Sejarah dan Wajah Liberalisme di PTAIN s

SEJARAH LIBERALISME DI
INDONESIA DAN MARAKNYA
LIBERALISME DI PERGURUAN
TINGGI ISLAM
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Metodologi Penelitian
Dosen Pengampu :
Drs. Mustari, M.Hum

Oleh :
Mohammad Irfan Anas / 13110080

Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena liberalisme di Indonesia kini semakin menggejala, nahkan menjangkiti kalangan
intelektual terlebih di Perguruan Tinggi Agama Islam yang seharusnya merupakan lembaga

pendidikan tinggi islam yang mengajarkan para mahasiswanya mengenai ke-islamam-an
secara benar dan jauh dari penyimpangan dan penodaan terhadap islam itu sendiri.
Fenomena liberalisme ini terus bersusaha menghancurkan dan memecah belah pertahanan
iman umat islam. Dengan kalimat dan retorika yang indah dan menyilaukan setiap pembaca
ataupun pendengarnya yang notabene pemahaman ke-islam-annya dangkal, mereka para agen
liberalisme mencoba untuk mendekonstruksi dasra-dasar islam. Dengan itulah umat islam
terkhusus para mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam yang terpedaya, digiring ke arah
sinkritisme agama, sadar atau tidak sadar. Ayat-ayat al-qur‟an yang merupakan wahyu Allah
yang sudah ajeg, berusaha mereka otak-atik, na‟udzubillah
Perkembangan dan pertumbuhan virus ini di tengah kaum intelektual memang sungguh
ironis, lembaga dan generasi islam yang seharusnya menyebarkan dan mendakwahkan islam
dengan benar justru merusak islam itu sendiri. Beberapa contoh aktual penyebarannya ialah
gerakan homoseksual di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah atau kampanye
lesbianisme oleh seorang dosen doktor bidang keislaman.
Melalui tulisan ini, saya berusaha memberi perspektif tentang bahaya paham SEPILISME
(Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme) agama yang sungguh memprihatinkan dan
semoga dapat memberi solusi atau pencegahan terhadap maraknya perkembangan
pemahaman-pemahaman nyeleneh itu terkhusus di kalangan akademisi Perguruan Tinggi
Islam.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah lahir dan perkembangan liberalisme di Indonesia?
2. Bahagimana wajah Liberalisme Islam di Indonesia terkhusus di Perguruan Tinggi Islam?
3. Bagaimana langkah menjinakkan virus liberalisme dalam islam?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui sejarah lahir dan perkembangan paham liberalisme islam di Indonesia.
2. Mengetahui wajah liberalisme di Perguruan Tinggi Islam
3. Mengetahui langkah untuk membentengi diri dan setiap muslim dari setiap terjangan virus
liberalisme

D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam pendekatan ini saya menggunakan penelitian deskriptif. Deskriptif dimaksud
untuk mendeskripsikan suatu situasi. Pendekatan deskriptif juga berarti untuk menjelaskan
fenomena atau karakteristik individual, situasi, atau kelompok sosial secara akurat.
2. Penentuan Populasi dan Sampel
Objek penelitian saya ini adalah mahasiswa atau dosen dan pemikiran-pemikiran yang
menyebar luas di Perguruan Tinggi Islam. Dari sini saya akan membuat satu kesimpulan
berdasarkan hasil penelitian saya yang bersumber dari buku-buku yang terkait dengan

masalah yang saya teliti maupun berdasarkan data yang saya dapat dari lapangan.
3. Metode Pengumpulan Data
Data yang saya kumpulkan disini bersumber dari data sekunder yaitu data yang saya dapat
dari buku maupun web yang sumbernya dapat dipertanggung jawabkan.

