tutur itu, diikuti pula dengan leksikon-leksikon dengan makna referensial eksternal yang menggambarkan produk budaya itu, diperkaya pula dengan khazanah leksikon verba konstatatif dalam mengolah tanah liat khususnya sebagai praktik budaya. Berikut uraian tentang khazanah leksikon gerabah dalam guyub tutur bahasa Lio.

4.2 Kategori Leksikon Kegerabahan Guyub Tutur Lio

Secara ekolinguistik khazanah leksikon memang merepresentasikan kekayaan budaya, khususnya budaya material hasil pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya tanah liat. Berdasarkan kategori ekoleksikal, berikut dirincikan tiga kategori leksikal kegerabahan yakni: (1) khazanah leksikon kategori nomina awal; (2) khazanah lekaikon kelas adjektiva, (3) khazanah leksikon kelas verba, dan leksikon kelas nomina olahan. Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan leksikon kategori nomina awal adalah nomina-nomina yang menjadi nama entitas tanah yang secara ekologis termasuk abiotic dan secara ekosemantik tergolong tak bernyawa. Pengenalan, pengetahuan, dan tentunya pengalaman berinterelasi, bahkan berinterdependensi dengan entitas tanah, pemahaman dan penyifatan atas karakter tanah mendasari penamaan yang berkategori adjektiva. Selanjutnya, pengetahuan dan pengalaman atas karakteristik liat yang diolah secara tradisional dan turun temurun itu diberi nama atau


(25)

dikodekan pula secara lingual-verba, yang tergolong verba kontatatif. Kelompok verba ini mengacu pada proses atau perbuatan, atau tindakan dan aktivitas perajin gerabah. Hasil proses verba kontatatatif itulah yang memunculkan nama-nama produk khusus gerabah dalam masyarakat Lio dan guyub tutur kegerabahan khususnya.

(1) Khazanah Nomina Entitas Awal Tanah Liat

Sejumlah leksikon nomina yang secara semantik referensial eksternal meerujuk langsung pada entitas-entitas yang kasat mata dan ada di lingkungan dapat disimak pada uraian singkat di bawah ini. Penyajian data dalam tabel dilengkapi pula dengan pemaparan dan pembahasan tentang bentukknya secara morfologis dan makna dan fungsi sosialnya.

1) Tana taki ‘tanah liat’.

Secara morfologis, leksikon tersebut dikonstruksi oleh dua leksem tana

‘tanah’ dan taki ‘liat’ sehingga menjadi bentuk majemuk. Secara ekoleksikal leksikon tana taki ‘tanah liat’ tergolong kelompok abiotic dan secara semantik tergolong tak bernyawa dan tak terhitung.

Tana taki ‘tana liat’ adalah sunber daya tanah yang menjadi bahan dasar untuk pembuatan aneka jenis dan ragam gerabah. Sumber daya tanah liat memang ditemukan di tempat atau lokasi-lokasi tertentu saja seperti di kedua kampong yang dijadikan lokasi penelitian ini yakni di Kampung Wolosoko dan Kampung Wolotolo Tengah. Di beberapa lokasi memang ditemukan juga seperti di sekitar kawasan Gunung Kelimutu, Akan tetapi, kerajinan rakyat ini hanya ditemukan di kedua kampung itu. Itupun hanya terbatas pada sejumlah perempuan lanjut usia.


(26)

2) Tana mtaki ite

Leksikon tana mite ‘tanahhitam’ secara morfologis tergolong kata majemuk. Secara ekologis tana mite ‘tanah hitam’ yang secara ekologis 2tergolong abiotic adalah jenis tanah yang juga digunakan dalam pembuatan aneka gerabah sebagai kerajian tradisional wanita perajin sejak dulu. Sebagai bentuk lingual yangs ecara morfologis tergolong kata majemuk itu, tana mite digunakan untuk pembuatan podo

‘periuk’, kawa ‘belanga’, pane ‘piring makan’, juga paso ‘tempayan air’. Kendatipun demikian, jenis tanah liat ini sesungguhnya krang diminati. Selain karena warnanya yang juga agak menghitam, tanah ini kurang baik dan agak sulit diolah atau dibentuk.

3) Tana Taki Kune ‘tanah liat kuning langsat’

Leksikon tana taki kune ‘tanah liat kuning langsat’ adalah salah satu jenis tana yang sangat baik mutunya untuk diolah menjadi gerabah. Di Wolotolo dan di Wolosoko, kedua jenis tanahlah yang digunakan untuk pembuatan aneka bentuk gerabah tradisional. Kandungan pasirnya pun tidak terlalu banyak. Selain itu, jikalau dicampur dengan tana taki mite ‘tanah liat hitam’ niscaya camuran itu doleh perempuan perajin dianggap lebih empuk.

(2) Leksikon Turunan Hasil Proses Pembuatan Gerabah

Sebelum datangnya peralatan rumah tangga yang dikenal sekarang ini, guyub tutur bahasa Lio telah memiliki peralatan rumah tangga asli dan tradisi seperti terlihat pada tabel di bawah ini.


(27)

Tabel 1. Leksikon-leksikon Turunan Hasil Olahan No Nama dalam

Bahasa Lio

Bahasa Indonesia Makna dan Fungsi

Keterangan 1. Podo

Podo lo’o, Podo ria,

dan Podo mbama

Periuk

Peiuk kecil dan periuk besar, dan periuk ritua

Alat memasak nasi

Podo mbama adalah periuk ukuran besar yang digunakan dalam ritual mbama

2. Kawa

Kawa lo’o

Kawa ria

Belangabesar Belanga kecil Belanga

Alat untuk memasak sayur-lauk

Dipakai untuk ritual mbama dan ritual lainnya

3. Pane

Pane ha’i boko

Pane ha’I bewa

Piring tanah Piring berkaki pendek

Pring berkaki tinggi seperti piala

Tempat nasi saat Pati Ka

Ritual

pengehormatan kepada leluhur dan Penguasa Alam

4. Pane ae Cangkir asli Tempat minum 5. Paso Tempat air Tempat air

khusus saat ritual

Sumber: Toni-Mbelo-Antonia Daba (70 th) : Gerabah

Secara morfologis bentuk-bentuk leksikon di atas ada yang tergolong bentuk dasar seperti: podo, kawa, pane, dan paso dan ada pula bentuk turinan yakni bentuk majemuk: podo

lo’o ‘periuk kecil’, podo ria ‘periku besar’, podo mbama ‘periuk mbama’, kawa lo’o ‘belanga

kecil’, kawa ria ‘belanga besar’, pane ha’i bewa ‘piring berkaki tinggi’, dan pane ha’i boko

‘piring berkaki pendek’, serta pane ha’i bewa ‘piring berkaki tinggi’. Secara semantik dan ekoleksikal, entitas-entitas tersebut tergolong tak bernyawa dan abiotic.

