FAJAR HERBOWO G2A008076 LAP

(1)

EPILEPSI LOBUS TEMPORAL PADA PENDERITA EPILEPSI

LOBUS TEMPORAL

LAPORAN HASIL

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian Hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa Program Strata-1 Kedokteran Umum

FAJAR HERBOWO NIANTIARNO G2A008076

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO 2012


(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KTI

PREDIKTOR KEJADIAN KEJANG PASCAOPERASI BEDAH EPILEPSI LOBUS TEMPORAL PADA PENDERITA EPILEPSI LOBUS TEMPORAL

Disusun oleh

FAJAR HERBOWO NIANTIARNO G2A008076

Telah disetujui :

Semarang, 4 Agustus 2012

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Muhamad Thohar Arifin , PhD, PAK, SpBS dr. Hardian 19740414 199903 1 013 19630414 199001 1 001

Penguji

dr. Happy Kurnia Brotoarianto, SpBS 19680503 199807 1 002

Ketua Penguji

dr. Alifiati Fitrikasari, SpKJ 19691213 199802 2 001


(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Dengan ini menyatakan bahwa:

1) KTI ini ditulis sendiri tulisan asli saya sendiri tanpa bantuan orang lain selain pembimbing dan narasumber yang diketahui pembimbing

2) KTI ini sebagian atau seluruhnya belum pernah dipublikasikan dalam bentuk artikel ataupun tugas ilmiah lain di Universitas Diponegoro maupun di perguruan tinggi lain

3) Dalam KTI ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis orang lain kecuali secara tertulis dicantumkan sebagai rujukan dalam naskah dan tercantum pada daftar kepustakaan

Nama

: Fajar Herbowo Niantiarno

NIM : G2A008076

Program studi : Program Pendidikan Sarjana Program Studi Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Judul KTI : Prediktor Kejadian Kejang Pascaoperasi Bedah Epilepsi Lobus Temporal pada Penderita Epilepsi Lobus Temporal

Semarang, 4 Agustus 2012 Yang membuat pernyataan,


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis mendapat hikmat pengetahuan dalam menyelesaikan karya akhir ini, yang berjudul “Prediktor Kejadian Kejang Pascaoperasi Bedah Epilepsi Lobus Temporal Pada Penderita Epilepsi Lobus Temporal”.

Karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Penulis menyadari karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan dari kekurangan-kekurangan yang ada sehingga Karya Tulis ini bisa bermanfaat. Bersama ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor Universitas Diponegoro yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian.

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan keahlian.

3. dr. Muhamad Thohar Arifin, PhD, PAK, SPBS, dosen pembimbing pertama yang telah membantu dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.


(5)

v

4. dr. Hardian, dosen pembimbing kedua yang telah membantu dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Direktur RSUP. Dr. Kariadi Semarang yang telah memberikan ijin dalam melaksanakan penelitian.

6. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. Kariadi Semarang yang telah memberikan ijin dan bantuan sarana prasarana dalam melaksanakan penelitian.

7. Kedua orang tua tercinta, saudara dan teman tersayang atas dukungan moral maupun material.

8. Serta pihak lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu atas bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga Karya Tulis ini dapat terselesaikan dengan baik.

Akhir kata, kami berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat yang berlimpah bagi kita semua.

Semarang, 4 Agustus 2012


(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. LEMBAR PENGESAHAN ……… PERNYATAAN KEASLIAN ……… KATA PENGANTAR ………

DAFTAR ISI …...………

DAFTAR TABEL ………..

DAFTAR GAMBAR ……….………

DAFTAR LAMPIRAN ……….. DAFTAR SINGKATAN ……… DAFTAR ISTILAH ………

ABSTRAK ………..

ABSTRACT ………..

BAB 1 PENDAHULUAN ………...

1.1 Latar Belakang………

1.2 Permasalahan ……….

1.3 Tujuan Penelitian ………..

1.3.1 Tujuan umum ………..

1.3.2 Tujuan khusus ……….

1.4 Manfaat Penelitian ……….

1.4.1 Manfaat untuk pengetahuan ……… 1.4.2 Manfaat untuk pelayanan kesehatan dan masyarakat ………...

1.4.3 Manfaat untuk penelitian ………....

1.5 Orisinalitas ……….

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………. 2.1 Epilepsi ……… 2.1.1 Pengertian epilepsi ………. 2.1.2 Etiologi epilepsi ……….

i ii iii iv vi ix x xi xii xiii xiv xv 1 1 3 4 4 4 4 4 5 5 6 9 9 9 11


(7)

vii

2.1.3 Klasifikasi epilepsi ……… 2.1.4 Diagnosis ………... 1) Anamnesis ………. 2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis ……….... 3) Pemeriksaan penunjang ……….. 2.1.5 Penatalaksanaan epilepsi ………... 2.1.6 Evaluasi preoperasi ………

2.2 Penilaian Pascaoperasi ……….

2.3 Prediktor Status Bebas Kejang Pascaoperasi ………... 2.3.1 Karakteristik klinis pasien ……….. 2.3.2 Evaluasi preoperasi ………. BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS... 3.1 Kerangka Teori ……… 3.2 Kerangka Konsep ……….... 3.3 Hipotesis ……….. BAB 4 METODE PENELITIAN………. 4.1 Ruang lingkup penelitian ………. 4.2 Tempat dan waktu penelitian ………... 4.3 Jenis dan rancangan penelitian ……… 4.4 Populasi dan sampel ……… 4.4.1 Populasi target ………... 4.4.2 Populasi terjangkau ………

4.4.3 Sampel ………...

A. Kriteria inklusi ………. B. Kriteria eksklusi ………... 4.4.4 Cara pemilihan subjek penelitian ……….. 4.4.5 Besar sampel ………..

4.5 Variabel penelitian ………...

4.5.1 Variabel bebas ………... 4.5.2 Variabel terikat ……….. 4.6 Definisi operasional ……….

12 14 14 15 15 17 22 23 24 25 30 35 35 36 37 39 39 39 39 40 40 40 40 40 41 41 41 42 42 42 43


(8)

viii

4.7 Cara pengumpulan data ………...

4.7.1 Alat ………...

4.7.2 Cara kerja ……….. 4.8 Alur penelitian ………. 4.9 Analisis data ……… 4.10 Etika penelitian ……….. BAB 5 HASIL PENELITIAN ……… 5.1 Karakteristik klinis preoperasi subjek penelitian ……… 5.2 Karakteristik Hasil Evaluasi Preoperasi Subjek Penelitian ……… 5.3 Hubungan Karakteristik Klinis Preoperasi Dengan Status Bebas Kejang

Pasca Operasi ……….

5.4 Hubungan Evaluasi Preoperasi Dengan Status Bebas Kejang

Pascaoperasi Bedah Epilepsi ……….. 5.5 Analisis Multivariat Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Status Bebas Kejang Pascaoperasi Bedah Epilepsi Lobus Temporal ………...

BAB 6 PEMBAHASAN ………

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 7.1 Kesimpulan ………. 7.2 Saran ……… DAFTAR PUSTAKA ………. LAMPIRAN 44 44 45 46 47 48 49 49 51 53 55 56 58 64 64 65 66


(9)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penelitian-penelitian tentang prediktor bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal ………... Tabel 2. Hasil survey: hasil yang berkenaan dengan kejang epilepsi ………….. Tabel 3. Klasifikasi Status Bebas Kejang Pascaoperasi ……….. Tabel 4. Definisi operasional variabel penelitian ………

Tabel 5. Analisis data ………...

Tabel 6. Karakteristik klinis preoperasi subjek penelitian ………. Tabel 7. Karakteristik hasil evaluasi preoperasi ……….. Tabel 8. Faktor risiko (karakteristik klinis preoperasi) status bebas kejang

pascaoperasi ………...

Tabel 9. Hubungan antara kesesuaian semiologi, EEG dan gambaran MRI dengan status bebas kejang pascaoperasi ……… Tabel 10. Analisis multivariat faktor yang berpengaruh terhadap status bebas

kejang pascaoperasi ……….

6 20 23 43 47 49 52

53

55


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Potongan koronal MRI ……….…… Gambar 2. PET pada penderita pada pasien dengan fotosensitif epilepsi dan

kejang parsial kompleks ……….

Gambar 3. Kerangka teori ………..

Gambar 4. Kerangka konsep ………..

Gambar 5. Desain penelitian ……….. Gambar 6. Alur penelitian ………. Gambar 7. Diagram perbandingan jenis kelamin subjek penelitian …………

31

34 35 36 39 46 50


(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical clearance

Lampiran 2. Hasil analisis Lampiran 3. Biodata mahasiswa


(12)

xii

DAFTAR SINGKATAN

ODE : Orang dengan epilepsi OAE : Obat anti epilepsi EEG : Elektroensefalogram ELT : Epilepsi lobus temporal MRI : Magnetic resonance imaging

MTS : Mesial temporal sclerosis

IED : Interictal epileptiform discharge

PET : Positron emission tomography


(13)

xiii

DAFTAR ISTILAH

Amigdalohippokampektomi : Pengangkatan sebagian hippocampus dan badan amigdala.

Semiologi : Simtomatologi. Urutan gejala dan tanda terjadinya serangan kejang

Automatisasi : Tingkah laku yang tidak bertujuan dan jelas tidak terarah diluar kesadaran dan dilakukan tanpa pengetahuan yang sadar.

Aura : Perasaan subjektif atau fenomena motorik yang mendahului dan menandai permulaan suatu serangan neurologi, terutama serangan epilepsi.


