Politik Identitas Etnis Di Indonesia Suatu Studi Terhadap Politik Identitas Etnis Tionghoa Di Kota Medan

(1)

BAB II

PROFIL KOTA MEDAN DAN SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI KOTA MEDAN 2.1Kota Medan

Gambar 2.1 Peta Kota Medan

Kota Medan secara geografis terletak di antara 2 27'-2 47' Lintang Utara dan 98 35'-98 44' Bujur Timur. Posisi Kota Medan ada di bagian Utara Propinsi Sumatera Utara dengan topografi miring ke arah Utara dan berada pada ketinggian tempat 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2 secara administratif terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Sarana dan prasarana perhubungan di Kota Medan terdiri dari prasarana perhubungan darat, laut, udara. Transportasi lainnya adalah kereta api. Disamping itu


(2)

juga telah tersedia prasarana listrik, gas, telekomunikasi, air bersih dan Kawasan Industri Medan (KIM) I. Sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi strategis.

Sebagai salah satu derah otonom berstatus kota di Propinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peran Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil

guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi)39

39

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/12/name/sumatera-utara/detail/1271/kota-medan diakses pada tanggal 14 Januari 2015 pada pukul 14.44 WIB

.

2.1.1 Kota Medan Secara Geografis

Secara geografis Kota Medan terletak pada 30 30’-30 43’ Lintang Utara dan 980 35’-980

44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 km2. Kota medan berapda pada ketinggian 2,5 –

37,5 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kota Medan sebagian besar secara topografi cenderung miring ke utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Secara administratif Kota Medan terbagi menajdi 21 Kecamatan dan batas wilayah Kota Medan adalah sebagai berikut :

Utara : Selat Malaka


(3)

Selatan : Kabupaten Deli Serdang

Timur : Kabupaten Deli Serdang

Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia

berkisar antara 22,70 C – 24,10 C dan suhu maksimum berkisar antara 31,00 C – 33,70 C serta

menurut stasiun Sampali suhu minimumnya berkisar antara 23,30C – 24,40C dan suhu

maksimum berkisar antara 30,90C – 33,60C.

Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.121.053 jiwa. Secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan.


(4)

Berdasarkan luas administrsi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Keluarahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administrative ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

Secara administratif, wilayah kota medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi


(5)

geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

2.1.2 Kota Medan Secara Demografis

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fikir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya.

Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat.

Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun tingkat kematian sudah tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan


(6)

berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. Menurut

tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan

antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang balik (cummuters)

mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Tabel: 2.1

Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2005-2009.

Tahun

Jumlah Penduduk

Luas Wilayah

Kepadatan Penduduk (KM²) (Jiwa/KM²)

2005 2.036.185 265,10 7.681

2006 2.067.288 265,10 7.798

2007 2.083.156 265,10 7.858

2008 2.102.105 265,10 7.929

2009 2.121.053 265,10 8.001

Sumber : BPS Kota Medan

Keanekaragaman yang ada di Kota Medan membuat Kota Medan dinobatkan menjadi kota multikultural yang damai dan berjalan harmonis (Waspada, 2007). Tidak heran, pengukuhan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dilakukan di Kota Medan pada tanggal 31 Juli 2007 periode 2007-2012. Penyebaran suku bangsa di Kota Medan dapat dilihat dalam Tabel 2.2:


(7)

Tabel 2.2

Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000 Suku bangsa Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun

2000

Jawa 24,9% 29,41% 33,03%

Batak 10,7% 14,11% --

Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65%

Mandailing 6,43% 11,91% 9,36%

Minangkabau 7,3% 10,93% 8,6%

Melayu 7,06% 8,57% 6,59%

Karo 0,12% 3,99% 4,10%

Aceh -- 2,19% 2,78%

Sunda 1,58% 1,90% --

Lain-lain 16,62% 4,13% 3,95%

Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut

Dari data diatas dapat dilihat bahwa ditahun 1930-an etnid Tionghoa di Kota Medan merupakan etnis terbesar bahkan melebihi etnis asli Kota Medan yaitu Melayu. Selanjutnya seiiring perkembangan zaman etnis Tionghoa di Koa Medan mengalami penurunan walaupun tetap menjadi salah satu etnis terbesar di Kota Medan.

Selanjtnya adalah jumlah penduduk pada tiap kecamatan berdasarkan jenis kelamin (gender).