Seperti tampak pada tabel di atas, peralatan rumah tangga khususnya dapur, guyub tutur bahasa Lio mengenal leksikon-leksikon podo ‘periuk’, podo lo’o‘periuk kecil, podo ria ‘periuk


(28)

‘piring’, pane ha’i boko ‘piring berkaki pendek’, pane ha’i bewa ‘piring berkaki panjang, dan

paso ‘tempat air’. Peralatan dapur dan makan itu dibuat dari tanah liat seperti diuraikan di atas. Guyub tutur bahasa Lio hingga setakat ini masih menggunakan peralatan tersebut. Tatkala melakukan ritual Pati Ka yakni memberikan makanan khas yang terdiri atas nasi asli, lauknya daging (babi, ayam, atau kerbau), juga minuman berupa air putih dan arak asli, tempat yang dijadikan wadah nasi, lauk, dan air minum itu haruslah menggunakan pane ha’i bewa ukuran besar dan pane ha’i bewa ukuran lebih kecil masing-masing untuk nasi dan lauk. Sudah menjadi norma bahwa dalam melakukan ritual Pati Ka, masyarakat asli Etnik Lio harus memanfaatkan bahan makanan lokal yakni beras asli dari hasil ladangnya, demikian juga seharusnyalah daging dari hasil peliharaannya, di sisi sirih pinang bagi leluhur wanita dan rokok asli (tembakau asli dengan daun lontar atau kulit buah jagung kering). Selain itu arak asli hasil irikan dari enau dijadikan minuman wajib yang harus ditaruh dalam tempurung kecil. Piring, gelas, dari keramik atau lainnya tidaklah diperkenankan.

Dinamika kebudayaan material khususnya telah mengubah pula khazanah bahasa dan tentunya khazanah material yang dikodekan dalam bahasa Indonesia. Selain podo ‘periuk’, kawa ‘belanga’, pane ‘piring asli’ dan paso ‘tempat air’ , masyarakat bahasa Lio sudah mulai menggunakan panci, piring, dan gelas. Bahkan untuk menghidangkan makanan saat Pati Ka, di antara mereka sudah pula menggunakan peralatan makana mutakhir itu, tidak lagi alat-alat yang asli. Tradisi penggunaan peralatan asli sudah mulai tergeser. Meskipun demikian, sebagian besar mulai menggunakan kembali.


(29)

4.3 Khazanah Verba Kegerabahan Guyub Tutur Bahasa Lio

Seperti diuraikan secara singkat di atas, interaksi dan interelasi warga guyub utur di lingkungan tertentu dengan sumber daya tertentu khususnya dengan tekstur tanah liat menjadikan tanah liat sebagai sumber daya. Sumber daya lingkungan itu diolah dengan kemampuan otak dan keterampilan tangan yang menghasilkan verba konstatatif dasar dan umum ju. Jadi, ju adalah bentuk dasar dan bersifat umum (generic) sebagai aktivitas kebudayaan yang tergolong kata kerja atau verba.

Kekayaan leksikon kegerabahan di bawah ini menggambarkan kekayaan sumber daya tanah liat, sekaligus pola budaya dalam guyub tutur bahasa Lio ketika tanah diolah sedemikian rupa. Melalui keterampilan, kelenturan, serta keluwesan jemari dan ketangkasan tangan mengolah tanah liat itulah yang mengubah tanah liat menjadi bahan-bahan baru yang diproduksi dalam periode tertentu pula. Bahkan bahan-bahan olahan itu bernilai budaya instrumental tersendiri.

Pengolahan berkaitan dengan proses dan atau tindakan sebagai bentuk aktivitas khusus untuk mengolah sesuatu, dalam hal inu mengolah tanah dalam beberapa tahapan kerja. Dengan demikian, muncullah kode-kode lingual yang menandai tindakan dan atau proses yang secara leksikon digolongkan sebagai kata kerja atau verbal. Di bawah ini dipaparkan data dan uraian serta pembahasannya.

Tabel 2. Khazanah Verba Kegerabahan Guyub Tutur Bahasa Lio No. Verba

Bahasa Lio

Verba Bahasa Indonesia

Elaborasi Proses Verba

Kategori Verba Generik dan Spesifik 1 Rero /rero/

atau gale poke /e/

Menyerok Membuang

kerikil/batu kecil yang ada di dalam

gumpalan tanah liat


(30)

2 Gale poke Menyeleksi Menyaring secara khusus dengaan jari tangan

Spesifik

3 Gale Memilah dan memilih

Memisahkan dan memilih

Generik 4 Poke Membuang Membuang kerikil

kecil atau bahan lain

Generik 5 Koe (tana) Menggali Mengangkat tanah

dari dalam untuk digunakan

Generik

6 Wari (tana) Menjemur Menjemur di tempat yang teduh terlebih dahulu

Generik

7 Dhe /e/ Merendam Proses mencampur tanah liat dengan air

Generik 8 Ru’bhu Didinginkan agar

suhunya pas

Membungkus tanah dengan kain setelah direndam

Generik

9 Dhu/ togi Menumbuk tanah diolah jadi halus

Melumatkan tanah liat hingga halus dan lembut

Spesifik

10 Ju /ju/ Pembuatan gerabah secara keseluruhan

Membuat periuk, belanga, dan paso belanga, pane, paso

Spesifik

11 Rewe/rəwe’/ Membentuknya dengan jemari

Istilah khusus untuk membentuk (dengan menekan tanah yg sudah halus) dalam proses pembuatan gerabah

Spesifik

12 Pese-reme /pəse rəme/

Istilah lebih khusus membentuk

13 Poru wiwi (gego)

Istilah khusus membentuk dengan menekan atau memijat tanah yang halus dengan bantuan daun nangka atau daun jita agar permukaan halus

