TUGAS KULIAH METODE PENELITIAN TENTANG P

TUGAS KULIAH METODE
PENELITIAN TENTANG PROPOSAL
PENELITIAN

PENGAJUAN GUGATAN SECARA CLASS ACTION
DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI KONSUMEN: PROBLEMATIKA DAN
PEMECAHANNYA

DOSEN: AKMAL RIZA, S.E., M.SI.
NAMA

: MIRZA RAHMATILLAH

NIM

: 140105048

MAHASISWA PRIODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UIN AR-RANIRY BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2016-2017
A. Latar Belakang
Hukum formil perdata atau hukum acara perdata adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara menjamin ditaatinya
hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.1 Hukum acara perdata
diperlukan untuk mengatur tentang bagaimana tuntutan hak harus diajukan ke
pengadilan, bagaimana pengadilan harus memeriksa dan memberi putusannya
serta bagaimana putusan pengadilan harus dilaksanakan. Hukum acara tidak
mengatur proses penegakan hukum di luar pengadilan. Meskipun tidak diatur oleh
hukum acara, upaya-upaya penegakan hukum di luar pengadilan yang dilakukan
secara adil dan damai tetap diperlukan, agar semakin banyak alternatif yang dapat
dipilih oleh pencari keadilan dalam menuntutkan apa yang menjadi haknya.2
Sistem hukum acara harus lengkap. Sistem hukum acara yang baik harus
menyediakan lembaga-lembaga yang memadai untuk kepentingan penuntutan hak
ke pengadilan, baik menyangkut penuntutan hak oleh seseorang atau oleh
sekelompok orang dalam jumlah yang besar atau masyarakat luas. Proses
penegakan hukum melalui pengadilan yang tidak memadai, akan mendorong
pencari keadilan untuk menyelesaikannya di luar pengadilan. Ketiadaan atau
kekuranglengkapan sarana yang dapat dipergunakan oleh sekelompok orang

dalam jumlah yang besar atau masyarakat luas untuk menuntut haknya melalui
pengadilan atau lembaga lainnya di luar pengadilan, misalnya lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat, dapat menimbulkan kerawanan sosial atau tindakan
kekerasan. Sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim3, kekerasan hanya akan
terjadi apabila cara mengerjakan sesuatu yang telah dikukuhkan secara tradisional
(lewat budaya, hukum atau agama) tidak lagi memadai. Untuk menghindari
1 Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, hlm,
2 E. Sundari, 2003, Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, hlm. 3
3 Bruce J. Cohen, 1992, Sosiologi, Suatu Pengantar, Tery Simamora-Sahat,
Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 338

kerawanan-kerawanan tersebut diperlukan sarana yang memadai bagi masyarakat
untuk dapat menuntut apa yang menjadi haknya.
Pada tahun 1997, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) di Indonesia telah diperkenalkan
mekanisme pengajuan sengketa lingkungan hidup ke pengadilan secara
perwakilan, yakni pengajuan gugatan oleh sekelompok kecil masyarakat untuk
bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah yang besar yang dirugikan atas

dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (lihat Pasal 37 ayat 1 UUPLH
beserta Penjelasannya).
Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) dikenal pula pengajuan sengketa konsumen
oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kesamaan kepentingan secara class
action (lihat Pasal 46 ayat 1 huruf b beserta penjelasannya). Di dalam Pasal 71
ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) juga
diperkenalkan pengajuan gugatan oleh masyarakat dalam bidang kehutanan secara
perwakilan dengan formulasi kalimat yang sama dengan gugatan perwakilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH. Demikian juga di dalam
PERMA Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Partai Politik Oleh Mahkamah
Agung, dikenal pengajuan gugatan oleh masyarakat terhadap partai politik secara
perwakilan (lihat Pasal 1 huruf d, Pasal 5, serta Pasal 23). Pengaturan mekanisme
pengajuan gugatan pencemaran lingkungan secara perwakilan di dalam UUPLH,
pengajuan sengketa konsumen secara class action di dalam UUPK, pengajuan
gugatan bidang kehutanan secara perwakilan di dalam UUK serta pengajuan
gugatan terhadap partai politik secara perwakilan masyarakat di dalam PERMA 2
Tahun 1999, dapat dikatakan suatu kemajuan dalam sistem hukum acara perdata.
Diperkenalkannya lembaga pengajuan gugatan secara perwakilan di dalam

