Peramalan Kasus Hiv Di Kota Medan Tahun 2012-2016

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV
2.1.1 Pengertian HIV
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV
diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara
material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse trancriptase
untuk dapat menginfeksi mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan
patologi secara lambat (Zein, 2006).
Menurut

Depkes

RI

(2003),

HIV


adalah

singkatan

dari

Human

Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyebabkan AIDS dengan cara
menyerang sel darah putih yang bernama CD4 dan menimbulkan infeksi oportunistik.
Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan)
yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.
2.1.2 Epidemiologi
HIV pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981 ketika CDC
(Centers for Disease Control and Prevention) mengumumkan penemuan aneh dari
Pneumocystis carini pneumonia pada 5 laki-laki yang homoseksual di Los Angeles
dan Kaposi’s Sarkoma pada 26 laki-laki homoseksual yang sehat di New York dan
Los Angeles. Pada tahun 1983, HIV diisolasi dari seorang penderita limfadenopati

8

Universitas Sumatera Utara

dan pada tahun 1984, HIV didemonstrasikan sebagai penyebab dari penyakit HIV
(Fauci dan Lane, 2005).
Kasus HIV yang pertama di Indonesia ditemukan pada bulan April 1987,
ketika seorang turis Belanda pengidap HIV meninggal di Bali (Muninjaya, 1999).
Sedangkan kasus HIV positif pertama kali ditemukan di Medan pada tahun 1992,
ketika dilakukan sero survei (Zein, 2006).
2.1.3 Gejala HIV
Menurut MFMER (Mayo Foundation for Medical Education and Research)
(2008), gejala klinis dari HIV terdiri atas beberapa fase, yaitu:
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala,
sakit tenggorokan, ruam, dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV dapat menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran

kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan
menurun, demam, batuk, dan pernafasan dangkal.

Universitas Sumatera Utara

3. Fase akhir
Pada fase akhir dari infeksi HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang di sebut AIDS. Pada saat AIDS timbul, sistem imun
sangat menurun, yang memungkinkan penderita untuk mendapat infeksi oportunistik.
Pada fase ini juga akan timbul gejala-gejala berupa keringat malam, menggigil,
demam di atas 38oC selama beberapa minggu, diare kronis, batuk kering, dan nafas
dangkal serta bintik-bintik putih di sekitar lidah dan mulut.
2.1.4 Cara Penularan HIV
Penularan HIV dapat melalui :
1. Hubungan seksual dengan seorang yang sudah terinfeksi HIV tanpa alat
pengaman (kondom).
2. Transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV.
3. Penggunaan alat suntik dan alat medis lainnya yang tidak steril, alat tusuk
lainnya seperti jarum tindik, jarum tato, akupunktur yang tercemar HIV.

4. Transplantasi organ atau jaringan tubuh dari seseorang yang sudah terinfeksi
HIV.
5. Risiko penularan HIV dari ibu positif kepada bayinya sekitar 30%. Penularan ini
dapat terjadi pada saat janin dalam kandungan, semasa partus atau menyusui.
Risiko terbesar terjadi pada masa partus. Risiko penularan pada masa menyusui
sekarang mendapat perhatian yang lebih karena pengamatan terakhir

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan risiko penularan pada masa menyusui cukup besar, yaitu sekitar
14% sampai 29% (Maryunani, 2009).
2.1.5 Cara Pencegahan HIV
Pencegahan HIV difokuskan pada tiga cara penularan yang utama, yaitu: (1)
kontak seksual, (2) penggunaan jarum suntik dan (3) transfusi darah (Hutapea, 1995).
Pengendalian diri untuk tidak berperilaku risiko tertular virus HIV adalah kunci
pencegahan yang jika dikembangkan secara konsisten akan cukup efektif untuk
menyelamatkan masyarakat dari wabah penularan virus HIV ini. Pengendalian diri
dapat diterapkan melalui tiga cara, yaitu (1) puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak
melakukan hubungan seks, (2) setia (S) pada pasangan seks yang sah, artinya tidak
berganti-ganti pasangan seks dan (3) penggunaan kondom pada setiap melakukan

hubungan seksual yang berisiko tertular virus HIV atau penyakit menular seksual
(PMS) (Muninjaya, 1999).
2.1.6 Penatalaksanaan HIV
Secara umum, penatalaksanaan penderita HIV terdiri dari beberapa jenis,
yaitu:
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat anti retroviral (ARV).
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside reverse
transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam
menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah
berkembang. Tidak semua ARV tersedia di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV.
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
serta tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan (Djoerban dan Djauzi, 2006).
HIV sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun,

data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang sangat meyakinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral, disingkat
obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortilitas dini akibat infeksi HIV
(Djoerban dan Djauzi, 2006). Terapi anti retroviral gabungan untuk infeksi HIV telah
menandai revolusi pengobatan HIV. Pengobatan tersebut, yang biasanya melibatkan
dua nucleoside reverse transcriptase inhibitor dan setidaknya satu inhibitor protease
atau satu nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor di sebut terapi anti retroviral
yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy/ HAART) (Rubenstein et al.,
2007).
2.1.7 Strategi Penanggulangan HIV
Sejalan dengan meningkatnya jumlah kasus HIV, maka jumlah kasus AIDS
juga meningkat cepat yang menyebabkan upaya penanggulangan memerlukan bukan
saja pada upaya pencegahan, tetapi juga upaya pengobatan, perawatan dan dukungan.
Berdasarkan kajian dalam strategi nasional penanggulangan HIV 2010-2011, terdapat
tujuh area program prioritas sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Pencegahan HIV
Upaya pencegahan pada masyarakat luas dilakukan dengan melalui

peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang cara penularan, pencegahan, dan
akibat yang ditimbulkannya sesuai dengan norma-norma agama dan budaya
masyarakat. Upaya pencegahan pada populasi berisiko tinggi seperti Penjaja Seks
(PS) dan pelanggannya, ODHA dan pasangannya, penyalahguna Napza, dan petugas
yang karena pekerjaannya berisiko terhadap penularan HIV melalui pencegahan yang
efektif seperti penggunaan kondom, penerapan pengurangan dampak buruk (harm
reduction), penerapan kewaspadaan umum (universal precautions), dan sebagainya.
2. Perawatan, Pengobatan dan Dukungan terhadap ODHA
Salah satu keputusan penting dalam sidang PBB yang khusus membahas HIV
(UNGASS) pada tahun 2001 adalah perlunya memperluas pelayanan, perawatan, dan
dukungan terhadap ODHA serta melindungi hak-hak azasi mereka (mencegah,
mengurangi, dan menghilangkan stigma dan diskriminasi). Upaya pelayanan
perawatan, pengobatan, dan dukungan terhadap ODHA dilakukan baik melalui
pendekatan klinis maupun pendekatan berbasis masyarakat dan keluarga (community
and home-based care) serta dukungan pembentukan persahabatan ODHA.
3. Surveilans HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS)
Salah satu kegiatan yang penting dalam penanggulangan HIV adalah
mengumpulkan data melalui kegiatan surveilans yang sistematis dan terus menerus
agar dapat diketahui distribusi dan kecenderungan infeksi HIV, distribusi kasus HIV
serta faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran HIV di masyarakat. Selain untuk


Universitas Sumatera Utara

mengetahui besarnya kecenderungan dan distribusi dari persebaran HIV, surveilans
epidemologi dan perilaku akan memberikan informasi yang sangat penting untuk
perencanaan penanggulangan meliputi kegiatan pencegahan, perawatan, pengobatan
dan dukungan pada ODHA, peningkatan kapasitas, penelitian, pengembangan
peraturan dan perundang-undangan serta kegiatan lain.
4. Penelitian
Penelitian dan riset operasional diperlukan untuk menentukan dasar kebijakan
penanggulangan HIV sehubungan dengan perubahan epidemi dan dampaknya.
5. Lingkungan Kondusif
UNGASS (United Nations General Assembly Special Session) 2001
mendeklarasikan bahwa pada tahun 2003 mengesahkan, mendukung atau
menegakkan peraturan dan ketentuan lainnya sebagai perundang-undangan yang tepat
untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan memastikan pemilikan hak-hak
azasi dan kemerdekaan secara sepenuhnya oleh ODHA dan anggota kelompok rentan.
Upaya KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) dalam penanggulangan HIV
telah dilakukan namun stigmatisasi, diskriminasi, dan pelanggaran hak azasi, masih
terjadi. Masih banyak aspek penanggulangan HIV yang belum di dukung oleh

peraturan yang memadai, sehingga beberapa upaya penanggulangan menghadapi
hambatan. Lingkungan kondusif untuk mengurangi stigma, diskriminasi dan
pelanggaran hak azasi serta menghilangkan hambatan pada pelaksanaan kegiatan
penanggulangan HIV sangat diperlukan.

Universitas Sumatera Utara

6. Koordinasi Multipihak
Masalah HIV harus ditangani secara terkoordinasi oleh sektor pemerintah,
sektor swasta/dunia usaha dan LSM. Koordinasi tersebut mencakup aspek
perencanaan, pembiayaan, penyelenggaraan, monitoring dan evaluasi.
7. Kesinambungan Penanggulangan
Pada masa mendatang Indonesia akan menghadapi masalah HIV yang
semakin besar dan kompleks. Oleh karena itu upaya penanggulangan harus
ditingkatkan dan di jamin kesinambungannya (sustainable response) agar tujuan
penanggulangan HIV dapat di capai. Kelemahan dalam bidang organisasi dan
kemampuan individu dari mereka yang terlibat dalam penanggulangan HIV harus
ditingkatkan melalui upaya peningkatan kemampuan (capacity building).
Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia mempunyai risiko menyandang
permasalahan sosial, terlepas dari kadar berat dan ringannya kompleksitas

permasalahan sosial yang disandangnya. Tentunya yang paling baik adalah
melakukan upaya pencegahan. Pencegahan dapat dimulai dengan memperkuat
ketahanan sosial individu, keluarga serta masyarakat. Termasuk didalamnya
mengupayakan pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi secara dini. Kondisi
sistem reproduksi, peran dan fungsinya yang terjamin secara fisik dan sosial,
(sebagaimana definisi kesehatan reproduksi pada International Conference on
Population and Development, ICPD di Kairo Mesir tahun 1994) akan melindungi
manusia sejak dini dari permasalahan sosial yang tidak diharapkan seperti lahir cacat,
terhinggapi penyakit serta menyandang permasalahan fisik dan psikis lainnya.
Strategi penanggulangan HIV penting dilakukan secara berkesinambungan dalam

Universitas Sumatera Utara

upaya meningkatkan kesehatan reproduksi di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota, sehingga dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia dan
mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Aspek hak dan kesehatan reproduksi sangat luas, karena hak dan kesehatan
reproduksi menyangkut seluruh siklus kehidupan manusia selama hidupnya, yaitu
mulai dari kehamilan, kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa sampai dengan
masa usia lanjut. Selain panjangnya rentang usia masalah kesehatan reproduksi juga

sangat kompleks, mulai dari masalah kehamilan dan persalinan, penyakit-penyakit
menular seksual dan penyakit degeneratif. Bila dilihat faktor penyebab yang melatar
belakangi juga bermacam-macam, mulai dari masalah pendidikan, kesehatan, agama,
sosial budaya di mana termasuk didalamnya masalah ketidak setaraan gender dalam
keluarga dan masyarakat.
Kendala utama dalam penanganan masalah pelayanan kesehatan reproduksi
dan penegakkan hak reproduksi adalah belum terintegrasinya dalam sistem hukum
dan perundangan nasional, sehingga pelaksanaannya juga kurang terpadu dan kurang
efektif. Masalah utama yang perlu mendapat perhatian khusus dan sangat menentukan
kelangsungan hidup suatu bangsa adalah masih tingginya angka kematian ibu dan
makin meningkatnya penyebaran HIV/AIDS. Kedua masalah ini erat hubungannya
dengan masalah-masalah kesehatan dan hak reproduksi. Paradigma ini berpengaruh
besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai subyek dalam ber-KB.
Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penanganan kesehatan ibu dan anak,
kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular

Universitas Sumatera Utara

Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan reproduksi usia lanjut, yang
dibahas dalam konteks kesehatan dan hak reproduksi.
Pelayanan kesehatan reproduksi (KB, ANC, KIA serta kesehatan reproduksi
remaja/KRR) menjangkau banyak target namun tidak untuk program HIV.
Penanganan HIV yang baik akan berarti juga meningkatkan dampak baik bagi
kesehatan reperoduksi. Dengan mengintegrasikan dan mengkaitkan program maka
akan meningkatkan jangkauan pelayanan khususnya bagi remaja, perempuan dan
kebutuhan reproduksi dapat sekaligus dipenuhi dalam rangka meningkatkan kualitas
kesehatan reproduksi. Ketika jumlah penderita HIV dapat diramalkan maka dapat
dilakukan upaya pencegahan HIV, karena penderita HIV terkait dengan pelayanan
kesehatan reproduksi dalam hal ini ketika penanganan HIV baik akan berarti juga
meningkatkan dampak baik bagi kesehatan reproduksi.
Strategi ABDCE merupakan salah satu strategi agar tidak tertular HIV.
Strategi ABCDE yang dimaksud adalah sebagai berikut:
A = Abstain, jangan melakukan seks, terutama hubungan seksual berisiko.
B = Be faithful, jadilah pasangan yang setia.
C = Condom, jika hubungan seks berisiko kehamilan atau penularan penyakit, maka
pakailah kondom.
D = Drug, jauhi drug (obat-obatan terlarang), baik drug telan yang dapat
menyebabkan gairah seks meningkat seperti ekstasi, atau drug suntik yang
menularkan langsung penyakit dari alat suntiknya.
E = Equipment, jangan bergantian atau berbagi menggunakan alat seperti; jarum
suntik atau alat potong kuku, tato atau alat-alat lainnya yang dapat
berhubungan dengan darah.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Kesehatan Reproduksi
2.2.1 Sejarah Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak
diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan
Pembangunan ICPD (International Conference on Population and Development), di
Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal penting dalam konferensi tersebut adalah
disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan
pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas
menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan
hak-hak

reproduksi

(Widyastuti,

2009).

Dengan

demikian

pengendalian

kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan
kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup,
termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan
perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab
laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.
Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran
perempuan sebagai subyek dalam prohram Keluarga Berencana. Perubahan
pendekatan juga terjadi dalam penanganan kesehatan ibu dan anak, kesehatan
reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS)
termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan reproduksi usia lanjut, yang di bahas dalam
konteks kesehatan dan hak reproduksi. Dengan paradigma baru ini diharapkan
kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat di capai dengan lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Definisi Kesehatan Reproduksi
Menurut Organisasi Kesahatan Dunia (WHO) yang paling baru ini, memang
lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang mengatakan,
bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan
tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat. Pada batasan yang terdahulu, kesehataan
itu hanya mencakup tiga aspek, yakni : fisik, mental, dan sosial, tetapi menurut
Undang-Undang No. 36/2009, kesehatan itu mencakup 4 aspek yakni fisik (badan),
mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya di
ukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga di ukur dari produktivitasnya
dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi (Notoatmodjo,
2007).
Konfrensi Kependudukan di Kairo 1994, di susun pula definisi kesehatan
reproduksi yang dilandaskan kepada definisi sehat menurut WHO: meliputi aspek
fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit di segala hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri
(Widyastuti dkk, 2009).
2.2.3 Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi dalam Siklus Kehidupan
Secara luas, ruang lingkup kesehatan produksi yang tercantun dalam
Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia (2005) meliputi:
1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
2. Keluarga berencana

