T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Asertif Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Angkatan 2014 Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga T1 BAB II

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Perilaku Asertif
Perilaku asertif menurut Galassi Galassi (dalam Nipsaniasri, 2004) bentuk
komunikasi secaralangsung terhadap kebutuhan, keinginan dan pendapat
seseorang tanpa menghukum, mengancam atau merendahkan orang lain. Perilaku
asertif juga melibatkan hak orang lain tanpa terlalu takut dalam proses tersebut.
Perilaku asertif melibatkan ekspresi langsung dari perasaan seseorang, preferensi,
kebutuhan atau pendapat dalam cara yang tidak mengancam atau menghukum
orang lain.
Perilaku asertif Menurut Smith (dalam Rakos, 1991) menyatakan bahwa
perilaku asertif merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap,
pemikiran dan emosi yang dilandasi rasa tanggung jawab atas segala hasil serta
akibat tersebut bagi individu itu sendiri. Gunarsa (2001) menyatakan bahwa
perilaku asertif adalah perilaku antar pribadi (interpersonal behaviour) yang
melibatkan aspek kejujuran, keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ini
ditandai dengan adanya kesesuaian sosial dan seseorang yang mampu berperilaku
asertif akan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Selain itu,
kemampuan Dalam perilaku asertif menunjukkan adanya kemampuan untuk
menyelesaikan diri dalam hubungan antar pribadi.
Lazarus (dalam Rakos,1991) adalah tokoh yang pertama sekali

mendefinisikan perilaku asertif, yang mengatakan bahwa perilaku asertif adalah
cara individu dalam memberikan respon dalam situasi sosial, yang berarti sebagai
kemampuan individu untuk mengatakan tidak, kemampuan untuk menanyakan
dan meminta sesuatu, kemampuan untuk mengungkapkan perasaan positif
ataupun negatif, serta kemampuan untuk mengawali kemudian melanjutkan serta
mengakhiri percakapan.
Corey (2007) mengatakan bahwa perilaku asertif adalah ekspresi
langsung, jujur, dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-

ϱ

hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Sedangkan menurut Alberti dan
Emmons (dalam Corey 2007) perilaku asertif adalah sebuah kemampuan untuk
mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, yang memungkinkan
individu-individu untuk bertindak menurut kepentingan individu sendiri, untuk
membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk
mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak
pribadi individu tanpa menyangkal hak-hak orang lain. Berdasarkan uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah perilaku antar pribadi yang
menyangkut ekspresi yang tepat, jujur, terbuka, mempunyai sikap yang tegas,

positif dan mampu bersikap netral serta dapat mengutarakan akan sesuatu objektif
tanpa menyinggung perasaan orang lain.
Alberti dan Emmons, dkk (Corey 2007) menyatakan bahwa orang asertif
diasumsikan memiliki konsep diri yang positif yaitu salah satu cirinya adalah
harga diri mereka tinggi. Bloom, dkk (dalam Rakos, 1991) mengemukakan bahwa
perilaku asertif merupakan tengah-tengah antara perilaku agresif di salah satu sisi
dan perilaku pasif di sisi lain Maksud perilaku asertif adalah perilaku untuk
berkomunikasi secara langsung dan terbuka, sedangkan perilaku agresif adalah
untuk rnendominasi, untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dengan
mengorbankan orang lain. Sedangkan perilaku pasif merupakan perilaku yang
tidak menyatakan perasaan, gagasan, dan kebutuhannya dengan tepat serta
mengabaikan hak-haknya sendiri. Perilaku pasif ini biasanya bersifat emosional,
tidak jujur dan tidak langsung, terhambat dan menolak diri sendiri. Individu yang
pasif akan membiarkan orang lain menentukan apa yang harus dilakukannya
dengan sering berakhir dengan perasaan cemas, kecewa terhadap diri sendiri,
bahkan kemungkinan akan berakhir dengan kemarahan dan perasaan tersinggung.
Sedangkan asertivitas menurut Graham, Rees, dan Townend (dalam
Rakos, 1991) adalah perilaku kontinum yang berada di antara perilaku agresif dan
perilaku pasif perilaku agresif merupakan perilaku yang ekspresif tetapi umumnya
bersifat defensive, merusak diri dan orang lain yang sering berakhir dengan rasa

frustasi dan kesepian Sementara itu perilaku pasif adalah perilaku atau sikap
menghargai konflik dengan orang lain dengan cara mendapatkan keinginan -

