Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik

(1)

GAMBARAN PENALARAN MORAL PADA REMAJA YANG TINGGAL DI DAERAH KONFLIK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

SOLVIA KARINA TARIGAN 071301004

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN PENALARAN MORAL PADA REMAJA YANG TINGGAL DI DAERAH KONFLIK

Dipersiapkan dan disusun oleh: SOLVIA KARINA TARIGAN

071301004

Telah dipertahankan didepan Dosen Penguji Pada Tangal 19 Juli 2012

Mengesahkan

Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Ade Rahmawati Siregar, M.Psi., PsikologPenguji I ____________ NIP. 198104032005022001 Merangkap Pembimbing

2. Elvi Andriani, M.Si,. Psikolog Penguji II ____________ NIP. 196405232000032001

3. Zulkarnain, Ph.D Penguji III _____________ NIP. 197312102000121001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2012

SOLVIA KARINA TARIGAN NIM: 071301004


(4)

Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik Solvia Karina Tarigan dan Ade Rahmawati Siregar

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik. Remaja adalah individu yang mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana dalam masa peralihan tersebut terjadi perubahan dan perkembangan pada aspek fisik, psikologis, kognisi, dan sosialnya termasuk perkembangan penalaran moral. Penalaran moral adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan penilaian terhadap perilaku yang baik atau buruk, timbul dari dalam diri sendiri bukan karena adanya paksaan dari luar, dengan disertai dengan tanggung jawab. Perkembangan penalaran moral banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Remaja yang tinggal di lingkungan konflik perkelahian akan cenderung untuk meniru dan mengikuti perilaku kekerasan yang sering dilihatnya. Kohlberg (1995) menyatakan bahwa remaja harus mencapai tahap 5 atau 6 pada tingkat pascakonvensional.

Penelitian ini dilakukan pada 56 orang remaja yang tinggal di daerah konflik di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Alat ukur pada penelitian ini adalah Defining Issue Test (DIT) versi pendek. Defining Issues Test (DIT) bentuk singkat merupakan alat ukur yang dibuat oleh Rest berdasarkan kombinasi orientasi teoritik umum Kohlberg dengan prosedur konstruksi tes secara psikometri (Rest, 1979). Analisa data yang dilakukan adalah analisa deskriptif. Dari hasil analisa diperoleh bahwa 31 orang berada pada tahap 4 dan 21 orang pada tahap 3 yang artinya 52 orang subjek berada pada tingkat konvensional dimana pada tingkat ini orientasinya pada otoritas hukum dan ketertiban sosial dengan ditandai adanya konformitas dengan teman sebaya. Keterhambatan perkembangan penalaran moral pada subjek dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal.


(5)

Description Of Adolescent’s Moral Reasoning Who Live In Conflicted Area Solvia Karina Tarigan and Ade Rahmawati Siregar

ABSTRACT

This research was a descriptive-quantitative study purposed to describe moral reasoning in adolescene who live in conflicted area. Adolescene is transitioning stage between childhood to adulthood, where change and progress in physic psychological, cognition, and social, include moral reasoning development, will be occured. Moral reasoning is individual's ability to conduct and assess good or bad behavior, which arise within themselves, not because of coercion from society, and to be responsible with their behavior. Individual’s moral reasoning mostly being influenced by the environment where individual’s live. Adolescent who live in conflicted area will tend to imitate violent behavior they have seen. Kohlberg (1995), adolescent must be achieve on stage 5 or stage 6 which is in level post conventional.

This research involved 56 adolescent who live at Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan in North Sumatera. The sampling technique was used simple random sampling. The instrument that being used in this research was Defining Issue Test (DIT) short version. Defining Issues Test (DIT) short version was made by Rest based on a combination of Kohlberg's general theoretical orientation with a psychometric test construction procedures (Rest, 1979). Statistical analysis was used descriptive analysis. Based on analysis found 31 adolescents was categorized on stage 4 and 21 adolescents on stage 3 which means 52 adolescents was categorized on level conventional which this orientation to authority and social order with characterized by conformity with peers. Delayed in development of moral reasoning caused by individual’s living environment.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : “Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik”. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, serta orang-orang beriman di jalan-Nya.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada kedua orangtua tersayang Dr. Pendastaren Tarigan SH. MS dan Dra. Netty Herawatty Sinulingga atas segala do’a, dukungan, dan kasih sayangnya dalam mendampingi penulis selama ini. Semoga Allah selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat.

Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. DR. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi

2. Kakak Ade Rahmawati Siregar, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih banyak atas bimbingan, waktu dan bantuan yang telah kakak berikan demi suksesnya penelitian ini. Penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya bila selama proses penelitian ini pernah membuat kakak kesal.


(7)

3. Ibu Gustiarti Leila, M.Psi . M.Kes, psikolog sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas nasehat dan bimbingan yang ibu berikan selama penulis kuliah di Fakultas Psikologi USU.

4. Ibu Elvi Andriani, M.Si,. Psikolog selaku dosen penguji II dalam skripsi ini yang bersedia membimbing penulis dalam menyempurnakan penelitian ini khususnya pada pembahasan teoritis.

5. Bapak Zulkarnain, Ph.D selaku dosen penguji III dalam penelitian ini yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji skripsi ini serta membimbing penulis dalam menyempurnakan penelitian ini khususnya di pembahasan metodologi penelitian.

6. Seluruh dosen Departemen Psikologi Perkembangan atas dukungan dan kesempatan menyelesaikan penelitian ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumtera Utara. Terima kasih atas segala ilmu dan pengalaman yang telah diberikan. Semoga ilmu dan pengalaman yang diberikan menjadi bekal dikemudian hari.

8. Terima kasih kepada para Kepala Lingkungan di Kelurahan Belawan1 Kecamatan Medan Belawan Pak Syamsir beserta Ibu, Pak Tempo beserta Ibu yang sudah sangat banyak membantu peneliti dalam proses pengambilan data dalam penelitian ini.

9. Abang dan kakak tersayang Taufik Hidayat Tarigan, SE.MM dan Vita Cita Emia Tarigan SH. LLM yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis untuk terus menyelesaikan skripsi ini.


(8)

10.Sahabat-sahabat tersayang Inge Amelia Nst, Debby Oktaria, Crizti Nuara, Devi Pratami, Liza Harlini, Safa Maqdisa yang sudah membantu memberi dorongan semangat serta menemani saat survei lokasi dan saat pengambilan data penelitian walau dengan kondisi tempat yang unsecured. Thanks guys, i love both of you.

11.Teman-teman seperjuangan Milna, Ina. Dan teman-teman angkatan 07 yang tiada duanya yang telah mengisi hari-hari penulis selama berkuliah di Fakultas Psikologi Usu. Adik-adik kesayangan penulis UF 2010.

12. Abangnda H. OK. Tun Hidayat beserta sahabat-sahabat di DPW Partai NasDem Sumatera Utara yang turut memberikan semgangat motivasi serta bantuan kepada penulis agar tetap dapat menyelesaikan penelitian ini. 13.Rekan-rekan Liga Mahasiswa Nasdem Se Sumatera Utara yang turut memberikan bantuan dan semangat kepada penulis dalam mengerjakan serta menyelesaikan penelitian ini.

14.Kakak Tapi Yanda Sari ’06 dan kakak Sukmaya Izzati ’04 selaku senior sesama pengguna DIT yang telah banyak memberikan bimbingan singkat dan padat di sela-sela kesibukan kakak-kakak sekalian terutama kak yanda yang ada di kota Panyabungan yang hingga mengutus sepupunya bang Fadli untuk mengantarkan buku DIT terimakasih kakak.

15.Para remaja-remaja di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan yang terlibat dalam penelitian ini, terima kasih atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.


