Perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai.

PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL REMAJA PADA KELUARGA
YANG BERCERAI

SKRIPSI

DiajukanKepadaUniversitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya
untukMemenuhi Salah SatuPersyaratandalamMenyelesaikan Program Strata Satu
(S1) Psikologi (S.Psi)

DessyNurmaAzizi
B07213003

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017

INTISARI

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui proses

perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
studi kasus. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode observasi dan wawancara yang dilakukan
kepada subjek dan significant other serta didukung oleh dokumentasi.
Subjek penelitian adalah seorang remaja laki-laki dengan usia 13
tahun dari keluarga yang bercerai. Subjek berada pada tahapan
perkembangan penalaran moral yang kedua yaitu penalaran moral
konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses
perkembangan moral subyek dilatar belakangi oleh kesempatan
pengambilan peran, situasi moral serta konfklik moral kognitif yang
membentuk subyek memiliki penalaran moral yang baik tanpa
pendampingan yang intens oleh orang tua. Adapun Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan penalaran moral subyek meliputi faktor
internal yaitu sifat bawaan subyek seperti rasa empati, pemurah,
tanggung jawab, serta menghormati orang tua. Sedangkan faktor
eksternal yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral subyek
meliputi lingkungan tempat ia tinggal, teman bermain, kegiatan positif
yang subyek ikuti, serta bimbingan dari keluarga.
Kata Kunci : Penalaran moral, remaja, keluarga yang bercerai.


x
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ABTRACT

The purpose of this research is to know the moral reasoning
development proses of teenager of divorced family. This research uses
qualitative method with case study approach. Technique for collecting
data used in this research are observation and interviews which done
to subject and significant other, also equipped with documentations.
Subject is male teenager (13 years old) from divorced family. Subject
is on second stage of moral reasoning development which is
conventional moral reasoning. Research result shows moral
development process of subject caused by chance of role taking, moral
situation and cognitive moral conflict which from subject to has good
moral reasoning even without intense parental assistance. As for
factors which influenced subject moral reasoning development
including innate nature of subject (internal factor) such as empathy,
generosity, responsibility, and parental respect whereas external

factor that influenced subject’s moral reasoning development are
environment, friends of the same age, positive activities, and family
guidance.
Keywords : moral reasoning, teenager, divorced family.

xi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………….
HALAMAN PENGESAHAN ……...……………………………………
HALAMAN PERNYATAAN …………………………………………..
KATA PENGANTAR ……………………………...……………………
DAFTAR ISI ……………………………………………………………
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………
INTISARI …..……………………………………....……………………
ABSTRACT ..……………………………………………………………

i

ii
iii
iv
vi
vii
ix
x
xi

BAB I
PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.

Latar Belakang Penelitian …..……………………………………
Fokus Penelitian …….……………………………………………
Tujuan Penelitian ………………………………………………...

Manfaat Penelitian ……………………………………………….
Keaslian Penelitian ………………………………………………

1
12
12
12
13

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Perkembangan Moral ………………………………………...
a. Pengertian Moral ………………………………………...
b. Penalaran Moral ………………………………………….
c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Mora ………
d. Perubahan Konsep Moral …...……………………………
2. Masa Remaja …………………………………………………
a. Pengertian masa remaja ……..……………………………
b. Ciri-ciri masa remaja ..……………………………………

c. Tahap perkembangan masa remaja ………………………
3. Keluarga ………...…………………………………………...
a. Pengertian keluarga ……………………………………...
b. Ciri-ciri keluarga ………………………………………...
c. Fungsi keluarga ……..…………………………………...
d. Bentuk keluarga ……..…………………………………...
4. Keluarga yang bercerai (Broken Home) ...…………………...
B. Perspektif Teoritis …...…………………………………………..

17
17
17
19
29
33
33
36
38
39
39

40
41
44
46
50

vi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III
METODE PENELITIAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Jenis Penelitian ……..……………………………………………

Lokasi Penelitian …...……………………………………………
Sumber Data ………..……………………………………………
Prosedur Pengumpul Data ….……………………………………
Subjek Penelitian …...……………………………………………
Analisis Data ……………………………………………………
Keabsahan Data …….…………………………………………....

54
55
55
56
60
62
63

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Subyek ………………………………………………..
B. Hasil Penelitian ……...…………………………………………..
1. Deskripsi temuan Penelitian …….…………………………..

2. Analisis temuan penelitian ……...…………………………..
C. Pembahasan …………………………………………………..

68
69
69
86
92

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………..
B. Saran …………………………………………………………..

100
101

DAFTAR PUSTAKA ……..……………………………………………

103


LAMPIRAN ………………………………...…………………………

105

vii
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Observasi …….…………………………………… 57
Tabel 2. Panduan Wawancara …...…………………………………… 59

viii
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Verbatim Wawancara Subyek ……………………
Lampiran 2. Data Verbatim Wawancara Significant Other 1 ….……
Lampiran 3. Data Verbatim Wawancara Significant Other 2 ….……
Lampiran 4. Hasil Observasi Subjek …...……………………………

Lampiran 5. Guidance dan Matriks …….……………………………
Lampiran 6. Dokumen Subjek …..…………………………………...