ϲ

keinginannya sendiri di bawah keinginan-keinginan orang lain atau lebih
mendahulukan keinginan dan kebutuhan orang lain serta mengorbankan keinginan
sendiri karena takut dan kurang percaya diri. Selain diwujudkan dengan
komunikasi langsung, asertivitas juga dapat diwujudkan dengan komunikasi non
verbal atau body language yang rneliputi mimik, gerak tubuh,postur, nada, dan
tekanan suara, Bloom dkk (Rosita, 2007).
Kontak mata langsung yang menunujukkan ekspresi sungguh-sungguh,
postur tubuh yang tegap dan menghadap lawan bicara akan menambah pengaruh
pesan yang disampaikan, gerakan isyarat yang tepat, ekspresi wajah serta tekanan
dan volume suara yang dimodulasi yang akan rnenimbulkan kesan yang
meyakinkan, semua itu contoh dari asertivitas non verbal. Kelley menyatakan
bahwa orang yang asertif mampu mengekspresikan emosi secara tepat tanpa
adanya kecemasan terhadap orang lain.
Orang yang asertif sebagai orang yang dapat mewujudkan perasaannya
yang asli, menegakkan hak-hak pribadi masingmasing, dan menolak permintaanpermintaan dari orang lain dengan cara yang tidak menghina, tidak mengancam,

dan tidak meremehkan orang lain (Rosita, 2007).
2.1.1 Aspek-aspek Perilaku Asertif
Menurut Galassi dan Galassi (dalam Nipsaniasri, 2004), aspek-aspek
perilaku asertif antara lain :
a. Mengungkapkan Perasaan Positif (Expressing Positive Feelings)
Dengan mengungkapkan kesenangan, mengungkapkan perasaan suka,
cinta, sayang kepada orang yang disenangi.
b. Dengan memberikan pujian dan mengungkapkan penghargaan pada orang
lain, meminta pertolongan, termasuk didalamnya meminta kebaikan hati
seseorang untuk mengubah perilakunya, mengungkapkan perasaan suka,
cinta, sayang kepada orang yang disenangi.
c. Afirmasi Diri (Self Affirmations) mempertahankan hak, menolak
permintaan, dan mengungkapkan pendapat.

ϳ

d. Mengungkapkan Perasaan Negatif (Expressing Negative Feelings)
Dengan

mengungkapkan


ketidaksenangan

dan

mengungkapkan

kemarahan.
2.1.2 Pembentukan Perilaku Asertif
Menurut Rees dan Graham (dalam Rakos, 1991) munculnya perilaku
asertif karena adanya unsur-unsur berikut :
a.

Kejujuran (Honesty) Perilaku asertif akan sulit diwujudkan jika seseorang
tidak jujur karena dengan kejujuran, orang lain akan mengerti, memahami,
dan menghormati apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang
bersangkutan.

b.


Tanggung Jawab (Responsibility) Hal ini berarti seseorang bertanggung jawab
atas pililian-pilihannya atau keputusannya tanpa rnenyalahkan orang lain atas
apa yang terjadi pada dirinya. Dengan rasa tanggung jawab terhadap apa yang
akan ter jadi pada dirinya. maka ia akan dapat merubah hal-hal yang tidak
diinginkannya.

c.

Kesadaran diri (Self-awareness) Ketika seseorang akan belajar asertif;
sebelumnya ia paham lebih dulu mengenal dirinya sendiri, agar lebih
mernperhatikan perilaku yang dimunculkan dan memikirkan cara-cara yang
diinginkannya.

d.

Percaya diri (Self confident) Menurut Bandura percaya diri adalah sebagai
suatu keyakinan seseorang untuk mampu berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan dan diinginkan. Seseorang yang memiliki rasa percaya diri yang
rendah akan menghambat perilaku asertifnya karena ada perasaan atau
anggapan bahwa hal-hal yang negatif akan terjadi jika ia melakukan sesuatu

sehingga tidak yakin bahwa perilaku tersebut justru akan membawa pada
perubahan yang positif. Orang asertif, dengan percaya diri yang dimilikinya
akan merasa yakin bahwa perilakunya akan membawa perubahan positif yang
diinginkannya.

