Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terha

J sewu. Kekhasan bentanglahan Karst gersang akibat curah hujan rendah, se-

  agad Selatan Kabupaten Gunungkidul karena dari segi ekologis wilayah karst terbentang formasi Karst Gunung- Gununkidul diliputi oleh kondisi lahan

  Gunungsewu mempengaruhi bentuk sub- dangkan dari sisi sosial masyarakatnya sistensi masyarakat yang bermukim di dililit keterbatasan kapital. wilayah ini. Sebagian besar masyarakat

  Untuk menyikapi sederet permasa-

  Karst Gunungsewu melakoni sistem per- lahan sosial-ekologis, para petani karst tanian tadah hujan. Dari waktu ke waktu, Gunungkidul mempertahankan norma- kawasan Karst Gunungsewu identik seba- norma kultural: mewarisi sistem pengeta- gai lahan gersang, kering, dan berbatu huan lokal pranotomongso dalam meng- serta masyarakatnya hidup dalam kung- olah lahan dan mengutamakan pembudi- kungan kemiskinan. Pameo Cedak watu dayaan tanaman palawija untuk kebutuh- adoh ratu dapat mengilustrasikan bahwa an subsisten daripada keperluan pasar masyarakat Karst Gunungsewu adalah (Larastiti, 2011; Yuwono et. al., 2004). golongan marjinal baik dari sisi lingkung- Dengan kata lain, para penulis di atas an maupun ekonomi.

  mengafirmasi konsep “involusi pertanian

  Cara pandang serupa diproyeksi- Geertz” dan “utamakan selamat” Scott se- kan oleh ilmuwan sosial dalam meninjau cara bersamaan. Kedua konsep tersebut situasi agraria masyarakat Gunungkidul. menjadi paling dominan dalam pengkajian Santiasih dan Pratiwi (1994: 98), men- pedesaan Jawa pada tahun 196070-an jelaskan kemiskinan petani Gunungkidul (Husken, 1998: 30). disebabkan rendahnya produksi tegalan

  Involusi pertanian Geertz menje-

  akibat lahan karst yang tidak subur. Kon- laskan bahwa keadaan sosial-ekonomi pe- disi yang tidak menguntungkan itu diper- desaan “berjalan ditempat” karena selalu parah oleh ketidakmampuan sistem bagi mempertahankan homogenitas melalui hasil maro maupun mertelu dalam men- hubungan sosial atas penggunaan tanah, distribusikan kebutuhan konsumsi rumah teknologi, dan tenaga kerja, serta pendis- tangga dan kerabat (Santiasih dan Pratiwi, tribusian hasil bumi secara merata yang 1994: 98). Bertaut dengan penjelasan ter- diatur oleh kompleksitas norma-norma sebut, Zakaria (2005) dan Daramaning- adat. Menurut Geertz hubungan yang tam- tiyas (2002), sepakat bahwa kemiskinan pak harmonis tersebut justru sebuah wu- petani adalah suatu hal yang lumrah jud tekanan, sebab semakin sedikitnya akibat lahan karst yang tidak subur. Kon- laskan bahwa keadaan sosial-ekonomi pe- disi yang tidak menguntungkan itu diper- desaan “berjalan ditempat” karena selalu parah oleh ketidakmampuan sistem bagi mempertahankan homogenitas melalui hasil maro maupun mertelu dalam men- hubungan sosial atas penggunaan tanah, distribusikan kebutuhan konsumsi rumah teknologi, dan tenaga kerja, serta pendis- tangga dan kerabat (Santiasih dan Pratiwi, tribusian hasil bumi secara merata yang 1994: 98). Bertaut dengan penjelasan ter- diatur oleh kompleksitas norma-norma sebut, Zakaria (2005) dan Daramaning- adat. Menurut Geertz hubungan yang tam- tiyas (2002), sepakat bahwa kemiskinan pak harmonis tersebut justru sebuah wu- petani adalah suatu hal yang lumrah jud tekanan, sebab semakin sedikitnya

  

  Pandangan involusi pertanian Geertz meredup seiring semakin intensif- nya penelitian mengenai dampak revolusi hijau terhadap kondisi sosial-ekonomi pedesaan berbasis sawah di Jawa pasca 1970-an (Lihat Wahono, 1994; Collier et. al., 1979; Siahaan, 1983; Hayami dan Kikuchi, 1987). Berdasarkan penelitian- penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa agenda pembangunan negara turut mendongkrak struktur pengelolaan eko- nomi masyarakat agraria dari tatanan tradisional menuju modern atau dari sub- sisten menuju komersil sehingga memicu terjadinya diferensiasi sosial (Husken, 1998:44). Bahkan menurut Husken dan White (1989: 18), fenomena tersebut te- lah terjadi sejak zaman Kolonial Belanda. Mengutip judul bab pembuka buku karya Husken “Masyarakat Desa dalam Perubah- an Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980” yakni Kebo Gedhe Me- nang Berike (Kerbau Besar Selalu Menang Bertarung), bahwa di balik kehidupan si miskin yang kiat terjepit, kehidupan orang-orang kaya semakin mapan dan unggul kerena mereka mampu untuk meraup keuntungan besar dari hasil pro-

  duksi melalui mekanisme akumulasi mo- dal, pengontrolan tenaga kerja, dan penguasaan tanah (Husken, 1998: 180).

  Sangat disayangkan, para peneliti sosial enggan menggunakan konsep dife- rensiasi dan kerap mengabaikan karak- teristik keruangan karst (geomorfologi dan sejarah tataguna lahan) dalam menin- jau dinamika sosial-ekonomi masyarakat karst Gunungkidul. Berbicara tentang karst maka kita dihadapkan situasi eko- logi yang khas. Keunikan yang paling mendasar dari aspek geomorfik adalah su- sunan batuan karst menyebabkan tata air dikuasai jaringan sungai bawah tanah (Ford and Williams, 2007: 5). Tentunya, rekayasa teknologi seperti irigasi dan pe- ngayaan diversifikasi tanaman komersil seperti di lingkungan vulkanis (yang kaya sungai) mustahil untuk diterapkan di ling- kungan karst. Oleh sebab itulah, sistem pertanian lahan kering selalu diasosiasi- kan sebagai daerah yang tidak berkem- bang dan masyarakatnya hidup dalam ju- rang kemiskinan. Padahal, jika ditinjau dari segi dinamika tataguna lahan dan pe- ningkatan produksi pertanian, wilayah Gunungkidul mengisyaratkan fenomena ekonomi dan ekologis yang amat dinamis.

  Sepengetahuan saya, studi yang mendekati konsep diferensiasi dan seja- rah tataguna lahan dalam konteks dampak

  revolusi agraria di wilayah karst Gunung- kidul pernah dilakukan Effendhie (1993 1994). Namun, kajian tersebut terlalu makro dan penafsiran beliau mengenai dinamika sosial-ekologis hampir seluruh- nya bersumber dari penafsiran data Biro Pusat Statistik. Dalam hal ini, studi histo- ris tulen tersebut kurang menyentuh kaidah fakta sosial dari perspektif antro- pologi. Dengan demikian, studi antropo- logi ini mengungkapkan dinamika sosio- ekologis kawasan karst Gunungkidul yang dimulai pada fase prapasca Revolusi Hijau. Secara spesifik pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Faktor sosio- politik apa yang menyebabkan perubahan tataguna-lahan

  Bagaimana dampak perubahan tataguna lahan dan ekologis terhadap penciptaan diferensiasi sosial-ekonomi masyarakat karst Gunung-kidul?

