TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM : STUDI KASUS PERNIKAHAN MASYARAKAT DESA GUA-GUA KECAMATAN RAAS KABUPATEN SUMENEP.

(1)

TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR

PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DALAM KAJIAN

HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Pernikahan Masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep)

SKRIPSI

Oleh :

Karmilasari NIM : C01212020

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya


(2)

TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR

PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DALAM

KAJIAN HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Pernikahan Masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Pernyataan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah dan Ekonomi Islam

Oleh : Karmilasari NIM : C01212020

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

Surabaya


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

v

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Pernikahan

Gadis dan Janda dalam Kajian Hukum Islam (Studi Kasus Pernikahan Masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep)” merupakan hasil penelitian lapangan di Desa Gua-gua mengenai analisis kajian hukum Islam terhadap standarisasi mahar pernikahan gadis dan janda. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep, dan Bagaimana pandangan kajian Hukum Islam terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, yang menggunakan pendekatan dan jenis penelitian kualitatif. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka dipergunakan metode penelitian yang terdiri dari data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, serta teknik analisis data. Sumber data yang digunakan terdiri dari sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi,

interview, dan dokumentasi. Sedangkan teknik pengolahan data dengan

menggunakan teknik editing, organizing dan analyzing.

Dalam penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa, Terjadinya tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep disebabkan oleh kebiasaan meninggikan mahar yang terjadi di Desa Gua-gua ini sudah berlangsung sejak dulu dan menjadi tradisi masyarakat yang terus dijalani sampai saat ini. Bagi masyarakat Desa Gua-gua mendapatkan mahar yang tinggi bagi anak perempuannya merupakan kebanggaan tersendiri, dan sebaliknya jika anak dari sebuah keluarga mendapatkan mahar yang murah maka akan mendapat gunjingan atau pembicaraan yang tidak enak dari tetangga. Dari itulah masyarakat berlomba-lomba meninggikan maharnya pada saat kedatangan lamaran dari keluarga laki-laki. Hingga terjadilah standarisasi mahar dalam pernikahan.

Tradisi standarisasi penetapan mahar yang terjadi di desa Gua-gsua ini sangat tidak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw dan Alquran serta KHI, bukan meringankan jumlah mahar dalam sebuah pernikahan untuk mendapatkan keberkahan malah menstandarkan dengan ukuran jumlah yang relatif tinggi. Standarisasi ini malah memberikan beban baru utuk calon mempelai laki-laki, yang nantinya bukan kerelaan atau keikhlasan yang didapat tapi malah menjadi keterpaksaan.

Dari itu mengkaji ulang tradisi standarisasi penetapan mahar ini adalah hal terbaik. Jika dapaknya lebih banyak modharotnya ketimbang manfaatnya, kebiasaan ini perlu dirubah dan perlu diketahui tidak ada yang lebih sempurna dari aturan yang ada di Islam.


(8)

v


(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Kajian Putaka ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Oprasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sitematika Pembahasan ... 15

BAB II MAHAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ... 18

A. Pengertian Mahar ... 18

B. Dasar hukum Mahar ... 20

C. Macam-macam Mahar ... 24

D. Batasan Jumlah Mahar ... 27

E. Fungsi Mahar ... 31


(10)


(11)

x

BAB III TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR

PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DI DESA GUA-GUA

KECAMATAN RAAS KABUPATEN SUMENEP ... 35

A. Gambaran Umum Desa gua-gua ... 35

B. Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Pernikahan Gadis dan Janda Di Desa gua-gua Kecamatan Raas ... 38

BAB IV ANALISI HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI STANDARISASI PENETAPAN MAHAR PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DI DESA GUA-GUA KECAMATAN RAAS KABUPATEN SUMENEP ... 49

A. Analisi Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Dalam Pernikahan Gadis dan Janda Di Desa gua-gua ... 49

B. Analisi Kajian Hukum Islam terhadap Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Dalam Pernikahan Gadis dan Janda di Desagua-gua... 51

BAB V PENUTUP ... 55

A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Sampel Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Untuk Gadis ... 42 1.2 Sampel Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Untuk Janda ... 42


(13)

xii

DAFTARTRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi inibanyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fonem konsonan Arab, yang dalam sistem tulisan Arab seluruhnya dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasinya ke tulisan Latin sebagian dilambangkan dengan lambang huruf dan tanda sekaligus sebagai berikut:

ARAB LATIN

Kons. Nama Kons. Nama

ا

Alif Tidakdilambangkan

ب

Ba B Be

Ta T Te

Sa S\ Es (dengan titik di atas)

Jim J Je

Ha H} Ha (dengan titik di bawah)

Kha Kh Kadan ha

Dal D De

Zal Z\ Zet (dengan titik di atas)


(14)

xiii

Zai Z Zet

Sin S Es

Syin Sh Esdanha

Sad S} Es (dengantitik di bawah) Dad D{ De (Dengantitik di bawah)

Ta T} Te (dengantitik di bawah) Za Z} Zet (dengantitik di bawah) Ain ‘ Komaterbalik (di atas)

Gain G Ge

Fa F Ef

Qaf Q Ki

Kaf K Ka

Lam L El

Mim M Em

Nun N En

Wau W We

Ha H Ha

ء

Hamzah ’ Aprostof

ي

Ya Y Ya

2. Vokaltunggalataumonoftongbahasa Arab yang

lambangnyahanyaberupatandaatauharakat, transliterasinyadalamtulisan Latin dilambangkandenganhurufsebagaiberikut :


(15)

xiv

a. Tanda fath}ah dilambangkan dengan huruf a, misalnya mas}lah{ah. b. Tanda kasrah dilambangkan dengan huruf i, misalnya Tirmiz|i.

c. Tanda d}ammah dilambangkan dengan huruf u, misalnya bulu>gual-mara>m. 3. Vokal rangkap atau diftong bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan

antara harakat dengan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut :

a. Vokal rangkap

ا

dilambangkan dengan gabungan huruf aw.

b. Vokal rangkap

يا

dilambangkan dengan gabungan huruf ay misalnya sayyid. 4. Vokal panjang atau maddah yang lambangnya berupa harakat dan huruf,

transliterasinya dilambangkan dengan huruf dan tanda macron (coretan horisontal) di atasnya, misalnya masa>’il fiqhiyah.

5. Syaddah atau tasydi>d yang dilambangkan dengan tanda syaddah atau tasydi>d, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang bertanda syaddah itu, misalnya illat.

6. Kata sandang dalam bahasa Arab yang dilambangkan dengan huruf alif-lam, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sesuai dengan bunyinya dan ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan diberi tanda sempang sebagai penghubung. Misalnya al-ba>qarah dan al-h{alal.

7. Ta’marbut}ah mati atau yang dibaca seperti berharakatsukun, dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”, sedangkan ta’ marbutah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya al-maslah{ah al-mu‘tabarah.

8. Tanda apostrof (‘) sebagai transliterasi huruf hamzah hanya berlaku untuk yang terletak di tengah atau di akhir kata, sedangkan diawal kata, huruf hamzah tidak dilambangkan denga suatu pun, misalnya an-Nisa>.


(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era modern ini, interaksi antara laki-laki dan perempuan semakin sulit untuk dibatasi, dengan adanya jejaring sosial dan benda-benda lain yang bisa menghubungkan satu sama lain tanpa perlu adanya tindakan yang terlihat secara kasat mata. Dampak dari kemajuan itu sering kali kita jumpai seperti pergaulan yang bebas dan pada akhirnya seorang perempuan menjadi korban dari ketidak bertanggung jawaban. Maka dari itu sangat perlu aturan-aturan yang mesti dipegang teguh baik dimasyarakat yang menjadi tradisi ataupun agama.

Islam sangat menganjurkan bagi pemuda dan pemudi yang sudah siap untuk menikah, karena di dalam suatu pernikahan mengandung nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah Swt., dan mengikuti sunah hadis Nabi disamping itu juga mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk memenuhi naluri hidup manusia guna untuk melestarikan keturunan, mewujudkan ketentraman hidup, dan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat.1

Pernikahan merupakan salah satu sendi masyarakat yang tidak lepas dari tradisi dan sudah termudifikasi sesuai dengan ajaran agama yang telah dianut dan menjadi tradisi turun menurun. Dalam suatu pernikahan baik

1


(17)

2

sebelum, pada waktu prosesi dan sesudahnya, akan diikuti oleh rangkaian-rangkaian adat berupa seserahan dan sesuguhannya baik dari penganting laki-laki maupun pengantin perempuan.