(8)

Tabel 2.3

Jumlah penduduk per kecamatan berdasarkan jenis kelamin

No Kecamatan

Jenis Kelamin

Jumlah

Laki-Laki Perempuan

1 Medan Tuntungan 40. 097 42. 437 82. 534

2 Medan Selayang 49. 525 51. 532 101. 057

3 Medan Johor 62. 331 64. 336 126.667

4 Medan Amplas 57. 918 59. 004 116. 922

5 Medan Denai 71. 750 71. 100 142. 850

6 Medan Tembung 65. 761 68. 882 134. 643

7 Medan Kota 35. 422 37. 700 73. 122

8 Medan Area 48. 054 49. 200 97. 254

9 Medan Baru 17. 667 22. 150 39. 817

10 Medan Polonia 26. 321 27. 231 53. 552

11 Medan Maimun 19. 524 20. 379 39. 903

12 Medan Sunggal 55. 717 57.927 113. 644

13 Medan Helvetia 71. 586 74. 805 146. 391

14 Medan Barat 34. 931 36. 406 71. 337

15 Medan Petisah 29. 526 32. 701 62. 227

16 Medan Timur 52. 906 56. 539 109. 445

17 Medan Perjuangan 45. 405 48. 683 94. 088


(9)

19 Medan Labuhan 57. 635 55. 679 113. 314

20 Medan Marelan 75. 064 73. 133 148. 197

21 Medan Belawan 48. 917 46. 792 95. 709

Sumber: BPS Medan

Penduduk Kota Medan memiliki beragam pekerjaan, dapat dilihat pada Tabel 2.4 : Tabel 2.4.

Jumlah penduduk Kota Medan menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2009 No Jenis pekerjaan Jumlah jiwa Presentase

1 Pegawai Negeri 18.670 4,88

2 Pegawai Swasta 14.570 3,81

3 TNI/ POLRI 3.562 0,93

4 Tenaga Pengajar 43.551 11,38

5 Tenaga Kesehatan 2.399 0,63

6 Lain-lain 300.000 78,37

Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009

Penduduk Kota Medan berdasarkan tingkat pendidikan terdiri dari tamat SD,SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Untuk mengetahui lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5.

Jumlah Penduduk Kota Medan menurut Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 SD 412.893 21,51


(10)

3 SLTA 670.597 34,94

4 Perguruan Tinggi 209.246 10,90

Sumber : BPS Medan Dalam Angka, 2009.

Tabel 2.5 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kota Medan paling besar berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar 670.597 orang (34,94%), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebesar 626.617 orang (32,65%), Sekolah Dasar (SD) berjumlah 412.893 orang (21,51%), dan perguruan tinggi (PT) 209.246 orang (10,90%).

2.1.3 Kota Medan dalam Dimensi Sejarah

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis Ke Medan, tahun 1887, sebelum akhirnya statusnya diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915.

Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikan nya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. Sedang dijadikanya Medan sebagai ibukota Deli juga telah


(11)

medorong kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, di samping merupakan salah satu daerah Kota, juga sekaligus ibukota Propinsi Sumatera Utara.

2.1.4 Kota Medan Secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.

Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis.

2.1.5 Kota Medan Secara Sosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya .


(12)

utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara martabat.

Data SUSENAS tahun 2004, memperkirakan penduduk miskin di kota medan tahun 2004 berjumlah 7,13% atau 32.804 rumah tangga atau 143.037 jiwa. Dilihat dari persebarannya, Medan bagian Utara (Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Belawan) merupakan kantong kemiskinan terbesar (37,19%) dari keseluruhan penduduk miskin.

2.1.6 Kota Medan Secara Ekonomi

Pembangunan ekonomi daerah dalam periode jangka panjang (mengikuti pertumbuhan PDRB), membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri pengolahan

dengan increasing retunrn to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan

produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan, bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi membuat semakin cepat proses peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, dan semakin cepat pula perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi, relatif tetap.

Perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi struktural dan didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat (produksi dan pengangguran faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan


(13)

modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan perbandingan peranan dan kontribusi antar lapangan usaha terhadap PDRB pada kondisi harga berlaku tahun 2005-2007 menunjukkan, pada tahun 2005 sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 70,03 persen, sektor sekunder sebesar 26,91 persen dan sektor primer sebesar 3,06 persen. Lapangan usaha dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar 26,34 persen, sub sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen dan sub sektor industri pengolahan sebesar 16,58 persen.