  Bentanglahan dalam Perspektif Pertanian

  Dari aspek morfologi Kabupaten Gunung- kidul dibagi atas tiga bentuk fisiografi, yaitu Zona Baturagung, Zona Cekungan Wonosari, dan Zona Gununugsewu. Zona Baturagung meliputi bagian utara dan barat. Zona Cekungan Wonosari terdapat di bagian tengah. Sementara itu, Zona Gunungsewu berkembang di sisi selatan. Masing-masing zona tersebut mempunyai

  susunan batuan yang berbeda, sehingga menciptakan kekhasan tata kelola tanah dan air pada setiap wilayahnya (Pe- merintah Kabupaten Gunungkidul, 2007:

  4) (lihat gambar 1).

  Oleh sebab itu, untuk melihat hu- bungan diferensiasi sosial-ekonomi tidak cukup dengan meninjau aspek sosial se- mata-mata. Dalam hal ini, saya meng- gunakan kerangka geo-spasial yang secara khusus menjelaskan pengaruh interelasi manusia dengan aspek-aspek fisik ling- kungan sehingga menciptakan pola kul- tural-ekonomi di dalam suatu bentang- lahan (Bebbington and Carney, 1990: 42). Menurut Haggeet ada dua paradigma da- lam menjelaskan interelasi manusia deng- an lingkungan. Pertama, lingkungan me- rupakan arena yang memberikan penga- ruh kuat terhadap cara manusia dalam mengatur kehidupannya sendiri. Kedua, bagaimana organisasi ruang di dalam su- atu relung sumberdaya digunakan untuk membangun sebuah perspektif tentang

  Gambar 1. Zonasi Gunungkidul (Martias 2012)

  tataguna lahan di masa lampu, sekarang maupun masa depan (Goudie, 1986: 455). Dengan kata lain, ruang adalah produk dari relasi sosial dan objek alami serta budaya (Tilley, 1994: 17).

  Kembali ke Zonasi Gunungkidul. Secara morfologi Zona Baturagung meru- pakan perbukitan terjal yang terdiri dari batuan vulkanik (intrusi dan ekstrusi), sedimen vulkanik klastik, dan karbonat, dengan kemiringan batuan relatif ke se- latan. Sementara itu, Zona Cekungan Wo- nosari diperkaya oleh batuan napal dan satuan batuan gamping berlapis tanah renzina, mediteran, dan tanah gromosol. Mintakat ini sangat subur, hal ini dise- babkan terdapatnya endapan alluvium dan jaringan Sungai Oyo. Karakteristik lingkungan tersebut mengindikasikan bahwa pembentukan tanah wilayah ini lebih tinggi dan tingkat erosi sangat kecil (Yuwono et. al., 2004:17).

  Dilihat dari segi topografi, maka ada tiga kelas bidang tanah yang digarap petani yakni, petani penggarap tanah oro- oro, petani penggarap tanah iring-iring, dan petani penggarap tanah oro-oro dan iring-iring. Masing-masing kelas tersebut mempunyai produktifitas yang berbeda. Ringkas kata, keluarga petani yang punya akses besar ke tanah oro-oro mempunyai peluang besar untuk mengintensifikasi

  atau mendongkrak carrying capacity ko- moditas daripada keluarga petani yang memiliki akses tanah oro-oro yang ter- batas.

  Metode

  Riset ini pengembangan dari tesis Ketika Air Tidak Mengalir ke Tempat si Miskin (2013) yang berlokasi di sebuah Padukuh- an Klepu, Desa Karangasem, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propin- si Yogyakarta. Riset memakan waktu dari Juni 2011-Juni 2012. Bertolak dari hasil riset tersebut, saya menyimpulkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi antar pendu- duk sangat kentara. Melalui wawancara, saya mengumpulkan data kuantitatif: seja- rah ekologis dan ekonomi masyarakat setempat serta persepsi mereka terhadap perubahan tataguna lahan. Oleh karena studi ini bersifat historis, maka informan kunci mayoritas orang tua berumur 50 ke atas. Dari dimensi historis riset ini dimulai dari tahun 1960-an an hingga 2012.

  Foto 1. Topografi Karst Gunungkidul Dok. Martias (2012)

  oro-oro

  iring-iring

  Pendataan struktur penguasaan la- luaran Badan Pertahan Nasional (1960). han merupakan hal yang penting dalam Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif riset antropologi-agraria. Oleh sebab itu, masyarakat dan analisa desktop terdapat saya menyurvai jumlah total 83 Kepala tiga lembar peta tataguna lahan. Keluarga (KK) Padukuhan Klepu. Infor-

  masi yang dikumpulkan dari tahapan ter- Padukuhan Klepu: Sebuah Permukiman

  Petani Karst Gunungkidul

  sebut meliputi: luas tegalan, tipe lahan,

  dan kepemilikan, serta cara perolehan. Padukuhan Klepu merupakan bagian dari Tujuan dari survai ini adalah penyusunan Desa Karangasem. Desa ini merupakan basis data tentang keterkaitan luas lahan salah satu permukiman paling timur Pro- dengan produktifitas tegalan. Tahapan se- pinsi Yogyakarta yang bersinggungan de- lanjutnya, berpedoman kepada rumus ngan Provinsi Jawa Tengah. Di utara ber- pendapatan perkapita ekuivalen beras batasan dengan Desa Kenteng, di sebelah Sayogyo (BPS: 1984), saya menyusun ke- selatan berbatasan dengan Desa Bedoyo, las sosial-ekonomi berdasarkan nilai ko- sedangkan sebelah barat dan timur ber- moditas yang diusahakan pemilik lahan. singgungan dengan Desa Ponjong dan Ka- Sementara itu, untuk mengetahui penge- bupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. luaran tiap kelas, maka saya memilih Berdasarkan Peta RBI 2001, tataguna la- masing-masing satu informan yang me- han Desa Karangasem terdiri dari tegal- wakili rumah tangga kaya, sedang, miskin.

  an (5154 ha), semak belukar (598 ha), dan

  Dalam riset ini, saya menggunakan permukiman (53 ha). SIG Arc Info untuk merekonstruksi tata-

  Merujuk Profil Desa Karangasem

  guna lahan. Luaran dari pemrosesan ter- (2007), jumlah penduduk Desa Karang- sebut bertujuan untuk menganalisa fak- asem 2716 jiwa, 1222 terserap ke dalam tor-faktor keruangan yang mempengaruhi sektor pertanian. Sementara itu, warga produktifitas tegalan baik dari segi kuan- Padukuhan Klepu terdiri dari 378 jiwa titas (luas) maupun segi kualitas. Adapun dengan jumlah KK 83. Telah disebutkan di materi peta yang saya gunakan adalah atas, bahwa pertanian yang diusahakan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Digital masyarakat Pedukuhan Klepu adalah pola Lembar Bakosurtanal 1408-311,1408- tumpang sari. Pola tumpang sari suatu 312, 1407-633, 1407-634 (2001), Citra Sa- usaha penanaman palawija dan padi se- telit Google (2012), dan Peta persil ke- cara berselang-seling berdasarkan keter- guna lahan. Luaran dari pemrosesan ter- (2007), jumlah penduduk Desa Karang- sebut bertujuan untuk menganalisa fak- asem 2716 jiwa, 1222 terserap ke dalam tor-faktor keruangan yang mempengaruhi sektor pertanian. Sementara itu, warga produktifitas tegalan baik dari segi kuan- Padukuhan Klepu terdiri dari 378 jiwa titas (luas) maupun segi kualitas. Adapun dengan jumlah KK 83. Telah disebutkan di materi peta yang saya gunakan adalah atas, bahwa pertanian yang diusahakan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Digital masyarakat Pedukuhan Klepu adalah pola Lembar Bakosurtanal 1408-311,1408- tumpang sari. Pola tumpang sari suatu 312, 1407-633, 1407-634 (2001), Citra Sa- usaha penanaman palawija dan padi se- telit Google (2012), dan Peta persil ke- cara berselang-seling berdasarkan keter-

