Pembuatan Dan Karakterisasi Dekstrin Dari Pati Umbi Talas (Xanthosoma Sagittifolium (L.) Schott) Dengan Metode Katalis Asam Dan Enzimatis

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) merupakan keluarga talas yang berasal dari Amerika Tengah dan menyebar ke daerah-daerah tropika. Tanaman kimpul dapat tumbuh di hampir seluruh kepulauan di Indonesia hingga ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Talas kimpul merupakan tanaman tegak dengan pelepah berwarna hijau muda. Pelepah menyatu dengan batang dan akan terasa halus ketika diraba. Daun berwarna hijau terang dengan permukaan yang berlapis lilin dan memiliki bentuk seperti jantung (Setyawan, 2015).

Tanaman kimpul tumbuh baik di daerah tropika basah dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Umumnya tanaman kimpul akan memberikan hasil optimum pada lahan darat yang gembur. Tanaman kimpul dapat tumbuh baik di tanah yang terlindung sinar matahari. Kemampuan tanaman kimpul untuk tumbuh di tempat ideal untuk mengisi lahan kosong di pedesaan. Tanaman kimpul cocok untuk tanaman tumpang sari pada kebun-kebun kopi karena tahan terhadap lingkungan (Ridal, 2003).

Talas merupakan tanaman sekulen yaitu tanaman yang umbinya banyak mengandung air. Umbi tersebut terdiri dari umbi primer dan umbi sekunder. Kedua umbi tersebut berada dibawah permukaan tanah. Hal yang membedakan adalah umbi primer merupakan umbi induk yang memiliki bentuk silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 15 cm, sedangkan umbi sekunder merupakan umbi yang tumbuh disekeliling umbi primer dengan ukuran yang lebih kecil. Umbi sekunder ini digunakan oleh talas untuk melakukan perkembangbiakannya secara


(2)

9

vegetatif. Umur panen umbi berkisar antara 6-18 bulan dan ditandai dengan daun yang tampak mulai menguning atau mengering (Nurcahya, 2014).

2.1.1 Sistematika tumbuhan Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub Kelas : Arecidae Ordo : Arales Famili : Araceae

Spesies : Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott (Nurcahya,2014).

2.1.2 Nama lain

Talas mempunyai beberapa nama umum yaitu Talas Belitung (Kimpul), Taro, Old cocoyam, ‘Dash(e)en’ dan ‘Eddo (e)’. Di beberapa negara juga dikenal dengan nama lain, seperti : Abalong (Philipina), Taioba (Brazil), Arvi (India), Keladi (Malaya), Satoimo (Japan), Tayoba (Spanyol) dan Yu-tao (China) (Nurcahya, 2014).

2.1.3 Pengolahan talas

Salah satu hambatan pada produksi dan konsumsi talas adalah kandungan kristal-kristal kalsium oksalat pada umbi dan daun segar yang dapat menyebabkan rasa gatal pada kulit mulut dan tenggorokan (Rahmawati, dkk., 2012). Timbulnya rasa gatal terutama disebabkan oleh kalsium oksalat bentuk rapida yang keluar dari sel tumbuhan, sehingga dapat melakukan kontak secara langsung dengan


(3)

10

lidah, bibir dan langit-langit mulut ketika dikunyah (Ridal, 2003). Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah mengurangi kadar kalsium oksalat pada talas. Kalsium oksalat dari persenyawaan garam antara ion kalsium dan ion oksalat. Ion ini sangat bermanfaat untuk proses metabolisme dan untuk pertahanan internal bagian talas (Nurcahya, 2014).

