Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai

(1)

PERBEDAAN KONTROL DIRI PADA REMAJA YANG BERASAL DARI KELUARGA UTUH DAN KELUARGA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

YAP RIMA OKTAVYA SINAGA 111301042

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Yap Rima Oktavya Sinaga Nim : 111301042

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Perbedaan Kontrol Diri pada Remaja yang Berasal Dari Keluarga Utuh dan Bercerai” adalah benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan kepada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan kaidah ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Medan, September 2015 Yang menyatakan,

Yap Rima Oktavya Sinaga


(3)

Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai

Yap Rima Oktavya Sinaga ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai. Populasi dalam penelitian ini adalah 52 remaja yang berasal dari keluarga utuh dan 52 remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan usia 12-15 tahun dan tinggal di kota Medan. Data penelitian dikumpulkan dengan skala kontrol diri yang memiliki indeks diskriminasi bergerak antara 0,275-0,634 dan reliabilitas 0.875.

Hasil penelitian mendapatkan ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai, yakni remaja dari keluarga utuh memiliki kontrol diri yang lebih tinggi (X=95,17) daripada remaja yang berasal dari keluarga bercerai (X=87,4). Perbedaan kontrol diri remaja berdasarkan struktur keluarga (KU=keluarga utuh; KC=Keluarga bercerai) terlihat dari hasil berikut: kategori kontrol diri rendah 9,6% (KU) vs 28,8% (KC); kategori sedang 67,3% (KU) vs 57,7% (KC); kategori tinggi 23,1% (KU) vs 13,5% (KC).


(4)

Differences in Self-Control of Adolescent Who Come from the Intact and Divorced Families

Yap Rima Oktavya Sinaga

ABSTRACT

This study aims to look at differences in self-control of adolescents who come from intact and divorced families. Subject in this study were 52 adolescents who come from intact families and 52 adolescents who come from divorced families by the age of 12-15 years and living in Medan. Data were collected by self-control scale which has index discrimination moving between 0.275 to 0.634 and reliability 0.875.

The results of this study show that there is difference in self-control of adolescents who come from intact and divorced families, in which adolescents from intact families have higher self-control (X=95.17) than adolescents who come from divorced families (X=87.4). Differences in adolescents self-control based of the family structure (IF=intac familyt; DF=divorced family) showed by this result: low self-control category 9.6% (IF) vs 28.8% (DF); middle category 67.3% (IF) vs 57.7% (DF); high category 23.1% (IF) vs 13.5% (DF).


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang menjadi sumber semangat, kekuatan dan penghiburan peneliti. Atas kasih dan anugerahnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyelesaikan syarat kelulusan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Judul penelitian ini adalah “Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai”.

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada orangtua yang sangat peneliti kasihi, Sabam Yap Sinaga dan Sorta Tampubolon. Terimakasih untuk cinta kasih, doa serta perjuangan dalam membesarkan, merawat, membimbing, dan mendukung pendidikan peneliti.

Peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati Soeprapto, M.Si, Psikolog selaku Dekan Fakulas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang menjadi teladan psikolog yang cerdas dan bertanggung jawab.

2. Ibu Indri Kemala, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing peneliti yang telah membimbing serta memberikan saran dan dukungan dalam merencanakan penelitian, mengerjakan penelitian serta dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dosen penguji Skripsi yang telah memberikan evaluasi, kritik dan perbaikan bagi peneliti untuk menyempurnakan dan menyelesaikan skripsi ini.


(6)

4. Bapak Zulkarnain, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik peneliti.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu peneliti selama proses perkuliahan dan penelitian peneliti.

6. Kakak adik terkasih, Yap Oki Sinaga, Yap Oshin Sinaga, Yap Sartika Sinaga dan Yap Yogi Sinaga yang terus mendukung, mendoakan, dan memberikan semangat, perhatian dan kasih sayang.

7. Orang-orang terkasih, Harley Maurid Simanjuntak, Nurita Lastri Tampubolon, Santa Sihombing, Kakak Echa, PERKANTAS secara khusus Persisten (Bang Otto, Anggreani, Ariyanto, Josua, dll), UKM KMK USU UP PSIKOLOGI, Bailando (Sandhy, David, Friska, Susi, Eunike), dan Kelompok Kecil Kerdaino (Kak Siti, Kristin Citra, Susi) yang memberikan semangat, menegur dan terus mengingatkan saya untuk menikmati penelitian saya.

8. Teman-teman dari Fakultas psikologi Universitas Sumatera Utara angkatan 2011 seperti Rosliana, Susi, Irvine, Grace, Simson, Kristin, Rahel, Vera, Paskha, Pontoria, Frans dll yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang mengajarkan banyak hal khususnya dalam menjalankan penelitian, mengolah data dan menyusun skripsi.

9. Dinas Pendidikan Kota Medan yang memberikan saya izin untuk dapat mengambil data ke sekolah.

10.Kepala Sekolah SMP Dharma Pancasila, SMP N 3 Medan, SMP N 4 Medan, SMP N 10 Medan dan SMP N 12 Medan yang memberikan izin dan bantuan untuk mengambil data di sekolah masing-masing.


(7)

11.Subjek penelitian peneliti, adik-adik yang telah memberikan kepercayaan dan waktu untuk mengisi kuesioner.

12.Adik-adik remaja yang bersedia menjadi subjek peneliti saat melakukan uji coba skala.

Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun akan diterima. Akhir kata, peneliti sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Medan, Oktober 2015

Peneliti,

Yap Rima Oktavya sinaga NIM. 111301042


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri ... 13

1. Definisi Kontrol Diri ... 13

2. Fungsi Kontrol Diri ... 14

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri ... 14

4. Strategi Kontrol Diri ... 15

5. Aspek-aspek Kontrol Diri ... 15

B. Struktur Keluarga ... 18

1. Keluarga Utuh ... 19

2. Keluarga Bercerai ... 20

C. Remaja ... 21

1. Remaja dari Keluarga Utuh ... 23


(9)

D. Perbedaan Kontrol Diripada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh

dan Keluarga Bercerai ... 27

E. Hipotesis Penelitian ... 30

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ... 31

B. Definisi Variabel Penelitian... 32

1. Kontrol Diri Remaja ... 32

2. Struktur Keluarga ... 32

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 33

1. Populasi ... 33

2. Sampel ... 35

3. Metode Pengambilan Sampel ... 35

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

1. Kontrol Diri... 35

E. Uji Coba Alat Ukur ... 39

1. Uji Validitas Alat Ukur ... 39

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 39

3. Uji beda Aitem ... 40

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 40

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 43

1. Persiapan Penelitian ... 43

2. Tahap Pelaksanaan ... 44

3. Tahap Pengolahan ... 45

H. Metode Analisis Data ... 45

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 47

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 47

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48

B. Hasil Utama Penelitian ... 48


(10)

2. Hasil Uji Analisa Data ... 51

C. Hasil Tambahan Penelitian ... 55

D. Pembahasan ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

1. Saran Metodologis... 64

2. Saran Praktis ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Daftar Tabel Halaman

Tabel 3.1 Blue Print Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba ... 38

Tabel 3.2 Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri ... 41

Tabel 3.3 Blue Print Skala Kontrol Diri Setelah Uji Coba ... 43

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 47

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48

Tabel 4.3 Hasil Uji Kolmogorov-smirnov untuk Uji Normalitas ... 49

Tabel 4.4 Perbandingan Nilai Mean Subjek ... 51

Tabel 4.5 Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kontrol Diri Subjek ... 52

Tabel 4.6 Norma Kategorisasi Kontrol Diri ... 53

Tabel 4.7 Kategorisasi Data Kontrol Diri pada Subjek ... 54

Tabel 4.8 Hasil Uji Independent Sample t-Test Tiga Aspek Kontrol Diri .... 55

Tabel 4.9 Nilai Mean dan Standar Deviasi Tiga Aspek Kontrol Diri... 56

Tabel 4.10 Hasil Uji Independent Sample t-Test pada Remaja Laki-laki dan Perempuan... 57

Tabel 4.11 Nilai Mean dan Standar Deviasi pada Remja Laki-laki dan Perempuan ... 58

Tabel 4.12 Penjabaran Jenis Kelamin Remaja dengan Kontrol Diri Rendah ... 59


(12)

DAFTAR GAMBAR

Daftar Gambar Halaman

Gambar 4.1 Uji Normalitas Kontrol Diri Remaja dari Keluarga Utuh ... 49 Gambar 4.2 Uji Normalitas Kontrol Diri Remaja dari Keluarga Bercerai ... 50 Gambar 4.3 Grafik Batang Perbedaan Kontrol Diri Subjek... 55


(13)

Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai

Yap Rima Oktavya Sinaga ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai. Populasi dalam penelitian ini adalah 52 remaja yang berasal dari keluarga utuh dan 52 remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan usia 12-15 tahun dan tinggal di kota Medan. Data penelitian dikumpulkan dengan skala kontrol diri yang memiliki indeks diskriminasi bergerak antara 0,275-0,634 dan reliabilitas 0.875.

Hasil penelitian mendapatkan ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai, yakni remaja dari keluarga utuh memiliki kontrol diri yang lebih tinggi (X=95,17) daripada remaja yang berasal dari keluarga bercerai (X=87,4). Perbedaan kontrol diri remaja berdasarkan struktur keluarga (KU=keluarga utuh; KC=Keluarga bercerai) terlihat dari hasil berikut: kategori kontrol diri rendah 9,6% (KU) vs 28,8% (KC); kategori sedang 67,3% (KU) vs 57,7% (KC); kategori tinggi 23,1% (KU) vs 13,5% (KC).