Spesifik

14 Wetinggri /ə/ Mengukir Membentuk secara khusus sesuai matif

Spesifik 15 Foe Digaruk Menggaruk

permukaan dan pinggiran gerabah untuk meratakan


(31)

permukaan 16 Kuma Melicinkan

permukaan gerabah

Menghaluskan permukaan dengan menggunakan kima atau rumah siput dan watu moso /watu mosɔ/ (batu bulat halus)

Spesifik

17 Wari Menjemur Menjemur di panas matahari

Generik 18 Ngga

Mengangin-anginkan

Mengeringkannya di tempat yang teduh

Spesifik 19. Welu

/wəlu/

Memibiarkan kena angina

Membiarkan di tempat yang teduh selama beberapa hari

Generik

20 Sui Mengeringkan Mengeringkannya dengan panas dari asap api dapur

Generik

21 Bui Membakar Membakar gerabah dengan api berbahan khusus

Generik

22 Tu’a Pengujian Pengetesan mutu melalui memasak perdana hingga air mendidih dan meluap dengan menggunakan gerabah

(meluap pertanda gerabah tersebut layak dan bermutu

sempurna dan siap digunakan)

Spesifik

Secara morfologis leksikon-leksikon verba di atas tergolong bentuk dasar seperti: koe

‘menggali’ , gale ‘memilih’, wari ‘menjemur’ togi ‘menumbuk’, rubhu ‘membungkus dan

mendinginkannya’, dhe ‘merendam dengan air’, sui ‘mengeringkannya dengan asap api dapur’, bui ‘membakar hingga matang’, dan seterusnya. Di sisi itu gale poke ‘memilih dan


(32)

Pada kolom terakhir dalam tabel di atas disebutkan pula konsep verba-verba generic dan spesifik. Kategori verba generic dimaksudkan verba-verba yang digunakan dalam ranah pakai pada umumnya di luar aktivutas dan proses pembuatan gerabah. Verba wari ‘menjemur’ dan verba dhe ‘merendam’ tergolong verba-verba generic karena dapat saja digunakan pada ranah pakai lainnya. Akan tetapi yang dikategorikan sebagai verba-verba spesifik seperti togi

‘menumbuk’, rewe ‘meremas dan membentuk’, weti nggeri ‘mengukir’, kuma ‘menghalsukan

permukaan dengan kima dan batu halus’, tu’a ‘mengetes mutu gerabah agar siap pakai’

tergolong verba-verba yang sangat spesifik. Verba-verba itulah yang secara sangat khusus hanya digunakan dalam peroses pembuatan gerabah, tidak ditemukan penggunaannya dalam ranah-ranah pakai lainnya.

Seperti tampak pada tabel di atas, ada 22 verba kegerabahan yang tergolong verba konstatatif dalam tindakan atau proses pembuatan gerabah atau kerajinan keramik dalam guyub tutur bahasa Lio. Kekayaan verba konstatatif itu menggambarkan proses budaya gerabah dan merupakan teknik tradisional. Tata urutnya yang menggambarkan prosedur pembuatannya sejak awal hingga akhir dapat disimak di bawah ini.


(33)

Koe

Rero

Gale ngilo

Gale poke

Poke

Wari

Dhe

Rubhu

Dhu-Togi

Ju

Rewe

Pese-reme

Poru-wiwi

Wetinggeri

Foe

Kuma

Ngga

Wari

Welu

Sui

Bui


(34)

Seperti tertera pada tabel dan paparan di atas, verba koe ‘menggali’ merupakan tahapan pekerjaan yang paling awal sebelum pengolahan gerabah yakni penyediaan bahan dasar yakni tanah liat yang diperoleh melalui kegiatan koe. Secara semantik verba koe

‘menggali’ bersifat generic karena berlaku untuk menggali apa saja, dalam kegiatan

melubangi tanah. Pengetahuan tentang jenis dan lokasi tanah liat yang kemudian dijunjung oleh kaum perempuan perajin gerabah. Pekerjaan ini hanya dilakuakn oleh perempuan perajin gerabah. Pengetahuan tentang jenis tanah dengan sifat tanah yang liat dan lentur di lokasi tertentu membuka dan memeprkaya pengatehuan dan pengaaman yang secara akumulatif menandai kedekatan interelasi perajin gerabah dengan unsur abiotok ini.

Tabel 3. Jenis, Sifat Tanah Liat, dan Peralatan Pengelolaan Gerabah No Leksikon nomina

dalam bahasa Lio

Bahasa Indonesia Tekstur dan Warna

Mutu Tanah Liat 1 Tana taki Tanah liat

Tana taki bara Tanah liat putih Tana taki mite Tanah liat hitam Tana paba Tanah coklat

kemerahan bertekstur lembut, mudah pecah

Tana bita Lumpur 2 Ae Air 3 Watu Batu

Watu wa Batu Batu ceper, permukaan rata, dan lebar

4 Alu Alu Biasanya sejenis bambu/aur 5 Podo /pɔdɔ/ Periuk

Podo ria Periuk besar Biasanya untuk memasak beras merah asli saat ritual adat besar

Podo lo’o Periuk kecil Biasanya untuk memasak saat ritual adat khusus


(35)

6 Kawa Belanga Untuk masak sayur

7 Pane /e/ Piring dari tanah liat

Podo sarangara Sejenis periuk berukuran sedang

Untuk memasak dalam porsi sedang 8 Lara Siput Untuk

melicinkan permukaan gerabah 10 Kima Siput Untuk

melicinkan permukaan gerabah 11 Watu moso Batu bulat sedah,

agak pipih

Digunakan untuk 12 Wasa Kayu pipih

Kaju oja Kayu pohon oja Jenis kayu yang digunakan untuk membuat wasa dan kondisinya kering

13 Kaju mage /e/ Kayu dari pohon asam

Jenis kayu yang digunakan untuk membuat wasa dan kondisinya kering

14 Dabu Pelepah kelapa Untuk bahan pembakaran gerabah 15 Sumbu Daun kelapa

yang kering

Untuk bahan pembakaran gerabah 16 Ki Alang-alang Untuk bahan

pembakaran gerabah 17 peri /ə/ Bamboo Bahan

pembakaran 18 Aufuro Sejenis bamboo Bahan

pembakaran Tabel 4. Adjektiva Flora Guyub Tutur Lio No Adjektiva bahasa

Lio

Bahasa Indonesia Kategori Semantik


(36)

