RELASI NEGARA DAN MASYARAKAT DALAM POLITIK AGRARIA : STUDI KASUS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN BUNGAH KABUPATEN GRESIK.

(1)

RELASI NEGARA DAN MASYARAKAT

DALAM POLITIK AGRARIA

(STUDI KASUS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI

KECAMATAN BUNGAH KABUPATEN GRESIK)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Program Studi Filsafat Politik Islam

Oleh:

SU’AIBATUL ISLAMIYAH NIM: E04213104

PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Judul Skripsi : Relasi Negara dan Masyarakat dalam Politik Agraria (Studi Kasus Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik)

Kata Kunci : Agraria, Alih Fungsi, Lahan, Pangan, dan Relasi.

Skripsi ini membahas tentang relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang menghasilkan deskripsi mengenai: Pertama, problem peruntukan lahan pertanian di Kecamatan Bungah. Kedua, bentuk hegemoni negara dalam politik agraria di Kecamatan Bungah. Ketiga, relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria di Kecamatan Bungah.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan data dan informasi yang obyektif melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pemilihan informan dilakukan dengan cara purpossive sampling, yaitu pengambilan informan dilakukan secara sengaja berdasarkan kapasitas dan kapabilitas dalam artian benar-benar paham di bidangnya. Selanjutnya untuk menganalisa data dilakukan dengan cara mengumpulkan data, mereduksi data, menyajikan data serta menarik kesimpulan secara terus menerus untuk menguji keabsahan data penelitian.

Hasil penelitian ini adalah: Pertama, problem peruntukan lahan yang ada di Kecamatan Bungah terjadi karena banyaknya alih fungsi lahan dari sektor pertanian menjadi sektor industri yang dipicu oleh pembangunan pelabuhan internasional. Kedua, Alih fungsi lahan tersebut adalah bentuk hegemoni negara dalam bentuk persuasif dengan cara membuat kebijakan yang berkaitan dengan politik agraria, misalnya dengan kebijakan kenaikan pajak tanah. Ketiga, relasi antara negara dan masyarakat kurang terjalin dengan baik dalam mempertahankan proporsi lahan pertanian dan membuat kemandirian pangan ditingkat lokal tidak dapat tercipta.


(7)

DAFTAR ISI

COVER... i

HALAMAN JUDUL... ii

ABSTRAK... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv

PENGESAHAN SKRIPSI... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR... .. ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

E. Penelitian Terdahulu ... 9

F. Metode Penelitian ... 13

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 13

2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

3. Sumber Data ... 16


(8)

5. Teknik Pemilihan Informan ... 18

6. Teknik Analisis Data ... 19

G. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II KAJIAN KONSEPTUAL ... 23

A. Agraria ... 23

1. Makna Agraria ... 23

2. Pertanian dan Lahan Pertanian ... 26

3. Alih Fungsi Lahan Pertanian... 29

4. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan ... 31

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian . 33 6. Politik Agraria ... 36

B. Teori Hegemoni ... 42

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN DATA PENELITIAN ... 45

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45

1. Letak Geografis Kecamatan Bungah ... 45

2. Jumlah Penduduk Kecamatan Bungah ... 47

3. Kondisi Ekonomi Kecamatan Bungah ... 49

4. Kondisi Sosial dan Keagamaan Kecamatan Bungah ... 50

5. Kondisi Kesehatan Kecamatan Bungah ... 52

6. Struktur Susunan Kecamatan Bungah ... 53

B. Penyajian Data ... 53


(9)

2. Dampak Sosial Ekonomi Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi

Industri ... 62

BAB IV Lahan Pertanian dan Kekuasaan Negara ... 66

A. Problem Peruntukan Lahan Pertanian di Kecamatan Bungah ... 66

B. Bentuk Hegemoni Negara dalam Politik Agraria di Kecamatan Bungah ... 74

C. Relasi Negara dan Masyarakat dalam Politik Agraria di Kecamatan Bungah ... 89

BAB V PENUTUP ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99 LAMPIRAN


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris di mana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk Indonesia. Minimnya jumlah lahan pertanian yang semakin berkurang menyebabkan masalah baru pada bidang pertanian. Lahan pertanian yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam, berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi dalam pemanfaatannya.

Perubahan spesifik dari penggunaan lahan pertanian menjadi nonpertanian mendatangkan masalah yang serius, mengingat kebutuhan akan lahan yang semakin hari semakin bertambah. Hal ini mempengaruhi jumlah produksi tanaman pangan yang dihasilkan. Ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan salah satu syarat dalam produksi pangan. Seiring bertambahnya waktu, pertumbuhan populasi, dan pertambahan jumlah penduduk yang semakin tidak terkendali menyebabkan meningkatnya kebutuhan pangan rakyat. Maka ketersediaan lahan menjadi semakin penting dalam pemenuhan pangan. Kedaulatan pangan hanya akan menjadi retorika dan cita-cita belaka sampai kapanpun, apabila tidak terdapat perubahan politik atas akses dan penguasaan lahan.


(11)

2

Realita yang ada di lapangan tidak sesuai dengan isi nawacita yang telah disampaikan oleh Presiden Jokowi.1

Adapun isi Nawacita yang sampaikan pada bidang ekonomi sebagai berikut:

Kami akan membangun kedaulatan Pangan berbasis pada Agribisnis Kerakyatan melalui: (1) Penyusunan kebijakan pengendalian atas import pangan melalui pemberantasan terhadap 'mafia' impor yang sekedar mencari keuntungan pribadi/kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan pangan nasional. Pengembangan eksport pertanian berbasis pengolahan pertanian dalam negeri, (2) Penanggulangan Kemiskinan pertanian dan dukungan re-generasi petani melalui: a) Pencanangan 1.000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019. b) Peningkatan kemampuan petani, organisasi tani dan pola hubungan dengan pemerintah, terutama pelibatan aktif perempuan petani/pekeria sebagai tulang punggung kedaulatan pangan. c) Pembangunan irigasi, bendungan, sarana jalan dan transportasi, serta pasar dan kelembagaan pasar secara merata. Rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak terhadap 3 juta ha pertanian dan 25 bendungan hingga tahun 2019. d) Peningkatan pembangunan dan atraktivitas ekonomi pedesaan yang ditandai dengan peningkatan investasi dalam negeri sebesar 15 persen tahun dan rerata umur petani dan rakyat Indonesia yang bekerja di pedesaan semakin muda. (3) komitmen kami untuk implementasi reforma agrarian melalui: a) Akses dan Aset reform Pendistribusian asset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani, menyerahkan lahan sebesar 9 juta ha, b) Meningkatnya akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0.3 hektar menjadi 2.0 hektar per KK tani, dan pembukaan 1 juta ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali. (4) Pembangunan Agri-Bisnis Kerakyatan melalui Pembangunan Bank Khusus untuk Pertanian, UMKM dan Koperasi.

Total lahan sawah di Indonesia berdasarkan hasil Audit Kementerian Pertanian pada tahun 2012 adalah 8.132.642 hektare, yang terdiri atas 54% sawah beririggasi (seluas 4.417.582 hektare) dan 46% nonirigasi (seluas 3.714.764 hektare). Total luas lahan sawah terluas berada di Jawa yakni 3.444.579 hektar, kemudian disusul Sumatra 2.224.832 hektar, Kalimantan 1.032.117 hektar, Sulawesi 919.963 hektar, Bali Nusa Tenggara 462.686 hektar, Papua dan Maluku

1 Jappy Pellokila, “

Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian”, (Nawacita Jokowi, 2014), 33.


