Hubungan Keharmonisan Keluarga Dengan Penalaran Moral Pada Remaja Delinkuen
HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN
PENALARAN MORAL PADA REMAJA DELINKUEN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
TAPI YANDA SARI
061301039
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:
Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran Moral pada Remaja
Delinkuen
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Januari 2011
TAPI YANDA SARI NIM: 061301039
(3)
Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran Moral pada Remaja Delinkuen
Tapi Yanda Sari dan Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi.
ABSTRAK
Penalaran moral adalah kemampuan seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembanagan penalaran moral seorang remaja adalah keluarga. Peran aktif orangtua dalam membina hubungan yang serasi dan harmonis antara semua anggota keluarga akan menciptakan hubungan yang baik di dalam interaksi antar anggota keluarga. Interaksi yang tercipta dalam suatu keluarga akan mempengaruhi individu dalam bersikap dan berperilaku, baik itu positif maupun negatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara hubungan keharmonisan keluarga dengan penalaran moral pada remaja delikuen. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 70 orang remaja delinkuen yang berusia berusia 18-21 tahun. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala keharmonisan keluarga dan Defining Issues Test (DIT) versi pendek. Skala keharmonisan keluarga disusun berdasarkan aspek keharmonisan keluarga menurut Nick Stinnet dan John Defrain (1989). Defining Issues Test (DIT) bentuk singkat merupakan alat ukur yang dibuat oleh Rest berdasarkan kombinasi orientasi teoritik umum kohlberg dengan prosedur konstruksi tes secara psikometri (Rest, 1979). Analisa data yang digunakan adalah korelasi Spearmen rho. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai korelasi antara keharmonisan keluarga dengan penalaran moral adalah sebesar rxy = -0.010 dengan nilai p = 0.467 (tidak signifikan), yang artinya tingginya tingkat keharmonisan suatu keluarga belum tentu menyebabkan penalaran moral remaja tinggi. Sebaliknya, rendahnya tingkat keharmonisan suatu keluarga belum tentu menyebabkan penalaran moral remaja rendah.
(4)
Family Harmony relationship with Moral Reasoning in Adolescents Delinkuen
Tapi Yanda Sari dan Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi.
ABSTRAC
Moral reasoning is the ability for someone to be able to decide social-moral issues in a complex situation by conducting an assessment prior to the social values and about what action it will do. One of the factors that can affect the evolution of moral reasoning is the family of a teenager. Active participation of parents in fostering harmonious relations and harmony among all family members will create a good relationship in the interaction between family members. Interaction is created in a family will affect the individual in attitude and behavior, whether positive or negative.
This study aims to determine whether there is a relationship between family harmonious relationship with moral reasoning in adolescents delikuen. Sampling was conducted with a purposive sampling technique, with the number of subjects as many as 70 people delinkuen adolescents aged 18-21 years old. Measuring instrument in this study is the scale of family harmony and the Defining Issues Test (DIT) short version. Scale of family harmony are prepared on aspects of family harmony by Nick Stinnet and John Defrain (1989). Defining Issues Test (DIT) is a shortened form measuring instrument made by the Rest on the basis of a combination of Kohlberg's general theoretical orientation with a psychometric test construction procedures (Rest, 1979). Analysis of the data used is Spearmen rho correlation. From the calculation results obtained that the correlation between family harmony with the moral reasoning amounted rxy = -0010 with p = 0467 (not significant), which means high levels of family harmony is not necessarily a cause of high adolescent moral reasoning. Conversely, the low level of harmony of a family does not necessarily lead to lower adolescent moral reasoning.
(5)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Illahi Rabbi, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : “Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran Moral pada Remaja Delinkuen”. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, serta orang-orang beriman di jalan-Nya.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada kedua orangtua peneliti ayahanda Dr. N. Hasibuan (ALM), dan ibunda A. D. Nasution, atas segala do’a, dukungan, dan kasih sayangnya dalam membimbing penulis selama ini. Semoga Allah selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Kepada adikku (anggi), terima kasih perhatian dan dukungannya.
Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. DR. Irmawati, psikolog, Selaku Dekan Fakultas Psikologi
2. Ibu Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih banyak atas bimbingan, dukungan dan bantuan yang telah ibu berikan demi suksesnya penelitian ini. Penulis minta maaf yang sebesar-besarnya bila selama proses penelitian ini pernah membuat ibu kesal.
(6)
3. Ibu Lili Garliah, M.Si, selaku dosen penguji dan pembimbing seminar. Terima kasih atas kesediaan Ibu meluangkan waktu untuk memberikan masukan, dan saran yang sangat berarti bagi penulis demi penyempurnaan skripsi ini.
4. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog, selaku dosen penguji. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan dan saran bagi penulis.
5. Ibu Irna Minauli, M.Psi sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas nasehat dan bimbingan yang ibu berikan selam penulis kuliah di Fakultas Psikologi USU.
6. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumtera Utara. Terima kasih atas segala ilmu dan pengalaman yang telah diberikan. Semoga ilmu dan pengalaman yang diberikan menjadi bekal dikemudian hari.
7. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Bapak
Iskandar, Bapak Aswan, Kak Erna, Kak Devi, dan Kak Ari, yang telah banyak membantu penulis khususnya dalam hal administrasi.
8. Terima kasih kepada Kepala Departemen Hukum dan HAM R.I Kantor Wilayah
Sumatera Utara yang telah memberikan izin pengambilan data di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II Tanjung Gusta Medan
9. Bapak Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Kelas II Medan,
terima kasih atas izin yang diberikan untuk melakukan pengambilan data.
10. Kak Maya dan Bang Asnal, terima kasih atas nasehat, perhatian, dan semangat serta dukungannya hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
(7)
11. Teman-temanku tersayang, Nella Rizka Zahara, terimakasih atas bantuan dan kesediaannya menemani penulis ke Kanwil - LP dari awal hingga akhir pengambilan data, Rizki Maulida, Mardiah, Helvira Rosalia, Henny Syahminda, Jimmy P., Feny DML, Suri Mutia, dan Nurul M H, terima kasih banyak ya teman-teman atas masukan, semangat dan do’anya.
12. Teman-teman Formasi (baik yang sudah alumni maupun yang belum), Fitri, Putri, Paidi, Aslam, Ikhsan, Hans, Irma, Kak Sifa, Kak eno, Kak Faqih, Kak Via, Kak Deby. Terima kasih atas masukan dan bantuan yang diberikan kepada penulis baik selama proses perkuliahan maupun proses skripsi.
13. Teman-teman senasib seperjuangan stambuk 2006 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas masukan, dan semangatnya.