Universitas Sumatera Utara

3. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) termasuk
IMS-HIV/AIDS
4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi
5. Kesehatan reproduksi remaja
6. Pencegahan dan penanganan infertilitas
7. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut seperti kanker,
osteoporosis, dementia dan lain-lain.
2.2.4 Hak Reproduksi
Sebelum tahun 1960, beberapa konsensus PBB tentang populasi tidak
memfokuskan pada hak. Demikian pula dengan konvensi tentang perempuan, juga
belum memberi penekanan pada Hak Asasi Manusia atau isu yang mempedulikan
reproduksi dan seksualitas. Pada konfrensi Hak Asasi Manusia I yang
diselenggarakan di Teheran tahun 1960, mulai menyebutkan adanya hak untuk
menentukan dan jumlah dan jarak anak. Konfrensi Hak Asasi Manusia II pada tahun
1993 di Viena mulai membuat tahapan mengenai hasil konvensi di Kairo dan Beijing
yang menegaskan bahwa hak perempuan adalah Hak Asasi Manusia yang
memangkas semua bentuk diskriminasi berdasarkan seks harus menjadi prioritas
pemerintah. Dari konvensi ini akhirnya perempuan mempunyai hak untuk menikmati
standar tertinggi dari kesehatan fisik dan psikis sepanjang kehidupan termasuk hak
untuk akses dan pelayanan kesehatan yang adekuat. Ada beberapa hak yang
digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan gender dalam kesehatan
reproduksi dan kesehatan seksual (Wiknjosastro, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Hak-hak reproduksi yang dituliskan oleh Widyastuti dkk (2009) menurut
kesepakatan dalam Konferensi International Kependudukan dam Pembangunan
bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh, baik kesehatan
jasmani maupun rohani, meliputi:
1. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan dan reproduksi.
2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
3. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
4. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
5. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.
6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan
dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.
8. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi.
9. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
11. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga
dan kehidupan reproduksi.
12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Peramalan
2.3.1 Pengertian Peramalan
Makridakis et al. (1999) menyatakan bahwa peramalan (forecasting)
merupakan bagian integral dari kegiatan pengambilan keputusan manajemen.
Organisasi selalu menentukan sasaran dan tujuan, berusaha menduga faktor-faktor
lingkungan, lalu memilih tindakan yang diharapkan akan menghasilkan pencapaian
sasaran dan tujuan tersebut. Kebutuhan akan peramalan meningkat sejalan dengan
usaha manajemen untuk mengurangi ketergantungannya pada hal-hal yang belum
pasti. Peramalan menjadi lebih ilmiah sifatnya dalam menghadapi lingkungan
manajemen. Karena setiap bagian organisasi berkaitan satu sama lain, baik buruknya
ramalan dapat mempengaruhi seluruh bagian organisasi.
Peramalan (forecasting) menjadi salah satu hal yang penting dalam
pengambilan keputusan manajemen. Peramalan sebagai suatu proses memperkirakan
secara sistematis tentang apa yang paling mungkin terjadi di masa depan berdasarkan
informasi masa lalu dan sekarang yang dimiliki agar kesalahan dapat diperkecil
(Assauri, 1984). Pengenalan terhadap operasi teknik peramalan pada data
menghasilkan kejadian historis mengarah ke identifikasi lima tahapan proses
peramalan adalah pengumpulan data, pemadatan dan pengurangan data, penyusunan
model dan evaluasi, ekstrapolasi model (peramalan aktual), serta evaluasi peramalan
(Hanke, 1999).
Tahap mengumpulkan data yang baik dan dapat diandalkan merupakan bagian
yang tersulit dan cukup memakan waktu. Salah satu faktor yang mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

keakuratan suatu ramalan adalah data yang digunakan. Data yang baik memenuhi
kriteria sebagai berikut (Hanke, 1999) :
1. Data hendaknya dapat diandalkan (reliable) dan akurat. Penanganan yang sesuai
harus dilakukan pada data yang dikumpulkan dari sumber-andal dengan
memperhatikan keakuratannya.
2. Data hendaknya relevan. Data harus mewakili keadaan di mana data tersebut
digunakan.
3. Data hendaknya konsisten. Ketika data yang berkaitan dengan definisi berubah,
penyesuaian perlu dilakukan untuk memepertahankan konsistensi pola historis.
4. Data hendaknya tepat waktu. Data yang dikumpulkan, dirangkum, dan
dipublikasikan berdasarkan ketepatan waktu akan memberikan nilai tertinggi bagi
forecaster.
Umumnya, ada dua jenis data yang digunakan dalam peramalan. Pertama
adalah data yang dikumpulkan dari satu titik waktu (jam, hari, minggu, bulan, dan
triwulan) yaitu data cross section. Data ini dikumpulkan dari periode yang sama.
Tujuannya adalah untuk menelaah suatu data dan mengekstrapolasi atau memperluas
hubungan yang ada pada populasi yang besar. Kedua adalah data yang dikumpulkan,
di catat, atau di amati dari rangkaian waktu tahapan waktu, yaitu data time series
(deret waktu).
2.3.2 Kegunaan Peramalan
Dalam usaha mengetahui atau melihat perkembangan di masa depan,
peramalan dibutuhkan untuk menentukan kapan suatu peristiwa akan terjadi atau
suatu kebutuhan akan timbul; sehingga dapat dipersiapkan kebijakan atau tindakan-

Universitas Sumatera Utara

24

tindakan yang perlu dilakukan. Kegunaan peramalan terlihat pada saat pengambilan
keputusan. Keputusan yang baik adalah keputusan yang didasarkan atas
pertimbangan apa yang akan terjadi pada waktu keputusan itu dilaksanakan.
Walaupun demikian perlu disadari bahwa suatu ramalan adalah tetap ramalan, dimana
selalu ada unsur kesalahannya. Sehingga yang penting diperhatikan adalah usaha
untuk memperkecil kemungkinan kesalahannya tersebut (Assauri, 1984).
2.3.3 Jenis-Jenis Peramalan
Menurut Assauri (1984) pada umumnya peramalan dapat dibedakan dari
beberapa segi tergantung dari cara melihatnya. Peramalan dapat dibedakan
berdasarkan sifat penyusunannya, jangka waktu ramalan dan sifat ramalan yang di
susun.
1. Jenis Peramalan Dilihat Dari Sifat Penyusunannya
Menurut Assauri (1984) peramalan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
a. Peramalan yang subjektif, yaitu peramalan yang didasarkan atas perasaan atau
intuisi dari orang yang menyusunnya. Dalam hal ini pandangan atau “judgement”
dari orang yang menyusunnya sangat menentukan baik tidaknya hasil ramalan
tersebut.
b. Peramalan yang objektif, adalah peramalan yang didasarkan atas data yang relevan
pada masa lalu, dengan menggunakan teknik-teknik dan metode-metode dalam
penganalisaan data tersebut.
2. Jenis Peramalan Dilihat dari Jangka Waktu Ramalan yang Disusun
Menurut Assauri (1984) peramalan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

a. Peramalan jangka panjang, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan
hasil ramalan yang jangka waktunya lebih dari satu setengah tahun atau tiga
semester.
b. Peramalan jangka pendek, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil
ramalan dengan jangka waktu yang kurang dari satu setengah tahun atau tiga
semester. Peramalan seperti ini diperlukan dalam penyusunan rencana tahunan,
rencana kerja operasional, dan anggaran.
3. Jenis Peramalan Dilihat dari Sifat Ramalan yang Disusun
Menurut Assauri (1984) peramalan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu :
a. Peramalan kualitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kualitatif pada
masa lalu.
b. Peramalan kuantitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif pada
masa lalu. Peramalan kuantitatif hanya dapat digunakan apabila terdapat tiga
kondisi sebagai berikut :
1. Adanya informasi tentang keadaan yang lain ;
2. Informasi tersebut dapat dikuantifikasikan dalam bentuk data;
3. Dapat diasumsikan bahwa pola yang lalu akan berkelanjutan pada masa yang
akan datang.
2.3.4 Metode Peramalan
Metode peramalan kualitatif didasarkan pada intuisi atau pengalaman empiris
dari perencana atau pengambil keputusan, sehingga relatif lebih bersifat subjektif.
Makridakis et al., (1999) menyatakan bahwa metode peramalan kualitatif
membutuhkan input yang tergantung pada metode tertentu dan biasanya dari hasil

