geliat film indonesia retas vol 3 september 2017

Vol. 3 • September 2017

Mouly Surya
Marlina The Murderer in Four Act

Sheila Timothy
Wiro Sableng 212

Amalia Hapsari
Docs By The Sea

Geliat Film Indonesia
Tuan Rumah di Negeri Sendiri, dan Siap Bersaing Secara Global

02

03

DAFTAR ISI

06-09 | P R O F I L

Dokumentasi Cinesurya, Foto: Eriek Juragan

MOULY SURYA
Pukau yang mendalam
Mouly Surya atas keindahan
alam, serta kekuatan kaum
perempuan Sumba yang
menginspirasinya membesut
film Marlina The Murderer in
Four Act (Marlina si Pembunuh
dalam Empat Babak).

04-05 | W A C A N A

14-15 | P R O F I L

GELIAT FILM INDONESIA

STEPHANIE LARASSATI


TUAN RUMAH DI NEGERI SENDIRI,
DAN SIAP BERSAING SECARA GLOBAL
Film Indonesia terus menggeliat. Bukan hanya dari kuantitas yang dihasilkan
setiap tahunnya, tetapi juga dari kualitas yang terus meningkat.

“KEGELISAHAN”
YANG MENGGELEDAH
RUANG-RUANG
KEMUNGKINAN
16-17 | P R O F I L
MAKBUL MUBARAK

KEKUASAAN ADALAH
ISU SENTRAL YANG
TAK PERNAH SELESAI

10-11 | P R O F I L
SHEILA TIMOTHY

WIRO SABLENG 212

DAN JURUS SAKTI
SHEILA TIMOTHY

18-19 | D O K U M E N T A S I

12-13 | P R O F I L

COVER STORY

AMELIA HAPSARI

Marlina he Murderer in
Four Act

GIATKAN FILM
DOKUMENTER LEWAT
FORUM DOCS BY THE SEA

Dokumentasi Cinesurya
Foto: Eriek Juragan


EDITORIAL

Film merupakan sesuatu yang penting
di industri kreatif. Namun sayang,
sumbangan terhadap PDB (Product
Domestic Bruto) nasional masih
kecil. Oleh karena itu, Bekraf
mencoba memberikan prioritas
agar industri ini berkembang
dengan cepat.

Film
Indonesia
Harus
Dicintai
Orang
Indonesia

Untuk itu Bekraf telah melakukan

beberapa hal. Misalnya dengan
mengeluarkan paket kebijakan ekonomi
nomor 10 di tahun 2016, membuka peluang bagi investor
asing masuk ke Indonesia di bidang ilm.
Investasi ini akan masuk ke dalam sektor ilm Indonesia,
yakni produksi, distribusi dan eksebisi. Dulu investor
asing tidak dimungkinkan untuk masuk ke tiga sektor ini.
Namun, kini Bekraf telah mengubahnya.
Hasilnya cukup menggembirakan. Misalnya saja kini sudah
muncul co-production. Kemudian kita juga sudah melihat
indikasi investasi asing yang ingin membuat bioskopbioskop baru. Pendeknya gairah ilm meningkat.

Yang terpenting
adalah
memaksimalkan
film Indonesia
dengan
membuatnya
lebih berkualitas,
dan semakin

dicintai oleh
orang Indonesia.

Tapi tidak itu saja, program-program lain yang sudah
dijalankan Bekraf selama ini akan terus dijalankan.
Misalnya dengan mengirimkan naskah-naskah para
ilmmaker Indonesia ke Torino Film Lab. Di sana para
ilmmaker akan memperoleh pengalaman berharga yang
kelak dapat meningkatkan kualitas ilm Indonesia.
Begitu juga dengan festival ilm di Indonesia. Bekraf
berencana menghidupkan kembali Jakarta Film Festival.
Tapi Bekraf akan menggandeng pihak-pihak lain, misalnya
pihak asosiasi. Ini wajar karena Bekraf tidak mungkin
menyelenggarakannya sendiri.
Ini semua dilakukan karena Bekraf menginginkan, kualitas
ilm Indonesia membaik. Namun yang terpenting adalah
memaksimalkan ilm Indonesia, dengan membuatnya lebih
berkualitas dan semakin dicintai oleh orang Indonesia.
Triawan Munaf
Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia


Badan Ekonomi Kreatif adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang
bertanggungjawab di bidang ekonomi kreatif dengan enam belas subsektor.
Pengelola Media

Email

Twitter

Kantor

GRID
Kompas Gramedia

info@bekraf.go.id
www.bekraf.go.id

@bekrafid

Gedung Kementerian BUMN, Lt 15, 17, 18

Jl. Merdeka Selatan No. 13, Jakarta Pusat - 10110.

04

05

WAC A N A

GELIAT FILM INDONESIA

TUAN RUMAH
DI NEGERI SENDIRI,
DAN SIAP BERSAING
SECARA GLOBAL

2008

Ayat-ayat Cinta

3.654.777


JUMLAH PENONTON FILM INDONESIA
TERBANYAK (DI ATAS TIGA JUTA PENONTON)

Tahun 2016 boleh dikatakan
sebagai tahun terbaik bagi ilm
Indonesia yang ditayangkan di
Bioskop. Film berjudul Warkop
DKI Reborn: Jangkrik Boss! part
1 yang disutradarai oleh Anggy
Umbara tersebut, mencetak rekor
dengan jumlah penonton mencapai
6.858.616.
Perolehan jumlah penonton Warkop
DKI Reborn: Jangkrik Boss! part 1,
mampu menggeser rekor yang diraih
oleh Laskar Pelangi (2008), dengan
jumlah penonton sebanyak 4.719.453.
Menurut data yang dihimpun dari
laman www.ilmindonesia.org, selama

sejarah ilm Indonesia, setidaknya
ada enam judul ilm yang jumlah
penontonnya melampaui angka tiga

2012

Habibie & Ainun

4.583.641

juta penonton, antara lain Ayat-ayat
Cinta (2008), Laskar Pelangi (2008),
Habibie Ainun (2012), My Stupid
Boss (2016), Ada Apa dengan Cinta
2 (2016), serta Warkop DKI Reborn:
Jangkrik Boss! part 1 (2016).