14. Pada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, terima kasih banyak atas bantuannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, mohon maaf bila ada salah. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Medan, Januari 2011
Penulis Tapi Yanda Sari
(8)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM... 1
LEMBAR PERNYATAAN ... 2
HALAMAN ABSTRAK ... 3
HALAMAN ABSTRAK INGGRIS ... 4
KATA PENGANTAR ... 5
DAFTAR ISI ... 8
DAFTAR TABEL ... 12
DAFTAR LAMPIRAN ... 13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 14
B. Tujuan Penelitian ... 20
C. Manfaat Penelitian ... 21
D. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II LANDASAN TEORI A. Penalaran Moral 1 Pengertian Moral ... 24
2 Pengertian Penalaran Moral ... 24
3 Tahapan-tahapan Perkembangan Penalaran Moral ... 26
4 Komponen Penalaran Moral ... 30
(9)
6 Pengukuran Penalaran Moral ... 33
B. Keharmonisan Keluarga 1 Pengertian Keharmonisan ... 35
2 Pengertian Keluarga ... 35
3 Pengertian Keharmonisan Keluarga ... 36
4 Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga ... 37
C. Remaja 1 Pengertian Remaja ... 41
2 Tugas perkembangan Remaja ... 41
3 Ciri-ciri masa Remaja ... 42
4 Remaja Delinkuen ... 44
a. ... Pengertian Delinkuensi Remaja ... 44
b. ... Karakteristik Remaja Delinkuen ... 45
D. Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran Moral pada Remaja Delinkuen ... 46
E. Hipotesis Penelitian ... 49
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitan ... 50
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 50
(10)
2 Keharmonisan Keluarga ... 51
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1 Populasi ... 52
2 Metode pengambilan sampel ... 54
D. Alat Ukur Penelitian 1 Defining Issues Test (DIT) versi singkat ... 56
2 Skala Keharmonisan Keluarga ... 57
E. Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas 1 Validitas ... 58
2 Uji Daya Beda ... 59
3 Reliabilitas... 60
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 61
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 64
1 Persiapan Penelitian ... 64
2 Pelaksanaan Penlitian ... 66
3 Pengolahan Data. ... 66
F. Metode Analisa Data ... 66
BAB IV ANALISA DATA & PEMBAHASAN A. Gambaran umum subjek penelitian ... 69
B. Hasil Penelitian 1 Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 71
(11)
b Uji Linieritas... 73
2 Hasil Utama Penelitian a Korelasi Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran Moral ... 74
3 Hasil Analisa Tambahan ... 76
2) Kategorisasi Data Penelitian ………..76
a Kategorisasi Skor Keharmonisan Keluarga ... 77
b Kategorisasi Penalaran Moral ... 78
C. Pembahasan ... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 87
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Blue print skala keharmonisan keluarga………...58
Tabel 2 Blue print skala keharmonisan keluarga sebelum uji coba……....62
Tabel 3 Blue print skala keharmonisan keluarga setelah uji coba………..62
Tabel 4 Blue print skala keharmonisan keluarga yang digunakan saat penelitian...….………...63
Tabel 5 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia………...70
Tabel 6 Deskriptif data penelitian………...71
Tabel 7 Hasil uji normalitas………...72
Tabel 8 Hasil pengujian linearitas…...………...73
Tabel 9 Korelasi antara keharmonisan keluarga dengan penalaran moral ………..………...75
Tabel 10 Deskripsi skor empirik dan hipotetik variabel keharmonisan keluarga…………..………...76
Tabel 11 Kategorisasi data variabel keharmonisan...77
(13)
Tabel 13 Deskripsi kategorisasi subjek berdasarkan tingkat penalaran
moral...79
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Skala keharmonisan keluarga...91Lampiran 2 Skala DIT (Defining Issues Test)...99
Lampiran 3 Data mentah skala keharmonisan keluarga...112
Lampiran 4 Data mentah skala DIT (Defining Issues Test)...119
Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas dan Linearitas...122
(14)
Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran Moral pada Remaja Delinkuen
Tapi Yanda Sari dan Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi.
ABSTRAK
Penalaran moral adalah kemampuan seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembanagan penalaran moral seorang remaja adalah keluarga. Peran aktif orangtua dalam membina hubungan yang serasi dan harmonis antara semua anggota keluarga akan menciptakan hubungan yang baik di dalam interaksi antar anggota keluarga. Interaksi yang tercipta dalam suatu keluarga akan mempengaruhi individu dalam bersikap dan berperilaku, baik itu positif maupun negatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara hubungan keharmonisan keluarga dengan penalaran moral pada remaja delikuen. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 70 orang remaja delinkuen yang berusia berusia 18-21 tahun. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala keharmonisan keluarga dan Defining Issues Test (DIT) versi pendek. Skala keharmonisan keluarga disusun berdasarkan aspek keharmonisan keluarga menurut Nick Stinnet dan John Defrain (1989). Defining Issues Test (DIT) bentuk singkat merupakan alat ukur yang dibuat oleh Rest berdasarkan kombinasi orientasi teoritik umum kohlberg dengan prosedur konstruksi tes secara psikometri (Rest, 1979). Analisa data yang digunakan adalah korelasi Spearmen rho. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai korelasi antara keharmonisan keluarga dengan penalaran moral adalah sebesar rxy = -0.010 dengan nilai p = 0.467 (tidak signifikan), yang artinya tingginya tingkat keharmonisan suatu keluarga belum tentu menyebabkan penalaran moral remaja tinggi. Sebaliknya, rendahnya tingkat keharmonisan suatu keluarga belum tentu menyebabkan penalaran moral remaja rendah.
(15)
Family Harmony relationship with Moral Reasoning in Adolescents Delinkuen
Tapi Yanda Sari dan Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi.
ABSTRAC
Moral reasoning is the ability for someone to be able to decide social-moral issues in a complex situation by conducting an assessment prior to the social values and about what action it will do. One of the factors that can affect the evolution of moral reasoning is the family of a teenager. Active participation of parents in fostering harmonious relations and harmony among all family members will create a good relationship in the interaction between family members. Interaction is created in a family will affect the individual in attitude and behavior, whether positive or negative.
This study aims to determine whether there is a relationship between family harmonious relationship with moral reasoning in adolescents delikuen. Sampling was conducted with a purposive sampling technique, with the number of subjects as many as 70 people delinkuen adolescents aged 18-21 years old. Measuring instrument in this study is the scale of family harmony and the Defining Issues Test (DIT) short version. Scale of family harmony are prepared on aspects of family harmony by Nick Stinnet and John Defrain (1989). Defining Issues Test (DIT) is a shortened form measuring instrument made by the Rest on the basis of a combination of Kohlberg's general theoretical orientation with a psychometric test construction procedures (Rest, 1979). Analysis of the data used is Spearmen rho correlation. From the calculation results obtained that the correlation between family harmony with the moral reasoning amounted rxy = -0010 with p = 0467 (not significant), which means high levels of family harmony is not necessarily a cause of high adolescent moral reasoning. Conversely, the low level of harmony of a family does not necessarily lead to lower adolescent moral reasoning.
(16)
BAB I
PENDAHULUAN
Masa remaja dipandang sebagai periode perkembangan yang menentukan, karena di dalamnya terdapat proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja pada masa ini mengalami perubahan pada sejumlah aspek perkembangan, salah satunya adalah aspek moral (Hurlock 1980). Pada masa remaja mores atau moral merupakan suatu hal yang penting sebagai pedoman atau petunjuk bagi remaja dalam rangka mencari jalannya sendiri menuju ke kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi pada masa remaja (Sarwono, 2010).
Moral dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Menurut Rogers dan Baron (dalam Martani, 1995). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh oleh Hasan (2006) bahwa secara umum moral dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut. Kohlberg (1995) menyatakan bahwa moral adalah bagian dari
(17)
penalaran, dan ia pun menamakannya dengan istilah penalaran moral (moral reasoning).
Penalaran moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks (Rest dalam Kaplan, 2006). Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010). Penalaran moral berkembang melalui tahapan tertentu. Tahapan moral ini merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan perilaku moral seseorang (Kohlberg dalam Martani, 1995).
Berdasarkan penelitian Kohlberg (1995) ada enam tahap perkembangan moral, dimana tahapan ini dibagi dalam tiga tingkat, yaitu tingkat pre-conventional, tingkat conventional, dan tingkat post-conventional. Semua tahap bergerak maju menurut urutan dan tidak meloncati tahap-tahap yang ada. Penalaran moral konvensional atau jenis tahap 3-4, tidak pernah muncul sebelum pemikiran prakonvensional gaya tahap 1 dan tahap 2 terjadi, dan tak seorangpun pada tahap 4 pernah melewati tahap 6. Setiap individu dapat bergerak melalui tahap-tahap ini dengan kecepatan yang berbeda, dan seorang individu dapat saja berhenti pada suatu tahap tertentu dan pada usia tertentu.
Menurut Kohlberg (1995), diusia remaja seorang remaja harus mencapai tahap perkembangan moral ketiga, yaitu moralitas pascakonvensional (postconventional morality) (Hurlock 1980). Individu yang telah mencapai tingkat
(18)
moralitas ini mendasarkan penilaian mereka terhadap norma dari harapan masyarakat serta berorientasi pada dasar-dasar moral universal, yaitu hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kohlberg, seorang remaja seharusnya dapat bertindak sesuai dengan norma dan harapan masyarakat dan melakukan tingkah-laku moral yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip etis. Namun, pada kenyataannya banyak remaja yang berperilaku tidak sesuai dengan prinsip-prinsip etis dan menjadi pelaku kriminal. Hal ini menurut Kohberg, menunjukkan penalaran moral remaja yang rendah dikarenakan terlambatnya perkembangan penalaran moral pada remaja (Kohberg, 1995).
Perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma atau prinsip-prinsip etis dapat dilihat dari data-data berikut. Pada tahun 2005, dilakukan penelitian oleh BNN yang bekerjasama dengan Universitas Indonesia (UI) dan BPS, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 13.710 sampel darah pelajar dan mahasiswa dengan rata-rata usia 15-25 tahun di 26 provinsi ternyata sekitar 58 persen diantaranya pernah terlibat penyalahgunaan narkoba (BNN dalam Wulandari, 2008). Hal ini juga didukung oleh data dari Dinas Sosial DKI Jakarta yang menunjukkan bahwa tercatat 19 % dari jumlah remaja di Indonesia atau sekitar 14 ribu remaja, diindikasikan menjadi pengguna narkoba (Dinsos Jakarta, 2010). Hasil dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang dilakukan pada tahun 2002-2003 didapatkan 2,4% atau sekitar 511.336 orang dari 21.264.000 jumlah remaja
(19)
berusia 15-19 tahun dan 8,6% atau sekitar 1.727.929 orang dari hubungan seks pra nikah dan lebih banyak terjadi pada remaja di perkotaan (5,7%) (dalam Endarto, 2000).
Kemudian data dari Poltabes kota Yogyakarta tahun 2005 menunjukkan bahwa dari 245 kasus yang ditangani Poltabes kota Yogyakarta 127 diantaranya adalah pelajar sekolah menengah umum, 47 kasus perkelahian pelajar melibatkan pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama, dan 71 kasus melibatkan mahasiswa (Pemda dalam Rachim dan Nashori, 2007). Sejalan dengan hal tersebut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menyatakan mulai Januari hingga Oktober 2009 jumlah kasus kriminal yang dilakukan anak-anak dan remaja tercatat 1.150 kasus, sementara pada tahun 2008 hanya 713 kasus (Sinar Indonesia Baru, 2009 ). Data dari Lapas Anak Tanjung Gusta Medan juga menunjukkan bahwa pada tahun 2008 jumlah anak dan remaja laki-laki yang menghuni lapas tersebut sekitar 485 orang anak, pada tahun 2009 sekitar 510 anak dan pada tahun 2010 berjumlah 565 orang anak, dengan rentang usia 13-21 tahun. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah remaja yang berperilaku menyimpang di Indonesia.
Perilaku-perilaku remaja yang menyimpang atau melanggar norma sering disebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang terjadi cukup memprihatinkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini karena kenakalan yang tampak bukan sekedar pencarian jati diri remaja melainkan sudah mengarah pada tindak kriminal, seperti pengerusaka pemerasan, penganiayaan,
(20)
tawuran, mabuk-mabukan, menghisap narkoba, bahkan pembunuhan. Hal ini tentu saja bukan hanya membuat kekhawatiran orangtua tetapi juga masyarakat. Hasil penelitian Efendi (dalam Lunanta, 2005) menyimpulkan bahwa tindak kenakalan remaja tidak saja terbatas pada penyimpangan perilaku yang ringan seperti kurang hormat pada guru, merokok, corat-coret, tetapi sudah mengarah pada kenakalan yang menjurus pada tindak kriminal yang berdampak buruk pada masa depan bangsa.
Kenakalan remaja dalam bahasa ilmiah disebut dengan dengan istilah delinkuensi remaja. Delinkuensi remaja (juvenile delinquency) didefinisikan sebagai segala perilaku ilegal yang dilakukan oleh remaja. Perilaku delinkuen disini menekankan pada kriminalitas dan aspek illegal dari suatu perilaku. Aktifitas ilegal tersebut tidak semua mengarah kepada pelanggaran yang serius, hal ini dikarenakan frekuensi, keseriusan dan kekronisan remaja melakukan dalam melakukan perilaku tersebut berbeda-beda (Dacey dan Kenny , 2001). Menurut Kartono (2008) delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja. Salah satu faktor yang dapat memicu timbulnya kenakalan remaja adalah lingkungan keluarga (Jensen dalam Sarwono, 2010). Menurut Hoffman (dalam Santrock, 1996) lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi seorang anak dalam proses perkembangannya, termasuk bagi proses perkembangan moral anak. Penelitian Qudsyi dan Gusniarti (2007) terhadap anak-anak yang berusia 10 hingga 12 tahun juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberfungsian keluarga dengan
(21)
penalaran moral anak. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang berfungsi memiliki tingkat penalaran moral yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang berfungsi.
Pengalaman-pengalaman dan dinamika yang terjadi di dalam keluarga juga secara kuat mempengaruhi sikap dan perilaku yang selalu konsisten dengan sesuatu yang terjadi dan dipelajari di dalam keluarga (Cooll,Juhnke, Thobro, Haas & Robinson, 2008). Peran aktif orangtua dalam membina hubungan yang serasi dan harmonis antara semua anggota keluarga akan menciptakan hubungan yang baik di dalam interaksi antar anggota keluarga. Interaksi yang tercipta dalam suatu keluarga akan mempengaruhi individu dalam bersikap dan berperilaku, baik itu positif maupun negatif (Beaver & Wright, 2007). Mc. Adams (dalam Diana & Retnowati 2009), menyatakan bahwa kurangnya perhatian dan minimnya komunikasi dari orangtua kepada remaja memberikan kontribusi besar pada penyimpangan perilaku remaja. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Diana dan Retnowati (2009) yang menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara komunikasi remaja dan orangtua dengan agresivitas. Semakin tinggi komunikasi yang terjalin antara orangtua dan remaja, maka semakin rendah agresivitas remaja. Sebaliknya, semakin rendah komunikasi yang terjalin antara orangtua dan remaja, maka semakin tinggi agresivitas remaja.
Selain itu, keadaan dan karakteristik keluarga tertentu juga memiliki dampak yang jelas terhadap perkembangan perilaku menyimpang atau delinkuensi remaja (Beaver & Wright, 2007). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa 63% dari
(22)
anak-anak delinkuen dalam suatu lembaga pendidikan berasal dari keluarga-keluarga yang tidak harmonis, tidak teratur atau mengalami tekanan hidup yang terlalu berat (Stury, 1938). Meril dari Boston (1949) juga melaporkan bahwa 50% dari anak-anak yang menyimpang (delinkuen) berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Demikian pula menurut hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Pendidikan IKIP Bandung (1959 dan 1960) sekurang-kurangnya 50% dari anak nakal di Prayuwana dan Penjara Anak-anak di Tanggerang berasal dari keluarga yang tidak harmonis (Gerungan, 2004). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maria (2007) yang menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga memiliki peran yang cukup besar pada kecenderungan perilaku delinkuen remaja.
Berdasarkan fenomena dan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah diuraikan di atas maka muncul pertanyaan “apakah ada hubungan antara keharmonisan keluarga dengan penalaran moral pada remaja delikuen?”. Mengingat bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak sebagai tempat berkembangnya proses penalaran moral. Selain itu seorang remaja juga seharusnya telah berada pada tahap post-conventional yaitu dapat bertindak sesuai dengan norma dan harapan masyarakat (Kohlberg, 1995), namun pada kenyataannya terdapat peningkatan jumlah remaja yang berperilaku menyimpang di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data mengenai hubungan keharmonisan keluarga dengan penalaran moral pada remaja delikuen.
(23)
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan mengenai hubungan keharmonisan keluarga dengan penalaran moral pada remaja delikuen.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan menambah
daftar temuan penelitian yang berkaitan dengan keharmonisan keluarga dan penalaran moral remaja yang delikuen. Selain itu, untuk berbagi dasar pengetahuan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai keharmonisan keluarga dan penalaran moral
2. Manfaat praktis
a. Bagi orangtua danremaja
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi orang tua dan remaja delinkuen mengenai hubungan keharmonisan keluarga dengan penalaran moral remaja, sehingga baik orangtua maupun remaja
(24)
dapat melakukan upaya untuk meningkatkan penalaran moral remaja delinkuen.
b. Bagi Masyarakat
Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral remaja dan mengetahui apakah ada hubungan keharmonisan keluarga dengan penalaran moral pada remaja delinkuen.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori mengenai penalaran moral, keharmonisan keluarga dan remaja delikuen.
Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan hubungan keharmonisan keluarga dengan penalaran moral remaja delikuen.
(25)
Bab ini menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari keharmonisan keluarga dan penalaran moral, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengambilan data, uji validitas, uji daya beda dan reliabilitas alat ukur, metode analisa data. BAB IV : Analisa Data da Interpretasi
Penjelasan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisis utama penelitian, hasil analisis tambahan penelitian, dan gambaran penyebaran subjek penelitian.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Penjelasan mengenai kesimpulan dari interpretasi analisa data, diskusi, dan saran-saran.
(26)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penalaran Moral
1. Pengertian Moral
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang (Rogers & Baron, dalam Martini,1995). Berns (1997) mengemukakan bahwa moralitas mencakup mematuhi aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari dan conscience atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Setiono (dalam Muslimin, 2004) menjelaskan bahwa menurut teori penalaran moral, moralitas terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana orang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk. Moralitas pada dasarnya dipandang sebagai pertentangan (konflik) mengenai hal yang baik disatu pihak dan hal yang buruk dipihak lain. Keadaan konflik tersebut mencerminkan keadaan yang harus diselesaikan antara dua kepentingan, yakni kepentingan diri dan orang lain, atau dapat pula dikatakan keadaan konflik antara hak dan kewajiban.
(27)
2. Pengertian Penalaran Moral
Kohlberg (dalam Glover, 1997), mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral adalah konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya.
Menurut Kohlberg (1981) penalaran moral adalah suatau pemikiran tentang masalah moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal.
Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975). Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran
(28)
moral adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.
3. Tahapan-tahapan Perkembangan Penalaran Moral
Kohlberg (Muslimin, 2004) menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral merupakan sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah struktur yang lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang dibandingkan dengan struktur sebelumnya. Melihat pentingnya perkembangan penalaran moral dalam kehidupan manusia, maka berbagai penelitian psikologi di bidang ini dilakukan. Lawrence Kohlberg, memperluas penelitian Piaget tentang penalaran aturan konvensi sosial, menjadi tiga tingkat penalaran moral yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional (Hasan, 2006).
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, atau benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi menghindari hukuman atau untuk
mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai 10
(29)
Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.
b. Tingkat Konvensional
Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya.
(30)
Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingakat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap 3) : Orientasi kesepakatan antara pribadi / orientasi ”Anak Manis” Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau ”alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan ”dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi ”baik”. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.
Tahap 4) : Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik
(31)
atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
c. Tingkat Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 5) : Orientasi kontrak sosial legalistis
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak
(32)
dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4).
Tahap 6) : Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis.
Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg (1995) tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan.
(33)
Rest membagi komponen penalaran moral menjadi empat hal (dalam Kurtines & Gerwitz, 1992). Adapun empat komponen utama penalaran moral yang dikemukakan oleh Rest, antara lain :
1. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan bagaimana masing-masing pelaku dalam situasi terpengaruh oleh berbagai tindakan tersebut).
2. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, merumuskan suatu
rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau suatu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran & keadilan, penalaran moral, penerapan nilai moral sosial).
3. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana
caranya orang memberikan penilaian moral atau bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan seseorang (mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai, dan perilaku mempertahankan diri).
4. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang berbobot
moral (mencakup ego-strength dan proses pengaturan diri).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral
Menurut Kohlberg (dalam Janssens, 1992), ada 3 faktor umum yang memberikan kontribusi pada perkembangan penalaran moral yaitu :
(34)
a. Kesempatan pengambilan peran
Perkembangan penalaran moral meningkat ketika seseorang terlibat dalam situasi yang memungkinkan seseorang mengambil perspektif sosial seperti situasi dimana seseorang sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan, kebutuhan, hak, kewajiban, nilai dan standar orang lain.
b. Situasi moral
Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak dan kewajiban yang fundamental yang didistribusiakan dan melibatkan keputusan. Dalam beberapa lingkungan, keputusan diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur otoritas (tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan didasarkan pada pertimbangan pada system yang tersedia (tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran moral ditunjukkan oleh situasi yang menstimulasi orang untuk menunjukkan nilai moral dan norma moral.
c. Konflik moral kognitif
Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran moral seseorang dengan penalaran orang lain. Dalam beberapa studi, subjek bertentangan dengan orang lain yang mempunyai penalaran moral lebih tinggi maupun lebih rendah. Anak yang mengalami pertentangan dengan orang lain yang memiliki penalaran moral yang lebih tinggi menunjukkan tahap perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada anak yang berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki tahap penalaran moral yang sama dengannya.
(35)
Interaksi antara orangtua dan anak dalam berbagai situasi menunjukkan 3 faktor umum di atas. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penalaran moral anak (Jansens, 1992). Menurut Supeni (dalam Muslimin, 2004) faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan moral anak adalah keluarga. Kohlberg (dalam Janssens, 1992) memandang bahwa pengaruh utama dari keluarga adalah pada diskusi antara orangtua dengan anak mengenai nilai-nilai dan norma, dari pada pengalaman anak sendiri akan disiplin, hukuman, dan hadiah dari orangtua. Kohlberg juga menyatakan bahwa penalaran moral dipengaruhi oleh tahap perkembangan kognitif yang tinggi (seperti pendidikan) dan pengalaman sosiomoral (Glover, 1997). Pendidikan adalah prediktor yang kuat dari perkembangan penalaran moral, karena lingkungan pendidikan yang lebih tinggi menyediakan kesempatan, tantangan dan lingkungan yang lebih luas yang dapat merangsang perkembangan kognitif (Rest, 1979)
Berdasarkan uraian di atas maka ada 5 faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penalaran moral seseorang, yaitu kesempatan alih peran, situasi moral, konflik moral kognitif, keluarga, dan pendidikan.
6. Pengukuran Penalaran Moral
Penalaran moral sangat diperlukan dalam kehidupan. Berdasarkan penelitian, penalaran moral dapat diukur dengan menggunakan suatu alat ukur.
a. Penelitian yang dilakukan oleh Nashori (1995) tentang penalaran moral pada 30 orang siswa Sekolah Menengah Atas menggunakan Defining Issues Test (DIT) sebagai alat untuk mengukur penalaran moral.
(36)
b. Nichols dan Day (1982) meneliti perbandingan penalaran moral kelompok dan individual pada mahasiswa Universitas Minnesota dengan menggunakan Rest’s Defining Issues Test (DIT) untuk mengukur penalaran moral.
c. Martani (1995) melakukan penelitian tentang perkembangan penalaran moral pada remaja, dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT) untuk mengungkap penalaran moral 100 orang remaja.
d. Glover (1997) melakukan penelitian mengenai hubungan penalaran moral dan religiusitas diantara kelompok anggota konservatif, moderat, dan liberal, dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT).
Menurut penelitian Davidson dan Robbins (dalam Rest, 1979) konsistensi internal Alpha Cronbach pada DIT adalah diatas 0.70. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Rest’s Defining Issues Test (DIT) untuk mengukur penalaran moral remaja delinkuen. DIT merupakan tes pilihan berganda yang bersifat objektif, disusun berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg. Saat ini telah ada dua versi , yaitu DIT-1 dan DIT-2. Dalam penelitian ini digunakan DIT-1 bentuk pendek (Short Form). DIT-1 terdiri dari 3 buah cerita atau dilema sosial yang menyangkut moral, masing-masing disertai dengan 12 pernyataan. Setiap pernyataan ini mencerminkan suatu tahap perkembangan moral tertentu atau tipe penalaran moral tertentu. Untuk setiap pernyataan subjek harus memilih salah satu pertimbangan dari lima pertimbangan yang ada, yaitu: sangat penting, penting, agak penting, kurang penting, dan tidak penting. Selanjutnya adalah menentukan urutan (ranking), pernyatan mana yang menurut subjek merupakan pernyataan terpenting pertama, terpenting kedua,
(37)
terpenting ketiga dan terpenting keempat. Penalaran moral dalam penelitian ini ditunjukkan melalui nilai P dari test DIT (Defining Issues Test). Nilai P menunjukkan principle morality yaitu kemampuan seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial menyangkut moral yang dihadapinya dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip moral yang dimiliki.