Cara tradisional dilakukan untuk menghilangkan rasa gatal dengan perebusan secukupnya. Selain itu dapat dilakukan dengan perendaman semalaman dalam air (Rahmawati, dkk., 2012). Langkah lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar kalsium oksalat pada talas dapat dilakukan sebagai berikut :

a) Talas dicuci sampai bersih selama 5 menit menggunakan perbandingan talas dan air (1:4) (Nurcahya, 2014).

b) Talas direndam selama 20 menit menggunakan NaCl berkadar 1 % dan talas dicuci kembali dengan air (1:4) (Nurcahya, 2014).

c) Perlakuan kimiawi dengan penambahan asam kuat (HCl) yang mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat. Reaksi antara HCl dengan kalsium oksalat akan menghasilkan endapan CaCl2 dan asam oksalat yang dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi :

2HCl (l) + CaC2O4 (S) CaCl2(s) + H2C2O4 (l) (Ridal, 2003).

2.1.4 Kandungan gizi

Talas merupakan sumber pangan yang penting karena selain merupakan sumber karbohidrat, protein dan lemak, talas juga mengandung beberapa unsur- unsur mineral dan vitamin. Sebagai pengganti nasi, talas mengandung banyak karbohidrat dan protein yang terkandung dalam umbinya, sedangkan daunnya dipergunakan sebagai sumber nabati (Nurcahya, 2014).


(4)

11

Umbi talas mengandung komponen makronutrien dan mikronutrien meliputi protein, karbohidrat, lemak, serat kasar, fosfor, kalsium, besi, tiamin, riboflavin, niasin, dan vitamin C (Nurcahya, 2014).

Tabel 2.1 Komposisi gizi umbi talas mentah (per 100 g)

Kandungan gizi Jumlah

Energi (kal) 98,00

Protein (g) 1,90

Lemak (g) 0,20

Karbohidrat (g) 3,70

Kalsium (mg) 28,00

Fosfor (mg) 61,00

Besi (mg) 1,00

Vitamin A (mg) 20,00

Vitamin C (mg) 4,00

Vitamin B1 (g) 0,13

Air (g) 73,00

(Turang dan Matindas, 2011). Komposisi kimia tersebut tergantung pada beberapa faktor, seperti jenis varietas, usia dan tingkat kematangan dari umbi. Faktor iklim dan kesuburan tanah juga turut berperan terhadap perbedaan komposisi kimia dari umbi talas. Nilai lebih dari umbi talas adalah kemudahan patinya untuk dicerna. Hal ini disebabkan oleh ukuran granula patinya yang cukup kecil dan patinya mengandung amilosa dalam jumlah yang cukup banyak (20-25%). Selain itu talas juga bebas dari gluten, maka pangan olahan dari talas dapat digunakan untuk diet individual yang memiliki alergi terhadap gluten (Nurcahya, 2014).


(5)

12 2.2 Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 2004).

Secara umum pati terdiri dari 20 % bagian yang larut air panas (amilosa) dan 80 % bagian yang tidak larut air panas (amilopektin). Amilosa merupakan molekul yang lurus, terdiri dari 250-300 satuan D-glukopiranosa dan dihubungkan

secara seragam oleh ikatan α-1,4 glukosida. Amilopektin terdiri dari 1000 atau

lebih satuan glukosa yang kebanyakan juga dihubungkan dengan hubungan α-1,4 glukosida. Namun, terdapat juga sejumlah hubungan α-1,6 glukosida yang terdapat pada titik-titik percabangan. Jumlah hubungan semacam ini terdapat kurang lebih 4 % dari seluruh jumlah hubungan atau satu untuk setiap 25 satuan glukosa (Gunawan dan Mulyani, 2010). Struktur kimia pati (Rowe, et al., 2009) ditunjukkan pada gambar 2.1 dengan n = 300-1000.


(6)

13

Gambar 2.1 Struktur pati

Amilosa dan amilopektin merupakan komponen penting pembentuk struktur dasar pati, dan sangat mempengaruhi karakteristik fisiko kimia pati yang dihasilkan. Amilosa memiliki karakteristik rantai relatif lurus, struktur gel kuat, serta apabila diberi pewarna iodine akan menghasilkan warna biru. Sementara itu, amilopektin memiliki karakteristik rantai bercabang, struktur gel lembek, dan apabila diberi pewarna iodine akan menghasilkan warna coklat kemerahan (Herawati, 2012).

