Politik Identitas Etnis Cina Di Indonesia.

(1)

SKRIPSI

POLITIK IDENTITAS ETNIS CINA DI INDONESIA

TRI YUDHA HANDOKO 030906086

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITASSUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

TRI YUDHA HANDOKO

POLITIK IDENTITAS ETNIS CINA DI INDONESIA

Rincian isi skripsi: 102 halaman, 1 tabel, 19 buku, 1 Jurnal, 5 Media Massa. (Kisaran buku dari tahun 1993- 2008)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan fakta-fakta tentang adanya diskriminasi terhadap etnis Cina di Indonesia. Ketika Republik Indonesia didirikan pada Agustus 1945, secara yuridis formal semua warga yang berada di wilayah Republik Indonesia secara politis menjadi seorang warga negara Republik Indonesia, baik dia keturunan asli, indo, timur asing maupun asal-usul jenis ras, suku, agama, daerah, atau lingkungan adat tertentu. Namun, di luar jangkauan tekad politik atau yuridis formal, kehidupan warga negara Indonesia “keturunan” (Tionghoa, Arab, Indo-Eropa atau “non-pribumi lainnya) tetap menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataan kehidupan sehari-hari bahwa sebagian dari mereka menghadapi perlakuan diskriminasi yang dirasakan menyakitkan. Hal ini tampak pada praktek-praktek diskriminatif di bidang administratif. Pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan diskriminatif (banyak yang tidak tertulis) terhadap warga etnis Cina dalam aspek kehidupan dan kegiatan lain. Otoritas pemerintah Indonesia juga mempersulit warga etnis Cina secara administratif, seperti memperoleh Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, akta lahir, izin menikah, dan sebagainya kecuali bila melakukan pembayaran “di balik pintu”.Padahal Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008 mempertegas dan memperluas penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yang dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai universal dan diselenggarakan dengan memperhatikan nilai-nilai agama, sosial budaya dan hukum yang berlaku di Republik Indonesia.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori tentang Nasionalisme dan Kewarganegaraan dari Koerniatmanto Soetoprawiro, Kansil, Harold J. Laski, AS Hikam; Teori tentang Politik Identitas oleh Gabriel Almond; Teori Keadilan (Justice) dari Thommas Hobbes, Ibnu Taimiyah, Jhon Rawls, Soerjono Soekanto; dan juga teori tentang Persamaan


(4)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK... . ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Kerangka Teori ... 9

1. Nasionalisme dan Kewarganegaraan ... 9

2. Politik Identitas ... 13

3. Keadilan (Justice) ... 15

4. Persamaan (Equality) ... 17

5. Diskriminasi ... 19 

F. Definisi Konsep ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

1. Jenis Penelitian ... 22

2. Teknik Pengumpulan Data ... 22

3. Teknik Analisa Data... ... 23

H. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II : ETNIS CINA DI INDONESIA DAN PEMBUKTIAN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK SEJARAH INDONESIA ... 27

1. Sejarah Etnis Cina di Indonesia ... 27


(5)

Hal BAB III : KEDUDUKAN STATUS KEWARGANEGARAAN

ETNIS CINA DALAM IDENTITAS KEWARGANEGARAAN

REPUBLIK INDONESIA ... 45  

A. Identitas dan Integrasi Masyarakat Etnis Cina di Indonesia ... 45

B. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Untuk Memperkuat Identitas ... 52

C. Periode Kewarganegaraan Republik Indonesia pada Era Reformasi ... 53

D. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Dan Surat Bukti Kewarganegaraan      Republik indonesia (SBKRI) Dalam Perfektif ANTI-KKN ... 54

E. Kewarganegaraan Dan Diskriminasi Masyarakat Etnis Cina ... 57

F. Pembaruan Pelayanan dan Good Governance ... 63

G. Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa sebagai “Kambing Hitam” Strategi Politik Orde Baru ... 67

H. Kesetaraan Dan Pluralisme Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan ... 93

BAB IV : KESIMPULAN……….. ... 96

A. Kesimpulan ... 96 DAFTAR PUSTAKA


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

TRI YUDHA HANDOKO

POLITIK IDENTITAS ETNIS CINA DI INDONESIA

Rincian isi skripsi: 102 halaman, 1 tabel, 19 buku, 1 Jurnal, 5 Media Massa. (Kisaran buku dari tahun 1993- 2008)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan fakta-fakta tentang adanya diskriminasi terhadap etnis Cina di Indonesia. Ketika Republik Indonesia didirikan pada Agustus 1945, secara yuridis formal semua warga yang berada di wilayah Republik Indonesia secara politis menjadi seorang warga negara Republik Indonesia, baik dia keturunan asli, indo, timur asing maupun asal-usul jenis ras, suku, agama, daerah, atau lingkungan adat tertentu. Namun, di luar jangkauan tekad politik atau yuridis formal, kehidupan warga negara Indonesia “keturunan” (Tionghoa, Arab, Indo-Eropa atau “non-pribumi lainnya) tetap menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataan kehidupan sehari-hari bahwa sebagian dari mereka menghadapi perlakuan diskriminasi yang dirasakan menyakitkan. Hal ini tampak pada praktek-praktek diskriminatif di bidang administratif. Pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan diskriminatif (banyak yang tidak tertulis) terhadap warga etnis Cina dalam aspek kehidupan dan kegiatan lain. Otoritas pemerintah Indonesia juga mempersulit warga etnis Cina secara administratif, seperti memperoleh Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, akta lahir, izin menikah, dan sebagainya kecuali bila melakukan pembayaran “di balik pintu”.Padahal Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008 mempertegas dan memperluas penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yang dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai universal dan diselenggarakan dengan memperhatikan nilai-nilai agama, sosial budaya dan hukum yang berlaku di Republik Indonesia.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori tentang Nasionalisme dan Kewarganegaraan dari Koerniatmanto Soetoprawiro, Kansil, Harold J. Laski, AS Hikam; Teori tentang Politik Identitas oleh Gabriel Almond; Teori Keadilan (Justice) dari Thommas Hobbes, Ibnu Taimiyah, Jhon Rawls, Soerjono Soekanto; dan juga teori tentang Persamaan


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketika Republik Indonesia didirikan pada Agustus 1945, secara yuridis formal semua warga yang berada di wilayah Republik Indonesia secara politis “menjadi” seorang warga negara Republik Indonesia, baik dia keturunan “asli”, “indo”, “timur asing” maupun asal-usul jenis ras, suku, agama, daerah, atau lingkungan adat tertentu. Namun, di luar jangkauan tekad politis atau yuridis formal, kehidupan warga negara Indonesia “keturunan” (Tionghoa, Arab, Indo-Eropa atau “non-pribumi lainnya) tetap menghadap masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Secara khusus, warga negara Indonesia (etnis) Cina memikul beban sejarah, beban mitos, dan beban nyata kehidupan sehari-hari sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang ini. Beban sejarah adalah akibat warisan pengalaman kolonial tatkala sebagai Golongan Timur Asing, warga golongan Cina . Setidaknya dari kalangan Tionghoa menegah atas dalam lapisan sosial ekonomi kolonial – menjadi penengah antara kolonial Belanda yang “putih Kristen” dan “bumiputera Islam” yang mayoritas merupakan penduduk “bumiputra” Indonesia.

Beban mitos yang dipikul adalah pemukul-rataan bahwa semua warga negara etnis Cina adalah “kaya”, memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi


(8)

dalam pemerintahan nasional sebagai mereka mendapat perlindungan dari kekuasaan kolonial Belanda. Sedangkan beban kenyataan kehidupan sehari-hari adalah sebagian dari mereka yang tidak berpendidikan tinggi, bukan pemilik perusahaan-perusahaan dengan aset terbesar dan terbanyak, tidak berlatar belakang sosial yang mantap, serta menghadapi perlakuan diskriminasi yang dirasakan menyakitkan.1

Sejak Mei 1998, Pemerintah Indonesia telah memberikan kebebasan kepada warga Indonesia etnis Cina untuk berbicara secara terbuka, mendirikan partai politik, menjalankan dan mempraktekan adat kebiasaan mereka secara terbuka, seperti mempertunjukan tarian barongsai, belajar bahasa Mandarin, menerbitkan huruf Tionghoa dan sebagainya. Stasiun televisi menyiarkan berita sekarang diizinkan menyiarkan berita dalam bahasa Mandarin, beberapa warga negara Indonesia etnis Cina sekarang juga dilibatkan dalam Kabinet, seperti Kwik Kian Gie sebagai Menteri Keuangan pada masa pemerintahan Gus Dur/Megawati Soekarno Putri, dan Mari E. Pangestu sebagai Menteri Perdagangan dalam pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Sementara itu berbagai upaya dilakukan untuk menghapus praktek-praktek diskriminatif di bidang administratif untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, dan sebagainya.

Pertengahan Juni 2006 dan akhir November 2008 DPR RI mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan

      

1   


(9)

Republik Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminatsi ras dan etnis. Isi kedua Undang-Undang tersebut sangat menggembirakan khususnya bagi kaum minoritas.

Hal terpenting adalah bahwa Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2006 tersebut menyebutkan tidak ada lagi praktek diskriminasi terhadap wagra negara etnis Cina. Mereka yang lahir di Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Indonesia tanpa ada penyebutan pribumi dan nonpribumi.

Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008 mempertegas dan memperluas penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yang dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai universal dan diselenggarakan dengan memperhatikan nilai-nilai agama, sosial budaya dan hukum yang berlaku di Republik Indonesia.

Kebijakan kolonial Belanda selama 300 tahun sangat jelas: Devide et

Impera. Belanda secara sengaja membuat kebijakan untuk memisahkan warga

etnis Cina dari warga Indonesia pribumi, misalnya dengan memberikan kewenangan untuk mengumpulkan pajak dan keistimewaan khusus di bidang perdagangan sebagai perantara antara Belanda dan warga Indonesia pribumi. Kebijakan pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sampai dengan sekarang tidak konsisten dalam menghilangkan perbedaan antara warga asli Indonesia dan warga Indonesia etnis Cina. Tidak pernah ada kebijakan eksplisit yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia untuk menghilangkan jurang


(10)

antara si kaya (yang dianggap sebagian besar warga keturunan Cina yang tinggal di kota-kota besar) dan si miskin (sebagian besar warga asli Indonesia).

Pemerintah Indonesia tidak pernah melindungi atau membantu pengusaha kelas kecil dan menengah warga Indonesia asli dengan memberi dukungan kepada mereka yang konsisten. Sebaliknya secara tidak langsung pemerintah Indonesia melindungi dan membantu sekelompok kecil pengusaha warga keturunan Cina dengan memberi fasilitas khusus melalui kolusi. Pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan diskriminatif (banyak yang tidak tertulis) terhadap warga etnis Cina dalam aspek kehidupan dan kegiatan lain. Misalnya, sangatlah sulit bagi warga etnis Cina untuk bisa bergabung di angkatan bersenjata, meniti karier di pemerintahan, masuk ke perguruan tinggi negeri. Dengan kata lain, satu-satunya karier yang masih terbuka bagi warga etnis Cina adalah bisnis dan perdagangan. Otoritas pemerintah Indonesia juga mempersulit warga etnis Cina secara administratif, seperti memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, akta lahir, izin menikah, kecuali bila melakukan pembayaran “di balik pintu”.