B. Keharmonisan Keluarga
1. Pengertian Keharmonisan
Kata harmonis menurut Nurhayati (2005) diartikan sebagai hal atau keadaan selaras atau serasi. Keharmonisan dapat dilihat sebagai suatu bentuk keselarasan secara keseluruhan yang dianggap mempunyai nilai positif. Keharmonisan menurut Gunarsa (2003) selalu berkaitan dengan keadaan sebuah rumah tangga atau keluarga. Jadi apabila didalam sebuah keluarga atau rumah tangga terdapat atau tercipta sebuah keselarasan yang menciptakan kebahagiaan, maka keluarga tersebut dinyatakan harmonis.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa keharmonisan adalah suatu keadaan atau kondisi yang terlihat selaras atau serasi yang dapat menciptakan kebahagiaan jika terjadi dalam keluarga.
2. Pengertian Keluarga
Keluarga secara historis merupakan kelmpok primer yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Menurut Berns (2004), sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri
(38)
dan anak-anak disebut keluarga inti. Pada keluarga inti, suami dan istri saling tergantung akan kebersamaan satu sama lain, dan anak-anak tergantung akan kasih sayang dan sosialisasi dari orangtuanya.
Keluarga tradisional menurut papalia dkk (2004) adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak biologis, namun secara institusi, keluarga lebih bersifat universal. Pada Negara-negara Asia, keluarga lebih cenderung berbentuk keluarga yang tradisional, sedangkan pada negara-negara barat, keluarga telah mengalami banyak perubahan dari segi ukuran, komposisi dan struktur keluarga. Keluarga dapat terdiri dari dua atau lebih orang yang berhubungan karena kelahiran, pernikahan, atau adopsi yang tinggal bersama baik itu memiliki anak atau tidak (Berns, 2004).
Mc Whirter dkk (2004) menjelaskan bahwa keluarga lebih kepada suatu sistem yang terdiri dari anggota keluarga yang saling terkait, diatur beberapa fungsi dan saling mempengaruhi untuk menjaga terciptanya suatu kesimbangan. Kondisi saling mempengaruhi yang ada dalam keluarga dapat berarti setiap anggota keluarga akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh anggota keluarga lainnya. Berdasarkan uraian yang telah di paparkan, dapat disimpulkan bahwa keluaga adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang saling tergantung dan mempengaruhi satu sama lain.
3. Pengertian Keharmonisan Keluarga
Keharmonisan keluarga diungkapkan dengan berbagai istilah diantaranya strong family, healthy family, happy family, dan keluarga sakinah. Kesemua istilah ini mengacu pada adanya keterikatan atau hubungan yang positif antar anggota keluarga
(39)
suasana yang nyaman, dan bahagia di dalam keluarga. Menurut Defrain dkk (dalam Coombs, 2005) strong family didasari oleh hubungan emosional yang positif antara anggota keluarga, sehingga tercipta rasa nyaman antara satu dengan yang lainnya dan terjaminnya kesejahteraan tiap anggota keluarga. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Hawari (1997) yang mengatakan bahwa keharmonisan keluarga sesungguhnya terletak pada erat tidaknya hubungan silaturrahmi antara anggota keluarga.
Basri (1999) mengartikan keharmonisan keluarga adalah suatu ikatan saling ketergantungan diantara anggota-anggota keluarga yaitu antara orangtua dan anak-anak, antara suami dan istri, sehingga menciptakan suasana membahagiakan dan memuaskan di dalam keluarga. Keharmonisan keluarga (Gerungan, 1996) juga diartikan sebagai kebahagiaan dan kepuasan dalam keluarga yang tercipta karena adanya saling ketergantungan diantara anggota keluarga. Diharapkan dalam keluarga berlangsung interaksi yang memuaskan dan membahagiakan antara orangtua dengan anak, antara suami dengan istri.
Sebagai tambahan, Gunarsa (2004) juga menyatakan bahwa keluarga bahagia adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya merasakan kebahagiaan yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial. Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap keadaan bahagia atau harmonis dan tidak bahagianya atau tidak harmonisnya salah
(40)
seorang anggota keluarga yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pribadi-pribadi lain dalam keluarga
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keharmonisan keluarga adalah suatu ikatan saling ketergantungan yang didasari dengan adanya hubungan emosional yang positif antara setiap anggota keluarga sehingga tercipta suasana yang nyaman dan menyenangkan serta bahagia bagi individu yang menjadi bagian dari anggota keluarga.
4. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga
John Defrain dan Nick Stinnet mengemukakan enam aspek keharmonisa keluarga, yaitu:
a. Adanya apresiasi dan kasih sayang (Appreciation and affection)
Keluarga yang harmonis memiliki rasa peduli satu sama lain, dan membiarkan anggota keluarga yang lain mengetahui perasaan mereka. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengekspresikan rasa cinta atau kasih mereka kepada anggota keluarga lainnya baik secara verbal maupun nonverbal (dalam Coombs, 2005)
b. Komitmen (Commitment)
Keluarga yang harmonis umumnya berkomitmen bahwa keluarga adalah yang utama atau diatas segalanya. Mereka tidak membiarkan pekerjaan mereka atau unsur-unsur lain dari kehidupan mereka untuk mengambil waktu terlalu banyak. Anggota keluarga berdedikasi/rela berkorban satu sama lainnya demi kesejahteraan anggota keluarga lainnya, memberikan waktu dan energi
(41)
mereka dalam kegiatan keluarga, mempertahankan pekerjaan mereka dan pekerjaan rumah dibawah kontrol mereka (dalam Coombs, 2005).
c. Komunikasi yang positif (Positive communication)
Anggota keluarga yang harmonis mempunyai keterampilan berkomunikasi yang baik yang berorientasi masalah, mereka dapat mengidentifikasi kesulitan, dan menemukan solusi yang efektif untuk semua anggota keluarga. Keluarga yang harmonis biasanya menghabiskan waktu untuk berbicara dengan dan mendengarkan satu sama lain (dalam coombs, 2005).
d. Mempunyai waktu bersama keluarga (Enjoyable time together)
Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan liburan keluarga (dalam Coombs, 2005).
e. Terciptanya kesejahteraan spiritual (Spiritual well-being)
Orang-orang dalam keluarga harmonis menggambarkan spiritualitas dalam berbagai cara, beberapa berbicara tentang keimanan terhadap Tuhan, harapan atau rasa optimisme dalam hidup, beberapa yang lain mengungkapkan spiritualitas dalam hal nilai-nilai etis dan komitmen (dalam Coombs, 2005). Keluarga yang harmonis juga ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Landasan utama dalam kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama adalah kasih sayang, cinta-mencintai dan kasih-mengasihi. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga
(42)
yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan konflik dan percekcokan dalam keluarga, dengan suasana yang seperti ini, maka anak akan merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan lain yang dapat menerimanya (dalam Hawari, 1997).
f. Kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (Succesful management of
strees and crisis)
Sebagian besar masalah di dunia ini dimulai atau berakhir di keluarga. Kadang-kadang keluarga atau anggota keluarga secara tidak sengaja menciptakan masalah dalam keluarga, dan kadang-kadang dunia menciptakan masalah bagi keluarga, dan hampir selalu keluarga akan terjebak dengan masalah tidak peduli apa penyebabnya. Dalam keluarga yang harmonis, anggota keluarga memiliki kemampuan untuk mengelola dengan baik stres yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan kesulitan atau krisis yang terjadi dalam kehidupan secara kreatif dan efektif. Mereka tahu bagaimana mencegah masalah sebelum terjadi, dan bagaimana bekerja sama untuk menghadapi tantangan yang pasti terjadi dalam hidup (dalam Coombs, 2005).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa aspek keharmonisan keluarga meliputi adanya apresiasi dan kasih sayang (appreciation and affection), komitmen (commitment), adanya komunikasi yang positif (positive communication), mempunyai waktu bersama keluarga (enjoyable time together), terciptanya kesejahteraan spiritual dalam keluarga (spiritual well-being), dan adanya
(43)
kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (succesful management of strees and crisis).