1 Mite Hitam Istilah umum 2 Bara Putih Istilah umum 3 Lo’o Kecil Istilah umum 4 Ria Besar Istilah umum 5 Taki Liat Istilah umum 6 Amo Licin (halus

permukaan)

Istilah umum 7 Tu’a Keras Istilah umum 8 Tu’a Keras karena

dijemur dan dibakar

Produk yang sudah siap digunakan 9 Keku /ə/ Lembut Istilah umum

Tabel 5. Numeralia Flora dan Fauna Guyub Tutur Bahasa Lio No. Numeralia

bahasa Lio

Numeralia bahasa Indonesia

Makna dan Fungsi Ekleksikal

Keternagan

1 Sa Satu

2 Sabu’a Sebongkah tanah 3 Sapodo Satu periuk

4 Sapane Satu piring tanah liat

5 Sakawa Satu periuk 6 Sapaso Satu paso


(37)

BAB V

KHAZANAH LEKSIKON FLORA KEPANGANAN PADA GUYUB TUTUR BAHASA LIO

5.1 Bahasa Lio sebagai Representasi Realitas Lingkungan Alam.

Meskipun tidaklah lengkap apalagi secara keseluruhan, bahasa Lio khususnya kekayaan kata yang dimilikinya merekam realitas khususnya realitas yang kasat mata atau pertampakannya dapat disimak dengan mata oleh guyub tutur. Realitas yang dimaksudkan itu bersfat alami di jagad raya, alam semesta, atau makrokosmos. Leksiikon-leksikon uluela

‘cakrawala’, lirubewa ‘langit’, mesi ‘laut’, tanawatu ‘lingkungan ragawi dengan segala isinya’ dan sebagainya adalah realitas alam yang disadari dan dialami oleh manusia dengan mata sebagai alat pengelihatan. Demikian juga keli wolo ‘gunung bukit’, birifila’ jurang’, deturia

‘dataran luas’, leja ‘matahari’, wula ‘bulan’, dala ‘bintang’, nipamoa ‘pelangi’, adalah benda-benda di alam raya yang dikenal manusia dan diberi nama pada setiap bahasa, termasuk bahasa Lio. Lebih khusus lagi sejumlah tumbuhan dan tanaman yang ada di sekitar manusia, di antaranya dikenal baik dan bahkan sangat diakrabi oleh manusia.

Selain berinterelasi, berinteraksi, dan berinterdependensi dengan tanah, elemen dan entitas abiotic tempat setiap warrga guyub tutur berpijak dan berdiri dalam arti harafia, aneka tumbuhan yang ada di lingungan manapun, termasuk pada lingkungan guyub tutur bahasa Lio, merepresntasikan semuanya itu. Aneka tumbuhan yang memang dikenal dan dimanfaatkan ditemukan dalam wadah khazanah leksikon juga ditemukan cukup banyak. Kendati tidak semua dipaparkan, khazanah leksikon tumbuhan di bawah ini mengonformasikan inetrelasi guyub tutur bahasa Lio dengan lingkungan.


(38)

Dalam kenyataan, sesungguhnya sangat banyak tanaman yang ada dan hidup di sekiatr guyub tutur bahasa Lio, Flores. Sebagai kawasan yang dikitari oleh gugung-gunung dan bukitt-bukit yang cukup terjal ruang hidup tumbuhan dan tanaman cukup banyak. Sudah tentu hanyalah tumbuhan yang berada di lingkunga hidup guyub tutur saja, dan yang bermanfaat bagi manusia pula, sejumlah tumbuhan dan tanaman diberi nama dalam baahsa Lio. Sejumlah tanaman pangan khususnya bahkan dirinci secara taksonomis dan meronimis pula.

5.2 Khazanah Leksikon Tumbuhan dan Tanaman pada Guyub Tutur Bahasa Lio

Guyub tutur bahasa Lio memiliki kekayaan kosa kata lingkungan tumbuhan dan tanaman. Secara semantik referensial eksternal kosa kata yang dimaksudkan itu merujuk pada sejumlah entitas yang dikategorikan sebagai tumbuh-tumbuhan yakni keberagaman tumbuhan dan pepohonan dari pelbagai jenis yang ada di lingkungannya. Di antara tumbuh-tumbuhan itu, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman generasi terdahulu diwariskan secara leksikal sebagai pengetahuan dan diturunkan sebagai praktik budaya perladangan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman, dan teknik tradisional dalam membudidayakan aneka jenis tumbuhan tertentu sehingga menjadi kelompok tanama. Kelompok tanaman itulah, yang memang karena ditanam, dirawat, dipanen, disiapkan bibitnya, entah biji, entah, batang, entah akarnya, dalam siklus hidup tahunan tertentu tanaman itu menjadi tanaman budaya. Di bawah ini ditabulasikan nama jenis-jenis tumbuhan dan tanaman dalam bahasa Lio, makna, dan fungsinya.

Tabel 6. Khazanah Nomina Tumbuhan dan Tanaman Guyub Tutur Lio No Nama Tumbuhan

dalam bahasa Lio

Bahas Indonesia dan Bahasa Latin

(ilmiah)

Fungsi dan Makna Umum

Fungsi dan Makna Sosial- Budaya 1 Utandutu Jamur pohon Lauk

2 Busuperi Rebung Sayur di musim hujan


(39)

3 Mbaka nipo Jenis rerumputan yang tumbuh di ladang

Sayur-sayuran 3 Lelu /ə/ Paku, pakis kali Sayur lalapan 4 Lada Selada Sayur-sayuran 5 Nggako Kangkung Sayur-sayuran 6 Ndora Ketela rambat Makanan pokok 7 Ndora mera Ketela rambat

merah

Makanan pokok 8 Ndora bara Ketela rambat

putih

Makanan pokok 9 Ndora kuni/telo Ketela rambat

kuning

Makanan pokok 10 Utaba’i Papaya Daunanya yang

dijadikan sayur dan penyembuh malaria

11 Wunu uwi kaju Daun ubi kayu Sayur-sayuran 12 Besi /e/ Labu (warna

kuning)