2016

My Stupid Boss


3.052.657

Kesuksesan ilm Indonesia dewasa
ini, tidak terlepas dari dukungan
banyak pihak, yakni kreator
pembuat ilm dan tim produksinya,
stakeholder, dan tentunya
pemerintah. Melalui Badan Ekonomi
Kreatif (Bekraf), program fasilitasi
terus dipacu guna menumbuhkan
gairah produksi ilm berkualitas
semakin meningkat.

ilm Indonesia. Dikatakan Deputi
Pemasaran Bekraf, Joshua
Simandjuntak, saat ini populasi di
Indonesia 250 juta jiwa, namun
hanya memiliki 1200 layar bioskop.
“Sebetulnya Indonesia memiliki
potensi yang sangat besar untuk
menambah jumlah layar. Bayangkan,
populasi Korea hanya 50 juta jiwa,
tetapi mereka telah memiliki 2688
layar,” ucap Joshua Simandjuntak.

Bekraf juga tengah mengupayakan
tambahan layar untuk memutar

“Pada prinsipnya, dengan semakin
banyaknya layar yang tersedia,

Sumber data: www.ilmindonesia.or.id

Film Indonesia
terus menggeliat.
Bukan hanya
dari kuantitas
yang dihasilkan
setiap tahunnya,
tetapi juga dari
kualitas yang terus
meningkat.

2016

Warkop DKI Reborn:
Jangkrik Boss! part12

6.858.616

2016

Ada Apa Dengan Cinta 2

3.665.509

2008

Laskar Pelangi

4.719.453

tentunya semakin banyak akses
bagi masyarakat untuk menonton
ilm (nasional), dan ini akan
semakin memacu ilmmaker untuk
berkarya lebih baik,” lanjut Joshua
menambahkan.

Indonesia Creative
Incorporated (ICINC)
Melihat potensi yang cukup besar
di bidang ilm, Bekraf sangat serius
membuat program-program yang
mendukung pertumbuhan ilm
Indonesia. Salah satunya merancang
payung program Indonesia Creative
Incorporated (ICINC) yang akan
menjadi “Showcase” karya-karya

terbaik anak bangsa. Untuk bidang
ilm, Bekraf mengusung ICINC
for Film dengan nama Indonesian
Cinema.
“Tujuan terbentuknya ICINC
for film ini adalah agar lebih
fokus pada pengembangan
film dan program, bersama
dengan para stakeholder untuk
mengembangkan sektor perfilman
Indonesia,” ujar Wakil Kepala
Bekraf, Ricky Pesik.
Keberadaan ICINC sebagai
payung program dari 16 subsektor
Bekraf, diharapkan dapat

mewujudkan ekspansi bisnis
atau usaha subsektor kreatif
dengan karya unggulan ke pasar
global. Selain itu, ajang ini juga
dapat menampilkan potensi
industri kreatif Indonesia dan
menciptakan kesempatan bagi
usaha kreatif Indonesia masuk ke
pasar global, sehingga dapat turut
meningkatkan nilai ekspor di
sektor ekonomi kreatif.
Tahun 2017, program ICINC for
Film (Indonesian Cinema) telah
dipresentasikan di Shanghai,
China, dan New York, Amerika
Serikat. “Dipilihnya China,
karena kami melihat potensi
yang cukup besar dari negara itu.
Tahun lalu, China memiliki 40
ribu layar bioskop. Harapannya,
film Indonesia dapat ditayangkan
di sana, atau pembuat film
Indonesia dapat berkolaborasi
dengan film production di sana,”
ujar Joshua.
Program tersebut membuka
peluang antara Indonesia dan
China, antara lain co-production
film Indonesia-China, Festival
Film, Lokasi Syuting, dan juga
penyediaan jasa produksi.
Salah satu hasil yang diharappkan
Bekraf melalui program
Indonesian Cinema adalah untuk
membantu memfasilitasi para
produser film yang berencana
melakukan syuting yang berlokasi
di Indonesia.
Dalam waktu dekat, Bekraf
juga akan melaksanakan
Familiarization Trip bagi
stakeholder industri film di China
ke Indonesia. Hal tersebut guna
mengerucut realisasi peluang
co-production, lokasi syuting,
kolaborasi di festival film,
khususnya dalam hal investasi
film dan infrastruktur.

06

07

P R O F I L

Mouly Surya

SUMBA DAN
PEREMPUANNYA
HADIRKAN
PUKAU YANG
MENDALAM BAGI
MOULY SURYA

Film Marlina The Murderer in Four Act (Marlina si Pembunuh dalam Empat
Babak) besutan sutradara Mouly Surya, menuai pujian di Festival Film Cannes
2017. Film tersebut untuk pertama kalinya diputar dalam sesi Directors
Fortnight di Theatre Croisette, JW Marriot, Cannes, pada Rabu (24/5/2017).
Directors Fortnight merupakan rangkaian acara dari Festival Film Cannes
digagas oleh Asosiasi Sutradara Film Perancis sejak 1969, ajang ini turut
mengorbitkan banyak sutradara dari berbagai negara.
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak merupakan film Indonesia pertama
yang lolos seleksi dalam rangkaian Festival Film Cannes selama 12 tahun
terakhir, setelah Tjoet Nja Dhien (Semaine de la Critique, 1988), Daun di Atas
Bantal (Un Certain Regard, 1998), dan Serambi (Un Certain Regard, 2006).
Pemerintah Indonesia turut mendukung keberangkatan para punggawa
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, melalui fasilitasi dari Badan
Ekonomi Kreatif (Bekraf).