Dalam upaya pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa peran pemerintah adalah sangat penting. Tidak saja bersifat aktif melalui program-program pembinaan akan tetapi dapat juga dilakukan dengan melalui tindakan prefentif yakni dengan memberikan pelayanan yang sama terhadap mereka tanpa membedakan kelas, golongan, ekonomi, dan derajat kepangkatan.


(11)

Belakangan ini banyak kita lihat kasus-kasus yang mengarah kepada pecahnya integrasi nasional bangsa timbulnya berbagai permasalahan baik masalah suku, agama, ras atau golongan yang berawal dari ketidakseimbangan dan kecemburuan dalam kehidupan sosial masyarakat terutama sekali dalam pelayanan birokrasi pemerintah terhadap golongan-golongan tertentu yang seolah-olah ekslusif.

Kesan birokrasi yang buruk tersebut memang sulit dihindari kalau kita memperhatikan apa yang banyak dilakukan oleh aparatur birokrasi pemerintah. Birokrasi telah banyak menganggap masyarakat atau rakyat adalah abdi, yang harus patuh dan berbakti kepada pemerintah, sehingga bukan rakyat yang mengawasi, tetapi pemerintah yang mengawasi rakyat.2

Dengan demikian birokrasi kemudian menjadi tuan rumah bagi masyarakat , sehingga bukan birokrasi yang melayani masyarakat, tetapi masyarakat yang yang melayani birokrasi. Donald Warwick mengemukakan: ”Kritik-kritik menyatakan bahwa organisasi pemerintah yang menjadi tuan dan bukan pelayan masyarakat mengakibatkan takutnya orang dalam mengambil prakarsa, menumpuknya berkas-berkas laporan, terbuangnya waktu dan terkurasnya dana pemerintah”.3

Demikian juga dengan hal implementasi kebijakan pemerintah tidak terlepas dari koreksi-koreksi tersebut diatas. Pemerintah yang langsung

      

2   

Lijan Poltak, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 55. 3

Alfian dan Nazaruddin, Prefi Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, hal. 227. 


(12)

berhubungan dengan masyarakat merupakan salah satu indikator dari penilaian pelayanan birokrasi dari masyakat. Misalnya dalam pelayanan pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja kadang-kadang mereka menunggu beberapa jam, hari, bahkan bulan yang sebenarnya kalau mengikuti prosedur bisa selesai dalam beberapa jam saja. Hal ini tentu saja disebabkan beberapa kendala baik teknis maupun non teknis, seperti tidak adanya petugas ditempat, karena libur atau sedang keluar. Keadaan demikian menimbulkan kesan-kesan yang tidak baik terhadap instansi pemerintah. Lebih buruk lagi jika timbul dari pemikiran masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah tidak lagi bersifat pelayanan murni akan tetapi sudah mengarah kepada keuntungan pribadi yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kerja organisasi publik.

B. Perumusan Masalah

Berbagai aturan hukum telah diterbitkan, dari Instruksi Direktur Jenderal Departemen sampai Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, untuk menganulir Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman No. 3/4/12 Tahun 1978. Meskipun demikian SBKRI masih gigih diterapkan dengan berbagai alasan untuk melegitimasi keberadaannya. Berbagai peraturan perundangan dibuat untuk mengatasi SBKRI tersebut, tetapi berbagai alasan dikemukakan untuk melegitimasi “keabsahannya”.


(13)

Meskipun tidak jarang yang menganggap persoalan diskriminasi dalam kebijakan kewarganegaraan hanyalah mitos4, dengan adanya fakta pola kebijakan yang intens ditujukan kepada warga negara etnis Cina selama beberapa generasi menunjukan Kewarganegaraan merupakan kebijakan diskriminatif dan bukan mitos. Permasalahan Kewarganegaraan sendiri oleh kalangan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia digolongkan sebagai tindakan diskriminasi rasial.

Disamping masalah diskriminasi, kewarganegaraan juga menunjukan budaya good governance dalam birokrasi dan lemahnya koordinasi antar-instansi pemerintahan di Indonesia. Berbagai penyangkalan dari Departemen Hukum dan HAM atas otensitas akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri, untuk melegitimasi legalitas Surat Bukti Kewaganegaraan Republik Indonesia yang sebenarnya fungsi SBKRI juga dimiliki akta kelahiran sebagai pembuktian kewarganegaraan-pada akhirnya mengakibatkan “high-cost” dengan banyaknya dokumen negara yang wajib dimiliki oleh penduduk atau warga negara. Belum lagi kemudian sering kali kerumitan ini menjadi peluang terjadinya tindakan pungli dan korupsi dalam birokrasi.

Berlarutnya permasalahan kewarganegaraan ini, tidak hanya berimplikasi diskriminasi dan tiadanya kepastian hukum, tetapi juga mencederai proses integrasi sosial politik kebangsaan Indonesia.

Berdasarkan permasalahan diatas maka dalam penelitian ini penulis mencoba untuk melihat suatu masalah yang diangkat mengenai perbedaan

      

4   

Abu Zahra, Mitos Dibalik Isu Diskriminasi, Suara Islam Edisi 17, 13 April 2007, http://suaraislam.com/index.php


(14)

perlakuan terhadap masyarakat etnis Cina dan Pribumi dalam proses kewarganegaraan yang berdampak pada peran dan keberadaan masyarakat etnis Cina dalam masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan yaitu pertanyaan penelitian tentang Bagaimana kedudukan masyarakat etnis Cina dalam Kewarganegaraan Republik Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dilaksanakan terhadap suatu masalah sudah pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Pada dasarnya, tujuan seseorang melakukan penelitian adalah mencari jawaban atas masalah yang timbul, sehingga dapat dicari jawaban untuk memecahkan permasalahan tersebut.

1. Agar tidak ada kebijakan diskriminatif terhadap warga negara di Indonesia, baik tertulis maupun tidak tertulis, sehingga setiap orang merasa bahwa mereka benar-benar warga negara Indonsia sepenuhnya, dengan harapan bahwa komitmen dan nasionalisme mereka terhadap Indonesia akan meningkat secara signifikan.

2. Dapat mengetahui aspek-aspek apa saja yang menjadi perbedaan dalam

pengurusan Kewarganegaraan dan kemudian diharapkan tidak akan terjadi lagi diskriminasi atau perbedaan dalam hal pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut karena akan menimbulkan permasalahan baik masalah suku, agama, ras, atau golongan yang berawal dari ketidakseimbangan dan kecemburuan.


(15)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan wawasan bagi para akademisi khususnya dan masyarakat pada umumnya bahwa potensi kekuatan semua ras dan kelompok etnis di Indonesia seyogianya disatukan guna memperkuat ekonomi untuk kesejahteraan semua rakyat Indonesia dan untuk menjaga stabilitas politik, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu tidak ada kebijakan diskriminatif terhadap warga negara di Indonesia, baik tertulis maupun tidak tertulis, sehingga setiap orang merasa bahwa mereka benar-benar warga negara Indonsia sepenuhnya, dengan harapan bahwa komitmen dan nasionalisme mereka terhadap Indonesia akan meningkat secara signifikan.

E. Kerangka Teori

1. Nasionalisme dan Kewarganegaraan

Mengacu pada awal timbulnya nasionalisme secara umum, maka nasionalisme dapat dikatakan sebagai suatu situasi kejiwaan di mana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara dan bangsa atas nama sebuah bangsa.5

Dalam perkembangan selanjutnya, para pengikut nasionalisme ini berkeyakinan bahwa persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau kepentingan bersama dalam sebuah wadah yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian bangsa (nation )merupakan suatu

       5

Trianto dan Titik Triwulan, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hal. 103.


(16)

badan (wadah) yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang mempunyai persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki seperti ras, etnis, agama, budaya, dan bahasa. Unsur persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas politik bersama atau untuk menentukan tujuan bersama. Tujuan bersama ini direalisasikan dalam suatu bentuk etnisitas organisasi politik yang dibangun berdasarkan geopolitik yang terdiri atas populasi, geografis, dan pemerintah yang permanen yang disebut negara.

Berdasarkan dari uraian di atas, salah satu unsur yang tidak dapat dilewatkan dalam pembahasan negara-bangsa adalah hubungan erat antara nasionalisme dengan warga negara. Menurut Koerniatmanto Soetoprawiro, bahwa secara hukum peraturan tentang kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi langsung dari perkembangan paham nasionalisme. Lahirnya negara bangsa merupakan akibat langsung dari gerakan nasionalisme yang sekaligus telah melahirkan perbedaan pengertian tentang kewarganegaraan dari masa sebelum kemerdekan.

Menurut Kansil, orang-orang yang berada dalam wilayah suatu negara itu dapat dibedakan menjadi :6

a. Penduduk ialah mereka yang memiliki syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara yang bersangkutan, diperkenankan mempunyai tempat tinggal pokok (domisili) dalam wilayah negara itu.

Penduduk ini dapat dibedakan 2 lagi, yaitu:

      

6   


(17)

1) Penduduk warga negara atau warga negara adalah penduduk yang sepenuhnya dapat diatur oleh Pemerintah negara tersebut dan Pemerintahnya sendiri ;

2) Penduduk bukan warga negara atau orang asing adalah penduduk yang bukan warga negara.

b. Bukan penduduk mereka yang berada dalam wilayah suatu negara untuk

sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah negara tersebut.

Menurut Harold J. Laski negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan, karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa, dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok manusia yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.7

Salah satu unsur yang ada dalam suatu negara adalah adanya penduduk atau rakyat. Penduduk atau penghuni suatu negara merupakan semua orang yang pada suatu waktu mendiami wilayah negara. Meraka secara sosiologis lazim dinamakan “rakyat” dari negara tersebut, yaitu sekumpulan manusia yang

       7

Tim ICCE, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Maasyarakat Madani, Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003, hal. 92.


(18)

dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.8

Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Warga negara mengandung arti peserta, anggota, atau warga dari suatu negara, yaitu peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama.9

AS Hikam mendefinisikan warga negara sebagai terjemahan dari

citizenship, yaitu anggota dari sebuah komunitas yang membentuk suatu negara

itu sendiri. Sedangkan Koerniatmanto S, mendefinisikan warga negara dengan anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.10

Secara yuridis, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945, iistilah warga negara Indonesia dibedakan menjadi dua golongan: Pertama warga negara asli (pribumi), yaitu penduduk asli negara tersebut. Misalnya, suku Jawa, suku Madura, suku Dayak dan etnis keturunan yang sejak kelahirannya menjadi WNI, merupakan warga negara asli Indonesia; dan Kedua, warga negara asing, misalnya Tionghoa, Timur Tengah, India dan sebagainya, yang telah disyahkan berdasarkan peraturan perundang-undangan menjadi warga negara Indonesia (WNI).