E. Landasan Teori
Mengenal SEPILIS (Sekulerisme – Pluralisme – Liberalisme) Agama
1. Sekulerisme Agama
Sekulerisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan
untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan antar sesama manusia
diatur hanya dengan kesepakatan sosial.
Ideologi ini meyakini bahwa peran agama harus terpisah dari kekuasaan negara dan
pengelolaan negara tidak boleh diatur oleh agama.sekulerisasi adalah proses membatasi peran
agama di ranah sosial-politik agar agama hanya menjadi ritual pribadi dan urusan masingmasing individu.
2. Pluralisme Agama
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama
dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar dan agama lain salah.
Dalam prakteknya, pluralisme jadi suatu ideologi lintas agama yang mencampur adukkan
ajaran dari semua agama. Pluralisme agama ini mengajarkan bahwa umat semua agama akan

berdampingan di surga.
Perlu diperhatikan bahwa pluralisme disini berbeda dengan pluralitas. Pluralitas agama
adalah sebuah kenyataan bahwa di setiap negara atau daerah terdapat berbagai macam
keyakinan dan agama yang hidup berdampingan. Oleh sebab itu dalam masalah sosial yang
tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat islam tetap harus menjaga toleransi dan tetap
melakukan aktivitas pergaulan sosial dengan umat agama lain demi menjaga persatuan dan

perdamaian. Namun bila pergaulan tersebut mengarah pada pluralisme, maka itu menjadi
haram bagi umat islam untuk mengikutinya.
3. Liberalisme Agama
Liberalisme agama adalah memahami nash-nash al-qur‟an dengan menggunakan akal pikiran
bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama sesuai dengan akal pikiran semata.
Menurut paham ini, al-qur‟an dan as-sunnah harus tunduk pada akal dan manusia memiliki
kebebasan mutlak, sehingga Tuhan-pun tak berhak untuk mewajibkan atau mengharamkan
sesuatu atas manusia karena ketentuan wajib dan haram adalah pemasungan terhadap
kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM).1
4. Fatwa MUI atas paham SEPILIS
Fatwa majelis Ulama Indonesia No. 7/Munas VII/MUI/11/2005
1. Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan
dengan ajaran agama islam.

2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme agama.

1

Buletin Edisi Milat Indonesia Tanpa JIL, Februari 2014.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahir dan Perkembangan Liberalisme Islam di Indonesia
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang
memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba
memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir.
Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang "Pembaharuan Pemikiran
Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru
lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti
menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau
kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat
versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neomodernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek
rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokohtokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma„arif,

Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun universalisme sesungguhnya merupakan
pendukung modernisme yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu
bersifat universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu
bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal
dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah akan
muncul kalau Islam yang me-nasional atau melokal itu menyebabkan terjadinya
penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, secara

samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin,
Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.
Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus
memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan
yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan
manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan,
terutama, ekonomi di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, masih belum
mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan belum Islami. Proses
Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi
pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahanperubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan
demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam
pola pemikiran ini.

Sedangkan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan
dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi
leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak
berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil)
al-muhâfazhat „alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi
lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo
modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup
nasional. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini
adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor ekstra, 1984: 10-22), lebih
dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat.

Sedang pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia
dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama‟ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu,
ide-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang
hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 3138).
Sejak akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan
diri kelompok "Islam Liberal" yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahanpermasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat
betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga
pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa

pluralisme, sekularisme dan liberalism merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme,
sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No.
7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah
memahami nash-nash agama (Al Qur‟an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang
bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Islam liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya
sebuah "jaringan" kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk
kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan
dengan membangun milis ( islamliberal@yahoo.com). Kegiatan utama kelompok ini adalah
berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan.
Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL)
mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari
kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul namanama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah,

Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi
Assaukanie. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi berarti mendukung ide-ide JIL.
Diskusi awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal
seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali
dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori

yakni, customary Islam, fundamentalis atau Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori
ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon terhadap dua kategori yang disebut pertama.
Pertanyaan yang muncul dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia
akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan
refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel
dengan civicculture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki
sence of community yang nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah
skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang
panjang akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka
menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap kaum
modernis, tradisional, dan fundamentalis.
Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi
corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta
dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan
gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi
pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawan-lawannya, terutama melalui
khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi
Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda
Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi
artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. Ketegangan antara yang


pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya liberalisme,
sekularisme dan pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah
seorang contributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri,
belajar ke Amerika Serikat.
Ulil melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan
yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial menggerogoti
persendian Islam sendiri. Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni
pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On Being
Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalism pemikiran
keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl alfiqh, qawâ„id al-fiqhiyah yang
dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah
dan mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan
kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar. 2

2

Syafieh Yanti, Membongkar Kedok Liberalisme Islam di Indonesia, http://syafieh.blogspot.com/2014/02.