Aturan-aturan yang menjadi pedoman pernikahan telah diatur dan dijelaskan dalam Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis. Dalam Alquran Allah Swt., berfirman:

َنوُرّكَذَت ْمُكّلَعَل َِْْجْوَز اَْقَلَخ ٍءْيَش ّلُك ْنِمَو

Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, agar kamu mengingat (kebesaran Allah). (Qs. Al Dzariyat (51) : 49).2

Juga disebutkan dalam Alquran Surat Yasin ayat 36 yang berbunyi:

َنوُمَلْعَ ي ََ اَِِّو ْمِهِس ُفْ نَأ ْنِمَو ُضْرَْْا ُتِبُْ ت اِِّ اَهّلُك َجاَوْزَْْا َقَلَخ يِذّلا َناَحْبُس

Maha suci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Qs. Yasin (36) : 36).3

Dari akad pernikahan islam telah memberikan bentuk-bentuk perlindungan terhadap kaum perempuan adalah dengan memberikan hak dan kewajiban terhadapnya. Allah Swt., berfirman,

ِفوُرْعَمْلاِب ّنِهْيَلَع يِذّلا ُلْثِم ّنَََُو

2 Departemin Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya cipta aksara, edisi baru revisi terjemahan Januari 1993), 862.


(18)

3

Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Qs. Albaqarah: 228).4

Maksudnya, perempuan memiliki berbagai hak yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang perempuan. Dasar dari hak-hak dan kewajiban ini adalah tradisi yang bersandarkan kepada fitrah masing-masing orang laki-laki dan perempuan.

Undang-undang Ahwal al-syakhsiyah Syariah telah menyebutkan semua hak-hak dan keuangan terhadap perempuan oleh seorang suami, yaitu; mahar, nafkah, dan tempat tinggal.

Terkait dengan pemberian mahar seorang laki-laki terhadap perempuan yang akan dinikahinya, islam tidak menetapkan batasan terendah secara rinci jumlahnya. Namun mayoritas ulama berpendapat bahawa bagi maskawin tidak ada batasan terendahnya, segala sesuatu yang berharga dapat dijadikan maskawin.5

Disunahkan meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam menetapkannya. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.6

ًةَنْؤُم ُُرَسْيَأ ًةَكَرَ ب ِحا َكّلا َمَظْعَأ ّنِإ

Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan disahihkan oleh al-Hakim dari

Uqban bin ‘Aamir hadis,

4 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 9, Penerjemah Abdul hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 230.

5 Ibnu Rusyd, Bida. Yatul Mujtahid wa Nihayatul Mujqtashid, Penerjemah Ghazali Said dan A. Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 432.


(19)

4

ُُرَسْي َأ ِقاَدّصلا ُرْ يَخ

Mahar yang paling baik adalah yang paling mudah.

Dari beberapa aturan Islam dan sabda rasulullah sangat jelas bahwa Islam tidak menetapkan batasan terendah secara rinci jumlahnya dan bahkan Islam memberi aturan mahar dalam sebuah pernikahan sangatlah dipermudah. Namun pada realita yang terjadi, sebagian masyarakat malah menyimpang dari aturan dan anjuran tersebut. Mereka lebih menyukai tradisi yang lahir karena keegoisan salah satu masyarakat yang akhirnya menjadi tradisi keseluruhan masyarakat setempat. Seperti halnya yang terjadi pada pernikahan masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas ini, yang menggunakan aturan memilah dan membandingkan antara seorang gadis dan janda dalam ukuran pemberian maharnya. Jika perempuan msih bersetatus gadis akan sangat dihormati dan akan mendapatkan mahar yang tinggi dengan patokan nilai 10 gram emas keatas atau yang senilai, namun sebaliknya jika sudah status janda akan dianggap murah dengan nilai cukup menerima 5 gram emas atau yang senilai.

Dari latar belakang wacana diatas, serta mengingat sangat pentingnya pengetahuan tentang seperti apa mahar yang seharusnya dalam pernikahan. Maka penulis akan meneliti dan mengkaji hal yang berkaitan dengan

penentuan mahar dalam pernikahan tersebut dengan judul “Tradisi

Standarisasi Penetapan Mahar Pernikahan Gadis dan Janda dalam Kajian Hukum Islam (Studi Kasus Pernikahan Masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep)”.


(20)

5

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, ada banyak hal yang dapat dikaji dan menjadi identifikasi masalah diantaranya:

1. Seperti apa tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep. 2. Penyebab tradisi terjadinya standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis

dan janda masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

3. Pengaruh tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda terhadap mental kaum pemuda dan pemudi masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

4. Pandangan masyarakat terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

5. Kajian hukum Islam terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

6. Kurangnya pendidikan agama di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan

Raas Kabupaten Sumenep.

7. Pengaruh adat turun menurun yang kental pada masyarakat Desa Gua-gua

Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.


(21)

6

Dari masalah-masalah yang telah diuraikan dalam identifikasi masalah, terdapat keluasan pembahasan. Untuk itu, agar dalam penelitian ini nantinya lebih terfokus, maka perlu adanya pembatasan masalah, diantaranya: 1. Keadaan yang terjadi pada tradisi standarisasi penetapan mahar dalam

pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

2. Meninjau dari Kajian Hukum Islam terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

C. Rumusan Masalah

Agar lebih praktis persoalan ini maka dapat ditarik rumusan masalah dalam bentuk petanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep? 2. Bagaimana pandangan kajian hukum Islam dalam tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/ penlitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau


(22)

7

duplikasi dari kajian/ penelitian yang telah ada.7

Pertama, Luqman hakim, pada tahun 2014 melakukan penelitian terhadap mahar pada masyarakat pelaut di Desa Sepulu Kecamatan Sepuluh Kabupaten Bangkalan. Penelitian yang berjudul; Analisis Hukum Islam Terhadap Kadar Mahar (Studi kasus bagi Pelaut di Desa Sepuluh Kecamatan Sepuluh Kabupaten Bangkalan). Penelitian tersebut menitik beratkan pada peningkatan kadar mahar bagi yang berprofesi sebagai pelaut, yang berkesimpulan bahwa Penyebab terjadinya peningkatan kadar mahar bagi pelaut yang terjadi di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan ini disebabkan oleh gaji pelaut yang relatif besar sehingga secara tidak langsung peningkatan kadar mahar ini menjadi sebuah kebiasaan di tengah masyarakat, dan berpengaruh kepada kehidupan sosial masyarakat, karena bagi masyarakat kebiasaan ini lambat laun menimbulkan dampak yang kurang baik bagi masyarakat Sepuluh.8

Kedua, Skripsi yang berjudul: “Analisis Hukum Islam Terhadap Penentuan Mahar Oleh Orang Tua Di Dusun Air Mata Desa Campor Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan” karya Siti Zainab pada tahun 2014 merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang alasan penentuan mahar yang dilakukan oleh orang tua dengan meniadakan hak anak perempuannya untuk ikut

7 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 8.

8Luqman hakim, “Analisis Hukum Islam Terhadap Kadar Mahar (Studi Kasus Bagi Pelaut Di Desa Sepuluh Kecamatan Sepuluh Kabupaten Bangkalan)”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), 9.


(23)

8

serta menentukan maharnya sendiri di Dusun Air Mata Desa Campor Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan dan bagaimana tinjauan analisis hukum Islam terhadap ihwal tersebut.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa adanya penentuan mahar dilakukan oleh orang tua yang meniadakan hak anak perempuannya untuk ikut serta menentukan maharnya sendiri di Dusun Air Mata disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: terbangunnya sebuah asumsi para orang tua bahwa mereka yang sudah membesarkan anak perempuannya, dengan demikian mereka merasa mempunyai otoritas penuh tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan anak perempuannya termasuk dalam hal penentuan mahar. Di samping itu, Penentuan mahar yang dimonopoli oleh orang tua adalah bias dari kurangnya pemahaman akan ekisistensi mahar yang kaitannya dengan hak perempuan, hal ini tampak dari yang telah penulis perhatikan dari hasil keterangan beberapa masyarakat setempat bahwa yang hanya dianggap penting adalah akad nikahnya dan bukan mahar. Kemudian, penentuan mahar yang dilakukan oleh orang tua secara penuh di Dusun Air Mata, setelah dianalisis bisa dikatakan tidak dibenarkan dalam Islam, karena dalam Islam perempuan juga mempunyai hak untuk ikut serta menentukan maharnya sendiri dengan kata lain penentuan mahar harus berdasarkan kerelaan dari istri.9

Ketiga, karya Muhammad Ihsan tahun 2014 dengan judul skripsi

9 Siti Zainab, “Analisis Hukum Islam Terhadap Penentuan Mahar Oleh Orang Tua di Dusun Air Mata Desa Campor Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan”, (skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), 9.