2.2.1 Pembuatan pati

Pembuatan pati melalui tahapan proses pengupasan, pencucian, pemotongan, penghalusan, peremasan, penyaringan, pengendapan, pencucian, pengeringan, penghalusan dan pengayakan. Proses pengupasan dan pencucian bertujuan untuk membersihkan umbi dari akar, kulit dan kotoran yang melekat pada umbi tersebut. Pemotongan dimaksudkan untuk mempermudah proses penghalusan umbi, penghalusan dilakukan bertujuan untuk merusak jaringan umbi dan sel-sel umbi agar pati dapat keluar (Ridal, 2003).


(7)

14

Peremasan dimaksudkan untuk menyempurnakan kerusakan jaringan umbi agar pati dapat keluar dari jaringannya dengan menambahkan akuades pada proses penghalusan. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran yang sukar dihilangkan dengan pencucian dan memisahkan ampas dengan pati yang diperoleh. Pati dibiarkan mengendap selama satu malam, kemudian dilakukan pencucian dengan dengan akuades untuk mendapatkan pati yang bersih dan berwarna putih (Ridal, 2003)

Pengeringan pati basah dilakukan dengan meletakkan pati basah pada suhu ruangan hingga pati kering. Kemudian dilakukan penghalusan pati dan pengayakan untuk mendapatkan pati yang halus.

2.3 Dekstrin

Dekstrin adalah pati atau hidrolisis pati secara parsial dimodifikasi oleh pemanasan dalam keadaan kering dengan atau tanpa asam, alkali atau agen kontrol pH (USP, 2007).

Dekstrin merupakan produk degradasi pati yang dapat dihasilkan dengan beberapa cara, yaitu memberikan perlakuan suspensi pati dalam air dengan asam atau enzim pada kondisi tertentu, atau degradasi pati dalam bentuk kering dengan menggunakan perlakuan panas atau kombinasi antara panas dan asam atau katalis lain. Dekstrin mempunyai rumus kimia (C6H10O5)n dan memiliki struktur serta karakteristik intermediate antara pati dan dekstrosa (Herawati, 2010).

Dekstrin praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%), eter, dan propan-2-ol, sedikit larut dalam air dingin dan sangat larut dalam air panas membentuk larutan mucilaginous. Berat molekul dekstrin secara khas adalah 4.500-85.000 dan tergantung pada jumlah unit (C6H10O5)n di dalam ikatan polimer dengan n = 28-


(8)

15

525. Struktur kimia dekstrin (Rowe, et al., 2009) ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur dekstrin 2.3.1 Hidrolisis asam

Hampir semua reaksi hidrolisis memerlukan katalisator untuk mempercepat jalannya reaksi. Katalisator yang dipakai dapat berupa enzim atau asam. Asam yang dipakai beraneka ragam mulai dari asam klorida, asam sulfat, sampai asam nitrat. Yang berpengaruh pada kecepatan reaksi adalah konsentrasi ion H+, bukan jenis asamnya. Meskipun demikian, di dalam industri umumnya dipakai asam klorida. Pati termodifikasi dengan hidrolisis asam klorida menghasilkan pati yang strukturnya lebih renggang, sehingga air lebih mudah menguap pada waktu pengeringan (Agra, dkk., 1973).

Faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisis : 1. Suhu

Suhu mempengaruhi jalannya reaksi hidrolisis, terutama pada kecepatan reaksinya. Untuk kisaran suhu 90-100 oC, kecepatan reaksi meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 5 oC. Sedangkan secara keseluruhan, pada umumnya kecepatan reaksi hidrolisis akan meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 10 oC. Dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi, maka waktu reaksi dapat diminimalkan (Groggins, 1997).