(9)

16.Kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, terima kasih banyak atas bantuannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, mohon maaf bila ada salah. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Medan, Juli 2012

Penulis


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN ABSTRAK ... i

HALAMAN ABSTRAK INGGRIS ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Penalaran Moral 1. Pengertian Moral ... 9

2. Perkembangan Moral ... 10

3 Penalaran Moral ... 14

4. Perkembangan Penalaran Moral ... 15

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penalaran Moral ... 20

B. Remaja 1. Pengertian Remaja ... 21

2. Karakteristik Masa Remaja ... 22

3. Ciri-ciri Remaja ... 24

4. Perkembangan pada masa Remaja ... 27

5. Penalaran Moral Pada Remaja ... 31

C. Konflik 1. Pengertian Konflik ... 34


(11)

D. Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja Yang

Tinggal Di Daerah Konflik ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitan ... 40

B. Definisi Operasional ... 40

C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi Penelitian ... 41

2. Sampel Penelitian ... 42

3. Metode Pengambilan Sampel ... 43

4. Jumlah Sampel Penelitian ... 44

D. Alat Ukur Penelitian ... 44

E. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ... 45

F. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian ... 46

2. Pelaksanaan Penelitian ... 47

3. Tahap Pengolahan Data ... 48

G. Metode Analisa Data ... 48

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data 1. Gambaran subjek penelitian ... 50

B. Hasil Penelitian 1. Hasil uji asumsi penelitian ... 54

2. Hail utama penelitian ... 55

3. Hasil tambahan penelitian a. Gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik berdasarkan jenis kelamin ... 57

b. Gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik berdasarkan usia ... 58 c. Gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di


(12)

daerah konflik berdasarkan tingkat pendidikan ... 59 d. Gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di

daerah konflik berdasarkan status tempat tinggal ... 61 C. Pembahasan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL Tabel 1 Aspek yang di kembangkan dalam

Defining Issue Test (DIT) ... 47

Tabel 2 Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin ... 52

Tabel 3 Penyebaran subjek berdasarkan usia ... 52

Tabel 4 Penyebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan ... 53

Tabel 5 Penyebaran subjek berdasarkan status tempat tinggal ... 53

Tabel 6 Hasil uji normalitas ... 54

Tabel 7 Deskriptif data penelitian ... 55

Tabel 8 Deskripsi kategorisasi tahap penalaran moral ... 56

Tabel 9 Deskripsi kategorisasi subjek berdasarkan tingkat penalaran moral ... 57

Tabel 10 Gambaran penalaran moral pada remaja berdasarkan jenis kelamin ... 58

Tabel 11 Gambaran penalaran moral pada remaja berdasarkan usia ... 59

Tabel 12 Gambaran penalaran moral pada remaja berdasarkan Tingkat pendidikan ... 60

Tabel 13 Gambaran penalaran moral pada remaja berdasarkan status tempat tinggal ... 62


(14)

Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja yang Tinggal di Daerah Konflik Solvia Karina Tarigan dan Ade Rahmawati Siregar

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik. Remaja adalah individu yang mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana dalam masa peralihan tersebut terjadi perubahan dan perkembangan pada aspek fisik, psikologis, kognisi, dan sosialnya termasuk perkembangan penalaran moral. Penalaran moral adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan penilaian terhadap perilaku yang baik atau buruk, timbul dari dalam diri sendiri bukan karena adanya paksaan dari luar, dengan disertai dengan tanggung jawab. Perkembangan penalaran moral banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Remaja yang tinggal di lingkungan konflik perkelahian akan cenderung untuk meniru dan mengikuti perilaku kekerasan yang sering dilihatnya. Kohlberg (1995) menyatakan bahwa remaja harus mencapai tahap 5 atau 6 pada tingkat pascakonvensional.

Penelitian ini dilakukan pada 56 orang remaja yang tinggal di daerah konflik di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Alat ukur pada penelitian ini adalah Defining Issue Test (DIT) versi pendek. Defining Issues Test (DIT) bentuk singkat merupakan alat ukur yang dibuat oleh Rest berdasarkan kombinasi orientasi teoritik umum Kohlberg dengan prosedur konstruksi tes secara psikometri (Rest, 1979). Analisa data yang dilakukan adalah analisa deskriptif. Dari hasil analisa diperoleh bahwa 31 orang berada pada tahap 4 dan 21 orang pada tahap 3 yang artinya 52 orang subjek berada pada tingkat konvensional dimana pada tingkat ini orientasinya pada otoritas hukum dan ketertiban sosial dengan ditandai adanya konformitas dengan teman sebaya. Keterhambatan perkembangan penalaran moral pada subjek dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal.


(15)

Description Of Adolescent’s Moral Reasoning Who Live In Conflicted Area Solvia Karina Tarigan and Ade Rahmawati Siregar

ABSTRACT

This research was a descriptive-quantitative study purposed to describe moral reasoning in adolescene who live in conflicted area. Adolescene is transitioning stage between childhood to adulthood, where change and progress in physic psychological, cognition, and social, include moral reasoning development, will be occured. Moral reasoning is individual's ability to conduct and assess good or bad behavior, which arise within themselves, not because of coercion from society, and to be responsible with their behavior. Individual’s moral reasoning mostly being influenced by the environment where individual’s live. Adolescent who live in conflicted area will tend to imitate violent behavior they have seen. Kohlberg (1995), adolescent must be achieve on stage 5 or stage 6 which is in level post conventional.

This research involved 56 adolescent who live at Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan in North Sumatera. The sampling technique was used simple random sampling. The instrument that being used in this research was Defining Issue Test (DIT) short version. Defining Issues Test (DIT) short version was made by Rest based on a combination of Kohlberg's general theoretical orientation with a psychometric test construction procedures (Rest, 1979). Statistical analysis was used descriptive analysis. Based on analysis found 31 adolescents was categorized on stage 4 and 21 adolescents on stage 3 which means 52 adolescents was categorized on level conventional which this orientation to authority and social order with characterized by conformity with peers. Delayed in development of moral reasoning caused by individual’s living environment.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan bagian dari penduduk Indonesia, angkanya pada saat ini mencapai 43.548.576 orang dari penduduk Indonesia (BPS, 2010). Jumlah ini tidak kecil, maka diperlukan perhatian yang cukup besar karena remaja merupakan generasi penerus bangsa. Pada kenyatannya, banyak remaja yang justru menjadi penghambat perkembangan bangsa ini melalui beberapa tindakan kriminal, seperti terlibat dalam pengedaran narkoba ataupun terlibat dalam perkelahian pelajar. Jumlah perkelahian pelajar yang terjadi dari tahun ke tahun pun terus meningkat. Hal ini yang menyebabkan jumlah korban dari setiap terjadinya bentrokan juga terus bertambah (http://www.epsikologi. com/remaja/161001.htm).

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari hal yang diharapkan oleh kelompok dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya tanpa terus dibimbing, diawasi didorong dan diancam hukuman seperti yang dialami pada masa kanak-kanak. Pada masa remaja, moral merupakan suatu hal yang penting sebagai pedoman atau petunjuk bagi remaja dalam rangka mencari jalannya sendiri untuk menuju pada kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi pada masa remaja (Sarwono, 2010).


(17)

Remaja tidak lagi terfokus pada fakta yang bersifat konkrit tetapi sudah mampu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada. Remaja juga belajar bahwa peraturan diciptakan dan dipertahankan berdasarkan persetujuan sosial dan pengaplikasikannya bersifat relatif bagi setiap orang maupun situasi (Rice, 1993). Furter (1965) menambahkan moral merupakan masalah yang penting dalam masa remaja. Proses perkembangan yang terjadi dalam diri seorang remaja terbentuk dengan apa yang dialami dan diterimanya selama masa anak-anak, sedikit demi sedikit hal tersebut akan mempengaruhi perkembangannya yang akan menuju dewasa. Masalah moral merupakan salah satu aspek penting yang perlu di tumbuh kembangkan dalam diri seseorang.

Penalaran moral berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010). Penalaran moral berperan penting bagi pengembangan prinsip moral. Pada penalaran moral diharapkan seorang remaja yang menghadapi dilema-dilema moral secara reflektif mengembangkan prinsip-prinsip moral pribadi yang dapat bertindak sesuai dasar moral yang diyakini dan bukan merupakan tekanan sosial. Penalaran moral yang seperti ini dapat terbentuk karena penerimaan nilai moral yang diperoleh melalui lingkungan sosial, seperti: keluarga, sekolah, dan kelompok agama yang diproses melalui penalaran dan dicamkan dalam batin.

Penalaran moral terjadi dalam dan melalui interaksi individu itu sendiri dengan seluruh kondisi sosial kehidupannya. Kohlberg (1995) memandang seluruh proses perkembangan moral sebagai urutan tahap atau sejumlah


(18)

ekuilibrasi yang merupakan berbagai logika moral yang kurang lebih komprehensif, yang mana tahap-tahap yang satu secara logis perlu menyusul tahap sebelumnya dan bahwa tidak satupun dapat diloncati.

Köhlberg (1995) menyatakan penalaran moral mencapai tahap tertinggi pada usia sekitar 16 tahun, di mana remaja berhasil menerapkan prinsip keadilan yang universal pada penilaian moralnya. Hal ini sesuai dengan konsep perkembangan penalaran moral yang dikemukakan Kohlberg pada enam tahapan.

Penalaran moral remaja banyak dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), aspek moral remaja tidak dapat berkembang. Nilai-nilai moral yang dimiliki remaja lebih merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar. Remaja belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik dan tingkahlaku yang bagaimana yang dikatakan salah atau tidak baik. Lingkungan ini dapat berarti orangtua, saudara-saudara, teman-teman, guru-guru dan sebagainya (Gunarsa & Gunarsa, 2003).

Duska dan Whelan (1982) menyatakan bahwa mutu lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang signifikan kepada cepatnya perkembangan penalaran moral dan tingkatan perkembangan yang dicapai seseorang. Davidoff dalam Siswoyo (2003) menyatakan bahwa melihat perkelahian dan pembunuhan meski sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. Remaja yang tinggal dilingkungan konflik perkelahian akan cenderung untuk meniru dan mengikuti perilaku kekerasan yang dilihatnya. Realitas ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena perkembangan akhlak,


(19)

watak, kepribadian dan moral anak akan sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi yang terdapat dalam lingkungan keluarganya (Mardiya, 2005).