UUPLH dipengaruhi oleh salah satu kebijaksanaan World Commission on

Environment and Development (WCED) yang tertuang dalam laporannya, yakni
Our common Future, tentang penyediaan cara-cara hukum.4
Untuk penyediaan cara-cara hukum dalam mendukung pembangunan yang
berwawasan lingkungan dirasa ada kebutuhan yang mendesak untuk
1. mengakui dan menghormati hak dan tanggung jawab timbal balik manusia
dan negara sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan,
2. menetapkan dan menerapkan norma-norma baru bagi perilaku negara dan
antar negara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan,
3. untuk mempererat dan memperluas diterapkannya hukum-hukum dan
perjanjian-perjanjian internasional yang ada untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan, serta
4. menerapkan metode-metode yang ada dan mengembangkan prosedurprosedur yang baru untuk menghindari dan memecahkan perselisihan
lingkungan.5
Kebijakan baru di dalam UUPLH tersebut kemudian dikembangkan untuk
penyelesaian sengketa-sengketa lainnya yang melibatkan kepentingan sejumlah
besar orang atau masyarakat, seperti dalam sengketa konsumen, gugatan
masyarakat dalam bidang kehutanan serta gugatan masyarakat terhadap partai
politik.

Berdasarkan bunyi Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, dapat diketahui
bahwa untuk mengajukan gugatan secara perwakilan harus dipenuhi dua syarat
yakni,
1. Jumlah masyarakat yang demikian besar sebagai pihak yang berkepentingan,

4 The World Commission on Environmental and Development, 1988, Hari
Depan Kita Bersama, Alih Bahasa Bambang Soemantri, Gramedia, Jakarta,
hlm. 429
5 The World Commission on Environmental and Development, 1988, Op.Cit,
hlm. 425, 453

2. Ada kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan antara wakil yang
akan maju ke pengadilan dengan seluruh anggota masyarakat yang akan
diwakilinya.
Berdasarkan bunyi Pasal 46 ayat (1) huruf b UUPK beserta penjelasannya,
dapat diketahui bahwa untuk mengajukan sengketa konsumen secara class action
harus dipenuhi syarat-syarat:
1. Adanya sekelompok konsumen sebagai pihak yang berkepentingan,
2. Adanya kesamaan kepentingan.
UUPLH maupun UUPK tidak mengatur lebih lanjut, apakah wakil dari

sekelompok masyarakat atau wakil dari sekelompok konsumen yang akan maju ke
pengadilan harus memperoleh kuasa terlebih dahulu dari kelompok yang
diwakilinya. Demikian pula UUK serta PERMA 2 Tahun 1999.
Prosedur class action berasal dari negara-negara dengan sistem peradilan
common law. Class action menurut Henry Campbell Black

menggambarkan

suatu pengertian dimana sekelompok besar orang berkepentingan dalam suatu
perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar
orang tersebut tanpa harus menyebutkan satu persatu anggota kelompok yang
diwakili.6 Diwakilinya sekelompok besar orang oleh seseorang atau lebih
anggotanya, bukan karena kelompok tersebut tidak dapat bertindak sendiri dalam
hubungan hukum atau tidak mempunyai kecakapan bertindak, akan tetapi karena
terlalu banyaknya orang sehingga harus diwakili agar tidak menimbulkan
kesulitan administrasi pengadilan.
Dilihat dari pengertian dan syaratnya, gugatan perwakilan sebagaimana
diatur di dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH beserta Penjelasannya mirip dengan
prinsip class action sebagaimana dikenal di negara-negara dengan sistem common


6 Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, Sixth Ed, west
Publishing Co, St Paul, Minnesota, hlm. 170

law, terutama Inggris (Rule 12 of Order 15 of The English Supreme Court, 1965).
Ontario (Rule 75 of The Supreme Court of Ontario Rules of Practice, 1980).
Hukum acara perdata positif Indonesia tidak mengenal prosedur gugatan secara
perwakilan sebagaimana dimaksud di dalam UUPLH, maupun prosedur class
action sebagaimana diperkenalkan di dalam UUPK dan telah lama dikenal di
negara-negara common law.
Dengan adanya kemiripan antara gugatan perwakilan sebagaimana
dimaksud di dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH beserta Penjelasannya, serta gugatan
class action sebagaimana dimaksud di dalam UUPK, dengan gugatan secara class
action sebagaimana dikenal di negara-negara common law, ada kemungkinan
pembentuk UUPLH dan UUPK ingin mengimplementasikan prinsip-prinsip class
action dalam sistem peradilan di Indonesia. demikian pula para pembentuk UUK
serta PERMA 2 Tahun 1999.
Lembaga class action merupakan dimensi yang baru dalam hukum acara
perdata Indonesia, oleh karena itu implementasinya masih belum jelas.
Berdasarkan perbandingan tentang syarat bagi wakil dalam class action di negaranegara common law serta dalam gugatan perwakilan menurut sistem hukum acara
perdata Indonesia, maka terlihat ada perbedaan tentang masalah legitima persona