Sayur-sayuran Sayuran ritual pascapanen (Mbama) 13 Timu Mentimun Sayuran

14 Kea Labu bulat yang dagingnya putih (warna abu)

Sayur Sayuran ritual pascapanen (Mbama) 15 Mberi, toro Terung Sayur

16 Boti Bayam Sayur 17 Pusu muku Jantung pisang Sayur

18 Bue Kacang (daun) Sayur umum Sayur khusus untuk ritual Remba, Pesa Uta di daerah Lise 19 Leba /e/ Pare Sayur

20 Besi tua labu siam Sayur 21 ki’i Jenis jamur Sayur 22 Fako Cendawan Sayur 23 Bue Nggoli Jenis kacang

merah

Mkanan pokok yang dicampur nasi

24 Bue mite Kacang hitam Makanan pokok yang dicampur dengan nasi

25 Bue bewa Kacang panjang Sayur Sayur khusus dalam ritual Pesa


(40)

Uta 26 Bue brenebon Kacang brenebon

(pinjaman)

Sayuran dan bahan campuran dengan nasi 27 Bue mera Kacang merah Bahan makanan

pokok campuran dengan nasi

28 Nggo’dho Kedelai Makanan Bahan dasar temped an tahu 29 Bue tana Kacang tanah Bahan pembuat

kue kacang 30 Ke’o/mbape,

pega

Sejenis sorgum Bahan makanan pokok

BAhan ritual pendirian rumah 31 Dowe Sejenis

kacang-kacangan

Sayur (daun dan biji)

Sayur wajib dalam ritual Pesa Uta

32 Fesa Sejenis kacang yang batangnya menjalar di pohon

Sayur

33 Wete /wəte/ Jewawut Sejenis makanan pokok

BAhan pokok ritual-ritual perladangan 34 Lloo Sorgum Makanan pokok

35 Doba Wijen hitam Bahan bumbu Bahan sambal utama ritual Pesa Uta

36 Lenga Wijen putih Bahan bumbu Bahan bumbu wajib ritual Pesa Uta

37 Ura Sejenis biji-bijian perdu

Makanan pokok dan sayuran 38 Fako Cendawan Lauk-pauk 39 Fako manu Sej. Cendawan Lauk pauk 40 Fako relo /e/ Cendawan tanah

yang tumbuhnya menyebar

Sayura

41 Fako kena /e/ Cendawan berukuran besar dan membulat

Lauk-pauki

42 Worumoke Jamur di pohon aren

Sayur 43 Ndoro muku Jamur dalam

pohon pisang


(41)

44 Kinga te’u Jamur kuping hitam

Sayur

45 Uwi Ubi Makanan pokok Makanan wajib dalam ritual perladangan 46 Uwi manu Sej. Ubi merah Makanan pokok Bahan ritual Pesa

Uta 47 Uwi nio Jenis ubu

berbentuk buah kelapa

Makanan pokok Bahan ritual pesa uta

48 Uwi lea Sej. Ubi berbentuk jahe

Makanan pokok 49 Uwi monda Sej. Umbi Makanan pokok 50 Uwi sepi /ə/ Bentuk seperti

siisir pisang 51 Uwi roar Warnanya ungu 52 Lolo telo leko /ə/ Sorgum Warnanya hitam

da nada bagian yang seperti telur katak

53 Lolo pega tea Sej. Sorgum Makanan pokok 54 Lolo nggela Sorgum merah Makanan pokok 55 Lolo poe Sorgum yang

mudah lepas dari tangkai

Makanan pokok

56 Lolo mite Sorgum hitam Makanan pokok

57 Pare kea Sej. padi lokal Makanan pokok Makanan pokok ritual; Pati Ka 58 Pare nggondo Sej. padi lokal Makanan pokok Idem

59 Pare sera Sej. padi lokal Makanan pokok Idem 60 Pare ndale Sej. padi lokal Makanan pokok Idem 61 Pare eko Sej. padi lokal Makanan pokok Idem 62 Pare maru Sej. padi lokal Makanan pokok Ditanam di

terasering terbawah (pu’u uma)

63 Pare laka Sej. padi lokal Makanan pokok 64 Pare gatarede Sej. padi lokal Makanan pokok


(42)

Sebagaimana dipaparkan dalam tabel di atas, khazanah leksikon berkategori nomina tumbuhan dan tanaman pangan dalam guyub tutur Lio cukup banyak. Sudah tentu masih cukup banyak yang tidak diidentifikasi dan dilabeli secara khusus dalam bahasa Lio. Sebelum pemaknaannya secara ekolinguistik, identifikasi secara morfologis diuraikan pula secara singkat dan sederhana. Bentuk-bentuk leksikon nomina tumbuh-tumbuhan dan tanaman dalam bahasa Lio memang mencerminkan struktur kata dasar dan turunan sesuai dengan tata bunyi dan tata pembentukan kata bahasa Lio yang sederhana. Sebagaimana diperikan oleh Mbete (1972; 2007), bahasa Lio mmeiliki struktur morfem dan kata yang sederhana berpola V, KV, V+KV, KV+V, KV+KV, KV+KV+KV, dan KV+KV+KV+KV. Pola V misalnya kata e ’menuduh,

mengharap’. KV seperti Ka ‘makan’, V+KV misalnya aku ‘aku’, KV+V misalnya ‘miu’,

KV+KV misalnya poru ‘mengusap’, KV+KV+KV misalnya rubunu ‘kabut; KV+KV+KV+KV

misalnya gerugiwa ‘cecak’. Perlu diutarakan bahwa bahasa Lio seperti halnya bahasa Ngadha

dan Manggarai tergolong bahasa vokalis sebagai hasil proses apakope masa lalu. Pola persukuan terbuka V, KVKVKVKV tergolong sedikit jumlahnya.

Pola morfologis leksksikon-leksikon tumbuhan dan anaman dalam bahasa Lio terdiri atas bentuk dasar dan bentuk turunan. Bentuk dasar leksikon nomina tumbuhan bahasa Lio

berpola bentuk dasar adalah: uta ‘sayur’, bue ‘kacang’, fako ‘cendawan, uwi ‘ubi’, lolo ‘sorgum’, pare ‘padi’, nggako ‘kangkung’ lelu ‘pakis’ dan sebagainya. Selanjutnya, seperti yang ditemukan dalam data di atas, sejumlah leksikon tubuhan dan tanaman dalam bahasa Lio tergolong bentuk majemuk. Sejumlah contoh misalnya: uta ndutu ‘jamur’, wora moke ‘jamur

dari pohon enau’, bue tana ‘kacang tanah’ lolo telo leko ‘sejenis sorgum’, pare maru ‘sejenis padi gogo’, dan seterusnya.