Lingkungan tempat tinggal berpengaruh pada perkembangan kehidupan seseorang. Tinggal di daerah konflik berpengaruh bagi kehidupan warganya. Tinggal di daerah yang berkonflik dapat membawa dampak bagi kehidupan warganya. Menurut Richard Nelson Jones (1996) dampak negatif dari konflik adalah banyak dan bervariasi. Dampak yang terjadi bisa berupa dampak fisik dan dampak psikis. Dampak fisik seperti kerusakan-kerusakan yang terjadi pada rumah, bisa juga luka-luka pada warga bahkan sampai jatuhnya korban jiwa. Sedangkan dampak psikis seperti trauma, kecendrungan berprilaku agresif, berdampak bagi perkembangan moralnya, serta banyak hal lainnya.

Konflik perkelahian antar warga di daerah kelurahan Belawan 1 kecamatan Medan Belawan sudah sejak lama terjadi sejak tahun 1960-an. Menurut penuturan seorang warga yang sudah sejak 40 tahun yang lalu tinggal di daerah ini mengatakan hingga saat ini hal yang menjadi pemicu utama dalam konflik ini belum diketahui secara pasti. Peristiwa konflik perkelahian warga antar lingkungan terjadi berulang-ulang dan terus berlanjut. Konflik yang terjadi melibatkan warga di beberapa lingkungan daerah yang tinggalnya berdekatan. Daerah-daerah ini dihubungkan oleh daerah pemakaman umum Belawan. Menurut keterangan dari beberapa warga yang berhasil diwawancarai mereka tidak tahu secara jelasi apa yang menjadi penyebab utama yang mengawali konflik antarwarga ini. Ada juga keterangan yang di dapat dari warga yang tinggal di sekitar daerah konflik mengatakan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh


(20)

perebutan penguasaan lahan parkir di sekitar taman pemakaman yang merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar warga disekitar taman pemakaman.

Penanggulangan yang dilakukan belum juga tuntas, terutama masalah perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Hasil wawancara yang dilakukan kepada Kapolsek Medan Belawan bahwa setiap minggu beliau mengirimkan 10 personil untuk menjaga kawasan yang terdiri dari 28 lingkungan tersebut, dan menitikkan personil dari kepolisian pada 5 daerah yang rawan terjadinya perkelahian atau konflik warga antar lingkungan tersebut. Setiap hari pihak kepolisian Medan Belawan melakukan apel (upacara) setiap pagi di lingkungan yang rawan konflik tersebut. secara letaknya, 5 wilayah yang sering terjadi konflik ini hanya dibatasi oleh tempat pemakaman umum (TPU) yang menjadi batas wilayah daerah-daerah tersebut.

Kapolsek juga menambahkan konflik sosial antar lingkungan ini seringkali dipicu oleh masalah sepele dan kesalah fahaman. Dicontohkannya, konflik yang dipicu oleh perkelahian antar anak remaja dalam permainan sepak bola. Selain itu, ketersinggungan yang terjadi ketika saling mengejek oleh anak-anak. Hal-hal seperti ini lah yang sering mengacu perkelahian dilingkungan ini. Lapisan masyarakat yang terlibat bukan hanya pada kalangan orang dewasa, remaja bahkan anak usia 5 tahun pun ikut larut ke dalam perkelahian yang terjadi. tidak ketinggalan juga kaum ibu-ibunya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik antar


(21)

warga karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa penalaran moral dibentuk oleh lingkungan sekitar individu tersebut.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pertanyaan penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran penalaran moral pada remaja yang tinggal di daerah konflik antar warga.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran penalaran moral remaja yang tinggal di daerah konflik. Penelitian ini dilakukan di daerah konflik antar warga di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana pengembangan ilmu dalam bidang psikologi perkembangan khususnya dalam hal penalaran moral remaja yang tinggal di daerah konflik.


(22)

2. Manfaat Praktis a. Bagi Remaja

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi para remaja khususnya yang tinggal di daerah konflik sebagai informasi dalam hal penalaran moral.

b. Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan para orangtua remaja yang tinggal di daerah konflik sebagai informasi tentang perkembangan moral pada remaja agar dapat lebih memahami tentang masalah moral remaja.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini secara garis besar sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan,


(23)

uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

BAB IV : Hasil dan Analisa Data

Bab ini memuat interpretasi dan analisis data sebagai hasil penelitian

BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini memuat kesimpulan dari pembahasan terhadap hasil penelitian, diskusi dan saran-saran untuk pendalaman penelitian selanjutnya.

Sebagai pelengkap disertakan daftar pustaka dan lampiran sebagai data pendukung penelitian.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penalaran Moral 1. Moral

Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Daradjad (1983) mengemukakan bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran atau nilai-nilai masyarakat yang timbul dari hati nurani dan bukan merupakan paksaan dari luar, yang disertai rasa penuh tanggung jawab atas tindakan tersebut. Moralitas dapat dikatakan

sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah,

bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri

ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika

melanggar standar tersebut (Hasan, 2006).

Moral didefinisikan dengan berbagai pendapat para tokoh. Menurut Rogers dan Baron (dalam Martani, 1995) moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang. Kohlberg (1995) menyatakan bahwa moral adalah bagian dari penalaran, dan ia pun menamakannya dengan istilah penalaran moral (moral reasoning). Penalaran moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks (Rest dalam Kaplan, 2006).


(25)

Hurlock (1990) menyatakan bahwa ada perilaku moral; yaitu perilaku yang sesuai dengan harapan sosial, ada perilaku tidak bermoral; yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial, perilaku yang demikian tidak semata disebabkan karena ketidakacuhan akan harapan sosial saja melainkan karena ketidaksetujuan dengan standart sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta ada perilaku amoral; yang lebih disebabkan oleh ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran terhadap standar kelompok.

Selanjutnya dapat diambil kesimpulan bahwa moral adalah nilai-nilai perbuatan perilaku yang baik dan buruk yang berhubungan dengan kelompok sosial sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang timbul dari hati nurani dan bukan merupakan paksaan yang berasal dari luar dirinya.

2. Perkembangan Moral

Moral sebagai salah satu aspek kehidupan jelas akan pengaruh mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain. Salah satunya adalah aspek lingkungan sosial yang memberi kan sikap penerimaan yang akan menyediakan kesempatan bagi individu untuk mengalami konsekuensi-konsekuensi dari perilakunya, sehingga dapat membangun suatu keyakinan dalam membuat keputusan-keputusan yang mandiri dan memperbesar rasa percaya diri serta rasa percaya kepada orang lain di sekitarnya. Sikap penolakan akan menghambat rasa kepercayaan diri dan teknik-teknik hukuman akan menumbuhkan kecemasan serta menimbulkan kondisi-kondisi yang membingungkan anak untuk mendapatkan


(26)

dirinya. Dengan kata lain lingkungan termasuk lingkungan budaya dapat merangsang atau bahkan menghambat perkembangan moral seorang individu (Hurlock, 1990).

Hasil penelitian Köhlberg (1995) menyatakan bahwa untuk mendapatkan tahap penalaran moral yang lebih tinggi diperlukan kemampuan menyesuaikan diri dan berperilaku abstrak. Kemampuan menyesuaikan diri dan kemampuan berpikir abstrak sendiri merupakan unsur inteligensi. Dengan demikian, untuk membuat keputusan-keputusan moral seseorang harus memikirkan konsekuensi-konsekuensi atau akibat-akibat dari keputusan tersebut, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Uraian di atas menjelaskan bahwa perkembangan moral merupakan hasil kemampuan yang semakin berkembang dalam memahami kenyataan sosial atau untuk menyusun dan mengintegrasikan pengalaman sosial. Faktor-faktor penentu utama yang didapatkan dari pengalaman bagi perkembangan moral menurut Köhlberg (1995) antara lain adalah jumlah dan keanekaragan pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan berjumpa dengan sudut pandang yang lain.

Kesempatan untuk mengambil peran moral bagi perkembangan moral anak bisa diperoleh dari keluarga. Keluarga memegang peranan penting dalam perkembangan moral anak. Anak-anak yang telah maju dalam penalaran moral mempunyai orang tua yang juga maju penalaran moralnya. Namun, kecenderungan orang tua dalam merangsang proses pengambilan peran timbal-balik juga berhubungan dengan kematangan anak. Orang tua yang berusaha


(27)

mengenal pandangan anak dan bisa mendorong terjadinya perbandingan pandangan lewat dialog merupakan anak yang lebih maju dalam hal moral (Kohlberg, 1995).

Keluarga memang memegang peranan penting, namun tersedianya kesempatan untuk mengambil peran moral dari teman sebaya, sekolah, dan masyarakat yang lebih luas akan memberikan akibat-akibat positif bagi perkembangan moral seorang individu. Bahkan agama dan pendidikan keagamaan tampaknya tidak memberikan peran khusus apapun dalam perkembangan moral, ini sesuai dengan studi Köhlberg yang memperlihatkan bahwa perbedaan dalan hal keanggotaan religius dan kehadiran dalam peribadatan tidak berhubungan dengan proses perkembangan moral (Köhlberg, 1995).