standi in judicio dari pihak yang maju ke pengadilan.
Menurut sistem hukum acara perdata Indonesia, yang dapat menjadi pihak
dalam sengketa perdata meliputi manusia serta badan hukum melalui wakilnya. Di
sisi lain, prinsip class action dalam pengertian yang sebenarnya tidak memberikan
legitima persona standi in judicio pada badan hukum atau corporation untuk
mewakili kepentingan kelompok.
Aspek-aspek dalam prinsip legitima persona standi in judicio yang ingin
diterapkan di Indonesia dalam pengajuan gugatan secara class action masih belum
jelas, karena gugatan class action sendiri masih merupakan dimensi baru dalam

hukum acara perdata Indonesia. di sisi lain pelanggaran terhadap prinsip legitima
persona standi in judicio dalam suatu gugatan, akan mengakibatkan gugatan
tersebut dinyatakan tidak dapat diterima atau N.O (Niet Ontvankelijk verklaard).
Pada tahun 2002 Mahkamah Agung telah menerbitkan suatu terobosan
baru dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002
yang mengatur mengenai Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class action).
Meskipun hanya berbentuk sebuah peraturan Mahkamah Agung dan di dalamnya
substansinya tidak lengkap, namun keberadaannya untuk sementara waktu dapat
dipergunakan sebagai pedoman bagi para hakim dalam menerima dan memeriksa
pengajuan gugatan secara class action sambil terus menggali nilai-nilai yang

hidup di dalam masyarakat serta menunggu diaturnya acara gugatan class action
ke dalam bentuk Undang-undang yang lebih mempunyai kekuatan mengikat dan
lebih lengkap.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Faktor-faktor apakah yang menghambat pengajuan gugatan secara class
action dalam rangka perlindungan hukum bagi konsumen?
2. Bagaimanakah idealnya prosedur dan tata cara pengajuan gugatan secara
class action agar dapat memberikan perlindungan hukum bagi konsumen
secara optimal?

C. Keaslian Penelitian
Menelusuri kepustakaan, ternyata tidak banyak ditemukan penelitian
tentang pengajuan gugatan secara class action, terutama pengajuan gugatan secara
class action dalam rangka perlindungan hukum bagi konsumen. Oleh karena itu
penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana baru dalam pengajuan
gugatan secara class action dalam rangka perlindungan hukum bagi konsumen.


Namun demikian apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian dengan topik
atau tema yang sama, maka diharapkan penelitian ini dapat melengkapinya.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada
umumnya, dan khususnya yang berkaitan dengan pengajuan gugatan secara
class action dalam rangka perlindungan hukum bagi konsumen
2. Memberikan gambaran yang jelas tentang prosedur dan tata cara pengajuan
gugatan

secara

class

action

serta

implementasinya


dalam

rangka

perlindungan hukum bagi konsumen
3. Merupakan rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut terhadap pengajuan
gugatan secara class action dari sudut pandang yang berbeda sehingga
diharapkan gugatan secara class action dapat memberikan perlindungan
hukum kepada konsumen.

F. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan mengevaluasi faktor-faktor yang menghambat
pengajuan gugatan secara class action dalam rangka perlindungan hukum
bagi konsumen.
2. Untuk mengetahui dengan jelas dan tegas tentang prosedur dan tata cara
yang ideal pengajuan gugatan secara class action agar dapat memberikan
perlindungan hukum bagi konsumen secara optimal.

G. Tinjauan Pustaka
Istilah class action berasal dari bahasa Inggris, yakni gabungan dari kata
class dan action. Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas atau
kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan pengertian action
dalam dunia hukum adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan.