(14)

xiv ABSTRAK

Latar Belakang Perubahan status kejang pascaoperasi bedah epilepsi lobus temporal (ELT) merupakan indikator terhadap berhasilnya tindakan operasi. Karakteristik klinis pasien (usia saat operasi, usia onset epilepsi, lama epilepsi, jenis kelamin, frekuensi kejang tiap bulan, aura) dan hasil evaluasi pre opersasi (gambaran semiologi, rekaman elektroensefalogram (EEG) serta gambaran

magnetic resonance imaging (MRI) diduga sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap status bebas kejang pascaoperasi.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada status bebas kejang pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal Metode Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan rancangan kasus kelola. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling. Subjek adalah pasien pascaoperasi ELT sebanyak 20 pasien yang tidak bebas kejang sebagai kasus dan 41 pasien yang bebas kejang sebagai kontrol. Variabel merupakan karakteristik klinis dan hasil evaluasi preoperasi didapatkan dari data rekam medis. Data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney,uji t-tidak berpasangan dan uji Chi-square.

Hasil Faktor risiko terhadap status bebas kejang pascaoperasi ELT adalah usia onset epilepsi ≤ 10 tahun (OR:3,4;95%CI:1,0 s/d 10,9), aura non ELT (OR:23,4;95%CI:2,5 s/d 219,2) dan tidak ada gambaran fokus epilepsi pada MRI (OR:4,1;95%CI:1,6 s/d 10,9). Variabel lama menderita lebih dari sama dengan 10 tahun (OR:2,3), frekuensi kejang per bulan lebih dari empat kali (OR:2,3) dan automatisasi positif (OR:1,5) belum dapat disimpulkan sebagai faktor risiko. Kesimpulan Usia onset epilepsi yang kurang dari sepuluh tahun, aura non ELT serta tidak adanya gambaran fokus epilepsi pada MRI merupakan faktor risiko terhadap status bebas kejang pascaoperasi bedah ELT.

Kata Kunci Epilepsi lobus temporal, status bebas kejang pascaoperasi bedah ELT.


(15)

xv ABSTRACT

Background Changes in seizure-free status after surgery in patient with temporal lobe epilepsy (TLE) are indicator for the successful of surgery. Clinical characteristic (age at surgery, age at onset, duration of epilepsy, seizure frequency per month, aura) and results of preoperative evaluation (semiology, tape of electroencephalogram (EEG), result of magnetic resonance imaging (MRI)) have been linked to seizure-free status after surgery.

Aim This study aims to determine the factors that may affect seizure-free status in epilepsy patients after temporal lobe epilepsy surgery

Method This is an analytical observational studies with case control study design. The samples were taken with consecutive sampling. Subjects were 20 patients which is not seizure free after had TLE surgery (case) and 41 patients which is seizure free after had TLE surgery (control). The variables, consist of clinical characteristic and results of preoperative evaluation, were collected from medical record of the subjects. The statistical tests used were Mann Whitney , unpaired t test and Chi-square test.

Results Risk factors associated with seizure free-status after TLE surgery were age at onset of epilepsy 10 years (OR:3,4;95%CI:1,0 to 10,9), non TLE aura (OR:23,4;95%CI:2,5 to 219,2) and absence of epilepsy focus in MRI (OR:4,1;95%CI:1,6 to 10,9). Duration of epilepsy ≥ 10 years (OR:2,3), seizure frequency > 4 times per month (OR:2,3) and positive automatism (OR:1,5) can’t yet be concluded as a risk factor.

Conclusion Age at onset of epilepsy 10 years, non TLE aura, and absence of epilepsy focus in MRI were risk factors that associated with seizure-free status after surgery.


(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan suatu manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang lebih dari 24 jam yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksismal serta tanpa provokasi .1

Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di Negara berkembang yang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk pertahun.2 Bila jumlah penduduk di Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang epilepsi pertahunnya adalah 250.000. Dari banyak studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5 – 4 %. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, namun menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat kembali pada kelompok usia lanjut.3 Dengan prevalensi 0,5% dan penduduk 220 juta orang, terdapat lebih dari 1,1 juta orang dengan epilepsi (ODE) di Indonesia, dan kurang lebih 350.000 diantaranya akan jadi kebal terhadap pengobatan atau refrakter dan merupakan kandidat untuk operasi epilepsi.

Kejang yang terjadi merupakan letusan dari sekelompok sel pembangkit abnormal yang terdapat pada otak penderita. Serangan kejang


(17)

yang terjadi merupakan masalah utama yang dirasakan oleh pasien epilepsi. Oleh karena itu, terapi utama dalam penanganannya bertujuan untuk menurunkan atau bahkan meghilangkan serangan kejang yang terjadi.4 Terapi yang dilakukan dapat berupa pemberian obat anti epilepsi (OAE) atau terapi pembedahan.

Berdasarkan letak fokus kelainannya, epilepsi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis. Salah satunya adalah jenis epilepsi lobus temporal. Penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa epilepsi jenis ini merupakan jenis epilepsi yang sering terjadi dan sekitar 58%-89% berpotensi menjadi kebal terhadap terapi OAE yang diberikan. Kasus ini merupakan kandidat utama untuk tindakan pembedahan.5 Terapi bedah epilepsi merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus epilepsi, yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Salah satu jenis operasi yang sering dilakukan adalah anterior temporal lobektomi dengan amigdalohipokampektomi.

Perubahan status kejang yang membaik pascaoperasi merupakan indikator terhadap berhasilnya tindakan operasi. Perubahan status kejang pascaoperasi dapat dinilai dengan bermacam kriteria, salah satunya adalah kriteria yang dibuat oleh Engel yang terdiri dari 4 tingkat kelas.6 Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti menggolongkannya ke dalam 2 kelompok yaitu, kelompok pertama yaitu kasus dengan pasien tingkat 2, 3 dan 4 yang menunjukan tidak bebas kejang pascaoperasi, sedangakan kelompok kedua yaitu kontrol dengan pasien tingkat 1 yang menunjukan


(18)

3

bebas kejang pascaoperasi. Setelah tindakan pembedahan diharapkan pasien epilepsi tersebut dapat terbebas dari kejangnya. Usia saat operasi, usia onset epilepsi, lama epilepsi, jenis kelamin, frekuensi kejang tiap bulan, aura, automatisasi, gambaran semiologi, rekaman elektroensefalogram (EEG) serta gambaran magnetic resonance imaging

(MRI) sebelum operasi diduga oleh beberapa penelitian sebelumnya sebagai faktor yang dapat mempengaruhi prognosis status bebas kejang pada pasien pascaoperasi bedah epilepsi lobus temporal.7,8 Tetapi penelitian-penelitian tersebut tidak memasukan seluruh faktor diatas dalam penelitiannya.

Oleh karena itu, perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang dapat berpengaruh terhadap keluaran bebas kejang pada pasien pascaoperasi bedah epilepsi lobus temporal, sehingga diharapkan dapat memberikan prognosis terhadap status bebas kejang pada pasien yang akan melakukan operasi bedah epilepsi lobus temporal.

1.2 Permasalahan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Faktor-faktor apakah yang dapat menentukan status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal ?


(19)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang dapat menentukan status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui status bebas kejang pada pasien pascaoperasi bedah epilepsi lobus temporal

2) Menganalisis hubungan antara faktor-faktor karakteristik klinis preoperasi (usia saat operasi, usia onset epilepsi, lama menderita epilepsi, jenis kelamin, frekuensi kejang tiap bulan,aura dan automatisasi) dengan status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

3) Menganalisis hubungan antara hasil evaluasi preoperasi (Kesesuaian semiologi preoperasi, kesesuaian rekaman elektroensefalogram (EEG) preoperasi, kesesuaian gambaran

magnetic resonance imaging (MRI) preoperasi) dengan status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat untuk pengetahuan

1) Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit epilepsi


(20)

5

1.4.2 Manfaat untuk pelayanan kesehatan dan masyarakat

1) Memberikan informasi tentang pentingnya evaluasi preoperasi yang tepat dalam menentukan sisi lesi otak yang menjadi fokus epilepsi

2) Menjadi informasi bagi masyarakat atau khususnya penderita epilepsi untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status bebas kejang pasca operasi epilepsi lobus temporal

1.4.3 Manfaat untuk penelitian

1) Menjadi ketertarikan bagi peneliti lain untuk mencari berbagai macam faktor ataupun hal-hal yang dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pasca operasi epilepsi lobus temporal


(21)

1.5 Orisinalitas

Beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Penelitian-penelitian tentang prediktor bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

No. Peneliti, judul artikel dan jurnal

Metode Penelitian Hasil

1. Sang WJ, et al.

Prognostic factors for the surgery for mesial temporal lobe

epilepsy :

Longitudinal Analysis

20057

Jenis penelitian: Obsevasional longitudinal analisis

Subjek penelitian : 227 pasien yang sudah menjalani operasi standar anterior temporal lobektomi dengan

amigdalohippokampektomi Setting : universitas nasional Seoul, Comprehensive epilepsy centre

Jenis Operasi : anterior temporal lobektomi dengan amigdalohippocampektomi Variabel penelitian :

Faktor-faktor prognostik; usia saat operasi, usia onset, durasi epilepsi jenis kelamin, frekuensi kejang SGTCS, riwayat kejang demam, aura, interictal EEG, Ictal EEG MRI, PET, Ictal SPECT dan Wada tes

Rasio bebas kejang pada tahun pertama adalah 81,1 % dan menurun hingga 75,2% pada tahun ke 5 setelah operasi. Usia saat operasi, sclerosis

hipokampus pada MRI yang ipsilateral dengan sisi operasi signifikan terhadap hasil keluaran bebas kejang pasca operasi.