(12)

3

46.466 hektar.2 Di Jawa, Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki luas lahan sawah terbesar berdasarkan data luas dan alih fungsi lahan sawah pada tahun 2012 yakni seluas 1.152.875 hektar.3

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang berfungsi sebagai lumbung pangan nasional karena kontribusi pengadaan pangan yang sangat besar, yaitu sebesar 17% dari total nasional. Namun di tahun 2014 produksi pangan di Provinsi Jawa Timur sedang mengalami penurunan, terutama produksi padi. Di tahun yang sama, penurunan juga dialami oleh Kabupaten Gresik sebagai salah satu kontributor padi bagi Jawa Timur sebesar 2%. Berdasarkan situs resmi Kabupaten Gresik dikatakan bahwa Kabupaten Gresik surplus padi sebesar 129 ribu ton, hal tersebut belum sesuai dengan target produksi yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 382 ribu ton. Penyebab menurunnya produksi pangan di Kabupaten Gresik dikarenakan banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi industri.4

Beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi industri menyebabkan berkurangnya areal lahan pertanian yang ada di Kabupaten Gresik. Dari data sensus dapat diketahui luas lahan pertanian di Kabupaten Gresik sebesar 36.000 hektar sekarang menjadi 10.000 hektar. Penyempitan lahan pertanian seluas 26.000 hektar membuat para petani harus bekerja lebih ekstra keras lagi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Penyempitan lahan pertanian tersebut terjadi karena

2

Gatot Irianto, Lahan dan Kedaulatan Pangan, (Jakarta:: Gramedia Pustaka Utama, 2016), 43.

3

Ibid., 54. 4

Naning Khoirun Nisa, “Motivasi Petani dalam Menanam Komoditas Pada Daerah Lumbung Padi di Kabupaten Gresik” Jurnal Swara Bhumi, Vol.3 No. 3 (Desember 2015), 81.


(13)

4

lahan pertanian yang ada telah berubah menjadi kawasan industri. Salah satu daerah di Kabupaten Gresik yang pada mulanya merupakan daerah pertanian kemudian menjadi industri adalah Kecamatan Bungah.5

Dari data sensus pertanian yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Gresik pada tahun 2013 dapat diketahui bahwa jumlah usaha pertanian mengalami banyak penurunan. Pada sensus tahun 2003 usaha pertanian sebanyak 133.624 sedangkan pada tahun 2013 menjadi 102.330, jika dirata-rata setiap tahunnya mengalami penurunan sebesar 2.34 persen per tahun.6 Menurunnya lahan pertanian yang ada terjadi karena pembangunan industri yang semakin pesat di Kabupaten Gresik.

Kecamatan Bungah merupakan wilayah yang memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Di samping itu pula alasan wilayah tersebut sangat cocok untuk didirikan pabrik adalah karena cukup strategis dan merupakan wilayah pantura. Selain itu juga di wilayah ini akan dibangun pelabuhan internasional. Pembangunan pelabuhan internasional membawah efek domino munculnya pembangunan pabrik-pabrik di sekitar pelabuhan tersebut. Hal ini membuat para investor yang ingin menanamkan modal di Kecamatan Bungah semakin banyak. Pada mulanya para petani enggan menjual tanah mereka, tetapi setelah harga lahan pertanian melambung tinggi membuat para petani tergiur untuk menjualnya. Selain itu juga ditambah dengan melangitnya pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Gresik membuat petani merasa terbebani dengan

5

http://www.beritagresik.com/home/berita-gresik/503/penyempitan-lahan-tantangan-peningkatan-hasil-pertanian-gresik.html (Senin, 10 Oktober 2016, 14.02).

6

http://www.bpsgresik.com/home/bps-gresik/2013/hasil-sensus-pertanian-2013.html (senin, 10 Oktober 2015, 13.45).


(14)

5

pembayaran tersebut, mengingat hasil jual yang diperoleh dari produksi padi tidak seberapa. Namun ada beberapa dari petani yang tidak mau menjual lahan mereka, karena merasa apabila menjual lahan maka akan banyak pabrik yang didirikan disekitar lokasi tempat tinggal. Hal ini sangat berdampak pada kondisi lingkungan yang ada dan juga tidak akan ada lagi produktifitas padi karena pencemaran limbah pabrik. Mereka berusaha untuk mempertahankan lahan pertanian demi anak cucu di masa depan. Jika lahan pertanian sudah tidak ada, maka apa yang akan dimakan di masa depan nanti. Dalam kondisi seperti ini, pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik justru tidak melakukan upaya untuk melindungi lahan pertanian yang ada di Kecamatan Bungah. Namun dari pihak pemerintah malah memberikan bantuan kepada para petani yang sudah menjual lahan pertaniannya dengan bantuan sembako. Padahal sebelum petani menjual lahan pertaniannya, mereka tidak pernah mendapat bantuan berupa sembako dari Pemkab Gresik.

Dalam Peraturan daerah Kabupaten Gresik Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2010-20307 dijelaskan, bahwa untuk pembangunan yang ada di Kabupaten Gresik dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lokasi untuk investasi pembangunan industri sendiri juga sudah ditentukan, agar keterpaduan pembangunan antar sektor dapat terwujud yang nantinya akan dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Namun realita yang ada di lapangan tidak demikian,

7

Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 Kabupaten Gresik tentang Rencana Tata Ruang wilayah.


(15)

6

banyak ruang terbuka hijau yang mulai didirikan pabrik, khususnya di wilayah Kecamatan Bungah. Dalam Perda No. 8 Tahun 2011 tidak terdapat program pembangunan industri di Kecamatan Bungah, program pembangunan industri diperuntukan di lokasi Kecamatan Manyar dan Panceng. Namun karena tanah yang ada adalah milik perseorangan, jadi terkait penjualan lahan juga menjadi hak perseorang dari pemilik tanah tersebut untuk menjual atau tidak. Hal tersebut juga dipicu dengan tingginya harga tanah yang ditawarkan oleh investor. Negara dalam hal ini tidak terlihat perannya terkait dengan penjualan lahan pertanian tersebut. Selain itu juga negara memberikan izin kepada para investor untuk mendirikan industri di lahan petanian tersebut.Dari sini dapat dilihat bahwa negara mencoba menghegemoni masyarakat, agar mereka mau mematuhi semua keinginan dan dapat menginternalisasi nilai-nilai serta norma yang ada.

Menurut Anthoni Gramsci, seseorang yang dikuasai harus mematuhi penguasa, tidak hanya itu mereka juga harus menginternalisasi nilai-nilai (norma) dari sang penguasa dan juga harus memberi persetujuan. Inilah yang dimaksud oleh Gramsci sebagai hegemoni. Gramsci mendudukan hegemoni sebagai supremasi kelompok atas kelompok lainnya dalam bentuk kekuasaan. Melalui konsep ini Gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan dapat abadi paling tidak membutuhkan dua cara yakni, memaksa pranata-pranata yang ada untuk tetap mendukung dan membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk tetap taat pada mereka yang berkuasa.8

8


(16)

7

Dapat diketahui bahwa implikasi perubahan fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial dan kemiskinan struktural secara berkepanjangan. Luas area lahan pertanian di Kecamatan Bungah dari tahun ke tahun mengalami penyusutan. Hal ini perlu mendapat perhatian secara serius, demi keberlangsungan pangan yang ada. Maka dari itu, perlu adanya penelitian secara lebih mendalam.

Relasi negara dan masyarakat dalam politik pangan merupakan hal yang menarik untuk diteliti karena dalam prakteknya negara banyak menghegemoni masyarakat untuk mendapatkan lahan pertanian. Berdasarkan realitas di atas, peneliti ingin mengetahui bentuk relasi yang terjadi antara pemerintah kabupaten Gresik dengan masyarakat petani di Kecamatan Bungah dalam politik pangan. Oleh karena itu, peneliti mengambil penelitian skripsi dengan judul “Relasi Negara dan Masyarakat dalam Politik Agraria (Studi Kasus Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana problem peruntukan lahan pertanian di Kecamatan Bungah? 2. Bagaimana bentuk hegemoni negara dalam politik agraria di Kecamatan

Bungah?

3. Bagaimana relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria di Kecamatan Bungah?


(17)

8

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai sebagai berikut:

1. Menganalisis problem peruntukan lahan pertanian di Kecamatan Bungah. 2. Menganalisis tentang bentuk hegemoni negara dalam politik agraria di

Kecamatan Bungah.

3. Menghasilkan deskripsi tentang relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria di Kecamatan Bungah.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis, tulisan ini dapat memberikan landasan berfikir baru dalam menanggapi segala permasalahan yang terkait dengan politik agraria. Isu-isu yang berkaitan dengan problem peruntukan lahan pertanian di Kecamatan Bungah dan mengetahui relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria di Kecamatan Bungah.