09

P R O F I L

Menyebut nama Mouly
Surya, kita akan dengan
segera tersambung
dengan film-film
besutannya yang selalu
memiliki kisah dan alur tak
biasa. Caranya membaca
dan bertutur tentang
sebuah kisah, seringkali
membawa kita pada
pemikiran mendalam
tentang sebuah persoalan
yang kerap tak terpikirkan
sebelumnya. Misalnya,
ketika ia bercerita
tentang kisah cinta
seorang lelaki tunarungu
dengan seorang remaja
perempuan buta yang
terjalin dengan cara yang
tak biasa dalam film What
They Don’t Talk About
When They Talk About
Love (2013). Marlina si
Pembunuh dalam Empat
Babak merupakan film
ketiga yang diarahkan
Mouly.

Apa yang membuat Anda tertarik
menyutradarai Marlina si
Pembunuh Dalam Empat Babak?
Semuanya bermula ketika saya
dan Mas Garin menjuri bareng
untuk piala Citra 2014. Kami
ngobrol dan Mas Garin bilang,
harusnya kami bikin ilm
bareng suatu hari. Dia punya
sebuah cerita yang dia ingin
sekali cerita itu diarahkan
oleh sutradara perempuan
kalau difilmkan. Saat itu, Mas
Garin menceritakan garis besar
kisahnya yang idenya muncul
ketika ia sedang melakukan
perjalanan ke Sumba dan
kemudian mengatakan, “Saya
nggak tahu bagaimana kamu
akan menvisualisasikannya.
Tapi saya yakin cerita itu
pasti bisa jadi menarik di
tanganmu.” Kata-kata itu
membuat saya tertantang. Lalu
keesokan harinya, Mas Garin
mengirimi saya lima lembar
sinopsis cerita yang waktu
itu berjudul “Perempuan”.
Produser dan rekan kerja saya,
Rama Adi dan Fauzan Zidni,
langsung tertarik dengan
sinopsis dan sepakat untuk
memproduksi film ini.

Bagaimana komunikasi dan pola
kolaborasi yang Anda lakukan
dengan Garin Nugroho yang
membuat ide cerita?
Garin memberi keleluasaan
pada saya untuk melakukan
pengembangan cerita dan
mengatakan betapa dia sangat
terpesona dengan gambaran
perempuan Sumba. Ketika
Garin mengatakan itu, saya
tidak terlalu paham yang dia
maksud sampai akhirnya
saya melakukan perjalanan
ke Sumba. Saya kira, Marlina
dengan misteri, sensualitas
dan keteguhannya, datang dari
semua imaji dan impresi yang
saya dapat dari para perempuan
Sumba.
Kabarnya, ada kisah menarik di
balik pemilihan nama tokoh dan
pemilihan judul ilm ini?
Hahaha... Iya, nama Marlina
itu saya ambil dari nama
seorang guru di Sumba yang
aksi jogetnya di ruang guru di
sekolah tempatnya mengajar
menjadi viral di media sosial
dan menangguk pro-kontra.
Marlina juga kukuh dengan

Dokumentasi Cinesurya, Foto: Eriek Juragan

08

pendapatnya bahwa yang ia lakukan
tidak salah karena ia hanya berjoget
untuk bercanda dengan temantemannya di ruang guru saat istirahat
dan bukan melakukan hal melanggar
hukum seperti melakukan kekerasan
pada murid atau hal tak terpuji
lainnya. Ya sudah, jadilah saya
memakai nama Marlina buat tokoh
ilm ini.
Adakah alasan di balik penokohan ilm
ini dan bagaimana Anda menentukan
siapa memerankan apa?
Sejak sebelum naskah ilm ini
selesai, produser yang juga penulis
pendamping saya, Rama Adi sudah
menyebut Marsha Timothy sebagai
aktris yang cocok memerankan
Marlina dan saya setuju dengan
pendapatnya. Marsha bukan aktris
baru, dan saya sudah pernah
bekerjasama dengannya sejak saya
masih asisten sutradara. Ketika saya
bertemu Marsha untuk membicarakan
rencana pembuatan ilm ini, saya
merasa menemukan aura Marlina
pada Marsha yang sudah jauh lebih
matang dari yang saya kenal sekitar
10 tahun sebelumnya. Dia pun sangat
antusias ingin memerankan Marlina

ketika saya beri kesempatan untuk
membaca rangkuman ceritanya.
Bagi saya, ngobrol-ngobrol itulah
tahap casting-nya. Saya hanya perlu
tahu seberapa besar keinginan
Marsha memerankan Marlina.
Untuk tokoh Markus, saya
bekerjasama dengan aktor senior
Egi Fedly yang pernah terlibat
dengan ilm pertama saya. Untuk
pemeran tokoh Franz, saya
mendapat rekomendasi dari casting
director, sempat berbincang dan
kami hubungi keesokan harinya
kalau kami ingin dia ikut dalam
ilm ini. Hanya Dea Panendra yang
menjalani audisi seperti biasa. Meski
perannya tidak terlalu dominan
dalam ilm ini, saya menyukainya
sejak audisi pertama.
Dalam ilm ini, Marlina ditokohkan
sebagai seorang feminis yang
berusaha bertahan memperjuangkan
kemerdekaan dan integritasnya.
Apakah ini merupakan potret
perempuan Sumba yang Anda amati?
Ya. Saya bertemu banyak perempuan
kuat di Sumba. Salah satunya
Novi, pembantu pastor Katolik
yang sangat lembut bicaranya.