(43)

Perlu diuraikan pula bahwa dalam kajian ini dibedakan antara tumbuh-tumbuhan dan tanaman. Tumbuh-tumbuhan dalam kajian ekoleksikal ini mencakupi semua tumbuhan dari perlbagai jenis, baik yang dibudidayakan maupun yang tidak dibudidayakan namun bermanfaat bagi manusia. Lelu ‘pakis’ adalah tanaman di bantaran dungai yang tidak pernah dibudidayakan. Para warga guyub tutur bahasa Lio hanya memetiknya kapan saja sesuai kebutuhan sayur-sayuran. Demikian pula busuperi ‘rebung’ kendati ada bamboo yang ditanam juga, namun pada umumnya busuperi ‘rebung’ tidaklah dibudidayakan. Di sisi lain, tanaman adalah tumbuhan yang memang ditanam dalam arti dibudidayakan secara tradisional, khususnya tanaman pangan. Tanaman budaya dengan posisi tertinggi adalah pare ‘padi’ khususnya padi asli atau padi gogo. Secara khusus dalam telaah ini hanya tumbuhan dan tanaman yang dijadikan bahan makanan tradisional sedangkan tumbuh-tumbuhan dan tanaman lainnya tidak diinventarisasi dan diidentifikasikan secara verbal berupa leksikon-leksikon.

Dalam konteks ekologi dan guyub tutur bahasa Lio, tumbuh-tumbuhan dan tanaman yang dikodekan secara lingual berupa leksikon-leksikon nomina itu menggambarkan keberagaman variaetas tumbuhan pangan. Fungsi dasar sebagai makanan dalam arti luas dan umum, sejumlah jenis tumbuhan serta tanaman memang pada umumnya bermanfaat bagi manusia. Meskipun tidaklah semua leksikon nomina tumbuhan dan tanaman ditabulasikan, dalam kajian ini hanyalah beberapa tanaman yang dibedah dan didalami makna dan fungsinya, khususnya kategori tanaman-tanaman pangan dan minuman yang menjadi bagian kebudayaan pangan sejak generasi terdahulu. Secara singkat tanaman pangan dan minuman yang didalami kebermaknaan dan keberfungsiannya diuraikan di bawah ini.


(44)

1) Leksikon Pare ‘padi’

Pare ‘padi’ dalam kerangka kajian ini lebih difokuskan pada pare ‘padi’ asli yang diwariskan dari budaya padi oleh para leluhur penutur bahasa Auastronesia purba dengan bentuk asalinya (etymon) *pajey (Dempowollf, 1934-1938). Banyaknya varietas pare ‘padi’ (lihat Mbete, 2007) menunjukkan bahwa mitos padi yang cukup terkenal di Flores Tengah hingga Timur (lihat Sarengbao, 1992), memperkuat mitos kea rah fakta lingual-kultural yang menarik dan menantang untuk dikaji lebih mendalam dan lebih interdisipliner atas fenomena pare.

Secara biologis dan rangkaian budidaya padi lokal asli sebagai tanaman, pare memang ditanam dan ditempatkan sebagai tanaman utama dan sangat sentral. Pola perladangan guyub tutur Lio selalu menyiapkan lahan subur, sepanjang musim hujan berlangsung secara tepat dan teratur, pare ‘padi’ memang sangat dilindungi. Penanaman jawa ‘jagung’ pada awal musim tanam, selai untuk dipanen terlebih dahulu dalam rangkaian ritual pesa uta, jawa ‘jagung’ pun berfungsi melindingi pare. Selain itu, lolo

‘sorgum’ yang ditanam bersama-sama dengan wini pare ‘benih padi’, justru untuk melindungi gangguan hama burung-burung. Tidaklah hanya jawa ‘jagung’ dan lolo

‘sorgum’ sebagai pelindung dan predator. ‘Wete ‘jewawut’, lenga dan doba ‘wijen’ adalah benteng pelindung yang mengelilingi uma ‘ladang’ padi. Jikalau jawa ‘jagung’ dan lolo ‘sorgum’ hidup, melindungi, dan berposisi di antara tanaman utama pare ‘padi’, berjarak sekitar dua-tiga meter, wete ‘jewawut, lenga, dan doba ‘wijen’ justru membentengi di sekelilingnya.

Pola makan atau budaya makan guyub tutur Lio yang boleh dianggap asli juga berkorespondensi dengan pola perladanganm dengan tetap menempatkan are ‘nasi’


(45)

sebagai pusat dan puncak kenikmatan. Di beberapa subkultur seperti di pedalaman Moni dan Nuamuri misalnya, pola makan warga lokal sangat beragam. Bermula dari ubi kayu, umbi-umbian, pisang, dan atau jagung dengan olahan tradisional, makan pagi, siang, atau malam sebagai kerutinan ditutup dengan nasi dan lauk pauk serta sayur-sayuran. Secara sosiologis, menyuguhkan are ‘nasi’, kepada tamu dan pejabat, terlebih lagi nasi asli, adalah penghormatan kepada tamu dan kehormatan penerima tamu atau tuan rumah dengan nilai tertinggi, kendati sikap sahaja dan rendah hati tamu disapa ka uwi kaju

‘makan ubi kayu’. Ini adalah nilai kearifan tradisi guyub tutur bahasa Lio yang patut

dipertahankan.

Daya cipta generasi terdahulu mengolah beras menjadi nasi dalam kemasan yng beragam juga menjadi petanda dan penanda betapa sentral dan pentingnya pare, ‘padi’ dan are ‘beras atau nasi’. Tidalah hanya tampilan nasi merah atau nasi putih asli saja, terutama jiga nasi asli itu dipersembahklan kepada para leluhur dan Sang Pencipta kala Pati Ka. Guyub tutur dan guyub kultur kuliner lokal Lio memiliki beberapa kemasan nasi, juga dengan memanfaatkan sejumlah daun tumbuh-tmbuhan yang ada di sekitarnya. Keberagaman kemasan yang dikenal dengan are gau ‘nasi kemasan khas’ yang disebut dengan are gau wunu nio ‘nasi bungkus janur kelapa’, are gau wunu fendo

‘nasi berbunghkus daun fendndo’, are gau wunu bake ‘nasi berbungkus daun bake’, are gau wunu kore ‘nasi berbungkus daun pakis’, are gau wunu peri ‘nasi berbungkus daun

bambu’ dan setakat ini are gau wunu kakao ‘nasi berbungkus daun kakao’, menegaskan sentral dan kuatnya budaya padi dalam guyub tutur bahasa Lio. Kemasan kreatif kuliner lokal berbasis pare ‘padi’ atau are ‘bera‘ itulah yang menjadi sajian prestisius dalam masayakat lokal tatkala menerima tamu dan pejabat pemerintah mauun para pemimpin


(46)

agama. Suguhan khas yang berbahandasarkan pare ‘padi’ adalah kuliner asli yang disebut kibi atau hibi. Kibi ‘semacam emping beras yang memang diolah secara khusus’, adalah makanan khusus dalam pelbagai ritual dan seremoni adat.