  Pada dakade 19501960, situasi

  nya untuk kebutuhan konsumsi, sebalik- argraria pedesaan Gunungkidul dalam nya tanaman palawija diperjual-belikan di kondisi yang memrihatinkan. Berdasarkan

  Pasar Bedoyo dan Ponjong. sensus pertanian 1963 sebanyak 47.700 petani hanya 22, 5 petani yang mengu-

  Tataguna Lahan Desa Karangasem Padu-

  kuhan Klepu 19501960: Zaman Susah sahakan tanah pertanian dengan luas yang

  Petani Klepu Desa Karangasem

  layak (0,5-0,9 ha), sedangkan 77,5 pe-

  Pada tahun 19501960-an, menurut Pak tani hidup di ambang batas garis subsis- Loso lansekap Desa Karangasem sangat tensi karena menguasai sedikit lahan hijau dan asri. Pepohonan yang diselingi (<0,5 ha) (Pratikno, 2003: 33). Sebenar- semak belukar di perbukitan masih sangat nya, pada tahun 1956, pemerintah sempat rindang, terdapat jenis pohon yang saat ini mengusahakan perbaikan pangan rakyat jumlahnya semakin sedikit: randu, ploso, melalui program kesejahteraan Kasimo dan krojo. Berdasarkan perhitungan Peta (Mears dan Molejono, 1990: 30). Program Persil Karangasem tahun 1960, hanya pertanian tersebut diimplementasikan di terdapat 0,38 ha lahan kritis (lihat kode Gunungkidul pada tahun 1960 dengan di-

  A.B di peta 1). Dari untaian perbukitan itu, bentuknya kelompok kerja pengajaran warga memetik ranting dan rerumputan dan demonstrasi penanaman bibit unggul untuk bahan bakar dan pakan ternak. De- padi di tiap Kecamatan (Pratikno, 2000: mikianlah penggambaran situasi vegetasi 44). Sayangnya, di kawasan Gunungkidul- di Karangasem menurut Pak Loso.

  Karst Gunungsewu program tidak berjalan

  Menurut Pak Mojo, pada dekade mulus karena karakteristik perbukitan 19501960 kehidupan beliau sebagai karst tidak memadai dalam pembudidaya- petani lahan kering serba susah. Ikhwal Menurut Pak Mojo, pada dekade mulus karena karakteristik perbukitan 19501960 kehidupan beliau sebagai karst tidak memadai dalam pembudidaya- petani lahan kering serba susah. Ikhwal

  belum tersentuh modernisasi pertanian.

  Berpijak Peta Persil UUPA 1960 da- Dalam hal ini, mereka masih melakoni pat diketahui luas Desa Karangasem 900 cara bercocok tumpang sistem tabur dan

  ha, sedangkan pengusahaan tegalan 460, urung menggunakan pupuk kimia.

  39 ha (51,15 ). Pada saat itu tanah iring-

  Menurut Pak Warto, hasil panen

  iring belum diolah menjadi tegalan, 50 padi dan palawija hanya separuh jika di-

  dari luasan medan ini berstatus Pangonan bandingkan dengan sekarang 1 . Ia meng-

  atau Sultan’s Ground (SG). Terkait dengan ingat hasil panen padi dan ketela pada te-

  status kepemilikan tegalan, 24.79 ha (5,4 galan 0,25 ha cuma mencapai 400 berok 2 ) merupakan kas desa, sedangkan 27.64 dan ketela sekitar lima bagor. Jika dikon-

  ha (6 ) diserahkan kepada para Kepala versikan kesatuan bobot universal, maka Dukuh. Jadi, tanah yang diolah warga ber- pada masa itu, berat bersih padi tidak le- kisar 407.96 ha ( 88, 6 ) (lihat peta 1).

  bih dari 200 kg, sedangkan ketela di ba-

  Sangat disayangkan, saya tidak wah 500 kg. Oleh sebab itu, apabila ber- memperoleh jumlah penduduk tahun 1950-1960 sehingga rata-rata penguasaan tegalan perkeluarga tidak dapat ditemu- kan secara absolut. Namun, menurut ke- terangan mBah Tus, pada tahun 1950- 1960 setiap pemilik rumah mempunyai tegalan. Melalui penelusuran Letter C ta- hun 1959-1963, tercatat 310 kepala yang membayar pajak tanah. Angka tersebut saya anggap sebagai perkiraan jumlah KK. Dengan demikian, dapat diperkirakan re- rata luas tegalan yang dikuasai tiap KK adalah 0,71 ha. Jika menggunakan para- meter Penny dan Ginting (1984: 33), luas-

  an tanah tersebut termasuk dalam kate- Peta 1. Rekonstruksi Tata Guna Lahan Desa Karangasem 19501960 (Martias: 2012)

  1 gori cukup dengan asumsi hasil 900 kg Menurut Pak Warto, untuk saat ini tegalan seluas 0,25 ha

  dapat menghasilkan 5 kw padi, 1,5 kw jagung, 2 kw kacang

  beras untuk kebutuhan 5-6 orang. Namun tanah, dan 5 kw ubi kayu.

  2 Bero adalah wadah ukur yang terbuat dari batok kelapa, 1 berok ± 0,5 kg.

  tanya bagaimana kondisi ekonomi Padu- kukan melalui ngrasak 3 tegalan tuan ta-

  kuhan Klepu pada akhir dekade Orde La- nah. Di Padukuhan Klepu, pada tahun ma, cerita mengenai susah pangan dan 1950-1960 dapat dilacak ada tiga keluarga sandang selalu mewarnai setiap obrolan petani pemilik lahan yang sangat luas, me- saya dengan narasumber.

  reka adalah mBah Pur, mBah Cito, dan

  Untuk menyambung hidup akibat mBah Har yang menjabat Kepala Dukuh. keterbatasan lahan produktif dan hasil Masing-masing dari mereka mempunyai panen yang sedikit, para petani harus luas tegalan 10 ha, 5 ha, 5 ha . rewang-rewang (membantu) tuan tanah.