(24)

9

“Studi Komparatif Pandangan Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Terhadap Penetapan Emas sebagai

Mahar pada Masyarakat Kota Langsa-Aceh” merupakan hasil studi lapangan

(field research) yang bertujuan untuk memberikan keterangan secara luas

akan pertanyaan tentang mahar perkawinan yang sering dijadikan problem bagi kalangan anak muda yang akhir-akhir ini sering menjadi fenomena yang seakan menjadi kendala untuk melangsungkan pernikahan, Penentuan kualifikasi mahar yang ditetapkan majelis adat Aceh pada hakikatnya untuk memuliakan wanita sehingga ada korelasi antara kebijakan adat dan syari’at. Walaupun tidak ada ketentuan mahar yang ditetapkan dalam Alquran dan hadis. Adanya penetapan mahar tidak bermaksud untuk mempersulit proses pernikahan akan tetapi bermaksud untuk meningkatkan kualitas dari pernikahan. Dan disatu sisi dengan jumlah mahar yang ditentukan bisa memotifasi pasangan untuk meningkatkan taraf hidup, karena dalam membangun bahtera rumah tangga suami merupakan tulang punggung keluarga. Seringkali salah satu faktor penyebab tingginya perceraian di era moderenisasi diakibatkan oleh lemahnya peranan suami dalam menopang perekonomian rumah tangga. Apabila pemberian mahar terlalu disederhanakan maka akan melemahkan mempelai pria dan sakralisasi pernikahan menjadi kabur.10

Penulis merasa kajian tentang mahar ini masih perlu adanya penelitian

10 Muhammad Ihsan, “Studi Komparatif Pandangan Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Terhadap Penetapan Emas Sebagai Mahar Pada Masyarakat Kota Langsa-Aceh”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), 14.


(25)

10

secara spesifik lagi khususnya yang terjadi di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep. Disini penulis menjumpai beberapa persoalan tentang mahar untuk sebuah pernikahan salah satunya yaitu pengklasifikasian yang menjadi standarisasi mahar dari seorang laki-laki yang hendak menikah kepada seorang gadis atau seorang janda yang akan dinikahi.

E. Tujuan Penelitian

Dari dua permasalahan di atas yang menjadi tujuan dari penelitian ini diantaranya:

1. Untuk mengetahui tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan

gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep?

2. Untuk mngetahui tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep dalam Kajian Hukum Islam?

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari penelitian ini, penulis mengharapkan nilai guna baik secara teoritis maupun praktis, seperti:

1. Kegunaan teoritis

a. Mengetahui tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

b. Mengetahui pandangan kajian Hukum Islam dalam tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat


(26)

11

Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

2. Kegunaan praktis

Penelitian ini disamping memberikan nilai guna secara teoritis juga diharapkan memberikan kegunaan secara praktis, manfaat praktis yang dimaksudkan untuk:

a. Jurusan Hukum Islam Program Studi Ahwal al-syakhsiyah (AS)

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai sumbangsih pemikiran dan pedoman serta bahan bacaan para mahasiswa untuk pengembangan intelektualnya.

b. Masyarakat, memberikan gambaran pengetahuan tentang penentuan

mahar yang benar dalam sebuah pernikahan di masyarakat, khususnya masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep

c. Negara, persamaan dan pemersatuan masyarakat agar semua

mendapat keadilan dan lebih bertanggung jawab terhadap generasi penerus bangsa.

G. Definisi Operasional

Untuk tidak terjadinya perbedaan pemahaman yang nantinya akan dibahas, maka perlu dijelaskan makna yang terdapat dalam penelitian ini. Definisi operasional dari judul penelitian ini adalah:

Standarisasi ; ukuran jumlah mahar yang menjadi ketentuan untuk

perempuan yang bersetatus gadis atau janda.

Kajian Hukum Islam; kajian dari ketentuan-ketentuan hukum islam yang berasal dari Alquran dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).


(27)

12

Jadi dapat dijabarkan dari judul penelitian ini adalah tradisi ukuran penetapan mahar pernikahan gadis dan janda yang terjadi di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas kabupaten Sumenep ditinjau dari ketentuan Islam baik Alquran dan KHI.

H. Metode penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, Penelitian ini menggunakan pendekatan dan jenis penelitian kualitatif. Penelitian sosial yang menggunakan format deskriptif-analisis.11

Pengumpulan data melalui observasi, interview, dan dokumentasi. Selanjutnya dilakukan analisis menggunkan metode deskriptif analisis yaitu memaparkan atau menjelaskan data yang diperoleh dan selanjutnya dianalisis dengan metode deduktif, yaitu memaparkan hal-hal yang bersifat umum dalam pemberian mahar dalam pernikahan dan kemudian menganalisanya terhadap hal-hal yang bersifat khusus tentang pemberian mahar pernikahan untuk perempuan yang masih gadis dan perempuan yang sudah janda.

1. Data yang dikumpulkan.

Yang dimaksud dengan data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh, yaitu data baik secara tertulis maupun lisan.12 Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa:

a. Data tentang tradisi standarisasi penetapan mahar pada pernikahan gadis dan janda di desa Gua-gua kecamatan Raas kabupaten Sumenep.

11

Ulber Silalahi, Metodologi Penelitian Sosial, (Bandung: Anggota IKAPI: 2010), 48. 12 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 172.


(28)

13

b. Data tentang pelaksanaan pemberian mahar pada pernikahan gadis dan

janda di desa Gua-gua kecamatan Raas kabupaten Sumenep. 2. Sumber data

Sumber data didalam suatu penelitian adalah dari mana data dapat diperoleh.13 Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka penelitian ini

memiliki sumber data sebagai berikut:

a. Sumber primer

Data primer adalah data yang dihimpun atau diperoleh langsung dari sumber utama melalui penelitian.14 Sumber primer

penelitian ini diantaranya:

1) Kepala desa Gua-gua kecamatan Raas kabupaten Sumenep.

2) Pasangan suami istri yang sudah menikah.

3) Calon pasangan yang akan menikah.

4) Masyarakat setempat yang terlibat didalamnya.

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder dalam penelitian ini adalah data pelengkap yang akan mendukung sumber primer, diantaranya:

1) Buku induk pencatatan pernikhan dan berkas model N7 di KUA kecamatan Raas kabupaten Sumenep.

2) Alquran dan hadis.

3) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 129.


(29)

14

3. Teknik pengumpulan data.

Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa metode untuk menjawab problematika dalam mencapai tujuan dan membuktikan hipotesis, diantaranya adalah :

a. Observasi, yaitu pengamatan langsung pada objek yang diteliti dengan melihat langsung apa yang terjadi di lapangan, kemudian mencatat hasil yang telah diperoleh di lapangan.

b. Interview, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden.15

c. Dokumentasi, yaitu mencari data yang bersumber dari catatan, transkip, buku, majalah, jurnal, blog, dan sebagainya.

4. Teknik pengolahan data.

Setelah seluruh data terkumpul maka dilakukan analisis data secara kualitatif dengan tahapan sebagai berikut:

a. Editing, pemeriksaan kembali data-data yang diperoleh yaitu tentang

standarisasi mahar penikahan gadis dan janda di Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep.

b. Organizing, menyusun dan mensistematiskan data yang diperoleh baik

dari data primer maupun sekunder.


(30)

15

c. Analizing, setelah editing dan organizing dilakukan maka proses

pengolahan data selanjutnya adalah menganalisis data-data yang telah ada dengan metode yang telah ditentukan.16

5. Teknik analisis data.

Teknik yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini menggunakan metode:

a. Deskriptif, yaitu menggambarkan status sekelompok manusia, kondisi

sosial, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, terutama yang berkaitan dengan objek penelitian.17

b. Verifikasi, yaitu konsep atau hipotesis atau teori kemudian dilakukan pengumpulan data yang ada di lapangan dan selanjutnya dianalisis, setelah itu ditarik kesimpulan.18

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan disini memuat uraian yang menggambarkan alur dari struktur pembahasan dari isi penelitian19. Penelitian ini menjadi lima

bab dimana masing-masing bab akan memuat sub-sub bab sebagai penguat pembahasannya. Secara umum, sistematika pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama berupa pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

16 Ibid.

17 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1988), 6.

18 Lexy J. Moleong, Metodologi Peneitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2009), 6. 19 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan skripsi…, 10.


(31)

16

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, sitematika pembahasan, dalam bab ini deskripsi awal mengenai titik tolak dan instrument penelitian dijelaskan. Urgensi dari bab ini terletak pada rumusan masalah yang akan diteliti. Selain itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini juga menjadi bagian yang terpenting dalam memberikan pandangan pemikiran dan kerangka kerja sebuah penelitian.

Bab kedua yang memuat landasan teori penelitian, dalam bab ini akan dijelaskan mengenai landasan teori yang meliputi tentang syarat sahya pernikahan diantaranya seperti pengertian mahar dalam hukum islam dan dasar hukumnya, macam-macam mahar, dan batasan mahar, serta dampak dari standarisasi mahar dalam sebuah pernikahan.

Bab ketiga yang akan memuat sekilas tentang keadaan Desa Gua-gua Kecamatan Raas kabupaten Sumenep. Dari keadaan masyarakat serta aturan-aturan yang menjadi tradisi disetiap pernikahan secara turun mnurun. Dari bab ini nantinya akan dijumpai beberapa permasalahan yang jelas keberadaannya dan menjadi bahan analisis.

Bab keempat, dalam bab ini penulis akan memberikan kajian Hukum Islam terhadap tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep. Bagian terpenting yang berisi analisis terhadap fakta yang terjadi dilapangan ada di dalam bab ini.