105
135
141
150
153
157

ix
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Budaya Indonesia yang terkenal dengan menjunjung tinggi nilai
luhur sebaiknya masih tertanam di dalam diri para penerus bangsa agar
tetap memiliki moral yang baik. Moral yang baik pada individu akan
mengantarkan setiap individu kepada kesejahteraan hidup serta secara
tidak langsung akan menjaga kesejahteraan masyarakat umum.
Penanaman nilai moral dinilai efektif apabila dilakukan sejak dini oleh
lingkungan keluarga tempat anak tumbuh dan berkembang. Sehingga
diharapkan nilai moral akan mengakar kuat pada diri seorang individu.
Hal ini tentunya sesuai dengan isu-isu yang muncul belakangan ini
terkait semakin resahnya masyarakat terutama orang tua mengenai
kenakalan remaja. Pergaulan remaja pada masa sekarang sangat
mengkhawatirkan dikarenakan perkembangan arus modernisasi yang
men-dunia dan menipisnya moral serta keimanan seseorang (Nurhani,
2016). Hal ini dikarenakan pada masa remaja seorang individu berada
pada masa ketegangan emosi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar.
Remaja adalah suatu masa peralihan dari anak-anak menuju
dewasa dimana individu berproses menuju kedewasaannya. Masa remaja
diasumsikan berada pada rentang usia 12 hingga 21 tahun. Pada masa ini
seorang individu dikatakan dalam periode “badai dan tekanan” karena
1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

berada pada masa ketegangan emosi sebagai akibat dari perubahan fisik
dan kelenjar. Selain itu meningginya emosi terutama karena laki-laki dan
perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru,
sedangkan pada masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk
menghadapi keadaan-keadaan itu (Rutter, M., dkk dalam Hurlock 2003).
Selain emosi yang tidak stabil, pada masa remaja dinilai sangat
rentan terhadap dampak yang timbul oleh lingkungan sosial. Hal ini
dikarenakan pada masa ini, individu memiliki tugas perkembangan yang
penting terkait dengan lingkungan sosial dan erat kaitannya dengan
pengaruh kelompok sebaya atau lingkungan tempat ia tinggal. Salzman
(dalam Fatimah, 2006) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa
perkembangan dari sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke
arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri,
dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Sangatlah mungkin pengaruh lingkungan tempat tinggal terhadap
sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada
pengaruh keluarga. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga
sangatlah dibutuhkan perannya untuk mengawasi serta membimbing
sedini mungkin agar perilaku yang timbul pada usia remaja tidak terlalu
mengkhawatirkan. Pendidikan yang ditekankan dalam pendidikan
keluarga tidak semata tentang pendidikan akademik namun lebih kearah
pendidikan karakter dan pendidikan moral. Sehingga apabila fungsi
keluarga berperan dengan baik, maka individu memiliki penalaran moral

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

yang baik pula. Namun pada kenyataanya, banyak keluarga yang hancur
ditengah jalan dikarenakan banyak factor dan berakhir pada perceraian.
Perceraian terjadi karena adanya beragam konflik yang ada pada sebuah
keluarga, sehingga tidak ditemukannya jalan keluar. Tidak dapat pungkiri
bahwa semakin hari tingkat perceraian di Indonesia terlihat semakin
meningkat terlebih daerah Jawa Timur.
Fakta pertama ditunjukkan oleh Harian Kompas (2016) yang
menyatakan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang
terbesar angka perceraian di Indonesia, yakni mencapai 47 persen atau
mencapai sekitar 90.000 pasangan. Sedangkan empat tahun lalu,
berdasarkan data pengadilan agama tercatat ada 60.000 pasangan yang
bercerai setiap tahun, dan sekarang sudah mencapai 90.000 pasangan per
tahun. Hal serupa dikemukakan oleh Harian Malang (2016) bahwa
Provinsi Jawa Timur menjadi penyumbang angka perceraian terbesar di
Indonesia, yakni dengan prosentase 47 persen atau hampir separuh dari
kasus perceraian di Indonesia.
Perceraian dalam rumah tangga tentunya membawa dampak yang
signifikan terhadap keluarga itu sendiri. Khusunya terhadap anak-anak
yang terbiasa hidup dalam keluarga utuh akan berusaha menerima
keadaaan yang terpaksa ia harus jalani akibat perceraian tersebut. Usia
yang dikatakan rentan terhadap dampak perceraian adalah ketika anakanak serta awal masa remaja. Hal tersebut dikarenakan pada usia ini,
seorang individu masih sangat menggantungkan kebutuhan fisik maupun

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

psikis kepada kedua orang tua mereka. Pada awal masa remaja, banyak
anak dari keluarga-keluarga yang retak telah tersandung ke dalam sarang
lebah malapetaka kaum remaja termasuk nilai-nilai yang merosot,
tingkah laku seksual terlampau dini, penggunaan obat-obat terlarang dan
tindakan kejahatan serta perilaku moral yang buruk.
Pada masa remaja, menurut Kohlberg dalam teori perkembangan
moral seorang individu remaja berada pada tahap perkembangan moral
konvensional. Pada tingkatan ini, individu memberlakukan standart
tertentu, tetapi standart ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua
atau pemerintah. Penalaran moral inilah yang menjadi indicator dari
tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran
mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada
memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar bahwa suatu
itu salah.
Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari
moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001).
Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang
diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar
dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas
pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban
atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada
keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Penalaran serta pendidikan moral sangat tergantung terhadap
pengasuhan sebuah keluaraga. Keluarga dianggap sebagai pembentuk
pondasi utama jati diri seorang anak. Dalam usia remaja, seorang
individu berada pada masa yang cenderung ambivalen terhadap setiap
peristiwa dan godaan-godaan dan cobaan-cobaan yang bersifat duniawi.
Sehingga