Ada lagi perempuan lain yang
sebenarnya cukup berpendidikan
yang datang bersama dengan
suami dan anaknya. Tapi suami
perempuan tersebut terus saja
menginterupsi istrinya dan selalu
berusaha mendominasi percakapan
memberi persepsinya pada kami
sambil menggendong anaknya.
Kami berkunjung ke sebuah desa
adat di mana para prianya terus saja
memandangi saya dengan tatapan
penuh selidik, membuat saya
merasa sangat tidak nyaman. Tapi
kami juga sempat bertemu dengan
kepala desa itu, seorang perempuan,
janda yang sangat dihormati. Beliau
tidak terlalu banyak bicara dan
tersenyum, tenang saja mengunyah
sirih dan pinangnya.
Bagaimana menurut Anda proses
pembuatan Marlina?
Sejauh ini, saya rasa, Marlina
adalah film tersulit yang
pernah saya buat karena untuk
pertama kalinya saya melakukan
pengambilan gambar di luar
Jakarta. Ini juga pertama kalinya
saya bekerjasama dengan VFX
dan secara keseluruhan, skala
produksi film ini memang lebih
besar ketimbang film-film saya
sebelumnya. Waktu produksinya
juga cukup panjang dengan 17 hari
pengambilan gambar dan lebih
dari satu bulan perjalanan serta
tiga bulan pra produksinya.

10

11

P R O F I L

Sheila Timothy

WIRO SABLENG 212
DAN JURUS SAKTI
SHEILA TIMOTHY
“Senang dan bangga sekali bisa
bekerjasama dengan FIP,” cetus
Sheila Timothy, produser dari
Lifelike Pictures. Ia tentu layak
berbangga atas kerjasama tersebut
karena merupakan kali pertama
FIP melakukan kerjasama coproduction dengan rumah produksi
di Indonesia.

Februari 2017 silam, sebuah
kabar gembira datang dari
rumah produksi LifeLike
Pictures yang mengumumkan
kesepakatan kerjasama
mereka dengan Fox
Internasional Productions
(FIP) untuk memproduksi
dan mendistribusikan film
layar lebar yang diangkat dari
cerita silat terkenal Indonesia,
Wiro Sableng 212.

Sebelumnya, FIP yang merupakan
anak perusahaan dari 20th Century
Fox Film Corporation, salah
satu studio besar di Holywood
itu telah lebih dulu melakukan
kerjasama dengan Korea Selatan
ketika memproduksi ilm “he
Wailing” dan “he Yellow Sea”
oleh sutradara Na Hong Jin, salah
satu dari 10 ilm box oice terlaris
selama 2016 di Korea Selatan.
Dalam siaran pers yang dilansir
LifeLike Picture kala itu, homas
Jegeus, president FIP mengatakan
bahwa pihaknya pun sangat senang
terlibat sebagai co-producer untuk
ilm cerita silat Indonesia ini. Hal
ini tentu menjadi catatan penting
bagi perilman Indonesia, karena

kerjasama ini sangat mungkin
menjadi pintu pembuka kerjasamakerjasama rumah produksi lain
di Indonesia dengan perusahaanperusahaan ilm internasional
lainnya dalam hal produksi dan
distribusi.
Menurut Lala, pihak FIP memberi
keleluasaan bagi pihaknya untuk
melakukan adaptasi cerita silat
karya Bastian Tito ini ke dalam
naskah ilm. Tak ada batasan
yang diberikan oleh FIP karena
targetnya adalah WS212 yang akan
dibintangi antara lain oleh Vino
G. Bastian, Marsha Timothy dan
Sherina Munaf ini bisa menguasai
pasar Indonesia.
Ada tiga lini pasar yang ingin
disasar oleh Lifelike Picturesa
di ilmWS212 ini. “Pertama,
market yang baca bukunya.
Kedua, yang nonton sinetron dan
ilmnya. Ketiga, anak-anak
sekarang yang masih tahu tentang
Wiro Sableng dan suka dengan
ilm-ilm superhero. Itu captive
market yang besar sekali,” jelasnya.

Dokumentasi LIfelike Pictures

Kekeliruan yang kerap diyakini
adalah bahwa sebuah ilm
Indonesia harus bisa menarik
perhatian di luar negeri terlebih
dahulu, sebelum diminati penonton
dalam negeri. Padahal menurut
Lala senada dengan apa yang
disampaikan homas padanya,
menguasai pasar dalam negeri
adalah kunci untuk bisa menarik
pasar luar negeri.
“Kalau bisa menguasai pasar lokal,
luar negeri akan datang dengan
sendirinya. Ini berbeda dengan
pola pikir bahwa ilm harus
berhasil menarik perhatian dan

penonton di luar negeri dulu. Ini
salah, sebab begitu sebuah ilm
menjadi box oice di negara sendiri,
ilm itu pasti akan di-pick up negara
lain, seperti he Wailing (ilm
horor laris Korea Selatan tahun
2016 karya Hong-jin Na yang juga
co-production dengan FIP, red),”
kata Lala.