ϴ

2.1.3 Hak Orang Berperilaku Asertif
Seseorang harus terlebih dahulu mengetahui akan hak – haknya (Rees dan
Graham (dalam Rakos, 1991). Hak-hak asertif manusia tersebut meliputi:
a. Hak bertindak yang tidak melanggar hak-hak orang lain
b. Hak rnenjadi asertif atau tidak asertif
c. Hak menentukan pilihan
d. Hak berubah
e. Hak mengontrol badan, waktu, dan kepemilikan
f. Hak menyatakan pendapat dan keper cayaan
g. Hak berpikiran baik terhadap diri sendiri
h. Hak mengajukan permintaan
i. Hak menyatakan hal-hal yang menyangkut seksualitas
j. Hak memiliki kebutuhan dan keinginan

k. Hak berfantasi. Hak memiliki atau memperoleh informasi
l. Hak memperoleh barang atau pelayanan yang telah dibeli
m. Hak untuk tidak tergantung dan hidup menyendiri
n. Hak mengatakan "tidak"
o. Hak diperlakukan dengan hormat Orang asertif adalah orang yang
penuh semangat, menyadari siapa dirinya, dan apa yang
diinginkannya
2.1.4 Ciri-Ciri Perilaku Asertif
Lazarus (dalam Nipsaniasri, 2004), ciri-ciri asertif adalah sebagai berikut:
Kemampuan memulai, melanjutkan, dan mengakhiri suatu pembicaraan dengan
sukses, kemampuan mengatakan "tidak" terhadap sesuatu yang tidak disetujui,
kemampuan mengajukan permintaan atau bantuan kapada orang lain, jika
memang membutuhkan bantuan, kemampuan menyatakan perasaan baik perasaan
yang menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan.

ϵ

Menurut Andu (dalam Nipsaniasri, 2004), ciri-ciri individu yang asertif:
a. Dapat menguasai diri dan bersikap menyenangkan tanpa menyakiti orang lain
b. Mampu mengajukan pertanyaan atau per mintaan bantuan terhadap orang

lain.
c. Dapat merespon hal-hal yang disukanya dengan wajar.
d. Berani mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya (positif atau negatif).
e. Bebas menyatakan dirinya sendiri (hal yang dipikirkan,diinginkan, serta siapa
dirinya)
f. Dapat berkomunikasi dengan orang lain dari semua tingkatan secara terbuka,
jujur, dan langsung sesuai dengan situasinya, baik dengan orang yang tidak
dikenal maupun sahabat.
g. Berani menjalin hubungan dengan orang-orang baik dan tidak menjauhkan
dari pertemuan-pertemuan
h. Berani membela hak-haknya yang sah.
i. Mempunyai

pandangan

yang

aktif

tentang


hidup

(berusaha

keras

mewujudkan keinginan atau cita-cita)
j. Menghormati diri sendiri, bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri,
selalu menerima keterbatasan keterbatasannya dan tidak akan menderita,
terancam, ataupun merasa kecil atas perbuatannya.
Asertivitas seseorang secara tidak langsung akan membuat orang lain merasa
dituntut untuk tidak meremehkan dan menghargai keberadaannya. Hai ini dengan
bersikap asertif, seseorang rnemandang keinginan, kebutuhan, dan hak orang lain
sama dengan keinginan, kebutuhan, dan hak-haknya sendiri. Orang yang asertif
tidak mengabaikan hak-haknya dan tidak membiarkan orang lain melanggar hakhaknya.
Demikian juga ia mampu mengungkapkan perasaan-perasaan negatifnya,
misalnya menyatakan rasa tidak setuiu dan rasa tidak enaknya kepada orang lain
seperti kemampuannya menyatakan perasaan-perasaan positifnya misalnya
menyampaikan rasa cintanya, penghargaan dan pujian. Orang asertif juga tidak

akan merasa menderita, teraneam atau merasa kecil atas perbuatannya, tidak
menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan, berani menjalin hubungan dengan