2. Watschinger SA, et al. Treatment of temporal lobe epilepsy with hippocampal

sclerosis. 20088

Jenis penelitian : Case Control

Subjek penelitian : 135 paien yang sudah melakukan anterior temporal lobektomi atau

IED unilateral pada tahun ke 1 dan 2 (p=0,037 dan p=0,034), jenis kelamin laki-laki dan


(22)

7

Tabel 1. Penelitian-penelitian tentang prediktor bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal (lanjutan)

No. Peneliti, judul artikel dan jurnal

Metode Penelitian Hasil

amigdalohippokampekto

mi, dengan usia ≥ 15

tahun dan terdapat sklerosis hipokampus unilateral yang dibuktikan dengan MRI Setting : Austria, Vienna, Neurological center Rosenhuegel Variabel Penelitian : variable terikatnya berupa status bebas kejang pasca operasi, dengan veriabel bebas ; Unilateral interictal electroencephalography (EEG) discharge (IED), durasi epilepsi, usia saat operasi, hand dystonic posturing, SGCTS.

frequensi kejang yang rendah pada tahun ke 2 (p=0,013 dan p=0,046) adalah signifikan untuk klasifikasi bebas kejang kelas I. Seluruh variable ( kecuali jenis kelamin pada tahun ke 2 p= 0,035)

kehilangan kekutan sebagai prediktor dalam klasifikasi bebas kelajng kelas II.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, perbedaan tersebut adalah :

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sang WJ, et al. metode penelitian yang digunakan berupa longitudinal analisis. Dilakukan dua kali perhitungan data, yaitu pada tahun pertama dan kelima pasca operasi yang dilakukan dengan subjek penelitiannya adalah 227 pasien dengan mesial temporal epilepsi yang telah melakukan operasi standar yaitu anterior temporal lobektomi dengan amigdalohippokampektomi dari tahun 1994 sampai dengan 2000 di pusat komprehensif epilepsi universitas nasional Seoul .7


(23)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Watschinger SA, et al. perhitungan hubungan antara variabel bebas dan status bebas kejang pascaoperasi dilakukan dalam 3 kali yaitu pada tahun 1, 2 dan 5 pascaoperasi. Penggolongan status bebas kejang pada pasien pascaoperasi tidak menggunakan klasifikasi dari engel, melainkan menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh International League Against Epilepsy

(ILAE).8

Sedangkan pada penelitian kali ini peneliti menggunakan case control sebagai metode penelitian pilihan. Subjek penelitian adalah pasien epilepsi lobus temporal yang sudah melakukan anterior temporal lobektomi dengan amigdalohipokampektomi dan sudah melakukan follow up dalam 1 tahun pascaoperasi dari tahun 1999 sampai dengan 2010 di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Penelitian kali ini juga menambahkan variabel kesesuaian semiologi, perbedaan aura serta automatisasi dimana pada penelitian sebelumnya tidak memasukannya.


(24)

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi

2.1.1 Pengertian Epilepsi

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data

World Health Organitation (WHO) menunjukan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat pada pria.2

Epilambanmein adalah asal mula kata dari epilepsi dan kata ini berasal dari Yunani yang memiliki arti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini yang melatarbelakangi adanya mitos dan rasa takut tehadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.9

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.10 Lepasnya muatan listrik secara tidak terkontrol ini dapat berakibat kejang-kejang yang dapat diawali dari lengan atau tungkai dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Jika muatan listrik yang tak terkontrol ini melewati pusat pengatur kesadaran yang terdapat pada thalamus maka dapat terjadi hilangnya kesadaran sesaat. Fenomena yang lain


(25)

seperti mulut yang mengeluarkan buih/busa pun merupakan akibat dari lepasnya muatan listrik yang tak terkontrol tersebut mengenai otot-otot pengunyah dan kelenjar saliva.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (streotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit akut.11

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus dan kronisitas.11

Seseorang baru boleh dinyatakan sebagai orang dengan epilepsi (ODE) apabila telah terbukti bahwa pada tubuh atau otak orang tersebut tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan/ disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya kelainan biokimiawi/ elektrolit dalam darah, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya desakan tulang kranium ke dalam rongga otak akibat trauma, atau adanya peradangan/ infeksi di dalam otak. Oleh karena itu, apabila ditemukan salah satu dari kelainan diatas dan orang tersebut mengalami kejang maka orang tersebut tidak bisa dikatakan epilepsi. Tetapi apabila kelainan tersebut tidak dikelola secara baik maka dapat menyebabkan perubahan pada otak yang dikemudian hari sehingga menimbulkan epilepsi.


(26)

11

2.1.2 Etiologi Epilepsi

Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai macam etiologi. Secara garis besar etiologi tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu12 :

1) Epilepsi Idiopatik

2) Epilepsi Simtomatik / Sekunder a. Trauma kepala

b. Trauma persalinan

c. Gangguan serebrovaskular d. Tumor intrakranial

e. Anoksia f. Kraniotomi g. Infeksi otak

h. Penyakit degeneratif otak i. Sklerosis multiple

j. Reaksi alergi

k. Kelainan migrasi neurona 3) Epilepsi Kriptogenik

a. Sindrom West

b. Sindrom Lennox-Gastaut c. Epilepsi mioklonik


(27)

2.1.3 Klasifikasi Epilepsi

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma epilepsi13 :

1) Berkaitan dengan letak fokus 1.A Idiopatik (primer)

a. Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)

b. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

c. primary reading epilepsy

1.B Simtomatik (sekunder) a. Lobus temporalis b. Lobus frontalis c. Lobus parietalis d. Lobus oksipitalis

e. Kronik progresif parsialis kontinua 1.C Kriptogenik

2) Umum

2.A Idiopatik (primer)

a. Kejang neonatus familial benigna b. Kejang neonatus benigna

c. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi d. Epilepsi absans pada anak


(28)

13

f. Epilepsi mioklonik pada remaja

g. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga

h. Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak 2.B Kriptogenik atau simtomatik

a. Sindroma west

b. Sindroma Lennox Gastaut c. Epilepsi mioklonik astatik d. Epilepsi absans mioklonik 2.C Simtomatik

a. Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik neonatal - Sindrom Ohtahara

b. Etiologi / sindrom spesifik - Malformasi serebral - Gangguan metabolisme

3) Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum 3.A Serangan umum fokal

- serangan neonatal

- Epilepsi mioklonik berat pada bayi - Sindroma Taissinare

- Sindroma Landau Kleffner


(29)

4) Epilepsi berkaitan dengan situasi a. Kejang demam

b. Berkaitan dengan alkohol c. Berkaitan dengan obat-obatan d. Eklamsi

e. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

Epilepsi parsial komplek, atau dulu dikenal sebagai epilepsi psikomotor, yang sebagian besar memiliki fokus epilepsi atau titik pembangkit kejang di otak samping atau lobus temporalis, merupakan bagian terbesar dari para ODE yang refrakter atau kebal.14 Sehingga untuk jenis epilepsi ini pilihan terapi yang paling baik adalah dengan melakukan terapi pembedahan.

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakan.15

1) Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh karena pemeriksaan hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :

a. Pola / bentuk serangan b. Lama serangan


(30)

15

c. Gejala sebelum, selama dan pascaserangan d. Frekuensi serangan

e. Faktor pencetus

f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g. Usia saat serangan terjadinya pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan i. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3) Pemeriksaan Penunjang

A. Elektroensefalografi ( EEG )

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakan diagnosis epilepsi. Adanya kelaianan fokal pada EEG menunjukan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan


(31)

adanya kelainan umum pada EEG menunjukan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal : 1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di

kedua hemisfer otak

2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya

3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada orang

normal, misalnya gelombang tajam, paku

(spike), paku-ombak, paku majemuk dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal

Pada keadaan tertentu pemeriksaan EEG dapat membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).16

B. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan Computer Tomography Scan (CT Scan) maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. Salah satu manfaat dari MRI adalah dapat membandingkan hippokampus kiri dan kanan.15,17 Functional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computed Tomography

(SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam menyediakan informasi tambahan mengenai dampak perubahan


(32)

17

metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.16

2.1.5 Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat ODE terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini/ seawal mungkin.18 Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus menerus terjadi maka banyak sel-sel otak kita yang menjadi lemah, bahkan mengalami kematian, dan ini dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.19 Sehingga dapat disimpulkan upaya terbaik untuk mengatasi kejang dan efeknya harus dilakukan terapi yang sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.18 Secara umum terapi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :

1) Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat adalah 4 jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia. Prinsip pengobatan dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang. Obat-obatan ini harus terus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Penggunaan OAE harus terus diteruskan


(33)

walaupun sudah dapat mengatasi serangan epilepsi kecuali terdapat tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat.18

1.A Eplepsi yang kebal obat (refrakter)

Penderita epilepsi dikatakan refrakter apabila penderita tersebut mengalami kekebalan terhadap 4 OAE baku tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun kombinasi, dengan dosis yang cukup (kadar terapetik) dan dalam waktu kurang lebih 2 tahun tetapi ODE tetap saja mengalami serangan epilepsi atau terdapat tanda kercaunan obat.

Meskipun dengan ditemukannya berbagai macam OAE yang lebih modern, sekitar 30-40% ODE terus saja mengalami serangan kejang, dan sebagian dari ODE refrakter ini akan mendapatkan kebaikan dengan tindakan bedah epilepsi.20 Epilepsi parsial komplek, atau dulu dikenal sebagai epilepsi psikomotor, yang sebagian besar memiliki fokus epilepsi di otak samping atau lobus temporalis, merupakan bagian terbesar dari para ODE yang refrakter ini.14 Bagi ODE dengan epilepsi yang refrakter ini, hidup adalah perjuangan menghadapi serangan kejang dan mengatasi efek samping berbagai macam OAE yang dikonsumsi. Bila berlangsung cukup lama, keadaan ini akan mengganggu hubungan psikososial, pendidikan dan pekerjaan, dan bisa menyebabkan turunnya kualitas hidup ODE.21-23 Kebanyakan mereka telah mendapatkan banyak macam kombinasi OAE yang sebagian bisa berpengaruh pada perilaku ODE . Berdasarkan atas akibat buruk yang ditimbulkan epilepsi refrakter ini, perlu dilakukan upaya pencegahan dan paling tidak upaya mengenali


(34)

19

secara dini ODE yang kelak akan mengalami keadaan refrakter ini, sehingga upaya pengobatan yang efektif seperti pembedahan dapat dilakukan. Pada anak dan remaja, tindakan bedah yang membuat bebas kejang akan mencegah kerusakan otak akibat kejang, serta mencegah pengaruh buruk kejang secara psikososial, dan pada akhirnya akan bisa meningkatkan kualitas hidup ODE.