Sebelum anak memasuki masa remaja, kehidupannya teratur dan mengikuti tata cara tertentu. Setelah memasuki masa remaja tindak tanduknya acapkali mengalami tantangan baik dari teman sebaya maupun generasi yang lebih tua, terutama orang tua mereka. Maka pada masa remaja awal perkembangan moral sangat penting. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengembangkan moral seorang anak adalah dengan pemberian pendidikan disiplin. Disiplin merupakan cara yang akan mengajarkan pada anak apa-apa saja yang dianggap oleh kelompok sosialnya; baik itu tradisi, peraturan dan adat istiadat, tentang benar dan salah, dan mengusahakan agar anak-anak bertindak sesuai dengan pengetahuan yang telah diajarkan ini (Kohlberg, 1995).

Pada awal remaja, moral sangat dipengaruhi oleh standar moral dari kelompok sebaya dan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sebaya agar


(28)

tidak ditolak dan mempertahankan statusnya dalam kelompok sebaya tersebut, tetapi bukan berarti anak remaja meninggalkan kode moral keluarga dan mengikuti kode moral kelompok. Oleh karena itu, penggunaan teknik-teknik disiplin yang efektif ketika remaja masih kanak-kanak cenderung menyebabkan kebencian pada saat anak memasuki masa remaja. Oleh karenanya dibutuhkan perkembangan suara hati, rasa bersalah, dan rasa malu untuk mencegah kebencian seorang remaja pada orang tua atau standar masyarakat (Kohlberg, 1995).

Uraian di atas lebih memperjelas bahwa penalaran moral pertama-tama merupakan suatu fungsi dari kegiatan rasional, seperti hasil dari disiplin yang telah diberikan oleh keluarga; orang tua dan masyarakat; guru, teman sebaya, tokoh masyarakat menyangkut apa harapan masyarakat pada seorang individu. Faktor-faktor afektif seperti kemampuan untuk mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah turut berperan dalam penalaran moral, tetapi situasi-situasi moral ditentukan secara kognitif oleh suara hati. Dengan kata lain perkembangan moral merupakan suatu hasil kemampuan yang semakin berkembang untuk memahami kenyataan sosial atau untuk menyusun dan mengintegrasikan pengalaman sosial. Untuk mendapatkan moralitas yang mengacu pada prinsip perlu adanya kemampuan untuk berpikir logis. Sedangkan faktor-faktor penentu utama, yang didapatkan dari pengalaman bagi perkembangan moral, berupa jumlah dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang yang lain.


(29)

3. Penalaran Moral

Tugas perkembangan pada masa remaja salah satunya adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok kepada dirinya dan kemudian membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti pada masa kanak-kanak. Konsep moral yang dikembangkan oleh Köhlberg lebih menekankan pada alasan yang menjadi dasar seseorang bisa melakukan suatu tindakan. Alasan-alasan mengapa seseorang bisa melakukan suatu tindakan tersebut oleh Köhlberg disebut sebagai penalaran moral (Hurlock, 1999). Penalaran moral pertama-tama merupakan suatu fungsi dari kegiatan rasional. Kemampuan untuk mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah (faktor-faktor afektif) ikut berperan dalam penalaran moral, akan tetapi situasi-situasi moralnya sendiri ditentukan secara kognitif oleh penalaran moral pribadi (Hurlock, 1999).

Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) terkait dengan jawaban dari pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik-buruk atau benar-salah. Kemampuan penalaran moral merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memakai cara berpikir tertentu yang dapat menerangkan apa yang telah dipilihnya, mengapa melakukan ataupun tidak melakukan suatu tindakan.

Menurut Setiono (1982), penalaran moral dipandang Köhlberg sebagai struktur, bukan suatu isi. Dalam artian bahwa penalaran moral tidak sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan itu baik atau buruk tetapi


(30)

merupakan alasan dari suatu tindakan. Dengan demikian penalaran moral bukanlah apa yang baik atau yang buruk. Masih menurut Setiono (1982), penalaran moral dipandang Köhlberg sebagai isi yang baik atau yang buruk akan sangat tergantung kepada sosio-budaya tertentu sehingga relatif sifatnya. Tetapi bila penalaran moral dipandang sebagai struktur, maka dapat dikatakan adanya perbedaan penalaran moral antara seorang anak dan orang dewasa, sehingga dapat dilakukan identifikasi terhadap perkembangan moral. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa penalaran moral adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu untuk melakukan suatu penilaian atau mempertimbangkan nilai-nilai perilaku mana yang benar dan salah atau mana yang baik dan buruk, yang timbul dari hati nurani dan bukan merupakan paksaan dari luar dirinya, yang disertai rasa penuh tanggungjawab serta pengalaman sosial yang turut mempengaruhi perbedaan penilaian ataupun pertimbangan dalam diri individu tersebut (Setiono, 1982).

4. Perkembangan Penalaran Moral

Perkembangan penalaran moral adalah suatu proses pemasakan yang bertahap dari suatu proses ke proses lainnya yang dialami oleh setiap individu (universal), yang diawali oleh penilaian moral, apa yang dianggap baik atau yang seharusnya dilakukan dan buruk atau apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang pada stadium yang berbeda-beda. Perkembangan moral sendiri merupakan suatu organisasi kognitif yang lebih baik daripada tahap sebelumnya (Kohlberg, 1995).


(31)

Pada perkembangan penalaran moral ini orang tua dan guru perlu mengerti betul dan bertanggung jawab atas penuntunan cara penyelesaian suatu masalah. Pendidikan di rumah dan di sekolah juga dapat membantu perkembangan moral remaja. Yaitu dengan disiplin yang tetap memberikan kesempatan pada remaja untuk membuat keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral (Kohlberg, 1995).

Atkinson, Atkinson & Hilgard (1999), mengemukakan bahwa kemampuan individu untuk mengambil keputusan tentang moral berhubungan erat dengan perkembangan kognitif. Hal ini berarti bahwa individu yang berusia lebih tua lebih memikirkan konsep abstrak dan menarik kesimpulan yang lebih logis mengenai interaksi sosial dibandingkan dengan mereka yang masih muda, dalam hal ini adalah remaja.

Penalaran moral seorang individu berkembang dari semenjak dari bayi sampai menjadi dewasa. Perkembangannya sendiri merupakan suatu proses yang melalui pentahapan tertentu. Perkembangan penalaran moral sendiri lebih terlihat sebagai usaha seorang individu untuk memelihara keseimbangan (equilibrium) antara asimilasi dan akomodasi. Asimilasi disini adalah kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sedang akomodasi adalah kecenderungan individu untuk mengubah lingkungannya agar sesuai dengan dirinya (Setiono, 1982).

Konflik akan menyebabkan individu merasa tidak seimbang (disequilibrium), dan konflik ini pula yang akan menyebabkan individu tersebut menggunakan penalaran moralnya sebagai usaha untuk mendapatkan suatu


(32)

keadaan seimbang (equilibrium). Pada saat kesimbangan (equilibrium) terpenuhi, maka individu dapat mencapai perkembangan penalaran moral yang lebih tinggi (Setiono, 1982).

Perkembangan penalaran dari Köhlberg menekankan pada alasan yang digunakan oleh seseorang dalam menilai suatu perilaku. Dalam mengembangkan teorinya Köhlberg berpegang pada undang-undang dan hukum yang merupakan tata tertib yang disetujui oleh suatu masyarakat, dan bukan dari apa yang paling baik dan adil bagi masyarakat yang mempunyai sistem yang berbeda-beda (Pratidarmanastiti, 1991).

Dengan demikian ini membuktikan bahwa tata tertib ideal dapat terwujud dari hasil akal pribadi yang otonom dan lepas dari pandangan-pandangan yang dianut masyarakat. Sikap otonomi inilah yang merupakan sikap etis dan moral yang adekuat. Maka berdasar pemikiran ini dapat disimpulkan bahwa manusia atau seorang individu itu adalah merupakan suatu pribadi yang mandiri (Pratidarmanastiti, 1991).

Pokok pemikiran Köhlberg (1995) mengenai tahapan penalaran moral sebagai berikut :

1) Inti moral adalah keadilan. Keadilan disini mempunyai arti bahwa individu dituntut untuk jujur, menghargai dan memperhatikan hak-hak pribadi. Dan tahap-tahap penalaran moral yang diajukan selalu menuju kearah maju dalam menerapkan prinsip-prinsip keadailan.

2) Tahap-tahap penalaran menunjukkan cara individu dalam berpikir, termasuk konsitensi penalarannya.


(33)

3) Tahap-tahap penalaran moral ini menunjukkan tingkatan seorang individu dalam memecahkan dilema moral yang terjadi kepadanya.