Class action menurut Black7 menggambarkan suatu pengertian dimana
sekelompok besar orang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih
dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus
menyebutkan satu persatu anggota kelompok yang diwakili. Dalam Grollier Multi
Media Encyclopedi dikatakan bahwa class action adalah gugatan yang diajukan
oleh seorang atau lebih anggota suatu kelompok masyarakat, mewakili seluruh
anggota kelompok masyarakat tersebut.
Ontario Law Reform Commission 8 menjelaskan pengertian berkepentingan
dalam suatu perkara adalah berkepentingan secara langsung, baik berkepentingan
secara hukum maupun berkepentingan untuk suatu manfaat atau keuntungan.
Dalam gugatan class action, seseorang atau lebih yang maju ke pengadilan
sebagai penggugat atau tergugat mewakili kepentingan seluruh anggota kelompok
lainnya didasarkan atas adanya kesamaan kepentingan serta kesamaan
permasalahan.9 Berdasarkan syarat tersebut, maka seseorang atau beberapa orang
yang

maju

sebagai

pihak

di

pengadilan,

mengajukan

tuntutan

untuk

kepentingannya sendiri sekaligus untuk kepentingan kelompoknya, karena
kepentingan pihak yang maju dengan kelompok yang diwakilinya adalah sama.
Karena kepentingan sekelompok orang identik, maka sesuai dengan prinsip class
action tersebut tuntutan cukup diajukan oleh salah satu atau beberapa dari anggota
kelompok tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Black10 dalam gugatan class action namanama seluruh anggota kelompok yang diwakili tidak perlu disebut satu persatu.
Kupchela & Hyland menjelaskan class action sebagai tuntutan yang dapat
diajukan atas nama seluruh anggota suatu kelompok tertentu meskipun mereka
7 Henry Campbell Blacks, 1991, Black’s Law Dictionary, 6th Ed. West
publishing Co, St Paul, Minnesota, USA, hlm. 170
8 Ontario Laws Reform Commission, 1982, Report on Class Action, Vol. 1,
Ontario, Canada, hlm.5
9 Ibid, hlm. 19
10 Henry Campbell Black, 1991, Op.Cit, hlm. 171

tidak diketahui satu persatu secara individual (even though they may not be known
individually). Pengertian “they may not be known individually” bukan berarti
bahwa kelompok tersebut tidak mempunyai anggota yang dapat disebutkan
identitasnya satu persatu secara individual, melainkan lebih mempunyai
pengertian bahwa yang terpenting dalam pengajuan gugatan secara class action
adalah adanya suatu kelompok orang atau masyarakat yang sudah tertentu,
misalnya para konsumen yang keracunan setelah makan produk mie instan
tertentu, masyarakat yang menghirup udara yang tercemar oleh limbah gas
beracun yang dibuang oleh suatu pabrik, siapapun namanya. Dalam pengajuan
gugatan secara class action, cukup disebut nama penggugat yang mewakili serta
kelompok atau masyarakat tertentu yang diwakili.11
Dalam literatur sistem hukum common law, class action disebut dengan
representative action. Untuk menerjemahkan class action atau representative
action dengan istilah gugatan perwakilan, dalam konteks hukum acara perdata di
Indonesia perlu dipikirkan kembali secara cermat, karena dapat menimbulkan
pengertian yang berbeda. Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia gugatan
dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan, atau diwakilkan oleh
kuasa hukumnya. Gugatan yang diwakilkan oleh kuasa hukum atau lawyer
tersebut lazim disebut sebagai gugatan secara perwakilan. Sementara di negaranegara common law, gugatan pada prinsipnya harus diajukan melalui kuasa
hukum atau lawyer dari para pihak. Gugatan demikian tidak disebut sebagai
gugatan secara perwakilan, sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata
Indonesia. Untuk menghindari kerancuan, maka gugatan class action dapat
diterjemahkan dengan gugatan perwakilan kelompok atau tetap digunakan istilah
aslinya, yakni gugatan class action.
Meskipun class action lahir dari sistem hukum common law, namun
kebutuhan akan prosedur class action dapat dikatakan merupakan kebutuhan
universal bagi negara-negara yang sekarang sedang giat-giatnya melakukan
11 Ontario Law Reform Commission, 1982, Op.Cit, hlm. 18