B. Wajah Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam

“Di Freedom Istitute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara. Yang
menyatukan kita adalah, kita benar-benar menjadi liberal yang kaffah. Kita merasa satu ide,
satu perjuangan” Ujar Nong Darol Mahmada (salah satu aktivis liberal) 3
Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 24 Mei 2002. Ruang aula tempat
terselenggaranya dialog publik bertajuk “Jilbab Yes or No : Problematika Perwajiban
berjilbab di UIN Jakarta” hari itu penuh sesak. Mahasiswa yang pro dan kontra dengan
kewajibab jilbab di lingkungan kampus UIN hadir untuk mendengarkan dialog tersebut. Tak
terkecuali, Saidiman, aktifis Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) yang kontra terhadap
kewajiban berjilbab. Saat

diberi kesempatan berbicara, Saidiman dengan lantang

mengatakan, “Saya Saidiman, Mahasiswa Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, hari ini juga
kelyar dari Islam....”4
Ucapan saidiman itu tentu membuat kaget peserta yang hadir. Betapa beraninya, di tengahtengah civitas akademika kampus islam, Saidiman mendeklarasikan dirinya murtad dari
Islam. Namun, bagi mereka yang tahu kiprah Formaci, tempat Saidiman berorganisasi, yang
tak hanya liberal akan tetapi juga berbau kekiri-kirian, ucapan itu tak mengagetkan. Dalam
forum dialog itu, Saidiman juga mengatakan, “seandainya saya mempunyai keyakinan bahwa
orang yang tidak memakai jilbab akan membuat ia masuk neraka, tetap saja saya tidak bisa
memaksanya untuk masuk ke surga,” tegasnya.
Formaci adalah wadah tempat berdiskusi mahasiswa kiri dan Liberal di UIN Jakarta, yang
kebanyakan adalah anak-anak muda jebolan pesantren, namun terbawa dalam euphoria
pemikiran barat sekuler. Mereka juga terjangkit cultural shock (gegar budaya) dalam

3
4

Arta Wijaya, Indonesia Tanpa Liberal, Jakarta; Putaka Al-Kautsar, Juni 2012.
Majalah Sabili, Mei 2002

menghadapi modernitas. Sehingga tidak percaya diri pada identitas keislamannya dan merasa
peradaban barat modern lebih unggul dari peradaban islam. Meraka yang pada awalnya
terkukung pada lingkungan tradisionalis yang terkadang feodal, kemudian keluar menuju
alam bebas yang penuh tantangan dan ide-ide. Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya
gegar budaya, merasa kaget, dan akhirnya terjerembab dalam modernitas, na‟udzubillah.
Saidiman si mahasiswa ushuluddin UIN Jakarta, kini telah benar-benar menjadi aktifis liberal
dan dipekerjakan di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) serta Yayasan Wakaf
Paramadina, ia sering membuat tulisan-tulisan yang berbau penyimpangan terhadap islam di
situs resmi Jaringan Islam Liberal. Pada 26 oktober 2011 ia pernah menulis sebuah
pernyataan di salah satu akun media sosialnya, “Aacapkali saya berfikir, memuja matahari itu
jauh lebih penting dari memuja selainnya, ia selalu memberikan pagi yang indah ini...”
ujarnya.
Di UIN/IAIN/STAIN yang merupakan Perguruan Tinggi Islam sudah banyak bermunculan
berbagai penerbitan yang secara terbuka menyerang al-Qur‟an dengan baju “studi kritis”.
Sebagai contoh, Jurnal Justicia Fakultas Syari‟ah IAIN Semarang (kini UIN Walisongo),
edisi23 Th XI 2003 menulis editorial sebagai berikut :
“Dalam studi kritik al-qur‟an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas
qur‟an. Bahwa kini qur‟an sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas dari nilai dan
tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkontruks al-qur‟an. Adalah
Muhammad SAW, seorang figur yang saleh dan berhasil mentansformasikan nalar kritisnya
dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun setelah Muhammad wafat, generasi pasca
Muhammad

terlihat

Muhammaddalam

tidak

kreatif.