(32)

17

Bab kelima, Bab ini merupakan bab penutup yang menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang dilengkapi dengan saran-saran, daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap perlu.


(33)

18

BAB II

MAHAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengertian Mahar

Dalam bahasa Arab mahar adalah bentuk mufrod sedang bentuk jamaknya adalah mahurun yang secara etimologi berarti maskawin.1

Selanjutnya menurut Imam Ibnu al-Qasim mahar disebut juga dengan istilah

shadaq yang secara etimologi berarti sebutan suatu benda yang wajib

diberikan sebab adanya nikah. Kata shadaq dengan fathah dan dengan kasrah

(sidaq) diambil dari kata "sidqun" (kebenaran) untuk membenarkan cinta

suami terhadap calon istrinya. Shadaq (mahar) bisa juga diartikan penghormatan kepada istri.

Pengarang kitab al-‘Inaayah ‘Alaa Haamisyi al-Fathi mendefinisikan mahar sebagai harta yang harus dikeluarkan oeh seorang suami dalam akad pernikahan sebagai imbalan persetubuhan, baik dengan penentuan maupun dengan akad.2

Sedang sebagian mazhab mendefinisikannya sebagai berikut; Mazhab

Hanafi mendefinsikan sebagai suatu yang didapatkan oleh seorang

perempuan akibat akad pernikahan ataupun persetubuhan. Mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai suatu yang berikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya. Mazhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang diwajibkan, sebab pernikahan atau persetubuhan atau lewatnya

1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), 431.

2


(34)

19

kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan dan

mundurnya para saksi. Mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai

pengganti dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan didalam akad, atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak atau hakim. Atau pengganti dalam kondisi pernikahan, seperti persetubuhan yang memiliki syubhat, dan persetubuhan secara paksa.3

Pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.4 Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seseorang lelaki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.5

Sedangkan pengertian mahar dalam istilah adalah suatu pemberian yang disampaikan oleh pihak mempelai putra kepada mempelai putri disebabkan karena adanya ikatan perkawinan.6 Namun selain itu, ada yang

mendefinisikan mahar atau maskawin merupakan sesuatu yang wajib diberikan oleh calon suami kepada calon istri sebagai rasa ketulusan hati seorang suami untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang seorang istri kepada suaminnya.7

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah pemberian

3

Ibid.

4 Slamet Abidin,

Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), 105.

5

Ibid., 106.

6

Mushthafa Kamal, Fiqih Islam, (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), 263.

7


(35)

20

calon mempelai pria kepada calon mempelai perempuan baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dr. Hamuda dalam bukunya The Family Structure in Islam menyatakan bahwa mahar merupakan bentuk pembayaran yang bersifat simbolis. Simbol tanggung jawab dari pihak laki-laki untuk menjamin kesamaan hak dan kesejahteraan keluarga setelah perkawinan terwujud. Apabila diperhatikan, pengertian-pengertian mahar di atas maka dengan disimpulkan bahwa mahar adalah harta yang diberikan oleh suami kepada istri sebagai pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang sah dan merupakan tanda persetujuan serta kerelaan mereka untuk hidup sebagai suami istri.

B. Dasar Hukum Mahar

Perintah pembayaran mahar ini didasarkan atas firman Allah Swt., dalam surat An-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:

اًًيِرَم اًًئَِِ ُُوُُُكََ ا ًسْفَـن ُهِِْم ءْيَش ْنَع ْمُكَل َِْْط ْنِإََ

ۚ

ًةَُِِْ َنِِِاَقُدَص َءاَسِِلا اوُتآَو

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 4).8

Ayat ini berpesan kepada semua orang khususnya para suami, dan wali yang sering mengambil mahar perempuan yang berada pada perwaliannya. Berikanlah maskawin (mahar), yakni mahar kepada wanita-wanita yang kamu


(36)

21

nikahi baik mereka yatim maupun bukan, sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Lalu jika mereka yakni wanita-wanita yang kamu nikahi itu dengan senang hati, tanpa paksaan atau penipuan, menyerahkan untuk kamu sebagian darinya atau seluruh maskawin itu, maka makanlah, yakni ambil dan gunakanlah pemberian itu sebagai pemberian yang sedap, lezat tanpa mudharat lagi baik akibatnya.9

Alquran telah menunjukkan pokok dasar dalam ayat tersebut di atas adalah mahar disebut sebagai shadaqah dan tidak disebut mahar. Shadaqah berasal dari kata shadaq, mahar adalah shadaq atau shadaqah karena ia merupakan suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih pria. Menurut Ragih Isfahani dikitabnya "Mufrodat Garib Alquran" alasan

shadaqah ditulis shaduqah disini adalah karena ia merupakan tanda

keikhlasan rohani. Kedua kata ganti hunna (orang ketiga perempuan jamak) dalam ayat ini berarti mahar itu menjadi hak milik perempuan itu sendiri, bukan hak ayahnya atau ibunya. Mahar bukanlah upah atas pekerjaan membesarkan dan memelihara si anak perempuan. Ketiga, nihlatan (dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan) menjelaskan dengan sempurna bahwa mahar tidak mempunyai maksud lain kecuali sebagai pemberian hadiah.10

Perintah pembayaran mahar juga tercantum dalam Alquran surah an-Nisa' ayat 24 dan ayat 25, sebagai berikut:

9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 346.

10

Murtadha Muthahari, the rights of women in islam, diterjemahkan oleh M. Hashem dengan judul hak-hak perempuan dalam islam, 128.


(37)

22

Ayat 24 yang berbunyi:

َلِإ ِءاَسِِلا َنِم ُتاََِصْحُمْلاَو

ْمُكُناََْْأ ْتَكََُم اَم

ۖ

ْئََُع ِهَُلا َباَتِك

ْمُك

ۖ

َءاَرَو اَم ْمُكَل َلِحُأَو

َنِحَِاَسُم َرْـئَغ َنِِِصُُْ ْمُكِلاَوْمَأِب اوُغَـتْبَـت ْنَأ ْمُكِلَٰذ

ۖ

ْسا اَمََ

َنُوُتتََ َنُُْـِِم ِهِب ْمُتْعَـتْمَت

َنَُروُجُأ

اًمئِكَح اًمئَُِع َناَك َهَُلا َنِإ

ۖ

ِةََي ِرَفْلا ِدْعَـب ْنِم ِهِب ْمُتْئَضاَرَـت اَمئَِ ْمُكْئ ََُع َحاَُِج َلَو

ۖ

ًةََيِرََ

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.11

Ayat 25 yang berbunyi:

ََِصُُْ ِفوُرْعَمْلاِب َنَُروُجُأ َنُوُتآَو َنَُُِِْأ ِنْذِإِب َنُوُحِكْناََ

ِتاَذِخَتُم َلَو تاَحَِاَسُم َرْـئَغ تا

ناَدْخَأ

ۚ

َع اَم ُفْصِن َنُِْئََُعَـَ ةَشِحاَفِب َْنَـتَأ ْنِإََ َنِصْحُأ اَذِإََ

ِباَذَعْلا َنِم ِتاََِصْحُمْلا ىَُ

ۚ

مئِحَر روُف َغ ُهَُلاَو

ۚ

ْمُكَل رْـئَخ اوُِِْصَت ْنَأَو

ۚ

ْمُكِِْم َتََِعْلا َيِشَخ ْنَمِل َكِلَٰذ

Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak)

11


(38)

23

itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik

bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.12

Mengenai status hukum mahar, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Malik mahar merupakan hukum nikah. Sebagai konsekuensinya jika memakai sighat nikah, maka mahar harus disebut ketika akad nikah, jika tidak maka nikahnya tidak sah. Sedangkan selain Imam Malik dan ketiga Imam mazhab berpendapat bahwa mahar termasuk syarat sahnya nikah. Oleh karena itu tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya. Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa mahar bukanlah hukum dan syarat sahnya nikah, tetapi hanya merupakan konsekuensi logis yang harus dibayarkan dengan adanya akad nikah.13

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mahar diatur dalam beberapa pasal yaitu :

Pasal 30, menjelaskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31, menjelaskan bahwa penentuan mahar bedasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh Islam.

Pasal 32, menjelaskan bahwa mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33, menjelaskan bahwa penyerahan mahar dilakukan dengan

12

Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahannya, 121.

13


(39)

24

tunai. Apabila calon wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh

ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.14

C. Macam-macam Mahar

Masalah jenis barang yang dapat digunakan untuk mahar bisa berupa sesuatu yang dapat dimiliki dan diambil manfaatnya. Selain itu juga dapat dijadikan pengganti atau ditukarkan. Adapun untuk mengetahui macam-macamnya, ulama Fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.15

Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:16

a) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt.,

berfirman:

َطِِْق َنُاَدْحِإ ْمُتْئَـتآَو جْوَز َناَكَم جْوَز َلاَدْبِتْسا ُُُْدَرَأ ْنِإَو

اًًْئَش ُهِِْم اوُذُخْأَت ََََ اًرا

ۖ

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil

14

Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Nuansa Aulia, 2011), 9-10.