4) Tahap-tahap penalaran moral ini bersifat universal, maksudnya setiap individu akan melalui urutan tahap yang sama. Perbedaannya hanya pada hal kecepatan dan sejauhmana tahap dapat dicapai.

Penalaran moral dalam konsep Köhlberg berkembang melalui tahapan tertentu. Perkembangan penalaran moral menurut Köhlberg dibagi menjadi tiga tingkatan, dimana tiap tingkatannya terbagi lagi menjadi dua tahap yang saling berkaitan, yaitu :

1) Tingkat pra-konvensional

Individu memandang kebaikan identik dengan kepatuhan terhadap otoritas dan menghindari hukuman. Tingkatan moral pra-konvensional dalam konteks interaksi antar individu dengan lingkungan sosialnya ditandai oleh baik-buruk yang berdasarkan pada keinginan diri sendiri.

Tingkatan pra-konvensional dibagi menjadi dua tahapan, yaitu :

Tahap 1 : orientasi hukuman dan kepatuhan (sekitar 0-7 tahun).

Akibat fisik dari suatu perbuatan yang dilakukan menentukan baik-buruknya perbuatan itu tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat perbuatan tersebut. Anak pada tahap ini menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Baik-buruknya perbuatan dinilai sebagai hal yang berharga dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.


(34)

Tahap 2 : orientasi relativitas instrumental (sekitar 10 tahun).

Pada tahap ini anak beranggapan bahwa perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri. Anak sudah lebih menyadari tentang kebutuhan-kebutuhan pribadi dan keinginan-keinginan, serta bertindak demi orang lain tetapi dengan mengharapkan suatu balasan. Hubungan antar manusia kadang-kadang ditandai relasi timbal balik. 2) Tingkat konvensional

Individu pada tingkat ini memandang bahwa memenuhi harapan-harapan keluarga dan kelompok dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga pada diri sendiri, tidak mempedulikan lagi pada akibat-akibat yang langsung dan nyata (kelihatan). Sikapnya sangat konformis terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial. Bahkan, individu sangat loyal dan aktif mempertahankan, mendukung, dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat ini meliputi :

Tahap 3 : orientasi kesepakatan antar pribadi (sekitar usia 13 tahun). Tahap ini biasa disebut sebagai orientasi “Anak Manis”. Tahap ini memadang perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Tindakan seseorang direncanakan untuk mendapatkan penerimaan dan persetujuan dari lingkungan sosial dan kelompoknya. Pada tahap ini perilaku sering di nilai menurut niatnya.

Tahap 4 : orientasi hukum dan ketertiban (sekitar 16 tahun)

Tahap orientasi hukuman dan ketertiban ini berarti bahwa terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial. Pada


(35)

tahap ini perilaku yang baik adalah yang melakukan kewajiban, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial yang ada sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri.

3) Tingkat paska-konvensional

Pada tingkat paska-konvensional terdapat usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki keabsahan serta dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip moral yang universal, yang tidak terkait dengan aturan-aturan setempat atau seluruh masyarakat. Tingkatan ini terbagi menjadi :

Tahap 5 : orientasi kontrak sosial yang legalistik (sekitar dewasa awal) Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat.

Tahap 6 : orientasi prinsip etika universal (masa dewasa)

Benar atas suatu perbuatan ditentukan oleh keputusan suara hati, sesuai dengan prinsip etis yang dipilih sendiri, hukum tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting tetapi ada nilai-nilai yang lebih tinggi yaitu prinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak dan keamanan martabat manusia sebagai seorang pribadi (Köhlberg, 1995).

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Penalaran Moral Supeni (dalam Muslimin, 2004) menyatakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penalaran moral, di antaranya : (1) Faktor kognitif,


(36)

(2) Faktor keluarga, (3) Faktor budaya, (4) faktor Gender, (5) Faktor pendidikan. Menurut Duska dan Whelan (1982) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral adalah lingkungan sosial, perkembangan kognitif, empati dan konflik kognitif. Sedangkan menurut Haderman sebagaimana dikutip Jersild (1975) yang menunjukkan faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan moral adalah status sosial-ekonomi, tingkat inteligensi, sikap orang tua serta latarbelakang budaya.

Keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan penalaran moral merupakan proses perubahan yang terjadi secara bertahap menuju kematangan dalam penilaian atau pertimbangan terhadap nilai-nilai perbuatan yang timbul dari hati nurani dan bukan merupakan paksaan dari luar, yang disertai pula dengan rasa tanggung jawab.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Istilah Adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1990). Piaget (dalam Hurlock, 1990) menyatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Hurlock (1990) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara


(37)

seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut Monks, Knoers, & Haditono (2002) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Batasan usia remaja menurut WHO adalah 10-20 tahun, hal ini di dasarkan atas kesehatan remaja yang mana kehamilan pada usia-usia tersebut memang mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada kehamilan dalam usia-usia diatasnya (Sarwono, 2002).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan remaja adalah individu yang sedang mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang dalam rentangannya terjadi perubahan-perubahan dan perkembangan pada aspek fisik, psikologis, kognisi, dan sosialnya. Rentang usia pada masa remaja tersebut adalah antara 12-21 tahun.

2. Karakteristik Masa Remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks, Knoers, & Haditono (2002) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Individu berusaha untuk menghindari ketidaksetujuan sosial atau penolakan dan mulai membentuk kode moral


(38)

sendiri tentang benar dan salah. Individu menilai baik terhadap apa yang disetujui orang lain dan buruk apa yang ditolak oaring lain. Pada tahap ini, sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul, karena ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima saat masih kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka.

b. Remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja berda dalam kondisi kebingungan dan terhalang dari pembentukan kode moral karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Pada tahap ini, mulai tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada, namun belum dapat mempertanggungjawabkannya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Individu mau diatur secar ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum adan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja sudah memilih prinsip moral untuk hidup. Individu melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri.


(39)

3. Ciri-ciri Remaja

Hurlock (1999) berpendapat, bahwa semua periode yang penting selama masa kehidupan mempunyai karakteristiknya sendiri. Begitupun masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode masa kanak-kanak dan dewasa. Ciri-ciri tersebut antara lain :

1) Masa remaja sebagai periode yang penting

Masa remaja dipandang sebagai periode yang penting daripada periode lain karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, serta akibat-akibat jangka panjangnya. Misalnya saja, perkembangan biologis menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan tertentu, baik yang bersifat fisiologis yang cepat dan disertai percepatan perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa remaja awal. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru (Hurlock, 1999).

2) Masa remaja sebagai periode peralihan

Artinya, apa yang sudah terjadi pada masa sebelumnya akan menimbulkan bekasnya pada apa yang terjadi pada masa sekarang dan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Anak-anak yang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikapnya pada masa yang sudah ditinggalkan. Meskipun disadari bahwa apa yang telah terjadi akan meninggalkan bekasnya dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap baru.


(40)

Pada masa peralihan ini remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa. Namun, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan karena status ini memberi waktu kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja beriringan dengan tingkat perubahan fisik. Pada awal masa remaja, ketika perubahan terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung cepat. Begitu pula jika perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Perubahan itu adalah :

a) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi

b) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesankan menimbulkan masalah. Remaja akan tetap ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya.

c) Perubahan minat dan pola perilaku menyebabkan nilai-nilai juga berubah. Misalnya, sebagian besar remaja tidak lagi menganggap bahwa banyak teman merupakan petunjuk popularitas, mereka mulai mengerti bahwa kualitas pertemanan lebih penting daripada kuantitas teman.

d) Remaja bersikap ambivalent terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, namun mereka belum berani untuk


(41)

bertanggung jawab akan akibat perbuatan mereka dan meragukan kemampuan mereka sendiri untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

4) Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masa remaja dikatakan sebagai usia bermasalah karena sepanjang masa kanak-kanak sebagian permasalahan anak-anak diselesaikan oleh guru atau orang tua mereka, sehingga pada masa remaja mereka tidak cukup berpengalaman dalam menyelesaikan masalah. Namun, pada masa remaja mereka merasa ingin mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-gurunya sampai pada akhirnya remaja itu menemukan bahwa penyelesaian masalahnya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada akhir masa kanak-kanak sampai pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan standar kelompok jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar daripada individualitas. Namun, pada masa remaja mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-temannya dalam segala hal.

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Stereotipe populer pada masa remaja mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri, dan ini menimbulkan ketakutan pada remaja. Remaja takut bila tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan orang tuanya sendiri. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang tua sehingga membuat jarak bagi anak untuk meminta bantuan kepada orang tua guna mengatasi berbagai masalahnya.