memperjuangkan

Jangankan
perubahan

meniru
realitas

kritisme
zamannya,

dan

kreativitas

generasi

pasca

Muhammad tampak kerdildan hanya membebek pada apa saja yang asalkan dikonstruk

Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidak kreatifan generasi pasca Muhammad, yang
paling mencelakan ialah pembukuan qur‟an dengan dialek Quraisy oleh Usman.....”
Selain itu pada kampus yang sama dan dalam jurnal yang sama yaitu Jurnal Justicia Fakultas
Syariah IAIN Semarang edisi 25 tahun XI 2004 pernah tertulis pengantar redaksi yang cukup
mencengangkan, berikut kutipannya:
“Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinanan sesama jenis sebagai sesuatu yang
abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun,
umtuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhanpun sudah maklum bahwa proyeknya
menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth
untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam
menciptakan manusia (karena waktu itu masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus
“nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut.
Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalankan terus kaum homoseks,
anda berada di jalan yang benar”.5
Kasus liberalisme ini kian marak danmenjadi trend di kalangan mahasiswa Perguruan
Tinggi Islam, termasuk juga di kampus ini. Ketika saya mengikuti OPAK (Orientasi
Pengenalan Akademik dan Kampus) tahun 2013, ada salah satu dari senioar dengan lantang
dan bangga mengeluarkan argumen nyeleneh yang membuat sebagian peserta tertegun,
dengan bangga si senior itu berkata “jangan bangga dengan Islam, jangan sombong jika kita
beragama Islam, karena Islam merupakan salah satu agama penjajah yang menghilangkan
keyakinan asli bangsa kita”.
Beberapa tahun lalu juga terjadi hal yang sama saat OPAK di UIN Bandung, di acara
OPAK fakultas Ushuluddin semua panitia OPAK fakultas dan peserta OPAK fakultas
5

Adian Husaini, Virus liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta; Gema Insani, 2009.

dikumpulkan pada sebuah tempat. Disana majulah satu-persatu perwakilan jurusan untuk
memperkenalkan jurusannya, ada banyak penistaan disana dari ucapan yang keluar dari mulut
panitia tiap jurusan, salah satunya ialah disebutkan “ushuluddin adalah kawasan bebas
Tuhan”, lalu juga “Jurusan tafsir adalah jurusan untuk mentafsirkan Tuhan, dan fakultas ini
adalah fakultas bagi mereka para pencari Tuhan”.
Lalu yang masih cukup aktual ialah kejadian di OSCAR (sebutan OSPEK) di fakultas
Ushuluddin UIN Surabaya yang mengambil tema “Tuhan telah membusuk” yang
menimbulkan banyak kontroversi di tenga-tengah umat islam.

C. Menjinakkan Virus Liberalisme dalam Islam
Meskipun sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan Islam oleh MUI
melalui fatwanya tahun 2005, paham-paham liberalisme seperti pluralisme agama,
relativisme, perenialisme, dan multikulturalisme agama masih terus disebar luaskan oleh para
pemeluknya. Yang saat ini paling giat dikampanyekan ialah paham Pluralisme Agama, selain
ada yang menganggap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik antar umat beragama,
paham ini memang sangat laku dijual. Sebab, paham ini memang sangat laku ditawarkan
pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat Barat. Karena itulah, bisa dipahami bahwa
paham ini termasuk isu favorit di kalangan kaum liberal. Salah satu program utama
liberalisasi Islam di Indonesia adalah penyebaran Pluralisme Agama.
Yang perlu dilakukan oleh setiap muslim terutama para mahasiswa muslim dimanapun itu
ialah, senantiasa hanya terus mengingat bahwa penyebaran paham liberalisme ini sangat
berbahaya bagi masa depan Islam khususnya di Indonesia. Dalam surat al-fatihah, disamping