2. Secara praktis, manfaat tulisan ini dapat berimplikasi bagi pembaca khususnya:

a. Mahasiswa Prodi Politik Islam dapat mengetahui prolem peruntukan lahan pertanian sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan keilmuan dalam bidang akademis dan mengetahui bentuk relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria di Kecamatan Bungah. Dan juga mengetahui bentuk hegemoni negara dalam politik agraria di Kecamatan Bungah.


(18)

9

b. Pembaca pada umumnya dapat digunakan sebagai bahan analisa dan wacana untuk mengetahui relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria, sehingga dapat mengetahui secara mendalam problem peruntukan lahan pertanian dan bentuk hegemoni negara dalam politik agraria di Kecamatan Bungah.

E. Penelitian Terdahulu

Untuk menjadi bahan kajian dalam penelitian skripsi ini peneliti menggunakan buku-buku, artikel-artikel atau catatan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian judul skripsi. Selain itu, peneliti manjadikan buku-buku karya asli petani dan penguasa sebagai rujukan untuk menghindari kesalahpahaman penafsiran sehingga mendapat sumber bacaan yang otentik.

Buku karya Mustain yang berjudul “Petani vs Negara (Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara)” (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)9 yang mengkaji tentang perilaku resistensi petani kepada negara sebagai bentuk ketidakpuasan petani karena tidak terjaminnya kehidupan yang ada. Resistensi dilakukan karena mereka beranggapan bahwa semua kebijakan yang dibuat oleh negara hanya untuk menghegemonik dan tidak pernah menguntungkan petani kecil.

Selanjutnya, buku karya Noer fauzi yang berjudul: “Petani dan Penguasa

(Dinamika PerjalananPolitik Agraria Indonesia)” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

9

Mustain, Petani vs Negara (Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 5.


(19)

10

1999)10 yang mengkaji tentang nasib petani dalam skenario politik agraria sepanjang zaman sejarah yang berubah, mulai dari zaman feodalisme sampai pada reformasi dewasa ini. Selain itu juga berisi tentang dinamika nasib petani dari zaman ke zaman dengan banyaknya praktik politik agraria kapitalis yang dilakukan oleh pemerintah.

Selain itu, skripsi yang ditulis oleh Fransiskus X. Gian Tue Mali pada tahun 2015 yang dituangkan dalam bentuk jurnal yang berjudul “Negara vs Masyarakat: Konflik Tanah di Kabupaten Naggeko Nusa Tenggara Timur”.11 Skripsi ini meneliti tentang ini konflik lahan yang terjadi di Kabupaten Nageko yang terjadi karena kesalahan pengaturan dalam kepemilikan lahan. Dalam pelaksanaannya banyak menyimpang dari Undang-undang dan Peraturan Presiden. Selain itu juga pengadaan tanah yang ada banyak digunakan untuk kepentingan umum dan juga terdapat kepentingan pribadi di dalamnya, sehingga menyebabkan munculnya banyak konflik. Akibatnya hubungan yang terjalin antara masyarakat dan negara di Kabupaten Nagekeo menjadi tidak singkron karena banyaknya kepentingan pribadi yang diwujudkan, daripada kepentimgan umum.

Skripsi yang ditulis oleh Muhamad Dika Yudhistira pada tahun 2013 yang

berjudul “Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan

Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan

10

Noer fauzi, Petani dan Penguasa (Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), v.

11

Fransiskus X. Gian Tue Mali, “Negara vs Masyarakat: Konflik Tanah di Kabupaten Naggeko Nusa Tenggara Timur” Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Vol. 11 No. 2 (Desember, 2015), 1657.


(20)

11

Tambun Utara)”.12

Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pola alih fungsi lahan pertanian yang terjadi diawali dengan alih kekuasaan lahan dari petani kepada pihak lain. Petani menjual lahan pertanian kepada para investor dan kemudian dialihfungsikan menjadi pemukiman atau industri. Adapun yanag menjadi faktor utama banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi karena kepemilikan lahan dari petani yang dijual kepada para invesrtor. Adapun latar belakang penjualan tersebut karena jumlah tanggungan petani lebih tinggi daripada proporsi pendapatan usaha tani.

Selain itu juga terdapat skripsi yang ditulis Amrisal pada tahun 2013 yang

dituangkan dalam sebuah jurnal berjudul “Tahapan Konflik Agraria antara

Masyarakat dengan Pamerintah Daerah (Studi: Konflik Masyarakat Nagari Abai dengan Pemerintah Kabupaten Solok Selatan Mengenai Hak Guna Usaha PT.

Ranah Andalas Plantation)”13

. Dalam penelitian ini membahas tentang adanya kepincangan diantara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah setempat menyerahkan tanah masyarakat kepada pihak investor agara terjalin kerjasama antara pemerintah dengan pemilik modal. Namun hal ini mendapat penolakan dari masyarakat karean kerjasama investasi yang dilakukan tidak memiliki kesepakatan yang jelas. Dalam kerjasama tersebut investor hanya memberikan ganti rugi tanah masyarakat yang digunakan. Masyarakat mencoba untuk

12

Muhamad Dika Yudhistira, Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara), (Skripsi: Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor), 2013.

13

Amrisal, Tahapan Konflik Agraria antara Masyarakat dengan Pamerintah Daerah (Studi: Konflik Masyarakat Nagari Abai dengan Pemerintah Kabupaten Solok Selatan Mengenai Hak Guna Usaha PT. Ranah Andalas Plantation), (Skripsi: Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas Padang), 2013.


(21)

12

menunntut pemerintah agar tidak memberikan izin kepada para investor untuk mendirikan perusahaan didekat pemukiman warga karena akan berdampak pada lingkungan. Namun pemerintah malah memberikan perizinan kepada investor untuk memperoleh hak atas tanah dan membiarkan masyarakat kehilangan tanah mereka.

Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah disebutkan sebelumnya, pembahasan yang ada hanya terkait masalah konflik lahan dan tidak menyentuh ke arah politik agraria secara menyeluruh. Misal penelitian yang dilakukan oleh Fransiscus, yang membahas negara vs masyarakat yang mana di dalam pembahasannya hanya melihat bahwa terdapat kesalahan pengaturan penggunaan tanah yang banyak menyimpang dari undang-undang yang berlaku. Penyebab banyaknya penyimpngan tersebut karena kepentingan yang ada. Sayangnya, dalam penelitian itu tidak menyentuh bagaimana dan seperti apa seharusnya sikap pemerintah dalam mempertahankan tanah yang ada.

Penelitian ini membahas lebih mendalam tentang masalah agraria khususnya masalah tanah dengan melihat beberapa poin yang penting dalam agaria, yakni politik agaria. Bagaimana politik agaria menjadi hal yang paling dominan dalam ketersediaan dan ketercukupan pangan. Penelitian ini juga mengkaitkanrelasi antara negara dan masyarakat dalam politik agaria, bagaimana hubungan antara keduanya harus terjalin demi terealisasinya program politik agaria. Sehingga dalam penelitian ini akan mendapatkan proses analisis yang berbeda dan akan mendapatkan kesimpulan yang berbeda. Maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah penelitian yang baru, dan belum pernah


(22)

13

dilakukan. Karena memakai alat analisis yang berbeda dan memberikan sebuah jawaban, dan kesimpulan yang berbeda.

F. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria (studi kasus alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik). Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research) sesuai dengan obyek yang dipilih sebagai deskripsi komunitas secara langsung (data sebenarnya) di lapangan.14 Penelitian yang berjenis penelitian lapangan ini dengan memaparkan serta mengkaji sumber-sumber data yang terdiri dari literatur-literatur ataupun referensi-referensi yang berkaitan dengan judul penelitian, di samping itu juga lewat tanya-jawab dengan informan.