Kontribusi tersebut tidak mengalami perubahan berarti bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2006. Sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 68,70 persen, sekunder sebesar 28,37 persen dan primer sebesar 2,93 persen. Masing-masing lapangan usaha yang dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,98 persen, sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen, industri jasa pengolahan sebesar 16,58 persen dan jasa keuangan 13,41 persen. Demikian juga pada tahun 2007, sektor tertier mendominasi perekonomian Kota Medan, yaitu sebesar 69,21 persen, disusul sektor sekunder sebesar 27,93 persen dan sektor primer sebesar 2,86 persen. Masing masing lapangan usaha yang dominan memberikan kontribusi sebesar 25,44 persen dari lapangan usaha perdagangan/hotel/restoran, lapangan usaha transportasi/telekomunikasi sebesar 19,02 persen dan lapangan usaha industri pengolahan sebesar 16,28 persen.

Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan tahun 2009 berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 terjadi peningkatan sebesar 6,56 persen terhadap tahun 2008. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 9,22 persen. Disusul oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,47 persen, sektor bangunan 8,22 persen, sektor jasa-jasa 7,42 persen, sektor listrik ,gas dan air bersih 5,06 persen, sektor


(14)

pertanian 4,18 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh sebesar 2,94 persen, sektor industri 1,71 persen, dan penggalian tumbuh 0,46 persen. Besaran PDRB Kota Medan pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku tercapai sebesar Rp.72,67 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 33,43 triliun.

Terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Medan tahun 2009 sebesar 6,56 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang perumbuhan sebesar 2,20 persen Disusul oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 1,85 persen, sektor bangunan 0,91 persen, sektor jasa-jasa 0,76 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 0,43 persen, sektor industri 0,25 persen, sektor pertanian 0,10 persen, sektor listrik ,gas dan air bersih 0,07 persen dan sektor pertambangan dan penggalian menyumbang pertumbuhan 0,00 persen.

Dari sisi penggunaan, sebagian besar PDRB Kota Medan pada tahun 2009 digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga yang mencapai 36,20 persen, disusul oleh ekspor neto 30,53 persen (ekspor 50,82 persen dan impor 20,29 persen), pembentukan modal tetap bruto 20,61 persen, konsumsi pemerintah 9,54 persen dan pengeluaran konsumsi lembaga nirlaba 0,64 persen. PDRB per Kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2009 mencapai Rp. 34,26 juta, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar Rp. 31,07 juta.


(15)

2.1.7 Lambang Kota Medan

Gambar 2.2 Lambang Kota Medan

Pengertian lambang kota Medan adalah 17 biji padi berarti tanggal 17 dari hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 8 bunga kapas berati bulan 8 dari tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 4 tiang dan 5 bahagian dari perisai berarti tahun 45 dari Proklamasi Indonesia. Satu bambu runcing yang terletak dibelakang perisai adalah lambang perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, dan lima bahan-bahan pokok yang terpenting dihadapan bambu runcing berarti Kemakmuran serta Keadilan Sosial yang merata ada dihadapan kita. Bintang yang bersinar lima adalah Bintang Nasional yang berarti bahwa hidup penduduk Kota Medan khususnya dan Indonesia umumnya akan bersinar-sinar bahagia dan lepas dari kemiskinan dan kemelaratan. Lima sinar bintang berarti lima bahan pokok terpenting yang diekspor dari Kota Medan dan lima bahagian perisasi berarti Pancasila yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia. Kota Medan juga mempunyai motto yaitu : BEKERJA SAMA DAN SAMA-SAMA BEKERJA UNTUK KEMAJUAN DAN KEMAKMURAN MEDAN KOTA METROPOLITAN


(16)

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan. Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus

dipelihara secara harmonis40

2.2Sejarah etnis Tionghoa .

Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok” untuk negara Cina dalam pers Indonesia 1950-an. Etnis Tionghoa menurut Purcell adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia

dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan41

40

http://pemkomedan.go.id/new/hal-lambang-kota-medan.html diakses pada tanggal 15 Januari 2015 pada pukul 14.44

41

Leo Suryadinata. 2002. Negara dan Etnis Tionggghoa. Jakarta: LP3ES

. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa


(17)

perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok. Menurut Liem, etnis Tionghoa di Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama/kedua telah tinggal di negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk setempat, serta menguasai satu atau lebih

bahasa yang dipakai di Indonesia42

Orang Tionghoa Indonesia merupakan kelompok minoritas terbesar di Indonesia. Pada tahun 1961, mereka diperkirakan berjumlah sekitar 2,45 juta orang atau kurang lebih dari 2,5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu

.