C. Remaja
1. Pengertian Remaja (adolescence)
Istilah Adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1980). Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut Monks (2002) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.
(44)
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja meliputi :
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita
b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa
lainnya
f. Mempersiapkan karir ekonomi
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku-mengembangka n ideologi.
3. Ciri-ciri Masa Remaja
Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (2002) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :
a. Remaja awal (12-15 tahun)
Pada tahap ini, remaja mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai
(45)
perubahan-perubahan tersebut. Individu berusaha untuk menghindari ketidaksetujuan sosial atau penolakan dan mulai membentuk kode moral sendiri tentang benar dan salah. Individu menilai baik terhadap apa yang disetujui orang lain dan buruk apa yang ditolak oaring lain. Pada tahap ini, sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul, karena ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima saat masih kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka.
b. Remaja madya (15-18 tahun)
Pada tahap ini, remaja berda dalam kondisi kebingungan dan terhalang dari pembentukan kode moral karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Pada tahap ini, mulai tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban untuk
mempertahankan aturan-aturan yang ada, namun belum dapat
mempertanggungjawabkannya.
c. Remaja akhir (18-21 tahun)
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Individu mau diatur secar ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum adan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja
(46)
sudah memilih prinsip moral untuk hidup. Individu melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri.
4. Remaja Delinkuen
1. Pengertian Delinkuensi Remaja (Juvenile Delinquency)
Delinkuensi remaja atau biasa disebut dengan Juvenile Delinquency berasal dari bahasa latin. Juvenile artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda atau sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquent berasal dari kata “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacu, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan sebagainya (Kartono 2003). Berdasarkan etimologi tersebut, Kartono (2003) mengartikan delinkuensi remaja atau juvenile delinquency sebagai perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, dan merupakan gejala sakit atau patologis secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga remaja tersebut mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Bynum dan Thompson (2001) mendefinisikan delinkuensi remaja sebagai perilaku ilegal serta pelanggaran, yang dapat dinilai oleh masyarakat sebagai suatu penyimpangan. Perilaku menyimpang tersebut dapat diartikan sebagai perilaku yang diterima oleh orang lain sebagai ancaman terhadap harapan orang banyak atau
(47)
merugikan orang lain serta merugikan diri sendiri. Menurut Dacey dan Kenny (2001), delinkuensi remaja adalah segala perilaku ilegal yang dilakukan oleh remaja. Perilaku delinkuen disini menekankan pada kriminalitas dan aspek illegal dari suatu perilaku. Aktifitas ilegal tersebut tidak semua mengarah kepada pelanggaran yang serius, hal ini dikarenakan frekuensi, keseriusan dan kekronisan remaja melakukan dalam melakukan perilaku tersebut berbeda-beda. Lebih lanjut Newman dan Newman (2006) mengemukakan bahwa perilaku delinkuen merupakan masalah dari eksternalisasi yang berhubungan dengan kesulitan dalam mengontrol dan mengatur dorongan tertentu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan remaja delinkuen adalah remaja yang melakukan perilaku ilegal serta pelanggaran yang dapat dinilai oleh masyarakat sebagai suatu penyimpangan, yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik itu terhadap orang lain maupun dirinya sendiri, yang meliputi pencurian, perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, minum-minuman keras, penyalahgunaan obat, maupun pembunuhan.
2. Karakteristik Remaja Delinkuen
Ada beberapa karakteristik yang terlihat pada remaja yang delinkuen. Diantaranya adalah bahwa remaja yang delinkuen merasakan deprivasi (keterasingan), tidak aman, dan cenderung dengan sengaja berusaha melanggar hukum atau peraturan (Turner & Helms dalam Gunarsa, 2004). Penggunaan obat-obatan terlarang dan putus sekolah merupakan beberapa hal yang dapat meningkatkan
(48)
munculnya kenakalan remaja. Selain itu remaja delinkuen tidak menyukai sekolah dan karenanya mereka seringkali membolos. Kegagalan akademis sendiri merupakan salah satu kontributor dari delinkuensi (Santrock, dalam Gunarsa, 2004).
Menurut Cole (dalam Gunarsa, 2004) beberapa ciri kepribadian yang tampak menonjol pada remaja delinkuen yaitu : bersikap menolak (resentful), bermusuhan (hostile), penuh curiga, tidak konvensional (unconventional), tertuju pada diri sendiri (self centered), tidak stabil emosinya, mudah dipengaruhi, ekstrovert dan suka bertindak dengan tujuan merusak atau menghancurkan sesuatu. Banyak dari remaja delinkuen juga implusif dan axcitable. Perbedaan mendasar yang mungkin terlihat antara remaja delinkuen dan non delinkuen adalah dalam hal ketidakmatangan emosional, ketidakstabilan, dan perasaan frustrasi pada remaja delinkuen yang membuat remaja delinkuen tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik dirumah, sekolah, dan masyarakat.
D. Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran Moral Remaja
Delinkuen
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi seorang anak dalam proses perkembangannya, termasuk bagi proses perkembangan moral anak (Hoffman dalam Santrock, 1996). Pada masa remaja, moral merupakan suatu pedoman atau petunjuk bagi remaja dalam rangka mencari jalannya sendiri menuju ke kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi pada masa remaja (Sarwono, 2010). Secara umum moral dapat
(49)
dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut (Hasan, 2006).
Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001). Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010).
Penalaran moral berkembang melalui tahapan tertentu. Kohlberg (1995) menyatakan ada enam tahap perkembangan moral, dimana tahapan ini dibagi dalam tiga tingkat, yaitu tingkat pre-conventional, tingkat conventional, dan tingkat post-conventional. Menurut Kohlberg (1995), di usia remaja seorang remaja harus mencapai tahap perkembangan moral ketiga, yaitu moralitas pascakonvensional (postconventional morality) (Hurlock 1980). Individu yang telah mencapai tingkat moralitas ini mendasarkan penilaian mereka terhadap norma dari harapan masyarakat serta berorientasi pada dasar-dasar moral universal, yaitu hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsistensi logis. Namun,
(50)
Kohlberg (1995) juga menyatakan bahwa setiap individu dapat bergerak maju sesuai tahap-tahap yang ada dengan kecepatan yang berbeda. Tetapi seorang individu dapat saja berhenti pada suatu tahap tertentu dan dalam usia tertentu.
Banyak faktor yang mempengaruhi penalaran moral. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penalaran moral adalah keluarga (Supeni dalam Muslimin, 2004). Peran aktif orangtua dalam membina hubungan yang serasi dan harmonis antara semua anggota keluarga akan menciptakan hubungan yang baik di dalam interaksi antar anggota keluarga. Interaksi yang tercipta dalam suatu keluarga akan mempengaruhi individu dalam bersikap dan berperilaku, baik itu positif maupun negatif (Beaver & Wright, 2007). Hal ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Mc. Adams (dalam Diana & Retnowati 2009), yang menyatakan bahwa kurangnya perhatian dan minimnya komunikasi dari orangtua kepada remaja memberikan kontribusi besar pada penyimpangan perilaku remaja.