(14)

Differences in Self-Control of Adolescent Who Come from the Intact and Divorced Families

Yap Rima Oktavya Sinaga

ABSTRACT

This study aims to look at differences in self-control of adolescents who come from intact and divorced families. Subject in this study were 52 adolescents who come from intact families and 52 adolescents who come from divorced families by the age of 12-15 years and living in Medan. Data were collected by self-control scale which has index discrimination moving between 0.275 to 0.634 and reliability 0.875.

The results of this study show that there is difference in self-control of adolescents who come from intact and divorced families, in which adolescents from intact families have higher self-control (X=95.17) than adolescents who come from divorced families (X=87.4). Differences in adolescents self-control based of the family structure (IF=intac familyt; DF=divorced family) showed by this result: low self-control category 9.6% (IF) vs 28.8% (DF); middle category 67.3% (IF) vs 57.7% (DF); high category 23.1% (IF) vs 13.5% (DF).


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini. Banyak kejadian dan peristiwa penting terjadi pada masa ini, sehingga kebanyakan orang tidak akan dapat melupakan masa remajanya. Mereka yang berada pada usia remaja akan berusaha menikmati dan mengisi masa remajanya dengan berbagai kegiatan yang menarik. Selain menarik, masa ini juga penuh dengan tantangan dan tekanan sehingga dikenal sebagai masa storm and stress (Hurlock 1999).

Masa Storm and stress atau masa badai dan tekanan, disebut tekanan karena seseorang akan mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Banyak terjadi perubahan, baik secara fisik, psikis, sikap, perilaku, emosi dan sosial pada masa peralihan ini (Santrock, 2009).

Sebagian remaja dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan yang terjadi pada masa remaja, namun sebagian lainnya tidak (Gunarsa, 2003). Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor kontrol diri pada remaja tersebut. Kontrol diri di usia remaja berpengaruh terhadap keseimbangan hidup, yang membantu remaja lebih baik dalam mempersiapkan diri dan menyesuaikan diri dengan beberapa aspek kehidupan yang berbeda, seperti penyesuaian perilaku, emosi, sikap, dll (Kuhnle, dkk, 2011).


(16)

Averill (dalam Ghufron & Risnawati, 2011) mendefisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, serta kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini memberi dampak positif atau keuntungan bagi diri sendiri. Remaja dengan kontrol diri yang tinggi akan sangat memperhatikan bagaimana cara berperilaku yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi serta penerimaan sosial terhadap cara seseorang berperilaku, bersikap dan mengatur emosinya, berbeda dengan remaja dengan kontrol diri rendah yang cenderung kurang mempertimbangkan dampak positif dan negatif dari perilaku mereka (Kartono, 2008).

Remaja dengan kontrol diri yang tinggi menunjukkan kemampuan belajar yang lebih baik. Kontrol diri yang tinggi memungkinkan seseorang untuk mendapatkan prestasi sekolah yang lebih baik, tidak mudah cemas dan depresi,

self esteem tinggi dan kepuasan hubungan yang lebih baik (Crandell, dkk, 2009). Kontrol diri yang rendah mengakibatkan remaja menjadi terlalu bebas, agresif, dan sulit diarahkan oleh orang dewasa. Selanjutnya munculah kebiasaan buruk (Kartono, 2008). Rendahnya kontrol diri seseorang, khususnya remaja juga sangat berpengaruh terhadap prestasi di sekolah, cara hidup yang positif, serta kemampuan untuk menolak penggunaan obat-obatan terlarang, seperti yang dikemukakan oleh Jason & Jody (2009). Gottfredson & Hirschi menyatakan bahwa kontrol diri yang rendah juga berpengaruh terhadap perilaku kriminal (Phythian, 2008).


(17)

Remaja dengan kontrol diri yang rendah tampaknya sangat banyak ditemui kasusnya dalam kehidupan sehari-hari saat ini. banyak remaja yang perilakunya menyimpang dari apa yang dipandang baik dan positif oleh masyarakat. Perkembangan yang bersifat negatif ini mengacu pada perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang dapat diterima oleh masyarakat, seperti perilaku yang melanggar, dan bahkan tindakan-tindakan kriminal (Santrock, 2009). Beberapa contoh hal negatif yang banyak dilakukan oleh remaja pada saat ini antara lain adalah mencontek, bolos sekolah, merokok, menonton film porno, mengonsumsi obat-obat terlarang, kecanduan bermain game, minum minuman keras, tawuran, terlibat dengan geng yang anarkis, pergaulan bebas, dll.

Jumlah kegiatan remaja yang bersifat negatif yang salah satunya kenakalan, saat ini tergolong sangat tinggi. Remaja yang terlibat dengan kenakalan remaja ternyata mempunyai sifat kepribadian khas, salah satunya adalah mereka kurang memiliki kontrol diri (Kartono, 2008). Sebagaimana pernyataan Kartono, Santrock (2009) juga menyatakan hal yang sama, yaitu perilaku kenakalan remaja digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.

Kenakalan remaja di Indonesia saat ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan yang sebelumnya. Data terbaru menunjukkan bahwa terdapat lima provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat kenakalan tertinggi. Lima provinsi yang dimaksud antara lain adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara (Badan Pusat Statistik, 2010). Kenakalan remaja juga sering kali terlihat dari berbagai tayangan berita


(18)

kriminal di televisi dan media massa lainnya yang selalu disajikan setiap harinya. Meningkatnya tingkat kenakalan remaja ini juga ditunjukkan oleh data Polda Metro jaya yang menyatakan bahwa kenakalan remaja pada tahun 2012 meningkat sebanyak 36,33%, yang mana bentuk perilaku kenakalan yang paling banyak meningkat adalah perkelahian, pencurian, judi, dan penggunaan narkotika (Berita Satu, 2012).

Data dari lembaga pemasyarakatan menunjukkan bahwa dari 33 provinsi di Indonesia, provinsi Sumatera utara pada tahun 2015 memiliki jumlah tahanan anak laki-laki dan perempuan sebanyak 129 orang. Jumlah ini merupakan jumlah yang terbanyak diantara semua provinsi di indonesia (Sistem Database Pemasyarakatan, 2015).

Faktor rendahnya kontrol diri pada remaja juga berpengaruh terhadap perilaku bully (Unnever & Cornell, 2003). Indonesia saat ini masuk ke dalam negara dengan tingkat bullying terbesar di dunia, yang mana Indonesia berada pada peringkat kedua (Latitude News, 2012).

Masa remaja memang menjadi masa yang penuh dengan perubahan dan menjadi hal yang lumrah ketika banyak remaja pada akhirnya sulit dalam melakukan penyesuaian diri. Namun biarpun menjadi hal yang lumrah, pada kenyataannya adalah banyak juga remaja yang tetap dapat berkembang dan berperilaku secara positif. Hal ini dikarenakan masa remaja juga menjadi masa dimana pola berpikir berkembang menjadi lebih baik, seharusnya remaja sudah mampu menentukan, mengendalikan dan mempertanggungjawabkan perilakunya sesuai dengan nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya (Hurlock, 1999).


(19)

Remaja harusnya sudah dapat mengetahui mana perilaku buruk yang tidak dapat diterima oleh masyarakat serta memberikan pengaruh negatif terhadap diri sendiri, namun remaja yang memiliki kontrol diri yang rendah umumnya tidak mengenali hal ini (Santrock, 2003).

Kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor-faktor yang memepengaruhi kontrol diri ini terdiri dari faktor-faktor internal (dari diri individu), dan faktor eksternal (lingkungan individu). Salah satu faktor internal kontrol diri adalah usia. Faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan keluarga khususnya orangtua (Ghufron & Risnawati, 2011). Remaja yang pada dasarnya sudah berada pada masa badai dan tekanan (Hurlock, 1999) membuat remaja sangat membutuhkan dukungan dari orang terdekat yaitu orangtua. Orientasi pada masa remaja memang lebih kepada teman sebaya. Dari teman sebaya remaja dapat belajar banyak hal, baik itu positif maupun negatif, dan dalam hal inilah orangtua sangat dibutuhkan. Orang tua berfungsi sebagai sosok yang menanamkan nilai-nilai disiplin pada anak. Sehingga remaja yang orientasinya lebih kepada teman sebaya masih dapat dikendalikan sehingga tidak terlibat dengan pengaruh negatif yang berasal dari teman (Hurlock, 1999). Orangtua yang secara konsisten menerapkan perilaku disiplin pada remaja, khususnya yang dilakukan sejak dini, memungkinkan anak memiliki kontrol diri yang tinggi (Phythian, 2008).

Realitanya, keluarga tidak selalu berada dalam kondisi yang seimbang, khususnya kondisi orangtua. Perubahan orangtua memiliki pengaruh pada hubungan orangtua dan remaja. Perubahan yang orangtua alami antara lain seperti perubahan dalam kepuasan pernikahan, kondisi ekonomi, kesehatan tubuh, karir


(20)

dll (Santrock, 2009). Perubahan dalam kepuasan pernikahan dapat berujung pada perceraian, yang mana perceraian ini akan mengakibatkan perubahan struktur keluarga. Keberadaan ayah dan ibu secara bersama-sama menunjukkan keutuhan sebuah keluarga secara struktural. Secara struktural, keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti kehadiran orangtua, anak dan kerabat lainnya (Lestari, 2012).