15

M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 185

16

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih nikah Lengkap, (Jakarta: Pt. Radja Grafindo Persada), 45-46


(40)

25

kembali dari padanya barang sedikitpun. (QS Al-Nisa [4] : 20) b) Salah satu dari suami istri meninggal demikianlah menurut ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi jika istri dicerai sebelum bercamur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah Swt.,:

َُل ْمُتْضَرَـَ ْدَقَو َنُوسَََ ْنَأ ِلْبَـق ْنِم َنُوُمُتْقََُط ْنِإَو

ْمُتْضَرَـَ اَم ُفْصََِِ ًةََيِرََ َن

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. (QS Al-Baqarah [2] : 237)

2. Mahar misil

Mahar misil adalah mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya perempuan saudara pengantin perempuan, bibinya dan sebagainya.17 Apabila tidak ada maka misil itu beralih

dengan acuan perempuan lain yang sederajat dengan dia. Dalam menetapkan jumlah mahar yang sepadan (mahar misil) hendaknya juga mempertimbangkan kedudukan seseorang dalam kehidupannya, status sosial, pihak-pihak yang menikah dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu negeri ke negeri yang lain.

17

Al-Hamdani. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam Terjemahan Agus Salim. (Jakarta, Pustaka Amani, 1989), 118.


(41)

26

Dalam hal ini hendaknya tidak dianalogikan bahwa mahar adalah harga yang harus dibayarkan untuk mendapatkan suatu ikatan perkawinan sebagai bentuk jual beli. Dalam perkawinan, Islam betul-betul memelihara hak istri atas suatu kedudukan ekonomi yang sesuai dengan kedudukan sosialnya sendiri. Mahar misil dapat terjadi apabila dalam keadaan sebagi berikut:18

a) Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri atau meninggal sebelum bercampur.

b) Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah

bercampur dengan istri, maka nikahnya tidak sah.

Dalam hal ini nikah tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya, maka nikahnya tersebut disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama diperbolehkan. Karena berdasarkan firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 236.

ُضِرْفَـت ْوَأ َنُوسَََ ََْ اَم َءاَسِِلا ُمُتْقََُط ْنِإ ْمُكْئََُع َحاَُِج َل

ًةََيِرََ َنَُل او

ۚ

َع َنُوُعِـتَمَو

ىَُ

ِفوُرْعَمْلاِب اًعاَتَم ُُُرَدَق ِِِْقُمْلا ىََُعَو ُُُرَدَق ِعِسوُمْلا

ۚ

َع اّقَح

ِِِسْحُمْلا ىَُ

َن

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan

hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada

mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi

18


(42)

27

orang-orang yang berbuat kebajikan.19

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istri sebelum digauli dan belum pula ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini maka istri berhak menerima mahar

misil. Selain itu ayat di atas tidak dimaksudkan dalam suatu pernikahan.

Suami diperbolehkan untuk tidak menyebut kesediaan suami memberi mahar pada istri saat ijab qabul. Bila seseorang menikah tanpa menetapkann jumlah mahar terlebih dahulu bahkan mensyaratkan tanpa adanya mahar tanpa sekali, maka ada orang yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut tidak sah.

D. Batasan Jumlah Mahar

Agama tidak menetapkan jumah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam member. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.20

19

Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahannya, 58.

20

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 82.


(43)

28

Oleh karena itu pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya, sesuai dengan sabda nabi:21

Dari Sahl bin Sa'ad, Sahl berkata: seorang perempuuan pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata: "Sungguh aku berikan diriku untukmu", maka perempuan itu tetap saja. berdiri. dalam waktu yang lama, maka seorang lelaki berkata, "kawinkan dia denganku jika engkau tidak tidak berminat kepada dia," maka Rasulullah berkata "adakah engkau memiliki sesuatu yang dapat disedekahkan kepadanya?" Lelaki itu pun menjawab, "Saya tidak punya sesuatu pun kecuali kainku ini", maka Rasulullah saw berkata,"jika kain itu kau berikan kepadanya, maka kamu akan duduk tanpa memakai kain. Maka carilah sesuatu yang lain". Lelaki itu berkata,"Saya tidak mendapatkan sesuatu pun", maka Rasulullah berkata "carilah walau sebuah cincin dari besi", tetapi lelaki itu juga tidak mendapatkan sesuatu pun. Lalu Rasulullah bertanya, "apakah engkau hafal surat dari Alquran", laki-laki itu menjawab, "ya saya hafal surat ini, surat ini", beberapa ayat disebutkannya. Maka Rasulullah saw berkata,"telah kunikahkan kamu dengan mahar surat Alquran yang engkau halal".

Para fuqaha sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk mahar, karena tidak disebutkan didalam syariat yang menunjukkan batasannya yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah Swt.,:

ََََ اًراَطِِْق َنُاَدْحِإ ْمُتْئَـتآَو جْوَز َناَكَم جْوَز َلاَدْبِتْسا ُُُْدَرَأ ْنِإَو

اًًْئَش ُهِِْم اوُذُخْأَت

ۖ

ُهَنوُذُخْأَتَأ

اًِئِبُم اًِْْإَو اًناَتُُْـب

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan

21


(44)

29

tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. (QS Al-Nisa : 20).22

Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat

tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak. Alasannya, karena beberapa teks Alquran menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan banyak. Sebagaimana firman Allah Swt.,:23

ًةَُِِْ َنِِِاَقُدَص ءاَسَِلا ْاوُتآَو

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’ (4): 4)

ِفوُرْعَمْلاِب َنَُروُجُأ َنُوُتآَو

Dan berilah mahar mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisa’ (4): 25)24

Di antara sunnah, hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah

bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah atas sepasang dua sandal. Rasulullah bertanya:

َُُزاَجَأََ ,مَعَـن : ْتَلاَقَـَ ؟ ِْنَُْعَـِِب ِكِلاَمَو ِكِسْفَـن ءْنَع ِتْئِظَر

Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan sepasang dua sandal ?

Wanita itu menjawab: “Ya aku rela” maka beliau memperbolehkannya.

(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi) Dari Jabir bahwa Rasulullah Saw bersabda :

ًل َََح ُهَل ْتَناَك اًماَعَط ِهْيَدَيَءْلِم اَقاَدَص َةَأَرْما ىَطْعَأ ََُجَر َنَأْوَل

22

Ibid., 234

23 Departemin Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, 77

24


(45)

30

Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita berbentuk makanan sepenuh dua tangannya, maka halal baginya. (HR. Ahmad)

Hadis di atas menunjukkan bahwa apa saja yang bernilai material walaupun sedikit, sah dijadikan mahar. Demikian pula hadis yang diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda kepada seseorang yang ingin menikah:

ْوَلَو ْرُظْنُأ

دْيِدَح ْنِم اَََاَخ

Lihatlah walaupun sebuah cincin dari besi. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Teks-teks hadis di atas menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar, tetapi segala sesuatu yang dinilai material patut menjadi mahar.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Karena

Abdurrahman bin ‘Auf menikah atas emas seberat biji kurma, yaitu

seperempat dinar dan ukuran itulah nishab pencurian menurut mereka. Artinya, harta seukuran itu mempunyai arti nilai dan kehormatan berdasarkan dipotong tangan pencurinya dan tidak dipotong di bawah ukuran itu, maka itulah batas ukuran minimal mahar.

Ibnu Syabramah berpendapat, uluran minimal mahar adalah 5 dirham, Said bin Jubair berpendapat bahwa minimal 50 dirham sedangkan An-Nukhai berpendapat 40 dirham. Ukuran tersebut didasarkan pada sebagian peristiwa


(46)

31

kejadian yang diperkirakan pada ukuran tersebut dan dianalogikan dengan nisab pencurian menurut masing-masing mereka.

Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku, yakni 25 Qursy. Dasar mereka adalah hadis yang diriwayatkan Jabir dari Nabi SAW bersabda :

ِمِاَرَد ِةَرْشَع ْنِم َلَقَأَرَُْمَل

Tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham.

Hal yang terpenting adalah bahwa mahar tersebut haruslah sesuatu yang bisa diambil manfaatnya, baik berupa uang atau sebentuk cincin yang sangat sederhana sekalipun, atau bahkan pengajaran tentang alquran dan lainnya, sepanjang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak khususnya istri.