ϭϬ

orang, serta mampu mengekspresikan perasaan suka atau cinta. Orang yang tidak
asertif adalah orang yang tidak mampu mengekspresikan perasaan-perasaan serta
harapan-harapannya karena takut orang lain tidak akan menyukainya lagi sebagai
gantinya orang tersebut lebih memilih berdiam diri, dan kadangkadang
perasaannya diekspresikan dengan cara yang tidak langsung (Andu:1993).
Dikemukakan juga oleh Domikus (1988) bahwa tingkah laku orang yang
tidak asertif adalah orang yang merasa tidak bebas untuk mengemukakan
perasaannya, sukar untuk mengadakan komunikasi dengan orang lain, mempunyai
pandangan hidup yang kurang aktif dan kurang dapat menghargai dirinya sendiri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang asertif dicirikan dengan
adanya rasa percaya diri vang tinggi dan mau rnenerima diri sendiri sebagaimana
adanya artinya mampu rnenerima kelebihan dan kekurangan tanpa perlu merasa
rendah diri, sehingga tidak ada kecemasan dan merasa bebas untuk menyatakan
dirinya dengan begitu. komunikasi dapat berlangsung secara efektif. Dengan
demikian orang yang memiliki tingkah laku asertif adalah orang yang percaya
pada diri sendiri, punya harga diri, dan punya pandangan aktif. Selanjutnya
dikatakan bahwa pribadi yang asertif memiliki ciri-ciri:
a.

Merasa bebas untuk mengemukakan dirinya, artinya ia bebas menyatakan
perasaan dan pikirannya.

b.

Dapat berkomunikasi dengan sernua orang, artinya dengan orang yang telah
maupun dengan yang belum dikenalnya.

c.

Mempunyai pandangan aktif tentang hidupnya, artinya berusaha untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya

d.

Bertindak dengan cara yang dihormatinya, artinya dengan menerima
keterbatasannya sehingga kegagalan tidak membuatnya kehilangan harga diri.
Bower dan Bower (dalam Ahmad M 1997), orang asertif akan dapat

mengekspresikan kesenangan-kesenangan dan minat pribadi secara spontan,
membicarakan dirinya pada orang lain (prestasi atau keiebihan) pada saat yang
diperlukan tanpa melakukan monopoli, bersikap ramah dan bersahabat pada orang
lain (dapat menyapa dengan sikap ringan tanpa malu-malu), menerima pujian
dengan cara yang ramah, menggunakan ekspresi wajah dan perubahan nada suara

ϭϭ

sesuai dengan kata-kata yang disampaikan, dapat menyatakan ketidaksetujuan
misalnya dengan mengangkat alis, menggelengkan kepala atau mengubali topik
pembicaraan, berani meminta penjelasan atas petunjuk atau penjelasan yang
membingungkan, berani menanyakan alasan pada permintaan seseorang yang
kurang masuk akal atau kurang beralasan.
2.1.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Asertivitas
a. Jenis Kelamin menurut Arsante dan Gudykunst (Nipsaniasri, 2004)
Menyatakan bahwa pada umumnya pria banyak memiliki sifat-sifat
maskulin yaitu kuat, asertif, kompetitif, dan ambisius. Penelitian Bee
menambahkan laki-iaki cenderung lebih mandiri, tidak mudah terpengaruh, dan
lebih tenang, perempuan lebih mudah terpengaruh dan lebih bersifat mendidik.
Laki-laki lebih aktif dan lebih rasiona! sedangkan perempuan lebih pasif, lebih
emosional, dan lebih submisif. Masalah emosionalnya, dibandingkan dengan
wanita, pria sering tidak belajar mengenai kejujuran emosional karena mereka
diajarkan sejak dini untuk tidak emosional, wanita sering membesar-besarkan
respon emosional terhadap situasi yang dihadapi (Lloyd). Jenis kelamin yang
dianggap mempunyai pengaruh terhadap perilaku asertif biasanya berhubungan
dengan pola asuh, budaya yang melingkupi, serta stereotip yang ada. Berdasar
uraian tersebut dapat diduga bahwa laki-laki lebih asertif daripada perempuan.
b. Harga Diri menurut Alberti dan Emmons (Nipsaniasri, 2004)
Mengatakan bahwa orang-orang yang asertif diasumsikan memiliki konsep
diri yang positif. Orang yang memiliki konsep diri positif dengan sifat-sifat
penerimaan diri, evaluasi diri yang positif dan harga diri yang tinggi, akan
merabuat mereka merasa aman dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam
kancah sosial. Konsep diri berkorelasi positif dengan perilaku asertif, karena
harga diri merupakan bagian dari konsep diri artinya seseorang yang harga dirinya
rendah maka konsep dirinya rendah. Rasa percaya diri pada orang yang memiliki
konsep diri positif akan memberikan keberanian untuk menyampaikan pikiran dan
perasaan yang sebenamya kepada orang lain tanpa disertai kecemasan, mampu
rnenerima pikiran dan perasaan orang lain Bloom, dkk (dalam Ahmad, M 1997),