peran

keluarga

dianggap

penting

untuk

membentuk,

meluruskan serta membimbing remaja untuk berperilaku serta memiliki
penalaran moral yang baik. Hal ini sesuai penelitian yang pernah
dilakukan oleh Harston dan May (dalam Nurhani, 2016) yang
mengemukakan bahwa pendidikan moral yang tidak disertai penalaran
tidak cukup efektif untuk meningkatkan moralitas seseorang. Harston dan
May telah melakukan serangkaian studi tentang mencuri, berbuat curang,
dan berbohong di rumah, di sekolah, di perkumpulan-perkumpulan, dan
di kelompok keagamaan-keagamaan. Kesimpulan dari setiap studi
tersebut menunjukkan bahwa cara-cara pendidikan moral yang kurang
menggunakan penalaran ternyata kurang efektif, artinya karena
penekanan pendidikan moral tidak diarahkan kepada perubahan struktur
berfikir, maka individu akan mengalami kesulitan membuat keputusankeputusan moral bila menghadapi masalah atau situasi baru yang berbeda
dengan apa yang telah diajarkan.
Maraknya isu terkait kenakalan remaja di Indonesia tentunya
sedikit banyak akan membuat orang tua khawatir tentang pergaulan anak
jaman sekarang. Terlepas dari pergaulan dengan teman sebaya oleh kaum

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

remaja, peran keluarga dianggap sangat penting sebagai pembimbing,
pengarah serta pengawas seluruh kegiatan yang dilakukan oleh remaja
mereka. Sehingga bagi kelurga yang telah bercerai akan sulit dilakukan
pemantauan yang intens terhadap remaja mereka dikarenakan bentuk
keluarga yang tidak lagi lengkap seperti sebelum terjadinya perceraian.
Ditunjukkan oleh bisnissurabaya.com bahwa banyaknya kasus
kenakalan remaja yang kian hari semakin meningkat, hal itu dapat dilihat
dari statistik data kenakalan remaja sejak Januari hingga 22 November
2016, total kenakalan remaja yang ditangani tim satpol PP sebanyak 793
kasus. Rinciannya, 597 laki-laki dan 196 perempuan. Angka ini
mengalami peningkatan jika dibanding tahun lalu sebanyak 675 kasus.
menurut data satpol PP (2016), pelanggaran kenakalan remaja terbanyak
tahun ini didominasi oleh remaja yang kongkow di café. Jumlahnya
mencapai 135 kasus. Mereka yang terjaring razia di café umumnya
terjerat masalah minuman keras (miras) dan narkoba. Fakta lain
ditunjukkan oleh Harian Kompas (2016) bahwa total kejahatan yang
terjadi selama 2016 meningkat dari 44.304 pada 2015 menjadi 43.149
pada 2016. Peningkatannya lebih kurang tiga persen. Tercatat, ada 11
jenis kasus yang menonjol pada 2016. Sebanyak 11 kasus itu adalah
pencurian dengan pemberatan (curat) sebanyak 3.187 kasus, pencurian
dengan kekerasan (curas) sebanyak 719 kasus, penganiayaan berat
(anirat) sebanyak 1.153 kasus, pembunuhan 71 kasus.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

Karena kurangnya pengawasan orang tua dan penanaman nilai
moral yang kurang terhadap anak, banyak anak yang akhirnya terjerumus
ke dalam kelompok-kelompok sebaya yang buruk atau biasa disebut
dengan geng. Seperti yang peneliti lihat di daerah Kediri terdapat
beberapa kelompok (geng) yang sering membuat onar dan meresahkan
warga, diantaranya adalah balap liar dan punk. Hal ini banyak
disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan pengawasan orang tua serta
akibat dari perceraian keluarga.
Seperti ditunjukkan oleh liputan6.com bahwa terdapat geng-geng
terbesar yang berada di area Jawa Timur dan beberapa diantaranya
berasal dari Kediri. Liputan6.com, Jakarta mengungkapkan bahwa
zaman sekarang dunia memang sudah berkembang pesat, tak terkecuali
kenakalan remaja. Biasanya mereka akan menyalurkan kenakalannya
dengan bergabung dalam sebuah geng. Saya akan berbagi info soal
beberapa geng besar di Jawa Timur dan jika Anda mempunyai masalah
dengan geng-geng ini, penolong terbaik Anda adalah pihak kepolisian.
Geng tersebut diantaranya adalah Ligas yaitu salah satu geng terbesar di
daerah Jawa Timur. Persebaran geng ini meliputi beberapa kabupaten,
yaitu Kediri, Jombang, Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar. Pusat geng
ini berada di wilayah Ngantru, Tulungagung dan Prigi, Trenggalek.
Diperkirakan Jumlah anggotanya mencapai 20.000 pemuda. Beberapa
pelanggaran hukum sering dilakukan oleh geng ini salah satunya adalah
penganiayaan dan pengrusakan. Anggota geng ini tak segan-segan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