Struktur keluarga baik itu utuh atau tidak utuh, yang dalam hal ini bercerai juga turut mempengaruhi perkembangan sosial remaja (Ahmadi, 1991). Sebagaimana Herbert C.Quay (dalam Santrock, 2003) mengungkapkan bahwa keutuhan keluarga, baik utuh secara struktur maupun secara interaksi mempengaruhi perkembangan sosial remaja. Keluarga yang utuh menjadi idaman bagi banyak orang khususnya bagi anak. Keutuhan keluarga membuat anak merasakan dan memahami arahan orangtua. Arahan dan bimbingan dari kedua orangtua membuat remaja tidak mudah dipengaruhi oleh pergaulan yang buruk (Gunarsa, 2009). Remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh dengan suasana keluarga yang positif cenderung dapat menjalani masa remajanya tanpa menghadapi masalah yang serius (Papalia, 2009).

Di samping dampak positif keluarga utuh seperti yang disebutkan sebelumnya, remaja yang tinggal di tengah-tengah keluarga utuh juga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penyesuaian yang buruk dan terlibat dengan hal-hal yang bersifat negatif. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi hal ini adalah jika konflik di tengah-tengah keluarga tersebut tergolong tinggi (Santrock, 2009), penyesuaian orangtua dan anak yang kurang baik, dasar yang


(21)

kurang baik selama masa anak-anak, serta pola asuh yang membuat remaja sangat bergantung dengan orangtua (Hurlock, 1999). Remaja dengan kebiasaan buruk dan negatif juga ditemui pada keluarga utuh. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Bangun (2006) yang menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga utuh juga terlibat dengan perilaku kenakalan remaja.

Meskipun ada kalanya struktur keluarga utuh tidak menjamin sepenuhnya perkembangan remaja, namun perubahan struktur keluarga akibat perceraian tetap saja menjadi suatu hal yang tidak diharapkan oleh siapapun. Perceraian sebagaimana Hurlock (1999) nyatakan terjadi apabila antara suami dan isteri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perceraian yang terjadi dapat berupa perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun dengan diam-diam, atau salah satu (isteri/suami) meninggalkan keluarga.

Perceraian saat ini dianggap menjadi hal yang biasa. Di Indonesia sendiri angka perceraian tergolong cukup tinggi, khususnya di Medan, Sumatera Utara. Menurut Pengadilan Tinggi Agama, perceraian tahun 2013 meningkat dari tahun sebelumnya. Jika dilihat berdasarkan jenis perkara diketahui bahwa pada tahun 2013 jumlah cerai talak terdapat 2.549 kasus dan cerai gugat sejumlah 6939 kasus. Kenaikan setiap tahunnya berkisar 15% sampai dengan 20% (Pengadilan Tinggi Agama, 2013).

Perubahan struktur keluarga akibat perceraian memiliki banyak sekali dampak negatif bagi remaja. Pada umumnya anak dari keluarga bercerai merasa malu karena mereka merasa berbeda (Hurlock, 1999), dan kehilangan kontrol diri


(22)

(Santrock, 2009). Kehilangan kontrol diri inilah yang selanjutnya berpengaruh pada kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri, kesulitan dalam belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial (Papalia, 2009) dan cenderung terlibat dengan kenakalan remaja (Kartono, 2008). Hal ini salah satunya dipengaruhi juga oleh faktor komunikasi. Remaja yang berasal dari keluarga bercerai kemungkinan akan mengurangi komunikasi antara anak dengan kedua orangtua, padahal komunikasi menjadi penentu terhadap bagaimana cara remaja dapat menghadapi perubahan dalam hidupnya secara efektif (DeGenova, 2008).

Di sisi lain, remaja yang tinggal dengan keluarga bercerai tidak selamanya menunjukkan perilaku yang menyimpang, terkadang mereka lebih mandiri (Lestari, 2012). Remaja dari keluarga bercerai juga menjadi lebih bertanggungjawab, karena mereka banyak belajar untuk melakukan segala sesuatunya sendiri dan mempertanggungjawabkan apa yang mereka kerjakan. Selain itu, mereka juga lebih terampil dalam melakukan beberapa hal khususnya melakukan apa yang orang dewasa dapat lakukan. Keterampilan ini diperoleh karena mereka cenderung akan membantu orangtua tunggal akibat perceraian (DeGenova, 2008).

Perkembangan positif seperti yang telah disebutkan di atas dapat terjadi jika konflik yang remaja alami tergolong rendah ketika perceraian tersebut berlangsung. Remaja yang berasal dari keluarga bercerai juga dapat berkembang menjadi pribadi yang positif jika remaja masih tetap berkomunikasi dan bersosialiasasi dengan baik dengan orangtua. Selain itu dukungan dari pihak lain seperti teman, keluarga besar, dll tidak menutup kemugkinan untuk membuat


(23)

remaja yang berasal dari keluarga bercerai untuk dapat melakukan penyesuaian dengan baik.

Dari beberapa kajian yang telah dikemukakan terdapat kontroversi antara keluarga bercerai dengan keluarga utuh dalam peranannya terhadap kontrol diri, sehingga perlu dikaji lebih jauh bagaimana sebenarnya peranan struktur keluarga terhadap kontrol diri pada remaja. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga bercerai lebih sering terlibat dengan perilaku negatif yang menunjukkan rendahnya kontrol diri mereka bila dibandingkan dengan remaja yang berasal dari keluarga utuh, namun dari fenomena yang terjadi di lapangan, remaja yang dibesarkan dalam keluarga bercerai tidak selalu terlibat dengan perilaku negatif atau kenakalan remaja yang menunjukkan rendahnya kontrol diri mereka. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan membandingkan kontrol diri remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan remaja yang berasal dari keluarga utuh.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang telah diuraikan, yaitu


(24)

mengungkapkan ada atau tidaknya perbedaan kontrol diripada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini tentunya dilakukan dengan harapan akan memberikan manfaat. Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Perkembangan. Selain itu, hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan terhadap teori kontrol diridan perceraian.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak sebagai berikut ini:

a. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kontrol diri remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai

b. Remaja

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi remaja tentang pentingnya kontrol diriyang memampukan remaja untuk melakukan dan menyesuaikan diri dengan perilaku positif dan terhindar dari perilaku negatif yang bertentangan dengan nilai dan norma masyatakat, serta mengetahui kemungkinan


(25)

perbedaan kontrol diri pada remaja dengan struktur keluarga utuh dan bercerai.

c. Orangtua

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada orangtua mengenai perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari struktur keluarga utuh dan keluarga bercerai. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membuat orangtua lebih waspada dengan masa perkembangan remaja.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berguna untuk memberikan gambaran yang jelas tentang penelitian yang akan dilakukan agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan, secara sistematis, susunan tulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan permasalahan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab II Tinjauan Pustaka, yang berisi tentang teori-teori yang digunakan sehubungan dengan masalah yang akan dibahas. Teori yang dimaksud berhubungan dengan teori kontrol diri, remaja, struktur keluarga baik utuh dan bercerai. Di dalam Bab II nantinya juga akan disertai dengan hipotesis penelitian.


(26)

3. Bab III Metode Penelitian, yang berisi tentang variabel penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, subjek penelitian, dan analisis data yang digunakan dalam penelitian serta prosedur penelitian.

4. Bab IV Analisa dan Interpretasi data, yang berisikan gambaran sampel penelitian, uji asumsi penelitian, uji hipotegsa hasil penelitian dan hasil tambahan penelitian, serta pembahasan

5. Bab V Saran dan Kesimpulan, yang berisikan saran dan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kontrol Diri

1. Definisi Kontrol Diri

Kontrol diri menurut Averill merupakan variabel psikologis yang mencakup kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini (dalam, Ghufron & Risnawati, 2011). Sedangkan menurut Contrada & Goyal, 2004 (dalam Sarafino, 2010) kontrol diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk membuat keputusan, bertindak secara efektif terhadap apa yang dibutuhkan dan menolak melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah keyakinan serta kemampuan seseorang untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan pikiran, perilaku dan keputusannya dalam melakukan sesuatu dengan mempertimbangkan kebutuhan dan konsekuensi yang akan dihasilkan.


(28)

2. Fungsi Kontrol Diri

Fungsi kontrol diri di usia remaja menurut Messina & Messina antara lain adalah sebagai berikut:

a. Membatasi perhatian remaja terhadap orang lain

b. Membatasi keinginan remaja untuk mengendalikan orang lain dan lingkungan

c. Membatasi tingkah laku individu agar sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku (Gunarsa, 2003).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Secara garis besar, (Ghufron& Risnawati, 2011) menyatakan bahwa kontrol diri dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (dari luar diri individu).

a. Faktor Internal

Salah satu faktor internal kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan kontrol diri seseorang tersebut. b. Faktor Eksternal

Faktor eskternal antara lain adalah lingkungan keluarga yang secara khusus mengacu pada orangtua. Pada penelitian ini keluarga difokuskan pada struktur keluarga. Karena hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur keluarga mempengaruhi kontrol diri seorang remaja (Phytian, 2008). Faktor lain yang mempengaruhi kontrol diri menurut (Darity, 2008) adalah sosialisasi orangtua, kedekatan, status sosioekonomi dan temperamen.