(42)

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain seperti yang mereka inginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini tidak saja untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain disekitarnya (keluarga dan teman-temannya) yang akhirnya menyebabkan meningginya emosi. Kemarahan, rasa sakit hati, dan perasaan kecewa ini akan lebih mendalam lagi jika ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Meskipun belumlah cukup, remaja yang sudah pada ambang remaja ini mulai berpakaian dan bertindak seperti orang-orang dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam perbuatan seks dengan harapan bahwa perbuatan ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

4. Perkembangan pada masa remaja

Periode yang disebut masa remaja akan dialami oleh semua individu. Awal timbulnya masa remaja ini dapat melibatkan perubahan-perubahan yang mendadak dalam tuntutan dan harapan sosial atau sekedar peralihan bertahap dari peranan sebelumnya. Meskipun bervariasi, satu aspek remaja bersifat universal dan memisahkannya dari tahap-tahap perkembangan sebelumnya.


(43)

Perkembangan fisik remaja didahului dengan perubahan pubertas. Pubertas ialah suatu periode di mana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja. Empat perubahan yang paling menonjol pada perempuan ialah menarche, pertambahan tinggi badan yang cepat, pertumbuhan buah dada, dan pertumbuhan rambut kemaluan; sedangkan empat perubahan tubuh yang paling menonjol pada laki-laki adalah pertumbuhan tinggi badan yang cepat, pertumbuhan penis, pertumbuhan testis, dan pertumbuhan rambut kemaluan (Santrock, 2002).

2) Perkembangan psikis

Perkembangan remaja secara psikologis yang dimaksud di sini meliputi perkembangan minat, moral, dan citra diri. Tidak seperti masa kanak-kanak yang pertumbuhan fisiknya berlangsung perlahan dan teratur, remaja awal yang tumbuh pesat pada waktu-waktu tertentu cenderung merasa asing terhadap diri mereka sendiri. Mereka disibukkan dengan tubuh mereka dan mengembangkan citra individual mengenai gambaran tubuh mereka. Dibutuhkan waktu untuk mengintegrasikan perubahan dramatis ini menjadi perasaan memiliki identitas diri yang mapan dan penuh percaya diri. Perempuan pasca-menarche cenderung agak lebih mudah tersinggung dan mempunyai perasaan negatif, seperti ketidakberaturan suasana hati, iritabilitas, dan depresi sebelum menstruasi atau sewaktu menstruasi. Remaja pria merasa punya dorongan seksual yang lebih besar setelah pubertas, namun karena ini pula mereka merasa khawatir atau malu jika tidak dapat mengendalikan respon atas dorongan seksual (Mussen, 1994).


(44)

Remaja berusaha keras melakukan adaptasi terhadap tuntunan lingkungan hidupnya, penilaian yang amat tinggi terhadap orang tua kini makin berkurang, dan digantikan dengan respek terhadap pribadi-pribadi lain yang dianggap lebih memenuhi kriteria afektif-intelektual remaja sendiri. Contohnya adalah pribadi-pribadi ideal berwujud seorang guru atau pemimpin (Mussen, 1994).

3) Perkembangan kognisi

Kemampuan kognitif pada masa remaja berkembang secara kuantitatif dan kualititatif. Kuantitatif artinya bahwa remaja mampu menyelesaikan tugas-tugas intelektual dengan lebih mudah, lebih cepat dan efisien dibanding ketika masih kanak-kanak. Dikatakan kualitatif dalam arti bahwa perubahan yang bermakna juga terjadi dalam proses mental dasar yang digunakan untuk mendefinisikan dan menalar permasalahan (Mussen, 1994). Pemikiran remaja yang sedang berkembang semakin abstrak, logis dan idealistis. Remaja menjadi lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka, serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial (Santrock, 2002).

4) Perkembangan sosial

Salah satu tugas perkembangan yang tersulit pada masa remaja adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Untuk menjadi dewasa dan tidak hanya dewasa secara fisik, remaja secara bertahap harus memperoleh kebebasan dari orang tua, menyesuaikan dengan pematangan seksual, dan membina hubungan kerjasama yang dapat dilaksanakan dengan teman-teman sebayanya.


(45)

Dalam proses ini remaja secara bertahap mengembangkan suatu filsafat kehidupan dan pengertian akan identitas diri (Mussen, 1994).

Pada masa ini remaja cenderung menghabiskan waktu di luar rumah dan lebih bergantung pada teman-temannya. Teman sebaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap, minat, penampilan, dan tingkah laku remaja dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi di bidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu yang singkat remaja mengalami perubahan yang bertolak belakang dari masa kanak-kanak, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya. Kegiatan dengan sesama jenis ataupun dengan lawan jenis biasanya akan mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas (Hurlock, 1999).

5) Perkembangan moral

Dalam catatan perkembangan moral psikoanalisis, penghukuman diri sendiri atas suatu kesalahan bertanggung jawab untuk mencegah anak dari melakukan pelanggaran. Yaitu anak-anak menyesuaikan diri dengan standar-standar masyarakat untuk menghindari rasa bersalah. (Santrock, 2002).

Perkembangan moral remaja banyak dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), aspek moral remaja tidak dapat berkembang. Nilai-nilai moral yang dimiliki remaja lebih merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar. Remaja belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik dan tingkahlaku yang bagaimana yang dikatakan salah atau tidak baik. Lingkungan ini dapat berarti orangtua,


(46)

saudara-saudara, teman-teman, guru-guru dan sebagainya (Gunarsa & Gunarsa, 2003).

5. Penalaran Moral Pada Remaja

Köhlberg (dalam Santrock, 2002) menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan pada perspektif kognitif terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Köhlberg percaya bahwa ketiga tingkatan dan keenam tahapan moral tersebut terjadi dalam suatu urutan dan berkaitan dengan usia.

Pada saat bayi, mereka tidak mempunyai hierarki nilai dan suara hati, dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing norma-norma moral. Bayi akan mempelajari kode moral dari orang tua dan lingkungan sosialnya serta belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral. Karena tidak memiliki norma yang pasti tentang benar-salah, maka bayi menilai benar atau salahnya suatu tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya dan bukan menurut baik atau buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-orang lain. Bayi menganggap suatu tindakan salah hanya bila ia sendiri mengalami akibat buruknya. (Santrock, 2002).

Perkembangan moral pada masa kanak-kanak masih dalam tingkat rendah. Ini karena perkembangan intelektual anak belum mencapai titik di mana ia dapat mempelajari dan menerapkan prinsip-prinsip abstrak tentang benar-salah, dan baik-buruk. Anak-anak ini juga tidak mempunyai dorongan untuk mengikuti aturan-aturan ataupun norma-norma karena tidak mengerti manfaatnya sebagai


(47)

anggota kelompok sosial. Oleh karenanya anak harus belajar berperilaku moral dalam berbagai situasi yang khusus. Anak hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa dia melakukan tindakan tersebut. Köhlberg (Hurlock, 1999) memperinci, bahwa sebelum anak-anak usia 9 (sembilan) tahun mereka kebanyakan berpikir tentang dilema moral dengan cara pra-konvensional.

Ini berarti individu pada tingkat pra-konvensional belum sampai pada pemahaman yang sesungguhnya mengenai kepatuhan terhadap konvensi atau aturan-aturan masyarakat. Dalam tahap pertama, anak-anak berorientasi patuh dan hukuman, ia menilai benar-salahnya perbuatan berdasarkan akibat-akibat fisik dari perubahan itu. Dalam tahap kedua anak-anak mulai menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar memperoleh pujian. Konsep benar-salah yang ada pada tingkat prakonvensional masih bersifat umum, konsep-konsep moral yang digeneralisasikan yang mencerminkan nilai moral anak tidak statis. Ini akan berubah dengan bertambah luasnya lingkup sosial anak (Hurlock, 1999).

Pada masa remaja, konsep moral remaja tidak lagi sesempit sebelumnya. Kode moralnya sudah terbentuk meskipun masih akan berubah bila ada tekanan sosial yang kuat. Remaja akan menemukan bahwa kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada berbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian akan digabungkan dalam konsep moral. Bila perubahan terjadi, remaja berpikir dengan cara-cara yang lebih konvensional, artinya mereka melakukan dan mematuhi sesuatu sesuai dengan aturan-aturan, harapan-harapan, dan konvensi masyarakat atau penguasa (Hurlock, 1999).


(48)

Pada awal masa dewasa, sejumlah kecil orang berpikir dengan cara paska-konvensional. Mereka memahami aturan-aturan masyarakat atau penguasa, tetapi penerimaannya didasarkan atas penerimaan prinsip-prinsip moral yang mendasari aturan-aturan tersebut. Dengan kata lain individu pada tingkat paska-konvensional akan membuat keputusan moral dengan lebih mengutamakan prinsip-prinsip moral dari pada konvensi atau aturan-aturan masyarakat dan penguasa (Hurlock, 1999).

Hurlock (1999) menyatakan selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, orang tua lebih mudah menerapkan nilai moral dan disiplin dibandingkan selama masa remaja. Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, perkembangan kognitif anak sudah semakin matang sehingga memungkinkan orang tua untuk bermusyawarah dengan mereka tentang penolakan penyimpangan dan pengendalian perilaku mereka. Namun pada masa remaja, penalaran anak-anak menjadi lebih canggih, dan mereka cenderung kurang dapat menerima disiplin orang tua, menuntut kemandirian lebih tegas, yang akhirnya menimbulkan kesulitan bagi hubungan antara orang tua dengan remaja itu sendiri.