Dasar-dasar biologik dan faktor-faktor resiko terjadinya epilepsi refrakter ini telah banyak dipelajari akhir-akhir ini, sehingga kriteria untuk definisi refrakter juga berkembang terus. Dan kemajuan pesat dalam bidang pencitraan (neuroimaging) otak memiliki peran penting dalam menentukan kelaikan ODE yang refrakter ini untuk suatu tindakan bedah epilepsi.24

2) Terapi Bedah Epilepsi

Terapi bedah epilepsi merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Operasi diindikasikan terutama untuk kasus epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis-jenis bedah epilepsi yang dilakukan berdasarkan letak fokus infeksi, yaitu :

a. Operasi bedah epilepsi lobus temporal

Tidak ada keraguan bahwa pasien dengan lesi temporal mesial mendapatkan hasil terbaik setelah dilakukan operasi epilepsi. Calon ideal untuk dilakukan operasi temporal yaitu pasien dengan memiliki riwayat


(35)

kejang khas dengan onset pada lobus temporal medial, aura epigastrium awal menjadi modus yang paling umum dari onset.25

Tabel 2. Hasil survey: hasil yang berkenaan dengan kejang epilepsi 26 Klasifikasi Hemispherektomi Anterior

temporal lobektomi Reseksi Extratemporal Reseksi corpus callosum Total pasien Total tempat No seizure-free No improved

No not

improved 88 17 68 16 4 2336 40 1296 648 392 825 32 356 229 240 197 16 10 140 47

Tindakan bedah untuk melenyapkan serangan kejang dianjurkan pada epilepsi lobus temporalis, yang merupakan jenis epilepsi yang paling sering terjadi dan jenis ini pula yang paling “bandel” dan paling kebal terhadap obat-obatan.6 Telah diketahui dari banyak telaah bahwa pembedahan memberikan hasil bebas kejang pada 65%, dan perbaikan pada 21%, sedangkan yang tidak bertambah baik cuma 14%.29 Hasil sebuah studi membandingkan tindakan bedah dengan penggunaan OAE secara optimal pada epilepsi lobus temporal, dan terbukti bahwa pembedahan jauh lebih baik (angka bebas kejang 64%) dibandingkan dengan terapi OAE secara optimal (hanya 8% bebas kejang).27 Tindakan bedah memberikan manfaat yang lebih besar untuk kelainan epilepsi lobus temporalis dan epilepsi parsial lain yang disebabkan oleh kelainan otak yang terbatas (localized


(36)

21

neocortical lesion), ketimbang pengobatan OAE.28 Oleh karena itu amat dianjurkan untuk merujuk mereka ke pusat-pusat pembedahan untuk epilepsi.28

b. Eksisi korteks ekstratemporal

Hasil dari prosedur tersebut agak kurang memuaskan jika dibandingkan dengan operasi lobus temporal tetapi cukup dapat dipertimbangkan pada pasien dengan lesi extratemporal lokal yang telah didefinisikan oleh teknik pencitraan dan pada pasien di mana dari investigasi neurofisiologis mengungkapkan onset fokus yang konsisten untuk kejang luar lobus temporal. Kejang parsial kompleks yang timbul dari daerah frontal-orbital mungkin sangat dibantu dengan operasi.29

c. Hemisferektomi

Prosedur ini mungkin tidak cocok untuk pasien dengan epilepsi yang bandel dan pada anak dengan hemiplegi dan jarang juga pada anak-anak dengan ensefalitis kronis fokal progresif (Rasmussen‟s syndrome). Secara keseluruhan, 70%-80% pasien menjadi bebas dari kejang setelah operasi ini, dan kelainan perilaku juga dapat meningkat.

d. Callosotomi

Bagian corpus callosum dan commissure hippokampus merupakan prosedur paliatif diterima untuk terjadinya kejang umum sekunder yang tidak terkontrol.30 kriteria seleksi untuk callosotomi corpus didefinisikan lebih buruk daripada prosedur bedah lainnya. Operasi ini paling sering dianggap pada anak-anak dan remaja dengan epilepsi sangat parah, dengan


(37)

asal multifokal untuk kejang, atau dengan onset kejang tiba-tiba yang mengakibatkan jatuh.

2.1.6 Evaluasi Preoperasi 1) Evaluasi umum pra-operasi

Terdapat dua hal pokok yang harus ditentukan pada evaluasi umum pra-operasi yaitu :

a. Bangkitan timbul dari sklerosis hippocampus atau lesi lain di otak b. Konsekuensi reseksi hippocampus atau lesi lain terhadap kontrol

kejang, sekuele neuropsikologi, neurologi dan psikiatri serta pengaruh terhadap kualitas hidup.

2) Evaluasi khusus pra-operasi a. Tipe kejang

b. Lokasi awitan kejang pada EEG c. Ada tidak adanya lesi intrakranial

d. Status klinik dan perkembangan penyandangan e. Riwayat alamiah dari sindrom epilepsi

Data minimal yang harus tersedia sebelum melakukan operasi bedah epilepsi :

a. Semiologi

b. EEG interiktal dan iktal

c. MRI protokol epilepsi sebaiknya 1,5 teslah d. Psikologi


(38)

23

Bila terdapat ketidaksesuaian data hasil pemeriksaan maka pemeriksaan bisa diulang. Bila masih tidak sesuai dapat dilakukan Positron Emission Tomography (PET scan) / EEG intrakranial.

2.2 Penilaian Pascaoperasi

Setelah melakukan operasi epilepsi lobus temporal, diharapkan penderita epilepsi dapat terbebas dari serangan kejang yang terjadi. Status bebas kejang merupakan komponen penting dalam penilaian keberhasilan pasca operasi epilepsi lobus temporal. Engel, et al. mengklasifikasikannya kedalam empat tingkatan.31

Tabel 3. Klasifikasi Status Bebas Kejang Pascaoperasi

Kelas Keterangan

Kelas I  Tidak pernah kejang pasca operasi

 Aura (+/-) tidak berlanjut kejang

 Dapat kembali kejang, tetapi setelah melewati masa 2 tahun dengan bebas kejang

 Kejang general atipik hanya terjadi akibat putus OAE

Kelas II  Frekuensi kejang yang jarang pasca operasi

 Diawali dengan bebas kejang pasca operasi tetapi kini terdapat kejang dengan frekuensi yang jarang (tidak lebih dari dua kali dalam satu tahun)

 Hanya kejang nocturnal, tanpa menyebabkan kecacatan

Kelas III  Pengurangan kejang yang bermakna > 75 % dari sebelumnya


(39)

2.3 Prediktor Status Bebas Kejang Pascaoperasi

Dalam keadaan sebenarnya, tidak semua pasien akan menjadi bebas kejang atau dapat kembali mengalami kejang setalah sementara waktu terbebas dari kejangnya (relaps) setelah melakukan operasi. Rasio kekambuhan (relaps) bisa dikatakan cukup tinggi yaitu sekitar 25%-30%. Dalam beberapa studi mengaitkan hal ini dengan diskontinuitas penggunaan obat anti epilepsi pascaoperasi, walaupun dalam dua penelitian terakhir tidak menemukan adanya hubungan antara kedua hal tersebut.32

Oleh karena hal tersebut, kebutuhan akan penelitian tentang prediktor yang dapat mempengaruhi keadaan status bebas kejang pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal masih diperlukan. Beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti berbagai macam faktor yang diduga dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu : usia saat operasi, usia onset epilepsi, lama menderita epilepsi, frekuensi kejang, jenis kelamin, bangkitan umum sekunder, riwayat kejang demam, aura, sisi operasi, interictal dan ictal EEG, gambaran MRI, gambaran PET, dan ictal SPECT.7, 8

Tabel 3. Klasifikasi Status Bebas Kejang Pascaoperasi (lanjutan)

Kelas Keterangan

Kelas IV  Pengurangan kejang yang tidak signifikan

 Tidak ada perubahan yang cukup besar


(40)

25

Dalam penelitian kali ini peneliti mencoba menggolongkan faktor-faktor tersebut kedalam dua kelompok besar, karakteristik klinis pasien ( usia saat operasi, usia onset epilepsi, lama menderita epilepsi, frekuensi kejang, jenis kelamin, bangkitan umum sekunder, riwayat kejang demam, aura, automatisasi ) dan evaluasi pre-operasi (sisi operasi, data semiologi, interictal dan ictal EEG, gambaran MRI, Gambaran PET dan ictal SPECT)

2.3.1 Karakteristik Klinis Pasien 1) Usia saat operasi

Penderita epilepsi yang kebal terhadap OAE (refrakter) merupakan kandidat utama untuk melakukan operasi. Hal ini terutama ditujukan untuk balita dan anak-anak dimana terdapat kecendrungan serangan kejang yang mereka alami akan menyebabkan encephalopati.33 Dengan kata lain, operasi epilepsi yang lebih dini harus direkomendasikan. Dan hal ini akan memberikan keuntungan terhadap status neurobehavioralnya, khususnya dalam mengkontrol kejang, sehingga akan meningkatkan kualitas hidup secara utuh.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sang WJ, et al. usia saat operasi merupakan salah satu variabel yang bermakna. Pada analisis data terhadap pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal di Semarang rasio bebas kejang memberikan hasil positif jika melakukan operasi pada usia sebelum 25 tahun.34 2) Usia onset epilepsi

Epilepsi adalah penyakit yang dimulai pada usia “ekstrim” dalam kehidupan khususnya pada negara industri. Insidensi spesifik pada epilepsi secara konsisten tinggi pada usia kelompok sangat muda dengan insidensi tertinggi pada


(41)

bulan-bulan awal kehidupan, selanjutunya turun secara dramatis setelah tahun pertama kehidupan. Lalu relatif stabil pada usia dewasa dan kembali tinggi pada usia tua .