melibas musuhnya menggunakan senjata tajam. Selain itu ada Demper,
Geng ini berpusat di daerah Demangan, Karas, Kediri, yang wilayah
persebarannya berada di daerah Kediri dan Tulungagung. Jumlah anggota
geng ini tak sebanyak yang lainnya, hanya sekitar seribu. Meski
begitu, geng ini adalah salah satu geng paling ditakuti di daerah Kediri.
Merespon masalah ini beberapa pakar mencoba menerangkan
dengan mengacu pada lemahnya landasan pendidikan moral di Indonesia
khususnya di lingkungan keluarga dan masyarakat. Menurut Setiono
(dalam Nurhani, 2016) umumnya orang tua Indonesia cenderung
memberikan larangan-larangan atau keharusan-keharusan yang harus
dipatuhi anak atau mendiktekan mana yang baik dan yang buruk tanpa
memberikan dasar-dasar pertimbangan mengapa hal tersebut baik atau
buruk untuk dilakukan. Dalam hal ini anak tidak dilatih untuk
menimbang-nimbang dan akhirnya mengambil keputusan sendiri
mengenai apa yang baik dan yang buruk. Selain itu adanya konflik dalam
rumah tangga serta perceraian akan sangat mempengaruhi dampak
psikologis terhadap anak yang pada akhirnya mempengaruhi penalaran
moral serta pencapaian akademik yang rendah.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yara pada
tahun 2010 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pada pencapaian akademik anak yang berasal dari keluarga bercerai dan
keluarga yang utuh.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Omoruyi pada
tahun 2014 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara orangtua single dan pencapaian akademik. Selain itu, terdapat
hubungan yang signifikan antara remaja dari keluarga yang bercerai
terhadap pencapaian akademik.
Sarbini dalam penelitiannya pada tahun 2014 menyatakan bahwa
psikologis anak dari keluarga yang bercerai mengalami dampak negative
yang signifikan seperti rendah diri terhadap lingkungan, temperamen,
dan rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orang tuanya.
Selain itu, Fauziah menyatakan dalam hasil penelitiannya pada
tahun 2014 bahwa remaja korban broken home memiliki kecenderungan
suka menyendiri, pendiam, murung, merasa rendah diri terhadap temantemannya serta menilai perceraian orang tua mempengaruhi kegiatan
sehari-hari dan kegiatan belajar remaja.
Sejalan dengan hal itu, penelitian yang dilakukan oleh Aziz pada
tahun 2015 yang menunjukkan bahwa banyak anak korban broken home
tingkat SMP perilaku social mereka sudah sangat menggelisahkan para
guru. Perilaku mereka menyebabkan banyak guru yang mengeluh karena
suka

melanggar

aturan-aturan

sekolah,

bicara

kasar,

suka

melawan/menentang, tidak berakhlaq, tidak sopan, tidak bermoral, malas
ke sekolah, suka bolos, malas belajar, hilang semangat belajar, suka
recok dan caper, suka mengganggu teman dan guru.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

Selanjutnya, Nurhani dalam penelitiannya pada tahun 2016
menghasilkan bahwa penalaran moral pada individu berbeda-beda
didasarkan pada modelling.
Namun tak dapat dipungkiri banyak para peneliti menemukan
bahwa anak yang diasuh satu orang tua akan jauh lebih baik dari pada
anak yang diasuh keluarga utuh yang diselimuti rasa tertekan. Perceraian
dalam keluarga, tidaklah selalu membawa dampak negatif. Sikap untuk
menghindari suatu konflik, rasa tidak puas. Perbedaan paham yang terusmenerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk
memperoleh ketentraman diri. Perceraian dalam keluarga manapun
merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi remaja karena
akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu
orang tua. Bagaimana remaja bereaksi terhadap perceraian orang tuanya
sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan
sesudah perpisahan. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan
penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau
penarikan diri dari lingkungan sosial. Namun terdapat beberapa remaja
yang bahkan dengan sangat baik tetap mampu menjaga dirinya,
membentuk perilaku yang baik pula bahkan tetap bisa mempertahankan
prestasinya.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani
pada tahun 2003 menunjukkan bahwa penyesuaian social anak dapat

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

berkembang dengan baik oleh adanya peran serta dukungan social ayah
meskipun keluarga tidak lagi utuh.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Wrastari pada tahun
2013 menunjukkan bahwa meskipun keluarga telah bercerai namun anak
mampu memiliki psychological well-being yang baik dikarenakan faktor
seperti peer support, kebutuhan akan cinta dan kemtangan menuju
dewasa.
Alasan mengapa peneliti tertarik untuk meneliti perkembangan
penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai ini dikarenakan
peneliti melihat adanya keunikan pada beberapa kasus terhadap
keberhasilan akademik yang tinggi serta memiliki kesadaran diri yang
baik pada remaja dari keluarga yang bercerai. Peneliti ingin melihat
bagaimana proses perkembangan penalaran moral yang terbentuk
sehingga mampu membentuk pribadi yang sedemikian tanpa adanya
pengawasan serta pengasuhan dari keluarga yang lengkap. Keunikan dari
beberapa kasus ini terletak pada kemampuan subjek mengelola diri,
perilaku moral yang baik serta pencapaian prestasi belajar yang tinggi
bahkan disaat ia tidak diasuh oleh orang tua yang lengkap. Subjek
penelitian merupakan remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai.
Penelitian ini akan dilakukan di kabupaten Kediri dengan kriteria subjek
yang telah ditentukan oleh peneliti. Peneliti ingin mengungkap latar
belakang serta proses penalaran moral subjek penelitian secara lebih

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

detail serta mendalam melalui penelitian kualitatif dengan strategi studi
kasus.