E. Fungsi Mahar

Mahar adalah bagian penting pernikahan dalam Islam. Tanpa mahar, sebuah pernikahan tidak dapat dinyatakan telah dilaksanakan dengan benar. Mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan akad nikah. Dan merupakan hak mutlak seorang wanita untuk menentukan besarnya mahar. Apabila mahar sudah ditentukan bentuk dan besar kecilnya, maka barang itulah yang wajib dibayarkan. Tetapi bila tidak ada ketentuan sebelumnya, dan tidak disebutkan bentuknya diwaktu akad nikah, maka bagi suami


(47)

32

harus membayar yang sesuai dengan tingkatan status istrinya.25

Musthafa Al Maraghi menambahkan bahwa mahar juga berfungsi sebagai alat bukti atas kesungguhan atau kuatnya hubungan dan ikatan yang dijalani oleh kedua belah pihak.26 Mahar juga bukan untuk menghargai atau

menilai perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon istrinya. Sehingga dengan sukarela hati ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan pada istrinya, sebagai tanda cinta dan sebagai pendahuluan bahwa si suami akan terus menerus memberi nafkah kepada istrinya, sebagai suatu kewajiban suami terhadap istrinya.27

Muhammad Amin Al Khurdi berpendapat bahwa kewajiban

membayar mahar bagi suami kepada istrinya hakikatnya sebagai suatu penghormatan dan pemberian dari Allah agar tercipta cinta dan kasih sayang. Kewajiban membayar mahar dibebankan kepada suami karena suami lebih kuat dan lebih banyak bekerja dari pada istrinya.28

Para Imam mazhab (selain Imam Malik) sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar. Apabila terjadi percampuran, ditentukanlah mahar, dan jika kemudian kemudian si istri ditalak sebelum dicampuri maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus diberi mut'ah yaitu pemberian sukarela dari suami

25

Al Utsaimin, M. Shaleh dan A. Aziz, Pernikahan Islam Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti, 1992), 17

26

Ahmad Musthafa al Maraghi, Terjemah Tafsir Maraghi, (Semarang : Toha Putra, 1992), 330

27

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung , 1977), 82.

28


(48)

33

berdasarkan bentuk pakaian, cincin, dan sebagainya.29 Abdur Rahman

al-Jaziri mengatakan mahar berfungsi sebagai pengganti (muqabalah) istimta' dengan istrinya. Sedangkan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa mahar berfungsi sebagai imbalan jasa pelayanan seksual dan Abu Hasan Ali memposisikan mahar sebagai alat ganti yang wajib dimiliki perempuan karena adanya akad nikah.

Dengan demikian mahar yang menjadi hak istri itu dapat diartikan sebagai tanda bahwa suami sanggup untuk memikul kewajiban-kewajiban suami dalam hidup berumah tangga. Jadi salah jika diartikan bahwa pemberian mahar itu sebagai pembelian atau upah bagi istri yang telah menyerahkan dirinya pada suami.

F. Syarat-syarat Mahar

Sesuatu yang akan dijadikan mahar harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Harta berharga, memang sudah seharusnya mahar itu merupakan sesuatu

yang dianggap baik, sebagaimana menurut pemahaman yang yang tertera dalam surat al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:

َرْخَأ اََِِو ْمُتْبَسَك اَم ِتاَبِئَط ْنِم اوُقِفْنَأ اوَُِمآ َنيِذَلا اَُـيَأ اَي

ِ ْرَْْا َنِم ْمُكَل اَِْج

ۖ

وُمَمَئَـت َلَو

ا

ئَِ اوَُِمْغُـت ْنَأ َلِإ ِهيِذِختِب ْمُتْسَلَو َنوُقِفُِْـت ُهِِْم َثئِبَْْا

ِه

ۖ

َِح ٌَِِغ َهَُلا َنَأ اوُمَُْعاَو

دئ

Wahai orang- orang yang beriman, infakkanlah sebagian hartamu

29


(49)

34

yang baik-baik dan sebagian dari apa yang telah kami keluarkan dari bumi untukmu, janganlah kamu pilih yang buruk untuk kamu

keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya

melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah Allah maha kaya, maha terpuji.30

Tidak sah mahar dengan sesuatu yang tidak memiliki nilai harga, mahar itu harus berupa sesuatu yang boleh dimiliki dan dapat dijual. Artinya mahar itu harus bermanfaat.

2. Barang suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar berupa Khamr, babi, darah dan semacamnya, karena semua itu haram dan tidak bermanfaat.

3. Barang yang dijadikan mahar harus sesuatu yang diketahui, karena mahar adalah pengganti pada hak yang diberikan ganti. Kecuali dalam pernikahan tafwidh, yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad diam-diam ketika ditetapkan mahar di dalam akad. Menurut pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, yang bertentangan dengan pendapat Shafi’i dan Ahmad, tidak diwajibkan menyifati barang mahar. Jika diberikan mahar yang tidak sesuai dengan yang disifati, maka si perempuan memiliki hak untuk menengahi.31

4. Barang yang dijadikan mahar yaitu barang dengan kepemilikan yang sempurna, hal ini dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhili Bahwa mahar itu harus terhindar dari tipuan, maka tidak boleh mahar itu berupa hamba sahaya yang lari, unta yang sesat (yaitu unta yang tidak ada di depan mata), atau barang yang serupa dengan keduanya. kalimat ini juga mengandung makna bahwa tidak sah mahar yang bukan merupakan miliknya.32

30

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahannya, 45. 31

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 9…, 259.

32


(50)

35

BAB III

STANDARISASI MAHAR PERNIKAHAN GADIS DAN JANDA DI DESA GUA-GUA KECAMATAN RAAS KABUPATEN SUMENEP

A. Gambaran Umum Desa Gua-gua

1. Kondisi Geografis

Gua-gua adalah sebuah nama desa yang ada di pulau kecil yang bernama pulau Guwa-guwa dan berada tepat di antara gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura. Secara administratif, pulau-pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Di Pulau Guwa-guwa ini hanya ada satu desa yang terdiri dari dua dusun. Nama desa Gua-gua ini diambil mirip langsung dari nama pulaunya dan dusun didalamnya terdiri dari dusun Gua Utara dan dusun Gua Selatan. Penduduknya sebagian banyak merantau bekerja di Kalimantan, Jakarta, Bali, dan juga sebagai TKI di Luar Negeri seperti malaysia dan sebagainya.

Pulau Guwa-guwa ini berada tepat setelah Pulau Talango Aeng dari arah Sumenep. Luas wilayah Desa Gua-gua seluas 4,3 km2. Jarak Desa Gua-gua dengan Kabupaten Sumenep adalah sekitar 90 km. Dengan waktu tempuh ± 7 jam bila menggunakan tranportasi laut perahu lokal dari dermaga Kalianget. Jika menggunakan kapal Ferri (transportasi dinas perhubungan) butuh waktu ± 8 jam, hal ini diakibatkan masih transit ke perahu lokal di pulau Raas. Karena kapal Ferri hanya tersedia tujuan pulau


(51)

36

Raas, hal ini memakan waktu ± 5 jam dari dermaga Kalianget menuju pulau Raas dan ± 3 jam dari pulau Raas menuju pulau Guwa-guwa.

2. Batas Wilayah Desa Gua-gua adalah: a. Sebelah Utara : Selat Kamoddi b. Sebalah Selatan : Laut Bali

c. Sebelah Barat : Selat Talango Aeng d. Sebelah Timur : Selat Kangean

Desa Gua-gua terdiri dari dari 2 dusun yaitu; Dusun Gua Utara dan Gua Selatan.

3. Keadaan Penduduk a. Jumlah Penduduk

Berdasarkan data Desa Gua-gua tahun 2015 jumlah penduduknya 1.064 orang. Dengan rincian jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 447 orang dan perempuan berjumlah 617 orang jumlah penduduk tersebut terbagi menjadi 293 kepala keluarga.

b. Mata Pencaharian

Berdasarkan data Desa Gua-gua tahun 2015 mata pencaharian di Desa Gua-gua terbagi atas tiga macam mata pencaharian sebagai berikut:

1) Petani dan peternak sebanyak 43 orang. 2) Wiraswasta/pedagang sebanyak 27 orang. 3) Nelayan sebanyak 509 orang.


(52)

37

4) Sisanya 486 merantau (Kalimantan, Jakarta, Bali, dan juga sebagai TKI di Luar Negeri)

c. Pendidikan di Desa Gua-gua

Dalam memajukan tingkat SDM (Sumber Daya Manusia) Pendidikanlah yang merupakan suatu hal yang penting yang dapat berpengaruh dalam jangka panjang dan pada akhirnya peningkatan perekonomian ditempat tersebut. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya keterampilan, kewirausahaan dan lapangan kerja baru. Sehingga akan membantu program pemerintah dalam menuntaskan pengangguran dan kemiskinan. Karena Desa Gua-gua ini merupakan desa kepulaun untuk pendidikan disana masih sangatlah minim, yang ada hanyalah; 1 unit TK, 2 unit SD, 2 unit MI, 1 unit SMP cabang Raas, 1 unit MTs cabang Raas.

Rendahnya kualitas tingkat pendidikan di Desa Gua-gua, tidak terlepas dari terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada. Di samping itu tentu terkait masalah ekonomi dan padangan hidup masyarakat. Sarana pendidikan di Desa Gua-gua baru tersedia di tingkat pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP), sementara untuk pendidikan tingkat menengah ke atas berada di tempat yang relatif jauh hanya ada di pulau Raas dan Kabupaten Sumenep.