Metode penelitian kualitatif dipilih karena metode ini memiliki varian yang beragam untuk menganalisis secara mendalam masalah yang terjadi, agar dapat melihat kenyataan-kenyataan yang ada pada obyek penelitian sehingga dapat menjelaskan kenyataan tersebut secara ilmiah. Metode sangat penting

14

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D


(23)

14

dalam sebuah penelitian sebab tujuan utama penelitian adalah untuk memecahkan masalah. 15

Oleh karena itu, langkah-langkah yang ditempuh harus relevan dengan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian yang digunakan. Metode penelitian tersebut terdiri atas: lokasi penelitian, tipe penelitian dan dasar penelitian, sumber data, teknik pengmpulan data, teknik pemilihan informan, dan metode analisis data. Metode ini sangat berguna dalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan variasi permasalahan karena berkaitan dengan tingkah laku manusia (perilaku).

Metode kualitatif dalam penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk deskripsi. Dalam penelitian ini dilakukan deskripsi untuk mendapatkan informasi yang mendalam. Laporan penelitian ini disusun dalam bentuk narasi bersifat kreatif dan mendalam serta menunjukkan ciri-ciri naturalistik secara otentik.16 Dengan demikian, fokus analisis penelitian ini adalah relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria di Kecamatan Bungah.

Selain itu, penggunaan metode kualitatif juga sebagai cara peneliti untuk berfikir secara induktif, yaitu peneliti menangkap berbagai fakta atau fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisanya dan berupaya melakukan penarikan kesimpulan berdasarkan apa yang diamati. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berwujud

15

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 17.

16


(24)

15

kata-kata tertulis atau lisandari orang dan perilaku yang diamati (observable).17

Jadi diharapkan dengan metode penelitian ini, peneliti akan mudah untuk menggambarkan hasil penelitian. Selain itu dengan pendekatan kualitatif, peneliti mendapatkan data berupa hasil wawancara dengan narasumber yang sudah ditentukan untuk dikelola, di mana peneliti tetap kritis terhadap data yang didapatkan.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian mengambil lokasi di Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Lokasi penelitian itu dipilih karena dari daerah tersebut banyak memiliki lahan pertanian dan sekarang beberapa lahan sudah beralih fungsi menjadi pabrik. Jumlah lahan pertanian ditiap tahunnya mengalami penyusutan dan mengakibatkan produksi padi menurun. Sedangkan waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 sampai pada bulan Januari 2017. Waktu pelaksanaan tersebut dilakukan berdasarakan surat izin penelitian yang diberikan oleh Bapeda (Badan Pemerintahan Daerah) Kabupaten Gresik.

17

Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 5.


(25)

16

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber data utama (sumber data orang pertama) dan kebutuah mendasar dari penelitian ini. Sumber data diperoleh dari hasil wawancara dengan informan saat terjun langsung kelapangan tempat penelitian. Informan adalah sumber utama dalam penelitian. Informan dipilih berdasarkan kebutuhan, serta berkaitan dengan tema penelitian.18

Kriteria sumber data primer adalah orang yang berpengaruh (pemerintah) dan mampu mengeksplor data-data yang mendukung judul skripsi ini serta masyarakat yang menjual lahan pertanian untuk menyamakan persepsi dengan pemerintah. Selanjutnya untuk lebih menguatkan data, maka peneliti menambahkan lagi masyarakat petani sebagai narasumber. Alasan memilih sumber primer karena membutuhkan informan untuk data-data skripsi sesuai judul tersebut agar data-data yang di dapat menjadi valid.

b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder diperoleh dari hal-hal yang berkaitan dengan politik pangan, antara lain berasal dari buku, jurnal, artikel, majalah

online, dan browsing di internet.

18


(26)

17

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yakni membicarakan tentang bagaimana cara mengumpulkan data. Penelitian ini menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data antara lain sebagai berikut:

Pertama, tahapan participant observation (observasi). Metode observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan pengamatan menggunakan panca indera. Marshall menyatakan bahwa,

Through observation, the researcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior”. Melalui observasi, peneliti belajar tentang

perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.19 Adapun observasi yang dilakukan peneliti termasuk dalam jenis observasi non-partisipatif. Dalam metode ini, peneliti tidak hanya mengamati obyek studi tetapi juga mencatat hal-gal yang terdapat pada obyek tersebut. Selain itu metode ini peneliti gunakan untuk mendapatkan data tentang situasi dan kondisi secara universal dari obyek penelitian, yaitu letak geografis atau lokasi penelitian.

Kedua, tahapan wawancara. Wawancara atau interview adalah sebuah dialog yang dilakukan secara mendalam (in-depth interview) oleh

pewawancara untuk memperoleh keterangan atau informasi dari

terwawancara.20 Adapun wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara terbuka. Wawancara terbuka adalah suatu metode wawancara yang para subjeknya mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai, serta

19

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan…, 82. 20

Fadjrul Hakam Chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiah (Tropodo: Alpha, 1997), 64.


(27)

18

mengetahui pula maksud dan tujuan wawancara yang peneliti lakukan. Dalam wawancara terbuka, peneliti melakukan in-depth interview.

5. Teknik Pemilihan Informan

Informan penelitian dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.21 Sehingga dalam menentukan informan penelitian, peneliti memilih berdasarkan beberapa pertimbangan atas kedudukannya dalam negara. Dari sini peneliti menentukan informan berdasarkan sumber-sumber berikut:

Pertama, dari unsur negara yakni badan legislatif yakni Anggota DPRD Kabupaten Gresik Komisi C dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kepala Balai Penyuluhan Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (BP3K)

Kecamatan Bungah, Ketua Seksi Ketersediaan Pangan Kabupaten Gresik, dan dua orang Kepala Desa yang berada diwilayah Kecamatan Bungah pesisir utara. Adapun Kepala Desa yang menjadi informan dibagi menjadi dua yakni Kepala Desa yang berada di wilayah penjualan lahan dan yang bersangkutan dalam penjualan lahan. Kedua, masyarakat petani Kecamatan Bungah yang terkena dampak penjualan lahan. Masyarakat petani dalam hal ini dibagi menjadi tiga yakni, masyarakat petani yang memiliki lahan dan bekerja sebagai petani, masyarakat petani yang memiliki lahan dan tidak bekerja

21


(28)

19

sebagai petani, dan masyarakat petani yang tidak memiliki lahan dan bekerja sebagai petani.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasi data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.22 Model analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah model interaktif. Model inilah yang kemudian dipakai untuk menganalisa data-data yang diperoleh di lapangan. Model interaktif terdiri dari tiga hal utama, yaitu; reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Ketiga kegiatan tersebut adalah kegiatan sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis.23 Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam model analisis data kualitatif tersebut sebagai berikut:

a. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilih, pemfokusan, pemusatan, perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dari lapangan (field notes). Reduksi

22

Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif..., 18. 23

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif


(29)

20

data berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung. Peneliti menyeleksi setiap data yang didapatkan di lapangan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi yang telah dan sedang dilakukan. Seleksi data dilakukan atas dasar data yang didapat sesuai dengan pokok penelitian yang diteliti. Kemudian peneliti meringkas data yang telah diseleksi dengan uraian yang singkat agar mudah dipahami. Dengan

demikian, proses reduksi data bertujuan untuk menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang bagian data yang tidak diperlukan, serta mengorganisasi data sehingga memudahkan penarikan kesimpulan, kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi. Misalnya data seperti problem peruntukan lahan pertanian dan respon negara terkait kurangnya lahan pertanian. Peneliti mencari data kepada informan terkait dengan tema di atas, kemudian menyeleksi dat yang diperoleh tersebut sesuai dengan kebutuhan penelitian.

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penyajian data, peneliti akan lebih mudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Artinya, setelah proses reduksi selesai dilakukan, peneliti menyajikan data secara terstruktur. Misalnya data disusun sesuai dengan rumusan masalah di atas. Seperti data peruntukan lahan pertanian dan masyarakat petani.