Köhlberg dan Gilligan (dalam Monks, 2002) mengemukakan bahwa pada masa remaja seseorang mempunyai kemampuan kognitif untuk berpindah dari tingkat konvensional ke tingkat paska-konvensional. Tetapi dalam perluasannya penalaran ini pengalaman lain juga masuk dalam kehidupan mereka. Interaksi yang semakin luas, pengalaman hidup bersama orang lain, serta peristiwa dan situasi-situasi yang mereka alami akan menumbuhkan perasaan dan kepekaan mereka terhadap realitas.


(49)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penalaran moral pada remaja merupakan kemampuan kognitif yang berpindah dari tingkat konvensional ke tingkat paska konvensional yang dipengaruhi oleh nilai-nilai moral yang berasal dari pengalaman-pengalaman lingkungan, hasil dari mengatasi konflik terhadap perubahan yang muncul dalam perkembangan moral remaja dan interaksi yang semakin luas seperti pengalaman hidup bersama dengan orang lain serta peristiwa dan situasi-situasi yang mereka alami sehari-hari, yang akhirnya akan menumbuhkan perasaan dan kepekaan mereka terhadap realitas.

C. Konflik

1. Pengertian Konflik

Konflik, perselesihan, percekcokan, pertentangan dan perkelahian, merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar, karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. Seperti pengalaman hidup yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan secara ketat. Lebih tepat bila konflik itu diuraikan dan dilukiskan.

a. Konflik menurut Webster (dalam pickering 2000) mendefinisikan konflik sebagai berikut yaitu

1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain

2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (misal pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan individu)


(50)

3. Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan

4. Perseteruan

b. Dahrendorf (dalam Soekanto, 1990) membahas suatu tendensi yang melekat pada konflik di dalam masyarakat.

Kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan akan memperjuangkan kepentingan-kepentinganya, dan kelompok yang tak memiliki kekuasaan akan berjuang, dan kepentingan-kepentingan mereka sering berebeda, bahkan saling bertentangan. Cepat atau lambat menurut Dahrendorf (dalam Soekanto, 1990) di dalam beberapa sistem yang kekuasaannya kuat mungkin secara cermat membuat kubu-keseimbangan antara kekuasaan dan perubahan oposisi, dan masyarakat berubah. Jadi, konflik adalah “kekuasaan yang kreatif dari sejarah manusia”. Dari uraian di atas kesimpulannya, konflik ialah proses atau keadaan dimana dua atau lebih dari pihak-pihak itu melakukan persaingan, pertentangan, perselisihan dan perseteruan dengan berusaha menggagalkan tujuan masing-masing pihak dan hal itu merupakan “kekuasaan yang kreatif dari sejarah manusia”.

2. Faktor Penyebab Konflik Perkelahian Warga

Dalam penelitian ini faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik perkelahian antar warga adalah suatu peristiwa yang merupakan dorongan, dimana dorongan tersebut dapat mempengaruhi dan menyebabkan konflik perkelahian antar warga. Dahrendof (dalam Soekanto, 1990) mengemukakan ciri-ciri konflik dalam organisasi sosial sebagai berikut:


(51)

a. Sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan konflik

b. Konflik-konflik tersebut disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam struktur sosial masyarakat.

c. Kepentingan-kepentingan itu cenderung berpolarisasi dalam dua kelompok yang saling bertentangan.

d. Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mencerminkan deferensial distribusi kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang berkuasa dan dikuasai

e. Penjelasan suatu konflik akan menimbulkan perangkat kepentingan baru yang saling bertentangan, yang dalam kondisi tertentu menimbulkan konflik

f. Perubahan sosial merupakan akibat-akibat konflik yang tidak dapat dicegah pada berbagai tipe pola-pola yang telah melembaga.

D. Gambaran Penalaran Moral Pada Remaja Yang Tinggal Di Daerah Konflik

Pada masa remaja, moral merupakan suatu pedoman atau petunjuk bagi remaja dalam rangka mencari jalannya sendiri menuju ke kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi pada masa remaja (Sarwono, 2010). Secara umum moral dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan


(52)

tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut (Hasan, 2006).

Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia, Olds & Fieldman 2001). Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010).

Penalaran moral berkembang melalui tahapan tertentu. Kohlberg (1995) menyatakan ada enam tahap perkembangan moral, dimana tahapan ini dibagi dalam tiga tingkat, yaitu tingkat pre-conventional, tingkat conventional, dan tingkat post-conventional. Menurut Kohlberg (1995), di usia remaja seorang remaja harus mencapai tahap perkembangan moral ketiga, yaitu moralitas pascakonvensional (postconventional morality) (Hurlock 1990). Individu yang telah mencapai tingkat moralitas ini mendasarkan penilaian mereka terhadap norma dari harapan masyarakat serta berorientasi pada dasar-dasar moral universal, yaitu hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsistensi logis. Namun, Kohlberg (1995) juga menyatakan bahwa setiap individu dapat bergerak maju sesuai tahap-tahap yang ada dengan kecepatan yang berbeda.


(53)

Banyak faktor yang mempengaruhi penalaran moral. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penalaran moral remaja adalah lingkungan dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), aspek moral remaja tidak dapat berkembang. Nilai-nilai moral yang dimiliki remaja lebih merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar. Remaja belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik dan tingkahlaku yang bagaimana yang dikatakan salah atau tidak baik. Lingkungan ini dapat berarti orangtua, saudara-saudara, teman-teman, guru-guru dan sebagainya (Gunarsa & Gunarsa, 2003).

Davidoff (dalam Siswoyo 2003) menyatakan bahwa melihat perkelahian meski sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. Remaja yang tinggal dilingkungan konflik perkelahian akan cenderung untuk meniru dan mengikuti perilaku kekerasan yang dilihatnya. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Litbang KOMPAS mendukung pendapat tersebut. Dari 493 remaja yang pernah terlibat perkelahian massal 303 orang (61 persen) mengatakan jika mereka menolak ajakan berkelahi, akibatnya sungguh tidak mengenakkan bagi mereka. Dianggap tidak solider (33,9 persen), dimusuhi (12,6 persen) dan dianggap banci (15 persen) merupakan hal menakutkan sehingga mendorong mereka untuk melibatkan diri dalam tawuran yang kadang tak mereka ketahui apa yang menjadi pemicu terjadinya perkelahian. Kohlberg (1995) menyatakan bahwa pada remaja yang memasuki tahap pascakonvensional akan menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal untuk menjauhi hukuman sosial terhadap dirinya sendiri, sehingga perkembangan


(54)

moralnya tidak lagi atas dasar keinginan pribadi. Hal seperti ini terjadi pada remaja yang tinggal di Kelurahan Belawan 1, beberapa remaja yang berhasil diwawancarai oleh peneliti mengatakan bahwa dalam melakukan aksi pelemparan bahkan sampai pada aksi perkelahian yang mereka lakukan tidak jarang mereka hanya ikut-ikutan saja. Hal ini dikarenakan diajak oleh teman-teman mereka. Ketika mereka menolak ajakan untuk tidak ikut dalam aksi perkelahian mereka akan dianggap tidak memiliki rasa solidaritas dan kebersamaan bahkan bisa sampai dikucilkan oleh teman-teman sebayanya. Situasi yang seperti ini yang menjadi dilema bagi remaja karena pengaruh teman-teman sebaya sangat berpengaruh terhadap diri para remaja. Dimana seorang remaja melakukan penyesuain diri terhadap kelompok teman sebaya dengan cara mengabaikan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok. (Hurlock, 1999)


(55)

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan (Hadi, 2002). Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode kuantitatif yang bersifat dekriptif yang dimaksud untuk melihat bagaimana gambaran perkembangan penalaran moral remaja yang tinggal di daerah konflik antar warga di Kelurahan Belawan 1 Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara.

Menurut Azwar (2000) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Metode deskriptif bertujuan untuk mengambarkan suatu fenomena yang terjadi, tanpa bermaksud mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum (Hadi, 2000).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Untuk dapat menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan identifikasi variabel-variabel yang ada pada penelitian ini. Dalam penelitian ini variabel yang terlibat adalah penalaran moral remaja.

B. Definisi Operasional

Penalaran moral adalah kemampuan yang dimiliki seorang individu untuk melakukan penilaian terhadap perilaku yang baik atau buruk, timbul dari dalam


(56)

diri, bukan karena paksaan dari luar, yang disertai dengan tanggung jawab. Tahap penalaran moral dalam penelitian ini mengacu pada tahapan penalaran moral yang dikemukakan oleh Köhlberg (1995).

Penalaran moral diukur dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT) versi pendek (Rest,1979) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Defining Issues Test (DIT) versi pendek merupakan tes tertulis yang menyediakan tiga permasalahan moral bagi subjek dalam bentuk cerita, dimana setiap cerita diikuti dengan 12 pernyataan. Setiap pernyataan ini mencerminkan suatu tahap perkembangan moral tertentu.