ϭϮ

mengemukakan bahwa antara harga diri dengan asertivitas mempunyai hubungan
yang sangat erat. Individu yang mempunyai harga diri tinggi akan mampu
berperilaku asertif dan kemampuannya dalam berperilaku asertif akan
meningkatkan pula harga dirinya. Jadi orang yang konsep dirinya positif biasanya
lebih berani mengekspresikan dirinya sendiri, berani menyatakan pendapat tanpa
takut dicela sedangkan orang yang konsep dirinya rendah akan cenderung merasa
tidak aman, tertekan, dan kurang percaya diri sehingga ia akan cemas. Keadaan
tersebut akan membuat seseorang menjadi sulit dalam menyampaikan ide,
perasaan-perasaan, dan pikiran-pikiran kepada orang lain, yang akibatnya ia tidak
memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiran dan perasaan yang sebenarnya
kepada orang lain, ini yang menjadikan seseorang itu menjadi tidak asertif.
c. Pengalaman masa anak-anak
Kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi pengalaman masa
anak-anaknya (dalam Nipsaniasri, 2004) Pengalaman tersebut, yang kebanyakan
berupa interaksi dengan orang tua maupun anggota keluarga lainnya, sangat
menentukan pola respon seseorang dalam mengliadapi berbagai masalah setelah ia
menjadi dewasa kelak. Seorang anak yang selalu mendapat larangan setiap kali
melakukan sesuatu, rnaka akan membuatnya takut untuk mencoba bertindak atau
berbuat lainnya. Adanya larangan yang terus-menerus akan menjadikan seorang
anak terlalu berhati-hati dan tidak spontan dalam mengemukakan perasaannya
Sehingga anak terbiasa untuk berperilaku tidak asertif. Sedangkan menurut Rathus
dan Domikus (Rakos R, 1991) tingkah laku asertif berkembang secara bertahap
sebagai hasil interaksi antara anak dan orang tua serta orang – orang dewasa lain
disekitarnya karena semenjak anak-anak, peran pendidikan perempuan dan lakilaki telali dibedakan oleh masyarakat artinya sejak kecil anak laki-laki dibiasakan
tegas dan kompetitif..
d. Tingkat pendidikan
Caplow (2001) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang akan semakin ada kecenderungan untuk sukses dalam bekerja. Semakin
orang berpendidikan akan semakin mengenal dirinya secara lebih baik, termasuk
kelebihan dan kekurangannya, sehingga mereka cenderung mempunyai rasa

ϭϯ

percaya diri. Dengan pengalaman pendidikan formal yang dialami individu akan
berakibat besar terhadap sikap, konsepsi, dan cara berpikir. Dalam bertingkah
laku, lebih fleksibel lebih terbuka terhadap pembaharuan, serta ingatan dan
perasaannya lebih luas, ini akan membawa seseorang menjadi percaya diri yang
orientasi segala perilakunya lebih dititik beratkan pada keputusannya sendiri.
e. Jenis pekerjaan dan lama kerja
Penelitian Kiecolt dan Mc Grath (Rakos R, 1991) menyimpulkan bahwa
jenis pekerjaan berpengaruh terhadap asertivitas individu artinya jenis pekerjaan
yang banyak melibatkan individu dengan orang lain akan berpengaruh positif
terhadap kemampuan seseorang dalam berperilaku asertif karena banyaknya
hubungan interpersonal yang dilakukan. Beberapa hal yang diduga mempengaruhi
self asertiveness adalah pekerjaan yang banyak menuntut hubungan interpersonal.
Ada perbedaan tingkat asertivitas wanita karier dengan karakteristik pekerjaan
yang berbeda. Lama kerja juga bisa berpengaruh terhadap asertivitas seseorang.
Masa kerja yang semakin lama akan menambah pemahaman tentang pekerjaan,
menambah kelancaran tugas, dan menambahi tanggung jawab. Hal itu sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Fensterheim dan Baer (Nipsaniasri, 2004)
menyatakan bahwa semakin seseorang memiliki tingkah laku asertif dalam
hubungannya dengan pekerjaan dan semakin bersedianya untuk menunjukkan
dirinya, rnakin besar pula kepuasan yang akan diperoleh.
f. Kondisi sosial ekonomi dan intelegensi
Kondisi sosial dan intelegensi seseorang mempengaruhi tinggi rendahnya
asertivitas seseorang. Ketika memiliki status sosial ekonomi dan intelegensi yang
tinggi pada umumnya tinggi pula nilai asertivitasnya (Rakos, 1991).
2.2 Kecerdasan Emosi
Goleman (2007 : 58) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah
inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri
dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut
akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah
menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut

ϭϰ

Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih
yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi
kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan
jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan
emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Salovey (Goleman, 2007 : 58) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner
dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya, seraya
memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, antara lain :
a. Mengenali emosi diri.
b. Mengelola emosi.
c. Memotivasi diri sendiri.
d. Mengenali emosi orang lain.
e. Membina hubungan.
Kecerdasan

emosi

menurut

penulis

adalah

kemampuan

untuk

menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan dan kemampuan yang
lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, menempatkan emosinya pada porsi
yang tepat untuk mengatur suasana hati.
2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional (Goleman,
2002: 58) :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali Emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan
dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri
sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. “Emosi berlebihan,

ϭϱ

yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita.
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan
kecemasan,

kemurungan

atau

ketersinggungan

dan

akibat-akibat

yang

ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang
menekan” (Goleman,2007:77).
c. Memotivasi Diri Sendiri
Memotivasi diri sendiri merupakan menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian,
untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri,dan untuk berkreasi.
“Kendali diri emosional, menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan
dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan mampu
menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi
dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cendrung jauh
lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan”
(Goleman,2007:58)
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan
kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih
mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan
apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut
pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan oranglain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa “orang-orang yang
mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri
secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka” (Goleman,
2007: 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa “anak-anak yang tidak
mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus
merasa frustasi” (Goleman, 2007: 172). Seseorang yang mampu membaca emosi
orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka

ϭϲ

pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka
orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Empati
Empati atau membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang
menunjang

popularitas,

kepemimpinan

dan

keberhasilan

antar

pribadi.

Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam
keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang
diinginkan dan sulit juga memahami keinginan serta kemampuan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses
dalam bidang apapun. “Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu
berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam
lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya
berkomunikasi” (Goleman, 2007:59).
Kecerdasan Emosi dari dari Patton, Cooper dan Sawaf (2000) yang digunakan
sebagai pedoman pembuatan alat ukur. Patton, Cooper, dan Sawaf menyebutkan
ada empat aspek kecerdasan emosi, antara lain :
a. Kesadaran emosi (emotional literacy)
Bertujuan membangun rasa percaya diri pribadi melalui pengenalan emosi
yang dialami dan kejujuran terhadap emosi yang dirasakan. Kesadaran emosi
yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain, sekaligus kemampuan untuk
mengelola emosi yang sudah dikenalnya, membuat seseorang dapat menyalurkan
energi emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif.
b. Kebugaran emosi (emotional fitness)
Bertujuan mempertegas antusiasme dan ketangguhan untuk menghadapi
tantangan dan perubahan. Hal ini mencakup kemampuan untuk mempercayai
orang lain serta mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang
paling konstruktif.
c. Kedalaman emosi (emotional depth)
Mencakup komitmen untuk menyelaraskan hidup dan kerja dengan potensi
serta bakat unik yang dimiliki. Komitmen yang berupa rasa tanggung jawab ini,

ϭϳ

pada gilirannya memiliki potensi untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu
menggunakan kewenangan untuk memaksakan otoritas.
d.

Alkimia emosi (emotional alchemy),
Kemampuan kreatif untuk mengalir bersama masalah-masalah dan

tekanan-tekanan tanpa larut di dalamnya. Hal ini mencakup ketrampilan bersaing
dengan lebih peka terhadap kemungkinan solusi yang masih bersembunyi dan
peluang yang masih terbuka untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa
kini, dan mempertahankan masa depan.
2.2.2 Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah (Goleman, 1995)
a. Kecerdasan emosi tinggi
Mampu mengendalikan perasaan marah, tidak agresif dan memiliki
kesabaran,

memikirkan

akibat

sebelum

bertindak,

berusaha

dan

mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari
perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain,
dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri
yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir
dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara
damai.
b. Kecerdasan emosi rendah
Bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan akibatnya, pemarah,
bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak
jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain,
tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh
oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin
persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan
baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.