pembangunan yang pesat, terutama pembangunan di bidang ekonomi dengan
segala eksesnya. Pembangunan yang hanya menitikberatkan pada pertumbuhan
ekonomi dan prinsip-prinsip ekonomi semata-mata dapat memberikan ekses yang
lebih besar untuk terjadinya kecelakaan massal atau kerugian massal.
Pembangunan pabrik yang tidak mengindahkan pelestarian lingkungan akan
menghasilkan limbah yang dapat merugikan masyarakat sekitarnya. Penebangan
kayu di hutan secara besar-besaran akan merusak lingkungan yang pada akhirnya
juga dapat membawa kerugian pada masyarakat luas. Pemasaran barang dan jasa
yang semakin agresif dengan berbagai cara, dapat merugikan konsumen.
Di dalam bidang hukum yang menyangkut kepentingan publik, lembaga
class action mempunyai kedudukan yang strategis. Strategis dalam arti
memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat, terutama yang kurang
mampu baik secara ekonomi maupun struktural, untuk menuntutkan apa yang
menjadi hak-hak mereka yang bersifat publik, misalnya hak atas kesehatan, hak
atas pendidikan yang layak, hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Di negara Inggris, Kanada serta Amerika Serikat, diakuinya prosedur
pengajuan gugatan secara class action merupakan perkembangan dari ketentuan
joinder (penggabungan gugatan yang melibatkan lebih dari satu orang) yang
diwajibkan untuk gugatan-gugatan tertentu.12 Prosedur joinder sebenarnya sudah
merupakan upaya penyederhanaan prosedur berperkara yang melibatkan lebih dari
satu orang. Dengan joinder, maka sekelompok orang yang mengalami persamaan
permasalahan dalam suatu pokok perkara, secara bersama-sama dapat maju ke
pengadilan untuk menuntutkan hak mereka dalam suatu gugatan. Masing-masing
merupakan pihak dalam proses berperkara dengan seluruh hak dan tanggung
jawabnya, termasuk tanggung jawab terhadap beaya perkara. Prosedur joinder
akan menghindari kemungkinan adanya penjatuhan putusan-putusan yang saling
bertentangan satu sama lain dalam suatu kasus.

12 Ibid, hlm. 8

Permasalahan praktis yang sering dihadapi oleh para pihak dalam
menggunakan prosedur joinder adalah memenuhi ketentuan adanya kesepakatan
dari sejumlah besar pihak materiil dan memperoleh ijin mereka untuk menggugat
dengan menggunakan seorang kuasa hukum tertentu, karena pada umumnya
mereka memilih kuasa hukum yang sama. Mereka harus selalu bersama-sama. Di
dalam proses pemeriksaan, mereka harus didengar semua harus membuktikan
semua dan disebut semua dalam putusan hakim.
Kesulitan yang dihadapi oleh pengadilan terhadap gugatan yang diajukan
secara joinder adalah kesulitan administrasi pengadilan, misalnya tentang masalah
pemanggilan para pihak. Dalam prosedur joinder, pemanggilan terhadap para
pihak harus dilakukan terhadap seluruh pihak satu persatu. Hal tersebut akan
menghabiskan waktu dan beaya yang lebih besar seandainya pihak yang harus
dipanggil meliputi sejumlah ratusan orang atau ribuan orang. Lembaga class
action mencoba menghilangkan ketidaksederhanaan dan kesulitan administrasi
tersebut.
Meskipun joinder ada kelemahannya, akan tetapi tetap merupakan
prosedur alternatif yang dapat dipilih manakala suatu perkara yang melibatkan
sejumlah besar orang tidak dapat diajukan secara class action. Lembaga hukum
joinder sama dengan lembaga hukum kumulasi, sebagaimana juga dikenal di
dalam hukum acara perdata Indonesia. selain joinder, ada alternatif lain yang
dapat dipergunakan sebagai pengganti prosedur class action, yakni melalui
prosedur test cases. Prosedur ini juga hanya dikenal di negara-negara common
law.
Melalui prosedur test cases, maka dalam hal ada sejumlah orang yang
semuanya mengajukan gugatan secara individual terhadap orang yang sama, maka
oleh pengadilan dapat dilakukan “test” atau pemeriksaan, untuk menentukan
apakah ada kesamaan permasalahan diantara para penggugat tersebut dengan