Penalaran moral dalam penelitian ini ditunjukkan melalui nilai P dari test DIT (Defining Issues Test). Rentang nilai P dari 0-95 dimana Nilai P (principle morality) yang merupakan penilaian relative (relative impertance) subjek tentang pertimbangan prinsip moral dalam menghadapi suatu dilema moral, diperoleh dari penjumlahan nilai yang diperoleh subjek untuk tahap 5A, 5B, dan 6. Tahap 5A, 5B, dan 6 berhubungan dengan morality of sosial contract, morality of intuitive humanism dan morality of principle of idea social cooperation. Semakin tinggi nilai P menunjukkan semakin tinggi penalaran moral. Sebaliknya, semakin rendah nilai P menunjukkan semakin rendah penalaran moral.

C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi Penelitian

Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi dengan sejumlah atau individu yang paling sedikit dan memiliki satu sifat


(1)

dengan adanya konformitas pada lingkungan sosial, mendukung serta membenarkan seluruh aturan dari kelompok sosial (Kohlberg, 1995).

2. Berdasarkan tingkat penalaran moral diperoleh gambaran dari 56 orang subjek paling banyak berada pada tingkat konvensional dengan jumlah sebanyak 52 orang subjek (92,86%).

3. Hasil gambaran tingkat penalaran moral pada subjek dalam penelitian ini menunjukkan sebanyak 1 orang (1,78%) subjek penelitian yang berada pada tingkat prakonvensional, sebanyak 52 orang (92,86%) subjek penelitian berada pada tingkat konvensional, dan sebanyak 3 orang (5,36%) subjek penelitian berada pada tingkat pascakonvensional.

4. Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian laki-laki dan perempuan masing-masing paling banyak berada pada tahap penalaran moral tahap 4. Berdasarkan usia subjek penelitian dengan usia 18 tahun paling banyak berada pada tahap penalaran moral tahap 4, usia 19 tahun paling banyak pada tahap 4, usia 20 tahun paling banyak pada tahap 3 serta usia 21 tahun paling banyak berada pada tahap 3 dan 4. Berdasarkan tingkat pendidikan subjek yang pendidikannya SMP paling banyak berada pada tahap penalaralan moral tahap 4 dan subjek yang pendidikannya SMA paling banyak berada pada tahap penalaran moral tahap 3. Serta berdasarkan status tempat tinggal, subjek yang tinggal bersama dengan orangtua paling banyak berada pada tahap penalaran moral tahap 4 dan subjek yang tidak tinggal bersama dengan orangtua paling banyak berada pada tahap penalaran moral tahap 3 dan 4.


(2)

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi perkembangan kelanjutan studi ilmiah.

1. Saran Metodologis

a. Bagi peneliti selanjutnya yang hendak meneliti tentang penalaran moral, disarankan melakukan penelitian mengenai penalaran moral dengan karakteristik subjek yang berbeda seperti subjek yang tinggal di daerah batas Negara.

b. Bagi peneliti yang tertarik untuk meneliti tentang penalaran moral disarankan untuk menggunakan faktor lain yang turut mempengaruhi perkembangan penalaran moral seperti faktor budaya, gender atau sosial-ekonomi.

2. Saran Praktis a. Bagi orangtua

Saran yang dapat diberikan kepada orang tua secara umum, adalah Orang tua dapat menstimulasi perkembangan penalaran moral remaja dengan memberikan perhatian yang lebih tentang seperti apa seharusnya seorang remaja dalam hal perilaku yang mencerminkan penalaran moral yang sesuai sebagai seorang remaja yang beranjak menjadi dewasa.


(3)

Penalaran moral pada remaja masih banyak yang berada pada tahap konvensional. Peningkatan penalaran moral menuju tahap yang lebih tinggi bisa dilakukan dengan memperbanyak pengetahuan tentang moral misalnya dengan cara berdiskusi tentang moral dengan remaja yang telah mencapai tahap pascakonvensional.

c. Bagi Pemerintahan Setempat

Bagi Pemerintah setempat khususnya tingkat Kelurahan maupun Kecamatan dapat membuat suatu program pembinaan dimana tujuan dari program ini untuk dapat mempengaruhi perkembangan moral yang sekaligus juga dapat mengurangi tingkat konflik yang sering terjadi akibat dipicu oleh kenakalan para remaja yang tinggal di daerah ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R. (1999). Pengantar Psikologi Jilid II. Jakarta : Erlangga

Azwar,S. 1(997). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar , (2001). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar , (2003). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar , (2007). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Badan Pusat Statistik (BPS). (2010). [online] diakses tanggal 13 Oktober 2011 http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_sub yek=12&notab=1

Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Bull, N.J. (1970). Moral Judgment From Childhood To Adolescene. London: Routledege & Kegan Paul.

Daradjad, Z. (1983). Kesehatan Mental. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Duska R., dan Whelan M. (1982). Perkembangan Moral: Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg, Terjemahan Dwija Atmaka, Yogyakarta: Kanisius.

Gunarsa, S.D., Gunarsa, Y.S.D. (1992). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta: Gunung Mulia

, 2003. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta: Gunung Mulia

Hadi, S. 2000. Statistik II. Yogyakarta: Andi Offset

Hasan, A. B. P. (2006). Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.


(5)

Hurlock, E.B. 1990. Psikologi Perkembangan. Edisi 6. Jilid 2. Alih Bahasa Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga

, 1999. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi 5. Alih Bahasa Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga

Janssens, J., Geris, J. (1992). Child Rearing : Influence on prosocial and Moral Development. Netherlands: University of Nijmegen.

Jersild, A. T. (1975) Psychology of adolescence. London: The Macmilan Company

Jones, R.N (1996). Effective Thinking Skills. Los Angeles: SAGE Publications Ltd

Kaplan, L. E. (2006). Moral Reasoning of MSW Social Workers and The Influence of Education. Journal of Social Work Education. 42 (3),

507-522.

Kartono, K. 2001. Psikologi Remaja. Jakarta: CV Rajawali

Köhlberg, L. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral (alih Bahasa: John de Santo dan Agus Cremmers). Yogyakarta: Kanisius

Kompas. (2010). Tawuran pelajar tak kunjung surut. [online]. Diakses 15 Oktober 2011

http://megapolitan.kompas.com/read/2011/10/21/02385365/Tawuran.Pelaj ar.Tak.Kunjung.Surut

Mardiya. 2005. Menyoal Penyalahgunaan Obat Terlarang Oleh Remaja. Artikel [On-line] ww.kilonprogokab.go.id/v21/getfile.php?file=Menyoal...Obat... di akses 10 Februari 2012

Martani, W. (1995). Perkembangan Penalaran Moral pada Remaja yang Berbeda Latar Belakang Budaya.Jurnal Psikologi, 2, 14-20.

Monks, F.J.- A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditono. 2002. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Muslimin, I. Z. (2004). Penalaran Moral pada siswa SLTP Umum dan Madrasah Tsanawiyah.Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 1 No. 2, hal, 25 -32. Yogyakarta : Universitas Wangsa manggala.

Mussen, P.H dkk. 1994. Perkembangan dan Kepribadian Anak. Jakarta: Arcan


(6)

Mustafa, H. 2000. Teknik Sampling. [online] diakses 15 Januari 2012 http://home.unpar.ac.id/~hasan/SAMPLING.doc.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2001). Human Development (8th edition). New York: Mc. Graw-Hill Companies, Inc.

Pickering, Peg. (2000) “How To Manage Conflict”. USA : National Press Publication, USA

Pratidarmanastiti, L. 1991. Perkembangan Moral Remaja Delinkuen Dan Non Delinkuen. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada

Rest, J. R. (1979). Revised Manual for The Defining Issues Test. USA: Mineapolis Minnesota Moral Research Projects.

Santrock, JW. 2002. Life-Span Development Jilid 2. Jakarta: Erlangga Sari, T.Y (2011). Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran

Moral pada Remaja Delinkuen. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara

Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Cetakan ke-3. Edisi I. Jakarta: PT Raya Grafindo Persada

Setiono, K. 1982. Perkembangan Penalaran Moral Tinjauan dari Sudut Pandang Teori Sosio-Kognitif. Jurnal Psikologi Dan Masyarakat. No. 2

Sidney Siegel (1992), Statistik non Parametrik. Jakarta: Gramedia

Soekanto, Soerjono (1990). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers.

Susan, N. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Group

Suseno, F.M. 1987. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius

Tambunan, Raymond. (2001). Tawuran Antar Remaja. [Online]. Diakses 7 Agustus 2011 http://www.e-psikologi.com/remaja/161001.htm

Waraheni, P.A. (2006). Sikap Remaja Terhadap Perilaku Seks Bebas Ditinjau Dari Tingkat Penalaran Moralpada Siswa Kelas Dua Sma Kesatrian 1 Semarang. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.