(53)

38

d. Agama

Di Desa Gua-gua terdapat bangunan ibadah di beberapa tempat, seperti masjid ataupun musolla kecil yang digunakan untuk perkumpulan ataupun acara-acara keagamaan.

e. Kelistrikan

Penerangan listrik di Desa Gua-gua ini belum menggunakan PLN, yakni masih menggunakan PLTD yang dikelola Swasta, yang hanya menyala selama 12 jam saja.

B. Praktek Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Pernikahan Gadis dan Janda Di Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep

1. Penyebab Terjadinya Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar

Desa Gua-gua ini sebagian besar penduduknya adalah penduduk yang dulunya berasal dari suku Bugis, karena akibat perselisihan atau permasalahan ditempatnya adapun karena sebagian mendapat jodoh pada saat perantauan sehingga memilih tinggal dan menetap di pulau Gua-gua. Hingga saat ini sudah menjadi penghuni tetap dan bersetatus berdomisili di Desa Gua-gua. Kebiasaan meninggikan mahar yang terjadi di Desa Gua-gua ini sudah berlangsung sejak dulu dan menjadi tradisi masyarakat yang terus dijalani sampai saat ini. Bagi masyarakat Desa Gua-gua mendapatkan mahar yang tinggi bagi anak perempuannya merupakan kebanggaan tersendiri yang dapat meninggikan martabat keluarga, dan sebaliknya jika anak dari sebuah keluarga mendapatkan mahar yang murah maka akan mendapat gunjingan atau pembicaraan yang tidak enak


(54)

39

dari tetangga. Dari itulah masyarakat berlomba-lomba meninggikan maharnya pada saat kedatangan lamaran dari keluarga laki-laki. Kebiasaan ini mendapat respon pula oleh pihak calon suami, meskipun awalnya tidak semua menyanggupi. Tapi lama kelamaan sambil berjalannya waktu demi egoisme dan hasrat untuk saling meninggikan martabat masing-masing tanpa memikirkan hak kebersamaan khususnya keluarga yang tidak mampu. Hal meninggikan mahar ini menjadi tradisi dan menyebutkan angka patokan untuk masing-masing status, status disini antara perempuan yang masih gadis dan prempuan yang sudah janda.

2. Praktek Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Penikahan Gadis dan Janda a. Prosesi Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar

Dalam prosesnya tradisi standarisasi penetapan mahar pernikahan gadis dan janda di desa Gua-gua ini, mempunyai rentetan acara yang berurutan, proses-prosesnya antara lain:

1) Prosesi kunjungan keluarga calon mempelai laki-laki

Seperti halnya banyak dijumpai mungkin ditempat lain ketika seorang laki-laki sudah siap menikah maka akan mencari pasangannya. Tidak terlepas dari pertemuan sendiri antara kedua calon atau perjodohan dari pihak keluarga, yang nantinya akan diteruskan ke proses kunjungan keluarga dari pihak laki-laki untuk membahas hari baik untuk dilakukan peminangan.

2) Prosesi peminangan


(55)

40

kunjungan keluarga sebelumnya. Dalam prosesi ini pihak keluarga datang dihari dan waktu yang sudah ditentukan bersama untuk membahas tindak lanjut keprosesi pernikahan. Inti dari prosesi peminangan ini adalah:

a) Bersedia atau tidaknya calon mempelai perempuan menjadi istri.

b) Mengetahui berapa jumlah mahar yang akan diminta oleh pihak mempelai perempuan pada saat pernikahan.

c) Tanggal dan hari baik untuk pernikahan.

Pada proses peminangan ini pihak keluarga perempuan mengundang kepala Desa untuk laporan sekaligus mewakili pihak keluarga perempuan dalam penyampaian poin-poinnya kepada pihak calon mempelai laki-laki.

3) Prosesi pernikahan

Setelah kesepakatan diprosesi peminangan sama-sama disetujui baik calon dari kedua mempelai maupun mahar yang akan diberikan pada saat pernikahan, maka akan terjadilah prosesi pernikahan. Prosesi pernikahan di desa Gua-gua ini sama dilakukan sesuai dengan aturan Islam, tapi disini ada unsur yang mungkin sedikit membedakan dari pernikahan-pernikahan ditempat lain. Ketika akad nikah dilakukan dan menyebutkan jumlah mahar, maka kepala desa yang akan memastikan jumlah sesuai dengan permintaan pada saat prosesi peminangan. Bukan


(56)

41

hanya itu saja, dalam hal jumlah mahar ini masyarakat juga berhak menegetahui dengan menyertakan surat pembelian dan diperlihatkan kemasyarakat yang hadir dalam pernikahan.

b. Jumlah Mahar dalam Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar

Sesuai data yang ditemukan dan terjadi dilapangan, serta melihat aturan dalam agama Islam mengenai mahar yang seharusnya tidak ada batasan minimal dan maksimal dalam pemberian terhadap calon istri apalagi sampai membuat bagian-bagian atau mengklasifikasikan. Selain itu seharusnya tidak ada paksaan dari pihak manapun karena mahar ini murni pemberian dari pihak suami sesuai dengan kehendak dan kemampuannya. Dalam hal ini antara kedua belah pihak harus dapat saling mengerti terhadap calon pengantinnya. Sikap saling mengerti dalam hal ini salah satunya adalah mengenai keadaan ekonomi calon pengantin laki-laki. Apabila terjadi paksaan maka akan memberatkan keluarga atau calon pengantin laki-laki. Jika hal ini terjadi maka akan mengakibatkan pada ketidakharomonisan kehidupan rumah tangga yang akan dijalani kedepan.

Namun sangatlah berbeda dengan keadaan yang terjadi di Desa Gua-gua ini, bukannya memberikan kemudahan meringankan untuk pemberian mahar seperti yang disunnahkan Rasulullah saw., supaya tercapai keberkahan pernikahan yang paling besar. Malah sebaliknya, bahkan diberi batasan dan mengklasifikasikan.


(57)

42

Dalam hal ini penulis mengambil beberapa sampel dari buku induk catatan pernikahan dan lampiran Model N7 dari KUA Raas yang digunakan masyarakat Desa Gua-gua untuk pemberitahuan nikah atau laporan terhadap KUA, diantaranya:

Tabel 1.1

Data sampel tradisi standarisasi penetapan mahar untuk perempuan yang bersetatus gadis

No Tahun Nama Calon Status

Istri Mahar

Suami Istri

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 2013 2013 2013 2014 2014 2015 2016 2016 Abd. Latif Mohtar Paisen Sulaiman M. Taufik M. Junaidi Ahmad Yani Surdiyanto Halilah Sariana Sarifatul H. Ernawati Yuliana Citra Sariyana Siti Maisyaroh Nurma Yanti Gadis Gadis Gadis Gadis Gadis Gadis Gadis Gadis 15 grm 10 grm 15 grm 15 grm 20 grm 10 grm 20 grm 15 grm

Dari data tabel diatas menunjukkan 8 pasangan yang menikah di desa Gua-gua kecamatan Raas yang berstatus gadis bagi calon istri rata-rata mendapatkan mahar sebesar 10 gram emas keatas.

Tabel 1.2

Data sampel tradisi standarisasi penetapan mahar untuk perempuan yang bersetatus janda

No Tahun Nama Calon Status

Istri Mahar

Suami Istri

1. 2. 3. 4. 2013 2013 2014 2016 Yahya Alwi Nur Khoiri Ach. Dani Iik Siyanti Masnawiyah Noer Sari Janda Janda Janda Janda 5 grm 5 grm 5 grm 5 grm

Dari data tabel diatas menunjukkan 4 pasangan yang menikah di desa Gua-gua kecamatan Raas yang berstatus janda bagi calon istri rata-rata


(58)

43

mendapatkan mahar sebesar kurang dari 10 gram emas.

Dapatlah kita ambil kesimpulan dari sampel-sampel diatas bahwa yang sangat berpengaruh dalam penentuan jumlah mahar di Desa Gua-gua ini adalah status calon istri, disini untuk status laki-laki tidak berpengaruh. Bahwasanya calon istri yang berstatus gadis rata-rata mendapatkan mahar 10 gram emas keatas, namun sebaliknya yang sudah berstatus janda hanya berkisar 5 gram emas.

Dalam tradisi standarisasi penetapan mahar ini penulis juga mengambil wawancara dari beberapa tokoh masyarakat dan penduduk di Desa Gua-gua yang berpendapat, diantaranya:

Pak. Sufuk (Mantan kepala Desa)1

Beliau memberikan penjelasan, Standarisasi mahar dalam pernikahan di desa Gua-gua ini sudah berjalan dari sebelum beliau menjabat jadi kepala desa. Jadi beliau menerima turunan tradisi dan tanggung jawab ini dari kepala desa sebelumnya. Pak. Sufuk sudah menjabat kepala desa selama dua pereode, pereode 1 tahun 2003-2008 dan pereode 2 tahun 2008-2013. Dalam hal pemutusan jumlah mahar kepala desa berperan penting didalamnya, karena calon mempelai perempuan yang akan menikah ketika nantinya akan menerima lamaran akan mengundang beliau untuk hadir didalamnya dan yang akan menyampaikan permintaan yang sudah sebelumnya dirembuk

1


(59)

44

dengan keluarga pihak perempuan terhadap pihak calon laki-laki termasuk jumlah mahar didalamnya.