(30)

21

c. Verifikasi atau Penarikan Kesimpulan

Upaya penarikan kesimpulan dilakukan peneliti secara terus-menerus selama berada di lapangan. Peneliti menginterpretasi data yang telah tersaji, kemudian merumuskan pola dan tema, melihat data dan mencoba mereduksinya kembali, sehingga proses ini merupakan proses yang interaktif. Proses verifikasi hasil temuan dilakukan secara selintas dengan mengingat hasil temuan-temuan terdahulu dan melakukan cek silang (cross check) dengan temuan lainnya. Dengan melakukan verifikasi, peneliti dapat mempertahankan dan menjamin validitas dan reliabilitas hasil temuan. Selain itu, peneliti menanyakan kembali kepada narasumber terkait dengan hasil wawancara.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Guna mempermudah dalam memahami penelitian skripsi ini, sistematika pembahasan penelitian ini terdiri dari beberapa komponen yang sistematis terbagi menjadi lima bab masing-masing terdiri dari sub bab yang saling berkaitan satu sama lain. Kerangka penelitiannya sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan yang merupakan gambaran umum dan pengantar pembahasan terdiri atas, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, merupakan kerangka konseptual berisi tentang agraria meliputi makna agraria, pertanian dan lahan pertanian, Alih Fungsi Lahan Pertanian, pola


(31)

22

dan karakteristik alih fungsi lahan, faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian, dan politik agraria. Selain itu juga di bab ini juga menerangkan teori yang digunakan yakni teori hegemony Anthony Gramsci

Bab ketiga, merupakan paparan data dan temuan data penelitian yang berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yang meliputi letak geografis, jumlah penduduk, kondisi ekonomi, kondisi sosial dan keagamaan, kondisi kesehatan, badan susunan organisasi Kecamatan Bungah. Sedangkan penyajian data berisi tentang kondisi lahan pertanian, dan dampak sosial ekonomi alih fungsi lahan pertanian menjadi industri.

Bab keempat, tentang problem peruntukan lahan pertanian di Kecamatan Bungah, bentuk hegemoni negara dalam politik agraria di Kecamatan Bungah, dan relasi negara dan masyarakat dalam politik agraria di Kecamatan Bungah.

Bab kelima, merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran atau rekomendasi hasil penelitian.


(32)

23

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Agraria

1. Makna Agraria

Kata agraria mempunyai arti yang berbeda antara bahasa satu dengan lainnya. Di mana dalam bahasa latin agraria berasal dari kata agger dan

agrarius. Kata agger (bahasa belanda) berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius memiliki arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian. Dalam bahasa indonesia agraria berarti urusan tanah, pertanian, perkebunan. Dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang berarti tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agrarian berarti urusan pertanian atau tanah pertanian.1 Dalam Black Law Dictionary arti agraria adalah segala hal yang terkait dengan tanah, atau kepemilikan tanah terhadap suatu bagian dari suatu kepemilikan tanah (agraria is relating to land, or land tenure to a division of landed property).2 Kemudian menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah tanah dan semuanya yang ada di dalam dan di atasnya.3

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga,

Cetakan Keempat, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 13. 2

Bryan A. Gadner, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, (USA: West Publishing Co, 2004), 73.

3

Urip Santoso, Hukum Agraria kajian komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2013), 1.


(33)

24

Sedangkan menurut Subekti dan R.Tjitrosoedibio agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Di mana semua unsur yang ada dalam tanah dibahas semua mulai dari batu, kerikil, tambang, dan juga apa saja yang ada di atas tanah baik berupa tanaman dan bangunan.4 Pergertian tersebut sama dengan pengertian real estate yang dikemukakan Arthur P.Crabtree yang menyatakan bahwa hak milik (properti) dibagi menjadi dua macam, yaitu:5

a. Real Property adalah selama suatu benda itu terletak di atas tanah dan melekat pada tanah.

b. Real Property adalah apabila tersebut sudah terlepas dari tanah

Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah. Sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah, meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal

4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan dan dapat pula dimiliki oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”6

Tanah merupakan faktor terpenting dari kegiatan ekonomi suatu negara. Dalam bahasa Inggris, istilah agraria yakni agrarian lebih luas lagi

4

Ibid.,2. 5

Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 5.

6


(34)

25

yaitu tanah dan yang berkaitan dengan tanah dan juga terdapat pengertian bahwa tanah juga didefinisikan sebagai tanah untuk penghunian dalam bidang perumahan. Pengertian dalam bahasa Inggris lebih luas dari pengertian sebelumnya yang digunakan dalam bahasa latin. Hal ini dikarenakan dalam perkembangannya tanah tidak hanya digunakan untuk pertanian, tetapi seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk maka tanah juga dibutuhkan untuk permukiman dan penghunian rakyat.

Pengertian agraria sering dikaitkan dengan corak kehidupan suatu masyarakat atau bangsa, misalnya Indonesia sebagai negara agraris yaitu suatu bangsa yang sebagaian besar masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian. Di mana agraris sebagai kata sifat dipergunakan untuk membedakan corak pertanian dengan corak kehidupan masyarakat perkotaan yang bertumpu pada sektor non-pertanian (perdagangan, industri, birokrasi). Dapat dipahami tentunya mengingat tanah yang begitu luasnya dan hanya digunakan sebagai tempat untuk pertanian, karena semua yang menyangkut mengenai tanah dan yang perlu diatur adalah tanah pertanian.7

Selain itu juga pengertian agraria sering juga digunakan untuk menunjuk kepada seperangkat peraturan hukum yang membicarakan tentang pembagian, penguasaan dan kepemilikan tanah. Hal ini yang kemudian disebut juga sebagai hak atas tanah. Hak atas tanah merupakan hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas dimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Jadi yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang

7


(35)

26

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk mepergunakan dan mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya sesuai dengan peraturan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA pemegang hak atas tanah diberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada ditasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.8

2. Pertanian dan Lahan Pertanian

Pertanian dalam arti sempit atau pertanian rakyat yaitu usaha pertanian keluarga dimana diproduksi bahan makanan utama seperti beras, palawija (jagung, kacang-kacangan dan ubi-ubian) dan tanaman-tanaman hortikultura yaitu sayur- sayuran dan buah-buahan. Pertanian rakyat diusahakan di tanah-tanah sawah, ladang dan pekarangan. Sedangkan pertanian dalam arti luas mencakup seperti; pertanian rakyat atau disebut pertanian dalam arti sempit, perkebunan (termasuk di dalamnya perkebunan rakyat dan perkebunan besar), kehutanan, peternakan, dan perikanan (yang dibagi menjadi dua yaitu perikanan darat dan perikanan laut).9

Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang, saluran untuk menahan /menyalurkan air, yang biasanya

8

Ibid., 13. 9

Tri Lestari, Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani, (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2009), 7.


(36)

27

ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperoleh atau status lahan tersebut. Lahan tersebut termasuk lahan yang terdaftar di pajak bumi bangunan, iuran pembangunan daerah, lahan bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang ditanami padi dan lahan bekas tanaman tahunan yang telah dijadikan sawah baik yang ditanami padi maupun palawija. Selain itu, keberadaan lahan sawah memiliki banyak fungsi, baik untuk kehidupan manusia maupun lingkungan.10

Fungsi lahan sawah bagi kehidupan manusia selain sebagai penghasil bahan pangan, juga merupakan salah satu sumber pendapatan, tempat bekerja, tempat rekreasi, tempat mencari ilmu, dan lain sebagainya. Fungsi lahan sawah bagi lingkungan dapat dilihat dari fungsi lahan sawah sebagai tempat hidup berbagai tumbuhan, tempat berkembang biak berbagai organisme hidup seperti cacing, berbagai serangga, burung, belut, ular, dan organisme lainnya, berperan dalam mencegah terjadinya banjir, erosi, maupun tanah tanah longsor. 11 Manfaat lahan pertanian dapat dibagi atas 2 kategori yaitu:12

a. Use value atau nilai penggunaan yang dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian.

b. Non- use values yang dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Yang termasuk kategori manfaat ini adalah berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan

10

Bambang Irawan, Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan, (Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2005), 16.

11

Ibid., 18. 12


(37)

28

tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan. Salah satu contohnya adalah terpeliharanya keragaman biologis atau keberadaan spesies tertentu, yang pada saat ini belum diketahui manfaatnya, tetapi di masa yang akan datang mungkin akan sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi lahan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal berikut ini:13 a. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem

dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi.

b. Daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.

c. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering. d. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan

sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.

13

Rahmanto, dkk, Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan Sawah dan Implikasinya Terhadap Alih Fungsi Ke Pengguna Non Pertanian, (Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Litbang Pertanian, 2008), 24.