(29)

4. Strategi Kontrol Diri

Hoch dan Loewenstein (1991) menyebutkan terdapat tiga strategi kontrol diri yang dapat membatasi keinginan sebagai berikut:

a. Penghindaran (Avoidance) yang berarti membatasi keinginan dengan cara menghindari situasi yang cenderung meningkatkan keinginan tersebut. b. Penundaan dan Selingan (Postponement and distraction), merupakan

usaha membatasi keinginan dengan cara menunda pilihan sampai masa mendatang, sementara dalam kasus selingan yang dilakukan adalah mencoba untuk memikirkan hal lain.

c. Pengganti (Substitution) merupakan cara membatasi keinginan dengan cara memberikan reward pada diri segera setelah diri sendiri mampu menolak dorongan atas keinginannya.

5. Aspek-Aspek Kontrol Diri

Averill menyatakan terdapat tiga aspek dalam kontrol diri yaitu, kontrol: perilaku yang mengacu pada cara melakukan sesuatu, kognitif untuk serangkaian proses berpikir, dan keputusan (dalam Ghufron dan Risnawati).

a. Kontrol Perilaku (Behavior Control)

Merupakan suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau mengubah kondisi suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang dapat membawa seseorang ke dalam keadaan stress. Kontrol perilaku merupakan keyakinan dan kepercayaan seseorang bahwa ada tindakan yang dapat dilakukan untuk mengubah suatu situasi yang tidak menyenangkan.Kontrol perilaku dibagi ke dalam dua komponen,


(30)

yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi atau mengubah stimulus (Stimulus Modifiability). Kemampuan untuk mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang akan mengendalikan situasi atau keadaan. Kemampuan tidak lepas dari mempertanyakan kemampuan individu sendiri, apakah individu tersebut dapat melakukannya sendiri atau membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk dapat mengendalikan situasi tersebut. Individu dengan kontrol diri yang baik akan mampu mengatur suatu situasi atau keadaan dengan menggunakan kemampuannya sendiri. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui kapan suatu stimulus dan situasi yang tidak dikehendaki akan terjadi dan bagaimana harus mempersiapkan diri dan menghadapi situasi tersebut. Cara yang dapat dilakukan dalam mengatur stimulus adalah dengan cara mencegah atau menjauhi stimulus, membatasi atau menunda stimulus, serta menghentikan suatu stimulus.

b. Kontrol Kognitif (Cognitive Control)

Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang diinginkan atau tidak diinginkan. Cara yang dapat dilakukan untuk melakukan kontrol kognitif adalah dengan cara melakukan interpretasi terlebih dahulu, melakukan penilaian atau menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian lain dalam suatu kerangka kognitif sebagai langkah untuk melakukan penyesuaian secara psikologis guna mengurangi tekanan yang


(31)

ada. Menurut Cohen (Dalam Sarafino, 2010) kontrol kognitif berarti kemampuan seseorang untuk menggunakan proses dan strategi berpikir untuk memodifkasi dampak dari stress dengan cara memikirkan dampak positif sebuah kejadian atau berpikir secara netral terhadap sesuatu.

Aspek ini terbagi lagi menjadi dua komponen yaitu, perolehan informasi (information gain) dan penilaian (Appraisal). Hal yang dilakukan ketika berada dalam proses pemerolehan informasi adalah individu dapat melakukan antisipasi terhadap suatu keadaan yang diketahui tidak menyenangkan. Ketika sudah diketahui bahwa terdapat kemungkinan terjadinya kondisi yang tidak menyenangkan, maka individu dapat melakukan antisipasi.

Kontrol secara kognitif dapat semakin meningkat dengan cara meningkatkan pemahaman seseorang tentang suatu peristiwa atau situasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan pemahaman tentang konsekuensi yang akan terjadi. Misalnya, pasien yang akan menjalani operasi diberitahu terlebih dahulu apa yang akan terjadi selama perawatan di rumah sakit. Jika informasi yang dibagikan benar-benar berguna, maka hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan kontrol seseorang atau mengubah persepsi orang tersebut (Veitch, 1996).

Sedangkan penilaian dapat dilakukan dengan cara menilai dan menafsikan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi positif secara subjektif. Kontrol kognitif, salah satunya dapat dilakukan dengan cara menafsirkan kemampuan dan potensi diri sendiri apakah


(32)

memiliki kontrol diri yang cukup atau tidak untukmengahadapi suatu peristiwa (Rothbaum, Weisz, & Snyder, 1982).

c. Kontrol Keputusan (Decisional Control)

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau tindakan berdasarkan pada sesuatu yang disetujui atau diyakini. Kontrol keputusan sangat berperan dalam membantu seseorang mengatasi masalahnya ketika berada dalam kondisi stres (Shanahan 2010). Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Banyak ahli dan teori yang meyakini bahwa kontrol yang dirasakan seseorang berfungsi sebagai prediktor yang lebih kuat daripada kontrol yang sebenarnya (Skinner, 1996). Keyakinan diri akan kontrol yang dimiliki menjadi pendorong yang kuat bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Skinner, 1996).

Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek di atas, kontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh aspek itu mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol diri.

B.Struktur Keluarga

Keluarga adalah rumah tangga yang terbentuk karena hubungan darah atau perkawinan yang menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada


(33)

dalam suatu jaringan (Lestari, 2012). Keluarga merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat subsistem. Subsistem yang dimaksud antara lain adalah subsistem orangtua dan anak, subsistem suami dan istri serta subsistem antar saudara (Santrock, 2009).

Kondisi satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Begitu juga dengan remaja. Perilaku orangtua dapat mempengaruhi perilaku remaja secara langsung dan tidak langsung. Salah satu contoh hubungan tidak langsung adalah konflik yang terjadi antara orangtua akan mempengaruhi efektifitas orang tua dalam melakukan fungsinya (Santrock, 2003).

Menurut Koerner dan Fitzpatrick, keluarga dapat didefinisikan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dandefinisi interaksional. Secara struktural, keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti kehadiran orangtua, anak dan kerabat lainnya (Lestari, 2012).

Keluarga jika dilihat dari kelengkapan strukturnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu keluarga utuh dan keluarga bercerai. Berikut ini merupakan penjelasan kedua jenis keluarga tersebut.

1. Keluarga Utuh

Menurut Ahmadi (1991), keluarga utuh merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Keluarga dikatakan utuh apabila anak-anak dalam keluarga tersebut dapat merasakan kehadiran kedua


(34)

orangtuanya, yang mana anak merasa aman dan terlindungi berada dalam keluarga tersebut.

Orientasi keluarga utuh timbul dari komitmen antara suami-istri dan komitmen mereka dengan anak-anaknya. Keluarga inti terdiri dari orang tua dan anak yang merupakan kelompok primer yang terikat satu sama lain karena hubungan keluarga ditandai oleh kasih sayang, perasaan yang medalam, saling mendukung, dan kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan pengasuhan. Suami istri yang selanjutnya menjadi ayah-ibu merupakan anggota keluarga yang paling penting dalam membentuk keluarga yang utuh dan sejahtera (Gunarsa, 2003). Pada dasarnya keluarga yang utuh dan berada dalam perkawinan yang sah menurut Lestari (2012) lebih menjamin kesejahteraan anak.

Keluarga yang utuh menunjukkan salah satu ciri keluarga yang harmonis. Keharmonisan di dalam suatu keluarga sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak-anaknya terutama remaja yang berada pada masa transisi. Karena masa tersebut perkembangan jiwa anak belum stabil, mereka tengah mengalami banyak konflik batin dan kebingungan (Kartono, 2008). Gunarsa (2009) menambahkan bahwa anak dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng dalam mencegah perilaku agresif anak.

2. Keluarga Bercerai

Struktur keluarga tidak utuh atau bercerai mengarah kepada perpisahan atau perceraian anak terhadap orang tua, oleh karena itu, anak tinggal dengan salah satu orang tua biologisnya.Keluarga yang memiliki struktur keluarga tidak utuh atau bercerai menunjukkan hubungan keluarga yang buruk.


(35)

Hubungan keluarga yang buruk mengakibatkan bahaya psikologis pada setiap usia, terlebih pada masa remaja karena pada saat ini anak laki-laki dan anak perempuan tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga untuk memperoleh rasa aman (Hurlock, 1999). Perubahan struktur keluarga akibat perceraian tentunya menghasilkan stress pada orangtua (Papalia, 2009).

C. Remaja

Remaja diartikan sebagai masatransisi atau peralihan antara masa anak ke masa dewasa (Hurlock, 1999). Masa remaja dimulai sekitar 10-13 tahun dan berakhir di usia 18-21 tahun. Masa remaja dibagi lagi menjadi masa remaja awal (berada pada masa sekolah menengah pertama, mulai dari 12-15 tahun) dan masa remaja akhir (mulai usia 15 hingga 21 tahun) (Santrock, 2003).

Havighgurst menyebutkan beberapa tugas perkembangan di masa remaja sebagai berikut; mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita; mencapai peran sosial baik pria maupun wanita; menerima keadaan fisik dan menggunkan tubuhnya secara efektif; mengaharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab; mencapai kemandirian emosional; mempersiapkan karier ekonomi;mempersiapkan perkawinan dan keluarga; memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku (Hurlock, 1999). Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, dalam artian remaja sudah berada dalam tingkatan yang sama dengan orang yang sudah dewasa (Hurlock, 1999).


(36)

Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif dan psikososial. Periode ini merupakan periode yang berisiko. Sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan orang dewasa khususnya orangtua dalam mengtasi bahaya saat menjalani masa ini. Perilaku berisiko menunjukkan belum matangnya pemikiran remaja (Papalia, 2009).