Jika permintaan pihak perempuan yang disampaikan lewat kepala desa pada saat lamaran disetujui oleh pihak laki-laki maka terjadilah suatu pernikahan, dan sebaliknya jika pihak laki-laki merasa keberatan maka pernikahan akan gagal. Dan pihak laki-laki akan menanggung malu karena akan jadi bahan pembicaraan masyarakat setempat.

Fathorrahman (laki-laki yang sudah menikah)2

Berpendapat, standarisasi mahar untuk pernikahan ini sangat berpengaruh terhadap status sosial disini. Dulu pada saat menikah harus membayar mahar sebanyak 20 gram pada tahun 2002. Karena ingin menjaga martabat kluarga dan bisa memberikan mahar sesuai permintaan pihak istri, Fathorrahman dan keluarga memutuskan tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dan memilih ikut bekerja menjadi TKI ke Malaysia. Setelah 4 tahun kembali dan melangsungkan pernikahan.

Hamdani (laki-laki yang sudah menikah)3

Dia berpendapat, tidak setuju dengan standarisasi mahar ini. Karena setandarisasi mahar ini mengakibatkan Hamdani tidak bisa

2 Fathorrahman, Wawancara, Gua-gua, 22 Juli 2016. 3 Hamdani, Wawancara, Gua-gua, 22 Juli 2016


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

53

masih berstatus gadis (belum pernah menikah) maka mahar yang akan diterima tidak boleh kurang dari 10 gram emas atau senilai dengan ukuran tersebut. Sebaliknya jika yang akan dinikahi perempuan yang sudah berstatus janda (sudah pernah menikah), mahar yang akan diterima boleh dibawah 10 gram emas minimal 5 gram atau senilai dengan ukuran tersebut.

Hal yang terjadi di desa Gua-gua ini sangat tidak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw , bukan meringankan jumlah mahar dalam sebuah pernikahan untuk mendapatkan keberkahan malah menstandarkan dengan ukuran jumlah yang relatife tinggi. Standarisasi ini malah memberikan beban baru utuk calon mempelai laki-laki, yang nantinya bukan kerelaan atau keikhlasan yang tercapai tapi malah menjadi keterpaksaan. Dan bertentangan dengan firman Allah Swt., dalam surat An-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:

اًًيِرَم اًًئَِِ ُُوُُُكََ ا ًسْفَـن ُهِِْم ءْيَش ْنَع ْمُكَل َِْْط ْنِإََ

ۚ

ًةَُِِْ َنِِِاَقُدَص َءاَسِِلا اوُتآَو

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 4).

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mahar diatur dalam beberapa pasal yaitu :

Pasal 30, menjelaskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.


(2)

54

Pasal 31, menjelaskan bahwa penentuan mahar bedasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh Islam.

Seperti halnya pasal 30 diatas dalam KHI penentuan jumlah mahar di desa Gua-gua ini sudah menjadi kesepakatan kedua belah pihak, namun dalam kesepakatan ini tidak boleh dibawah dari kebiasaan yang ada. Jadi ketika menginjak pasal yang ke 31 semua menjadi bertentangan.

Ibnu Taimiyah berkata, “Mahar wanita boleh banyak jumlahnya, jika ia mampu dan hukumnya tidak makruh. Kecuali, jika disertai dengan hal-hal

atas syari’at lain yang bisa menjadikan hukumnya menjadi makruh, serperti diikuti dengan rasa kebanggaan dan kesombongan. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu untuk memenuhi jumlah yang besar tersebut, maka hukumnya makruh”.

Kesimpulannya, mahar yang paling baik adalah mahar yang ringan dan tidak memberatkan kedua belah pihak. Boleh meninggikan mahar dengan alasan bagi calon mempelai laki-laki karena ingin memberi hadiah terhadap calon pengantin perempuan serta diikuti dengan penuh keikhlasan bukan karena dorongan atau bahkan ingin menyombongkan diri.


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

49

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. Deskripsi tradisi standarisasi penetapan mahar dalam pernikahan gadis dan janda di masyarakat Desa Gua-gua Kecamatan Raas Kabupaten Sumenep adalah Jika seorang perempuan yang akan dinikahi masih berstatus gadis (belum pernah menikah) maka mahar yang akan diterima tidak boleh kurang dari 10 gram emas atau senilai dengan ukuran tersebut. Sebaliknya jika yang akan dinikahi perempuan yang sudah berstatus janda (sudah pernah menikah), mahar yang akan diterima boleh dibawah 10 gram emas minimal 5 gram atau senilai dengan ukuran tersebut.

2. Tradisi standarisasi penetapan mahar yang terjadi di desa Gua-gua ini sangat tidak sesuai dengan kajian hukum Islam, karena disini bukan mempermudah dan meringankan jumlah mahar dalam sebuah pernikahan untuk mendapatkan keberkahan malah menstandarkan dengan ukuran jumlah yang relatif tinggi. Tradisi standarisasi penetapan mahar ini malah memberikan beban baru utuk calon mempelai laki-laki, yang nantinya bukan kerelaan atau keikhlasan yang didapat tapi menjadi keterpaksaan. B. Saran

Untuk masyarakat khususnya di desa Gua-gua, bersedianya mengkaji ulang Standarisasi ini sudah sesuai belum dengan aturan agama Islam dan mempunyai dampak apa saja. Jika dapaknya lebih banyak modharotnya ketimbang manfaatnya, kebiasaan ini perlu dirubah dan perlu diketahui tidak


(4)

50

ada yang lebih sempurna dari aturan yang ada di Islam.

Dan untuk peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan tema yang sejenis diharapkan untuk meneliti dengan pembahasan lebih mendalam tentang standarisasi mahar dalam pernihakan.


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

57

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia,1999.

Hamdani, HAS. Risalah Nikah, Alih bahasa oleh Agus Salim. Jakarta: Anai, 1985. Utsaimin, M. Shaleh dan A. Aziz. Pernikahan Islam Dasar Hukum Hidup

Berumah Tangga. Surabaya : Risalah Gusti, 1992.

Amin, Muhammad Al Kurdi. Tanwir al- Qulub. Surabaya : Al Hidayah, 2009 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

--- Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Az-zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 9, Penerjemah Abdul hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Fathorrahman, Wawancara, Gua-gua, 22 Juli 2016.

Ghazali, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2006.

Hakim, Luqman. Analisis Hukum Islam Terhadap Kadar Mahar (Studi Kasus Bagi Pelaut Di Desa Sepuluh Kecamatan Sepuluh Kabupaten Bangkalan). Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum, 2014. Hamdani, Wawancara, Gua-gua, 22 Juli 2016.

Haza, Wawancara, Raas, 23 Juli 2016.

Ihsan, Muhammad. Studi Komparatif Pandangan Majelis Adat Aceh (MAA) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Terhadap Penetapan Emas Sebagai Mahar Pada Masyarakat Kota Langsa-Aceh. Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum, 2014.

Kamal, Mushthafa. Fiqih Islam. Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002. Kompilasi Hukum Islam. Bandung : Nuansa Aulia, 2011.

Moleong, Lexy J. Metodologi Peneitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya, 2009. Mugniyah, M. Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Semarang: Toha Putra, 1992.

Mujid, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fikih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.


(6)

58

Musthafa, Ahmad al Maraghi. Terjemah Tafsir Maraghi. Semarang : Toha Putra, 1992.

Musyafak, Wawancara, Gua-gua, 23 Juli 2016.

Muthahari, Murtadha. the rights of women in islam. Jakarta: Pustaka Amani, 2009.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Nurrohmah, Wawancara, Gua-gua, 22 Juli 2016.

Rusyd, Ibnu. Yatul Mujtahid wa Nihayatul Mujqtashid, Penerjemah Ghazali Said dan A. Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat; Kajian Fikih nikah Lengkap. Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2010.

Saiful Rijal, Wawancara, Gua-gua, 23 Juli 2016.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Silalahi, Ulber. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Anggota IKAPI, 2010. Satini, Wawancara, Gua-gua, 22 Juli 2016

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. 2007.

Subagyo, P. Joko. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Sufuk, Wawancara, Gua-gua, 22 Juli 2016.

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam. Petunjuk Teknis Penulisan skripsi. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: Hidakarya Agung, 1977

--- Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990.

Zainab, Siti. Analisis Hukum Islam Terhadap Penentuan Mahar Oleh Orang Tua Di Dusun Air Mata Desa Campor Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan. Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum, 2014.

Departemin Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Surya cipta aksara, 1993.