Universitas Sumatera Utara

26

pemikiran intuitif, pertimbangan dan pengetahuan yang telah di dapat. Pendekatan
dengan metode ini seringkali memerlukan input dari sejumlah orang yang telah
terlatih secara khusus.
Metode peramalan kuantitatif memiliki sifat yang lebih objektif berdasarkan
pada keadaan aktual (data) yang di olah dengan menggunakan metode tertentu.
Penggunaan suatu metode juga harus didasarkan pada fenomena manajemen atau
bisnis apa yang diramalkan dan tujuan yang ingin di capai melalui peramalan.
Peramalan kuantitatif dapat diterapkan bila terdapat tiga kondisi sebagai berikut
(Makridakis et al., 1999) :
1. Tersedia informasi masa lalu
2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik
3. Dapat diasumsikan bahwa pola masa lalu akan terus berlanjut di masa yang akan
datang
Menurut Assauri (1984) pada dasarnya metode peramalan kuantitatif dapat
dibedakan atas:
1. Metode Peramalan yang Menggunakan Analisa Pola Hubungan Antara
Variabel
Metode peramalan yang diperkirakan memiliki pola hubungan dengan variabel lain
yang mempengaruhi, yang bukan waktu, atau di kenal dengan metode sebab akibat
(causal method) atau korelasi, terdiri dari:
a. Metode regresi dan korelasi
b. Model ekonometri untuk peramalan jangka pendek dan jangka panjang

Universitas Sumatera Utara

c. Model input output untuk proyeksi tren ekonomi jangka panjang.
2. Metode Peramalan Model Time Series
Metode peramalan time series merupakan metode yang sering digunakan
dalam ekonomi dan bisnis, di mana sejumlah observasi di ambil selama beberapa
periode dan digunakan sebagai dasar dalam menyusun suatu ramalan untuk beberapa
periode di masa depan (Assauri, 1984). Metode ini terdiri dari :
a. Metode Naive
Metode ini merupakan metode sederhana yang menyatakan bahwa nilai suatu
variabel saat ini merupakan perkiraan terbaik untuk nilai berikutnya atau nilai
variabel di masa yang akan datang akan tetap sama. Metode ini hanya cocok untuk
meramal variabel yang gerakannya cenderung konstan.
b. Metode Rata-Rata
a) Metode rata-rata sederhana (simple average)
Metode ini menggunakan pendekatan di mana ramalan merupakan
perhitungan kumulatif dari seluruh nilai masa lalu yang dimiliki. Kelebihan metode
ini adalah hasil peramalannya tidak terlalu memperhatikan fluktuasi dari deret data.
Metode ini cocok untuk data stasioner (Makridakis et al.,1999).
b) Metode rata-rata bergerak sederhana (simple moving average)
Metode ini menggunakan rata-rata sebagai ramalan untuk periode mendatang.
Pada setiap nilai, muncul nilai pengamatan baru, nilai rata-rata baru dapat di hitung
dengan membuang nilai observasi yang paling lama dan memasukkan nilai
pengamatan yang terbaru.

Universitas Sumatera Utara

28

c) Metode rata-rata bergerak ganda (double moving average)
Salah satu cara untuk meramalkan data time series yang memiliki tren linier
adalah dengan menggunakan metode ini. Metode ini menghitung rata-rata bergerak
sebelumnya.
c. Metode Pemulusan Eksponensial (Exponential Smoothing)
Metode ini di pakai untuk memperkecil atau mengurangi ketidakteraturan
musiman dari data, yaitu dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan data
yang lalu. Ketepatan dari penggunaan metode ini terdapat pada peramalan jangka
pendek. Ada beberapa metode pemulusan, yakni :
a) Single Exponential Smoothing
Metode ini dapat mengatasi kesulitan nilai-nilai historis dari variabel yang
harus dilakukan pada metode rata-rata bergerak sederhana. Metode ini digunakan
untuk peramalan data time series tanpa tren atau pola stasioner.
b) Double Exponential Smoothing
Metode ini di dapat dengan melakukan pemulusan kembali hasil dari
pemulusan single exponential smoothing. Pendekatan metode ini lebih memberikan
bobot yang semakin menurun pada observasi masa lalu dibandingkan single
exponential smoothing.
c) Triple Exponential Smoothing (Winters)
Metode ini disesuaikan untuk tren dan variasi musiman, merupakan
pengembangan dari metode eksponensial. Metode Winters merevisi estimasi
berdasarkan pengalaman terkini, trend (slope) dan musiman.