43

. Stereotip yang

beredar di Indonesia seringkali menggambarkan orang Tionghoa Indonesia sebagai kelompok yang berada, khususnya bila dibandingkan dengan orang-orang Indonesia lainnya. Jika sebagian besar orang Indonesia hidup sebagai masyarakat agraris di pedesaan, maka orang

Tionghoa Indonesia sebaliknya hidup terkonsentrasi sebagai pedagang menengah44

Para pendatang ini memiliki keahlian di bidangnya masing-masing seperti berdagang barang-barang yang umumnya berupa keramik, alat rumah tangga dan kain sutra, dan juga menjadi pengrajin ataupun menjadi pekerja perkebunan

. Orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia pada abad IX, yaitu pada zaman Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru.

45

42

Liem, Dr. Yusiu. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina. Jakarta: Djambatan, hal. x

43Ibid.,

hal. 99

44

Ibid., hal. 87

45 Ibid.

, hal. 97

. Migrasi orang Tionghoa ke Nusantara (kini disebut Indonesia) secara besar-besaran, yang mencapai puncaknya pada

abad XIX dan permulaan abad XX, merupakan bagian dari migrasi orang Tionghoa ke

seluruh dunia. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di


(18)

Nusantara telah berhubungan erat dengan dinastidinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya. Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai pandai perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas semakin meningkat, maka didatangkan emas dari Cina daratan, di samping itu ikut dalam kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan

perdagangan46

Karena runtuhnya Singosari dan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena

. Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya. Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah pada masa kerajaan Singosari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang.

Kedatangan mereka di bawah armada tentara laut Khubilaikan (Jhengiskan) dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini dikarenakan ditolaknya utusan tersebut oleh Raja. Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut Khubilaikan ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya mendarat di sebuah pantai yang bernama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai armada mereka menyusuri pantai dan mendarat di suatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.

46


(19)

panglima armada laut yang mendarat di Semarang, seoarang yang beragama Islam, yaitu Cheng Ho. Penyebaran Islam di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan wali songo merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungjati. Selain menyebarkan agamaIslam, Etnis Cina ini juga diberi wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan

Gresik47

Beberapa peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan tentang kedatangan etnis Tionghoa ada baik di Indonesia maupun di negeri Cina . Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama suku bangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-9. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa (“To lo mo”) dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Janabahadra Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok

.

48

Orang-orang Tionghoa di Indonesia pada masa kolonial menerima berbagai .

47Ibid.,

hal. 143-144

48

Kong Yuanzhi. 2007. Muslim Tionghoa Cheng Ho Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor, hal. 47-86


(20)

kemudahan dan fasilitas dari pemerintah Hindia Belanda. Hal ini karena orang Tionghoa waktu itu digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai perantara dagang dengan penduduk

lokal yang menyebabkan terjadinya monopoli perdagangan oleh orang-orang Tionghoa

dan seringkali menghambat orang-orang Indonesia dalam bidang tersebut. Maka timbulah kemarahan dan sikap yang kurang bersahabat di kalangan orang Indonesia terhadap orang Tionghoa Indonesia. Sikap kurang bersahabat ini muncul dalam bentuk kekerasan terhadap orang Tionghoa. Beberapa kasus yang cukup dikenal antara lain adalah pembantaian orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740 dan pada masa perang Jawa

1825-183049

Namun terlepas dari adanya kemarahan dan kekerasan yang mereka alami, orang Tionghoa Indonesia juga memiliki peran di Indonesia dalam berbagai bidang. Contohnya, Tionghoa Hwee Koan, yang terbentuk di Batavia tanggal 17 Maret 1900, turut mendirikan sekolah-sekolah guna memajukan pendidikan (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934)

. Kasus-kasus di atas hanyalah sebagian dari berbagai kasus kekerasan terhadap orang

Tionghoa Indonesia yang pernah terjadi, khususnya pada periode kolonial Hindia

Belanda.

50

Beberapa tokoh masyarakat Tionghoa juga pernah berjasa bagi kemajuan

Indonesia. Contohnya, So Beng Kongdan Phoa Beng Gan yang membangun kanal pada awal

abad ke 17 di Batavia. Di Yogyakarta, kapiten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi

Bupati Yogyakarta.Orang Tionghoa Indonesia juga turut memfasilitasi tercetusnya Sumpah

.Selain di bidang pendidikan, Orang Tionghoa juga turut berperan dalam pengembangan ekonomi Indonesia, yaitu dengan mendirikan Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) tahun 1906 di Batavia.