Beberapa tipe kejang dapat dimulai pada usia-usia tertentu. Tingkat keparahan dari epilepsi juga dapat ditentukan dari usia berapa serangan epilepsi tersebut terjadi. Sebagai contoh, kejang parsial yang terjadi pada bulan pertama kehidupan atau pada neonatus, sering disebabkan oleh adanya komplikasi pada saat persalinan, misal persalinan macet, dan adanya kelainan metabolik bawaan. Contoh lain adalah epilepsi Rolandik, yaitu kejang parsial simpel yang dimulai pada usia 4-10 tahun. Pada jenis-jenis ini epilepsi yang terjadi adalah jenis ringan dengan prognosis yang biasanya baik.35

3) Lama menderita epilepsi

Frekuensi kejang yang tinggi, waktu kejang yang panjang, dan episode status epileptikus memiliki kecendrungan untuk menyebabkan penurunan fungsi kongnitif. Pengobatan yang tidak adekuat terhadap epilepsi yang terjadi dalam jangka waktu lama menyebabkan terganggunya fungsi psikososial yang berdampak pada menurunnya kualitas hidup (pencapaian akademik yang rendah, tidak mandiri dan gaya hidup yang terbatas). Berdasarkan penelitian di Semarang bahwa lama menderita juga dapat berpengaruh terhadap rasio bebas kejang yang didapatkan setelah operasi. Lama menderita kurang dari 10 tahun memiliki nilai yang bermakna untuk rasio bebas kejang.34 Hennessy MJ, et al. menambahkan bahwa lama menderita merupakan predictor yang bermakna terhadap keluaran bebas kejang yang baik.36


(42)

27

4) Frekuensi Kejang

Epilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.12 Atas dasar tersebut frekuensi kejang yang terjadi merupakan komponen penting dalam perjalanan epilepsi. Setiap jenis epilepsi berpengaruh terhadap jumlah serangan kejang yang dapat terjadi.

Frekuensi kejang yang tinggi, waktu kejang yang panjang, dan episode status epileptikus memiliki kecendrungan untuk menyebabkan terjadinya kerusakan sel otak. Kerusakan tersebut terjadi akibat keadaan hipoksia yang dialami penderita ketika mengalami serangan kejang. Akibatnya akan terjadi kelainan atau kerusakan yang lebih luas pada sel otak sehingga dapat berpotensi menimbulkan serangan kejang yang lain dikemudian hari, terlepas dia sudah tertangani atau belum. Dua penelitian sebelumnya menyatakan perbedaan hasil mengenai pengaruh frekuensi kejang preoperasi dengan keluaran kejang passcaoperasi. Watschinger SA, et al. menyatakan bahwa frekuensi kejang yang rendah merupakan faktor prognostik yang baik terhadap keluaran bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal.8 Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sang WJ, et al. frekuensi kejang tidak bermakna terhadap keluaran kejang yang terjadi pascaoperasi.7

5) Bangkitan tonik-klonik umum sekunder

Merupakan suatu bangkitan yang berawal dari bangkitan parsial/kompleks yang dalam waktu singkat dapat berubah menjadi bangkitan umum yang biasanya


(43)

berupa tonik-klonik. Bangkitan ini sulit dibedakan secara klinis dengan bangkitan umum primer dan hanya secara pasti dibedakan berdasarkan rekaman EEG.

Keberadaan bangkitan tonik-klonik umum sekunder merupakan faktor prognostik terhadap keluaran kejang yang baik pascaoperasi.7 sedangkan penelitian lain menyatakan bahwa bangkitan tonik-klonik umum sekunder tidak bermakna terhadap keluaran bebas kejang.8

6) Jenis kelamin

Pada banyak penelitian menyatakan bahwa angka kejadian epilepsi lebih sering terjadi pada pria disbanding dengan wanita. Hal ini dipertegas dengan banyaknya faktor risiko yang ditemukan pada pria dan dapat memicu epilepsi sepperti cedera kepala, stroke, serta infeksi sistem saraf pusat.

7) Riwayat kejang demam

Serangan atau kejang epilepsi tidak sama dengan kejang demam. Berdasarkan konsensus National Institute of Health (NIH) kejang demam adalah “suatu kejadian kejang yang terjadi pada infant atau pada awal masa kanak-kanak, biasanya terjadi antara usia tiga bulan hingga lima tahun, berhubungan dengan demam tetapi tanpa terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain yang sudah diketahui”.37

Sebuah studi populasi menerangkan bahwa 15% dari seluruh kasus epilepsi dengan onset saat masa kanak-kanak didahului oleh kejang demam. Tetapi dari seluruh anak yang mengalami kejang demam hanya 5% yang berkembang menjadi epilepsi.38 Penemuan terbaru yang dilakukan oleh Falconer bahwa kejang demam yang terjadi pada masa kanak-kanak berasosiasi dengan


(44)

29

perkembangan epilepsi di kemudian hari dan ditemukan pula sklerosis temporal pada 30% kasus.39

Tonini C, et al. menyatakan bahwa riwayat kejang demam memiliki nilai yang bermakna positif terhadap prognosis status bebas kejang yang terjadi pasca operasi epilepsi.40 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sang WJ, et al. riwayat kejang demam tidak memiliki nilai yang bermakna terhadap prognosis status bebas kejang yang terjadi pascaoperasi.

8) Aura

Perasaan yang dialami oleh penderita epilepsi pada permulaan serangan, sesaat sebelum kesadaran menghilang disebut aura. Tidak seluruh tipe epilepsi mengalami aura disaat permulaan kejang, hanya jenis grand mall dan epilepsi lobus temporal saja yang mengalami aura sesaat sebelum serangan kejang. Aura yang terjadi dapat bermacam-macam diantaranya adalah merasa sakit perut atau tidak enak perut atau merasakan sensasi di lidah (rasa asam, manis atau asin) dimana jenis aura ini berkorelasi dengan letak fokus epilepsi yang berada di lobus temporal (aura TLE), tetapi pada tumor juga dapat memberikan gejala yang sama. Kandidat operasi epilepsi dengan aura harus mendapatkan perhatian lebih untuk menghindari adanya defisit postoperatif. Tetapi sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sang WJ, et al. meneliti bahwa kejadian aura sebelum operasi bukan merupakan faktor prognostik terhadap keluaran bebas kejang pascaoperasi.7 9) Automatisasi

Tingkah laku yang tidak bertujuan dan jelas tidak terarah diluar kesadaran dan dilakukan tanpa pengetahuan yang sadar disebut automatisasi. Tingkah laku tersebut muncul akibat dari serangan epilepsi yang mengenai bagian tertentau dari


(45)

otak yang mengatur tingkah laku tersebut.50 Oleh karena itu, informasi yang baik tentang automatisasi yang terjadi dapat digunakan dalam penentuan sisi otak yang diduga sebagai fokus epilepsi. Namun belum ada penelitian yang memasukan automatisasi sebagai salah satu hal yang dipertimbangakan dapat mempengaruhi status bebas kejang pascaoperasi.

2.3.2 Evaluasi Pre-Operasi 1) Semiologi

Berdasarkan letak fokus kelainannya, epilepsi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis. Salah satunya adalah jenis epilepsi lobus temporal. Epilepsi jenis ini merupakan jenis epilepsi yang sering berpotensi menjadi kebal terhadap terapi OAE yang diberikan dan tentunya merupakan kandidat untuk tindakan operasi.5 Pada tipe ini, serangan biasanya dimulai dengan adanya aura. Selanjutnya penderita dapat menjadi diam, melihat kosong (pandangan orang tidak sadar) atau menjadi pucat. Keadaan ini akan segera disusul oleh gerakan-gerakan motorik yang dapat bermacam-macam bentuknya (automatism), misalnya : mengunyah, menepuk badan, membuka baju ataupun mengucapkan kalimat tanpa tujuan. Automatisme ini dapat terjadi selama 1-2 menit, jarang lebih dari 5 menit dan kejadian ini berlangsung disaat kesadaran penderita menurun.41 Rentetan kejadian serangan epilepsi ini disebut sebagai semiologi. Semiologi merupakan salah satu hal yang penting untuk dijadikan evaluasi pre operasi dalam pengambilan keputusan untuk menentukan sisi otak penderita yang merupakan fokus epilepsi atau zona epileptogenik yang disebut sebagai lateralisasi dan untuk selanjutnya sisi tersebut akan “diangkat” melalui prosedur operasi. Dengan kata lain


(46)

31

keberhasilan bedah epilepsi tergatung dari presisi penentuan zona epileptogenik, dimana semiologi merupakan salah satu unsurnya.

2) Gambaran Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Hingga saat ini MRI adalah alat pencitraan terbaik yang digunakan sebagai alat diagnostik epilepsi, khususnya pada epilepsi parsial atau epilepsi yang memiliki bentuk dan urutan gerakan sebelum dan saat kambuh dimana bentuk dan urutan tersebut menunjukan adanya gangguan pada darah tertentu di otak.

