Sejarah Ekonomi Syariah Refleksi Nilai N

SEJARAH EKONOMI SYARIAH : REFLEKSI DARI NILAI-NILAI
ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Syariah
Dosen Pembimbing:
Agung Yulianto

Oleh :
Nida Usanah (7101413170)

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

Sejarah Ekonomi Syariah : Refleksi dari Nilai-Nilai Islam
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin artinya, agama yang
membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta, termasuk
hewan, tumbuhan dan jin terlebih manusia. Islam mengajarkan berbuat
kebaikan dan perdamaian demi berlangsungnya kehidupan yang harmonis
pada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, islam mengartikan agama
sebagai sarana kehidupan yang melekat pada setiap aktivitas kehidupan,
baik manusia berhubungan dengan Tuhan (hablu minnalah) dan manusia

dengan sesama manusia (hablu minannas). Begitupun dengan kegiatan
ekonomi, sebagai aspek penting dalam kehidupan manusia perlu dikontrol
dan dituntun agar sejalan dengan tujuan syariat islam.
Ekonomi islam atau sering disebut dengan ekonomi syariah berbeda
dengan ekonomi kapitalis dan sosialis dimana keduanya merupakan sistem
ekonomi konvensional. Islam melarang eksploitasi oleh pemilik modal
terhadap masyrakat miskin dan melarang penumpukan kekayaan pada
segelintir orang. Ekonomi konvensional selalu mengedepankan bungan
sebagai instrumen profitnya sedangkan ekonomi syariah menawarkan sistem
bagi hasil. System bagi hasil ini berdasarkan atas kesepakatan kedua belah
pihak atau lebih. System ini merupakan cirri khusus yang ditawarkan
kepada masyarakat dan sesuai dengan syariat bagi hasil ditentukan terlebih
dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi
hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan
harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing
pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Selain itu, ekonomi syariah tidak individual dan sosialis yang
memberikan hampir semua tanggung jawab kepada warganya tetapi,
menetapkan bentuk perdagangan yang boleh dan tidak boleh ditransaksikan.
Yang jelas memberikan arahan yang baik kepada warganya untuk tetap

menjaga nilai keislaman dalam hal perekonomian.

Dalam ekonomi syariah terdapat dua hal pokok yang menjadi
landasan hukum sistem ekonomi syariah yaitu: Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah, hukum-hukum yang diambil dari kedua landasan pokok tersebut
secara konsep dan prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah kapanpun dan
dimana saja). Sedangkan menurut Hasan Uzzaman, Ekonomi Islam adalah
suatu ilmu aplikasi petunjuk dan aturan syariah yang mencegah ketidak
adilan dalam meperoleh dan menggunakan sumber daya material agar
memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, penerapan ekonomi syariah selalu
mengedepankan penghidupan yang layak baik di dunia dan akhirat.
Dikatakan para pemikir ekonomi syariah melihat persoalan ekonomi tidak
hanya berkaitan dengan faktor produksi, konsumsi, dan distribusi, berupa
pengolahan sumberdaya yang ada untukkepentingan bernilai ekonomis.
Tetapi, lebih berkaitan dengan persoalan moral, ketidak adilan, dan
sebagainya. Ekonomi syariah menempatkan nilai-nilai islam sebagai
pondasinya. Hal inilah yang membedakan dengan konsep ekonomi barat
yang menempatkan kepentingan individu sebagai landasannya.
Sebenarnya, penerapan system ekonomi syariah yang sedang
booming sekarang bukan kali pertama diterapkan namun, system tersebut

sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Namun pada saat itu, beliau
menerapkan perekonomian islam tersebut masih sederhana tetapi, telah
menunjukkan

prinsip-prinsip

yang

mendasar

bagi

pengelolaan

perekonomian. Karakter umum perekonomian pada masa itu adalah
komitmennya yang tinggi terhadap etika dan moral, serta perhatiannya yang
besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan.
Untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai
syari’ah Islam, yang berada pada jalur etika dan moralitas, Rasulullah
mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas sebagai

pengawas pasar (market controller). Rasulullah juga membentuk Baitul
Maal, sebuah institusi yang bertugas mengelola keuangan negara. Dalam
perekonomian Baitul Maal memegang peran penting, salahsatunya adalah
dalam melakukan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.