tergugat. Apabila ada kesamaan, maka gugatan yang sudah diajukan secara
individual dapat digabung menjadi satu.
Kesulitan yang dihadapi dalam prosedur test cases adalah bahwa para
penggugat semuanya harus menyetujui untuk diadakan test cases serta menyetujui
untuk sama-sama terikat oleh satu putusan. Persetujuan bersama ini di dalam
praktek sulit diperoleh. Keterbatasan yang lain dari prosedur test cases adalah,
orang-orang yang sebelumnya tidak mengajukan gugatan, tidak dapat
dimasukkan, entah karena mereka tidak tahu, atau mungkin tidak dapat
mengajukan gugatan secara individual karena ada batasan-batasan tertentu yang
tidak dapat dipenuhinya. Juga sangat besar kemungkinannya dari pihak tergugat
membuat banyak sekali kesepakatan penyelesaian, frustasi serta menghambat
penggugat yang lain. Apabila prosedur test cases diijinkan oleh pengadilan, maka
proses selanjutnya akan serupa dengan kumulasi.
Sebelum suatu gugatan diajukan secara class action, selain syarat, harus
dipertimbangkan juga manfaat dan kelemahannya. Untuk memilih class action
sebagai prosedur pengajuan gugatan, harus dipastikan bahwa manfaat yang akan
diperoleh melebihi kekurangannya.
Ada lima keistimewaan dari prosedur class action yakni:
1. Mengatur penyelesaian perkara yang menyangkut banyak orang, masingmasing dengan tuntutan yang kecil yang tidak dapat diajukan secara
individual,
2. Memastikan bahwa tuntutan-tuntutan untuk ganti kerugian yang kecil serta
dana yang terbatas diperlakukan dengan sepantasnya,
3. Mencegah putusan yang bertentangan untuk permasalahan yang sama,
4. Penggunaan administrasi peradilan yang lebih efisien, serta
5. Mengembangkan proses penegakan hukum.

Ontario Law Reform Commission melihat ada tiga manfaat utama yang
dapat diketahui dari prosedur class action, yakni:
1. mencapai peradilan yang lebih ekonomi,
2. memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan dan
3. merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau orang-orang
yang potensial melakukan pelanggaran.13
Prosedur class action akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak
serta bagi sistem peradilan karena prosedur tersebut mengurangi keseluruhan
beaya perkara yang harus dikeluarkan serta jumlah gugatan yang harus diajukan
dalam hal terjadi sengketa yang melibatkan orang banyak. Tidaklah praktis bagi
pengadilan dan juga bagi para pihak apabila harus melayani gugatan-gugatan
sejenis yang diajukan secara individual atau secara joinder. Dengan diajukannya
gugatan secara class action oleh seorang atau lebih yang merupakan wakil dari
seluruh anggota kelompok, maka kepentingan seluruh kelompok sekaligus dapat
dituntut. Peluang

ke pengadilan bagi para pihak akan lebih besar, apabila

dilakukan dengan prosedur class action, lebih-lebih jika secara individual para
pihak mengalami hambatan-hambatan untuk maju ke pengadilan, misalnya
hambatan keuangan, sosial dan psikologis. Dengan diajukannya gugatan oleh
seseorang atau beberapa orang saja yang mewakili kepentingannya sekaligus
kepentingan kelompoknya, maka kepentingan anggota kelompok lainnya yang
kebetulan tidak mampu dari segi keuangan, sosial atau psikologis sudah diwakili
tanpa mereka harus maju sendiri ke pengadilan.
Dalam sistem Hukum Acara Perdata Indonesia, gugatan yang diajukan
secara perwakilan mempunyai dua makna, yakni:
1. Gugatan yang diajukan oleh atau terhadap badan hukum, yang diwakili oleh
pengurusnya, serta gugatan yang diajukan oleh atau terhadap orang yang
secara hukum tidak mempunyai kecakapan bertindak sendiri, dan