  Tentunya, hubungan antara majik-

  Perempuan pada umumnya membantu

  an dan petani miskin tidak berhenti dalam

  panen padi, sedangkan laki-laki terlibat hubungan kerja, banyak tanggung jawab dalam panen ketela dan merontokkan moral yang harus dituntaskan para petani gabah. Dari hasil jerih payahnya, mereka kecil beserta anggota keluarganya untuk diberi 1:9 dari hasil produk tanaman yang menunjukan balas budi terhadap para tu- mereka kerjakan (upah bawon). Walau- annya. Seperti yang dituturkan Pak Kir, ia pun upah bawon tersebut sangat kecil, na- dan istrinya selalu siaga dalam membantu mun menurut Pak Pris jumlah tersebut sa- pekerjaan rumah para tuannya: memikul ngat membantu kebutuhan konsumsi ang- air, mengumpulkan kayu dan rumput, ser- gota keluarganya.

  ta rewang-rewang selametan. Sekilas, hu-

  Di samping itu, bagi mereka yang bungan batur dengan raden memperaga- memiliki jumlah anggota keluarga cukup, kan hubungan patronase. Para tuan tanah terkadang diberikan kesempatan mengga- (patron) melindungi dengan memberikan rap tegalan tuan tanah dengan sistem bagi jaminan ekonomi subsistensi kepada para hasil maro atau morotelu dengan jangka petani miskin (klien). Sebaliknya, para pe- waktu yang ditentukan oleh para tuan ta- tani miskin menunjukkan loyalitasnya de- nah. Namun menurut Mbah Kus, tidak ngan menyumbangkan tenaganya mana- mudah untuk menggarap tegalan para kala para tuan tanah membutuhkannya, tuan tanah karena apabila terjadi puso, baik dalam kegiatan produksi maupun da- maka hasil panen yang jelek menjadi lam penyelenggaraan gotong royong dan bagian para petani penggarap. Selain itu, ritus (Scott, 1981: 41). peluang memperoleh bahan pangan dila-

  3 Ngrasak adalah kegiatan mengutip sisa hasil panen di tegalan yang tidak terangkut.

  Namun menurut Husken (1998: 236). Dalam jangka waktu satu tahun pe- 202), hubungan yang dipaparkan di atas merintah berhasil merangkul satu juta pe- merupakan mekanisme penarikan surplus tani meliputi luas lahan 300.000 ha yang terhadap petani melalui penguasaan tanah tersebar di wilayah Pulau Jawa (Mears secara perorangan, sewa dalam bentuk dan Moelyono, 1990: 40). tenaga, dan bagi hasil. Hal demikian dapat

  Peningkatan rata-rata produksi pa-

  kita cermati besarnya resiko yang diem- di sebesar 5 merupakan indikator ban para petani penggarap dalam mengu- program BIMAS sangat efektif (Gsanger sahakan tegalan para tuannya. Tidak lebih dan Bottcher, 1988: 236). Namun, pro- baik daripada itu, penerimaan bobot upah gram ini dinilai timpang karena tidak me- bawon sebesar 1 yang dikerjakan para nyertai pengembangan sektor bahan pa- buruh tani jelas tidak sebanding dengan ngan di luar padi: kacang, ketela, dan jam kerja dan jumlah produk yang mereka jagung, produksi kelompok palawija tidak tuntaskan. Husken (1998: 205) menam- mengalami peningkatan signifikan (Mears bahkan, kerja suka rela para batur yang dan Moelyono, 1990: 42). Dengan kata telah dijelaskan di atas juga justru me- lain, program BIMAS hanya berkontribusi rugikan petani kecil karena aktivitas ini di pedesaan Jawa yang telah dilengkapi menutup kesempatan mencari pemasukan dengan infrastruktur irigasi. Dalam kon- sampingan di tempat lain.

  teks wilayah Gunungkidul, program ini hanya berjalan mulus di Zona Baturagung

  Revolusi Hijau di Gunungkidul

  dan Ledok Wonosari (Effendie, 1993

  Awal rezim Orde Baru (19681969), me- 1994: 22). Sementara itu, di kawasan lalui Rencana Pembangunan Lima Tahun Karst Gunungsewu, percobaan penanam- (REPELITA I) pemerintah mengintroduksi an bibit unggul padi gagal total akibat ke- program Bimbingan Massal (BIMAS) Go- munculan hama wereng. “Semua tegalan tong Royong dan Intensifikasi Massal yang ditanami padi dibakar untuk memus- (INMAS). Secara umum, program ini ber- nahkan hama wereng, untungnya para pe- tugas untuk menyukseskan penyuluhan tani tidak diwajibkan mengganti kitiran besar-besaran tentang penggunaan bibit (kredit) pupuk dan bibit”. Imbuh Pak Kus. unggul, pupuk, dan kredit sebagai pening- Meskipun gagal, para petani Klepu ter- katan panen beras (Booth dan McCawly, hindar dari bencana kelaparan karena 1990: 12; Gsanger dan Bottcher, 1988: Awal rezim Orde Baru (19681969), me- 1994: 22). Sementara itu, di kawasan lalui Rencana Pembangunan Lima Tahun Karst Gunungsewu, percobaan penanam- (REPELITA I) pemerintah mengintroduksi an bibit unggul padi gagal total akibat ke- program Bimbingan Massal (BIMAS) Go- munculan hama wereng. “Semua tegalan tong Royong dan Intensifikasi Massal yang ditanami padi dibakar untuk memus- (INMAS). Secara umum, program ini ber- nahkan hama wereng, untungnya para pe- tugas untuk menyukseskan penyuluhan tani tidak diwajibkan mengganti kitiran besar-besaran tentang penggunaan bibit (kredit) pupuk dan bibit”. Imbuh Pak Kus. unggul, pupuk, dan kredit sebagai pening- Meskipun gagal, para petani Klepu ter- katan panen beras (Booth dan McCawly, hindar dari bencana kelaparan karena 1990: 12; Gsanger dan Bottcher, 1988:

  penggunaan pestisida yang tidak berkesi-

  Pemerintah menyadari bahwa pro- nambungan, menurut Pak Pris penyem- gram swasembada beras tidak memung- protan tidak memberikan bukti nyata da- kinkan diterapkan pada kawasan ekologis lam pemberantasan hama. “Mau disprey yang spesifik, seperti halnya tataguna atau tidak, toh hasilnya sama saja, jamur lahan sawah tadah hujan. Lantas, mema- dan binatang tetap ada”, pungkas Pak Pris. suki tahun 1978 dicanangkanlah program

  Dapat dipastikan bahwa program

  Swasembada Pangan. Pemutakhiran pro- modernisasi pertanian di Gunungkidul gram BIMAS-INMAS tersebut menitikbe- yang dimulai dari tahun 1968 berdampak ratkan kepada pola tanaman bahan ma- terhadap perubahan tataguna lahan. Ber- kanan yang sesuai dengan karakter eko- pijak dari data statistik Dinas Pertanian logis (Mears dan Moelyono, 1990). Masya- Gunungkidul 1983, tegalan mengalami pe- rakat Gunungkidul-Karst Gunungsewu nurunan dari 6.285 ha (1968) menjadi 4. maupun warga Klepu mengenal himbauan 749, 80 ha (1983) (Effendhie, 19931994: pemerintah di atas dengan nama Operasi 16). Penyusutan luasan tegalan tesebut Khusus (OPSUS). Menurut Pak Komari, terkait dengan kesuksesan perluasan ja- selain kredit yang disalurkan melalui kan- ringan irigasi di wilayah Wonosari dan tor desa, masyarakat diperkenalkan cara Batureno yang secara signifikan memicu penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan alih fungsi lahan tegalan menjadi sawah pola tanam lurus (nandur jajar) oleh Pe- irigasi. tani Pendamping Lapangan. Di Karang-

  Menurunnya luasan tegalan dan sa-

  asem luas area BIMAS-INMAS mencapai wah tadah hujan tidak diikuti oleh anjlok- 250 ha (BPS, 1986:35).