ϭϴ

2.2.3 Unsur-Unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman
Adapun kelima ciri-ciri tersebut, menurut Goleman dalam bukunya yang berjudul
Kecerdasan Emosional (2002:63), disimpulkan bahwa 5 ciri-ciri seseorang yang
mempunyai kecerdasan emosi menurut teori Goleman yaitu
1. Kesadaran diri
Menurut Goleman Kesadaran diri yaitu mengetahui apa yang ia rasakan
pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan
diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan
kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri sangat penting dalam pembentukan
konsep diri yang positif. Konsep diri adalah pandangan pribadi terhadap diri
sendiri, yang mencakup tiga aspek yaitu :
a. Kesadaran Emosi
Kesadaran emosi adalah tahu tentang bagaimana pengaruhnya emosi terhadap
kinerja, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk memandu pembuatan
keputusan.
b. Penilaian diri secara akurat
Perasaan yang tulus tentang kekuatan-kek kekuatan dan batas-batas pribadi, visi
yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari
pengalaman orang lain.
c. Percaya diri yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.
2. Pengaturan Diri
Pengaturan diri adalah pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan.
Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne, “hati-hati dan
cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang
terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar
bahasa Yunani. Menurut Goleman, lima kemampuan pengaturan diri yang
umumnya dimiliki oleh star performer adalah pengendalian diri, dapat dipercaya,
kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.
a. Pengendalian Diri adalah mengelola dan menjaga agar emosi dan impuls
yang merusak tetap terkendali.

ϭϵ

b. Dapat dipercaya dan kehati-hatianyaitu memelihara norma kejujuran dan
integritas.
c. Dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban.
d. Adaptabilitas adalah keluwesan dalam menanggapi perubahan dan
tantangan.
e. Bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan dan pendekatan-pendekatan
baru, serta informasi terkini.
3. Motivasi
Motivasi adalah menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan
dan menuntun menuju sasaran, membantu untuk mengambil inisiatif untuk
bertindak secara efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan atau frustasi.
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting
yang berkaitan dengan memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri
sendiri, dan berkreasi. Untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya
kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan
dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak
tentu arah. Momen flow tidak lagi bermuatan ego. Flow merupakan puncak
kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan,
akan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas
yang dihadapi. Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan
kecemasan menghalangi tercapainya keadaan flow. Orang yang dalam keadaan
flow menampilkan penguasaan hebat terhadap apa yang mereka kerjakan, respon
mereka sempurna senada dengan tuntutan yang selalu berubah dalam tugas itu,
dan meskipun orang menampilkan puncak kinerja saat sedang flow, mereka tidak
lagi peduli pada bagaimana mereka bekerja, pada fikiran sukses atau gagal.
Kenikmatan tindakan itu sendiri yang memotivasi mereka. Salah satu cara untuk
mencapai flow adalah dengan sengaja memusatkan perhatian sepenuhnya pada
tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi tinggi merupakan inti dari
kinerja yang flow.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme.
optimisme seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara

ϮϬ

umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran
dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan emosional, optimisme merupakan
sikap yang menyangga orang agar jangan sampai jatuh dalam kemasabodohan,
keputusasaan atau depresi bila dihadang kesulitan, karena optimisme membawa
keberuntungan dalam kehidupan asalkan optimisme itu realistis.

Menurut

Goleman ciri-ciri dari orang yang memiliki kecakapan optimis adalah sebagai
berikut:
a.

Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan kegagalan.

b.

Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.

c.

Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat
dikendalikan ketimbang sebagai kekurangan pribadi.
4.Empati
Empati adalah memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir

dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai
berbagai hal. Menurut Goleman, kemampuan mengindera perasaan seseorang
sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati. Orang
sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka
memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya. Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini
dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran
diri (self awareness) dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan
mengindera perasaan individu atau menjaga perasaan itu tidak membingungkan
seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain. Tingkat empati
tiap individu berbeda-beda.
Menurut

Goleman,

pada

tingkat

yang

paling

rendah,

empati

mempersyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain, pada tataran yang lebih
tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindera sekaligus menanggapi
kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata.
Diantara yang paling tinggi, empati adalah menghayati masalah atau kebutuhankebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang. Namun ada kalanya
seseorang tidak memiliki kemampuan berempati, empati tidak ditemukan kepada