Remaja yang pada dasarnya berada pada masa tekanan dan stres sangat membutuhkan peran orangtua untuk membantu mereka menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Hubungan yang dekat antara remaja dan orangtua sangat penting, karena hubungan antara remaja dan orangtua akan mempengaruhi bagaimana remaja dapat menjalankan hubungan baru dengan orang lain di masa selanjutnya (Santrock, 2003). Pada masa remaja, remaja dihadapkan pada dunia baru, sudah dipercayakan untuk memilih dan menentukan keputusan, untuk menjalankan semuanya remaja butuh kontrol diri, yang membatasi remaja agar tidak sampai melakukan perilaku menyimpang.

Pada awal masa remaja, kebanyakan individu tidak dapat menentukan keputusan yang tepat dalam semua sisi kehidupannya (Santrock, 2003). Orangtua berperan sebagai sosok yang memberikan dukungan dan dorongan bagi anak remajanya agar dapat menjalankan peran sosial yang lebih luas dan lebih baik.

Hubungan remaja dengan orangtua sangat dipengaruhi oleh kondisi orangtua itu sendiri, baik kondisi pekerjaan, status sosioekomi dan juga status pernikahan (Santrock, 2009). Status pernikahan berkaitan dengan struktur


(37)

keluarga, baik utuh dan bercerai. Penjelasan tentang bagaimana keadaan remaja yang berasal dari keluarga dengan orangtua bercerai dengan orangtua utuh

1. Remaja dari Keluarga Utuh

Remaja yang berasal dari keluarga utuh maksudnya adalah remaja yang merupakan anak dari sebuah keluarga, tinggal dalam keluarga yang memiliki kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan remaja sebagai anak. Sebuah keluarga dimana anak tinggal dalam suatu kesatuan dengan kedua orang tua biologisnya.

Keluarga yang utuh memungkinkan orangtua mengetahui hal-hal mendasar tentang perkembangan remaja, secara lebih efektif mengawasi kehidupan anak remaja, dan menyesuaikan tingkah laku mereka ketika anak remaja semakin tumbuh dan semakin matang (Santrock, 2003).

Orangtua memiliki fungsi dan peranan yang sangat mendasar dalam perkembangan remaja. Melalui keluarga remaja memperoleh bimbingan, pendidikan dan pengarahan untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan kapasitasnya (Gunarsa, 2009). Keutuhan keluarga membuat anak merasakan dan memahami arahan orangtua walaupun mereka tidak hadir secara fisik di hadapannya. Anak yang dibimbing dengan baik dan searah membuat anak memiliki pedomnan hidup yang kuat. Dengan pedoman yang kuat, anak mengetahui arah hidupnya dan tidak mudah dipengaruhi oleh pergaulan yang buruk (Gunarsa, 2009). Remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh dengan suasana keluarga yang positif, yang dalam artian keluarga khususnya orangtua tidak bermasalah akan cenderung dapat


(38)

menjalani masa remajanya tanpa menghadapi masalah yang serius (Papalia, 2009).

Sikap dan perilaku remaja yang berasal dari keluarga utuh tidak selamanya dan mutlak akan berkembang ke arah positif, karena terdapat faktor lain yang tentunya berperan terhadap perkembangan remaja seperti teman sebaya. Pergaulan yang buruk, pengaruh soioekonomi, kualitas lingkungan dan kebiasaan yang buruk dapat memberikan pengaruh buruk bagi remaja, yang salah satunya adalah ikut terlibat dalam kenakalan remaja (Santrock, 2003).

Meskipun begitu, hubungan dengan kedua orangtua sangat penting bagi perkembangan remaja, karena remaja akan mencapai titik dimana mereka memerlukan dukungan yang memadai untuk pendidikan dan kasih sayang dari orangtua yang pada akhirnya menjadi salah satu sumber kenyamanan bagi remaja(Santrock, 2003). Skaggs dan Jodl mengungkapkan bahwa remaja yang tinggal di keluarga utuh lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung jawab dan kurang mengalami masalah perilaku daripada remaja yang tinggal di keluarga bercerai yang memiliki masalah kompleks.

2. Remaja dari Keluarga Bercerai

Remaja dari keluarga bercerai maksudnya adalah remaja yang tinggal dengan salah satu orangtua biologis yang diakibatkan oleh adanya perceraian atau perpisahan diantara orangtua. Struktur keluarga yang berubah akibat perceraian tidak hanya mempengaruhi kehidupan remaja pada masa perceraian itu sedang berlangsung, namun juga setelahnya.


(39)

Perceraian orangtua yang memiliki anak remaja meningkatkan risiko seperti perilaku antisosial, kesulitan dengan figur otoritas dan keluar dari sekolah (Papalia, 2009). Perilaku kenakalan lebih tinggi kemungkinannya berasal dari keluarga dengan orangtua bercerai berbeda dengan keluarga yang orangtuanya utuh atau tetap bersama. Selain itu mereka juga memiliki perasaan sedih, khawatir atau penyesalan yang berkepanjangan.Menurut (Dacey & Kenny, 1997), remaja awal yang mengalami perceraian orang tua lebih memungkinkan untuk mempunyai masalah sekolah, termasuk prestasi yang lebih rendah dan perilaku yang menggangu.

Usia yang dianggap paling bermasalah ketika perceraian terjadi adalah pada usia remaja awal. Mereka akan cenderung membedakan dan membandingkan dirinya dengan teman yang tetap tinggal dalam keluarga utuh. Remaja tersebut pada umumnya tetap menimpan kemarahan dalam hatinya. Perceraian yang terjadi ketika seseorang memasuki remaja awal lebih memungkan remaja tersebut terlibat dengan perilaku kenakalan remaja (Santrock, 2003). Perubahan secara struktur akan mempengaruhi perubahan fungsional.

Pengaruh perceraian terhadap perkembangan remaja dapat dijelaskan berdasarkan dua model utama yang berperan. Dua model yang dimaksud adalah model struktur keluarga (family structure model) dan model faktor ganda (multiple factor model). Model struktur keluarga menyatakan bahwa semua perbedaan remaja yang berasal dari keluarga bercerai semata-mata hanya disebabkan oleh perubahan struktur keluarga, seperti ketidakhadiran


(40)

ayah atau ibu dalam suatu keluarga secara fisik. Sedangkan model faktor berganda menyatakan bahwa perbedaan remaja dari keluarga bercerai tidak hanya dari segi struktur tetapi juga kerumitan masalah selama proses perceraian terjadi (Santrock, 2003).

Perceraian orangtua diketahui memiliki banyak dampak negatif seperti anak remaja yang merasa diabaikan, bingung, resah, kenakalan remaja, rasa tidak percaya, lenyapnya kontrol diri, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang buruk, mengembangkan kesadaran yang salah, dll (Kartini, 2008). Pengaruh perceraian lainnya terhadap kehidupan anak antara lain adalah rendahnya subjective well-being (Dewi & Muhana, 2013).

Umumnya anak korban perceraian merasa malu karena mereka merasa berbeda (Hurlock, 1999). Papalia (2009) mengungkapkan selain rasa malu, dampak perceraian lainnya adalah anak menunjukkan kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri, kesulitan dalam belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial, yang mana perasaan ini termanifestasi dalam bentuk perilaku yang suka marah, menjadi kasar, agresif serta prestasi sekolah menurun. Anak-anak yang tinggal bersama satu orangtua akibat perceraian cenderung tertinggal secara sosial dan pendidikan dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tinggal bersama orangtua yang utuh.

Amato dan Keith (dalam Kail & Cavanaugh, 2002) menyatakan bahwa perceraian paling berbahaya bagi mereka yang masih berada pada masa anak-anak dan remaja. Selain itu mereka juga menyatakan bahwa perceraian


(41)

memiliki dampak yang sama baik itu terhadap remaja laki-laki maupun perempuan.

Terlepas dari semua dampak negatif yang telah dipaparkan, ternyata tidak selamanya anak dari keluarga bercerai memiliki kecenderungan untuk mengembangkan diri ke arah yang negatif, karena sebagaian dari remaja yang berasal dari keluarga bercerai justru lebih mandiri (Lestari, 2012). Hal ini dikarenakan, remaja dihadapkan pada tugas dan peran yang lebih banyak dan berat untuk menggantikan peran dan tanggung jawab yang hilang dari salah satu orangtua.

Meskipun demikian remaja akan memperoleh banyak sekali manfaat bila kedua orangtuanya memiliki keterlibatan yang tinggi dalam mendidik dirinya memberikan kehangatan dan pengasuhan, membantu remaja mengembangkan kendali terhadap dirinya sendiri dan menyediakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan (Santrock, 2003).

D. Perbedaan Kontrol Diripada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Bercerai

Sebagian remaja dapat menyesuaikan, membimbingan dan mengarahkan perilakunya dengan baik ke arah yang positif, sesuai dengan apa yang norma sosial harapkan, namun sebagian lagi tidak mampu menyesuaiakan diri dengan baik terhadap perubahan yang terjadi (Kartono, 2008). Hal ini dibuktikan dari banyaknya remaja yang perilakunya menyimpang dari nilai dan norma sosial yang


(42)

ada di masyarakat. Perilaku remaja yang menyimpang dipandang sebagai perilaku negatif (Santrock, 2003).