Universitas Sumatera Utara

d. Metode Dekomposisi
Makridakis et al. (1999) menjelaskan bahwa metode ini didasari asumsi
bahwa deret data historis merupakan gabungan atau komposisi dari faktor musiman
(S t ), komponen tren (T t ), komponen siklus (C t ) serta komponen acak (E t ). Metode
dekomposisi memisahkan komponen-komponen dari time series data, kajian terhadap
komponen yang telah terpisah tersebut dapat di pakai sebagai dasar untuk menyusun
kebijakan (jangka pendek dan jangka panjang), dan komponen tersebut dapat
diekstrapolasi untuk tujuan peramalan.
Model dekomposisi dapat di tulis dalam persamaan matematis sebagai
berikut:
Y t = f(S t , T t , C t , E t )
Hubungan fungsional antar keempat komponen di atas dapat bersifat aditif
(S t + T t + C t + E t ) atau multiplikatif (S t x T t x C t x E t ). Model dekomposisi aditif
di pilih bila gelombang-gelombang kecil (swing) dari variasi musiman bersifat
konstan sepanjang waktu. Sebaliknya dekompisisi multiplikatif di pilih bila swing
dari variasi musiman meningkat secara proporsional dengan bertambahnya waktu
(Firdaus, 2006).
e. Metode Box Jenkins (ARIMA)
(1) Prinsip Dasar
Metode ARIMA sering juga di sebut metode runtun waktu Box-Jenkins.
ARIMA sangat baik ketepatannya untuk peramalan jangka pendek, sedangkan untuk
peramalan jangka panjang ketepatan peramalannya kurang baik. Biasanya akan

Universitas Sumatera Utara

cenderung flat (mendatar/konstan) untuk periode yang cukup panjang Model
Autoregresif Integrated Moving Average (ARIMA) adalah model yang secara penuh
mengabaikan independen variabel dalam membuat peramalan. ARIMA menggunakan
nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan
jangka pendek yang akurat. ARIMA cocok jika observasi dari deret waktu (time
series) secara statistik berhubungan satu sama lain (dependent).
Mulyono (2000) menyebutkan bahwa ada dua model dari metode Box-Jenkins
yaitu:
1) Model ARMA (Autoregressive – Moving Average) yang dipakai untuk deret data
yang stasioner
2) Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) yang dipakai untuk
deret data yang tidak stasioner
Model ARMA adalah gabungan dari model AR dan MA. Pada model ini
series stasioner adalah fungsi dari nilai lampaunya dan nilai sekarang serta kesalahan
lampaunya. Dalam model ini, p menunjukkan tingkat model AR dan q menunjukkan
tingkat model MA, sehingga jika model menggunakan satu nilai lampau dan dua
kesalahan masa lalu, model tersebut dilambangkan sebagai ARMA.
Dalam prakteknya, banyak data deret Y t merupakan data tidak stasioner. Data
tersebut

dapat

dijadikan

stasioner

dengan

melakukan

proses

pembedaan

(differencing). Jumlah berapa kali dilakukan proses differencing (d) menunjukkan
tingkat diferensiasi model. Jadi model ARMA (p,q) dapat dideferensiasi sebanyak d
kali menjadi ARIMA (p,d,q) untuk mengatasi deret data yang tidak stasioner.

Universitas Sumatera Utara

Proses diferensiasi dapat diuraikan sebagai berikut, misalkan Yt tidak
stasioner, kemudian di buat diferensiasi tingkat satu, Z t = Y t –Y t–1 , ternyata di peroleh
nilai Z t stasioner. Dalam model ini dapat digunakan suatu simbol alternatif yang
dinamakan backward shift operator (B). Operator B yang dilekatkan pada suatu
variabel berarti menggeser nilai variabel tersebut satu periode ke belakang.
Penggunaan metode ARIMA untuk meramalkan dapat dilakukan melalui tiga
tahap yaitu identifikasi, penaksiran dan pengujian serta penerapan model, seperti pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Skema Pendekatan metode ARIMA Box–Jenkins
Sumber : Makridakis et al., (1999)

Universitas Sumatera Utara

(2) Klasifikasi Model ARIMA
Model Box-Jenkins (ARIMA) di bagi kedalam 3 kelompok, yaitu: model
autoregressive (AR), moving average (MA), dan model campuran ARIMA
(autoregresive moving average) yang mempunyai karakteristik dari dua model
pertama (Makridakis et al.,1999). Adapun model tersebut sebagai berikut :
1) Autoregressive Model (AR)
Bentuk umum model autoregressive dengan ordo p (AR(p)) atau model
ARIMA (p,0,0) dinyatakan sebagai berikut:

di mana: μ' = suatu konstanta


= parameter autoregresif ke-p

et

= nilai kesalahan pada saat t

2) Moving Average Model (MA)
Bentuk umum model moving average ordo q (MA(q)) atau ARIMA
(0,0,q) dinyatakan sebagai berikut:

di mana: μ ' = suatu konstanta
θ 1 sampai θ q adalah parameter-parameter moving average
e t-k

= nilai kesalahan pada saat t – k

Universitas Sumatera Utara

3) Model campuran
a. Proses ARMA
Model umum untuk campuran proses AR(1) murni dan MA(1) murni, misal
ARIMA (1,0,1) dinyatakan sebagai berikut:

atau

b. Proses ARIMA
Apabila nonstasioneritas ditambahkan pada campuran proses ARMA, maka
model umum ARIMA (p,d,q) terpenuhi. Persamaan untuk kasus sederhana ARIMA
(1,1,1) adalah sebagai berikut:

pembedaan pertama

AR(1)

MA(1)

atau jika diturunkan dalam bentuk persamaan : Y t = b 0 + b 1 Y t-1 – a 1

et-1

+ et

Makridakis et al. (1999), menjelaskan teknik Box – Jenkins secara garis besar
terdiri dari beberapa tahap, yaitu identifikasi, estimasi parameter, diagnosis dan
implementasi.
1. Tahap Identifikasi
Tahap identifikasi pada dasarnya adalah menentukan nilai parameter p, d, q,
P, D, Q dan S yaitu untuk menentukan pola data masa lalu.