Ϯϭ

orang yang melakukan kejahatan-kejahatan sadis. Suatu cacat psikologis yang ada
umumnya ditemukan pada pemerkosa, pemerkosa anak-anak, dan para pelaku
tindak kejahatan rumah tangga. Orang-orang ini tidak mampu berempati,
ketidakmampuan untuk merasakan penderitaan korbannya memungkinkan mereka
melontarkan kebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai pembenaran atas
kejahatannya. Hilangnya empati sewaktu orang-orang melakukan kejahatan pada
korbannya hampir senantiasa merupakan bagian dari siklus emosional yang
mempercepat tindakan kejamnya.
5.Keterampilan sosial (social skills)
Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan
baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi
dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan untuk
mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan
untuk bekerjasama dalam tim. Dalam mengelola emosi sendiri pada akhirnya
harus mampu menangani emosi orang lain.
Menurut Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap
untuk menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua keterampilan emosional
lain, yaitu manajemen diri dan empati. Dengan landasan keduanya, keterampilan
berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial
yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tidak
dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia
sosial atau terulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak
dimilikinya keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang
yang mempunyai nilai akademik yang tinggi gagal dalam membina hubungannya.
Secara lebih luas, Goleman menjelaskan bahwa keterampilan sosial, yang makna
intinya adalah seni menangani emosi orang lain, merupakan dasar bagi beberapa
kecakapan, antara lain:
a. Pengaruh adalah kerampilan menggunakan perangkat persuasi secara
efektif.
b. Komunikasi adalah mendengarkan serta terbuka dan mengirimkan pesan
serta meyakinkan.

ϮϮ

c. Manajemen

konflik

adalah

merundingkan

dan

menyelesaikan

ketidaksepakatan.
d. Kepemimpinan adalah membimbing individu atau kelompok.
e. Katalisator perubahan adalah mengawali atau mengelola perubahan.
f. Membangun hubungan menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
g. Kolaborasi dan kooperasi adalah kerja sama dengan orang lain demi tujuan
bersama.
h. Kemampuan

tim

adalah

menciptakan

sinergi

kelompok

dalam

memperjuangkan tujuan bersama.
2.2.4 Aspek-Aspek yang Membangun Kecerdasan Emosional
Teori Goleman (dalam Triatna & Kharisma, 2008) menyebutkan
kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan
emosinya dengan intelegensi (to manage our life with intelligence) menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emition and its
expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri
empati dan keterampilan sosial.
Terdapat lima aspek dalam membangun kecerdasan emosional,
yaitu
1. Sadari perasaan sendiri dan perasaan orang lain mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional
2. Tunjukkan empati dan pahami cara pandang orang lain
Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kita
pada emosi diri sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan.
3. Atur dan atasi dengan positif gejolak emosional dan perilaku,
memberikan tantangan kepada anak usia empat tahun, anak itu
diberikan pilihan apabila dia mau menunggu sampai rampung orang
itu menyelesaikan tugasnya, anda akan diberi dua bungkus
marshmallow sebagai hadiahnya. Apabila tidak mau menunggu maka
akan diberi sebungkus tetapi dia dapat memperolehnya saat itu juga.

Ϯϯ

4. Berorientasi pada tujuan dan rencana positif
Salah satu hal terpenting tentang manusia adalah bahwa kita dapat
menetapkan tujuan dan membuat rencana untuk mencapai tujuan
tersebut. Ini berarti bahwa umumnya hal-hal yang dilakukan orang tua
dan anak-anak berorientasi pada tujuan.
5. Gunakan kecakapan sosial positif dalam membina hubungan
Disamping memiliki kesadaran dan perasaan, kendali diri, orientasi
tujuan dan empati, kemampuan berhubungan secara efektif dengan
orang lain juga penting.
2.3 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Asertif
Patton (1998) memberi definisi mengenai kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan,
membangun hubungan produktif, dan meraih keberhasilan
Goleman (1999), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti
dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri
dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut
akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah
menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.
2.4 Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian Fransisca (2013) hubungan kecerdasan emosi dengan perilaku
asertif, dengan hasil koefisien reliabilitas dari skala kecerdasan emosi adalah
0.920 dan koefisien reliabilitas pada skala perilaku asertif adalah 0.927. Koefisien
korelasi yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.769 dengan probalitas 0.000
(p

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24