(9)

16

Penggunaan suhu tinggi juga dapat meminimalkan penggunaan katalisator sehingga biaya operasional lebih ekonomis.

2. Katalisator

Penggunaan katalisator pada reaksi hidrolisis dilakukan pertama kali oleh Braconnot pada 1819. Beliau menghidrolisis linen (selulosa) menjadi gula fermentasi dengan menggunakan asam sulfat pekat. Setelah itu ditemukan bahwa asam dapat digunakan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi hidrolisis (Groggins, 1997). Katalisator yang biasa di gunakan berupa asam, yaitu asam klorida, asam sulfat, asam sulfit, asam nitrat, atau yang lainnya. Makin banyak asam yang di pakai sebagai katalisator, makin cepat jalannya reaksi hidrolisa. Penggunaan katalisator dengan konsentrasi kecil (larutan encer) lebih disukai karena akan memudahkan pencampuran sehingga reaksi dapat berjalan merata dan efektif. Penggunaan konsentrasi katalisator yang kecil dapat mengurangi kecepatan reaksi. Namun hal ini dapat diatasi dengan menaikkan suhu reaksi.

3. Waktu

Waktu reaksi mempengaruhi konversi yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi, maka semakin tinggi pula konversi yang di hasilkan. Hal ini disebabkan oleh kesempatan zat reaktan untuk saling bertumbukan dan bereaksi semakin besar, sehingga konversi yang di hasilkan semakin tinggi (Perwitasari dan Cahyo, 2009).

4. Netralisasi

Proses hidrolisis yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan proses hidrolisis partial, sehingga diperlukan penghentian reaksi agar tak terjadi


(10)

17

pemecahan senyawa lebih lanjut. Proses hidrolisis diakhiri dengan menghentikan pemanasan yang dilakukan dalam autoklaf, dan menetralisasi suasana asam. Kondisi asam oleh asam klorida dinetralisasi dengan larutan natrium karbonat (Perwitasari dan Cahyo, 2009).

Reaksi :

2 HCl + Na

2CO3 2 NaCl + H2O + CO2 2.3.2 Enzim α-amilase

α-amilase (α-1,4-glukan-4-glukanohidrolase) adalah enzim yang terdapat dalam getah pankreas dan ludah yang dapat menghidrolisis amilum dengan pemecahan secara acak terhadap ikatan glukosidik α-1,4. Amilosa memberikan campuran dari glukosa, maltosa sedangkan amilopektin memberikan campuran dari oligosakarida bercabang yang mengandung ikatan α-1,6 (Gunawan dan Mulyani, 2010). α-amilase merupakan endo-enzim yang memecah ikatan α-1,4 secara random atau pada ikatan yang berada ditengah rantai polimer (Ridal, 2003).

α-amilase adalah jenis enzim amilase terbesar yang terkandung dalam tubuh

manusia dan mamalia yang lain. Pada tubuh manusia α-amilase terdapat pada

saliva dan pankreas. Selain itu, α-amilase juga dapat ditemukan pada gandum (barley), jamur (ascomycetes), dan bakteri (bacillus). Enzim α-amilase umumnya diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, Bacillus subtilis, Bacillus coagulans, Pseudomonas saccharophila, Aspergillus orizae, dan Aspergillus candidus (Robyt, 1984).

Hidrolisis enzimatis memberikan beberapa keuntungan, yaitu prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah,


(11)

18

dihasilkan lebih sedikit abu dan kerusakan warna dapat diminimalkan (Setyawan, 2015) serta dihasilkan tingkat konversi yang lebih tinggi (Ridal, 2003).