Karena ditujukan bagi pasar
Indonesia, maka ilm yang proses
pengambilan gambarnya akan
dimulai pada Agustus 2017 ini,
diputuskan untuk menggunakan
bahasa Indonesia dengan
seluruhnya pemain lokal yang
memang sudah dikenal oleh
penonton Indonesia.

13

P R O F I L

Amelia Hapsari

GIATKAN FILM
DOKUMENTER
LEWAT FORUM
DOCS BY THE SEA
Kecintaannya terhadap ilm
dokumenter membuat perempuan
kelahiran 25 Juni 1979 ini
berkomitmen untuk bisa memajukan
ilm dokumenter dan menyemangati
para sineas muda. Salah satu
gebrakannya dengan membuat
forum Docs By he Sea bekerjasama
dengan Badan Ekonomi Kreatif
untuk menunjukkan karya sineas
dokumenter Indonesia ke panggung
Internasional.

Haus Pengetahuan,
Dokumenter Jadi Pilihan
Perempuan asal kota
Semarang bernama Amelia
Hapsari ini, memang dikenal
sebagai sineas dokumenter
yang berprestasi. Ia
membesut karya-karya yang
membawa penghargaan
bergengsi seperti Best
Documentary, XXI Short Film
Festival, Jakarta, 2014.

Perempuan lulusan Master of Art in
Communication, Ohio University ini
ternyata punya cerita menarik saat
berkenalan dengan ilm dokumenter.
Ya, Amel, panggilan akrabnya, baru
tertarik dengan ilm dokumenter
sejak reformasi 1998.
“Saya tertarik dengan ilm
dokumenter sejak saya kuliah di
Amerika, dan ketika kerusuhan
terjadi yang mengakibatkan
tumbangnya rezim Orde Baru.
Saya baru merasa bahwa setelah
demokrasi ini, saya sebagai
orang Indonesia, dan keturunan
Tionghoa, harus lebih terlibat dalam
demokratisasi, lebih memberi
kontribusi, dan aktif menyusun
narasi bangsa kita.

Film dokumenter pertama yang
digarap oleh Amel berjudul he
Heroes And he Land. Menceritakan
kisah hidup anak jalanan di kota
Semarang dan Yogyakarta. Film
dokumenter yang dibuat sebagai
tugas akhir untuk menyelesaikan
pendidikan di Universitas Ohio di
tahun 2001.

Jatuh Bangun Hadapi
Tantangan
Amel yang berpetualang bekerja
di luar negeri hingga 15 tahun
lamanya, akhirnya terpanggil
pulang ke Tanah Air setelah
dipinang oleh In-Docs. “Saya
memutuskan untuk bergabung di
In-Docs di tahun 2012. Saat itu
saya masih bekerja di Timor-Leste
dan sudah 15 tahun tidak tinggal
di Indonesia. Saya mengenal InDocs karena berkenalan dengan
Shanty Harmayn pendiri In-Docs
di Beijing,” singkatnya.
Tak hanya sibuk mengemban tugas
baru sebagai Program Director di
In-Docs, Amel juga masih bergelut
dengan waktu untuk berkarya
membuat ilm dokumenter. Karya
keempatnya pun berhasil keluar
di tahun 2013 dengan judul “Jadi
Jagoan Ala Ahok”, bekerja bersama
almarhum Chandra Tanzil.
Amel juga mengisahkan
tantangan lainnya seperti
mendapatkan pendanaan. Amel
juga memikirkan revitalisasi
program di kantornya,
memberikan solusi pada
banyaknya tantangan di dunia
dokumenter seperti ketiadaan
pendanaan hingga distribusi yang
berdampak pada segala aspek.

Memulai Gebrakan Baru
Bekerja selama kurang lebih
lima tahun di In-Docs membuat
Amel juga semakin termotivasi
untuk bisa terus memberikan

Dokumentasi Amelia Hapsari/Docs By he Sea

12

kontribusinya. “Perkembangan
In-Docs menurut saya amat baik.
Jaringan kami meluas amat cepat,
berkat kerjasama dengan banyak
pihak dan banyak partner, terutama
juga Bekraf. Dukungan terhadap
program-program kami juga
meningkat,”jawabnya.
Salah satu program yang dijalankan
oleh Amel adalah Good Pitch
Southeast Asia, program yang
menghubungkan ilm-ilm
dokumenter dengan para pembuat
perubahan, sehingga memperluas
jangkauan dan dampak ilm
dokumenter.
Selain itu, ada beberapa program lain
seperti Dare to Dream Asia, serial
dokumenter mengenai harapan dan
kenyataan yang dihadapi anakanak muda Asia, yang juga banyak
mendapatkan perhatian dari industri
internasional. Sementara yang paling
baru dan membuat Amel begitu
menggebu adalah Docs By he Sea,
yang juga jalinan kerjasama dengan
Bekraf.
“Ketika Bekraf mengadakan Docs By
he Sea, saya dan teman-teman di
In-Docs merespons dengan senang
sekali. Kami memang telah punya
jaringan di kalangan pembuat ilm
dokumenter Indonesia dan telah
membangun jaringan internasional
maka tentu dengan senang hati
membantu memfasilitasi seleksi
peserta dan mengundang kalangan
industri internasional untuk datang
ke Docs By the Sea,” jawabnya.
Forum Docs By he Sea bahkan
disebut sebagai peluang emas bagi
sineas dokumenter untuk memecah
permasalahan dana yang selama ini
menjadi hambatan dalam berkarya.
Fasilitasi dari Bekraf melalui sebuah
forum internasional ini, memiliki
tujuan untuk menghubungkan

Amelia Hapsari saat merilis Docs By The Sea, bersama
Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik, dan jajaran Stakeholder.