Universitas Sumatera Utara

a. Identifikasi Stasioner dan Tidak Stasioner
Identifikasi stasioner dilakukan berdasarkan deret data aktual yang tersedia
(X t ), di cari nilai koefisien autokorelasi time lag ke-k (r k ,

k

= 1,2 ... m), kemudian

nilai r k di uji. Jika secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol, berarti r k adalah
acak, yang juga berarti X t bersifat acak. Deret data X t adalah stasioner apabila hasil
plot nilai r k menunjukkan fluktuasi (tidak beraturan) di sekitar nol. Dalam hal ini nilai
parameter d = 0.
Jika plot nilai rk menunjukkan ada kecenderungan maka deret data X t tidak
stasioner. Untuk menentukan nilai parameter d dilakukan pembedaan (differencing)
sampai data bersifat stasioner. Pembedaan ordo pertama dinotasikan sebagaimana
pada persamaan 2.
X’ t = X t - X t

-1

= (1-B)1 X t

(2)

Di mana:
B adalah Backward Shift operator dan BX t = X t – 1
Pembedaan ordo kedua notasinya seperti pada persamaan 3:
X’’ t = (1-B)1 X t

(3)

Jika sampai dengan ordo ke-d, deret data sudah stasioner maka model
ARIMA-nya adalah (0, d, 0) dan rumus dasarnya adalah pada persamaan 4.
(1-B)d X t = e t

(4)

Di mana :
e t = Nilai kesalahan
(1-B)d = Pembeda ordo ke-d

Universitas Sumatera Utara

b. Identifikasi Proses Autoregresi (AR)
Identifikasi ada tidaknya proses AR dilakukan pada data yang stasioner atau
sudah distasionerkan. Untuk mendeteksi apakah suatu deret data merupakan AR(1)
atau AR(2), dilihat dari nilai-nilai koefisien autokorelasi, autokorelasi parsial dan
garis spektrum. Jika data tidak dibangkitkan oleh proses AR, koefisien autokorelasi
parsialnya tidak berbeda nyata terhadap nol. Jika data merupakan AR(1), maka nilai
koefisien autokorelasi parsial ordo pertama nyata (p = 1), jika data merupakan AR(2)
atau (P = 2) maka nilai koefisien autokorelasinya menurun mengikuti gelombang
sinus. Model autoregresi ordo ke-p atau AR(p) ditunjukkan dengan model pada
persamaan 5.
ARIMA (p,0 ,0)
(1 – F 1 B – F 2 B2 - … - F p Bp) X t = u + e t

(5)

X t = u + F 1 X t-1 + F 2 X t-2 + … + Fp X t-p + e t
Di mana:
u

= Konstanta

Φp

= Parameter auto regresi ke-p

et

= nilai kesalahan pada saat t

c. Identifikasi Proses Moving Average (MA)
Untuk mengidentifikasi proses MA diperlukan plot nilai-nilai koefisien
autokorelasi, autokorelasi parsial dan garis spektrum dari data yang stasioner atau
telah distasionerkan. Jika data merupakan MA (1) atau (q = 1) maka hanya ada satu
koefisien autokorelasi yang berbeda nyata yaitu untuk time lag 1 dan untuk MA (2)

Universitas Sumatera Utara

maka koefisien autokorelasi pada time lag 1 dan 2 adalah nyata. Model ARIMA deret
data merupakan proses MA ordo ke-q yaitu sesuai pada persamaan 6.
ARIMA (0,0,q)
X t = u + e t - q 1 e t-1 + q 2 e t-2 + … + q p e t-p

(6)

Di mana:
u = konstanta
Θq = autokorelasi ke-q
e t = nilai kesalahan pada saat t
d. Identifikasi Campuran Proses AR dan MA atau ARIMA
Deret data yang dibangkitkan oleh campuran proses AR(1) dan MA(1) atau
ARIMA (1,0,1) modelnya sesuai pada persamaan 7:
(1 – Φ 1 B) X t = u + (1 – θ 1 B) e t
atau AR(1)

MA(1)

(7)

X t = u + Φ 1 X t-1 + θ 1 e t - 1
Deret data yang merupakan ARIMA (1,1,1) modelnya sesuai dengan persamaan 8.
(1 – B) (1 – Φ 1 B) X t = u + (1 – Φ 1 B) e t

(8)

X t = u + Φ 1 X t-1 – θ 1 e t-1 + e t
Di mana :
(1 – B) = Pembedaan pertama untuk memperoleh data stasioner
(1 – Φ 1 B) = AR(1)
(1 – θ 1 B) = MA(1)
Bentuk umum model ini adalah (Mulyono, 2000) :
Yt = b 0 + b 1 Yt-1 + … + bn Y t-n – a1 e t-1 - … - an et-n + et

(9)

Universitas Sumatera Utara

Di mana:
Yt

= nilai series yang stasioner

Y t-1 , Y t-2

= nilai lampau series yang bersangkutan

e t-1 , e t-2

= variabel bebas yang merupakan lag dari residual

et

= residual

b0

= konstanta

b 1 , bn, a 1 , an = koefisien model
2. Tahap Estimasi Parameter
Parameter dalam model ARIMA seperti parameter AR (Φ), parameter MA (θ)
perlu ditetapkan agar model ARIMA dapat digunakan untuk melakukan prakiraan.
Pendugaan nilai parameter ini memerlukan penurunan matematik/statistik yang rumit.
Berbagai paket program komputer yang sudah tersedia untuk menghitung parameterparameter tersebut.
3. Tahap Diagnosis dan Implementasi
Setelah parameter-parameter ARIMA di duga, perlu dilakukan pemeriksaan
apakah model yang diidentifikasi sudah sesuai. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
meneliti nilai sisa, untuk melihat apakah masih terdapat pola pada nilai sisa dan
meneliti nilai-nilai statistik dari hasil yang sudah di uji. Model ARIMA dapat
diimplementasikan untuk melakukan prakiraan bila hasil diagnosis telah sesuai
dengan yang ditetapkan.
Pemilihan model ARIMA yang digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan
data yang digunakan merupakan data deret waktu. Selain itu, ARIMA juga dapat
digunakan pada data yang bersifat stasioner dan nonstasioner. Menurut Hanke et al.