49

Peter Carey. 1986. Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, Jakarta: Pustaka Azet, hal. 74

50


(21)

Pemuda dengan penghibahan gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong. Selain itu ada pula tokoh lain seperti Djiauw Kie Siong yang memperkenankan rumahnya dipakai sebagai tempat rapat persiapan kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa selain orang-orang Tionghoa Indonesia sering menerima perlakuan yang kurang bersahabat dari masyarakat Indonesia, namun pada momen-momen penting seperti di atas, mereka cukup memiliki keterlibatan dalam kegiatan masyarakat Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, ketika Indonesia mulai menangani masalah status hukum orang-orang Tionghoa Indonesia, terdapat kesukaran untuk membujuk pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) guna mengizinkan orang-orang Tionghoa Indonesia dalam memilih kewarganegaraannya sendiri yakni kewarganegaraan RI atau RRC. Pada tahun 1955, diumumkan bahwa semua orang Tionghoa Indonesia dapat memilih kewarganegaraannya. Dan Pemerintah RI juga mengumumkan suatu Undang-Undang Kewarganegaraan yang menyatakan bahwa semua orang Tionghoa yang lahir di Hindia-Belanda dan telah tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut secara otomatis dianggap warganegara Indonesia. Namun yang terjadi adalah masyarakat Tionghoa Indonesia pada saat itu justru lebih berpegang pada kebangsaan Cina sesuai asas Ius Sanguinis dan menolak kebangsaan Indonesia. Sebagai akibatnya munculah keragu-raguan mengenai kesetiaan orang-orang Tionghoa Indonesia terhadap negara RI dan bangsa Indonesia. Ditambah dengan munculnya kelompok Sin Po yang berpendirian bahwa orang

Tionghoa Indonesia lebih baik berorientasi ke negara Cina dan memilih warganegara RRC51

51Ibid.,

hal. 83

. Partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa telah ada bahkan dari sejak pemerintahan kolonial Belanda melalui organisasi Tionghoa benama Sun Yat Sen dan bertujuan untuk menghapuskan


(22)

perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.

Sedangkan pada masa revolusi atau pra-kemerdekaan RI marjinalisasi warga Tionghoa tampak pada berita politik yang dimuat dalam media massa seperti dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya. Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu “tangan kanan” Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya. Pada jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking.

Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu waktu belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri di belakang Republik Indonesia. Mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama dalam memperoleh pengakuan


(23)

Internasional atas pengakuannya52

Namun etnis Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru menjadi sasaran pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina, padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa yang sangat membuat trauma etnis Tionghoa selain kerusuhan Mei 1998

. Orang Tionghoa mendapat sorakan khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony Wen dengan isterinya (bintang film Tionghoa) menyeruhkan untuk membentuk barisan berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan sesuai contoh batalyon Nisei generasi ke-2 Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke-2, di Malang ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lainlain kesatuan bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (golongan Menado), Trip (pelajar). Pimpinan Tionghoa kwatir provokasi kolonial dapat menimbulkan bentrokan bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan batalyon tersebut. Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan untuk masing-masing masuk kesatuankesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi.

53

Pada 16 september 1998 Presiden B.J Habibie mengeluarkan Inpres No. 26/1998 yang .

Pemerintah orde baru, Soeharto (1966-1998) mempunyai beberapa kebijakan eksplisit bagi kelompok-kelompok etnis melalui cara-cara terselubung dan tidak langsung yang penyebarluasannya didukung oleh media dan kaum intelektual, sehingga masyarakat non-etnis Indonesia menghindari beberapa etnik yang disebutkan. Salah satu etnis minoritas adalah para imigran Cina yang memiliki kisaran jumlah sekitar 3 (tiga) persen dari populasi.

52

J. Babari dan Albertus Sugeng. 1999. Diskriminasi Rasial Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gandi, hal. 71-72

53Ibid.,


(24)

menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, memberikan arahan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Selain itu Presiden B.J Habibie juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan izin perayaan tahun baru imlek sebagai Hari Nasional. Namun dalam keppresnya tidak konsisten dengan penjelasan UUD 1945

dan pernyataannya ketika menjadi tamu negara di RRT beberapa bulan sebelumnya54

Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam jangka waktu yang berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Tiongkok datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur

. 2.2.1 Etnis Tionghoa di kota Medan

a. Sejarah etnis Tionghoa di kota Medan

55

Gelombang kedua berlangsung pada tahun 1863. Pada saat itu, Belanda mulai bergerak di bidang perkebunan tembakau. Usaha ini terus berkembang, tenaga kerja yang cukup banyak juga semakin dibutuhkan. Pihak Belanda merasa tidak cocok dengan buruh Pribumi. Karena itu, pengusaha perkebunan mencoba mendatangkan tenaga kerja dari negeri Tiongkok. Pada abad ke 19, dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda dan kaum pengusaha di tanah Deli, orang Tionghoa dapat memonopoli seluruh sektor pengangkutan di kawasan tanah Deli. Banyak

.