       8

Ibid, hal. 177. 9

Tim ICCE, Op.Cit, hal.73. 10


(19)

Pernyataan ini ditetapkan kembali dalam pasal 1 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI (UU Kewarganegaraan), bahwa Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara Indonesia.

Sistem Kewarganegaraan

Pada dasarnya ada tiga sistem (kriteria umum) yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara suatu negara, yakni kriterium yang didasarkan atas kelahiran, perkawinan dan naturalisasi. Kriterium kelahiran dibagi dalam ius sangunis (asas keibubapakan) dan kriterium ius soli (tempat kelahiran). Hal inilah yang menjadi asas kewarganegaraan. Dalam prsktek mungkin salah satu dari syarat tersebut dipergunakan atau mungkin pula kombinasi antara keduanya. Kriterium perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan; sedangkan naturalisasi dikenal naturalisasi melalui permohonan dan naturalisasi yang diberikan.

2. Politik Identitas

Konsep ini dijelaskan oleh Gabriel Almond secara panjang lebar dan mudah dimengerti, yaitu sebagai berikut ini.11 Sarana-sarana, pengalaman-pengalaman, dan pengaruh-pengaruh tersebut, yang semuanya membentuk sikap-sikap individu, selanjutnya menciptakan apa yang disebut “politik identitas” seseorang, yaitu suatu kombinasi dari beberapa perasaan dan sikap: 1. Di dalam

       11

Dedi Irawan dan Lelita Yunita, Mengenal teori-Teori Politik, Edisi Khusus, Depok, 2005, hal. 462-463.


(20)

sistem politik terdapat sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan dasar seperti nasionalisme, identifikasi etnik atau kelas, keterikatan ideologis, dan perasaan fundamental akan hak-hak, keistimewaan dan kewajiban pribadi; 2. Kurang terdapat komitmen emosional terhadap, dan pengetahuan tentang, lembaga-lembaga pemerintahan dan politik seperti pemilihan umum, struktur badan perwakilan, kekuasaan badan eksekutif, struktur badan pengadilan; dan sistem hukum; 3. Lebih banyak terdapat pandangan-pandangan yang cepat berubah tentang peristiwa-peristiwa, kebijaksanaan politik, issue-issue politik dan tokoh-tokoh politik yang sedang terkenal.

Politik identitas memang sejauh ini dipahami dan diarahkan dalam artian identitas personal dan identitas kolektif seperti identitas yang dibangun atas dasar gender, orientasi seksual, suku, agama dan bangsa. Tentu saja identitas seperti ini penting tetapi pada saat yang sama sebuah afirmasi atas identitas manusiawi yang universal sangat krusial di mana identitas khusus bisa ditempatkan dalam bingkai identitas manusia yang universal sebagai sebuah politik identitas.

Politik identitas perlu didasari oleh etika dan tanggung jawab global dan disemangati oleh roh solidaritas antar manusia. Tidak begitu saja menutup mata atas kenyataan perbedaan politis, budaya dan sosial antar masyarakat atau komunitas. Tetapi memahami atau lebih tepat memberi definisi baru atas politik perbedaan. Perbedaan adalah sumber-sumber energi moral yang kaya yang perlu diberi struktur baru dalam terang harmoni identitas universal. Perbedaan dan nilai universal karena itu bukanlah dua hal yang bertentangan tetapi saling melengkapi.


(21)

Di sini, partikularitas atau perbedaan dihargai, tetapi bukan partikularisme yang memandang perbedaan sebagai horison yang absolut dalam pemahaman atas identitas dan pencapaian nilai universal sebagai sebuah mimpi; hal yang universal dijunjung, tetapi bukan universalisme yang memandang perbedaan-perbedaan sebagai penjara-penjara yang menyengsarakan hidup bersama masyarakat dan komunitas umat manusia.

3.Keadilan (Justice)

Istilah Justice yang berarti keadilan adalah suatu definisi, konsep, aturan yang senantiasa menjadi ekpektasi bagi semua manusia kapan dan dimanapun berada. Menurut Thommas Hobbes justice merupakan suatu norma atau aturan dimana manusialah yang memberikan arti dan makna justice tersebut. Dengan kata lain istilah justice menurut Hobbes hanya sekedar kata ”adil” dimana ukuran keadilan bergantung dengan penafsiran manusia. Ibnu Taimiyah mengartikan justice sebagai gagasan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Senada dengan itu, Jhon Rawls mendefiniskan justice adalah sesuatu kebaikan yang paling tinggi derajatnya dalam institusi sosial.12

Kembali lagi dengan pernyataan Hobbes diatas, maka banyak para filsuf dan pemikir menggunakan istilah dan konsep justice dalam kehidupan sehari-hari bagi umat manusia. Jhon Rawls contohnya, dimana Rawls membatasi dan mendefinisikan istilah justice menjadi dua bagian : justice as liberty and justice as

       12


(22)

the principle of difference. Justice as liberty menitikberatkan bahwa setiap

manusia mempunyai hak yang sama, sedangkan justice as the principle of

difference adalah adanya perbedaan pembagian hak antara yang “lebih” dibanding

dengan yang “kurang”.

Rawls mengemukakan suatu ide dalam bukunya A Theory of Justice bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan.

Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right dikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.

Bagi Rawls rasionalitas ada 2 bentuk yaitu Instrumental Rationality

dimana akal budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi dari akal budi praktis dari orang per orang. Hal kedua ini melekat pada prosedur yang mengawasi orang-orang yang menggunakan akal budi untuk kepentingan


(23)

pribadinya untuk mencapai suatu konsep keadilan atau kebaikan yang universal. Disini terlihat ada suatu prosedur yang menjamin tercapainya kebaikan yang universal, dengan prosedur yang mengawasi orang per orang ini akan menghasilkan public conception of justice.

Untuk itu Rawls mengemukakan teori bagaimana mencapai public

conception, yaitu harus ada well ordered society (roles by public conception of justice) dan person moral yang kedunya dijembatani oleh the original position. Bagi Rawls setiap orang itu moral subjek, bebas menggagas prinsip kebaikan, tetapi bisa bertolak belakang kalau dibiarkan masyarakat tidak tertata dengan baik. Agar masyarakat tertata dengan baik maka harus melihat the original position. Bagi Rawls public conception of justice bisa diperoleh dengan original position.

Sepaham dengan pendapat John Rawls, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa keadilan pada hakekatnya didasarkan pada dua hal: Pertama asas kesamarataan, di mana setiap orang mendapat hak yang sama; Kedua didasarkan pada kebutuhan, sehingga menghasilkan kesebandingan hal mana biasanya ditetapkan di bidang hukum.13

4.Persamaan (Equality)

Teori equality atau egalitarianism sering didengungkan oleh negara-negara kulon seperti Amerika sebagai dasar hukum untuk menyuarakan Hak Azasi Manusia. Prinsip ini dipakai sebagai pijakan demokrasi bahwa semua manusia

      

13   


(24)

dianggap sama, punya hak yang sama , tidak boleh dibeda-bedakan. Tidak ada diskriminasi berdasarkan agama, ras, jenis kelamin ataupun apapun. Tidak ada kelas dalam masyarakat, semua orang sama.14

Dalam teori, equality pada umumnya dipilah menjadi tiga, yaitu:

1) Equality before the law (perlakuan yang sama oleh penguasa), bahwa segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan Negara sebagai penguasa harus menjamin terlaksananya perlakuan yang sama tersebut.Setiap warga negara adalah sama terhadap Undang-Undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tidak ada perbedaan.

2) Equality of opportunity (peluang yang sama dalam system perekonomian),

bahwa setiap warga negara mendapat peluang yang sama untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

3) Equality of result (distribusi barang/jasa yang sama), bahwa setiap warga

negara harus mendapatkan distribusi barang dan jasa yang sama dengan tidak terkecuali apapun.

Sifat perhubungan antara manusia dan lingkungan masyarakat pada umumnya adalah timbal balik, artinya orang-orang itu sebagai anggota masyarakatnya, mempunyai hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun pemerintah dan negara. Beberapa hak dan kewajiban penting ditetapkan dalam Undang-Undang (Konstitusi) sebagai hak dan kewajiban asasi. Untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban ini dengan bebas dari rasa takut perlu adanya

      

14   


(25)

jaminan, dan yang mampu memberi jaminan ini adalah pemerintah kuat dan berwibawa. Didalam susunan negara modern hak-hak dan kebebasan-kebebasan asasi manusia itu dilindungi oleh Undang-Undang dan menjadi hukum positif. Undang-Undang tersebut berlaku sama pada setiap orang tanpa kecualinyadalam arti semua orang mempunyai persamaan dan dijamin oleh Undang-Undang. Persamaan ini terwujud dalam jaminan hak yang diberikan dalam berbagai sektor kehidupan.

5. Diskriminasi

Diskriminasi dalam konteks kultural, hubungan antar individu, sebenarnya merupakan fenomena umum terjadi di mana pun di belahan dunia ini. Naamun, fenomena tersebut menjadi tidak lazim dan menjadi permasalahan serius ketika suatu pemerintahan negara yang berdasarkan kepada hukum negaranya sendiri, melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan, yang merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pmbatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan kepada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar


(26)

dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Sementara itu, pengertian diskriminasi rasial menurut Kovensi Internasioanal tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on Elimintion of All Forms of Racial Discrimination, ICERD 1965) yang diratifikasi oleh Republik Indonesia pada tahun 1999, adalah berarti segala bentuk perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pengutamaan yang didasarkan kepada ras, warna kulit, asal usul keturunan, bangsa atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi pengakuan, perolehan atau pelaksana pada suatu tumpuan yang sama, akan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan masyarakat.

F. Definisi Konsep

Untuk memahami tentang hal-hal yang akan diteliti nantinya maka penulis akan mengemukakan konsep pemikiran mengenai implementasi kebijakan pemerintah terhadap golongan etnis Cina di Indonesia.

Adapun definisi konsep disini adalah :

 Nasionalisme dapat dikatakan sebagai suatu situasi kejiwaan di mana

kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara dan bangsa atas nama sebuah bangsa. nasionalisme adanya persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah identitas politik atau


(27)

kepentingan bersama dalam sebuah wadah yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian bangsa (nation )merupakan suatu badan (wadah) yang didalamnya terhimpun orang-orang yang mempunyai persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki seperti ras, etnis, agama, budaya, dan bahasa.