B. Fokus Penelitian
Untuk mempermudah penulis dalam menganalisis hasil penelitian,
maka Penelitian ini difokuskan pada Remaja dengan rentang usia 12
hingga 16 tahun dari keluarga yang bercerai terutama dengan pencapaian
prestasi yang tinggi serta memiliki perilaku serta penalaran moral yang
baik.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimanakah
proses perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang
bercerai.
D. Manfaat Penelitian
1. Praktis
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara praktis terutama
kepada orang tua, keluarga, serta anak. Hal tersebut diharapkan dapat
dijadikannya sebuah bahan pengetahuan mengenai proses penalaran
moral seorang remaja khususnya pada keluarga yang bercerai.
2. Teoritis
Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

dalam bidang pengetahuan ilmu Psikologi yang mengkaji tentang
penalaran moral remaja dan keluarga yang bercerai.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berfokus mengenai penalaran moral remaja dari
keluarga

yang

bercerai

pernah

dilakukan

oleh

peneliti-peneliti

sebelumnya diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yara pada
tahun 2010 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pada pencapaian akademik anak yang berasal dari keluarga bercerai dan
keluarga yang utuh.
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Omoruyi pada
tahun 2014 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara orangtua single dan pencapaian akademik. Selain itu, terdapat
hubungan yang signifikan antara remaja dari keluarga yang bercerai
terhadap pencapaian akademik.
Sarbini dalam penelitiannya pada tahun 2014 menyatakan bahwa
psikologis anak dari keluarga yang bercerai mengalami dampak negative
yang signifikan seperti rendah diri terhadap lingkungan, temperamen,
dan rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orang tuanya.
Selain itu, Fauziah menyatakan dalam hasil penelitiannya pada
tahun 2014 bahwa remaja korban broken home memiliki kecenderungan
suka menyendiri, pendiam, murung, merasa rendah diri terhadap teman-

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

temannya serta menilai perceraian orang tua mempengaruhi kegiatan
sehari-hari dan kegiatan belajar remaja.
Sejalan dengan hal itu, penelitian yang dilakukan oleh Aziz pada
tahun 2015 yang menunjukkan bahwa banyak anak korban broken home
tingkat SMP perilaku social mereka sudah sangat menggelisahkan para
guru. Perilaku mereka menyebabkan banyak guru yang mengeluh karena
suka

melanggar

aturan-aturan

sekolah,

bicara

kasar,

suka

melawan/menentang, tidak berakhlaq, tidak sopan, tidak bermoral, malas
ke sekolah, suka bolos, malas belajar, hilang semangat belajar, suka
recok dan caper, suka mengganggu teman dan guru.
Selanjutnya, Nurhani dalam penelitiannya pada tahun 2016
menghasilkan bahwa penalaran moral pada individu berbeda-beda
didasarkan pada modelling.
Namun tak dapat dipungkiri banyak para peneliti menemukan
bahwa anak yang diasuh satu orang tua akan jauh lebih baik dari pada
anak yang diasuh keluarga utuh yang diselimuti rasa tertekan. Perceraian
dalam keluarga, tidaklah selalu membawa dampak negatif. Sikap untuk
menghindari suatu konflik, rasa tidak puas. Perbedaan paham yang terusmenerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk
memperoleh ketentraman diri. Perceraian dalam keluarga manapun
merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi remaja karena
akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu
orang tua. Bagaimana remaja bereaksi terhadap perceraian orang tuanya

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan
sesudah perpisahan. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan
penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau
penarikan diri dari lingkungan sosial. Namun terdapat beberapa remaja
yang bahkan dengan sangat baik tetap mampu menjaga dirinya,
membentuk perilaku yang baik pula bahkan tetap bisa mempertahankan
prestasinya.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani
pada tahun 2003 menunjukkan bahwa penyesuaian social anak dapat
berkembang dengan baik oleh adanya peran serta dukungan social ayah
meskipun keluarga tidak lagi utuh.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Wrastari pada tahun
2013 menunjukkan bahwa meskipun keluarga telah bercerai namun anak
mampu memiliki psychological well-being yang baik dikarenakan faktor
seperti peer support, kebutuhan akan cinta dan kemtangan menuju
dewasa.
Selain itu pernah diteliti juga oleh

Astuti dengan judul penelitian

Subjective Well-Being Pada Remaja Dari Keluarga Broken Home dengan hasil
penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective wellbeing, yaitu dukungan sosial, pola asuh orang tua, jenis kelamin, ekonomi,
strategi coping. Dalam penelitian ini pula tidak diungkap proses penalaran
moral remaja sehingga mencapai penalaran moral yang baik pada subjek
penelitian.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

Selain itu penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh penelitian
yang dilakukan oleh Fauziah pada penelitiannya yang menyatakan bahwa
Remaja yang berasal dari keluarga broken home agar lebih mengetahui
dan memahami diri sendiri sehingga bisa menerima dan menilai
perceraian orang tuanya secara positif.
Namun dalam penelitian ini pula tidak diungkap bagaiman proses
penalaran moral remaja sehingga mampu mencapai penalaran moral yang
baik serta prestasi yang tinggi pada akademiknya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1.