54

Benny G. Setiono. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Hal. 1074

55


(25)

pemilik perkebunan yang memberi kesempatan pada orang Tionghoa untuk menjadi penyalur

bahan makanan dan bekerja sebagai kontraktor di perkebunan56

Pada akhirnya, Kehidupan ekonomi etnis Tionghoa mulai meningkat. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan mencolok atara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi. Kemudian, etnis Tionghoa yang mulai mempunyai ekonomi yang meningkat ini mendatangkan isteri anggota keluarga dan kerabatnya di negara Tiongkok dengan kapal (pada saat itu transportasi kapal sudah ada). Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul di antara mereka sendiri, membuat perkampungan sendiri, memakai bahasa sendiri. Inilah titik awal ekslusivime orang Tionghoa

.

57

Sikap eksklusif ini tidak lepas dari pengaruh yang juga diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejalan dengan dibukanya usaha perkebunan karet sepanjang jalur Medan-Labuhan Batu pada tahun 1870, pemerintah kolonial membuat blok-blok pemukiman terpisah menurut etnik. Sehingga terbentuklah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab, kampung Keling, serta kawasan milik “Tuan Kebon” asal Eropa, sedangkan kaum Pribumi dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman Rakyat Sultan

.

58

56Ibid., 57

Suwardi Lubis. 1999. Komunikasi antarbudaya : Studi kasus etnik Batak Toba dan etnik Cina. Medan : USU PRESS.

58

Sofyan Tan. 2004. Jalan Menuju Masyarakat Anti Kekerasan. Medan : KIPPAS.

Pada perkembangannya, kota Medan dengan masyarakat heterogen menjadi kota yang memiliki pola pemukiman segretif. Kota Medan memperlihatkan proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas baru. Setiap kelompok etnik mempergunakan norma, aturan serta ideologi tradisional daerah asal mereka, sehingga terjadilah suatu proses penguatan ikatan primordial pada setiap kelompok etnik. Setiap etnis mulai membentuk gaya hidup masing-masing dan bersikap eksklusif antara satu dengan yang lain.


(26)

b. Sosial-ekonomi etnis Tionghoa di kota Medan

Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data Etnis Tionghoa yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian (82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku, namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis

Tionghoa59

Sebagian besar etnis Tionghoa yang berada di kota Medan berprofesi sebagai pedagang. Sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, maka untuk mereka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh penghasilan yang besar. Posisi sosio-ekonomi etnik Tionghoa di Medan rata-rata berada di atas level menengah ke atas. Etnis Tionghoa dikota Medan termasuk kelompok masyarakat yang berhasil menguasai industri, pertokoan, perhotelan, perbankan dan perdagangan umum serta distribusi. Etnis Tionghoa dianggap kelompok masyarakat lain sebagai kelompok yang memiliki banyak uang. Etnis Tionghoa di kota Medan tidak jarang dijadikan sasaran pemerasan oleh para preman setempat tempat mereka tinggal dan membuka usaha

.

60

Kelompok masyarakat Tionghoa dikota Medan cenderung bertempat tinggal di pusat kota atau pusat perdagangan. Mereka lebih senang tinggal di tempat usahanya yang cukup ramai dan dekat dengan keluarganya. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pemukiman eksklusif kelompok-kelompok etnik di kota berfungsi sebagai “kepompong” atau yang dimanfaatkan oleh mereka sebagai benteng etnik. Orang Tionghoa yang keluar dari pemukiman Cina (Chinese Qurter) tersebut dianggap sebagai pembelotan dari jaringan sosial mereka. Dengan demikian suasana etnik dan ras (ethnic race-spaces) di perkampungan etnik tersebut menguatkan

.

59

Suwardi Lubis. Op.cit., 60


(27)

kecendrungan segresi atau pemisah diri dari kelompok lain. Sekolah dan pusat-pusat rekreasi kelompok etnis Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan pemukiman elit

dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat homogenitas yang tinggi61

Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, sebab dari kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga

.