 Status suatu kewarganegaraan memiliki dua aspek, yaitu: (1) Aspek hukum, dimana kewarganegaraan merupakan suatu status hukum kewarganegaraan, suatu kompleks hak dan kewajiban, khususnya dibidang hukum publik, yang dimiliki oleh warga negara dan yang tidak dimiliki oleh orang asing. Dan (2) Aspek sosial, dimana kewarganegaraan merupakan keanggotaan suatu bangsa tertentu, yakni sekumpulan manusia yang terikat suatu dengan lainnya karena kesatuan bahasa, kehidupan sosial budaya serta kesadaran nasional.

Membatasi dan mendefinisikan istilah justice menjadi dua bagian : justice as

liberty and justice as the principle of difference. Justice as liberty

menitikberatkan bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama, sedangkan

justice as the principle of difference adalah adanya perbedaan pembagian hak

antara yang “lebih” dibanding dengan yang “kurang”

Prinsip equality dipakai sebagai pijakan demokrasi bahwa semua manusia dianggap sama, punya hak yang sama , tidak boleh dibeda-bedakan. Tidak ada diskriminasi berdasarkan agama, ras, jenis kelamin atau apapun. Tidak ada kelas dalam masyarakat dengan kata lain semua orang sama.


(28)

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, karena dalam penelitian ini akan dijelaskan kejadian atau peristiwa yang terjadi di masyarakat sekarang ini mengenai diskriminasi status kewarganegaraan masyarakat etnis Cina dalam Kewarganegaraan Republik Indonesia.

2. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan dari jenis masalah yang diteliti, teknik yang akan digunakan dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research). Sebagaimana dikemukakan oleh literature, baik di perpustakaan maupun di tempat-tempat lain. Literatur yang digunakan tidak hanya terbatas pada buku-buku, tetapi juga bahan-bahan dokumentasi, makalah-majalah, koran-koran dan bahan-bahan tertulis lainnya.15

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan data yang diperlukan yang sudah tertulis atau diolah oleh orang lain, data ini disebut sebagai data sekunder. Surat-surat, buku-buku, catatan harian dan laporan hasil survey yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dan sebagainya merupakan data yang berbentuk tulisan, disebut dokumen dalam arti sempit.

       15


(29)

3. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif analisis, dimana teknik ini melakukan analisis data atas masalah yang ada (lihat tabel 1.) sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.


(30)

Tabel 1.

Diskriminasi Perlakuan antara WNI Non Pribumi dengan WNI Pribumi

Perlakuan Yang berbeda Etnis Cina

(Kewarganegaraan Indonesia Non Pribumi) Etnis Lainnya (Kewarganegaraan Indonesia Pribumi)

1. Identitas Kewarganegaraan: Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), Kartu Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan Akte Kelahiran.

- Khusus untuk

SBKRI, harus dimiliki setiap WNI Non Pribumi meskipun mereka telah memiliki KTP.

- Jangka waktu

pengurusan KTP, KK dan Akte Kelahiran relatif cepat, tergantung biaya yang dikeluarkan. Biasanya dikenakan biaya yang besar.

- Tidak Harus memiliki SBKRI. - Jangka waktu

dalam hal pengurusan KTP,

KK dan Akte kelahiran relatif standart dengan biaya yang tidak begitu besar.

2. Rasa Aman Menjadi kambing

hitam/sasaran dari amuk massa dan kerusuhan

Terhindar dari amuk massa dan kerusuhan


(31)

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan : Latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : SEJARAH ETNIS CINA DI INDONESIA DAN PEMBUKTIAN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Berisikan : Sejarah masuknya masyarakat etnis Cina di Indonesia, proses perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik pada saat masuk ke Indonesia. Bukti kewarganegaraan Republik Indonesia yang dalam pemahaman umum disebut dengan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia yang disingkat SBKRI.. Dalam implementasinya SBKRI sebagian besar hanya ditujukan terhadap warga negara Republik Indonesia etnis Tionghoa.

BAB III : KEDUDUKAN STATUS KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DALAM IDENTITAS KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Berisikan : Periode kewarganegaraan Republik Indonesia serta sistem kewarganegaraan di Indonesia. Dan diskriminasi yang diterima oleh masyarakat etnis Cina pada proses Kewarganegaraan serta tentang pandangan masyarakat pribumi kepada masyarakat etnis Cina.


(32)

Identitas dan Integrasi masyarakat etnis Cina di Indonesia agar tidak terjadi lagi diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat.

BAB IV : KESIMPULAN

Berisikan : Kesimpulan dari isi skripsi yang diperoleh dari totalitas penelitian.


(33)

BAB II

SEJARAH ETNIS CINA DI INDONESIA DAN PEMBUKTIAN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Etnis Cina di Indonesia

Menurut Onghokham,16 salah satu sejarahwan terkemuka Indonesia, masyarakat Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen; mereka begitu beragam hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat etnis Cina di Jawa datang sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini sebalum kedatangan bangsa Eropah. Sebagian besar kaum migran ini menyatu dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat etnis Cina di Jawa sekarang ini tidak lagi bisa berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di Pulau Kalimantan, dan Pesisir Timur Sumatera, masyarakat etnis Cina bermigrasi dalam kelompok besar untuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat etnis Cina di daerah ini tetap mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara n dan di pulau Maluku mereka dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat likal. Selain berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat etnis Cina menganut beragam agama di Indonesia, Kristen, Kataolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam.

Asal muasal kaum minoritas etnis Cina dimulai jauh sebelum masa pemerintahan kolonial Belanda. Bangsa Belanda dan Cina adalah bangsa pedagang dan datang kepulauan Indonesia untuk satu tujuan, yaitu berdagang.

       16  

Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik


(34)

Bangsa Cina adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak pertama berdirinya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan keduanya tidak pernah kehilangan posisi perantara tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa hubungan keduanya selalu mulus. Sejatinya, pembunuhan massal pertama terhadap warga etnis Cina terjadi di Batavia (sebutan untuk Jakarta di masa kolonial) pada tahun 1970, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal di kota. Setelah peristiwa itu, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras yang resmi. Warga etnis Cina harus tinggal di pemukiman yang diperuntukan bagi ras mereka, yang dapat ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan mempunyai serat izin untuk melakukan perjalanan ke pemukiman etnis Cina di kota yang berbeda. Sistem ghetto yang membatasi mobilitas fisik keturunan etnis Cina ini baru dicabut tahun 1905.

VOC memilah penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga kelompok untuk tujuan administrasi yaitu golongan Eropah, golongan Timur Asing, dan golongan bumiputera. Sistem tersebut merupakan embrio dari apa yang dikenal sebagai sisten apartheid di Afrika Selatan. Dan sekarang ini dianggap kelas terendah di dunia kita sekarang. Dengan demikian, suatu kekeliruan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap pilih kasih Belanda membantu warga etnis Cina terangkat keposisi ekonomi yang kuat seperti sekarang.

Sentimen anti etnis Cina yang kuat muncul di antara para pejabat kolonial Belanda. Hal itu sangat kentara di bawah kebijakan etnis tahun 1900 yang dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk pribumi. Para pejabat kolonial Belanda


(35)

secara keliru merasa bahwa mereka harus melindungi penduduk pribumi terhadap warga etnis Cina yang licik. Namun, hal ini dan praktek-praktek diskriminatif lainnya tidak berarti bahwa warga ernis Cina hidup makmur dibawah sistem kolonial.

Kekayaan secara tradisional dikumpulkan melalui pemerintah di kepulauan Indonesia. Pada abad ke-19, warga etnis Cina diberi keistimewaan untuk menanam dan memperdagangkan candu (opium) dan menjalankan usaha rumah gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar yang harus pribumi. Perkebunan umumnya dikuasai oleh para kepala desa yang sebagian diwariskan pemiliknya biasanya. Pedagang besar karena status kedekatannya dengan pemerintah berarti bahwa mereka beserta agennya dapat pengecualian dari pembatasan perjalanan yang dikenakan kepada anggota masyarakat etnis Cina. Sistem ini mendorong perkembangan kapitalisme etnis Cina.

Warga etnis Cina sebagai mitra dagang Belanda terkena Undang-Undang kepemilikan dan usaha Belanda. Dari awal abad ke-20 mereka juga terkena Undang-undang keluarga Belanda. Undang-undang ini memberi warga etnic Cina keamanan pada transaksi dagang mereka yang mana hal ini tidak didapat di bawah undang-undang adat yang diterapkan oleh para petinggi dan pengusaha Indonesia saat itu. Perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Barat dan posisi mereka sebagai padagang menempatkan kelompok etnis Cina jauh dari jangkauan sentimen keji dari para pejabat Belanda yang konon lebih buruk daripada anti-etnis Cina yang dilakukan oleh pemerintah kolonial lain di zaman itu seperti


(36)

Inggris dan Prancis. Sering dikatakan bahwa negara-negara yang baru merdeka menceminkan masa lalu penjajah terakhir mereka, yang agaknya cukup menjelaskan sentimen anti-etnis Cina yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah Indonesia sekarang ini.

Kebijakan anti-etnis Cina dari penjajah membangkitkan apa yang dinamai “gerakan etnis Cina“ di Jawa yang bertujuan mambebaskan masyarakat etnis Cina dengan tuntutan bahwa pembatasan terhadap gerakan anggota komunitas mereka dihapuskan, kesetaraan penuh di hadapan hukum dan pembentukan sekolah untuk etnis Cina.Gerakan tersebut merupakan gerakan emansipasi pertama yang dihadapi oleh Belanda dari subjek jajahannya. Gerakan tersebut tidak bersifat anti-penjajahan. Gerakan tersebut hanya mencari hak-hak bagi kelompok etnis Cina di Hindia Belanda dan bukan berbicara atas nama kelompok Bumiputera atau kelompok etnis lainnya dimana pun, gerakan politik dan sosial cenderung untuk mempertahankan sifat segregasi dari masyarakat penjajah yang menciptakan mereka, menyeruakan satu kelompok etnis saja sampai tahun 1900, sebagaian besar tuntutan warga etnis Cina dipenuhi dan sekolah Tionghoa – Belanda (HFC) diluncurkan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan beselum sekolah Bumiputera- Belanda (HIS) diluncurkan. Ketika pemerintah mencabut larangan perjalanan yang membatasi warga etnis Cina pada 1905, masyarakat usaha etnis Cina keluar dari ghetto mereka dan semakin berkompetisi dengan kelompok wirausaha dari etnis Jawa. Serikat Dagang Islam (1909) dibentuk sebagai tanggapan tantangan terhadap perkembangan ini, dan berlanjut menjadi


(37)

gerakan massa sosial dan politik pertama di Hindia Belanda. Kerusuhan anti-etnis Cina yang terjadi pada tahun 1918 di Kudus, Jawa Tengah, mendapat dukungan penuh dari kaum borjuis Jawa dan Islam. Pemicunya adalah arak-arakan warga ernis Cina yang menyinggung kaum Muslim, namun peristiwa tersebut terjadi berlatar persaingan kelas menengah yang sedang terjadi.