Pengalaman-pengalaman dan dinamika yang terjadi di dalam keluarga juga secara kuat mempengaruhi sikap dan perilaku yang selalu konsisten dengan sesuatu yang terjadi dan dipelajari di dalam keluarga (Cooll,Juhnke, Thobro, Haas & Robinson, 2008). Perilaku agresi dan konflik kekerasan yang terjadi dalam keluarga dapat berakibat negatif bagi perkembangan remaja. Jika kekerasan dan konflik keluarga sudah menjadi kronis dan orangtua selalu merespon perilaku remaja dengan kasar, negatif, dan pola asuh tidak konsisten, maka remaja akan merasa terabaikan dan perilaku delinkuensi akan cenderung ditampilkan remaja (Whirter dkk, 2004). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa 63% dari anak-anak delinkuen dalam
(51)
suatu lembaga pendidikan berasal dari keluarga-keluarga yang tidak harmonis, tidak teratur atau mengalami tekanan hidup yang terlalu berat (Stury, 1938). Meril dari Boston (1949) juga melaporkan bahwa 50% dari anak-anak yang menyimpang (delinkuen) berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Demikian pula menurut hasil penelitian Lemabaga Penyelidikan Pendidikan IKIP Bandung (1959 dan 1960) sekurang-kurangnya 50% dari anak nakal di Prayuwana dan Penjara Anak-anak di Tanggerang berasal dari keluarga yang tidak harmonis (Gerungan, 2004).
E. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut “ada hubungan positif antara keharmonisan keluarga dengan penalaran moral pada remaja delinkuen”. Semakin rendah tingkat keharmonisan keluarga, maka semakin rendah tingkat penalaran moral pada remaja delinkuen. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat keharmonisan keluarga, maka semakin tinggi tingkat penalaran moral pada remaja delinkuen.
(52)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor yang berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2003). Dalam hal ini peneliti ingin melihat hubungan antara keharmonisan keluarga dengan penalaran moral pada remaja delinkuen.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Berikut adalah identifikasi variabel yang di gunakan dalam penelitian ini :
1. Variabel bebas : Keharmonisan keluarga
2. Variabel tergantung : Penalaran moral
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(53)
Penalaran moral adalah kemampuan seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya. Menurut Rest (dalam Kurtines & Gerwitz, 1992) ada 4 komponen utama penalaran moral yaitu menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral, memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan, mengevaluasi berbagai perangkat tindakan, dan melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang berbobot moral.
Penalaran moral diukur dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT) versi pendek (Rest,1979) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Defining Issues Test (DIT) versi pendek merupakan tes tertulis yang menyediakan tiga permasalahan moral bagi subjek dalam bentuk cerita, dimana setiap cerita diikuti dengan 12 pernyataan. Setiap pernyataan ini mencerminkan suatu tahap perkembangan moral tertentu atau tipe penalaran moral tertentu.
Penalaran moral dalam penelitian ini ditunjukkan melalui nilai P dari test DIT (Defining Issues Test). Nilai P (principle morality) yang merupakan penilaian relative (relative impertance) subjek tentang pertimbangan prinsip moral dalam menghadapi suatu dilema moral, diperoleh dari penjumlahan nilai yang diperoleh subjek untuk tahap 5A, 5B, dan 6. Tahap 5A, 5B, dan 6 berhubungan dengan morality of sosial contract, morality of intuitive humanism dan morality of principle of idea social cooperation. Semakin tinggi nilai P menunjukkan
(54)
semakin tinggi penalaran moral. Sebaliknya, semakin rendah nilai P menunjukkan semakin rendah penalaran moral.
2. Keharmonisan keluarga
Keharmonisan bahwa keharmonisan keluarga adalah suatu ikatan saling ketergantungan yang didasari dengan adanya hubungan emosional yang positif antara setiap anggota keluarga sehingga tercipta suasana yang nyaman dan menyenangkan serta bahagia bagi individu yang menjadi bagian dari anggota keluarga. Keharmonisan keluarga diukur dengan skala keharmonisan keluarga yang disusun berdasarkan aspek keharmonisan keluarga menurut Nick Stinnet dan John Defrain (1989) yaitu adanya apresiasi dan kasih sayang (appreciation and affection), komitmen (commitment), adanya komunikasi yang positif (positive communication), mempunyai waktu bersama keluarga (enjoyable time together), terciptanya kesejahteraan spiritual dalam keluarga (spiritual well-being), dan adanya kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (succesful management of strees and crisis).
Tingkat keharmonisan keluarga subjek dapat dilihat dari skor total yang diperoleh dari subjek penelitian. Semakin tinggi skor total yang diperoleh maka semakin tinggi keharmonisan keluarga subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh maka semakin rendah keharmonisan keluarga subjek.
(55)
C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL
1. Populasi
Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi merupakan kumpulan atau keseluruhan subjek penelitian (Azwar, 1999). Menurut Hadi (2000) populasi adalah keseluruhan individu yang akan diselidiki dan mempunyai minimal satu sifat yang sama atau ciri–ciri yang sama.
Karakteristik populasi dalam penelitian ini, antara lain : 1. Remaja akhir (18-21 tahun)
Peneliti mengambil remaja akhir sebagai populasi karena pada masa ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Individu mau diatur secar ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum adan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja sudah memilih prinsip moral untuk hidup. Individu melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri (Monks, 2002)
(56)
Kartono (2008) menyatakan bahwa pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan lebih besar (50 kali lipat) dari pada remaja perempuan.
3. Tinggal bersama orangtua lengkap
Faktor yang juga dapat mempengaruhi penalaran moral adalah peran orangtua (Hurlock, 1997)
4. Bukan Anak tunggal
Keberadaan anggota keluarga lain seperti saudara kandung dapat berpengaruh terhadap keadaan harmonis atau tidak harmonisnya suatu keluarga. Hal ini kemudian dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian masing-masing individu dalam keluarga (Gunarsa, 2004)
5. Remaja Delikuen yang berada di Medan
Alasan peneliti memutuskan kota Medan sebagai tempat penelitian karena peneliti menemukan fenomena moral yang semakin memprihatinkan di kota Medan. Hal ini juga didukung oleh data yang diperoleh dari Lapas Anak Tanjung Gusta Medan, yang menunjukkan bahwa jumlah remaja pelaku kriminal yang menghuni LAPAS tersebut bertambah tiap tahunnya.
(57)
Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah tehnik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang mana pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000). Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja LAPAS Anak Tanjung Gusta Medan.
D. ALAT UKUR PENELITIAN
Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Hadi, 2000). Pengumpulan data data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala psikologi bentuk Likert.
Menurut Hadi (2000), skala psikologi merupakan suatu alat ukur dengan menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang telah disiapkan dan di susun sedemikian rupa sehingga responden hanya tinggal memilih salah satu dari pilihan yang tersedia. Skala dapat digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi sebagai berikut :
1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.
2. Hal-hal yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.
(58)
3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.
Alat ukur yang digunakan dalam penlitian ini adalah Skala Keharmonisan Keluarga yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori Stinnet dan Defrain (1989), dan tes DIT yang dikembangakan oleh Rest (1979).
1. Defining Issues Test (DIT) versi pendek
Tes ini bertujuan untuk melihat bagaimana pandangan seseorang dalam menyelesaikan suatu situasi yang mengandung dilema moral (Rest, 1979). DIT merupakan tes pilihan berganda yang bersifat objektif, disusun berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg. Saat ini telah ada dua versi , yaitu DIT-1 dan DIT-2. Menurut penelitian Davidson dan Robbins (dalam Rest, 1979) konsistensi internal Cronbach Alpha pada DIT adalah 0,80. Dalam penelitian ini digunakan DIT-1 bentuk pendek (Short Form). DIT-DIT-1 terdiri dari 3 buah cerita atau dilema sosial yang menyangkut moral, masing-masing disertai dengan 12 pernyataan. Setiap pernyataan ini mencerminkan suatu tahap perkembangan moral tertentu atau tipe penalaran moral tertentu. Untuk setiap pernyataan subjek harus memilih salah satu pertimbangan dari lima pertimbangan yang ada, yaitu: sangat penting, penting, agak penting, kurang penting, dan tidak penting. Selanjutnya adalah menentukan urutan (ranking), pernyataan mana yang menurut subjek merupakan pernyataan terpenting pertama, terpenting kedua, terpenting ketiga dan terpenting keempat.