Etnis Tionghoa di kota Medan masih dominan menganut agama Budha (sekitar 80%). Sedikit sekali dari mereka yang menganut agama Kristen, Hindu, maupun Islam. Namun, persoalan agama pada etnis Tionghoa di kota Medan perlu diberi catatan kritis. Umumnya masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan (ibukota Sumatera Utara) mencantumkan agama Budha di KTPnya, namun pada kenyataannya sebagian besar dari mereka adalah penganut ajaran Kong Hu Cu.

62

Dalam masyarakat etnik Tionghoa dikota Medan, ada peraturan tak tertulis bahwa mereka diharapkan untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri. Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian.

. Etnis Tionghoa di Medan masih dominan menggunakan bahasa Cina (67-77%), baik di rumah maupun di luar rumah dengan sesama etnis Tionghoa.

61Ibid.,

hal.

62

Ria Manurung dan Lina Sudarwati. 2005. “Realitas pembauran etnis Cina di kota Medan”. Jurnal Komunikasi Penelitian. Volume 17 (1). hal 23-28.


(1)

perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.

Sedangkan pada masa revolusi atau pra-kemerdekaan RI marjinalisasi warga Tionghoa tampak pada berita politik yang dimuat dalam media massa seperti dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya. Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu “tangan kanan” Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya. Pada jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking.

Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu waktu belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri di belakang Republik Indonesia. Mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama dalam memperoleh pengakuan


(2)

Internasional atas pengakuannya52

Namun etnis Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru menjadi sasaran pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina, padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa yang sangat membuat trauma etnis Tionghoa selain kerusuhan Mei 1998

. Orang Tionghoa mendapat sorakan khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony Wen dengan isterinya (bintang film Tionghoa) menyeruhkan untuk membentuk barisan berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan sesuai contoh batalyon Nisei generasi ke-2 Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke-2, di Malang ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lainlain kesatuan bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (golongan Menado), Trip (pelajar). Pimpinan Tionghoa kwatir provokasi kolonial dapat menimbulkan bentrokan bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan batalyon tersebut. Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan untuk masing-masing masuk kesatuankesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi.

53

Pada 16 september 1998 Presiden B.J Habibie mengeluarkan Inpres No. 26/1998 yang .

Pemerintah orde baru, Soeharto (1966-1998) mempunyai beberapa kebijakan eksplisit bagi kelompok-kelompok etnis melalui cara-cara terselubung dan tidak langsung yang penyebarluasannya didukung oleh media dan kaum intelektual, sehingga masyarakat non-etnis Indonesia menghindari beberapa etnik yang disebutkan. Salah satu etnis minoritas adalah para imigran Cina yang memiliki kisaran jumlah sekitar 3 (tiga) persen dari populasi.

52

J. Babari dan Albertus Sugeng. 1999. Diskriminasi Rasial Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gandi, hal. 71-72

53Ibid.,


(3)

menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, memberikan arahan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Selain itu Presiden B.J Habibie juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan izin perayaan tahun baru imlek sebagai Hari Nasional. Namun dalam keppresnya tidak konsisten dengan penjelasan UUD 1945 dan pernyataannya ketika menjadi tamu negara di RRT beberapa bulan sebelumnya54

Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam jangka waktu yang berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Tiongkok datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur

.

2.2.1 Etnis Tionghoa di kota Medan a. Sejarah etnis Tionghoa di kota Medan

55

Gelombang kedua berlangsung pada tahun 1863. Pada saat itu, Belanda mulai bergerak di bidang perkebunan tembakau. Usaha ini terus berkembang, tenaga kerja yang cukup banyak juga semakin dibutuhkan. Pihak Belanda merasa tidak cocok dengan buruh Pribumi. Karena itu, pengusaha perkebunan mencoba mendatangkan tenaga kerja dari negeri Tiongkok. Pada abad ke 19, dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda dan kaum pengusaha di tanah Deli, orang Tionghoa dapat memonopoli seluruh sektor pengangkutan di kawasan tanah Deli. Banyak

.

54

Benny G. Setiono. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Hal. 1074

55


(4)

pemilik perkebunan yang memberi kesempatan pada orang Tionghoa untuk menjadi penyalur bahan makanan dan bekerja sebagai kontraktor di perkebunan56

Pada akhirnya, Kehidupan ekonomi etnis Tionghoa mulai meningkat. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan mencolok atara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi. Kemudian, etnis Tionghoa yang mulai mempunyai ekonomi yang meningkat ini mendatangkan isteri anggota keluarga dan kerabatnya di negara Tiongkok dengan kapal (pada saat itu transportasi kapal sudah ada). Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul di antara mereka sendiri, membuat perkampungan sendiri, memakai bahasa sendiri. Inilah titik awal ekslusivime orang Tionghoa

.