  nya produktifitas komoditas, bahkan hasil

  Awalnya, mayoritas warga Klepu panen padi gogo dan ubi kayu secara fan- tidak menyambut program di OPSUS de- tastis melonjak hampir dua kali lipat. Urai- ngan tangan terbuka. Pengalaman puso an berikut adalah perbandingan produksi pada tahun 60an akhir merupakan alasan komoditas tahun 1974 dengan 1984 da- penolakan. Lambat-laun warga mulai me- lam satuan ton: a). padi sawah 263.639 nyadari manfaat program tersebut setelah (1974), 23.354 (1984), b). padi gogo menyaksikan mutu panen padi dan pala- 55.807 (1974), 101.870 (1984), c). jagung wija di lahan percontohan Kas Desa. Dari 42.448 (1974), 69.892 (1984), d). ubi Awalnya, mayoritas warga Klepu panen padi gogo dan ubi kayu secara fan- tidak menyambut program di OPSUS de- tastis melonjak hampir dua kali lipat. Urai- ngan tangan terbuka. Pengalaman puso an berikut adalah perbandingan produksi pada tahun 60an akhir merupakan alasan komoditas tahun 1974 dengan 1984 da- penolakan. Lambat-laun warga mulai me- lam satuan ton: a). padi sawah 263.639 nyadari manfaat program tersebut setelah (1974), 23.354 (1984), b). padi gogo menyaksikan mutu panen padi dan pala- 55.807 (1974), 101.870 (1984), c). jagung wija di lahan percontohan Kas Desa. Dari 42.448 (1974), 69.892 (1984), d). ubi

  sempatan kerja akibat beredar cara pro-

  Akibat peningkatan produktifitas duksi baru serta mekanisasi pertanian hasil tegalan, para petani berpeluang un- (Husken, 1998: 40). Persoalan penting tuk menjual hasil tanaman palawija ke yang melatarbelakangi ketidakmerataan pasar, hanya 13 dari setiap jenis yang struktur kepemillikan lahan juga disebab- dikonsumsi. Momentum kenaikan produk- kan besaran luas tanah waris. Dalam hal si juga diikuti pembangunan infrastruktur ini para petani pemilik lahan luas sangat jalan dan rute baru angkutan pedesaaan memungkinkan mewarisi tanah dengan yang menghubungkan Desa Karangasem ukuran yang lebih besar daripada petani dengan pusat ekonomi di Ibu Kota Keca- pemilik lahan sempit. Berdasarkan SPPT matan Ponjong. Implikasinya, interaksi tahun 1992 yang tercantum pada tabel 1 antara pedagang dan petani semakin in- dapat diketahui struktur kepemilikan tensif. Efek hebat lainnnya adalah terjadi tanah di Dusun Klepu. perubahan mode konsumi, pada awal

  Tabel 1. Struktur kepemelikan

  1990-an nasi naik kelas menjadi menjadi

  lahan 1992

  makanan pokok utama, sedangkan tiwul

  dianggap sebagai makanan kalangan

  0,25- 0,50

  orang susah, hal ini seiring dengan kam-

  panye program empat sehat lima sempur-

  Total KK

  na melalui sekolah-sekolah dan acara PKK

  Sumber: SPPT 1992

  yang memromosikan nasi sebagai simbol

  Sebelum mengaitkan struktur

  makanan keluarga sejahtera.

  kepemilikan tanah dengan kemiskinan, perlu ditentukan tolok ukurnya. Sayogyo

  Dilema Sosial-Ekonomi dan Ekologi: Mun- culnya Petani Tegalan Iring-Iring

  menggunakan kalkulasi nilai konsumsi

  beras

  dalam

  satu keluarga

  Menurut Hayami dan Kikuchi (1987: 77),

  (beranggotakan lima orang) untuk

  dampak revolusi hijau yang tidak dapat

  menentukan batas garis kemiskinan

  dihindari ialah terjadinya akumulasi sa-

  masyarakat pedesaan (Harga beras x 240

  rana produksi oleh petani kaya terhadap

  kg x rata-rata anggota keluarga) (BPS,

  petani miskin. Di sisi lain, kehidupan pe-

  1984: 14). Seunit keluarga digolongkan

  tani miskin kian terjepit karena: berku- tani miskin kian terjepit karena: berku-

  perkapita tahun setara 240 kg beras nah oro-oro yang dijual akibat desakan (Supadi dan Nurmanaf, 2006: 11). Jika ekonomi. Pak Handoyo mengisahkan per- disepakati pada tahun 198090an rata- nah menyewakan satu pasang tanahnya rata anggota keluarga di Padukuhan Klepu karena butuh uang untuk membeli kebu-

  5 jiwa dan harga beras Rp 203. Dengan tuhan pokok. Untuk menyambung hidup, demikian, seunit keluarga dikategorikan beliau harus menjadi buruh tani harian di keluarga miskin apabila pendapatan tegalan petani kaya. Merasa bahwa kon- perkapitatahun < Rp 243.000. Mengacu disi ekonomi semakin terjepit, ia memu- INPRES 1979 dan Biro Pusat Statistik tuskan menjual tegalannya Rp. 300.000,- 1984 tentang penetapan harga beras dan kepada orang yang sama. Modal itu palawija dapat diketahui sebagai berikut; dipakai untuk transmigrasi ke Palembang.

  a. kacang tanah Rp. 390kg, b. beras Rp. Fenomena akumulasi penguasaan lahan 203kg, c. jagung Rp 95kg, dan d. ubi petani kaya terhadap petani miskin kayu Rp. 55kg. Tabel 2 di bawah sebenarnya telah terjadi pada beberapa merupakan kisaran produksi padi dan dekade sebelumnya, yakni Pada Zaman tanaman palawija dalam hektar.

  Begaber 4 yang melanda Gunungkidul 196364. Berdasarkan Letter C, lebih

  Tabel 2. Perkiraan produksi tegalan tahun 1990an

  Luas

  Beraskg Kacangkg Ubikayukg Jagungkg Pendapatan tahun

  Sumber: Data Primer

  dari lebih dari 50 bidang tegalan yang di-

  Berpedoman kepada parameter di

  perjual-belikan. Namun yang paling men-

  atas, maka terdapat 26 KK di ambang

  colok, terdapat satu orang yang membeli

  batas kemiskinan. Untuk mencukupi ke-

  12 bidang tanah dengan total luas 2, 71

  butuhan subsistensi para petani miskin

  Ha. Pak Bhusnan berkeluh mengenai pe-

  turut mengonsumsi lebih 13 hasil olahan

  rangai seorang spekulan tersebut yang

  tanaman palawija yang sebenarnya sangat

  tidak lain adalah tetangganya sendiri.

  potensial dijual. Melepaskan tegalan un-

  4 tuk dijual dan disewa kepada petani kaya- Zaman begaber adalah bencana kemarau panjang dan

  diperparah dengan wabah tikus yang terjadi pada

  19631964. pun tidak dapat dihindari. Dalam rentang

  ”Sungguh jual-beli yang tidak adil, Saya terpaksa menjual empat pasang tegalan dan seluruh ternak sapi dan kambing un- tuk memperoleh beberapa pikul gaplek ”.

  Kembali ke persoalan program re- volusi hijau, kesuksesan perluasan padi IR

  63 di lahan BIMAS-INMAS harus dibayar dengan tertutupnya kesempatan kerja petani wanita. Penggunaan ani-ani per- empuan digantikan dengan tenaga arit laki-laki dari luar desa. Pada umumnya para petani kaya membayar tenaga kerja yang berasal dari suatu daerah di Wono- giri yaitu Kampung Bercak. Menurut Pak Ris, orang-orang Bercak lebih cekatan dan berpengalaman mengarit padi bertangkai pendek karena mereka dibesarkan di ling- kungan sawah basah. Mobil slepan yang dimiliki petani kayapun menutup parti- sipasi para petani laki-laki dalam kegiatan panen. Ironisnya, para petani miskinpun terkadang menjadi pelanggan petani-pe- tani kaya. Jadi, rasionalisasi produksi ada- lah pertimbangan utama para petani kaya.