Daya cipta mengolah sumber daya pare ‘padi’ lalu ditumbuk menjadi are ‘beras’

sebelum berwujud are ‘nasi’ yang siap disantap, tidak sebatas berbungkus dedaunan khusus yang dipaparkan di atas. Berbasiskan pare ‘padi’ yang ditumbuk lalu menjadi are

‘beras’, juga dikemas dalam campuran dengan jagung sehingga menjadi are-jawa ‘nasi

jagung’ dan are bue ‘nasi kacang’. Semua jenis kacang dapat dipadumasakkan dengan are’beras’. Akan tetapi, tidak ditemukan campuran are ‘beras’ dengan lolo ‘sorgum’.

Kendati lolo ‘sorgum’ dapat saja dipadumasakkan dengan semua jenis kacang. Bagi

guyub tutur dan guyub kultur kuliner lokal Lio, nasi campur jagung dan kacang

memberikan kelesatan dan kenikmatan “lidah” yang khas dan berkesan tersendiri. Adanya rangkaian ritual khusus pada tahapan penanaman hingga pesta panen padi atau mi are adalah petanda dan penanda betapa kedudukan pare ‘padi’, tidaklah hanya demi memenuhi kebutuhan biologis padidan manusia, dalam hal ini warga guyub tutur bahasa Lio. Sebagao makan pokok dengan kandungan karbohidrat tertinggi bagi kebutuhan bilogis manusia, ritual sejak tedo ‘menanam’, saat ritual remba ‘panen

perdana jagung dan daun kacang panjang’, hingga keti ‘panen’ dan terakhir mi are

‘menyuguhkan nasi baru bagi leluhur dan sesama’, semuanya itu merepresntasikan sentralnya pare ‘padi’ sebagai tanaman budaya dan kebudayaan yang sarat makna dan

kaya nilai adicita (ideology).

Bagi guyub tutur dan guyub kultur Lio, tanaman pare ‘padi asli’ memiliki mitos tersendiri sebagai sastra suci yang hingga kini masih dipelihara dengan sangat baik.


(1)

adalah busana penciri status jender. Jikalau pada masa lalu, ragi hanya dipakai oleh kaum

laki-laki saja, yang tentu menjadi pencccccciri jender sebagai laki-laki-laki-laki, kini ragi sudah digunakan juga oleh kaum perempuan. Sebaliknya juga jikalau dulu, lawo ‘sarung perempuan; hanya dikenakan oleh kaum perempuan, kini sudah disandang juga oleh kaum laki-laki.

Peruabahan lain yang nyata secara ekolinguistik adalah menghialngnya nama-nama

peralatan gerabah dan sebagian tenun ikat dalam bahasa Lio. Wasa sebagai alat pembuatan

gerabah sudah tidak diberi nama lagi oelh perajin gerabah. Demikian juga hilangnya varietas

padi lokal dengan kedudukan dan fungsi sosialnya, misalnya pare maru dan sejumlah varietas

lannya juga menjadi ancaman leksikon-leksikon dan elemen-elemen budaya pangan lainnya.

Penyempitan lahan untuk padi gogo atau padi asli yang sarat makna dan nilai budaya itu,

menjadi fakor dominan yang menggoyahkan keberadaan pare ‘padi’ asli. Demikian juga

tergusurnya nggoli ‘sej. kacang merah’ dan lolo ‘sorgum’ dari blantika kuliner lokal, telah

mendasari perubahan dan menggoyahkan ketahanan leksikon-leksikon budaya dan tanaman


(2)

BAB X

PENUTUP

10.1 Simpulan

Berdasarkan data, fakta, dan kajian atas masalah-masalah di atas berikut dipaparkan pula

simpulan penelitian ini.

1. Bahasa Lio memiliki khazanah leksikon yang secara kategori kelinguiskan mencakupi

nomina, adjektiva, dan verba, termasuk nomina “turunan” sebagai proses kultural

mengelola sumber daya alam, baik sumber daya tanah liat dalam konteks gerabah,

maupnn di bidang pengetahuan tentang tumbuhan dan tanaman, binatang dan hewan

budaya, tenun ikat, dan juga dunia kebaharian guyub tutur bahasa Lio. Kekayaan

leksikon itu menandai keberagaman lingkungan alam, budaya, dan bahasa Lio secar

terpadu.

2. Ada dinamika pengetahuan dan pemahaman guyub tur terhadap khazanah leksikon alam

dan budaya dalam sejumlah aspeknya. Sebagian besar penutur muda memang tidak

mengetahui lagi makna dan acuan sejumlah leksikon dan entitas nyata di lingkungan

hidup mereka.

3. Sejumlah factor memang mendasai perubahan itu. Perubahan lingkungan ragawi yang

mengusik tatanag ragawi asli dengan aneka bito dan abiota yang merupakan bagian dari

budaya material mereka, perubahan lingkungan ragawi dan pola piker erta pola

kebudayaan juga menjadi faktir yang memengaruhi perubahan pengetahuan generasi

tutur muda tentang kekayaan bahasa, budaya, dan lingkungan hidup kebahasaan dan

keanekaragaman hayati yang dikodekan secara verbal-lingual.


(3)

1. Penelitian lanjutan dengan pendekatan ekoleksikal yang lebih kritis dan menyeluruh sangat

penting dlakukan.

2. Pendokumentasi kahazanah leksikon secara lebih renik dan lengkap, berkaitan dengan

aspek-aspek budaya yang berbasis lingkungan alamiah dan kultuarl sangat penting

mengingat perubahan budaya dan lingkungan yang sangat cepat.

3. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk menggali kekayaan lokal yang terekan dalam

khazanah leksikon, ungkapan-ungkapan, dan teks-tes=ks tentang lingkungan.

4. Kebijakan bahasa secara nasiona yang berpihak pada hak-hak hidup bahasa-bahasa lokal

merupakan keniscayaan dan keutaman agar ancaman kematian bahasa-bahasa lokal dapat

dicegah,

5. Perlu ditumbuhkannya kesadaran, tanggungjawab, dan melek lingkungan (ecoliteracy)

yang ditunjang secara kelembagaan dalam wadah terralingua (pembela hak hidup bahasa

lokal), serta cinta terhadap bahasa, budaya, lingkungan yangasali dan alami demi

kebertahanan bahasa, budaya, dan lingkunga secara terpadu dan menyeluruh.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adisaputera, Abdurahman. 2010. “Ancaman terhadap Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat:

Studi pada Komunitas Remaja di Stabat Kabupaten Langkat” (disertasi). Denpasar:

Universitas Udayana.

Bang, Jørgen Chr. and Jørgen Døør. 1993. “Eco-Linguistiks: A Framework.” (serial online).

Diakses 22 Desember 2012.Lewat situs:

URL:http:www.jcbang.dk/main/ecolinguistiks/Ecoling_AFramework1993.pdf.

Baru, Yosefin. 2012. “Penurunan Tingkat Pemahaman Sosial Ekologis Generasi Muda Karoon: Suatu Kajian Ekolinguistik” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Bili, Lukas Dairo. 2007. Pembentukan Kabupaten Sumba Barat daya Suatu Proses Panjang. Jakarta: CV Tarsar Jaya.

Budasi, I Gede. 2007. “Relasi Kekerabatan Genetik Kuantitatif Isolek-isolek Sumba di NTT:

Sebuah Kajian Historis Komparatif” (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Bundasgaard, Jeppe & Sune Steffensen. 2000. “The Dialectics of Ecological Morphology or the

Morphology of Dialectics” dalam: Ana Vibeke Lindø & Jeppe Bundasgaard, editor.

2000. Dialectical Ecolinguistiks. Odense: University of Udense. Hal. 8--35.

Djawa, Alex. 2000. “Rekonstruksi Protobahasa Kambera-Loli-Kodi-Lamboya di Sumba,

Provinsi NTT” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Døør, Jørgen and Jørgen Chr. Bang (1996b). “Language, Ecology and Truth -Dialogue and

Dialectics” dalam: Bang, Jørgen Chr. and Jørgen Døør. 1998. Sprogteori IX. Odense:

ELI Research Group, Odense University. Hal 1--12.

Downes, William, 1984. ‘Knowledge of Words and Knowledge of World’ dalam William

Downess 1984. Language and Society. London: Fontana paperback.

Dwisusilo, Rachmad K 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press.

Fill, Alvin and Peter Mühlhaüsler (eds). 2001. The Ecolinguistiks Reader. Language, Ecology, and Environment. London and New York: Continuum.

Gibbons, Michael. T. (ed). 2002. Tafsir Politik Interpretasi Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontemporer (Ali Noer Zaman). Yogyakarta: Qalam.

Graddol, David 2011 (Ed.) Applied Linguistiks for the 21st Century. AILA Review 14.E-book.

Copies from http://www.english.co.uk.


(5)

Halliday, M.A.K 1978 ‘Language and Social Man, Language and Environment’ dalam Halliday, M.A.K Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold.

Halliday, M.A. K 2001 ‘Ecocritisism of the Language System’ dalam Fill and Peter Muhlhausler (eds) 2001. The Ecolinguistiks Reader. Language, Ecology, and Environment. London and New York: Continuum.

Haugen, Einar 1972. TheEcology of Language. Stanford, CA: Standford University Press. Lindo, Anna Vibeke & Jeppe Bundsgaard (eds), 2000. Dialectical Ecolinguistiks. Three Essays for The Symposium 30 Years of Language and Eolology in Graz December 2000. Odense: University of Odense. Research Group for Ecology, Language & Ideology Nurdin Institut. Keraf, Sony 2002. Et ika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Keraf, Sonny 2014. Filsafat Lingkungan Hidup. ALam sebagai Sebuah SIstem Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius.

Mbete, Aron Mbeko. 2002. “Ungkapan-ungkapan dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam

Melestarikan Lingkungan”. Linguistika. Volume 9: No 17, September 2002.

Mbete, Aron Meko 2008. ‘Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif’. Bahan Matrikulasi Program Magister dan Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana 2008.

Mbete, Aron Meko. 2013 Penuntun Ringkas Penulisan Proposal Penelitian Ekolinguistik. Denpasar: Diva

Mufwene, Salikoko S. 2004. The Ecology of Language Evolution. Cambridge: Cambridge Universiy Press.

Phillipson, Robert & Tove Skutnabb-Kangas 2001. “A Human Rights Perspective on Language Ecology” dalam Angela Creese, Peter Martin & Nancy Homberger (Eds.) in volume 9 Ecology of Language.

Preziosi, Donald 1984. ‘Relations between Environmental and Linguistik Structure’ dalam

Fawcett et. al (Eds) 1984. The Semiotics of Culture and Language. London: Frances Pinter

Putra, Anak Agung Putu. 2007. “Segmentasi Dialektikal Bahasa Sumba di Pulau Sumba:


(6)

Rasna, I Wayan. 2010. “Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian

Ekolinguistik”. Jurnal Bumi Lestari. Vol. 10: No. 2, Agustus 2010. 321--332.

Seksi Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik. 2011. Sumba Barat Daya dalam Angka 2011. Sumba Barat: Gita Sarana Electrindo.

Simpen, I Wayan. 2008. “Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba

Timur” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

Sudaryanto, 1988. Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukhrani, Dewi. “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar:

Kajian Ekolinguistik” (tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Swadesh, Morris dalam Sherzer, Joel (ed). 1972. The Origin and Diversification of Language. London: Routledge & Kegan Paul.

Tulalessy, Quin Donspri. 2012. “Pengetahuan Khazanah Leksikon Kesaguan Bahasa Suabo

Masyarakat Inanwatan: Kajian Ekolinguistik” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Tove Skutnabb-Kangas. 2012. “Konferensi Linguistik”. Kompas, 27 Juni

Verhaar, J. W. M. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.