Remaja dengan perilaku yang tidak sesuai seperti yang telah disebutkan di atas mempunyai sifat kepribadian khas, salah satunya adalah mereka kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri (Kartono, 2008). Tanpa kontrol diri itu, remaja dapat menjadi pribadi yang lebih agresif dan tidak bisa diarahkan oleh orang dewasa. Selanjutnya muncullah kebiasaan buruk.

Kontrol diri menurut Averill merupakan variabel psikologis yang mencakup kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini (dalam Sarafino, 2010), yang membawa seseorang kepada konsekuensi yang positif.

Averill (dalam Ghufron& Risnawati, 2011) menyebutkan beberapa aspek Kontrol diri yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), kontrol keputusan (decisional control). Kontrol diri sangat diperlukan oleh remaja mengingat bahwa masa remaja merupakan masa peralihan yang di dalamnya terjadi banyak perubahan drastis, baik secara fisik, kognitif, dan sosioemosional (Hurlock, 1999). Perubahan drastis ini memposisikan masa remaja sebagai masa badai dan tekanan (Hurlock,1999).

Kontrol diri dipengaruhi oleh dua faktor besar, yaitu dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (dari luar diri individu). Faktor internal yang dimaksud salah satunya adalah usia, sedangkan


(43)

yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan keluarga khususnya orangtua. (Ghufron& Risnawati, 2011).

Keluarga adalah rumah tangga yang terbentuk karena hubungan darah atau perkawinan yang menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Lestari, 2012). Keluarga merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat subsistem. Subsistem yang dimaksud antara lain adalah subsistem orangtua dan anak, subsistem suami dan istri serta subsistem antar saudara (Santrock, 2009).

Subsistem keluarga saat ini khususnya suami dan istri banyak yang mengalami masalah. Salah satunya adalah masalah perceraian. Perceraian pada akhirnya akan mengubah struktur keluarga yang seharusnya terdapat ayah, ibu dan anak. Perubahan struktur ini tidak dipungkiri akan memberikan dampak yang negatif karena sesuai dengan yang Santrock (2009) paparkan bahwa kondisi satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Herbert C.Quay (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa keutuhan keluarga, baik utuh secara struktur maupun secara interaksi mempengaruhi perkembangan sosial remaja. Ketika remaja tinggal dengan salah satu orang tua akibat perceraian maka hal ini juga dapat berpengaruh pada perkembangan sosial remaja tersebut. Kartono (2008) menyebutkan bahwa salah satu dampak negatif dari ketidakutuhan keluarga akibat perceraian bagi remaja adalah mengakibatkan


(44)

lenyapnya kontrol diri remaja yang mengarahkan remaja memiliki kebiasaan serta perilaku yang bersifat negatif.

Berbeda dengan remaja yang berasal dari keluarga utuh. Ketika keadaan keluarga masih seimbang dan utuh, maka orangtua secara khusus akan lebih dapat mengarahkan anak remajanya, sehingga remaja memiliki perilaku yang lebih sesuai dan positif.

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesis yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut:

1. Hipotesa nol: Tidak ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.

2. Hipotesa alternatif: Ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian menjadi faktor yang menentukan berjalannya suatu penelitian dengan baik. Karena metode penelitian sangat berpengaruh terhadap cara pengumpulan, analisa serta pengambilan keputusan yang benar dalam penelitian (Hadi, 2000). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Penelitian dengan metode kuantitatif menekankan fungsi numerikal sebagai alat untuk mengambil kesimpulan yang dapat digenaralisasikan terhadap sebuah populasi. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian komparasi atau perbandingan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kontrol diri antara remaja yang berasal dari keluarga utuh dengan keluarga bercerai. Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya, karena itu peneliti akan melihat perbedaan secara langsung dan meilihat kelompok mana yang memiliki kontrol diri yang lebih tinggi.

A. Identifikasi Variabel

Identifikasi variabel penelitian merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian serta penentuan fungsinya masing-masing (Azwar, 2013). Penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu: 1. Kontrol diri remaja sebagai variabel tergantung (dependent variable).

2. Struktur keluarga (utuh atau bercerai) sebagai variabel bebas (independet variable)


(46)

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel yang dapat diamati. Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kontrol Diri Remaja

Kontrol diri remaja adalah kemampuan remaja untuk mengatur dan membatasi diri sendiri yang ditunjukkan melalui beberapa kemampuan, seperti mampu mengatur pelaksanaan, memodifikasi perilaku, berpikir secara netral atau memikirkan dampak positif suatu keadaan untuk mengurangi stres, mampu mengatur informasi yang diterima, mampu melakukan penilaian, serta kemampuan dalam menentukan pilihan.

Kontrol diri diukur dengan menggunakan skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan tiga aspek kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (dalam Ghufron & Risnawati, 2011), yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif dan kontrol keputusan. Semakin tinggi skor yang dimiliki oleh subjek, maka semakin tinggi pula tingkat kontrol subjek tersebut. Sedangkan semakin rendah skor subjek pada skala kontrol diri, maka semakin rendah pula kontrol diri subjek tersebut.

2. Struktur Keluarga

Struktur keluarga adalah susunan anggota dalam suatu keluarga. Peneliti dapat mengetahui struktur keluarga subjek berdasarkan biodata subjek yang berhubungan dengan struktur keluarga. Struktur keluarga dalam penelitian ini adalah :


(47)

a. Keluarga Utuh

Keluarga utuh merupakan suatu keluarga yang didalamnya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang mana anak tinggal bersama dengan kedua orangtua biologisnya.

b. Keluarga Bercerai

Keluarga bercerai adalah keluarga yang di dalamnya terjadi perpisahan diantara kedua orangtua secara hukum maupun dengan diam-diam, atau salah satu (isteri/ suami) meninggalkan keluarga yang mengakibatkan anak tinggal dengan salah satu orangtua biologisnya. Struktur keluarga bercerai adalah keluarga yang di dalamnya terdapat ayah dan anak saja atau ibu dan anak saja. Faktor lama bercerai dalam hal ini tidak terlalu difokuskan karena peneliti lebih fokus pada dampak struktur yang utuh dan bercerai.

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama atau seluruh kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2013). Populasi yang akan dikenai generalisasi pada penelitian ini adalah dua kelompok anak remaja yakni remaja yang berasal dari keluarga utuh dan remaja yang berasal dari keluarga bercerai. Remaja yang dimaksud adalah remaja awal dengan usia 12-15 tahun tahun di kota medan (Santrock, 2003).


(48)

Karakteristik subjek secara umum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Remaja awal berusia 12-15, pada masa remaja awal kontrol diri sangat diperlukan karena pada masa ini remaja diharapkan sudah dapat menentukan dan memutuskan serta memanajemen beberapa hal terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk dilakukan. Selain itu, struktur keluarga yang utuh dan bercerai pada umumnya menimbulkan dampak yang lebih berbahaya pada masa remaja.

b. Tinggal di Kota Medan

Selain karakteristik secara umum, terdapat juga karakteristik secara khusus yang didasarkan pada populasi yang berbeda. Populasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok remaja yang berasal dari keluarga utuh dan kelompok remaja yang berasal dari keluarga bercerai. Berikut ini adalah karakteristik kedua populasi.

a. Karakteristik populasi remaja yang berasal dari keluarga utuh Remaja tinggal bersama dengan kedua orangtua biologisnya b. Karakteristik populasi remaja yang berasal dari keluarga bercerai

Remaja yang memiliki orangtua bercerai, baik legal secara hukum maupun ditinggal oleh salah satu orangtua yang mengakibatkan ayah dan ibu berpisah. Remaja tinggal bersama salah satu orangtua biologis, baik hanya dengan ayah maupun hanya dengan ibu.


(49)

2. Sampel

Sampel merupakan bagian tertentu yang diambil dari suatu populasi dan diteliti secara rinci (Hadi, 2000). Sampel dalam penelitian ini adalah 104 anak remaja. 52 remaja yang berasal dari keluarga utuh dan 52 remaja yang berasal dari keluarga bercerai. Dari segi jenis kelamin, peneliti menggunakan laki-laki dan perempuan seperti yang dijelaskan di bagian tinjauan pustaka bahwa dampak perceraian sama besarnya baik pada anak laki-laki maupun perempuan.

3. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar dapat diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambailan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan purpossive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan karena faktor kesesuaian subjek dengan karakteristik populasi yang telah ditentukan sebelumnya.

D. Metode Pengumpulan Data 1. Kontrol Diri

Metode pengumpulan data dimaksudkan untuk mengetahui fakta tentang variabel yang akan diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian


(50)

ini adalah metode pengambilan data dengan menggunakan skala. Skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang menggunakan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi,2000).Skala kontrol diri menggunakan model skala likert, yang meletakkan respon subjek ke dalam garis kontinum. Skala kontrol diri disusun berdasarkan aspek-aspek kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (dalam ghufron, 2011). Terdapat 3 aspek kontrol diri yang akan diukur dengan menggunakan skala. Setiap aspek memiliki jumlah sub aspek yang berbeda. Kontrol perilaku memiliki 2 sub aspek, kontrol kognitif memiliki 2 subaspek dan kontrol keputusan hanya memiliki satu sub aspek. Setiap subaspek memiliki jumlah indikator perilaku yang berbeda. Aitem yang peneliti susun didasarkan pada indikator perilaku. Setiap indikator perilaku masing-masing didukung oleh 4-5 aitem. Hal ini sesuai dengan apa yang Azwar (2013) nyatakan, bahwa setiap indikator perilaku sebaiknya tidak hanya didukung oleh satu aitem saja. Jumlah aitem dari masing-masing indikator juga tidak harus sama.