ilm-ilm dokumenter Indonesia,
dengan industri internasional
yang infrastrukturnya jauh lebih
terbangun.
Forum ini bertujuan agar ilm
dokumenter Indonesia mendapatkan
bimbingan dari mentor internasional
yang berpengalaman, khususnya
dalam mengelola pendanaan dan
distribusi internasional. “Saya
optimis, bila kegiatan ini dijalankan
terus-menerus tiap tahunnya,
maka para sineas dokumenter
akan mengerti kinerja industri
dokumenter internasional. Mereka
akan mengerti bahwa ada tempat
dan penghargaan internasional
untuk karya mereka, dan mereka bisa
menjangkaunya,” kata Amel.
Selain itu, Amel juga sangat yakin
bahwa lewat Docs By he Sea
kalangan industri internasional
dapat melihat bahwa Indonesia
punya talenta dan cerita-cerita
dokumenter yang universal yang bisa
dinikmati dan dipasarkan di dunia
internasional.
Docs By he Sea dilaksanakan pada
23-30 Agustus 2017, bertempat di

Bali, Indonesia. Gelaran berkelas
internasional ini, menampilkan 35
orang pengambil keputusan dari 20
negara. Sejauh ini, terdapat sekitar 31
proyek ilm dokumenter yang sudah
diseleksi.
Bagi Amel, semua lika-liku dalam
perjalanannya untuk mendorong ilm
dokumenter naik kelas belum selesai.
“Jangan takut tantangan, jangan takut
belajar, karena kemampuan itu selalu
bisa diasah dan bisa diperbaiki,”
pungkasnya.
Docs by he Sea yang berlangsung di
Bali pada 29-30 Agustus 2017, menjadi
sebuah momentum yang baik bagi
para pembuat ilm di Indonesia. Pada
ajang tersebut, berhasil mengumpulkan
nama-nama berpengaruh dari industri
dokumenter dunia (baik dari aspek
konten, maupun bisnis/distribusinya).
Docs by he Sea juga mendapat
apresiasi yang luar biasa dari pelaku
dan industri dokumenter dunia, hal
tersebut dapat membuka peluang bagi
Indonesia menjadi dipandang lebih
baik oleh industri dokumenter dunia.
Tidak hanya itu, Docs by he Sea
bahkan dianggap lebih refresentatif dan
mampu menghadirkan pelaku industri
dokumenter dunia, dibandingkan
dengan Tokyo Docs yang sudah jauh
lebih established.

14

15

P R O F I L

Stephanie Larassati

“KEGELISAHAN”
YANG MENGGELEDAH
RUANG-RUANG
KEMUNGKINAN

Ia percaya sebuah karya
arsitektur tidak sekadar
benda mati, namun
memiliki korelasi yang kuat
dengan manusia serta
lingkungannya. Ia menjadi
sebuah ruang di mana
manusia menemukan
eksistensinya.

Begitulah Stephanie Larassati.
Perempuan kelahiran Jakarta ini
memang memiliki perspektif yang
berbeda soal karya arsitektur.
Baginya arsitektur bukanlah
sekadar bangunan, melainkan
dapat memberikan solusi serta
meningkatkan kualitas hidup pemakai
dan lingkungannya.

relevansi, potensi
dan inovasi,” jelas
perempuan yang
acap kali menjadikan
teater menjadi salah
satu bentuk “pelarian”
ketika ingin sejenak
menarik diri dari
arsitektur.

“Dalam pelaksanaannya, kami selalu
mencoba menciptakan strategi
desain yang merespons situasi sosial,
ekonomi dan lingkungan alam yang
terus berubah melalui dialog aktif
dan riset,” jelas salah satu pendiri
Largo, Laboratory for Architecture
and Gestural Objects yang berbasis
di Indonesia dan Jerman.

Kegelisahan
Stephanie tersebut
ternyata memiliki kisah panjang.
Ketika baru pertama kali belajar
arasitektur ia mengakui tidak banyak
paham mengenai arsitektur maupun
esensi ilmu arsitektur. Namun,
perjumpaannya dengan dunia kerja
maupun ilmu arsitektur yang lebih
dalam telah membentuk pemahaman
berbeda tentang dunia arsitek. Bahkan
kemudian ia berhasil menemukan
dirinya dalam dunia arsitektur.

Lebih jauh, peraih gelar master dari
University of Technology Berlin,
mengungkapkan bahwa menciptakan
ruang tidak lain merupakan upaya
pengalaman visual dan haptikal yang
dapat menggerakkan pengunjung
untuk berangan-angan dan bertukar
pikiran. Jadi tak sekadar fungsional.

Dokumentasi StephanieLarasati

Tetapi tidak hanya sampai di situ,
Stephanie juga terbuka dengan
berbagai kemungkinan-kemungkinan
baru. Seakan segala sesuatu memang
tidak ada yang statis, maka ia pun
selalu “gelisah” dan mencoba melihat
sesuatu dengan cara yang berbeda.
“Kami selalu berusaha untuk
mencari sudut pandang baru dalam
melihat bentuk, material, fungsi dan
ilosoi lokal. Arsitektur seharusnya
tidak lagi tentang simbolisme dan
romantisme tradisi, tapi lebih kepada

“Lewat dunia arsitektur saya
bisa punya kesempatan untuk
berkontribusi langsung kepada
masyarakat. Proses analisa dan
memahami sebuah kondisi kemudian
mencari solusi lewat strategi adalah
proses kerja yang saya nikmati,” tegas
Stephanie.