Pada beberapa studi yang terbatas hanya pada epilepsi lobus temporalis membuktikan bahwa MRI mampu mengenali adanya sklerosis hippokampus atau mesial temporal sklerosis (MTS) berupa volume hippokampus yang relatif lebih kecil dan terlihat lebih terang.42 Pada 90% dari 80%-90% kasus epilepsi dengan MTS ini akan bebas kejang setelah dilakukan pembedahan. Oleh karena hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa deteksi adanya MTS pada MRI merupakan petunjuk sisi otak samping atau lobus temporal yang epileptik dan merupakan prediktor akan hasil yang baik setelah pembedahan.7,36

A B

Gambar 1.Potongan koronal MRI (A) Hippokampus bilateral normal. (B) Sklerosis hippokampus bilateral


(47)

3) Peranan Elektroensefalogram (EEG)

Sel-sel otak memiliki keistimewaan yang berupa kemampuan untuk membangkitkan aktivitas listrik dan menghantarkan aktifitas listrik tersbut melalui sarafnya. Dan elektroensefalogram merupakan alat yang digunakan untuk merekam aktifitas listrik otak tersebut. Saat ini, penggunaan EEG sangat membantu dalam menetukan atau member informasi tentang lokasi zona epiletogenik apabila pada pencitraan MRI „tampak normal‟ atau tidak terlihat adanya kelainan. Ada beberapa macam tingkatan pada pemeriksaan EEG pada penderita epilepsi, dengan tingkat kepekaan diagnostic yang berbeda yaitu :

1. Scalp EEG (EEG pada permukaan kulit kepala) 2. EEG dengan elektroda pada foramen ovale

3. EEG intrkranial, baik subdural ataupun intraserebral

Dari ketiga jenis teknik pemasangan EEG yang ada, EEG intrakranial memiliki nilai sensitifitas yang paling tinggi. Tekhnik ini digunakan untuk memastikan zona epileptogenik yang tidak dapat divisualisasikan oleh MRI. Sedangkan EEG dengan elektroda pada foramen ovale lebih sering digunakan unutk menentukan lateralisasi (sisi otak yang menjadi pembangkit kejang) pada pasien yang dicurigai sebagai pasien epilepsi lobus temporal dengan gambaran MRI yang meragukan. EEG juga dapat membantu menentukan batas-batas permukaan otak yang aman untuk dipotong dan dibuang pada epilepsi yang zona epileptogeniknya berdekatan dengan eloquent cortex.

Beberapa penelitian mengenai predictor keluaran kejang yang terjadi pasca operasi memasukan pemeriksaan EEG sebagai salah satu faktor yang dapat


(48)

33

mempengaruhinya. Bell ML, et al. menyatakan tidak adanya interictal epileptiform discharge (IED) yang kontralateral dengan sisi operasi atau ekstratemporal merupakan faktor preoperatif yang berhubungan dengan keluaran kejang paskaoperasi yang baik (engel class I).43

4) Gambaran Positron Emission Tomography (PET)

PET adalah alat pencitraan yang dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis epilepsi. Pada gambaran PET akan terlihat area hipometabolisme yang mungkin berhubungan dengan zona epileptogenik. Penggunaan PET lebih berperan dalam diagnosis epilepsi ekstratemporal. Beberapa studi yang terbatas pada PET dengan kasus epilepsi lobus temporal, selalu mengkonfirmasi pencitraan PET dengan penemuan pencitraan yang lainnya, dan diduga dapat berkontribusi dalam penilaian keluaran kejang setelah operasi.44 Prediksi tentang keluaran kejang adalah masalah utama yang penting setelah melakukan operasi pada pasien epilepsi lobus temporal. Studi terakhir menyatakan bahwa

fluorodeoxyglucose Positron Emission Tomography (FDG PET) dapat dipercaya sebagai indikator terhadap keluaran kejang pascaoperasi. keberadaan dan keparahan atas hipometabolisme lobus temporal telah dinyatakan berhubungan dengan kekambuhan kejang setelah melakukan operasi.45 Sedangkan apabila terdapat hipometabolisme korteks ekstratemporal pada FDG PET diduga berhubungan dengan keluaran kejang yang buruk setelah operasi epilepsi lobus temporal.45


(49)

5) Ictal Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

Ictal SPECT secara teknis membutuhkan dan memerlukan kerjasama antara pusat monitor epilepsi yang ada dengandepartemen pengobatan nuklir dalam penggunaannya. Usaha itu tentunya dilakukan untuk mendapatkan keuntungan. Pada beberapa kasus hanya dengan menggunakan ictal SPECT saja dapat menentukan zona epileptogenik dan melanjutkan untuk pembedahan tanpa dibutuhkan implantasi intrakranial. Bell ML, et al. mengemukakan bahwa pengurangan ictal SPECT yang dicocokan dengan abnormalitas pada MRI dan berlokalisasi di sisi operasi merupakan faktor preoperatif yang berkorelasi dengan klsifikasi engel kelas I. Sedangkan pada penelitian lain ada yang menyatakan bahwa ictal SPECT tidak bermakna menjadi faktor prognostik status kejang pascaoperasi.

Gambar 2. Sebuah area dengan penurunan ambilan glukosa pada dasar dari lobus temporal sebelah kiri (panah) pada pasien dengan fotosensitif epilepsi dan

kejang parsial kompleks. Pada kasus ini gambaran MRI menunjukan normal Sumber : Berlangieri S.


(50)

35

BAB 3

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN

HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Gambar 3. Kerangka Teori

Epilepsi

Frekuensi kejang

Usia Onset Usia Operasi

Riwayat kejang demam

Aura

Lama menderita

SPECT SISCOM

Status bebas kejang pascaoperasi bedah epilepsi lobus temporal

Obat anti epilepsi Karakteristik

Klinis Preoperasi

PET Evaluasi

preoperasi

Kesesuaian Semiologi Kesesuaian

EEG Kesesuaian

MRI

Jenis Kelamin


(51)

3.2 Kerangka Konsep

Gambar 4. Kerangka Konsep Epilepsi

Usia Operasi Usia Onset Epilepsi

Lama Menderita Epilepsi Jenis Kelamin Frekuensi Kejang

Aura

Kesesuaian Semiologi Kesesuaian EEG Kesesuaian MRI

Status bebas kejang

pascaoperasi bedah epilepsi lobus temporal Automatisasi


(52)

37

3.2 Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang dan tinjauan pustaka, maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Usia saat operasi dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

2. Usia onset epilepsi dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

3. Lama menderita epilepsi dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

4. Jenis kelamin pasien epilepsi dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

5. Frekuensi kejang dalam satu bulan dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

6. Kejadian aura dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

7. Kejadian automatisasi dapat mempengaruhi status bebas kejang pada pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

8. Kesesuaian hasil pemeriksaan semiologi dapat mempengaruhi status bebas kejang pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal

9. Kesesuaian hasil rekaman electroencephalogram dapat mempengaruhi status bebas kejang pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal


(53)

10.Kesesuaian hasil gambaran magnetic resonance imaging dapat mempengaruhi status bebas kejang pasien pascaoperasi epilepsi lobus temporal


(54)

39

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Ruang lingkup penelitian

Ilmu bedah saraf khususnya bidang bedah epilepsi. l

4.2 Tempat dan waktu penelitian

Dilakukan di bangsal Bedah Saraf RSUP Dr. Kariadi Semarang. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.

4.3 Jenis dan rancangan penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control.

Gambar 5. Desain Penelitian Faktor Risiko (+)

Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (+)

Faktor Risiko (-)

Kasus (+)

Kontrol (-)


(55)

4.4 Populasi dan sampel 4.4.1 Populasi target

Pasien epilepsi lobus temporal. 4.4.2 Populasi terjangkau

Pasien epilepsi lobus temporal yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang.

4.4.3 Sampel

Pasien epilepsi lobus temporal yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode penelitian.

A. Kriteria inklusi

1. Penderita epilepsi lobus temporal yang telah dilakukan operasi epilepsi lobus temporal (anterior temporal lobektomi dengan amigdalohippokampektomi)

2. Penderita epelepsi lobus temporal yang telah melewati satu tahun operasi

3. Penderita epilepsi yang tidak sedang disertai penyakit lain yang dapat menimbulkan kejang

4. Penderita epilepsi lobus temporal yang memiliki kelengkapan data mengenai faktor-faktor yang diteliti (usia saat operasi, usia onset epilepsi, lama epilepsi, jenis kelamin, frekuensi kejang tiap bulan, aura, automatisasi, gambaran semiologi, rekaman elektroensefalogram serta gambaran magnetic resonance imaging) pada rekam medis.


(56)

41

B. Kriteria eksklusi

1. Penyakit neurologi (bukan epilepsi) yang dapat menibulkan kejang 2. Pasien epilepsi lobus temporal yang belum menjalani operasi dan

belum melewati satu tahun operasi 3. Data pada rekam medis tidak lengkap 4.4.4 Cara pemilihan subjek penelitian

Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan cara consecutive sampling, yaitu berdasarkan kedatangan subjek penelitian di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Pengambilan sampel dihentikan setelah jumlah sampel terpenuhi.

4.4.5 Besar sampel

Besar sampel minimal dalam penelitian ini didapat dengan rumus:

√ √

n = jumlah sampel yang diperlukan

Zα = Kesalahan tipe 1 = 5 % (hipotesis dua arah); Zα = 1,96 Zβ = Kesalahan tipe II = dengan power 80 % = 0,842

OR = 4,04 P2 = 0,478


(57)

4.5 Variabel penelitian 4.5.1 Variabel bebas

Faktor – faktor prognostik yang meliputi : 1) Usia saat operasi

2) Usia onset epilepsi 3) Lama menderita epilepsi 4) Jenis kelamin

5) Frekuensi kejang tiap bulan 6) Aura

7) Automastisasi

8) Kesesuaian semiologi preoperasi

9) Kesesuaian rekaman elektroensefalografi (EEG) preoperasi 10) Kesesuaian gambaran magnetic resonance imaging (MRI)

preoperasi 4.5.2 Variabel terikat

Status bebas kejang pasien pasca operasi epilepsi lobus temporal.


(58)

43

4.6 Definisi operasional

Tabel 4. Definisi operasional variabel penelitian

No. Variabel dan Definisi Operasional Unit/ Kategori Skala

1. Status bebas kejang pasien pasca operasi epilepsi lobus temporal

Hasil pengukuran status bebas kejang pasien epilepsi lobus temporal yang dilakukan setelah satu tahun pasca operasi epilepsi lobus temporal.