Setiap aspek dalam skala ini disusun berdasarkan aitem favourable dan

unfavourable. Peneliti menggunakan 5 pilihan jawaban untuk setiap aitemnya dengan rincian sebagai berikut:

Sangat Sesuai (SS): apabila subjek merasa pernyataan sangat sesuai dengan dirinya

Sesuai (S): apabila subjek merasa bahwa pernyataan sesuai dengan dirinya Netral (N): apabila subjek merasa pernyataan berada di antara sesuai dan tidak sesuai dengan dirinya


(51)

Tidak Sesuai (TS): apabila Subjek merasa bahwa pernyataan tidak sesuai dengan dirinya

Sangat Tidak Sesuai (STS): apabila subjek merasa bahwa pernyataan sangat tidak sesuai dengan dirinya.

Respon yang menyatakan kesesuaian dipilih sebagai format respon karena istilah ‘sesuai’ digunakan untuk mengukur perilaku, sikap, dan pemikiran yang didasarkan pada keadaan diri subjek, bukan didasarkan pada keadaan di luar diri aspek (Azwar, 2013). Penilaian bergerak dari 0 sampai 4 untuk aitem-aitem yang favorable dengan rincian 4=SS, 3=S, 2=N, 1=TS, 0=STS. Sedangkan untuk aitem unfavorablebergerak dari 4 sampai 0 dengan rincian 0=SS, 1=S, 2=N, 3=TS, 4=STS. Semakin tinggi skor yang diperoleh remaja dalam Skala Kontrol diri maka semakin tinggi pula kontrol dirinya dan semakin rendah skor yang diperoleh dalam Skala Kontrol Diri, maka semakin rendah kontrol diri remaja tersebut.


(52)

Tabel 3.1. Blue Print Skala Kontrol Diri Sebelum Uji Coba

Aspek Sub Aspek Indikator Aitem J

A (%) Fav Unfav

Kontrol Perilaku

Mengatur pelaksanaan

Mengerjakan sendiri hal yang dapat dikerjakan secara mandiri

1, 30, 40

11, 20 5 10,2

Meminta bantuan orang lain kerika tidak mampu mengerjakan suatu tugas secara mandiri

31 2, 12, 21, 41

5 10,2

Memodifikasi perilaku

Mampu mencegah atau menjauhkan diri sendiri agar tidak terlibat dengan mengaruh buruk dari lingkungan

3, 22 13, 32, 42

5 10,2

Mampu membatasi diri untuk tidak terlibat dengan hal-hal negatif di lingkungan

4, 33 14, 23, 43

5 10,2

Mampu menghentikan perilaku yang bersifat buruk atau negatif

24, 34 5, 44 4 8,16

Mampu menunda

keinginan

35, 45 6, 15, 25

5 10,2

Kontrol Kognitif

Mengatur informasi

Melakukan pertimbangan secara kognitif berdasarkan informasi yang telah diketahui sebagai bentuk antisipasi

7, 26, 46

16, 36 5 10,2

Penilaian Menilai suatu hal berdasarkan baik buruknya suatu situasi

8, 17, 27, 37

47 5 10,2

Berpikir secara netral atau positif terhadap suatu kejadian atau peristiwa

9, 38, 48

18, 28 5 10,2

Kontrol Keputusan

Memilih hasil Memilih hasil yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat

10, 19, 29, 39

49 5 10,2

Jumlah 49 100

Keterangan:

Fav : Favorable Unfaf : Unfavorable JA : Jumlah Aitem % : Persentase


(53)

E. Uji Coba Alat Ukur

Skala psikologi merupakan alat ukur yang mengukur indikator perilaku. Artinya atribut psikologi tidak dapar diukur secara langsung karena sifatnya yang abstrak. Dalam artian apa yang akan diukur bersifat tidak pasti karena itu dibutuhkan validitas dan reliabilitas untuk menghindari kesalahan saat melakukan pengukuran. Karena itu juga dibutuhkan pengujian terhadap skala yang telah dibuat (Azwar, 2013). Pengujian skala kontrol diri yang menjadi alat ukur dalam hal ini mencakup uji validitas, reliabilitas dan uji daya beda aitem.

1. Uji Validitas Alat Ukur

Validitas merupakan suatu hal yang penting yang harus dimiliki oleh skala psikologi sebagai alat ukur. Uji validitas bertujuan untuk melihat apakah alat ukur benar-benar mengukur apa hendak diukur yang dalam hal ini adalah alat ukur kontrol diri remaja (Azwar, 2013). Dengan kata lain, alat ukur tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur bukan mengukur bagian atribut lainnya. Ketika alat ukur dipandang mampu mengukur apa yang hendak diukur maka dapat disimpulkan validitas dari alat ukur tersebut baik. Terdapat beberapa jenis validitas, dan validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) (Azwar, 2013). Validitas ini menggunakan expert judgement yang menjadi penilai kesesuaian aitem dengan indikator perilaku sesuai dengan tinjauan pustaka yang digunakan. 2. Uji Reliabilitas Alat Ukur

Uji reliabilitas dimaksudkan untuk melihat konsistensi hasil pengukuran ketika penilaian diulang pada individu atau kelompok dalam


(54)

waktu yangberbeda (Osterlind, 2010). Alat ukur yang reliabel akan menghasilkan data atau skor yang konsisten dan terpercaya.

Uji reliabilitas alat ukur menggunakan teknik reliabilitas Alpha Cronbach. reliabilitas memiliki rentang nilai mulai dari 0-1. Semakin reliabilitas mendekati angka 1, maka semakin baik reliablitas alat ukur tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin reliabilitas mendekati angka 0, maka akan semakin rendah reliabilitas alat ukur tersebut (Azwar, 2013). Reliabilitas dalam penelitian ini akan diukur dan diolah dengan menggunakan program SPSS for Windows 17.0 version.

3. Uji Beda Aitem

Uji beda aitem bertujuan untuk melihat sejauh mana aitem dapat membedakan individu satu dengan individu lainnya (Azwar, 2013). Dibedakan berdasarkan apakah seseorang tersebut sesuai dengan atribut yang hendak diukur atau tidak sesuai. Nilai batas minimal untuk uji beda atitem yang peneliti gunakan adalah minimal 0.30. Hal ini dikarenakan aitem dengan nilai beda sama atau lebih besar dari 0.30 dipandang cukup memuaskan begitu juga sebaliknya. Namun jika banyak aitem yang terbuang dapat dipertimbangkan untuk menurunkan nilai minimal menjadi 0.275.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur dalam penelitian ini dilakukan mulai tanggal 11-17 Juni 2015. Uji coba dilakukan kepada 78 remaja awal berusia 12-15 tahun yang tinggal di Kota Medan. Jumlah subjek yang dikenai uji coba sudah cukup baik yaitu di


(55)

atas 20 orang (Azwar, 2013). Setelah data terkumpul peneliti mengolah data uji coba untuk melihat validitas, reliabilitas dan daya beda aitem skala kontrol diri. Uji coba menggunakan program SPSS 17.0 version for windows. Nilai koefisien korelasi yang peneliti gunakan minimal 0,275 (rix ≥ 0,275) (Azwar, 2013).

Tabel 3.2. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Kontrol Diri

Aspek Sub Aspek Indikator Aitem J

A (%) Fav Unfav

Kontrol Perilaku

Mengatur pelaksanaan

Mengerjakan sendiri hal yang dapat dikerjakan secara mandiri

1, 30, 40 11, 20 4 12,9

Meminta bantuan orang lain kerika tidak mampu mengerjakan suatu tugas secara mandiri

31 2, 12, 21, 41

4 12,9

Memodifikasi perilaku

Mampu mencegah atau menjauhkan diri sendiri agar tidak terlibat dengan mengaruh buruk dari lingkungan

3, 22 13, 32, 42

2 6,4

Mampu membatasi diri untuk tidak terlibat dengan hal-hal negatif di lingkungan

4, 33 14,23, 43

2 6,4

Mampu menghentikan perilaku yang bersifat buruk atau negatif

24, 34 5, 44 4 12,9

Mampu menunda

keinginan

35, 45 6, 15, 25 3 9,7

Kontrol Kognitif

Mengatur informasi

Melakukan pertimbangan secara kognitif berdasarkan informasi yang telah diketahui sebagai bentuk antisipasi

7, 26, 46 16, 36 3 9,7

Penilaian Menilai suatu hal berdasarkan baik buruknya suatu situasi

8, 17, 27, 37

47 2 6,4

Berpikir secara netral atau positif terhadap suatu kejadian atau peristiwa

9, 38, 48 18, 28 3 9,7

Kontrol Keputusan

Memilih hasil Memilih hasil yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat

10, 19, 29, 39

49 4 12,9


(56)

Jika peneliti menggunakan nilai koefisien korelasi 0.3 maka jumlah aitem yang lolos hanya 26 aitem. Jumlah ini dipandang terlalu sedikit. Atas dasar pertimbangan tersebut peneliti memutuskan untuk menggunakan aitem yang nilai koefisien korelasinya mendekati 0.30. Aitem yang dimasukkan kembali disesuaikan dengan kebutuhan indikator yang masih kekurangan aitem. Hal ini dapat dibenarkan seperti apa yang Azwar (2013) nyatakan, bahwa nilai koefisien korelasi dapat diturunkan menjadi 0.275. Karena nilai sudah diturunkan maka jumlah aitem yang peneliti gunakan dalam pengambilan data menjadi 31 aitem, yang masing-masing indikator perilaku diwakili oleh 2-4 aitem. Uji reliabilitas dari skala kontrol diri, menunjukkan nilai koefisien alpha sebesar 0,875. Koefisien korelasi aitem berkisar antara 0,275–0,634.