MISBAR BEKRAF,
KONKRETISASI KONSEP
Gagasan serta konsep dalam
berkarya tersebut tampak jelas
dalam projek yang ia kerjakan
bersama Bekraf, yakni Misbar
Bekraf. Adalah sebuah bioskop
terbuka di atas laut yang dibangun
dalam rangka menyambut acara Sail
Selat Karimata 2016.

“Kami untuk membuat sesuatu yang
familiar dan fungsional bagi warga
setempat. Dan menciptakan sebuah
konvergensi antara pengalaman
sinematik dan keindahan alam,”
papar penggemar ilm alternatif ini.
Ternyata di siang hari Misbar
Bekraf menjadi sebuah public space.
Warga dan pengunjung datang
untuk duduk-duduk, bersantai dan
bermain, menikmati pemandangan
alam dan matahari terbenam.
Melihat keberhasilan kolaborasi
antara Bekraf dengn dirinya,
Stephanie melihat peran Bekraf
sangat penting dan signiikan dalam
perkembangan dunia industri
kreatif.
“Saya melihat Bekraf serius
menyediakan platform-platform
yang berkelanjutan untuk
perkembangan sektor ekonomi
kreatif, tidak hanya industrinya tapi
terlebih sumber daya manusianya.
Saya berharap Bekraf konsisten
dengan visi misi dan programprogramnya,” tutup Stephanie.

16

17

P R O F I L

SINERGI BEKRAF DAN TORINO FILM LAB
Bekraf bekerja sama dengan Torino Film Lab melalui program FeatureLab, menempatkan dua tim pembuat
karya film untuk mengikuti residential workshop demi mendorong peningkatan kualitas sineas Indonesia.
Tahun ini, kedua sineas tanah air yang terpilih adalah Makbul Mubarak dan Loeloe Hendra Kumara.

KEKUASAAN ADALAH
ISU SENTRAL YANG
TAK PERNAH SELESAI
Latar belakang pendidikan
formal di bidang sinema
tidak selalu membidani
insan film yang andal. Lakilaki ini adalah salah satu
contohnya. Ide cerita yang
kuat menjadi pilihannya
sebelum didiwujudkan dalam
karya film.

ketakutan. Ia bisa menggiring emosi
manusia,” kata Makbul.
Tidak mengherankan jika Makbul
merasakan bahwa momen paling
menggembirakan baginya adalah
ketika penonton bisa ”merasakan”
ilm yang kami buat.
“Menyaksikan penonton tertawa,
sedih, takut, tak menentu,
bingung, terperangkap, tercenung
ketika menonton ilm kami
adalah kebahagiaan yang paling
paripurna. Artinya, ilm kami bisa
mentransmisikan rasa dan bukan
hanya gambar-gambar belaka,”
tambah Makbul.
Namun terlebih dari itu, Makbul
juga yakin, bahwa sebuah ilm
memiliki sebuah sacred mission.
Seperti berbagai karya seni lainnya,
ilm juga harus bisa menginterogasi
cara seseorang memandang zaman,
masyarakat, dan kebudayaan kita
secara umum.

Adalah Makbul Mubarak. Tahun ini
dirinya terpilih menjadi satu di antara
10 sineas muda terpilih dari seluruh
dunia untuk mengikuti workshop
Feature Lab-360 yang digelar oleh
Torino Film Lab di Italia.
Bagi Makbul ilm bukan barang baru.
Sejak kecil dirinya sudah gandrung
dengan ilm. Namun, dari kegilaannya
terhadap ilm itulah ia menyadari
bahwa ilm adalah sesuatu yang
sanggup menggerakkan sesuatu.
“Saya sadar bahwa ilm bisa membuat
orang terkagum-kagum, namun di
sisi lain bisa juga membuat orang

“Film harus bisa membuat pembuat
dan penontonnya melihat dunia
lewat beragam cara, dan untuk
terus-menerus mempertanyakan
apa, mengapa dan bagaimana,” kata
laki-laki yang mengaku suka mengisi
teka-teki silang itu.
Wajar saja jika kemudian dalam
karya-karyanya Makbul selalu
berusaha mendekonstruksi apa yang
dianggap mapan oleh lingkungannya.
Misalnya saja soal kekuasaan.
“Film-ilm saya biasanya
mempertanyakan mengenai
apa makna “kekuasaan” dan apa
pengaruhnya bukan saja bagi yang
dikuasai, tapi juga bagi yang berkuasa.
Isu kekuasaan adalah isu yang sangat

penting dan mengganggu buat saya. Ini
mungkin disebabkan oleh latar belakang
saya yang lahir dan tumbuh dalam
lingkungan yang konservatif,” papar
Makbul yang mengaku tidak pernah
belajar ilm secara formal.
Terkait keberadaannya di Torino Film
Lab, Makbul berkisah, ada beberapa hal
penting yang ia peroleh selama berada
di Italia.
“Mereka (para trainer di TFL)
memperlakukan setiap proyek ilm
dengan cara berbeda. Saya mendapatkan
banyak sekali perolehan mulai dari
segi skenario, penyutradaraan,
sinematograi, produksi, pembiayaan,
promosi, pasca-produksi dan
sebagainya. Program ini sangat
membantu kami menyelami karya lebih
dalam, menantang diri sendiri dan juga
melihat segala sesuatnya lewat sudut
pandang yang berbeda,” ujar Makbul
saat ditanya apa saja yang ia peroleh
selama mengikuti workshop.
Selain itu, Makbul berharap lembagalembaga dalam negeri terkait juga
ikut memiliki kontribusi terhadap
perkembangan ilm nasional.
“Saya berterima kasih pada Bekraf
karena telah membantu kami dalam
banyak hal. Ini adalah langkah yang
sangat bagus bukan hanya bagi tim
kami tapi juga pembuat ilm Indonesia
lainnya,” tambah Makbul.
“Bekraf sebaiknya terus-menerus
membantu para pembuat ilm di
Indonesia untuk berpartisipasi dalam
forum-forum internasional sejak fase
berproses mereka yang paling dini.
Kesadaran bahwa sebuah karya harus
dipromosikan sedini mungkin adalah
kesadaran yang sangat tepat,” tambah
Makbul.