1) Bebas kejang (kelas engel 1) 2) Tidak bebas kejang (engel 2,3 dan 4)

Nominal

2. Usia saat operasi

Usia pasien saat menjalankan operasi epilepsi lobus temporal dan tercatat dalam rekam medis.

Tahun

1) Usia pasien ≤ 25 tahun

2) Usia pasien > 25 tahun

Nominal

3. Usia onset epilepsi

Usia pasien ketika didiagnosa oleh tim medis menderita epilepsi dan tercatat dalam rekam medis

Tahun 1) 0-10

2) 11-30

Nominal

4. Lama menderita epilepsi

Rentang waktu pertama kali penderita di diagnosa epilepsi lobus temporalis sampai dengan waktu operasi

Tahun

1) < 10 tahun 2) ≥ 10 tahun

Nominal

5. Jenis kelamin

Jenis kelamin pasien epilepsi lobus temporalis dan tercatat dalam rekam medis

1) Laki-laki 2) Perempuan

Nominal

6. Frekuensi kejang tiap bulan

Jumlah serangan kejang dalam satu bulan sebelum operasi dan didapatkan dari hasil anamnesis serta tercatat dalam rekam medis

1) < 4 kali per bulan 2) > 4 kali per bulan

Nominal

7. Aura

Perasaan yang dialami pasien sebelum operasi pada permulaan serangan epilepsi, sebelum kesadaran mengilang dan didapatkan dari anamnesis. Aura epilepsi lobus temporal (ELT) menunjukan bahwa fokus epilepsi kemungkinan besar berada di lobus temporal (panik, cemas, de javu,

gejala gastrointestinal spesifik untuk ELT)

1) Aura non epilepsi lobus temporal (ELT) 2) Aura epilepsi lobus temporal (ELT)


(59)

Tabel 4. Definisi operasional variabel penelitian (lanjutan)

No. Variabel dan definisi operasional Unit / Kategori Skala

8. Automatisasi

Tingkah laku yang tidak bertujuan dan jelas tidak terarah diluar kesadaran dan dilakukan tanpa pengetahuan yang sadar.

1) Positif 2) Negatif

Nominal

9. Kesesuaian semiologi preoperasi

Kesesuaian hasil pemeriksaan semiologi dengan sisi otak yang dioperasi dan tercatat pada rekam medis

1) Ipsilateral 2) Kontralateral 3) Negatif

Nominal

10. Kesesuaian rekaman elektroensefalografi preoperasi

Kesesuaian hasil rekaman

electroencephalogram preoperasi dengan sisi otak yang dioperasi dan tercatat dalam rekam medis

1) Ipsilateral 2) Kontralateral 3) Bilateral 4) Negatif

Nominal

11. Kesesuaian gambaran magnetic resonance imagaing preoperasi

Kesesuaian hasil gambaran magnetic resonance imaging preoperasi dengan sisi otak yang dioperasi dan tercatat dalam rekam medis

Ada gambaran fokus epilepsi (ipsilateral, kontralateral dan bilateral)

Tidak ada gambaran fokus epilepsi (negatif)

1) Tidak ada

gambaran fokus epilepsi

2) Ada gambaran fokus epilepsi

Nominal

4.7 Cara pengumpulan data 4.7.1 Alat

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medik pasien epilepsi lobus temporal yang telah melakukan operasi epilepsi lobus temporal di RSUP Dr. Kariadi Semarang.


(60)

45

4.7.2 Cara kerja

1. Catatan medik pasien epilepsi lobus temporal yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi dianalisis

2. Subjek penelitian dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi minimal sampai memenuhi jumlah besar sampel yang telah ditetapkan


(61)

4.8 Alur penelitian

Gambar 6. Alur Penelitian

Subjek pasien epilepsi lobus temporal pascaoperasi ELT

Memenuhi kriteria penelitian

Kasus

Tidak bebas kejang pascaoperasi ELT

Kontrol

Bebas kejang pascaoperasi ELT

Pengumpulan data

Pengolahan dan analisis data


(62)

47

4.9 Analisis data

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan tahapan editing, coding, skrinning, tabulasi, dan analisis data menggunakan program SPSS Windows Ver. 20.0. Data dianalisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat berupa distribusi data dan nilai rata-rata serta simpang baku. Analisis bivariat berupa analisis korelasi chi-square dan rasio prevalens. Dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis penelitian berdasarkan tingkat signifikansi (nilai p) adalah :

1). Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak 2). Jika nilai p < 0,05 maka hipotesis penelitian diterima

Selanjutnya juga diperoleh nilai besar risiko (Odds Ratio/OR) paparan terhadap kasus dengan menggunakan varia 2 x 2 sebagai berikut :

Tabel 5. Analisis data

Penyakit Kasus Kontrol

Paparan (+) (+) Total

Terpapar A b a+b

Tidak terpapar C d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

Besar nilai OR ditentukan dengan rumus OR = a.d / b.c , dengan

Confidence Interval (CI) 95%.

Hasil intepretasi nilai OR sebagai berikut :

1). Bila OR > 1, CI 95% tidak mencakup nilai 1, menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor risiko.

2). Bila OR > 1, CI 95% mencakup nilai 1, menunjukkan bahwa faktor yang diteliti bukan merupakan faktor risiko.


(63)

3). Bila OR < 1, menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor protektif.

Analisis bivariat variabel untuk memprediksi variabel bebas mana yang berhubungan dengan status bebas kejang pasca operasi bedah epilepsi lobus temporal. Regresi logistik multivariat variabel untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara variable bebas yang berhubungan dengan status bebas kejang pasca operasi bedah epilepsi lobus temporal.

4.10 Etika penelitian

Sebelum penelitian dilakukan, penelitian dimintakan ethical clearance

dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP dr. Kariadi Semarang. Penggunaan catatan medik dimintakan izin dari kepala bagian bedah saraf RSUP dr. Kariadi Semarang. Identitas pasien dirahasiakan dan tidak dipublikasikan.


(64)

49

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Klinis Preoperasi Subjek Penelitian

Pada penelitian ini dilibatkan 61 subjek penelitian yang terdiri atas 20 pasien sebagai kelompok kasus, yaitu pasien yang bebas kejang pascaoperasi bedah epilepsi lobus temporal dan 41 pasien dengan keadaan tidak bebas kejang pascaoperasi bedah epilepsi lobus temporal sebagai kontrol. Karakteristik subjek penelitian pada kelompok kasus dan kontrol ditampilkan pada tabel 7.

Tabel 6. Karakteristik klinis preoperasi subjek penelitian Karakteristik

Kelompok

p Kasus

n(%)

Kontrol n (%)

Usia saat operasi 23,9 ± 9,82 25 ± 8,37 0,9*

Usia onset epilepsi 11,1 ± 6,63 14,5 ± 6,41 0,6§ Jenis kelamin

- Laki-laki 12 (19,7 %) 24 (39,3 %)

- Perempuan 8 (13,1 %) 17 (27,9 %) 0,9¥

Lama menderita

- ≥ 10 tahun 13 (21,3 %) 18 (29,5 %)

- < 10 tahun 7 (11,5 %) 23 (37,7 %) 0,1¥

Frekuensi kejang

- > 4 kali per bulan 12 (19,7 %) 16 (26,2 %)

- < 4 kali per bulan 8 (13,1 %) 25 (41 %) 0,1¥ *Uji Mann-Whitney

§

Uji t-tidak berpasangan ¥


(65)

Tabel 6. Karakteristik klinis preoperasi subjek penelitian. (lanjutan) Karakteristik

Kelompok

p Kasus

n(%)

Kontrol n (%) Aura

- Non ELT 6 (11,8 %) 1 (2 %)

- ELT 9 (17,6 %) 35 (68,6 %) 0,002¥

Automatisasi

- Positif 15 (24,6 %) 27 (44,3 %)

- Negatif 5 (8,2 %) 14 (23 %) 0,5¥

¥ Uji 2

ELT = Epilepsi lobus temporal

Pada tabel 7 tampak rerata usia saat operasi pada kelompok kasus lebih muda dibanding dengan kelompok kontrol, namun hasil uji statistik menunjukkan perbedaan usia tersebut tidak bermakna secara statistik (p=0,9). Pada variabel usia onset epilepsi menunjukan nilai yang tidak bermakna antara kelompok kasus dan kelompok kontrol (p=0,6). Selanjutnya juga diketahui jenis kelamin subjek lebih banyak laki-laki baik pada kasus dan kontrol dan secara statistik perbedaan jenis kelamin tersebut tidak bermakna (p=0,9).

59.02%

40.96%

Laki-laki Perempuan


(66)

51

Pada tabel 7 juga tampak perbedaan lama menderita epilepsi sebelum operasi antara kasus dan kontrol, dimana jumlah subjek pada kasus dengan lama menderita lebih dari sepuluh tahun lebih banyak daripada jumlah subjek penelitian dengan lama menderita kurang dari sepuluh tahun. Sedangkan pada kelompok kontrol jumlah subjek lebih banyak dengan lama menderita kurang dari sepuluh tahun. Namun secara statistik perbedaan ini tidak bermakna (p=0,1). Frekuensi kejang perbulan pada kelompok kasus didominasi oleh kelompok dengan frekuensi kejang perbulan lebih dari empat kali, sedangkan pada kelompok kontrol didominasi oleh kelompok dengan frekuensi kejang perbulan preoperasi kurang dari empat kali. Tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0,1).

Pada variabel perbedaan aura, jumlah subjek yang mengalami aura ELT lebih banyak terdapat pada kelompok kontrol. Sedangkan pada kelompok kasus didominasi dengan subjek yang mengalami aura non ELT. Dimana perbedaan aura ini bermakna secara statistik (p=0,002). Selanjutnya pada variabel automatisasi, subjek dengan automatisasi positif lebih tinggi daripada automatisasi negatif baik pada kasus maupun kontrol, dan hal ini tidak bermakna secara statistik (p=0,5).