Semua partai politik Indonesia juga eksklusif hanya mengakui warga Indonesia. Bahkan, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1926 mengakui warga etnis Cina hanya sebagai pengamat. Pengecualian terhadap eksklusivitas ini adalah Perhimpunan Hindia yang diprakarsai oleh Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara yang menerima kelompok etnis lainnya sebagai anggota. Sebagai anggapan atas tidak diikutsertakan dalam percaturan kekuatan politik, para profesional etnis Cina yang mendukung Indonesia membentuk partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1930.

Dalam arti yang luas, itulah situasi ketika pasukan Kekaisaran Jepang menginvasi Indonesia pada tahun 1942 dalam Perang Dunia ke II. Baru setelah invasi Jepang kekerasan massa anti-etnis Cina meletus untuk kedua kalinya. Daerah yang paling terkena adalah pesisir utara Jawa dimana sasarannya terutama rumah dan toko milik warga etnis Cina kaya. Sejarah Indonesia sejak Perang Dunia ke II penuh dengan kekerasan debandingkan dengan negara-negara tetangga dekatnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Tetapi, selama masa revolusi menentang Belanda, tidak semua kekerasan ditujukan


(38)

kepada warga etnis Cina. Sasarannya mencakup ras Eurosia, Maluku, dan elit tradisional. Satu-satunya abti etnis Cina yang mencolok selama masa revolusi terjadi di Tangerang, barat Jakarta.

Tahun 1950-an menyaksikan diperkenalkan kebijakan yang diskriminatif terhadap warga etnis Cina, termasuk “kebijakan benteng” yang mencoba mendorong naiknya kelas usaha Indonesia, yang kemudian melarang perdagangan dan pemukiman etnis Cina asing di pedesaan. Selama awal tahun 1960-an, keadaan ekonomi negeri sangat memburuk dan warga etnis Cina menjadi pion dalam permainan catur politik Perang Dingin. Beberapa kerusuhan di kota dengan sasaran warga etnis Cina terjadi pada masa ketidakpastian tahun 1965/1966, meskipun kebanyakan kekerasan tersebut ditujukan kepada para tersangka anggota komunis. Serangan dan serangan balasan dari pasukan pro dan anti-komunis menimbulkan pergolakan sosialdan politik yang serius di Indonesia, yang oleh banyak ahli dari luar negeri disalahtafsirkan sebagai pembantaian sebagai warga etnis Cina. Kesalahpahaman ini mungkin muncul sebagai akibat pengenaan larangan terhadap banyak aspek kehidupan dan budaya warga etnis Cina yang dikeluarkan oleh pemerintah pada waktu yang hampir bersamaan. Di antara aspek budaya etnis Cina yang dinyatakan ilegal adalah drama (bukan film), perayaan umum, dan memperlihatkan huruf Tionghoa. Gerakan mendorong warga etnis Cina untuk menggunakan nama lokal juga diluncurkan bersamaan dengan pengekangan kebudayaan etnis Cina.


(39)

Di bawah pemerintahan rezim Orde Baru, ketegangan antara warga etnis Cina dan wargan Indonesia asli tumbuh akibat jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin di Indonesia, birokrat pemerintah, militer dan polisi bergaji rendah. Selain itu, di saat masyarakat Indonesia semakin dekat ke agama Islam, warga etnis Cina mencari ketenangan spritual ke agama Kristen dan Buddha. Peristiwa kekerasan selama pemerintahan Orde Baru bersifat rasial dan agama.

Onghokham juga mengatakan bahwa kerusuhan anti-etnis Cina baru-baru ini di Jakarta terjadi akibat kecemburuan dan sentiment ras. Masyarakat etnis Cina menunjukan kreatifitas mereka dan mencapai kebehasilan ekonomi, meskipun posisi mereka di masyarakat kurang populer. Fakta keunggulan di bidang ekonomi ini adalah menjamurnya toko-toko milik warga etnis Cina di sepanjang jalan-jalan utama di semua kota di Indonesia.

B. Pembuktian Kewarganegaraan Republik Indonesia

Salah satu permasalahan klasik dalam penyelengaraaan Republik Indonesia adalah bukti kewarganegaraan Republik Indonesia yang dalam pemahaman umum disebut dengan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia yang disingkat SBKRI.. Dalam implementasinya SBKRI sebagian besar hanya ditujukan terhadap warga negara Republik Indonesia etnis Tionghoa. Dalam beberapa kasus ditemukan juga diterapkan kepada sebagian warga negara Republik Indonesia etnis India di Yogyakarta.


(40)

pelaksanaan dari UU No. 3 Tahun1946 tentang penduduk dan warga negara ditegaskan bahwa ”dalam sistem undang undang warga negara Indonmesia suatu bukti kewarganegaraan Indonesia Tidak Diperlukan untuk orang-orang yang tentu dan diharapkan tentu menjadi warga negara Indonesia, yaitu untuk orang Indonesia asli dan untuk orang peranakan. Maka, bukti kewarganegaraan Indonesia hanya diberikan kepada orang yang pada umumnya bukan warga negara Indonesia yaitu, kepada orang asing yang menjadi warga negara Indonesia dengan

naturalisasi”. Ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa kewarganegaraan Republik

Indonesia tidaklah perlu dibuktikan dalam suatu bukti khusus, dalam pengertian bahwa pembuktian kewarganegaraan Republik Indonesia dapat ditunjukkan dalam berbagai dokumen catatan sipil dan kependudukan yang sudah ada, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, kartu keluarga, dan surat perjalanan ke luar negeri atau yang dikenal dengan paspor bagi mereka yang sudah menjadi warga negara Indonesia (WNI) by operation of law (baik karena prinsip ius sanguinis maupun ius soli). Warga negara by operation of law ini pada hakikatnya tidak memerlukan surat bukti kewarganegaraan, sehingga sesungguhnya sangat jelas bahwa surat bukti kewarganegaraan hanya diberikan kepada orang asing yang menjadi warga negara Indonesia karena naturalisasi (by registration).

Menurut UU No. 3 Tahun 1946 tentang Penduduk dan Warga Negara, yang merupakan UU Kewarganegaraan Republik Indonesia pertama sejak kemerdekaan RI, mereka yang termasuk sebagai warga negara by operation of law


(41)

sebagai berikut :

1. Orang yang asli dalam wilayah negara Indonesia

2. Orang yang bukan asli, tetapi keturunan dari seseorang yang asli dan lahir, bertempat kedudukan dan kediaman dalam wilayah negara Indonesia; serta orang bukan turunan seorang yang asli yang lahir, bertempat kedudukan dan kediaman selama sedikitnya lima tahun berturut-turut yang paling akhir di dalam wilayah negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin.

Dalam pengertian ini tentu saja pengaturan tersebut bukan dalam pengertian rasialis, tetapi dalam pengertian etis konstitusional. Namun, dalam perkembangannya permasalahan pembuktian kewarganegaraan Republik Indonesia ini kemudian mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah perjalanan konsepsi dan implementasi hukum kewarganegaraan Republik Indonesia Sebut saja dari munculnya Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara (PPPWN) sebagaiakibat dari Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai bentuk ”penyerahan kedaulatan” pada tanggal 27 Desember 1949, yang diusul terjadinya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRT pada tahun 1955, terbitnya UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, hiruk pikuk Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959, Peraturan Menteri No. 3/4/12 Tahun 1978 tentang SBKRI, Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1996, hingga lahirnya UU No. 12 Tahun 2006 sebagai UU Kewarganegaraan ketiga RI. Pasang surut konsepsi kewarganegaraan RI tersebut, secara tidak langsung mengakibtkan berkembangnya persoalan bukti kewarganegaraan Republik Indonesia dengan berbagai variannya.


(42)

Menurut Dr. B. P. Paulus, SH17 atau yang juga diinventarisir oleh Koerniatmanto Soetoprawiro, SH,18 surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia dalam pengertian umum, selanjutnya dalam buku ini akan disebut dengan bukti kewarganegaraan RI, sebenarnya terdiri dari bermacam-macam bentuk yang formatnya disesuaikan, dari yang disebut dengan surat bukti kewarganegaraan RI karena pernyataan memilih sampai bukti petikan keputusan presiden karena pewarganegaraan sebagai berikut :

1. Undang-Undang tentang Pewarganegaraan yang diberikan kepada 9 WNA

pada tahun 1947 dan 1948 berdasarkan UU No. 3 tahun 1946.

2. Formulir Model A yang dikeluarkan pengadilan negeri, bupati, atau

perwakilan Republik Indonesia di luar negeri (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/1950).

3. Surat opsi (verwerpingsverklaring) yang dikeluarkan oleh Komisariat Belanda di Indonesia, atau pejabat opsi Kerajaan Belanda di Suriname/Antillen, atau Arrondisementsrechtbank di negeri Belanda.

4. Surat kawin yang sah berlaku pula sebagai bukti kewarganegaraan bagi istri pemegang formulir model A atau surat opsi/ verwerpingsverklaring (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/1950).

5. Surat kelahiran atau surat Pengakuan anak oleh bapak yang memegang

formulir model A atau surat opsi/ verwerpingsverklaring (berdasarkan

      

17   

Paulus BP, Kewaranegaraan Republik Indonesia Ditinjau dari UUD 1945, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993, hal.19

18

Soetoprawiro Koerniatmanto, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal.19


(43)

Peraturan Pemerintah No. 1/1950).

6. Surat Penetapan Kewarganegaraan Indonesia oleh pengadilan negeri bagi mereka yang diharuskan oleh instansi resmi untuk membuktikan bahwa ia warga negara Indonesia (berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 jo Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/014/1958).

7. Surat Penetapan Menteri Kehakiman RI untuk seorang wanita asing yang kawin dengan seorang warga negara Indonesia setelah 27 Desember 1949 (Berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 jo Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/014/1958.

8. Formulir I/IA untuk orang laki-laki yang mempunyai anak belum dewasa yang sah, disahkan, diakui, atau diangkat dengan sah (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959).

9. Formulir II/IIA untuk orang perempuan yang mempunyai anak belum dewasa yang tidak mempunyai bapak yang sah, tidak diketahui kewarganegaraan bapaknya, atau bapaknya meninggal dunia sebelum menyatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan RRC (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959).

10.Formulir III/IIIA untuk orang yang tidak mempunyai anak yang belum dewasa, dan untuk perempuan yang anak-anaknya semuanya mempunyai bapak yang sah yang masih hidup, atau sudah meninggal dunia setelah menyatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan RRC (berdasarkan


(44)

Peraturan pemerintah No. 20/1959).