Universitas Sumatera Utara

(2003), pendekatan ARIMA bersifat fleksibel dan dapat mewakili rentang yang lebar
dari karakteristik deret waktu.
Hasil penelitian yang menggunakan metode ARIMA seperti hasil penelitian
Akhtar dan Rozi (2009) tentang peramalan donor darah seropositif virus hepatitis C
(HCV) antara donor darah sukarela laki-laki di Karachi, Pakistan mengungkapkan
perkiraan metode ARIMA untuk data 91-96 bulan erat mengikuti pola seri yang
di amati untuk bulan yang sama, pola data yang di amati menunjukkan
kecenderungan peningkatan seropositif HCV.
Hasil penelitian Sarfo dkk. (2010) tentang analisis tren dan perkiraan jangka
pendek insiden infeksi HIV menggunakan pemodelan time-series Box-Jenkins
ARIMA untuk memprediksi tren insiden infeksi HIV di Ghana antara kelompok usia
tertentu, mengungkapkan adanya kecenderungan pola pertumbuhan masa lalu
terhadap peningkatan kasus baru infeksi HIV dan ditemukan terbesar di sektor utara
yang terjadi pada kelompok usia 30 tahun ke atas. Epidemi HIV di sektor selatan
tampaknya telah mendatar. Namun, kejadian infeksi HIV pada perempuan kelompok
usia 20-39 tahun di sektor ini diperkirakan meningkat dalam tiga tahun ke depan.
Sedangkan insiden infeksi HIV pada kelompok usia di bawah 19 tahun ditemukan
menjadi relatif stabil.
2.3.5 Pemilihan Metode Peramalan
Makridakis et al. (1999), mengemukakan enam faktor utama yang
menggambarkan kemampuan dan kesesuaian dalam memilih metode peramalan enam

Universitas Sumatera Utara

faktor tersebut adalah horizon waktu, pola data, daya tarik metode itu sendiri,
ketepatan, biaya dan waktu, serta ketersediaan perangkat lunak komputer.
1. Horison Waktu
Metode peramalan berhubungan dengan dua aspek horizon waktu, yaitu
cakupan waktu di masa yang akan datang dan jumlah periode ramalan yang
diinginkan. Beberapa teknik metode peramalan hanya dapat sesuai untuk peramalan
satu periode ke depan, sedangkan teknik lainnya dapat dipergunakan untuk
meramalkan beberapa periode ke depan.
2. Pola Data
Serial data dapat dikelompokkan dalam empat pola. Pola pertama adalah pola
stasioner, yaitu jika pola data berfluktuasi di sekitar nilai rata-rata yang konstan. Pola
kedua adalah pola musiman, yaitu jika data membentuk fluktuasi konstan dan
proporsional dalam jangka pendek (kurang dari satu tahun) yang disebabkan oleh
faktor musiman, pola ketiga adalah pola siklis, yaitu jika data yang dipengaruhi oleh
fluktuasi tersebut disebabkan oleh pengaruh ekonomi jangka panjang. Pola keempat
adalah pola trend, yaitu jika data menunjukkan kenaikan atau penurunan secara
sekuler dalam jangka panjang.
3. Daya Tarik Metode Peramalan
Daya tarik yang dimiliki oleh sebuah metode peramalan akan menjadi aspek
penting yang perlu dipertimbangkan oleh peramal untuk memilihnya. Secara umum,
kesederhanaan dan kemudahan untuk diaplikasikan, serta daya tarik intuitif yang
dirasakan oleh peramal.

Universitas Sumatera Utara

4. Ketepatan Metode Peramalan Kuantitatif
Ketepatan menunjukkan kemampuan metode untuk meramal suatu variabel
yang dilihat dari besarnya selisih antara hasil ramalan dengan kenyataan. Untuk
mengukur ketepatan tersebut biasanya oleh peramal digunakan nilai MSE (Mean
Square Error). Semakin kecil nilai MSE maka metode tersebut semakin baik.
Pengukuran ketepatan metode peramalan ini pada akhirnya memang digunakan
sebagai kriteria dalam memilih metode peramalan.
5. Biaya dan Waktu
Pemilihan metode peramalan juga dipengaruhi oleh biaya yang harus
dikeluarkan berkaitan dengan metode yang di pilih. Ada empat unsur biaya yang
tercakup dalam penggunaan suatu prosedur ramalan, yaitu biaya pengembangan,
biaya penyimpanan data, operasi pelaksanaan dan kesempatan untuk menggunakan
teknik-teknik lainnya.
6. Ketersediaan Perangkat Lunak Komputer
Ketersediaan perangkat lunak komputer sangat penting untuk membantu
menyusun metode peramalan kuantitatif. Perangkat lunak komputer tersebut harus
mudah dipergunakan disertai dokumentasi yang lengkap dan bebas dari kesalahan
besar, sehingga mudah untuk digunakan, dipahami dan diinterpretasikan hasilnya.
Akurasi peramalan tidak selalu berhubungan dengan kecanggihan atau kerumitan
teknik yang digunakan. Jika menghadapi beberapa teknik yang memberikan
kemampuan sama dalam menirukan kenyataan maka hendaknya memilih teknik atau
model yang paling sederhana (Mulyono, 2000).

Universitas Sumatera Utara

41

2.4 Kerangka Konsep
ARIMA adalah teknik peramalan yang sama sekali mengabaikan variabel
independen karena menggunakan nilai sekarang dan nilai-nilai lampau dari variabel
dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek, sebagai kerangka konsep
disajikan pada Gambar 2.2.

Yt-1

Yt-2

Yt

Yt-n

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Y t-1 = merupakan jumlah penderita 1 bulan sebelum t (dijadikan sebagai variabel
independen)
Y t-2 = merupakan jumlah penderita 2 bulan sebelum t (dijadikan sebagai variabel
independen)
Y t-n = merupakan jumlah penderita n bulan sebelum t (dijadikan sebagai variabel
independen)
Yt

= merupakan jumlah penderita yang akan diramal pada waktu ke-t (dijadikan
sebagai variabel dependen).

Universitas Sumatera Utara