Penalaran moral dalam penelitian ini ditunjukkan melalui nilai P dari test DIT (Defining Issues Test). Nilai P menunjukkan principle morality yaitu kemampuan
(59)
seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial menyangkut moral yang dihadapinya dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip moral yang dimiliki. Nilai P (principle morality) yang merupakan penilaian relative (relative impertance) subjek tentang pertimbangan prinsip moral dalam menghadapi suatu dilema moral, diperoleh dari penjumlahan nilai yang diperoleh subjek untuk tahap 5A, 5B, dan 6. Tahap 5A, 5B, dan 6 berhubungan dengan morality of sosial contract, morality of intuitive humanism dan morality of principle of idea social cooperation. Semakin tinggi nilai P menunjukkan semakin tinggi penalaran moral. Sebaliknya, semakin rendah nilai P menunjukkan semakin rendah penalaran moral.
2. Skala Keharmonisan Keluarga
Skala Keharmonisan ini disusun berdasarkan aspek keharmonisan keluarga menurut Nick Stinnet dan John Defrain (1989) yaitu adanya apresiasi dan kasih sayang (appreciation and affection), komitmen (commitment), adanya komunikasi yang positif (positive communication), mempunyai waktu bersama keluarga (enjoyable time together), terciptanya kesejahteraan spiritual dalam keluarga (spiritual well-being), dan adanya kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (succesful management of strees and crisis).
Model skala yang digunakan adalah penskalaan tipe Likert. Respon jawaban dalam skala penelitian menggunakan lima pilihan yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS), Netral (N), Sesuai (S), Sangat Sesuai (SS). Skala disajikan dalam
(60)
bentuk pernyataan mendukung dan tidak mendukung. Nilai pilihan bergerak dari 0 sampai 4.
Tingkat keharmonisan keluarga subjek dapat dilihat dari skor total yang diperoleh dari subjek penelitian. Semakin tinggi skor total yang diperoleh maka semakin tinggi keharmonisan keluarga subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh maka semakin rendah keharmonisan keluarga subjek.
Penjabaran Blue Print skala keharmonisan keluarga yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.
Distribusi aitem-aitem skala keharmonisan keluarga
No
Aspek
Aitem Total Bobot
Favorable Unfavorable
1 Adanya apresiasi dan kasih sayang 16,48,52,55,63 ,74,93
22,27,28,35,43,4 4,47
14 14%
2 Komitmen 12,13,19,58,
85,87,89,90, 100
18,50,51,53,88,9 8
15 15%
3 Komunikasi yang positif 1,3,7,31,60, 76,84,91,92,
21,23,24,36,39,4 2,45,76,95, 96,97
20 20%
4 Mempunyai waktu bersama
keluarga
2,6,61,68,72,8 3,94,99
17,26,33,49,56,6 7,73,78
16 16%
5 Terciptanya kesejahteraan spiritual dalam keluarga 4,8,10,15,46,5 4,62,65,75, 82 25,34,38,69,71,7 7
16 16%
6 Kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis 5,9,11,14,30,4 0,59,57,66, 79,86 20,29,32,37,41,6 4,80,81
19 19%
(61)
E. Validitas, Uji Daya Beda dan Realibilitas Alat Ukur
Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial khususnya Psikologi adalah cara memperoleh data yang akurat dan objektif. Hal ini menjadi sangat penting, artinya kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila didasarkan pada info yang juga dapat dipercaya (Azwar, 2001). Sebelum digunakan untuk pengambilan data yang sebenarnya skala keharmonisan keluarga yang disusun, dianalisis terlebih dahulu validitas dan reabilitasnya, sedangkan untuk skala penalaran moral tidak perlu lagi dianalisis validitas dan reabilitasnya karena skala tersebut sudah baku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rest (1979), reabilitas tes DIT menunjukkan koefisien 0,44 hingga 0,92. Koefisien validitasnya adalah 0,68.
1. Validitas
Menurut Azwar (2000), untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas. Suatu alat tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Peneliti berusaha mengungkap sejauhmana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur dengan mendasarkan pembuatan alat ukur pada aspek-aspek keharmonisan keluarga yang dinilai oleh dosen pembimbing (Kerlinger, 2002).
(62)
2. Uji Daya Beda
Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes (Azwar, 2000). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment untuk mengukur daya beda aitem skala keharmonisan keluarga dengan bantuan program SPSS 16.0. for windows. Daya beda aitem dalam hal ini dapat dilihat dengan mengkorelasikan skor aitem dengan skor total.
3. Reabilitas
Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Reliabilitas ini ditunjukkan oleh konsistensi skor yang diperoleh subjek dengan memakai alat yang sama (Suryabrata, 2000).
Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2000). Teknik yang digunakan adalah teknik reliabilitas Alpha dari Cronbach.
(1)
36
0
11
5
6
0
0
7
1
6
37
5
14
10
0
0
0
0
0
0
38
1
4
16
2
0
4
0
3
6
39
0
9
10
5
0
0
3
3
5
40
3
7
13
2
0
0
2
3
2
41
4
2
9
5
2
5
0
3
12
42
0
7
16
5
0
2
0
0
7
43
0
7
10
3
0
7
0
3
10
44
0
4
17
3
0
2
3
1
5
45
3
10
15
0
0
0
1
1
0
46
0
11
14
2
0
1
0
2
3
47
1
8
8
2
0
4
4
3
6
48
4
7
7
4
2
4
0
2
10
49
0
2
7
9
0
7
0
5
16
50
4
3
5
3
0
3
3
9
6
51
4
4
10
2
1
0
4
5
4
52
4
4
10
7
0
0
0
5
7
53
1
4
11
4
0
0
4
6
4
54
2
4
10
11
3
0
0
0
14
55
4
11
0
1
3
2
4
5
6
56
0
9
8
2
0
0
6
5
2
57
1
6
14
2
0
0
0
7
2
58
0
3
11
2
1
7
4
2
10
59
0
12
8
5
0
1
0
4
6
60
0
3
11
2
0
5
7
2
7
61
3
8
12
3
0
0
2
2
3
62
4
4
10
2
3
4
0
3
9
63
0
5
13
6
0
2
0
4
8
64
4
9
8
3
2
1
0
3
6
65
0
2
15
2
2
0
6
3
4
66
0
1
12
5
0
0
0
2
5
67
0
13
2
4
0
4
3
4
8
68
0
2
17
6
1
0
0
4
7
69
0
5
7
9
0
2
0
7
11
70
2
5
10
2
0
7
0
4
9
(2)
LAMPIRAN 5
(3)
Hasil uji Normalitas
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
keharmonisan_keluarga 70 129.63 33.066 48 188
penalaran_moral 70 6.29 3.990 0 18
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test keharmonisan_k
eluarga penalaran_moral
N 70 70
Normal Parametersa Mean 129.63 6.29
Std. Deviation 33.066 3.990
Most Extreme Differences Absolute .114 .086
Positive .076 .086
Negative -.114 -.058
Kolmogorov-Smirnov Z .956 .717
Asymp. Sig. (2-tailed) .320 .683
a. Test distribution is Normal.
(4)
Hasil uji Linearitas
Case Processing Summary Cases
Included Excluded Total
N Percent N Percent N Percent
penalaran * keharmonisan 70 100.0% 0 .0% 70 100.0%
ANOVA Table Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
penalaran * keharmonisan
Between Groups (Combined) 836.536 48 17.428 1.398 .203
Linearity .101 1 .101 .008 .929
Deviation from
Linearity 836.434 47 17.796 1.428 .189
Within Groups 261.750 21 12.464
(5)
LAMPIRAN 6
HASIL PENELITIAN
(6)
Descriptives
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
penalaran 70 0 18 6.29 3.990
Valid N (listwise) 70
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
keharmonisan 70 48 188 129.63 33.066
Valid N (listwise) 70
Correlations
Correlations
keharmonisan penalaran
keharmonisan Pearson Correlation 1 .010
Sig. (1-tailed) .469
N 70 70
penalaran Pearson Correlation .010 1
Sig. (1-tailed) .469