11.Formulir IV/IVA untuk orang yang telah menjadi dewasa dan selama belum dewasa mengikuti kewarganegaraan bapak/ibunya yang memilih kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam hal ini pemegang formulir ini sebenarnya adalah warga negara Indonesia, yang setelah dewasa berstatus dwi kewarganegaraan dan diberi waktu satu tahun untuk memilih kewarganegaraannya. Apabila kemudian tidak menggunakan kesempatan tersebut, yang bersangkutan akan tetap berkewarganegaraan Republik Indonesia (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959).

Catatan : Sejak tanggal 10 April 1960 (UU NO. 4/1969), formulir ini tidak diterbitkan lagi dan digantikan oleh SKKRI. Dan untuk formulir IV (khusus perempuan RRC) menggunakan formulir I AS.

12.Formulir V/VA untuk orang yang telah menjadi dewasa selama belum

menjadi dewasa dianggap hanya berkewarganegaraan RRC, karena mengikuti bapak/ibunya. Pada masa opsi (27 Desember 1949 – 27 Desember 1951) orang tersebut berkewarganegaraan Indonesia dan berkewarganegaraan RRC pada waktu berlakunya UU No. 2Tahun 1958 disebabkan ikut bapak/ibunya. Apabila dalam jangka waktu satu tahun sejak menginjak usia dewasa tidak menyatakan pilihannya, orang tersebut akan tetap berkewarganegaraan RRC (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959).

Catatan : Sejak tanggal 10 April 1969 (UU No.4/1969), formulir ini tidak diterbitkan lagi dan berlaku pasal 4 dan 5 UU No. 62/1958.


(45)

13.Formulir VI/VIA untuk orang yang telah dewasa dan sebelum itu hanya berkewarganegaraan RRC, karena mengikuti penolakan bapak/ibunya terhadap kewarganegaraan Republik Indonesia atau karena kewarganegaraan Republik Indonesia ditolak oleh bapak/ibunya. Orang tersebut pada masa opsi (27 Desember 1949 – 27 Desember 1951) masih belum dewasa dan ikut dalam penolakan tersebut, sehingga pada masa sebelum perjanjian dwi kewarganegaraan adalah berstatus asing. Apabila dalam jangka waktu satu tahun menginjak usia dewasa tidak menyatakan pilihannya, orang tersebut akan tetap berkewarganegaraan RRC. Formullir ini harus dilampirkan bersama surat keterangan dari perwakilan RRC dan surat keterangan daari kantor imigrasi (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 5/1961 tentang Tambahan Peraturan Pemerinttah No. 20/1959).

Catatan : untuk formulir A apabila pernyataan lisan diisikan oleg petugas yang menerima pernyataan itu ke dalam formulir.

14.Formulir C untuk orang yang karena kedudukan sosial politiknya telah menunjukkan dengan tegas bahwa mereka secara diam-diam telah melepaskan kewarganegaraan RRC mereka (Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 20/1959).

15.Formulir D untuk orang yang dianggap telah melepaskan kewarganegaraan RRC karena telah membuktikan tururt dengan sah dalam pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 5/1961 tentang Tambahan Peraturan


(46)

Pemerinttah No. 20/1959).

16.Kutipan Pernyataan Sah Buku Catatn Pengangkatan Anak Asing (contoh A) untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia karena pengangkatan (berdasarkan Peraturab Pemerintah No.67/1958, SE Menteri Kehakiman No. JB.3/2/25 butir 6 tanggal 5 Januari 1959).

17.Petikan Keputusan Presiden tentang Permohonan Pewarganegaraan RI (tanpa pengucapan sumpah atau janji setia) untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia kerena dikabulkannya permohonan pewarganegaraan RI (berdasarkan UU NO. 62 Tahun 1958).

18.Petikan Keputusan Presiden tentang Pewarganegaraan RI dan Berita Acara Sumpah atau Janji Setia kepada negara RI untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pewarganegaraan RI ( berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958).

19.Formulir I : Surat catatan pernyataan keterangan untuk perempuan WNA yang kawin dengan seorang warga negara Indonesia eks Pasal 7 ayat (1) UU No. 62/1958 jo. Pasal II Peraturan Peralihan dan Pasal V Peraturan Penutup (berdasarkan SE Menteri Kehakiman No. JB. 3/166/22 tanggal 30 September 1958).

20.Formulir II: Surat catatan pernyataan keterangan untuk mereka yang

berkehendak melepaskan/memperoleh kembali kewarganegaraan RI eks pasal 7 ayat (2), 8, 9 ayat (2), 11, 12 dan 18 UU No. 62/1958 jo. Pasal III Peraturan Peralihan dan Psal V Peraturan Penutup (berdasarkan SE Menteri Kehakiman


(47)

No. JB. 3/166/22 tanggal 30 September 1958).

21.Formulir III: Surat pernyataan keterangan untuk mereka yang berkehendak melepaskan/memperoleh kembali kewarganegaraan RI yang barkaitan dengan urusan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya karena turut orangtua eks pasal 14 jo. Pasal 2 atau 13 dan 16 UU No. 62.1958 jo. Pasal IV Peraturan Penutup (Menteri Kehakiman No. JB. 3/166/22 tanggal 30 September 1958).

22.Petikan Keputusan Menteri Kehakiman untuk mereka yang memperoleh

kembali kewarganegaraan Republik Indonesia disebabkan kehilangan kewarganegaraannya yang karena hal-hal yang di luar kesalahannya, sebagaimana diatur dalam pasal 17k UU No. 62/1958 (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13/1976).

Bukti-bukti kewarnageraan RI tersebut, dikeluarkan secara ”khusus” sejalan dengan prinsip yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947 bahwa ”...Maka bukti kewargaan negara Indonesia hanya diberikan kepada orang yang pada umumnya bukan warga negara Indonesia, yaitu kepada orang asing yang menjadi warga negara Indonesia dengan naturalisasi”. Hal ini juga sesuai dengan apa yanng disebut oleh Dr. B.P.Paulus, SH bahwa suatu bukti kewarganegaraan RI (yang khusus) hanya dibutuhkan bagi warga negara yang by registration

Dengan kata lain, bahwa suatu bukti kewarganegaraan RI yang ”khusus” dibutuhkan ketika terjadi peristiwa penting yang dalam istilah catatn sipil


(48)

disebut sebagai perubahan kewarnageraaan. Dalam proses catatan sipil, perubahan kewarnageraan selanjutnya akan dicatat dalam register orang yang bersangkutan sebagai catatan pinggir.

Setelah keluar UU No. 4 Tahun 1969 yang mencabut UU No. 2 Tahun 1958 tentang perjanjian dwi kewarnegaraan RI – RRT yang seharusnya menyelesaikan segala kerumitan proses dwi-kewarganegaraan orang-orang Tionghoa, tetapi kemudian berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehakiman No. DTC/9/11 tanggal 1 Juli 1969 justru terbit salah satu buku kewarganegaraan RI yang dikenal dengan:

23.Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKKRI) oleh

pengdailan negeri untuk orang yang mempunyai kewarganegaraan Republik indonesia menurut Pasal 7 ayat (2), pasal 9, dan Pasal 13 UU No. 62/1958, serta untuk anak warga negara Indonesia yang orangtuanya memiliki salah satu formulir yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 20/1959 dan Peraturan Pemerintah No. 5/1961 (berdasarkan SE Menteri Kehakiman No. DTC/9/11 tanggal 1 Juli 1969).

Catatan : Dengan keluaranya Peraturan Menteri Kehakiman No. JB.3/12 tentang SBKRI tanggal 14 Maret 1978, SKKRI dinyatakan tidak berlaku. Berbeda dengan 22 bukti kewarganegaraan RI sebelumnya, SKKRI ini juga diterapkan kepada anak-anak dari orangtua yang sudah berkewarnegaraab Republik Indonesoa, padahal dalam akta catatan sipil mereka sudah dinyatakan sebagai warga negara Indonesia.


(49)

Namun, pada tanggal 14 Maret 1978, Menteri Kehakiman mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman No. JB. 3/4/12, yang mengakhiri berlakunya SKKRI, yang kemudian diganti dengan suatu bukti kewarganegaraan RI, yang kemudian sering dikenal dengan :

24.Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk warga negara Indonesia keturunan asing yang telah dewasa, tetapi memiliki bukti kewarganegaraan. Sepertinya halnya SKKRI, SBKRI ini dalam pelaksanaannya juga diterapkan kepada orang-orang yang sudah menjadi WNI sejak kelahiran (Pasal IV Peraturan Penutup UU No. 62/1958 jo. Peraturan Menteri Kehakiman No. JB.3/4/12).

Dalam buku ini selanjutnya akan dibedakan antara bukti kewarganegaraan RI seperti yang disebut dari no 1 – 22 dan suatu jenis dokumen kewarganegaraan RI yang disebut dengan Surat Bukti Kewarganegaraan RI atau SBKRI (no 24) yang dikritik sebagai dokumen yang diskriminatif dan ”rasis”.

Mereka yang sudah menjadi WNI sejak kelahiran, seperti prinsip yang ditegaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947, tidak membutuhkan bukti kewarganegaraan yang khusus untuk itu. Apabila kemudian dalam keadaan yang membutuhkan pembuktian, dapat digunakan dokumen-dokumen otentik lainnya yang sudah ada.

Surat Keputusan Menteri Kehakiman tangal 10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10 mengatur bahwa anak warga negara Indonesia keturunan asing yang orangtuanya memegang bukti kewarganegaraan Indonesia tidak diwajibkan


(50)

lagi memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Mereka dapat membuktikan kewarganegaraan Indonesia dengan :

25.Petikan akta kelahiran untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran atau anak yang orantuanya memegang SBKRI (berdasarkan UU No. 62/1958, Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10).

26.Kartu tanda penduduk (KTP) untuk mereka yang memperoleh

kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran atau anak yang orangtuanya memegang SBKRI (berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10).

Meskipun disebut hanya berlaku untuk warga negara keturunan asing, secara prinsip kedua dokumen tersebut juga valid digunakan oleh setiap warga negara Indonesia sebagai bukti kewarganegaraan RI apabila dibutuhkan. Dan, meskipun KTP dipertanyakan legalitasnya sebagai dokumen pembuktian kewarganegaraan RI disebabkan dikeluarkan oleh camat yang secara institusi tidak mempunyai kewenangan menentukan kewarganegaraan (Koerniatmanto, 1996 – 126), pemprosesan suatu KTP tentunya harus didasarkan kepada sumber dari suatu bukti kewarganegaraan RI yang valid.