Dokumentasi Pribadi

Makbul Mubarak

Loeloe Hendra Komara

Dokumentasi Pribadi

MEMBANGUN DIALOG
ANTARA FILM DENGAN
MASYARAKAT
Sebuah karya seni adalah
ruang pengalaman, baik
pengalaman kreator maupun
pengalaman penikmat
karya seni. Bagi kreator,
seni menjadi medium
berbagi pengalaman
sekaligus pengalaman itu
sendiri, sedangkan bagi
penikmatnya karya seni
adalah perjumpaan dengan
pengalaman baru.

berasal dari pertanyaan-pertanyaan
yang selalu menghantuinya setiap hari.

di Torino Film Lab adalah salah satu
upaya untuk mencapai mimpi itu.

Kemudia ia mengartikulasikan itu
semua lewat bahasa-bahasa yang
lebih luas, yang tidak dapat dilakukan
oleh kajian-kajian akademik.
Misalnya pertanyaan-pertanyaan
yang mengejarnya ketika ia hidup di
kawasan transmigran Kalimantan
Selatan bersama sang paman dan
neneknya.

“Pertemuan saya dengan para mentor
dan partisipan dari negara lain,
memberi saya wawasan dan perspektif
yang berbeda. Ada banyak aspek dan
elemen yang perlu digali dari setiap
material yang kita miliki. Proses
pembuatan ilm adalah hal yang sangat
detail dan harus matang dari semua
aspek. Ini yang penting menurut saya
dari sesi pertama kami di Rotterdam,”
demikian kata laki-laki yang pada masa
kecilnya pernah menjadi penggemar
ilm layar tancap itu.

FILM SEBAGAI MEDIUM DIALOG

Hal itu juga yang dikemukakan
oleh Loeloe Hendra Komara, satu
dari dua peserta Indonesia yang
mengikuti program Torino Film
Lab 2017, di Italia, atas dukungan
Bekraf.
“Film selalu berhasil membawa saya
ke pengalaman-pengalaman baru.
Pengalaman itu yang membuat
saya banyak belajar tentang hidup
sekaligus belajar tentang ilm itu
sendiri,” kata Loeloe.
Bagi Loeloe, semua ilm yang
dibuatnya selalu lahir dari
pengalaman hidup. Seringkali

Pengartikulasian itu menghasilkan
pertemuan antara ilm dan publik
penonton. Di sana terbangun
juga sebuah relasi yang mungkin
sesungguhnya tidak pernah selesai
dan tidak pernah menawarkan
penyelesaian pasti. Sebaliknya
pertanyaan-pertanyaan terakumulasi
menjadi bongkahan pertanyaan yang
lebih dalam dan mendasar yang
justru harus dijawab oleh penonton
ilm. Inilah dialog.
“Bagi saya, pertemuan antara
ilmmaker, medium ilm, dan
masyarakat akan dengan sendirinya
menghasilkan dialog, dialog inilah
yang bagi saya justru penting,” tegas
laki-laki kelahiran Ciamis, Jawa Barat
ini. Secara tajam, ia memaksudkan
dialog sebagai cara bagaimana sebuah
ilm dikaji dari berbagai perspektif.
Untuk mencapai idealitas tersebut,
memang harus dilakukan sebuah
upaya untuk menghasilkan ilm-ilm
yang berkualitas. Apa yang ia peroleh

Melihat letak strategis program yang
dijalan Bekraf untuk meningkatkan
kualitas ilm Indonesia, Loeloe melihat
program-program yang sudah berjalan
harus terus dilakukan.
“Bantuan dan support haruslah
tepat sasaran dan merata, sehingga
dibutuhkan kuratorial yang strategis
dan sangat tahu kondisi ilm di
Indonesia. Sejauh ini Torino Film
Lab adalah kerjasama Bekraf paling
strategis menurut saya pribadi. Halhal seperti ini harus diperbanyak
dan diperpanjang,” saran lulusan ISI
Yogyakarta itu.
Loeloe pernah menyutradarai sejumlah film
pendek, diantaranya I am Not Imael (2009)
dan Onomastika (2014). Kedua film ini pernah
diputar di 65th Generation Kplus Berlinale
International Film Festival di Berlin tahun
2015, dan Singapore International Film
festival ke 25 tahun 2014.

18

19

G A L E R I

FOTO

Beragam Kegiatan Bekraf dalam
Membangkitkan Ekonomi Kreatif Indonesia

Foto-foto Dokumentasi Bekraf

5 LOKASI SYUTING UNGGULAN
Melalui Indonesian Cinema yang merupakan bagian dari payung program
Indonesia Creative Incorporated (ICINC), Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf)
mempromosikan lima daerah unggulan di Indonesia sebagai lokasi syuting. Lima
daerah tersebut adalah Siak, Bandung, Yogyakarta, Bojonegoro, dan Banyuwangi.
Harapannya, kelima daerah tersebut dapat menarik minat pembuat film, baik
lokal maupun dari mancanegara untuk menjadikan lima daerah potensial ini
sebagai lokasi pembuatan film.

BANDUNG
YOGYAKARTA

BOJONEGORO

SIAK
BANYUWANGI