5.2 Karakteristik Hasil Evaluasi Preoperasi Subjek Penelitian

Karakteristik hasil evaluasi preoperasi pada kelompok kasus dan kontrol ditampilkan pada tabel 8.


(67)

Pada tabel 8 dijumpai sebagian besar subjek dalam kelompok bebas kejang dan kelompok tidak bebas kejang pascaoperasi menunjukan keadaan semiologi yang negatif dan ipsilateral terhadap sisi operasi, dan secara statistik hal ini tidak bermakna (p=0,6).

Tabel 7. Karakteristik hasil evaluasi preoperasi Karakteristik Kelompok p Kasus n(%) Kontrol n (%) Kesesuaian semiologi

- Ipsilateral 10(16,4 %) 19 (31,1 %)

- Kontralateral 0 (0 %) 2 (3,3 %)

- Negatif 10 (16,4 %) 20 (32,8 %) 0,6¥

Kesesuaian EEG

- Ipsilateral 17(27,9 %) 28(45,9 %)

- Kontralateral 3(4,9 %) 5(8,2 %)

- Bilateral 0(0 %) 3(4,9 %)

- Negatif 0(0 %) 5(8,2 %) 0,2¥

Kesesuaian MRI

- Tidak ada gambaran fokus epilepsi

9(14,8 %) 3(4,9 %)

- Ada gambaran fokus epilepsi

11(18,0 %) 38(62,3 %) 0,001¥ ¥

Uji 2

Pada tabel 8 juga menunjukan bahwa subjek dengan keadaan bebas kejang pascaoperasi sebagian besar menunjukan hasil rekaman EEG yang ipsilateral dengan sisi yang dioperasi. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kasus, namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,2). Selanjutnya adanya gambaran fokus epilepsi pada MRI banyak terdapat pada kelompok kontrol daripada kelompok kasus, dan hal ini secara statistik memiliki nilai yang bermakna (p=0,001).


(1)

11. Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell science Ltd. 2000.

12. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure. Syndrome and Management. London. Blondom Medical Publishing ; 2005 ; 1- 26.

13. The Commision on classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia. 1981; 22 : 489-501.

14. Zentner J, Hufnagel A, Wolf HK, et al. Surgical treatment of temporal lobe epilepsy; clinical, radiological, and histopathological findings in 178 patients. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1995; 58: 666-73.

15. Chadwick D. Diagnosis of Epilepsy. Lancet.1990 ; 336 : 291 – 295.

16. Moshe SL, Pedley TA. Overview : Diagnostic Evaluation in Epilepsy, A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol One. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2008. p.785 – 89.

17. Foldvary N, Wyllie E . Textbook of Clinical Neurology. 1st edition. Philadelphia : WB Saunders Company ; 1999.

18. Wieser HG, Silfvenius H. Overview: Epilepsy Surgery in Developing Countries. Epilepsia. 2000; 41(suppl.4): S3-S9.

19. Glass M, Dragunow M. Neurochemical and morphological changes associated with human epilepsy. Brain Research Reviews. 1995; 21: 29-41.

20. Cockerell OC, Johnson AL, Sander JWAS, Hart YM, and Shorvon SD. Remission of Epilepsy: results from the national general practice study of epilepsy. Lancet. 1995; 346: 140-44.

21. Devinsky O. Patients with refractory seizures. New England Journal of Medicine. 1999; 334: 1565-1670.

22. Cramer JA. Quality of life for people with epilepsy. Neurological Clinics. 1994; 12: 113.


(2)

68

23. Sillanpaa M, Jalava M, Kaleva O, Shinnar S. Long-term prognosis of seizures with onset in childhood. New England Journal of Medicine. 1998; 338: 1715-22.

24. Jack CR Jr, Sharbrough RW, Cascino GD, Hirschorn KA, O‟Brien PC, Marsh WR. MRI-based hippocampal volumetry: correlation with outcome after temporal lobectomy. Ann Neurol. 1992; 31: 138-46.

25. Duncan JS, Sagar HJ. Characteristics, pathology and ourcome after temporal lobectomy. Neurology. 1987; 37: 405-9.

26. Engel J. Outcome with respect to epileptic seizure. In: Engel J, ed. Surgical treatment of epilepsies. New york : Raven Press ; 1986 ; 553-72. 27. Wiebe S, Blume WT, Girvin JP, Eliasziw M. A randomized controlled

trial of surgery for temporal lobe epilepsy. New England Journal of Medicine. 2001; 345: 311-18.

28. Engel J.Jr, Wiebe S, French J, et al. Practice parameter. Temporal lobe and localized neocortical resections for epilepsy. Report of the quality standards Subcommittee with the American Academy of Neurology in Association with the American Epilepsy Society and the American Association of Neurological Surgeons. Neurology. 2003; 60: 538-47. 29. Quesney LF. Seizures of frontal lobe origin. In: Pedley TA, Meldrum BS,

eds. Recent advances in epilepsy. Edinburgh : Churchill Livingstone ; 1986;1:827-35.

30. Spencer SS, Gates JR, Reeves AR, et al. Corpus callosum section. In: Engel J, ed. Surgical treatment of epilepsies. New York : Raven Press ; 1987:425-44.

31. Engel J Jr, Van Ness PC, Rasmussen TB, Ojemann LM. Outcome with respect to epileptic seizures. In: Engel J Jr (ed) Surgical treatment of epilepsies. NewYork : Raven Press ; 1993 : 609–23.

32. Berg TA, et al. Outcome Measure. In Engel J, Pedley TA. Epilepsy A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol Two. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2008 ; 1929-37.


(3)

33. Mathern GW, Sperling MR. Presurgical Evaluation : General Principles and Methods. In Engel J, Pedley TA. Epilepsy A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol Two. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2008. p.1771-78.

34. Mutataqin, Z. outcome and presurgical evaluation in limited condition. Semarang. 2007.

35. Gram L, Dam M. Epilepsy Explained. Copenhagen : Munksgaard. 1995; 50-140.

36. Hennessy MJ, Elwes RD, Honavar M, Rabe-Hesketh S, Binnie CD, Polkey CE. Predictors of outcome and pathological considerations in the surgical treatment of intractable epilepsy associated with temporal lobe lesions. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2001 ; 70:450–8.

37. consesus statement on febrile seizures. In : Nelson KB, Ellenberg JH, edds. Febrile Seizures. New York : Raven Press ; 1981:301.

38. Nelson KB, Ellenberg JH. Prognosis in children with febrile seizures. Pediatrics. 1978;61, 720-727.

39. Falconer MA, Serafetinides EA, Corsellis JA. Etiology and pathogenesis of temporal lobe epilepsy. Arch Neurol. 1964;10:233-248.

40. Tonini C, et al. Predictors of epilepsy surgery outcome : a meta-analysis. Elsevier. 2004 ; 62;75-87.

41. Lumbanntobing SM. Ragam Macam Serangan Epilepsi : Epilepsi (ayan). Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1994 ; 5-13.

42. Jack CR Jr, Sharbrough RW, Cascino GD, Hirschorn KA, O‟Brien PC, Marsh WR. MRI-based hippocampal volumetry: correlation with outcome after temporal lobectomy. Ann Neurol. 1992; 31: 138-46.

43. Bell ML, et al. Epilepsy Surgery Outcomes in Temporal Lobe Epilepsy with Normal MRI. Epilepsia. 2009; 50(9): 2053-60.

44. Van Ness PC, et al. Neocortical Sensory Seizures. In Engel J, Pedley TA. Epilepsy A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol Two. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2008.


(4)

70

45. Dupont S, Semah F, Clemenceau S, Adam C, Baulac M, Samson Y. Accurate prediction of postoperative outcome in mesial temporal epilepsy : a study using positron emission tomography with 18fluorodeoxyglucose. Arch neurol. 2000;57 : 1331-6.

46. Sylaja PN, Radhakrishnan, Kesavadas C, et al. Seizure outcome after anterior temporal lobectomy and its predictors in patients with apparent temporal lobe epilepsy and normal MRI. Epilepsia. 2004;45(7): 803-8. 47. Joon YC, Sun JK, Seung BH, et al. Extratemporal hypometabolism on

FDG PET in temporal lobe epilepsy as predictor of seizure outcome after temporal lobectomy. European Journal of Nuclear Medicine and Molecular Imaging. 2003;30:4.

48. Blume WT. Overview : Phenomenology. In Engel J, Pedley TA. Epilepsy A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol One. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2008 ; 509.

49. Meyer FB, Marsh WR, Laws ER Jr, et al. Temporal lobectomy in children with epilepsy. J Neurosurg 1986:64:371-6.

50. Engel J, Peter DW. Introduction : Limbic Seizures. In Engel J, Pedley TA. Epilepsy A comprehensive Textbook 2nd Ed. Vol One. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2008. p.1129.


(5)

(6)

Lampiran 3. Biodata mahasiswa Identitas

Nama : Fajar Herbowo NIantiarno

NIM : G2A008076

Tempat/tanggal lahir : Bogor, 27 Januari 1991 Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Komplek Kramyudha Tiga Berlian III No.42 Mekarsari, Cimanggis, Depok-Jawa Barat

Nomer Telepon : 021-871-7373 Nomer HP : 0813-8412-5500

Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan Formal

1. SD : SDN Mekarsari 2 Lulus tahun : 2002

2. SMP : SLTP Negeri 7 Depok Lulus tahun : 2005

3. SMA : SMAT Krida Nusantara Lulus tahun : 2008

4 FK UNDIP : Masuk tahun : 2008

Keanggotaan Organisasi

1. Ketua bidang seni dan olahraga BEM FK UNDIP

Tahun 2009 s/d 2010 2. Ketua Pekan Olahraga dan Seni

FK UNDIP

Tahun 2009 s/d 2010 3. Anggota bidang seni dan

olahraga BEM FK UNDIP

Tahun 2008 s/d 2009

Pengalaman Penelitian