Perkembangan Moral
a.

Pengertian moral
Kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak mores) yang berarti
kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standart salah
atau benar bagi seseorang (Rogers & Baron, dalam Martini, 1995). Kata
moral sendiri berasal dari bahasa Latin moris yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, tata cara dalam kehidupan. Jadi suatu tingkah laku dikatakan
bermoral apabila tingkah laku itu sesuai dengan nilai – nilai moral yang
berlaku dalam kelompok sosial dimana anak itu hidup.
Sejalan dengan pengertian diatas, menurut Hurlock (2003) moral
berasal dari bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat,
dan cara kebiasaan rakyat. Perilaku moral merupakan perilaku di dalam
konformitas dengan suatu tata cara moral kelompok sosial. Kohlberg
menegasakan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran. Maka
iapun menamakannya dengan penalaran moral.
b. Penalaran Moral
Kohlberg (dalam Slavin, 2011) mendefinisikan penalaran moral
sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap
kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan.

17
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

Penalaran moral dapat dijadikan sebuah prediktor terhadap dilakukannya
tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Kohlberg
mengemukakan bahwa penalaran moral adalah suatu pemikiran tentang
masalah moral. Pemikiran tersebut merupakan prinsip yang dipakai
dalam menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral.
Menurut teori Piaget (dalam Slavin, 2011) proses penalaran moral
sejalan dengan perkembangan kognisi. Piaget percaya bahwa struktur dan
kemampuan kognisi berkembang lebih dulu. Kemampuan kognisi
kemudian menentukan kemampuan anak-anak bernalar mengenai dunia
sosialnya.
Piaget membagi tahap perkembangan moral menjadi dua, yatu
tahap moralitas heteronom dan tahap moralitas otonom. Tahap moralitas
heteronom terjadi pada usia anak-anak awal yaitu sekitar usia 4 tahun
hingga 7 tahun. Slavin (2011) menyebutnya juga sebagai tahap “realisme
moral” atau “moralitas paksaan”. Kata Heteronom berarti tunduk pada
aturan yang diberlakukan orang lain.
Selama periode heteronom, seorang anak kecil selalu dihadapkan
terhadap orang tua atau orang dewasa lain yang memberitahukan kepada
mereka manakah hal yang salah dan manakah hal yang benar. Pada usia
ini, seorang anak akan memikirkan bahwa melanggar aturan akan selalu
dikenakan hukuman dan orang yang jahat pada akhirnya akan dihukum.
Selain itu Piaget (dalam Slavin, 2011) menegaskan bahwa anak pada usia
kanak-kanak awal menilai sebuah perilaku yang jahat adalah hal yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

menghasilkan konsekuensi negatif sekalipun maksudnya adalah sebuah
kebaikan.
Sedangkan tahap moralitas kedua menurut Piaget adalah tahap
moralitas otonom. Tahap moralitas otonom ini terjadi pada usia diatas 6
tahun atau pada masa pertengahan dan akhir anak-anak. Pada usia 10
hingga 12 tahun, anak-anak mulai tidak menggunakan dan menaati
aturan dari suara hati. Moralitas otonom disebut pula sebagai moralitas
kerja sama. Moralitas tersebut muncul ketika dunia sosial anak itu meluas
hingga meliputi makin banyak teman sebaya. Dengan terus-menerus
berinteraksi dan bekerja sama dengan anak lain, gagasan anak tersebut
tentang aturan dan karena itu juga moralitas akhirnya berubah.
c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Faktor yang paling mempengaruhi penilaian moral adalah keluarga.
Rice ( dalam Suciati, 2008) penelitian mengenai perkembangan moral
anak dan remaja menekankan pentingnya peran orang tua dan keluarga.
Terdapat beberapa faktor keluarga yang berhubungan secara signifikan
dengan pembelajaran moral pada anak
1) Tingkat kehangatan, penerimaan dan kepercayaan yang
ditunjukan terhadap anak. Anak cenderung mengagumi dan
meniru orangtua yang hangat, sehingga menumbuhkan sifat
yang baik pada anak. Teori differential assosiation dari
Sutherland dan Cressey (dalam Suciati, 2008) menjelaskan
bahwa prioritas, durasi, intensitas dan frekuensi dari hubungan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