Tidak hanya berlanjut pada saat itu juga, pada masa kepemimpinan
Khuafa al-Rayidin yang dari masing-masing kepemimpinan berbeda. Pada
masa abu bakar, hanya berkosentrasi dalam negeri dan meneruskan progam
dari Rasulullah. Berbeda dengan Umar bin Khatab, pada masa
pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun Ia banyak
melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian
wilayah kekuasaan romawi seperti Syiria, Palestina, dan Mesir, serta seluruh
wilayah kerajaan Persia. Atas prestasi inilah orang barat menjulukinya
sebagai the Saint Paul of Islam. Berlanjut masa kepemimpinan Utsman bin
Affan selain melakukan ekspansi sampai ke Amerika,namun kebijakannya
masih melanjutkan kepeminanan umar. Namun, pada saat itu pula banyak
warga

yang


kecewa

atas

tindakannya

yang

dianggap

banyak

menguntungkan keluarga khalifah.
Berlanjut masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, ia menerapka
kebijakan eknonomi sebagaiberikut :
a. Mengedepankan prinsip pemerataan dalam pendistribusian
kekayaan Negara kepada masyarakat.
b. Menetapkan pajak terhadap para pemilik kebun dan mengijinkan
pemungutan zakat terhadap sayuran segar.
c. Melakukan kontrol pasar dan pemberantas pedagang licik,

penimbunan barang , dan pasar gelap.
d. Membentuk petugas keamanan yang disebut dengan ''Syurthah''
(Polisi). yang dipimpin oleh Shahibus-Syurthah.
e. Ketat dalam menangani keuangan negara dan Melanjutkan
kebijakan umar.
Pemikiran akan ekonomi syariah tersebut berlanjut pada periode
kontemporer dari tahun 1930 sampai sekarang. Era kinilah yang menjadi
kebangkitan pemikir ekonomi syariah. Perkembangan yang zaman modern
ini, tetap bersikap dan berpegang pada prinsip-prinsip syariah yang
merupakan refleksi dari nilai-nilai islam.

Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah
1.

Dalam ekonomi syariah, berbagai jenis sumber daya alam
dipandang

sebagai pemberian atau titipan Allah SWT kepada

manusia, sehingga pemanpaatannya haruslah bisa dipertanggung

jawabkan di akhirat kelak.
2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu yang
berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengakui
pendapatan yang diperoleh secara tidak sah.
3. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegatan ekonomi syariah.
Islam mendorong manusia untuk bekrja untuk mendapatkan materi /
harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti aturan yang telah
ditetapkan.
4. Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir
orang orang kaya, dan harus berperan sebagai capital produktif yang
akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
5. Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari
Sunah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak
yang sama atas air, padang rumput dan api.”
6. Seorang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat. Kondisi
ini akan mendorong seorang muslim menjauhkan diri dari hal-hal
yang dilarang oleh Allah dalm kegiatan ekonomi.
7. Seorang Muslim diwajibkan membayar zakat apabila hartanya sudah

mencapai batas ukuran tertentu (nisab). Zakat merupakan alat
distribusi kekayaan yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka
yang membutuhkan.

8.

Islam melarang setiap penerapan riba atas berbagai bentuk
pinjaman, maupun berbagai aspek kegiatan ekonomi lainnya dalam
kehidupan sehari-hari.

Ekonomi syariah yang mengedepankan nilai-nilai islam agar sejalan
dengan islam, pastinya diterima masyarakat. Selain mementingkan
kesepakatan bersama agar tidak ada permasalahan hati, system ini juga
mengajak masyarakat untuk berekonomi yang halal. Ekonomi syariah tidak
begitu mudahnya memberikan kredit kepada masyarakat yang tidak jelas
usahanya. Seperti yang diajarkan Rasullah, bahwa kegiatan ekonomi tidak
hanya tanggung jawab di dunia saja tetapi diakhirat pun dipertanggung
jawabkan.

Referensi

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37686/4/Chapter%20II.pdf