kita diperintahkan supaya terhindar dari jalan yang dimurkai oleh Allah yaitu jalan orangorang yang tersesat yang termasuk di dalamnya ialah orang yang pada dasarnya paham ayatayat Allah, tetapi kemudian ayat-ayat itu dicampakan begitu saja. Setiap muslim hendaknya
mengokohkan pemahaman aqidahnya agar tidak mudah terpedaya dengan paham-paham
seperti ini. Dan bagi kalangan akademis islam di Perguruan Tinggi manapun termasuk di
Perguruan Tinggi Islam hendaknya untuk menimba dan memantapkan ilmu pemahamannya
tentang islam, dan berguru pada guru yang benar pemikirannya dan tidak keluar dari qur‟an
dan sunnah. Berfikir kritis terhadap setiap doktrin yang ada, jangan sampai terjebak pada
doktrin yang menyesatkan dari ajaran Allah. “ihdina as-shirat al-mustaqim”.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari analisa yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa Islam Liberal
Indonesia merupakan gerakan para intelektual Islam yang menginginkan adanya reinpretasi
dalam agama, mereka terpengaruh dengan dunia barat, tempat dimana mereka
mengembangkan ilmu. Adanya isu-isu yang diangkat oleh jaringan ini bertujuan untuk
membumikan Al-Qur‟an. Namun pemikiran yang bertujuan baik akan menimbulkan hal yang
negatif jika pemikiran tersebut sampai menimbulkan kerancuan dalam berpikir.

Dari latar belakang sejarah liberalisme yang telah dipaparkan di atas, kita dapat menilai
bahwa liberalisme jelas sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sejarah
kemunculannya yang sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politik dan problem teologi
Kristen ketika itu dapat kita jadikan alasan bahwa Islam tidak perlu, dan tidak akan perlu
menerima liberalisme. Karena sepanjang sejarahnya, Islam tidak pernah mengalami problem
sebagaimana yang dialami oleh agama Kristen. Oleh karena itu, tidak ada alasan mendasar
bagi Islam untuk menerima konsep liberalisme dengan semua bentuknya.
Apalagi jika ditilik dari konsep pokoknya, pemikiran liberalisme sangat bertentangan
dengan ajaran Islam. Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang mencederai
akidah Islam, ajaran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme mengajarkan kebebasan
menuruti semua keinginan manusia, sementara Islam mengajarkan untuk menahannya agar
tidak keluar dari ketundukan kepada Allah. Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam adalah,
bahwa Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk, kepada
penghambaan kepada Rabb makhluk.
Begitu pun dengan otoritas akal sebagai sumber nilai dan kebenaran dalam „ajaran‟
liberalisme. Sumber kebenaran dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang terbatas
dalam mengetahui kebenaran. Dengan demikian, menerima liberalisme berarti menolak
Islam, dan tunduk kepada Islam berkonsekwensi menanggalkan faham liberal.

B. Saran-Saran
Dalam penulisan ini tentunya penulis menyadari segala kekurangan yang ada dalam diri
penulis, untuk itu penulis sangat mengapresiasi dan berterima kasih kepada siapapun
pembaca yang berkenan bemberikan kritikan dan sarannya atas penulisan makalah ini.
Sehingga penulis berharap dapat memperbaiki tulisan berikutnya dari kritik dan saran yang
diberikan oleh pembaca yang budiman.

C. Daftar Pustaka
Buletin Milad Intonesia Tanpa JIL, Februari 2014
Arta Wijaya, Indonesia Tanpa Liberal, Jakarta: Penerbit Alkautsar, 2012
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani Press,
2009
Syafieh

Yanti,

Membongkar

http://syafieh.blogspot.com/2014/02

Kedok

Liberalisme

Islam

di

Indonesia,

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24