Gambar 2.3 Formasi aktivitas α-amilase pada amilopektin (Meyer, 1973). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim yaitu:

a. Suhu, semua reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu. Kecepatan reaksi katalis enzim dapat meningkat dengan meningkatnya suhu, tetapi karena enzim merupakan protein yang akan terdenaturasi pada suhu tinggi maka enzim memiliki suhu optimum dalam melakukan kerjanya. Setiap enzim memiliki temperatur optimum yang berbeda-beda sehingga diperoleh efisiensi yang maksimum (Mckee dan Mckee, 2004).

b. Nilai pH, konsentrasi ion hidrogen dapat mempengaruhi kerja enzim. Perubahan pH yang tajam dapat menyebabkan enzim terdenaturasi. Beberapa enzim aktif hanya pada nilai pH yang sempit. Nilai pH optimum pada setiap enzim sangat bervariasi (Mckee dan Mckee, 2004).

c. Konsentrasi substrat, untuk dapat terjadi kompleks enzim substrat perlu adanya kontak antara enzim dengan subtrat pada bagian aktif enzim. Menurut Robyt (1984) α-amilase mempunyai bagian aktif anion


(12)

19

karboksilat dan kation imidazolium. Pada konsentrasi substrat rendah, bagian aktif enzim hanya menampung sedikit substrat. Bila konsentrasi substrat diperbesar, makin banyak substrat yang dapat berhubungan dengan enzim pada bagian aktif tersebut. Dengan demikian konsentrasi kompleks enzim substrat makin besar dan hal ini menyebabkan makin besarnya kecepatan reaksi. Pada suatu batas konsentrasi substrat tertentu, semua bagian aktif telah dipenuhi oleh substrat atau telah jenuh dengan substrat. Dalam keadaan ini, bertambah besarnya konsentrasi substrat tidak menyebabkan bertambah besarnya konsentrasi kompleks enzim substrat, sehingga jumlah hasil reaksinya pun tidak bertambah besar (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

d. Konsentrasi enzim, kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Dalam hal ini substrat yang digunakan dalam jumlah yang berlebih (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

2.3.3 Penggunaan dekstrin

Dekstrin dapat digunakan dalam bidang farmasi dan pangan. Dalam bidang farmasi dekstrin digunakan sebagai diluent tablet dan kapsul, pengikat, bahan selaput gula yang berfungsi sebagai plasticizer, perekat dan agen pengetal (thickening agent) untuk suspensi (Rowe, et al., 2009).


(13)

20

Beberapa sediaan farmasi yang menggunakan dekstrin sebagai bahan tambahan :

1. OptiNateTM merupakan kapsul multivitamin/mineral yang diberikan sebelum/sesudah melahirkan dan tablet kombinasi dengan asam lemak esensial (Niazi, 2009a).

2. Krim hidrokortison 0,5 % dan krim hidrokortison 1 % (Niazi, 2009b).

Pada bidang pangan dekstrin dapat dimanfaatkan sebagai komponen utama maupun bahan tambahan makanan dalam koridor food ingredient yang merupakan komponen bahan makanan untuk memproduksi makanan siap saji. Dekstrin dapat berfungsi sebagai bahan pengikat dan enkapsulasi yang diaplikasikan dalam pengembang kue, perisa, rempah dan minyak (Herawati, 2012). Selain itu dekstrin dapat digunakan juga sebagai sumber karbohidrat bagi orang yang menjalani program diet karena dekstrin memiliki kandungan elektrolit yang rendah dan bebas dari laktosa dan sukrosa (Rowe, et al., 2009).


(1)

15

525. Struktur kimia dekstrin (Rowe, et al., 2009) ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur dekstrin 2.3.1 Hidrolisis asam

Hampir semua reaksi hidrolisis memerlukan katalisator untuk mempercepat jalannya reaksi. Katalisator yang dipakai dapat berupa enzim atau asam. Asam yang dipakai beraneka ragam mulai dari asam klorida, asam sulfat, sampai asam nitrat. Yang berpengaruh pada kecepatan reaksi adalah konsentrasi ion H+, bukan jenis asamnya. Meskipun demikian, di dalam industri umumnya dipakai asam klorida. Pati termodifikasi dengan hidrolisis asam klorida menghasilkan pati yang strukturnya lebih renggang, sehingga air lebih mudah menguap pada waktu pengeringan (Agra, dkk., 1973).

Faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisis : 1. Suhu

Suhu mempengaruhi jalannya reaksi hidrolisis, terutama pada kecepatan reaksinya. Untuk kisaran suhu 90-100 oC, kecepatan reaksi meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 5 oC. Sedangkan secara keseluruhan, pada umumnya kecepatan reaksi hidrolisis akan meningkat dua kali lebih cepat setiap kenaikan suhu 10 oC. Dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi, maka waktu reaksi dapat diminimalkan (Groggins, 1997).


(2)

16

Penggunaan suhu tinggi juga dapat meminimalkan penggunaan katalisator sehingga biaya operasional lebih ekonomis.

2. Katalisator

Penggunaan katalisator pada reaksi hidrolisis dilakukan pertama kali oleh Braconnot pada 1819. Beliau menghidrolisis linen (selulosa) menjadi gula fermentasi dengan menggunakan asam sulfat pekat. Setelah itu ditemukan bahwa asam dapat digunakan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi hidrolisis (Groggins, 1997). Katalisator yang biasa di gunakan berupa asam, yaitu asam klorida, asam sulfat, asam sulfit, asam nitrat, atau yang lainnya. Makin banyak asam yang di pakai sebagai katalisator, makin cepat jalannya reaksi hidrolisa. Penggunaan katalisator dengan konsentrasi kecil (larutan encer) lebih disukai karena akan memudahkan pencampuran sehingga reaksi dapat berjalan merata dan efektif. Penggunaan konsentrasi katalisator yang kecil dapat mengurangi kecepatan reaksi. Namun hal ini dapat diatasi dengan menaikkan suhu reaksi.

3. Waktu

Waktu reaksi mempengaruhi konversi yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi, maka semakin tinggi pula konversi yang di hasilkan. Hal ini disebabkan oleh kesempatan zat reaktan untuk saling bertumbukan dan bereaksi semakin besar, sehingga konversi yang di hasilkan semakin tinggi (Perwitasari dan Cahyo, 2009).

4. Netralisasi

Proses hidrolisis yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan proses hidrolisis partial, sehingga diperlukan penghentian reaksi agar tak terjadi


(3)

17

pemecahan senyawa lebih lanjut. Proses hidrolisis diakhiri dengan menghentikan pemanasan yang dilakukan dalam autoklaf, dan menetralisasi suasana asam. Kondisi asam oleh asam klorida dinetralisasi dengan larutan natrium karbonat (Perwitasari dan Cahyo, 2009).

Reaksi :

2 HCl + Na

2CO3 2 NaCl + H2O + CO2 2.3.2 Enzim α-amilase

α-amilase (α-1,4-glukan-4-glukanohidrolase) adalah enzim yang terdapat dalam getah pankreas dan ludah yang dapat menghidrolisis amilum dengan pemecahan secara acak terhadap ikatan glukosidik α-1,4. Amilosa memberikan campuran dari glukosa, maltosa sedangkan amilopektin memberikan campuran dari oligosakarida bercabang yang mengandung ikatan α-1,6 (Gunawan dan Mulyani, 2010). α-amilase merupakan endo-enzim yang memecah ikatan α-1,4 secara random atau pada ikatan yang berada ditengah rantai polimer (Ridal, 2003).

α-amilase adalah jenis enzim amilase terbesar yang terkandung dalam tubuh

manusia dan mamalia yang lain. Pada tubuh manusia α-amilase terdapat pada

saliva dan pankreas. Selain itu, α-amilase juga dapat ditemukan pada gandum (barley), jamur (ascomycetes), dan bakteri (bacillus). Enzim α-amilase umumnya diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, Bacillus subtilis, Bacillus coagulans,

Pseudomonas saccharophila, Aspergillus orizae, dan Aspergillus candidus

(Robyt, 1984).