57

Sikap eksklusif ini tidak lepas dari pengaruh yang juga diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejalan dengan dibukanya usaha perkebunan karet sepanjang jalur Medan-Labuhan Batu pada tahun 1870, pemerintah kolonial membuat blok-blok pemukiman terpisah menurut etnik. Sehingga terbentuklah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab, kampung Keling, serta kawasan milik “Tuan Kebon” asal Eropa, sedangkan kaum Pribumi dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman Rakyat Sultan

.

58

56Ibid.,

57

Suwardi Lubis. 1999. Komunikasi antarbudaya : Studi kasus etnik Batak Toba dan etnik Cina. Medan : USU PRESS.

58

Sofyan Tan. 2004. Jalan Menuju Masyarakat Anti Kekerasan. Medan : KIPPAS.

Pada perkembangannya, kota Medan dengan masyarakat heterogen menjadi kota yang memiliki pola pemukiman segretif. Kota Medan memperlihatkan proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas baru. Setiap kelompok etnik mempergunakan norma, aturan serta ideologi tradisional daerah asal mereka, sehingga terjadilah suatu proses penguatan ikatan primordial pada setiap kelompok etnik. Setiap etnis mulai membentuk gaya hidup masing-masing dan bersikap eksklusif antara satu dengan yang lain.


(5)

b. Sosial-ekonomi etnis Tionghoa di kota Medan

Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data Etnis Tionghoa yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian (82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku, namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis Tionghoa59

Sebagian besar etnis Tionghoa yang berada di kota Medan berprofesi sebagai pedagang. Sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, maka untuk mereka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh penghasilan yang besar. Posisi sosio-ekonomi etnik Tionghoa di Medan rata-rata berada di atas level menengah ke atas. Etnis Tionghoa dikota Medan termasuk kelompok masyarakat yang berhasil menguasai industri, pertokoan, perhotelan, perbankan dan perdagangan umum serta distribusi. Etnis Tionghoa dianggap kelompok masyarakat lain sebagai kelompok yang memiliki banyak uang. Etnis Tionghoa di kota Medan tidak jarang dijadikan sasaran pemerasan oleh para preman setempat tempat mereka tinggal dan membuka usaha

.

60

Kelompok masyarakat Tionghoa dikota Medan cenderung bertempat tinggal di pusat kota atau pusat perdagangan. Mereka lebih senang tinggal di tempat usahanya yang cukup ramai dan dekat dengan keluarganya. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pemukiman eksklusif kelompok-kelompok etnik di kota berfungsi sebagai “kepompong” atau yang dimanfaatkan oleh mereka sebagai benteng etnik. Orang Tionghoa yang keluar dari pemukiman Cina (Chinese Qurter) tersebut dianggap sebagai pembelotan dari jaringan sosial mereka. Dengan demikian suasana etnik dan ras (ethnic race-spaces) di perkampungan etnik tersebut menguatkan

.

59

Suwardi Lubis. Op.cit., 60


(6)

kecendrungan segresi atau pemisah diri dari kelompok lain. Sekolah dan pusat-pusat rekreasi kelompok etnis Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan pemukiman elit dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat homogenitas yang tinggi61

Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, sebab dari kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga

.

Etnis Tionghoa di kota Medan masih dominan menganut agama Budha (sekitar 80%). Sedikit sekali dari mereka yang menganut agama Kristen, Hindu, maupun Islam. Namun, persoalan agama pada etnis Tionghoa di kota Medan perlu diberi catatan kritis. Umumnya masyarakat etnis Tionghoa di kota Medan (ibukota Sumatera Utara) mencantumkan agama Budha di KTPnya, namun pada kenyataannya sebagian besar dari mereka adalah penganut ajaran Kong Hu Cu.

62

Dalam masyarakat etnik Tionghoa dikota Medan, ada peraturan tak tertulis bahwa mereka diharapkan untuk menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Cina sendiri. Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian.

. Etnis Tionghoa di Medan masih dominan menggunakan bahasa Cina (67-77%), baik di rumah maupun di luar rumah dengan sesama etnis Tionghoa.

61Ibid.,

hal.

62

Ria Manurung dan Lina Sudarwati. 2005. “Realitas pembauran etnis Cina di kota Medan”. Jurnal Komunikasi Penelitian. Volume 17 (1). hal 23-28.