  Akibat minimnya akses lahan dan peluang kerja, para petani miskin terpaksa untuk membuka lahan-lahan baru yang cenderung tidak produktif. Lahan iring- iring yang berkontur tidak moderat dan hamparan lapisan tanah yang tipis serta dipenuhi bebatuan dialihfungsikan menja- di tegalan. Menurut Pak Yar, membuka te-

  galan iring-iring merupakan pekerjaan yang sangat berat, pepohonan harus dipangkas dan serakan batuan harus ditata menjadi terasering.

  Proses produksi tanah iring-iring pun tidak kalah berat. Hal tersebut dise- babkan akses jalan dan kualitas lahan yang buruk. Akses jalan yang terbatas menyebabkan alat angkut seperti mobil mustahil untuk menurunkan pupuk kan- dang di lokasi tegalan. Berjalan kaki me- mikul keranjang merupakan jalan satu- satunya untuk mendistribusikan pupuk kandang. Menurut Pak Supadi, diperlukan waktu satu bulan lebih untuk menuntas- kan pemukuan dengan cara tersebut. Aki- batnya, banyak petani yang kehilangan waktu musim tanam. Di samping itu, cu- ramnya medan dan rapatnya bebatuan sungguh merepotkan penggemburan ta- nah. “Kalau di gunung yang dipacul bukan hanya tanah, tapi juga longsoran batu- batu itu, kalau batunya ndak diangkat ya tidak bisa nandur mas”, ujar Pak Supadi.

  Dihadapkan dengan kondisi di atas, para petani miskin menginisiasi sistem kerja kruyukan. Rangkaian kegiatan sis- tem kerja tersebut meliputi penebangan pohon, penataan kembali terasering, pe- mupukan, dan penggemburan tanah. Kru- yukan dimulai pagi buta sekitar jam 04: 30 dan berakhir 12:00, meski sulit untuk me- Dihadapkan dengan kondisi di atas, para petani miskin menginisiasi sistem kerja kruyukan. Rangkaian kegiatan sis- tem kerja tersebut meliputi penebangan pohon, penataan kembali terasering, pe- mupukan, dan penggemburan tanah. Kru- yukan dimulai pagi buta sekitar jam 04: 30 dan berakhir 12:00, meski sulit untuk me-

  ga mereka tidak ketinggalan waktu tanam. Karangasem (lihat peta 2). Tidak hanya di Kelembagaan ini sangat marak pada per- Karangasem Klepu, perambahan lahan tengahan tahun 1990. Jika lapisan tegalan iring-iring juga terjadi di Perbukitan iring-iring menipis karena erosi, para Selatan seperti yang dilaporkan Nibbering petani harus membuka lahan di tempat (1995: 169) “ The terraces in the valley yang baru. Dengan kata lain, pemanfaatan bottoms developed in-to large permanent tegalan tidak mengenal sistem rotasi.

  constructions ressembling amphiteaters

  Tidak dapat dipungkiri bahwa toward the saddles... Farmers have a strong sistem kerja kruyukan memicu perubahan efforts incentive for bringing their terraces tataguna

  lahan

  secara

  signifikan. in order after a fallow period, they usually

  Lansekap perbukitan yang semula with start with hillrice, a crop with with didominasi pepohonan berubah menjadi higest value and greates demands on the

  soil.

  Tentu, perambahan lahan iring-iring tersebut harus dibayar

  dengan rusaknya ekosistem perbukitan karst karena semakin berkurangnya pepohonan yang berfungsi menahan laju erosi. Di samping itu, timbul juga masalah kelangkaan air. Telaga yang menjadi topangan warga da- lam mencukupi kebutuhan rusak akibat penggundulan

  vegetasi. Dalam konteks luas,

  Peta 2. Sebaran tegalan iring-iring oro-oro Desa Karangasem tahun pasca 1990

  tegalan. Berdasarkan interpretasi citra hingga awal Pelita VII tercatat 12. 372 ha dapat diperkirakan luas tegalan iring-iring lahan kritis di Gunungkidul (Darma-

  yang digarap warga Klepu adalah 3,5 ha. ningtiyas, 2002: 106). Hefner (1999: 81), yang digarap warga Klepu adalah 3,5 ha. ningtiyas, 2002: 106). Hefner (1999: 81),

  Contohnya almarhum Pak Cahyo

  layah perbukitan rentan akan degradasi yang berpulang pada tahun 1992. Sebelum lingkungan, berbeda dengan sawah yang tutup usia, ia hanya memiliki satu bidang mempunyai kesinambungan dan memiliki tanah oro-oro sebesar 0, 3 ha. Sekarang, kemampuan untuk dikelola secara intensif tanah tersebut dipecah menjadi lima tanpa adanya perubahan otogenus di da- bidang sesuai dengan jumlah anak- lam penataan fisiknya.

  anaknya, setiap ahli waris memperoleh ±

  Akses Lahan dan Produksi Pertanian Masa

  0. 060 ha tanah oro-oro. Keadaan yang

  Kini

  berbeda dialami oleh Pak Taruno dan

  Dalam pembahasan ini saya mengungkap- keempat

  adiknya,

  masing-masing

  kan diferensiasi sosial-ekonomi terkini. memiliki ± 1 ha tegalan yang berasal dari Berdasarkan rekapitulasi struktur pengu- warisan orang mereka yang dikenal asaan lahan di Padukuhan Klepu dapat di- sebagai wong sugih yaitu mBah Sur. ketahui terjadi peningkatan jumlah petani Karena Pak Taruno merupakan anak yang pemilik lahan kecil (<0,5 ha), hal ini dise- mengurusi

  rumah

  kepribon, ia

  babkan para pewaris harus memecahkan mendapatkan tanah terluas yaitu 1, 3 ha. lahan menjadi beberapa bidang berdasar-

  Nek cilik berbagi kemul, nek jembar

  kan jumlah keturunannya yang berhak. berbagi unggul,” begitulah ungkapan Pak Pola perwarisan di Klepu menganut sis- Cahyo dalam menjelaskan ketimpangan tem bilateral, baik perempuan dan lelaki distribusi tanah antara si kaya dengan si mendapat hak yang sama asalkan domisli miksin. Sampai saat ini, perolehan tanah mereka di Desa Karangasem, namun ter- melalui proses pewarisan merupakan dapat kecenderungan, jatah tanah yang faktor penting dalam pembentukan terluas jatuh kepada anak yang mengurusi struktur penguasaan lahan. Paling tidak, rumah orang tua.

  ada 107 bidang lahan yang diwariskan

  Tabel 3. Struktur kepemilikan Lahan di Padukuhan Klepu Luas Beraskg Kacangkg Ubikayukg

  Jagungkg

  Pendapatan tahun

  Sumber: Data Primer sejak tahun 1960-an – 2012. Sementara Sumber: Data Primer sejak tahun 1960-an – 2012. Sementara

  terlacak 27 bidang tanah iring-iring deng- Menurut Pak Warto hal tersebut an luas 3,4 ha, sedangkan tanah oro-oro

  merupakan bentuk pemerataan jatah ta- 110 bidang dengan perkiraan luas 33 ha. nah bagi orang-orang yang tidak mampu. Mencermati data di atas, dapat diketahui Sebelum tahun 2000-an, hanya petani ka- terdapat 61 keluarga petani yang mengua- ya saja yang dapat mengakses tanah kas sai oro-oro, 16 keluarga petani menggarap desa tanpa batas minimal luasan. Adapula iring-iring, dan enam keluarga petani me- petani yang menggarap Sultan Ground se- manfaatkan oro-oro dan iring-iring. Dapat cara cuma-cuma. Sejak tahun 1960-an, se- diperkirakan perbandingan produksi an- cara de jure status kepemilikan lahan di tara tanah oro-oro dengan tanah iring- Desa Karangasem tidak banyak perubah- iring 3:1 untuk setiap tanaman . an. Alih status hanya terjadi di sekitar Telaga Jurug, dahulunya kawasan ini area tangkapan air sekarang berstatus tanah lungguh Klepu. Namun, secara de facto penguasaan terhadap Sultan’s Ground me- nunjukkan angka yang fantastis, dari 49

  ha SG 10 ha digarap petani karangasem. Untuk mengetahui distribusi penguasaan maupun status lahan di Desa Karangasem secara umum dan Padukuhan Klepu seca- ra khusus lihat peta 3.