(51)

BAB III

KEDUDUKAN STATUS KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DALAM IDENTITAS KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Identitas dan Integrasi Masyarakat etnis Cina di Indonesia

Apa pun perbedaaan atau keragaman, kriteria terpenting untuk mengukur ke Indonesia-an etnis Cina adalah rasa identitas mereka dan tingkat integrasi mereka ke dalam masyarakat Indonesia. Ini dapat dilihat dari sudut pandang integrasi sosio-kultur, ekonomi dan politik. Integrasi telah terjadi dikalangan etnis Cina di Indonesia, secara dramatis di kalangan generasi muda kelahiran lokal. Hal ini berlaku di kalangan etnis Cina di Jakarta tetapi lebih terjadi lagi pada kalangan di etnis Cina di daerah-daerah. Evolusi etnis Cina dari pedagang keliling dan kelasi kapal menjadi perantau atau huoqiao dan kemudian menjadi penduduk permanen imigran merupakan sebuah proses sejarah yang panjang dan sulit. Perubahan dramatis yang terjadi di kalangan generasi muda lahir di negeri tersebut setelah perang Pasifik mungkin saja bisa terjadi dalam periode yang lebih pendek sejarahnya, tetapi mereka kurang berarti.19 Ketika ditanya, “Negara apa yang kamu panggil rumah?” pada Survei Identitas tahun 1995, 97,3 persen dari 510 responden mengatakan bahwa Indonesia adalah rumah mereka.

Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jawaban dari mereka yang berasal dari daerah dan dari mereka yang berasal dari Jakarta dan bila dipilah

      

19   

Teresita Ang See, “Continiuty and Change”, dalam South East Asian Chinese, Hongkong University Press, 1998, hal. 28-41.


(52)

berdasarkan distribusi usia, perbedaannya juga sangat tipis.

Tetapi, ketika ditanya mengenai apakah ke depan mereka melihat diri mereka akan terus di Indonasia, hanya 69,6 persen menjawab “ya”. Alasan untuk tinggal kebanyakan adalah: Ini adalah satu-satunya negara yang saya kenal; ini adalah tempat di mana keluarga, teman dan kerabat saya berada dan di sinilah tempat saya menemukan kesempatan baik. Mereka yang menjawab bahwa mereka tidak melihat diri mereka akan tetap tingal terus mengatakan bahwa situasi ketertiban dan masalah yang memburuk dalam negeri sebagai alasan utama mereka untuk ingin meninggalkan Indonesia. Mereka ada di daerah (73,6 persen) sedikit di atas mereka di Jakarta (66,2 persen) dalam hal keinginan untuk tetap tinggal. Mereka yang lebih tua lebih cenderung untuk memilih pergi ketimbang orang yang lebih muda.

Aspek integrasi yang terjadi di tingkat politik, kultural, sosial dan ekonomi

Masyarakat etnis Cina di Indonesia : 1. Aspek sosial budaya.

Gerakan mengindonesiakan generasi yang lebih muda selalu menjadi gangguan bagi generasi tua. Banyak hal telah dilakukan untuk meningkatkan pendidikan bahasa Mandarin dan untuk memberi dorongan pada pembaruan dan penyegaran budaya. Tetapi, pengaruh lingkungan membuktikan bahwa ia terlalu kuat. Fakta bahwa etnis Cina hanya terdiri atas persentase yang sangat kecil, baik terhadap populasi keseluruhan Indonesia dan jumlah absolut, adalah faktor yang menentukan dalam pembaruan sosial budaya dari generasi muda yang bergaya


(53)

barat ketimbang lingkungan budaya Cina yang murni.

Indikator lain dari integrasi soial budaya terlaihat pada fakta bahwa semakin banyak etnis Cina muda mempunyai teman dekat pribadi orang asli Indonesia. Demikian juga, semakin banyak dari mereka ini bergabung dengan kelompok yang berorientasi paham Indonesia dan orgnisasi sipil, alih-alih bergabung dengan organisasi etnis Cina murni yang hanya peduli pada kepentingan yang sempit dari komunitas etnis Cina. Organisasi profesional sekarang ini juga dipenuhi oleh anggota dan pejabat aktif keturunan etnis Cina. Diantara mereka adalah Dewan Mahasiswa Universitas, kelompok pengusaha Indonesia, asosiasi profesional seperti Ikatan Dokter Indonesia(IDI). Sesungguhnya, banyak etnis Cina di Indonesia telah dengan berhasil berintegrasi ke dalam lingkungan sosial Indonesia yang mana mereka tidak lagi menyadari kemungkinan timbulnya ketegangan dalam hubungan Indonesia – China. Mungkin, karena banyak teman dekat mereka adalah orang Indonesia, mereka cenderung untuk membuang atau menga Realitas sejarah yang 90 persen etnis Cina lokal adalah warga negara kelahiran lokal yang bersekolah ke sekolah Indonesia, bergabung dengan organisasi orang Indonesia dan belajar berbicara bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama mereka secara alami mempunyai dampak yang luar biasa pada etnis Cina saat ini. baikan keberadaan “masalah etnis Cina”.20

Realitas sejarah yang 90 persen etnis Cina lokal adalah warga negara

      

20   

Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan Politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 247.


(54)

kelahiran lokal yang bersekolah ke sekolah Indonesia, bergabung dengan organisasi orang Indonesia dan belajar berbicara bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama mereka secara alami mempunyai dampak yang luar biasa pada etnis Cina saat ini.

2. Aspek Ekonomi.

Integrasi kepentingan ekonomi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari karena kebanyakan bisnis etnis Cina bersifat domestik. Tidak seperti perusahaan multinasional yang mempunyai perusahaan di negara di dunia, kebanyakan perusahaan yang dimiliki etnis Cina di Indonesia adalah perusahaan lokal atau dalam negeri yang keuntungannya akan kembali ke perekonomian Indonesia. Apa pun kewarganegaraan mereka, bisnis lokal yang dipunyai oleh masyarakat etnis Cina dapat dianggap hanya sebagai bisnis orang Indonesia, bagian integral dari perekonomian nasional, dikenai undang-undang lokal, dipelihara oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia atau kewalahan oleh kemunduran atau bencana yang dialami Indonesia. Pendek kata, apa pun yang memengaruhi bisnis di Indonesia akan mempengaruhi mereka dan sebaliknya.

Lagipula, ketika akses yang mudah kewarganegaraan diberikan masyarakat etnis Cina menjadi warga negara Indonesia dan makin banyak lagi keluar dari bisnis tradisional dan masuk ke berbagai profesi. Tanpa kewarganegaraan, mereka tidak dapat menjalankan profesi apa pun sehingga kebanyakan dari mereka menjalani bidang bisnis. Sekarang, masyarakat etnis Cina telah mencapai keberhasilan di berbagai bidang baru dalam seni dan ilmu


(55)

pengetahuan – hukum, sastra, jurnalisne, seni, musik, komunikasi massa, dan bahkan kajian Indonesia, pekerjaan sosial, dan sebagainya. Perjalanan dan atau karier ini telah dipilih oleh orang yang dengan sepenuh hati menerima diri mereka sebagai orang Indonesia dan yang akan menghabiskan hidupnya di Indonesia. Seseorang tidak akan menerjuni pekerjaan sosial atau komunikasi massa, misalnya. Jika seseorang tidak mempunyai rasa memiliki pada masyarakat Indonesia.

Dalam makalah mengenai “Mitos Keajaiban Ekonomi Etnis Tionghoa”, yang disajikan pada Konferensi Internasional tentang Tionghoa Peraturan di Hong Kong tahun 1994, peneliti dan bankir Go Bon Juan mengutip kondisi subjektif dan objektif yang menyumbang keberhasilan etnis Cina dalam bisnis. Ia menjelaskan bahwa kondisi seperti lokasi bisnis ini di negara-negara Asia Tenggara pada saat itu ketika iklim bisnis tidak kondusif untuk pertumbuhan jauh melampaui kondisi subjektif dari budaya dan tradisi etnis Cina ini. Pengamatannya tentang budaya dan tradisi dari bisnis orang Tionghoa ini ke dalam ekonomi Indonesia pada dasarnya berakhir ke perekonomian dalam negeri negara.21

3. Aspek Politik.

Mayoritas etnis Tionghoa memperoleh pembedaan resmi sebagai warga negara Indonesia, hambatan terbesar ke integrasi politik telah diangkat. Isu kebangsaan mempengaruhi mereka sama besarnya mereka mempengaruhi orang

      

21   


(56)

Indonesia lain. Sebaliknya, keprihatinan atas etnis Cina mempengaruhi mereka bagian luarnya saja atau secara tidak langsung. Dari sudut pandang hukum, mayoritas (85 – 90 persen) etnis Cina di negeri ini sudah berkebangsaan Indonesia. Maka, apa pun kontribusi yang mereka buat pada perekonomian, politik, masyarakat atau budaya, secara hukum, dapat dikatakan sebagai kontribusi mereka atau kewajiban sebagai warga negara sebuah negara.

Pada Survei Identitas tahun 1995, satu pertanyaan yang diajukan adalah apakah mereka setuju bahwa etnis Tionghoa harus menjauh dari arena politik, hanya 9 persen mengatakan setuju sedangkan 79 persen tidak setuju. Dalam nada yang sama, mayoritas (74,1 persen) setuju bahwa etnis Cina punya hak untuk menekan pemerintah untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat sedangkan 10 persen mengatakan bahwa mereka tidak punya hak untuk melakukannya. Tingkat integrasi politik juga dapat dilihat dalam fakta bahwa banyak masyarakat etnis Cina sekarang sepenuhnya mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Indonesia. Dalam pemilu baru-baru ini setelah rezim diktator dari mantan Presiden Soeharto digulingkan, banyak masyarakat etnis Cina lokal berpartisipasi dalam proses pemilu bukan hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai calon. Daftar calon dari etnis Cina yang ikut dalam pemilu tingkat nasional dan lokal cukup mengesankan.°

Dalam banyak isu yang mempengaruhi kepentingan nasional, sungguh mengharukan menyadari bahwa banyak masyarakat etnis Cina ini akan menganggap kepentingan Indonesia sebagai kepedulian yang teramat penting,


(57)

bahkan bila mereka bertentangan dengan kepentingan komunitas Tionghoa, dengan kepentingan negara China atau kepentingan lainnya.

4. Aspek Agama dan Tujuan.

Selain integrasi sosial budaya, ekonomi dan politik, faktor lain yang membantu sebagai faktor pemersatu antara orang Imdonesia dan etnis cina adalah tidak adanya rasa permusuhan agama. Di negara lain perbedaan agama bisa menjadi faktor yang menghambat integrasi tetapi di Indonesia, mayoritas etnis Cina beragama Katolik dan Protestan meskipun beberapa menganut agamanya hanya sebagai formalitas saja. Pada survei tahun 1995 sebanyak 82,9 persen mengaku sebagai Katolik atau Kristen. Untuk sebagian kecil (2 peresen) yang menjalankan ajaran Budha, Taoisme atau agana rakyat Cina, menarik untuk dicatat bahwa sinkretisme agama cukup kentara. Adalah hal yang biasa bagi etnis Cina untuk menjalankan ibadah Kristen sementara di saat yang sama juga menjalankan ibadah ritual dan kebiasaan masyarakat Indonesia etnis Cina. Tokoh Buddha berdampingan dengan gambar Maria Suci agama Katolik dan Jesus Kristus adalah pemandangan yang umum bisa dilihat di rumah tangga atau toko-toko masyarakat etnis Cina. Ritual kehidupan dari lahir sampai mati adalah campuran cara Indonesia dan etnis Cina. Sesungguhnya, survei tahun 1995 menunjukkan bahwa hanya 40 persen yang masih mempraktikkan pemujaan nenek moyang dan semakin muda usia mereka, semakin kurang mereka mempraktikkan ritual itu.