13 Ibid, hlm. 177

2. Gugatan yang diajukan oleh seorang kuasa hukum yang maju ke pengadilan,
mewakili orang yang berkepentingan berdasarkan surat kuasa.
Dua makna tersebut, maka gugatan secara perwakilan dalam wacana
hukum acara perdata Indonesia hanya dapat diajukan:
1. Apabila pihak yang berkepentingan untuk maju ke pengadilan harus diwakili,
misalnya untuk badan hukum dan anak dibawah perwalian atau orang
dibawah pengampunan.
2. Apabila pihak yang diwakili tidak mau atau takut maju sendiri ke pengadilan
sehingga dapat diwakilkan kepada seorang kuasa hukum. Gugatan yang
pertama dapat dilakukan tanpa surat kuasa dari pihak yang diwakili karena
sudah ada penunjukan oleh hukum, pada gugatan yang terakhir hanya dapat
dilakukan apabila ada kuasa dari pihak yang diwakili.
Hukum Acara perdata positif Indonesia tidak mengenal prosedur gugatan
secara perwakilan sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan telah lama dikenal di negaranegara Common law. Di dalam naskah rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Perdata, materi prosedur class action juga sudah mulai dicantumkan, dan pada
beberapa kasus prosedur class action dalam beberapa kasus sudah mulai
dipergunakan.
Prosedur beracara dalam persidangan perdata yang memberikan hak
prosedural terhadap satu atau sejumlah kecil orang untuk bertindak sebagai
penggugat mengatas-namakan mereka sendiri, sekaligus mengatas-namakan
kepentingan puluhan, ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya
yang mengalami penderitaan dan kerugian yang sama dengan yang mewakilinya.
Satu atau sejumlah kecil orang yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai
wakil kelas (class representatives). Sedangkan jumlah orang banyak yang
diwakilinya bertindak sebagai penggugat absentee yang disebut sebagai anggota
kelas (class members).

Ada juga permasalahan yang tidak kalah pentingnya dalam gugatan
perwakilan kelompok, yakni mengenai cara-cara pemberitahuan kepada para
pihak, terutama pemberitahuan kepada anggota kelompok. Cara pemberitahuan
kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media massa, kantor-kantor
pemerintahan/kecamatan/kelurahan, kantor pengadilan, siaran radio atau televisi,
secara individual sesuai dengan yang ditentukan oleh Hakim berdasarkan standar
formal dalam peraturan Mahkamah Agung R.I.
Dalam gugatan perwakilan kelompok juga diatur tentang permasalahan opt
out

yaitu apabila ada anggota kelompok keberatan terhadap gugatan yang

diajukan. Serta ada pula pengaturan tentang opt in yaitu pernyataan masuk dalam
suatu gugatan perwakilan yang sedang diajukan.
Sarana gugatan perwakilan kelompok dapat diterapkan dalam berbagai
macam gugatan-gugatan yang pada umumnya mempunyai ciri khas banyaknya
orang yang merasa dirugikan atas suatu hal tertentu, seperti contohnya pada
kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum perlindungan konsumen.
Gugatan perwakilan kelompok atau lebih dikenal secara luas dengan
sebutan class action merupakan perkembangan hukum baru di Indonesia sebagai
sarana pengajuan gugatan bagi sekelompok orang guna mengajukan tuntutannya
ke pengadilan negeri apabila ada suatu kepentingan sekelompok orang itu merasa
dirugikan.
Dari banyaknya gugatan-gugatan perwakilan kelompok yang menyangkut
pada hukum perlindungan konsumen yang beberapa kali di usahakan untuk
diterapkan pada badan peradilan, namun demikian usaha tersebut kandas di tengah
jalan dengan alasan yang sangatlah klasik yaitu belum ada pengaturan acara
gugatan perwakilan kelompok dalam hukum positif di Indonesia sehingga Hakim

sudah tentu akan menyatakan tidak dapat menerima gugatan atau menolak
gugatan itu.
Cara-cara yang ditempuh oleh sekelompok orang tersebut dalam
mengajukan gugatannya secara berkelompok untuk menuntut suatu ganti rugi
adalah termasuk salah satu fenomena pembaharuan hukum karena mendobrak
tradisi hukum acara perdata Indonesia yang sudah usang. Ciri-ciri pembaharuan
hukum seperti ini termasuk dalam aliran hukum kritis atau dengan kata lain
sebagai teori hukum anti kemapanan karena mendobrak tradisi hukum acara
perdata Indonesia yang sudah turun temurun.
Jadi sungguh tepat ketika sekelompok besar orang yang merasa dirugikan
oleh produk-produk dari produsen untuk meminta ganti-kerugian melalui badan
peradilan dengan mempergunakan sarana gugatan perwakilan kelompok sebagai
suatu sarana hukum acara perdata baru yang dapat ditempuh sebagai pegangan
ketika hukum acara perdata yang sudah usang namun tetap berlaku tidak cukup
memadai.
Satu hal yang teramat penting adalah dengan adanya Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tanggal 26 April 2002 tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang meskipun hanya merupakan suatu
peraturan Mahkamah Agung namun tetap sebagai suatu perbendaharaan dalam
hukum positif pada hukum acara perdata di Indonesia sebagai petunjuk teknis
yang khusus untuk mengajukan upaya hukum gugatan perwakilan kelompok
walaupun di sana sini masih terdapat berbagai macam kekurangan namun
setidaknya dapat sebagai acuan bagi perkembangan hukum acara perdata di
Indonesia.
Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen”
sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK-yang diberlakukan
pemerintah mulai 20 April 2000-praktis hanya sedikit pengertian normatif yang
tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata
konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan.
Sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam
ketetapan tersebut.
Diantara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha Tidak Sehat
(diberlakukan 5 Maret 2000; satu tahun setelah diundangkan). Undang-Undang ini
memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna
barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.
Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli’ (koper). Istilah ini
dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian
konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen
dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F.
Kennedy dengan mengatakan, “Consumers by definition include us all”.14
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli
hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi
terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).
Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan
pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.
Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen
dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.
14 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 2