orangtua anak memfasilitasi pembelajaran moral dan perilaku
kriminal pada anak. Hubungan orangtua anak yang dianggap
penting (prioritas tinggi) dalam jangka waktu yang lama
(durasi tinggi), dikarakteristikan dengan kedekatan emosi
(intensitas tinggi) serta jumlah kontak dan komunikasi yang
maksimal (frekuensi tinggi), memiliki efek positif pada
perkembangan moral anak.
2) Frekuensi interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anak.
Teori role modelling mengatakan bahawa identifikasi anak
terhadap orangtua dipengaruhi frekuensi interaksi orangtuaanak. Orangtua yang sering berinteraksi secara intensif dengan
anaknya cenderung lebih mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan anaknya. Interaksi orangtua-anak memberikan
kesempatan untuk pembahasaan nilai-nilai dan norma-norma,
terutama bila interaksi dilakukan secara demokratis dan
bersifat mutual.
3) Tipe dan tingkat disiplin yang dijalankan orangtua. Hasil
penelitian menunjukan bahwa disiplin mempunyai efek yang
positif terhadap pembelajaran moral ketika:
a) Konsisten, baik intraparent (konsisten dalam melakukan
disiplin maupun interparent (konsisten antara kedua
orangtua).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

b) Kontrol

terutama

dilakukan

secara

verbal

melalui

penjelasan guna mengembangkan kontrol internal pada
anak. Orangtua yang melakukan penjelasan verbal secara
jelas dan resional menghasilkan internalisasi nilai dan
standar pada anak, terutama ketika penjelasan disertai
dengan afeksi sehingga anak cenderung untuk menerima.
Remaja menginginkan dan membutuhkan arahan orangtua.
c) Adil dan sesuai serta menghindari kekerasan Orangtua
yang menggunakan kekerasan menyimpang dari tujuan
disiplin, yaitu, mengembangkan hati nurani, sosialisasi,
dan kooperasi (Herzberger and Tennen, 1985, dalam Rice,
1993). Orangtua yang terlalu permisif juga menghambat
perkembangan sosialisasi dan moral anak karena mereka
tidak memberikan bantuan untuk mengembangkan kontrol
dalam diri anak.
d) Bersifat demokratis, bukan permisif ataupun autokratik.
4) Contoh yang diberikan orangtua bagi anak.
Hasil

penelitian

menunjukan

bahwa

perilaku

menyimpang ayah berkorelasi secara signifikan dengan
perilaku devian anak pada masa remaja dan dewasa. Sangatlah
penting bagi orangtua untuk menjadi sosok yang bermoral jika
ingin memberikan model positif bagi anak mereka untuk ditiru.
5) Kesempatan untuk mendiri yang disediakan orangtua.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Pengaruh peer juga penting bagi perkembangan anak. Kontak
sosial dengan orang-orang dari budaya dan latar belakang sosiale konomi
yang berbeda membantu perkembangan moral.
Selanjutnya, Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menekankan bahwa
cara berfikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini,
menurut Kohlberg bersifat universal. Dalam teorinya, Kohlberg
mendasarkan

teori

perkembangan

moral

pada

prinsip-prinsip

perkembangan moral Piaget. Konsep dari penalaran moral Kohlberg ini
merupakan perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan
secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menggambarkan tiga tingkatan
penalaran tentang moral dan setiap tingkatnya memiliki 2 tahapan, yaitu :
1.

Penalaran Prakonvensional adalah tingkat terendah dari
penalaran moral menurut Kohlberg. Pada tahap ini baik dan
buruk

diinterpretasikan

melalui

reward

(imbalan)

dan

punishment (hukuman) eksternal.
a.

Tahap 1, moralitas heteronom adalah tahap pertama dalam
penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran
moral terkait dengan punishment. Sebagai contoh anak
berfikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut
hukuman terhadap perilaku membangkang.

b.

Tahap 2, individualisme, tujuan instrumental, dan
pertukaran

adalah

tahap

kedua

dari

penalaran

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran individu yang
memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar
dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu,
menurut mereka apa yang benar adalah sesuatu yang
melibatkan pertukaran yang setara. Mereka berpikir
apabila mereka baik terhadap oaring lain maka orang lain
akan baik terhadap mereka juga.
2. Penalaran konvensional, yaitu tingkat kedua atau menengah
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini,
individu memberlakukan standart tertentu, tetapi standart ini
ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua atau
pemerintah.
a.

Tahap 3, ekspektasi interpersonal mutual, hubungan
dengan

orang

lain,

dan

konformitas

interpersonal

merupakan tahap ketiga dari tahap perkembangan moral
Kohlberg.

Pada

tahap

ini

individu

menghargai

kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain
sebagai dasar dari penilaian moral. Anak dan remaja
seringkali mengadopsi standart moral orang tua dalam
tahap ini agar dianggap sebagai anak yang baik.
b.

Tahap 4, moralitas system sosial adalah tahap keempat
menurut teori Kohlberg. Pada tahap ini, penilaian moral

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

didasari

oleh

pemahaman

tentang

keteraturan

di

masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.
3. Penalaran Pascakonvensional, adalah tingkatan tertinggi dalam
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu
menyadari adanya jalur moral alternative, mengeksplorasi
pilihan ini, lalu memutaskan berdasarkan kode moral personal.
a.

Tahap 5, kontrak atau utilitas sosial dan hak individu.
Pada tahap ini, individu menalar bahwa nilai, hak dan
prinsip lebih utama atau lebih luas daripada hukum.
Seseorang mengevaluasi validitas hukum yang ada, dan
system sosial dapat diuji berdasarkan sejauh mana hal ini
menjamin dan melindungi hak asasi dan nilai dasar
manusia.

b.