(58)

B. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Untuk Memperkuat Identitas

Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, secara gamblang mengatakan, “Selama ini SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) digunakan untuk memperkuat identitas jika pihak petugas imigrasi meragukan kewarganegaraan orang-orang tertentu yang ingin mengajukan pembuatan paspor.” Namun demikian, Deparetemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia tidak lagi menerbitkan SBKRI untuk mengakomodasi permintaan orang-orang tersebut. Jika pihak imigrasi meragukan identitas orang yang yang hendak mengajukan paspor, mereka tidak lagi ditanyai soal SBKRI.

“Jika pihak imigrasi meragukan identitas seseorang yang mengajukan pembuatan paspor, mereka harus bertanya ke Ditjen Administrasi Hukum, namun saya meminta pers dan orang-orang yang meminta dihapuskan SBKRI untuk bertanggung jawab jika pihak imigrasi kehilangan kontrol karena kami telah memberi paspor ke orang yang salah”, kata Yusril saat peluncuran sebuah buku yang ditulis oleh tim ahli dari Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia di Jakarta Rabu, 3 Juli, 2002.

Sebaliknya, Yusril menekankan bahwa untuk mengajukan aplikasi/pembuatan paspor yang dibutuhkan adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta lahir, itu saja. Namun, dia mengeluhkan bahwa karena administrasi kependudukan yang tidak teratur dan tidak sistematis, seseorang dapat mendapatkan lebih dari satu Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bahkan, orang asing dapat memperoleh KTP dalam negeri dan akte lahir. Hal ini terungkap


(59)

ketika seorang warga Myanmar dan Kuba mengajukan permohonan paspor Indonesia dengan menunjukkan KTP lokal dan akte lahir.

C. Periode Kewarganegaraan Republik Indonesia pada Era Reformasi

Munculnya beberapa permasalahan kewarganeraan Indonesia, terutama permasalahan surat bukti kewarganeraan Republik Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepas dari perjalanan panjang konsepsi kewarganegaraan RI, yang juga hampir setua umur Republik Indonesia sendiri.

Sejarah perjalanan konsepsi kewarganegaraan Republik Indonesia telah ada sejak sebelum Proklamasi.22 Konsep (awal) kewarganegaraan dalam Undang-Undang Dasar, “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia Asli dan orang –orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara”. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan rumusan awal, yaitu yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara, dan menjadi pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Seiring dengan perkembangan zaman, pada tahun 2006 di era reformasi, atas desakan masyarakat dan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat RI, pada bulan Agustus lahirlah UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI untuk menggantikan UU No. 62 Tahun 1958. UU ini melakukan lompatan pemikiran

      

22   


(1)

ibadah Tionghoa. Warga etnis Cina Indonesia dipaksa untuk mengubah nama Tionghoa mereka ke nama Indonesia.

Budaya etnis Cina yang sangat bernilai seharusnya dianggap sebagai bagian aset Indonesia untuk tujuan menggalakan kekayaan dan kemakmuran rakyat, dan dengan demikian seharusnya tidak diasingkan dan dilarang.

Jepang, Korea, Filipina, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Vietnam, dan negara-negara lain di dunia telah mengintegrasikan kebudayaan Cina ke dalam kebudayaan Nasional mereka.

Kebudayaan etnis Cina tiba di indonesia sudah berabad-abad lalu, apakah dalam bentuk kesusastraan, tarian, seni, olahraga, sejarah, dan makanan. Pecak silat dan wushu(jenis beladiri), lenong(tarian rakyat), barongsai di Cirebon dan tari barong di Bali adlah contoh nyata warisan budaya ini.

Sekarang marilah kita kembali ke Undang-Undang baru tentang Kewarganegaraan. Meskipun berbagai kalangan merasakan optimisme mereka terhadap Undang-Undang baru, bagaimana Undang-Undang tersebut akan diterapkan masih harus dilihat. Di Indonesia, Undang-Undang yang tertuang dalam buku dan Undang-Undang dalam tindakan tidak berjalan secara paralel. Ini adalah akibat salah pemahaman atau manipulasi oleh para birokrat.


(2)

Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru dianggap lebih manusiawi dengan memberikan sanksi terhadap pegawai negeri yang melakukan tindakan diskriminasi. Meskipun ada sanksi hukum satu sampai tiga tahun penjara bagi pejabat pemerintah yang melakukan diskriminasi terhadap warga apapun, dalam bentuk menghambat atau menolak hak-hak kewarganegaraan sebagaimana ditetapkan dalam Bab 6 Pasal 36, sepanjang peraturan mengenai pencataan sipil warga Indonesia masih didasarkan pada peraturan yang diwariskan dari penguasa penjajah Belanda, maka praktek diskriminasi masih terus ada.57

Undang-Undang Dasar melindungi dan menghormati hak asasi manusia, oleh karenanya setiap lembar perundangan harus konsisten dengan UUD. Kesetaraan di hadapan hukum, seperti yang diabadikan dalam UUD, melarang diskriminasi berdasarkan pada kelompok, latar belakang, etnis, warna kulit, agama, kelas social ekonomi, gender dan ras.

Perbedaan fisik dan budaya adalah asset. Tetapi untuk menjadi sebuah negara besar kita harus menerima dan menghargai keragaman dan perbedaan di berbagai bidang. Pluralisme harus dianggap sebagai keuntungan dan berkah dari bangsa. Kergaman tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk saling menjatuhkan dan melanggar hak asasi manusia.

       57


(3)

Kewarganegaraan adalah pengertian yang senantiasa bernegara. Istilah itu tersiri dari dua suku kata yang menyatu, “warga” dan “negara” yang masing-masing bermakna melintas, meskipun mencakup pengertian “anggota”, dan “suku” atau “agama”, “daerah”, “adat” dan “marga”.

Warga Negara Indonesia etnis Cina memikul beban sejarah, beban mitos, dan beban nyata kehidupan sehari-hari sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang ini. Beban sejarah adalah akibat warisan pengalaman kolonial tatkala sebagai Golongan Timur Asing, warga kolonial etnis Cina setidaknya dari kalangan menengah atas dalam lapisan sosial ekonomi kolonial. Beban mitos yang dipikul adalah pemukul-rataan bahwa semua warga negara etnis Cina adalah “kaya”, memperoleh akses pada pemerintah.

Rangkaian sistem administrasi kependudukan, catatan sipil dan kewarganegaraan tersebut menjadi paket kebijakan “sempurna” yang mendiskriminasikan Warna Negara Indonesia etnis Cina di Indonesia hingga saat ini. Meskipun ketentuan ini bersifat administratif, Secara esensi, penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan masyarakat etnis Cina pada posisi status hukum Warga Negara Indonesia(WNI) yang “masih dipertanyakan”.


(4)

Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru dianggap lebih manusiawi dengan memberikan sanksi terhadap pegawai negeri yang melakukan tindakan diskriminasi. Meskipun ada sanksi hukum satu sampai tiga tahun penjara bagi pejabat pemerintah yang melakukan diskriminasi terhadap warga apapun, dalam bentuk menghambat atau menolak hak-hak kewarganegaraan.

Penghapusan Undang-Undang dan Peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap masyarakat etnis Cina akan meningkatkan negara diberbagai aspek berbangsa, bernegara dan perseorangan. Dimata internasional, posisi Indonesia akan meningkat, khususnya berkaitan dengan isu hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar melindungi dan menghormati hak asasi manusia, oleh karenanya setiap lembar perundangan harus konsisten dengan UUD. Kesetaraan di hadapan hukum, seperti yang diabadikan dalam UUD, melarang diskriminasi berdasarkan pada kelompok, latar belakang, etnis, warna kulit, agama, kelas social ekonomi, gender dan ras.

 

 

 


(5)

Alfian dan Nazaruddin, Prefi Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta

Choirul Mahfud, SBKRI dan Diskriminasi Etnis Di Surabaya, CSIS, Jakarta, 2007 Dedi Irawan dan Lelita Yunita, Mengenal teori-Teori Politik, Edisi Khusus,

Depok, 2005

H. Junus Jahya, Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Integrasi, Jakarta: Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran, 1999.

Ivan Wibowo (ed), Cokin? So What Gitu Loh!, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan

Politik Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008

Karlina Leksono, “The May 1998 Tragedy”, dalam Centre for the Study of the Chinese Southern Diaspora (CSCSD), Workshop Chinese Indonesians: The Way Ahead, 15-16 February 1999 Coombs Lecture Theatre, RSPAs, ANU Kusuma Indradi, Diskriminasi Daalam Praktek, Jakarta, FKKB, 2002

Lijan Poltak, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, 2006,

Leo Suryadinata, “Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan Antaretnis”, www….., hal. 2. Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan Jawa, dalam tulisan berjudul

‘Asimilasi Golongan Peranakan’, Komunitas Bambu, Jakarta, 2005

Paulus BP, Kewarganegaraan Republik Indonesia Ditinjau dari UUD 1945, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993

SBKRI: Analisis dan Hasil Pemantauan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2006.


(6)

Soetoprawiro Koerniatmanto, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996

Teresita Ang See, “Continiuty and Change”, dalam South East Asian Chinese, Hongkong University Press, 1998

Trianto dan Titik Triwulan, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007

Tim ICCE, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Maasyarakat Madani, Jakarta:IC Wahyu Effendi, Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI, Visimedia, Jakarta, 2008CE UIN Syarif Hidayatullah, 2003

Jurnal:

Arif Wibowo, Teori Keadilan John Rawls ,Jurnal, Jakarta, 1 Desember 2008

Media Massa

Abu Zahra, Mitos Dibalik Isu Diskriminasi, Suara Islam Edisi 17, 13 April 2007, http://suaraislam.com/index.php

Frans H Winarta, The Jakarta Post, Kamis, 28 september 2006, hal. 6 SBKRI Jadi Sumber kkn, Kompas, 24 Juni 2002, hal. 2

RUU Tantang Pelayanan Publik, Komisi II DPR RI

Wahyu Effendi, SBKRI dan Pelembagaan Diskriminasi Di Indonesia, Kompas 12 April 2004.