Hidrolisis enzimatis memberikan beberapa keuntungan, yaitu prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah,


(4)

18

dihasilkan lebih sedikit abu dan kerusakan warna dapat diminimalkan (Setyawan, 2015) serta dihasilkan tingkat konversi yang lebih tinggi (Ridal, 2003).

Gambar 2.3 Formasi aktivitas α-amilase pada amilopektin (Meyer, 1973). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim yaitu:

a. Suhu, semua reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu. Kecepatan reaksi katalis enzim dapat meningkat dengan meningkatnya suhu, tetapi karena enzim merupakan protein yang akan terdenaturasi pada suhu tinggi maka enzim memiliki suhu optimum dalam melakukan kerjanya. Setiap enzim memiliki temperatur optimum yang berbeda-beda sehingga diperoleh efisiensi yang maksimum (Mckee dan Mckee, 2004).

b. Nilai pH, konsentrasi ion hidrogen dapat mempengaruhi kerja enzim. Perubahan pH yang tajam dapat menyebabkan enzim terdenaturasi. Beberapa enzim aktif hanya pada nilai pH yang sempit. Nilai pH optimum pada setiap enzim sangat bervariasi (Mckee dan Mckee, 2004).

c. Konsentrasi substrat, untuk dapat terjadi kompleks enzim substrat perlu adanya kontak antara enzim dengan subtrat pada bagian aktif enzim. Menurut Robyt (1984) α-amilase mempunyai bagian aktif anion


(5)

19

karboksilat dan kation imidazolium. Pada konsentrasi substrat rendah, bagian aktif enzim hanya menampung sedikit substrat. Bila konsentrasi substrat diperbesar, makin banyak substrat yang dapat berhubungan dengan enzim pada bagian aktif tersebut. Dengan demikian konsentrasi kompleks enzim substrat makin besar dan hal ini menyebabkan makin besarnya kecepatan reaksi. Pada suatu batas konsentrasi substrat tertentu, semua bagian aktif telah dipenuhi oleh substrat atau telah jenuh dengan substrat. Dalam keadaan ini, bertambah besarnya konsentrasi substrat tidak menyebabkan bertambah besarnya konsentrasi kompleks enzim substrat, sehingga jumlah hasil reaksinya pun tidak bertambah besar (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

d. Konsentrasi enzim, kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Dalam hal ini substrat yang digunakan dalam jumlah yang berlebih (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

2.3.3 Penggunaan dekstrin

Dekstrin dapat digunakan dalam bidang farmasi dan pangan. Dalam bidang farmasi dekstrin digunakan sebagai diluent tablet dan kapsul, pengikat, bahan selaput gula yang berfungsi sebagai plasticizer, perekat dan agen pengetal (thickening agent) untuk suspensi (Rowe, et al., 2009).


(6)

20

Beberapa sediaan farmasi yang menggunakan dekstrin sebagai bahan tambahan :

1. OptiNateTM merupakan kapsul multivitamin/mineral yang diberikan sebelum/sesudah melahirkan dan tablet kombinasi dengan asam lemak esensial (Niazi, 2009a).

2. Krim hidrokortison 0,5 % dan krim hidrokortison 1 % (Niazi, 2009b).

Pada bidang pangan dekstrin dapat dimanfaatkan sebagai komponen utama maupun bahan tambahan makanan dalam koridor food ingredient yang merupakan komponen bahan makanan untuk memproduksi makanan siap saji. Dekstrin dapat berfungsi sebagai bahan pengikat dan enkapsulasi yang diaplikasikan dalam pengembang kue, perisa, rempah dan minyak (Herawati, 2012). Selain itu dekstrin dapat digunakan juga sebagai sumber karbohidrat bagi orang yang menjalani program diet karena dekstrin memiliki kandungan elektrolit yang rendah dan bebas dari laktosa dan sukrosa (Rowe, et al., 2009).