(38)

29

3. Alih Fungsi Lahan Pertanian

Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.14 Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia, seperti sebagai tempat tinggal, tempat mencari nafkah, tempat berwisata, dan tempat bercocok tanam.

Lahan mempunyai arti penting bagi masing-masing orang yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi investor swasta, lahan merupakan aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara untuk kesejahteraan rakyatnya.15 Terdapat banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar masyarakat, petani, investor swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan lahan.

Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain. Hal itu menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan,

14

Ilham, Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya, (Bogor: IPB Press, 2003), 12.

15


(39)

30

disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.16

Alih fungsi lahan ini secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Hal ini umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa. Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia. Isu yang berkaitan dengan alih fungsi lahan pertanian marak diperdebatkan. Kondisi seperti ini sulit dihindari karena pemanfaatan lahan untuk kegiatan non pertanian lebih memberikan keuntungan finansial dibandingkan pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian. Hal ini tercermin pada nilai land rent untuk kegiatan pertanian yang cenderung lebih kecil dibandingkan untuk kegiatan non pertanian.17

Alih fungsi lahan pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian, terutama pangan. Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran lahan, dimana penawaran atau persediaan lahan sangat terbatas sedangkan permintaan lahan yang tidak terbatas. Tedapat beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran lahan antara lain, karakteristik fisik, ekonomi, teknologi, dan kelembagaan. Selain itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk,

16

Rahmanto, dkk, Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan Sawah…, 28.

17


(40)

31

perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.18 Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan terhadap pendapatan bersifat kurang elastis, sedangkan permintaan komoditas non pertanian pangan bersifat elastis. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dibandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.

4. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan

Pola dan karakteristik alih fungsi lahan dapat di tinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif dari pemilik lahan pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain, karena pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan peningkatan pendapatan melalui alih usaha. Sebagaimana diketahui para petani umumnya berpendapatan sedikit karena kebijakan pemerintah dalam pengaturan harga komoditas pertanian yang kurang bijak dibandingkan dengan harga input pertanian yang tinggi. Sehingga mereka cenderung membuat tempat tinggal untuk keturunannya atau membuat usaha lain dengan mengalihfungsikan lahan pertanian milik mereka sendiri. Dampak dari alih fungsi ini akan baru terasa dalam jangka waktu yang lama. Kedua, alih fungsi lahan yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan

18


(41)

32

menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian.19

Selain itu menurut Silaloho (2004), alih fungsi lahan terbagi kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:20

a. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.

b. Konversi sistematik berpola “enclave” dikarenakan lahan kurang

produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.

c. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, di mana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

d. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.

e. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.

19 Ibid. 20

Moh. Khoirul Muslikin, Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Non Sawah dan Dampak terhadap Produksi Padi di Kabupaten Blora Tahun 2000-2010, (Skripsi: Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang), 2015.


(42)

33

f. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.

g. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.

Dari beberapa pola alih fungsi lahan di atas, para petani yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual lahannya karena tergiur akan harga lahan yang ditawarkan oleh para investor. Oleh karena itu banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian baik yang bersifat sementara dan bersifat permanen. Jika lahan pertanian yang berubah menjadi perkebunan, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Sedangkan jika lahan pertanian berubah menjadi pemukiman atau industri maka alih fungsi lahan tersebut bersifat permanen. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan alih fungsi lahan yang bersifat sementara.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian

Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut Pakpahan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dapat


(43)

34

dibedakan menjadi dua yaitu faktor langsung dan tak langsung. Faktor langsung atau mikro yaitu faktor konversi di tingkat petani dimana faktor tersebut mempengaruhi langsung keputusan petani. Faktor tersebut antara lain kondisi sosial ekonomi petani, seperti pendidikan, pendapatan, kemampuan secara ekonomi, pajak tanah, harga tanah, dan lokasi tanah.

Sedangkan faktor tak langsung atau makro yaitu faktor konversi di tingkat wilayah dimana faktor tersebut tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani. Faktor ini mempengaruhi faktor-faktor lain yang nantinya berpengaruh terhadap keputusan petani. Faktor tersebut antara lain seperti pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi pertumbuhan pembangunan pemukiman dan perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa yang akan meningkatkan kebutuhan akan sarana transportasi dan lahan untuk industri.

Pendapat tersebut didukung oleh Witjaksono yang memaparkan terdapat lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu; perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat.21 Sedangkan terdapat dua faktor lain yang berhubungan dengan sistem pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan asumsi bahwa pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan.

21

Muhamad Dika Yudhistira pada tahun, Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara), (Skripsi: Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor), 2013.


(44)

35

Menurut Nasoetion dan Winoto proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah dan sistem non kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Menurut penelitiannya, alih fungsi lahan sawah 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada. Sedangkan faktor industrialisasi dan perkotaan mempengaruhi 32,17 persen dan faktor demografis hanya mempengaruhi 8,75 persen.22

Secara umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan yang masih sektoral, delineasi antar kawasan, kriteria kawasan, koordinasi pemanfaatan ruang yang masih lemah, dan penegakan hukum seperti UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yang masih lemah. Adapun faktor lain yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain:23

a. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.

b. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor

22

Ibid., 34. 23


(45)

36

kebutuhan keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi lahan.

c. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan. d. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang

memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian.

e. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan yang ada.

6. Politik Agraria

Sebelum memahami apa itu politik agrarian, maka terlebih dahulu dipahami tentang makna politik. Secara umum politik adalah sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat. Jika dilihat secara etimologis yaitu kata

“politik” ini masih memiliki keterkaitan dengan kata-kata seperti “polisi” dan

“kebijakan”. Oleh karena itu secara garis besar definisi atau makna dari

“politik” ini adalah sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan negara agar dapat


(46)

37

merealisasikan cita-cita negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk negara sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat disebuah negara tersebut lebih mudah tercapai.24

Sedangkan yang dimaksud politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945. Politik Agraria dapat dilaksanakan, dimasukkan dalam sebuah Undang-Undang agraria yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam garis besarnya, dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara politik dan hukum.25

Dalam pengertian lainnya, politik agraria merupakan kebijakan dari pemerintah yang berkuasa di bidang agraria dan karenanya mempengaruhi arah perkembangan hukum agrarian yang sedang berlaku. Mengingat politik agraria merupakan kebijakan pemerintah, maka kebijakan tersebut akan dipengaruhi oleh kebijakan makro perekonomian. Politik agraria yang sudah ditetapkan agar mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan pemaksa (enforcement), dan sekaligus mempunyai legalitas yang kuat, perlu dirumuskan dalam bentuk peraturan hukum. Penormaan dalam bentuk

24

Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 26. 25

Soedikno Mertokusumo, Hukum Dan Politik Agraria, (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1988), 106.


(47)

38

peraturan hukum ini bukan persoalan yang mudah, apalagi jika penormaan tersebut dalam bentuk undang-undang yang proses pembentukannya harus melalui persetujuan dan keterlibatan Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat). Keanggotaan DPR adalah pencerminan dari kekuatan partai politik, kiranya perumusan dan persetujuan atas pembentukan undang-undang akan di pengaruhi oleh visi, misi, dan kepentingan parpol.26

Namun demikian, salah satu hasil dari adanya politik agraria adalah munculnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur tentang agrarian atau dalam hal ini yakni dimensi pertanahan. Kelahiran UUPA merupakan suatu tonggak sejarah politik hukum agraria yang secara normatif menempatkan petani pada suatu proses pemberdayaan untuk memperoleh suatu kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan terhadap sumber daya tanah. UUPA disini sebagai sebuah rekonstruksi suatu bangunan politik agraria yang bertujuan untuk menjamin hak-hak petani atas suatu tanah. Inilah yang seharusnya direnungkan oleh para elite pemerintahan di negara yang disebut sebagai suatu negara agraris, yang tugasnya untuk lebih mengedepankan makna kemerdekaan bagi rakyat tani, yakni kuatnya suatu hak atas tanah yang dimilikinya. Politik agraria, telah menempatkan tanah sebagai suatu masalah yang rutin di dalam birokrasi pembangunan. Agrarian reform yang semula

26

Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi Dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2005), 62.