Tahap 6, prinsip etis universal adalah tahapan tertinggi
dalam perkembangan moral menurut Kohlberg. Pada
tahap ini, seseorang telah mengembangkan standard moral
berdasarkan

hak

asasi

manusia

universal.

Ketika

dihadapkan dengan pertentangan antara hukum dan hati
nurani, seseorang menalar bahwa yang harus diikuti
adalah hati nurani, meskipun keputusan itu dapat
memberikan resiko.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

Rest membagi komponen penalaran moral menjadi empat hal
(dalam Nurhani, 2016). Adapun empat komponen utama penalaran moral
yang dikemukakan oleh Rest, antara lain :
1.

Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan
moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya,
memperkirakan bagaimana masing-masing pelaku dalam
situasi terpengaruh oleh berbagai tindakan tersebut).

2.

Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang,
merumuskan suatu rencana tindakan yang merujuk kepada
suatu standar moral atau suatu ide tertentu (mencakup konsep
kewajaran & keadilan, penalaran moral, penerapan nilai moral
sosial).

3.

Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan
dengan bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral
atau bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang
secara aktual akan dilakukan seseorang (mencakup proses
pengambilan keputusan, model integrasi nilai, dan perilaku
mempertahankan diri).

4.

Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan
yang berbobot moral (mencakup ego-strength dan proses
pengaturan diri).

Menurut Kohlberg (dalam Nurhani, 2016), ada 3 faktor umum yang
memberikan kontribusi pada perkembangan penalaran moral yaitu:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

1.

Kesempatan pengambilan peran
Perkembangan

penalaran

moral

meningkat

ketika

seseorang terlibat dalam situasi yang memungkinkan seseorang
mengambil perspektif sosial seperti situasi dimana seseorang
sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan,
kebutuhan, hak, kewajiban, nilai dan standar orang lain.
2. Situasi moral
Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak
dan kewajiban yang fundamental yang didistribusiakan dan
melibatkan keputusan. Dalam beberapa lingkungan, keputusan
diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur
otoritas (tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan
didasarkan pada pertimbangan pada system yang tersedia
(tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran moral ditunjukkan
oleh situasi yang menstimulasi orang untuk menunjukkan nilai
moral dan norma moral.
3. Konflik moral kognitif
Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran
moral seseorang dengan penalaran orang lain. Dalam beberapa
studi, subjek bertentangan dengan orang lain yang mempunyai
penalaran moral lebih tinggi maupun lebih rendah. Anak yang
mengalami pertentangan dengan orang lain yang memiliki
penalaran moral yang lebih tinggi menunjukkan tahap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada anak yang
berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki tahap
penalaran moral yang sama dengannya.
Penalaran moral berhubungan dengan nilai-nilai mengenai apa
yang dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain yang
diteliti dalam 3 domain (dalam Santrock, 2003), yaitu :
1.

Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan
peraturan-peraturan melakukan tingkah laku etis.

2.

Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang
sebenarnya.

3.

Bagaiamana perasaan remaja mengenai perasaan moral.

Erickson (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa ada tiga
perkembangan moral yang spesifik dimasa anak-anak, perhatian terhadap
ideology pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa dewasa.
Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian
identitas. Bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan
yang mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka merasa
kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong setidaknya untuk
sementara. Hal ini dapat membawa remaja ke usaha mencari ideology
yang akan memberikan tujuan dalam hidup mereka.
Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur dan bukan
sebuah isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat
tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur,
maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas,
sehingga penalaran moral bersifat universal.
Penalaran moral inilah yang menjadi indicator dari tingkatan atau
tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu
tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan
perilaku seseorang atau bahkan mendengar bahwa suatu itu salah.
Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari
moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001).
Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang
diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar
dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas
pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban
atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada
keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010).
Proses penalaran moral yang terjadi pada remaja sanagt ditentukan
oleh hubungan atau aktivitasnya dengan lingkungan, selain dengan
keluarga khusunya adalah dengan teman sebaya. Hal ini sejalan dengan
Kohlberg (dalam Santrock, 2011) percaya bahwa proses dalam keluarga
pada dasarnya tidak penting dalam perkembangan moral anak. Ia
berpendapat bahwa hubungan orang tua – anak biasanya tidak
memberikan kesempatan kepada anak untuk membentuk perspektif

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

memberi dan menerima. Menurut Kohlberg kesempatan ini justru ada
pada hubungan dengan teman sebaya. Meskipun banyak ahli lain yang
lebih

berfokus

kepada

nilai

moral

orang

tua

mempengaruhi

perkembangan penalaran moral anak. Namun mereka juga setuju dengan
Kohlberg dan Piaget, bahwa teman sebaya juga memiliki peran yang
sangat penting dalam perkembangan penalaran moral.
d. Perubahan Konsep Moral
Hurlock (2003) mengemukakan bahwa tugas perkembangan
penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk
perilakunya agar sesuai dengan harapan social tanpa harus dibimbing,
diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dilakukan pada
masa anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral
yang berlaku dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku
umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang selanjutnya
berfungsi sebagai pediman bagi perilakunya.
Remaja dituntut harus mampu mengendalikan perilakunya sendiri
yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell
(dalam Hurlock, 2003) meringkas lima perubahan dasar dalam
perkembangan moral remaja, yaitu :
a. Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih
abstrak dan kurang konkret.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id dig