  Dari peta 3, dapat dipetik in- formasi tegalan yang dikuasai petani Kle- pu sebesar 38 ha, jumlah ini termasuk tanah 5 ha bengkok yang dikelola Kepala

  Peta 3. Distribusi tegalan di Klepu

  Diferensiasi Produksi, Pendapatan, dan sedangkan rumah tangga cukupan dan

  Pengeluaran

  kaya masing-masing menguasai 0,3-0,6 ha

  serta > 0,7 ha tegalan oro-oro (untuk

  Berpedoman kepada nilai komoditas te-

  perincian jumlahnya lihat tabel 6).

  galan, saya mengukur perkiraan penda-

  Berdasarkan analisis geo-spasial, dapat

  patan dan stratifikasi kelas rumah tangga

  dipetik informasi luas rata-rata tanah

  petani Padukuhan Klepu dengan menggu-

  produktif yang dikuasai petani kaya 1,91

  nakan parameter ekuivalen konsumsi be-

  ha, sedangkan petani cukupan 0,64 ha.

  ras perkapita Sayogyo yang telah dimu-

  Sementara itu, para petani miskin hanya

  takhirkan Supadi dan Nurmanaf (2006:

  memperoleh 0,22 ha.

  11) (lihat tabel 4). Selanjutnya, hasil kal-

  Selain ketimpangan akses tanah

  kulasi tersebut digunakan untuk menge-

  dan produksi, faktor tenaga kerja merupa-

  lompokan kelas petani menjadi tiga kelas;

  kan faktor yang tidak kalah penting dalam

  miskin, cukupan, dan kaya berdasarkan

  menerangkan diferensiasi sosial-ekonomi.

  kepemilikan lahan (lihat tabel 5).

  Tabel 4. Perbandingan pendapatan perkapita petani Klepu

  Kelas

  Pendapatan kapitatahun Pendapatan kapitabulan

  Ekuivalen

  petani

  (Rp)

  (Rp)

  Miskin

  240x rata-rata anggota keluarga (4,5) X harga beras (7.000)

  Cukupan

  7.560.000-15.210.000

  630.000- 1. 267.500 240-480x rata-rata anggota

  keluarga (4,5) X harga beras (7.000)

  Kaya

  480 x rata-rata anggota keluarga (4,5) X harga beras (7.000)

  Sumber: Primer

  Tabel 5. Hubungan luas lahan dan pendapatan perkapitatahun

  Konsumsi Hasil

  Penjualan

  Hasil Penjualan

  Kg beras (Rp) Panen

  (Rp)

  Kg Panen

  (Rp)

  Kg Panen

  Sumber: Primer

  Keterangan:

  a. Lajur 0,3 merupakan ambang batas kemisikinan,

  Berdasarkan parameter di atas,

  b. Lajur luas 0,7 merupakan ambang batas kaya Harga Komoditas (Total penjualan setiap komoditas dikurangi penyusutan 13. Harga tahun 2012)

  diketahui bahwa seunit rumah tangga

  a. Beras Kg Rp. 7.000, b. Jagung Kg Rp. 2.500,

  c. KacangKg Rp. 4.000,

  tergolong miskin jika ia menguasai <0,3ha,

  d. KetelaKg 2.000.

  Terdapat kecenderungan hanya petani bang membantu orang tuanya dalam bi- kaya yang mampu mengakses buruh tani. dang pertanian. Pada umumnya, buruh tani dilibatkan da-

  Tabel 6. Struktur penguasaan lahan dan kelas petani

  lam kegiatan ndangir dan panen. Ada per-

  bedaan upah panen antara buruh tani per- Jumlah KK

  Kepala Keluarga

  (KK)

  empuan dan laki-laki. Kaum perempuan

  Miskin (0-0,30)

  Cukupan (0,40-0,60)

  hanya memperoleh Rp.20.000hari, se-

  Kaya 0,71>

  dangkan pria mendapat Rp.25.000hari.

  Total KK

  Selisih harga tersebut disebabkan ada tu- Sumber: Primer gas ekstra bagi kaum lelaki yaitu kegiatan

  Sebagai upaya menjembatani per-

  pengangkutan gabah ke pinggir jalan. Se- masalahan di atas, para petani miskin mentara itu, upah yang sama sebesar Rp. membentuk kelompok kerja setengah 20.000hari untuk perempuan maupun hari. Dalam konteks Padukuhan Klepu, laki-laki dalam kegiatan ndangir.

  terdapat empat kelompok kerja yang ber-

  Menurut penuturan salah satu pe- anggotakan 15 petani. Para anggota yang tani kaya, Pak Rumanto, dapat mempeker- terdaftar dalam kelompok kerja diwajib- jakan 10-25 buruh tani dalam lima sampai kan membayar iuran Rp. 2000 35 hari enam kali kegiatan ndangir dan panen (selapanan). Uang tersebut dibelanjakan palawija maupun padi. Di sisi lain, mem- untuk keperluan konsumsi setengah hari pekerjakan buruh tani terbilang mustahil kerja. Wadah kelompok kerja ini juga bagi petani miskin. Menurut Pak Yanto, memfasilitasi para petani miskin untuk untuk ndangir dan panen setiap jenis ta- memperoleh kredit pupuk. Melalui cara naman di lahan 0,25-1 ha dibutuhkan em- ini para petani miskin berkewajiban mem- pat sampai lima orang tenaga kerja. Jadi, bayar bunga sebesar 10 dari harga po- dalam satu musim tanam ia harus me- kok pupuk sebesar Rp. 115.000 paket nyiapkan modal belanja buruh sebesar ± untuk ponska dan Rp.67.000 50 kg urea. Rp.300.000 – Rp.500.000. Pasokan tenaga

  Para petani membutuhkan ± 2 ton

  kerja semakin sukar akibat sanak-saudara pupuk kandang untuk 0,25 ha. Bagi petani bermigrasi, sedangkan para angkatan mu- yang tidak memiliki ternak sapi, pupuk

  da yang berdomisili di Padukuhan Klepu kandang diperoleh dari tetangga atau lebih memilih menjadi buruh lepas di kerabat terdekat dengan kewajiban pabrik penggilingan batu gamping ketim- menanggung 50 ongkos penyewaan da yang berdomisili di Padukuhan Klepu kandang diperoleh dari tetangga atau lebih memilih menjadi buruh lepas di kerabat terdekat dengan kewajiban pabrik penggilingan batu gamping ketim- menanggung 50 ongkos penyewaan

  konsumsi rumah tangga untuk enam

  Tabel 7. Diferensiasi produksi dan pendapatan petani

  orang selama satu tahun. “Perlu

  dalam satu musim tanam

  nyamben untuk

  Golongan

  Belanja

  Tenaga Kerja

  bruto (Rp)

  bersih (Rp)

  beli beras, beli

  (2 sak urea

  (kelompok kerja)

  air, dan bayar

  (Pak Kar)