(48)

39

untuk menata penguasaan tanah, khususnya hak milik maka menjadi berhenti dan seolah-olah UUPA disini di peti emaskan demi sebuah pembangunan.27

Dominasi kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanah di bidang ekonomi diwujudkan melalui pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan UUPA dengan berbagai jenis hak atas tanah. Akibat pemanfaatan tanah sesuai dengan kebutuhan manusia melalui perbuatan hukum sering menimbulkan hubungan hukum sebagai contoh pemilikan hak atas tanah.28 UUPA dimaksudkan sebagai instrumen untuk menciptakan suatu perubahan masyarakat yang maju di bidang ekonominya melalui penataan struktur pemilikan tanah, yang di satu sisi mendorong ke arah perubahan pertanian dan industri yang semakin maju namun dengan tidak mengabaikan keadilan dalam pengertian terciptanya pemerataan pemilikan tanah.29

Jadi pada dasarnya, UUPA merupakan suatu hukum perundang-undangan yang monumental dan revolusioner karena telah mampu menghapus sistem penguasaan tanah dan menerjemahkan dengan tepat politik hukum agraria tentang penguasaan sumber daya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Konsep hukum UUPA yang menolak liberalisme dan tidak memperbolehkan adanya kepemilikan tanah berlebihan oleh perseorangan juga dinilai sangat baik. Namun, pada prakteknya justru terjadi banyak penyimpangan terhadap konsep awal UUPA tersebut. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan UUPA juga dipicu oleh adanya

27

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), 182.

28

Maria SW Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya, (Jakarta: Kompas, 2008), 172.

29


(49)

40

ketidaksinkronan antara pemerintahan pusat dengan daerah. Hal itu dapat dilihat dengan adanya banyak undang-undang mengenai agraria yang tidak didasarkan pada UUPA. Adanya ketidaksinkronan UU secara horizontal tersebut menjadi pemicu dalam sengketa masalah agraria yang terjadi. Selain itu, banyaknya masalah agraria yang terjadi secara vertikal antara pemerintah pusat dengan daerah terkait wewenang dan kekuasaan mengenai masalah agraria justru tidak banyak dibahas atau bahkan sengaja ditutup-tutupi. Hal ini juga membuktikan bahwa masih lemahnya hukum mengenai masalah agraria di Indonesia.30

Berbagai penyimpangan dan konflik agraria yang terjadi akhir-akhir ini memunculkan sebuah pertanyaan besar terkait dengan fungsi dan tujuan awal penyusunan UUPA yang pada hakikatnya ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat Indonesia, namun pada kenyataannya justru hanya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja. Hal itulah yang akhirnya menimbulkan pertanyaan untuk apa dan siapa UUPA yang monumental dan revolusioner tersebut disusun. Melihat adanya penyimpangan dalam pelaksanaan dan tujuan UUPA tersebut, maka mulailah muncul isu-isu mengenai reformasi agraria. Reformasi agraria itu sendiri muncul karena beberapa sebab, mulai dari faktor kemiskinan yang semakin tinggi dan munculnya banyak konflik agraria yang terus-menerus dan memuncak, seperti kasus Mesuji dan Bima. Pelaksanaan reformasi agraria juga harus memperhatikan beberapa hal pokok yang dapat dijadikan prinsip dari

30


(50)

41

reformasi agraria itu sendiri. Pengelolaan reformasi agraria harus terpadu dan tidak boleh ada tumpang tindih aturan dan ketimpangan kekuasaan serta wewenang agar tidak menimbulkan konflik yang berkaitan dengan masalah agraria. Dalam pelaksanaannya, juga harus diperhatikan aspek ekologi agar tidak merusak lingkungan.31

Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam reformasi agraria ini antara lain dengan mengkaji kembali UU yang berkaitan dengan masalah agraria, memperkuat kelembagaan baik di pusat maupun daerah, dan juga adanya kejelasan wewenang sehingga tidak ada lagi tumpang tindih kekuasaan. Penyelesaian konflik yang cepat dan dukungan dana yang cukup juga akan mampu mempermudah pelaksanaan dari reformasi agraria itu sendiri. Dengan adanya reformasi agraria ini diharapkan mampu meluruskan kembali tujuan pokok dan utama yang tercantum pada Undang Undang Pokok Agraria sehingga berbagai konflik mengenai masalah agraria dapat segera terselesaikan dengan baik. Reformasi agraria juga menjadi prasyarat kedaulatan pangan nasional sehingga dalam pelaksanaannya harus pula didukung oleh semua elemen masyarakat, mulai dari pemerintahan pusat sampai daerah. Masing-masing individu juga harus mempunyai rasa tanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan reformasi agraria ini.32

31

Ibid., 190. 32

Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar, 2000), 78.


(51)

42

B. Teori Hegemoni

Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut eugemonia. Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX dan dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Antonio Gramci dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasannya yang cemerlang tentang hegemoni banyak dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel. Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.33

Teori hegemoni dibangun di atas pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Adapun maksud dari Gramsci dengan hegemoni sebagai supremasi kelompok atas kelompok lainnya dalam bentuk kekuasaan. Melalui konsep ini gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan dapat abadi paling tidak membutuhkan dua cara yakni, memaksa pranata-pranata yang ada untuk tetap mendukung dan membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk tetap taat pada mereka yang berkuasa.34

Hegemoni adalah suatu dominasi oleh satu kelompok terhadap keompok lain, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Menurut Gramsci

33

Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 115.

34


(52)

43

hegemoni merupakan suatu strategi untuk mempertahankan kekuasaan. Salah satu cara kelas dominan untuk mempertahankan kekuasaannya terhadap kelas-kelas di bawahnya adalah dengan kekerasan. Apabila kekerasan bersifat represif, maka hegemoni adalah cara penguasaan yang bersifat persuasif.

Melalui konsep ini, Gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa

law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga. Perangkat karja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melailui lembaga-lembaga masyarakat seperti LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Kedua level ini pada satu sisi berkaitan dengan fungsi hegemoni dimana kelompok dominan menangani keseluruhan masyarakat dan disisi lain berkaitan dengan dominasi langsung atau perintah yang dilaksanakan diseluruh negara dan pemerintahan yuridis.35

Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan terhadap kelas

35


(53)

44

sosial lain. Pada hakekatnya hegemoni adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar baik secara moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasi antar negara tetapi dapat juga terjadi dalam hubungan antar berbagai kelas sosial yang ada dalam suatu negara.36

Konsep hegemoni terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi (economic), negara (state), dan rakyat (civil society). Ruang ekonomi menjadi fundamental dalam hal ini. Dunia politik merupakan arena dari hegemoni yang menampilkan momen perkembangan tertinggi dari sejarah sebuah kelas. Pencapaian kekuasaan negara, konsekuensi yang dibawanya bagi perluasan dan pengembangan secara parsial dan memiliki sebuah signifikasi yang khusus. Negara dengan segala aspeknya yang diperluas mencakup wilayah hegemoni. Pendek kata, hegemoni satu kelompok atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramscian bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni itu harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Teori politik Gramsci penjelasan bagaimana ide-ide atau ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada kelompok penguasa legitimasi untuk berkuasa.37

36

Nur Syam, Model Analisis Teori Sosial..., 313. 37


(54)

45

BAB III

PAPARAN DATA DAN TEMUAN DATA PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Bungah adalah kecamatan yang kaya dengan lahan pertanian. Akan tetapi kondisi lahan pertanian yang ada di Kecamatan Bungah saat ini semakin berkurang karena banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi. Di bawah ini gambaran umum tentang lokasi Kecamatan Bungah:

1. Letak Geografis Kecamatan Bungah

Kecamatan Bungah berdiri pada tahun 1753. Nama Bungah berasal dari banyak ceritanya orang yang melihat banyaknya bunga didaerah tersebut. Bunga tersebut banyak dilihat di taman bunga buatan Kyai Gede. Namun terdapat cerita lain yang juga mengatakan bahwa, asal muasal nama Bungah berasal dari penggabungan kata senang yang berarti bungah, dan penggalan kata sabung. Karena sebelum kedatangan Mbah Kyai Gede masyarakat di daerah tersebut senang sekali menyabung ayam. Seiring berjalannya waktu daerah tersebut diberi nama bungah, yang berarti senang.