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang,
konsumen diartikan sebagai, “The person who obtains goods or services for
personal or family purposes”.
Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang,
dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau
keluarganya. Sekalipun demikian, makna kata “memperoleh” (to obtain) masih
kabur, apakah maknanya hanya melalui hubungan jual beli atau lebih luas
daripada itu.15
Di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih moderat. Dalam Trade
Practices Act 1974 yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai,
“Seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan
harganya tidak melewati 40.000 dollar Australia”. Artinya, sejauh tidak melewati
jumlah uang di atas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak
dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melebihi 40.000 dollar, keperluannya
harus khusus. Dalam rumusan peraturan tersebut dinyatakan, “Where that price
exceeded the prescribed amount (1) the goods were of a kind ordinarily acquired
for personal, domestic or household use or consumption or the goods consisted of
a commercial road vehicle, (2) the services were of a kind ordinarily acquired for
personal, domestic or household use or consumption”.16
Rumusan-rumusan

berbagai

ketentuan

itu

menunjukkan

sangat

beragamnya pengertian konsumen. Masing-masing ketentuan memiliki kelebihan
dan kekurangan. Untuk itu, dengan mempelajari perbandingan dari rumusan
konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka
(2) UUPK.

15 Ibid, hlm. 3
16 Ibid, hlm. 5

D. Metode Penelitian
Penelitian tentang pengajuan gugatan secara class action dalam rangka
perlindungan hukum bagi konsumen ini merupakan penelitian hukum normatif
dan empiris.
Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan tentang
pengajuan gugatan secara class action dalam rangka perlindungan hukum bagi
konsumen. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
yang berupa:17
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, yang terdiri
dari:
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
c. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR Staatsblad 1848 Nomor 16
dan Staatsblad 1941 Nomor 44
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
e. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2002 tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
f. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku
literatur, makalah, artikel, hasil penelitian, dan karya ilmiah lainnya yang
berhubungan dengan penelitian.
3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

17 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif,
Suatu Pengantar Rajawali Press, Jakarta, hlm. 14

Daftar Pustaka
Andi Hamzah, 1990, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Bruce J. Cohen, 1992, Sosiologi, Suatu Pengantar, Tery Simamora-Sahat, Rineka
Cipta, Jakarta
Charless E. Kupchela & Margareth C. Hyland, 1986, Environmental Science,
Allyn & Bacon, Massachusetts
David L. Ratner, 1988, Securities Regulation, West Publishing Co, St. Paul,
Minnesota
E. Sundari, 2002, Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, Sixth Ed, West Publishing
Co, St. Paul, Minnesota
Mas Ahmad Santoso, 1997, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class
Action), ICEL, Jakarta
Ontario Laws Reform Commission, 1982, Report on Class Action, Vol. 1, Ontario,
Canada
R. Soepomo, 1989, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,
Jakarta
R. Tresna, 1989, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta
Sidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Pengantar, Rajawali Press, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta
The World Commission on Environmental and Development, 1988, Hari Depan
Kita Bersama, Alih Bahasa Bambang Soemantri, Gramedia, Jakarta

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN IMPLEMENTASI PERAWAT TENTANG PATIENT SAFETY DENGAN RESIKO CEDERA PADA INFANT DAN TODDLER

38 264 22

AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN KELOR (Moringa oleifera Lamk.) TERHADAP BAKTERI Escherichia coli DENGAN METODE BIOAUTOGRAFI

55 262 32

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91