Skala kontrol diri selanjutnya diperbaiki dan diubah urutan aitemnya. Hal ini dilakukan karena 16 aitem yang gugur dan tidak dapat digunakan kembali.

Blue print skala kontrol diri yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(57)

Tabel 3.3 Blue Print Skala Kontrol Diri Setelah Uji Coba

Aspek Sub Aspek Indikator Aitem J

A (%) Fav Unfav

Kontrol Perilaku

Mengatur pelaksanaan

Mengerjakan sendiri hal yang dapat dikerjakan secara mandiri

1, 30 11, 20 4 12,9 Meminta bantuan orang lain

kerika tidak mampu

mengerjakan suatu tugas secara mandiri

31 2, 12, 21 4 12,9

Memodifikasi perilaku

Mampu mencegah atau menjauhkan diri sendiri agar tidak terlibat dengan mengaruh buruk dari lingkungan

3 32 2 6,4

Mampu membatasi diri untuk tidak terlibat dengan hal-hal negatif di lingkungan

4, 33 - 2 6,4

Mampu menghentikan perilaku yang bersifat buruk atau negatif

24, 34

5, 44 4 12,9 Mampu menunda keinginan 35,

45

15 3 9,7 Kontrol

Kognitif

Mengatur informasi

Melakukan pertimbangan secara kognitif berdasarkan informasi yang telah diketahui sebagai bentuk antisipasi

7, 46 16 3 9,7

Penilaian Menilai suatu hal berdasarkan baik buruknya suatu situasi

17, 27

- 2 6,4

Berpikir secara netral atau positif terhadap suatu kejadian atau peristiwa

9, 48 18 3 9,7

Kontrol Keputusan

Memilih hasil Memilih hasil yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat

10, 29, 39

49 4 12,9

Jumlah 31 100

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian dilakukan peneliti dengan: a. Pembuatan alat ukur

Alat ukur disusun berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Terdapat satu skala yang disusun oleh peneliti yakni skala


(58)

kontrol diriremajasedangkan untuk status keluarga akan diketahui melalui data yang diperoleh dari guru BK.

b. Uji coba alat ukur

Uji coba alat ukur akan melibatkan 78 anak remaja usia 12-15 tahun. Peneliti mendatangi subjek secara langsung. Uji coba Alat ukur dilakukan pada bulan Juni yang dilakukan terhadap 78 anak remaja secara umum baik yang memiliki orangtua utuh maupun bercerai.

c. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur, peneliti menguji validitas dan reliabilitas dari skala. Dari hasil uji coba maka terdapat 31 aitem yang lolos dari 49 aitem secara keseluruhan. Revisi dilakukan selama 1 minggu.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah dilakukan uji coba dan revisi, maka selanjutnya peneliti melakukan pengambilan data penelitian. Pengambilan data penelitian dilakukan sejak tanggal 25 Juni sampai dengan 18 Agustus 2015. Pengambilan data penelitian dilakukan pada lima sekolah, yaitu SMP Dharma Pancasila, SMPN 3 Medan, SMPN 4 Medan, SMPN 10 Medan, SMPN 12 Medan. Sebelum masuk ke sekolah peneliti terlebih dahulu mengurus surat izin dari Fakultas Psikologi, selanjutnya peneliti menggunakan surat yang berasal dari Fakultas Psikologi mengurus surat ke Dinas Pendidikan. Setelah surat izin selesai peneliti mengunjungi kelima sekolah untuk meminta izin dan meminta bantuan mendata remaja sesuai dengan kriteria subjek yang telah ditetapkan


(59)

sebelumnya, baik yang berasal dari keluarga utuh maupun dari keluarga bercerai. Peneliti selanjutnya kembali ke sekolah untuk membagikan kuesioner kepada siswa yang telah didata oleh Guru Bimbingan dan Konseling. Selain sekolah peneliti juga mendapatkan subjek dari luar sekolah seperti dari teman, keluarga, dll. Dari sekolah dan dari luar sekolah akhirnya didapatkan 52 subjek yang berasal dari keluarga utuh dan 52 subjek yang berasal dari keluarga bercerai.

3. Tahap Pengolahan

Setelah diperoleh data dari masing-masing subyek penelitian, maka untuk pengolahan data selanjutnya, diolah dengan menggunakan SPSS 17.0 for windows.

H. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik statistik inferensial yang mana statistik inferensial adalah statistik yang berkaitan dengan analisis data (sampel) yang kemudian dilanjutkan dengan menarik kesimpulan (inferensi) yang digeneralisasikan pada seluruh subjek tempat data itu diambil (populasi). Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kuantitatif berupa studi komparasi. Teknik analisis komparasional adalah salah satu tehnik analisis kuantitatif atau salah satu tehnik analisis statistik yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis mengenai ada tidaknya perbedaan antar variabel yang sedang diteliti. Analisis komparasi adalah teknik analisis statistik yang bertujuan untuk membandingkan antara kondisi dua buah kelompok atau lebih. Analisis dilakukan


(60)

dengan menganalisis data yang diperoleh dari subyek penelitian dengan menggunakan t-test, karena penelitian hanya membandingkan dua kelompok saja. Data nantinya akan diproses dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows.

Sebelum melakukan analisis data dengan uji beda, peneliti harus melakukan uji normalitas dan uji homogenitas terlebih dahulu. Uji normalitas Sebagai tambahan, penelitian ini juga menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan one-sample t tes. Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai partisipan penelitian berdasarkan data yang diperoleh dari kelompok partisipan yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Azwar, 2013). Setelah itu dilakukan uji beda dengan analisis

independent sample t-test yangbertujuan untuk menguji apakah nilai satu variabel berbeda secara signifikan atau tidak dengan rata-rata sebuah sampel (Azwar, 2013).


(61)

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

Bab ini berisi tentang analisa dan interpretasi hasil sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan.

A. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah 104 orang remaja awal yang memenuhi karakteristik populasi.

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek seperti berikut ini

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Jumlah (N) Persentase

12 Tahun 21 orang 20,19 %

13 Tahun 34 orang 32,69 %

14 Tahun 35 orang 33,65 %

15 Tahun 14 orang 13,46 %

Total 104 orang 100%

Berdasarkan data pada tabel 4.1 maka diketahui bahwa jumlah subjek terbanyak berasal dari kelompok remaja dengan usia 14 tahun, yaitu sebesar 33,65 %. Kemudian jumlah remaja terbanyak berikutnya, yaitu sekitar 32,69 % berasal dari kelompok remaja dengan usia 13 tahun. Subjek yang berusia 12 tahun 21 orang, yaitu 20,19 % dan diikuti subjek dengan usia 15 tahun 13,46 % yaitu sejumlah 14 orang.


(1)

Tests of Normality

kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

kontroldiri

utuh ,063 52 ,200* ,990 52 ,940

cerai ,079 52 ,200* ,988 52 ,871

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction


(2)

Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances

kontroldiri

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1,521 1 102 ,220

ANOVA

kontroldiri

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 1569,385 1 1569,385 9,511 ,003 Within Groups 16829,962 102 165,000


(3)

LAMPIRAN 7

HASIL ANALISA DATA

Hasil Uji Beda

T-Test

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed ) Mean Differenc e Std. Error Differenc e 95% Confidence Interval of the

Difference Lowe r Upper kontroldir i Equal variance s assumed 1,52 1 ,22 0 3,08

4 102 ,003 7,769 2,519 2,772 12,76 6 Equal variance s not assumed 3,08 4 97,32

9 ,003 7,769 2,519 2,770 12,76

9

Sig.(2-tailed) sebesar 0,0 3 < 0,05 maka H0 ditolak, dalam artian terdapat perbedaan

kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.


(4)

Uji Beda Aspek Kontrol Perilaku

Group Statistics

kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kontrolperilaku

utuh 52 57,42 7,307 1,013

cerai 52 52,85 9,363 1,298

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed ) Mean Differenc e Std. Error Differenc e 95% Confidence Interval of the Difference Lowe r Uppe r Kontrolperilak u Equal variance s assume d 2,74 0 ,10 1 2,77

9 102 ,006 4,577 1,647 1,310 7,844

Equal variance s not assume d 2,77 9 96,31


(5)

Uji Beda Aspek Kontrol Kognitif

Group Statistics

kelomp

ok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

kontrolkognitif utuh 52 25.33 3.388 .470

cerai 52 23.42 3.801 .527

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the

Difference

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper

kontrolkognitif Equal variances assumed

.826 .365 2.696 102 .008 1.904 .706 .503 3.304

Equal variances not assumed


(6)

Uji Beda Aspek Kontrol Keputusan

Group Statistics

kelompo

k N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Kontrolkeputusan utuh 52 12.42 2.387 .331

cerai 52 11.40 2.411 .334

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality

of Variance

s t-test for Equality of Means

95% Confidence

Interval of the Difference

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error Differenc

e

Lowe r

Uppe r

kontrolkeputusa n

Equal variances assumed

.089 .766 2.16 6

102 .033 1.019 .471 .086 1.953

Equal variances not

2.16 6

101.99 0