Secara Geografis, Kecamatan Bungah terletak pada ketinggian ±5 m di atas permukaan laut (DPL) dan seluruh wilayahnya merupakan dataran rendah. Luas wilayah Kecamatan Bungah kurang lebih 79,44 km2 atau sama dengan 7944 Ha. Adapun jarak dari kecamatan ke kabupaten adalah ±17 km, dengan jumlah desa sebanyak 22.1 Wilayah di Kecamatan Bungah terdapat 22

1


(55)

46

(dua puluh dua) desa yaitu Sidomukti, Mojopurogede, Mojopurowetan, Melirang, Sidorejo, Masangan, Sukowati, Bungah, Sukorejo, Bedanten, Watuagung, Kramat, Tanjung Widoro, Sungonlegowo, Indrodelik, Kisik, Abar-abir, Sidokumpul, Raciwetan, Pegundan, Kemangi, dan Gumeng. Desa Bedanten dan Desa Sungonlegowo adalah desa yang memiliki wilayah paling luas masing-masing sebesar 12,58 km2. Sedangkan desa yang luas wilayahnya terkecil adalah Desa Sidorejo yaitu sebesar 0,31 km2.

Secara garis besar, wilayah Kecamatan Bungah terdiri dari beberapa bagian. Pertama adalah wilayah pemukiman penduduk, di mana di dalamnya termasuk tempat-tempat ibadah (musholla, masjid), tempat pendidikan, kantor desa, pertokoan yang dibangun berdampingan dengan rumah penduduk atau berada dalam rumah, mini market, cafe atau rumah makan, rumah-rumah penduduk, dan tanah lapang (lapangan). Kedua meliputi wilayah perekonomian penduduk, seperti, persawahan, kebun, pabrik, dan lain-lain. Ketiga, wilayah pemakaman penduduk. Batas wilayah Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Sidayu Sebelah Selatan : Kecamatan Manyar

Sebelah Barat : Kecamatan Dukun

Sebelah Timur : Selat Madura

Curah hujan di Kecamatan Bungah bervariasi dari 0 mm sampai 19 mm per hari. Curah hujan tertinggi pada bulan Oktober, yaitu 19 mm per hari sedangkan pada bulan Agustus dan September tidak terjadi hujan sama sekali.


(1)

98

penulis memberikan beberapa masukan atau rekomendasi berupa pemikiran serta saran positif untuk pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan, antara lain:

1. Setidaknya negara menghegemoni masyarakat ke arah yang lebih positif, dengan cara melakukan pembangunan yang berkesinambungan dan tetap memperhatikan kondisi lahan pertanian berkelanjutan tanpa harus merugikan pihak manapun.

2. Masyarakat secara sadar harus mengetahui peran dan fungsinya dalam sektor pertanian. Selain itu juga ikut berperan aktif melakukan upaya untuk pencapaian kedaulatan dan kemandirian pangan.

3. Relasi negara dan masyarakat harus berjalan dengan baik, sehingga kebijakan yang ada dapat berjalan dengan semestinya.

Selain itu, hasil dari penelitian ini belum sepenuhnya sempurna, karena keterbatasan pemahaman dan data lapangan yang dimiliki oleh peneliti sehingga kemungkinan ada hal yang tertinggal atau terlupakan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan dan dikaji ulang yang tentunya lebih teliti, kritis, dan juga lebih mendetail guna menambah wawasan dan pengetahuan pembaca.


(2)

99

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Arief, Nezar Patria dan Andi. 2003. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Budiman, Arif. 1996. Fungsi Tanah dan Kapitalis. Jakarta: Sinar Grafika

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif

dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press

Chozin, Fadjrul Hakam. 1997. Cara Mudah Menulis Karya Ilmiah. Tropodo: Alpha

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi

Ketiga, Cetakan Keempat. Jakarta: Balai Pustaka

Gadner, Bryan A.. 2004. Black’s Law Dictionary: Eighth Edition. USA: West Publishing Co

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa (Dinamika Perjalanan Politik Agraria

Indonesia). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA,

Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan

Idrus, Muhammad. 2011. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif

dan Kuantitatif. Jakarta: Erlangga

Irawan, Bambang. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola

Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Bogor: Pusat Analisis Sosial


(3)

100

Ilham. 2003. Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi

Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. Bogor: IPB Press

Syafiie, Inu Kencana. 2002. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta

Irianto, Gatot. 2016. Lahan dan Kedaulatan Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Lestari, Tri. 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Mertokusumo, Soedikno. 1988. Hukum Dan Politik Agraria. Jakarta : Karunika Universitas Terbuka

Mustain. 2007. Petani vs Negara (Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni

Negara). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Moeleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Peraturan Daerah No.8 Tahun 2011 Kabupaten Gresik tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.19 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pertanian

Rahmanto dkk. 2008. Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan Sawah dan

Implikasinya Terhadap Alih Fungsi Ke Pengguna Non Pertanian. Bogor:

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Litbang Pertanian

Santoso, Urip. 2010. Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana Prenada Media

Santoso, Urip. 2013. Hukum Agraria kajian komprehensif. Jakarta: Kencana Prenada Group


(4)

101

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif

dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sumardjono, Maria SW. 2005. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi Dan

Implementasi. Jakarta : Kompas

Sumardjono, Maria SW. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial,

Dan Budaya. Jakarta : Kompas

Syam, Nur. 2009. Model Analisis Teori Sosial. Surabaya: Putra Media Nusantara.

Tim Penyusun. 2007. Pedoman Penelitian Karya Ilmiah. Kediri: STAIN Kediri

Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk-Beluk Masalah Agraria. Yogyakarta: STPN Press

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar

2. Jurnal dan Artikel

Pellokila, Jappy. 2014. “Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat,

Mandiri, dan Berkepribadian”, Nawacita Jokowi

Nisa, Naning Khoirun. 2015. “Motivasi Petani dalam Menanam Komoditas Pada Daerah Lumbung Padi di Kabupaten Gresik” Jurnal Swara Bhumi, Vol.3 No. 3. Gresik, 81.

Prabowo, Rossi. 2010. “Kebijakan Pemerintah dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia”, Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, Vol. 6 No. 2. Jakarta, 62.

Munthe, Hadriana Marhaeni. 2007. “Moderenisasi Sosial Masyarakat Dalam

Pembangunan Pertanian: Suatu Tinjauan Sosiologis”, Jurnal Harmoni


(5)

102

Hutagalung, Daniel. 2004. “Hegemoni, Kekuasaan dan Ideologi” Jurnal

Pemikiran Sosial, Politik dan Hak Asasi Manusia, Vol. 74 No. 12, 1.

Mali, Fransiskus X. Gian Tue. 2015. “Negara vs Masyarakat: Konflik Tanah di

Kabupaten Naggeko Nusa Tenggara Timur” Jurnal Kajian Politik dan

Masalah Pembangunan, Vol. 11 No. 2, 1657.

Yudhistira, Muhamad Dika. 2013. Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi

Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara). Skripsi: Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Amrisal. 2013. Tahapan Konflik Agraria antara Masyarakat dengan Pamerintah Daerah (Studi: Konflik Masyarakat Nagari Abai dengan Pemerintah Kabupaten Solok Selatan Mengenai Hak Guna Usaha PT. Ranah Andalas

Plantation). Skripsi: Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Andalas Padang

Muslikin, Moh. Khoirul. 2015. Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Non Sawah dan Dampak terhadap Produksi Padi di Kabupaten Blora Tahun

2000-2010. Skripsi: Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial,

Universitas Negeri Semarang

Statistik Daerah Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik Tahun 2016

Kecamatan Bungah Dalam Angka 2016

Kecamatan Bungah Dalam Angka 2013

Balai Penyuluhan Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kecamatan Bungah 2016

Laporan Evaluasi BP3K Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik Tahun 2016


(6)

103

Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kabupaten Gresik

3. Websites

http://www.beritagresik.com/home/berita-gresik/503/penyempitan-lahan-tantangan-peningkatan-hasil-pertanian-gresik.html (Senin, 10 Oktober 2016, 14.02 WIB).

http://www.bpsgresik.com/home/bps-gresik/2013/hasil-sensus-pertanian-2013.html (senin, 10 Oktober 2015, 13.45 WIB).