  0,5 kg ponska)

  listrik di musim

  0,5 ha

  (3 sak urea

  (sewa buruh)

  (Pak Supar)

  1 kg ponska)

  kemarau” ucap

  (5 sak urea

  (sewa buruh)

  (Pak Rum )

  3 kg ponska)

  Pak Kar yang

  Sumber: Primer

  pada kala itu bekerja di pabrik penggi-

  Implikasi dari pendapatan turut lingan batu. mempengaruhi diferensiasi pengeluaran

  Di pihak lain, golongan kaya dan

  rutin belanja rumah tangga. Saya menca- cukupan mampu mengantongi surplus, tat terdapat lima jenis pengeluaran rutin masing-masing Rp.12.572.000 dan Rp. bulan. Adapun anggaran tersebut meliputi 6.960.667tahun. Surplus tersebut mere- kebutuhan dapur, jajan anak sekolah, ta- ka investasikan ke dalam bentuk mode gihan listrik dan air, serta slametan. Me- ekonomi non pertanian: membuka wa- ngacu tabel 8, meski tidak menyentuh rung kelontong dan peternakan. defisit keuangan, namun keluarga miskin

  Dengan kemapanan ekonomi mere-

  harus mencari penghasilan tambahan di ka, golongan menengah ke atas kerap me- luar sektor pertanian: bekerja di pabrik ngonsumsi barang bermartabat: renovasi penggilingan batu kapur dan buruh bang- rumah, membeli kendaraan bermotor, dan unan musiman. Hal tersebut dilakukan ka- menyelenggarakan ritual siklus hidup se- rena tanaman palawija ludes terjual dan cara meriah. Tentunya, hal tersebut guna beraspun sudah habis dikonsumsi. Pada mengukuhkan identitas dan prestis sosial umumnya, tanaman palawija sudah ha- mereka. Contohnya Pak Rumanto, ia harus mencari penghasilan tambahan di ka, golongan menengah ke atas kerap me- luar sektor pertanian: bekerja di pabrik ngonsumsi barang bermartabat: renovasi penggilingan batu kapur dan buruh bang- rumah, membeli kendaraan bermotor, dan unan musiman. Hal tersebut dilakukan ka- menyelenggarakan ritual siklus hidup se- rena tanaman palawija ludes terjual dan cara meriah. Tentunya, hal tersebut guna beraspun sudah habis dikonsumsi. Pada mengukuhkan identitas dan prestis sosial umumnya, tanaman palawija sudah ha- mereka. Contohnya Pak Rumanto, ia

  terbilang

  asing di dalam matra

  Tabel 8. Diferensiasi pengeluaran petani dalam satu antropologi. Tentu saja, saya menanti

  musim tanam (Rp)

  kritikan dan saran

  Golongan

  Slametan

  Jajan anak

  dari pembaca.

  Dari kritikan dan

  (Pak Kar)

  saran tersebut,

  11.162.667 (Pak Sumar)

  21.457.000 (Pak Sar )

  mengharapkan ter-

  Sumber: Primer

  lahir pula ruang diskusi mengenai pen-

  Kesimpulan

  dekatan geo-spasial dalam penelitian

  Khalayak umum menghakimi bahwa Gu-

  antropologi.

  nungkidul merupakan wilayah marjinal

  Daftar Pustaka

  karena secara ekologis identik dengan

  Bebbington, Anthony dan Carney, Judith

  kondisi tanah tandus, berbatu dan sulit

  “Geography in the

  air. Oleh sebab itu, kemiskinan selalu

  International Agricultural Research Centers: Theoretical and Practical

  menjadi entitas sosial tunggal masyarakat

  Concerns”. Annals of the Association

  Gunungkidul. Penelitian ini menjawab fe-

  of American Geographers 80 (1) [Diakses: 01082012]: Hal. 34-48.

  nomena sosial-ekonomi dari sisi yang ber-

  URL:

  beda. Melalui pendekatan SIG dan etno-

  http:www.jstor.orgstable2563 327.

  grafi, saya menemukan fakta bahwa Gu- nungkidul khususnya Padukuhan Klepu Biro Pusat Statistik (1984) Indikator

  Pemerataan Pendapatan Jumlah

  Karangasem menampilkan sejarah ekolo-

  dan Persentase Penduduk Miskin di

  gis dan sosial yang sangat dinamis.

  Indonesia. Jakarta: Bagian Analisis Statistik Ekonomi.

  Hasil penelitian ini membuktikan

  Biro Pusat Statistik (1986) Kecamatan

  bahwa perubahan tataguna lahan dan ke-

  Ponjong

  dalam Angka.

  bijakan politik ekonomi merupakan agen

  Gunungkidul: Biro Pusat Statistik

  [Diakses:01082012]: Hal. 454-

  Gunungkidul

  URL: http:www.jstor.orgstable6219

  Booth, Anne dan McCawley, Peter (1990)

  “Kebijakan Fiskal”. Dalam Anne Booth dan Peter McCawley (ed) Gsanger, Hans dan Bottcher, Detlev Ekonomi Orde Baru. Jakarta; LP3ES.

Dokumen yang terkait

Efektifitas Terapi Autogenic Training Terhadap Perubahan Kualitas Tidur Mahasiswa Penderita Insomnia (Studi Kasus Di Fakultas Teknik Dan Informatika Umm Angkatan 2011)

11 76 18

Uji Banding Pemberian Terapi Tambahan Steroid Dan Terapi Konservatif Dalam Perubahan Hemokonsentrasi Pada Penderita DBD Di RSUD Mojokerto Periode 1 Januari 2010-31 Desember 2010

0 20 7

Implikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap Kewenangan DPR RI Dalam Hal Penentuan Pimpinan DPR Dan Hak Imunitas DPR.

1 35 32

MAKNA LOGO BARU INDOSAT MENTARI (Analisis Semiotika Pada Perubahan Logo Baru Kartu Selular Indosat Mentari)

13 66 15

Konstruksi Sosial Atas Perubahan Lahan Bukit Menjadi Pemukiman”Studi Pada Masyarakat Jl. Ki Ageng Gribig 999, Kelurahan Madyopuro, Malang”

2 46 35

Perbedaan Berpikir Kreatif Siswa yang Diajar dengan Model Pembelajaran PBL dan STM Pada Konsep Perubahan Lingkungan dan Daur Ulang Limbah

1 30 322

Uji Stabilitas Obat Spironolakton Terhadap Perubahan pH Dengan Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

4 46 61

Perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia Periode 1990-1998

0 29 140

Pengaruh Perubahan Tarif Pajak Penghasilan Badan Sesuai UU NO. 36 Tahun 2008 dan Upaya Perencanaan Pajak Terhadap Praktik Manajemen Laba (Studi Kasus pada Perusahaan yang Terdaftar di Kanwil DJP Jabar I)

6 67 50

Implikasi Kepercayaan, Kualitas Website, Konten Informasi, Kemudahan Transaksi Terhadap Minat Beli Toko Online (Studi pada website Oraqlewear.com)

4 32 74