TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI MBAYAR TUKON DALAM PERNIKAHAN DI DESA GEJAGAN KECAMATAN PAKIS KABUPATEN MAGELANG.

(1)

SKRIPSI

Oleh

MUHAMMAD IKHWAN AMIN NIM : C01211043

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al-Syakhsiyah

Surabaya

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan , yang berjudul “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Tradisi Mbayar Tukon Dalam Pernikahan Di Desa

Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang)” guna menjawab

pertanyaan bagaimana Proses Pelaksanaan Pemberian Wajib Mbayar Tukon

dalam pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang? dan bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap Proses Pelaksanaan

Pemberian Wajib Mbayar Tukon dalam pernikahan di Desa Gejagan

Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang?

Penelitian ini menggunakan teknik penelitian deskriptrif analisis yaitu metode yang menggambarkan tentang penetapan jumlah pemberian wajib

mbayar tukon dalam perkawinan bagi masyarakat di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Analisis data yang dilakukan menggunakan pola pikir deduktif yaitu penulis terlebih dahulu menjelaskan teori tentang perkawinan dan mahar dalam Hukum Islam kemudian praktek

pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan di Desa Gejagan

Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

Hasil penelitian menyimpulkan mbayar tukon adalah pemberian wajib

calon mempelai laki-laki-kepada calon mempelai prempaun yang berbentuk

uang yang sudah menjadi tradisi masyarakat setempat. Ketentuan mbayar

tukon ini memang tidak ada kesepakatan secara lisan akan tetapi sudah menjadi tradisi yang harus terlaksana di dalam pernikahan. Dalam kitab fiqh atau pun kitab kuning memang tidak ada bab yang menjelaskan tentang

pemberian wajib selain Mahar. Status hukum tradisi mbayar tukon di Desa

Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang ini adalah sebagai ‘Urf

karena sudah menjadi kebiasaan turun menurun di masyarakat, tidak hanya di Desa Gejagan namun di beberapa desa lainnya yang masih kental adat istiadatnya.

Tradisi mbayar tukon merupakan adat-istiadat semata namun tidak ada

kewajiban dalam Islam untuk memberikan sebagai keharusan jika tetap ada maka di harapkan sesuai dengan keadaan keluarga calon mempelai laki-laki dan tidak berlebihan serta tidak memberatkan pihak laki-laki. Adat

kebiasaan atau ‘Urf sahih yang berlaku dan berkembang dimasyarakat di

harapkan dapat dipertahankan keberadaannya. Jika mbayar tukon ini

memberikan keridhoan dari semua pihak dan tidak mendatangkan beban

dari pihak laki-laki maka akan lebih baik lagi jika adat mbayar tukon ini


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8

C.Rumusan Masalah ... 8

D.Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G.Definisi Operasional ... 12

H.Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN, MAHAR, DAN ‘URF A.Pernikahan ... 19


(7)

2. Hukum Melaksanakan Pernikahan ... 22

3. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 26

4. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ... 31

B. Mahar (Mas Kawin) ... 33

1. Pengertian Mahar ... 33

2. Dasar Hukum Mahar ... 36

3. Syarat-Syarat Mahar ... 38

4. Macam-Macam Mahar ... 39

5. Hikmahnya Mahar ... 41

C.‘URF ... 43

1. Pengertian Al-‘Urf ... 43

2. Pembagian Al-‘Urf ... 44

3. Kedudukan Al-‘Urf Sebagai Dalil Syara’ ... 46

BAB III TRADISI MBAYAR TUKON DALAM PERNIKAHAN DI DESA GEJAGAN KECAMATAN PAKIS KABUPATEN MAGELANG A.Keadaan Wilayah Desa Gejagan ... 49

1. Letak Geografis ... 49

2. Keadaan Sosial ... 50

3. Kondisi Pendidikan ... 53

4. Kondisi Sosial Keagamaan ... 54

B. Proses Pelaksanaan Tradisi Mbayar tukon Di Desa Gejagan ... 55

1. Pengertian Mbayar tukon ... 56

2. Tujuan Mbayar tukon ... 58

3. Manfaat dan Kekurangan Mbayar tukon ... 59

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI MBAYAR TUKON DALAM PERNIKAHAN DI DESA GEJAGAN A.Analisis Terhadap Deskripsi Tradisi Mbayar tukon Di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang ... 61

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Mbayar tukon Dalam Pernikahan Di Desa Gejagan ... 65


(8)

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 70 B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang dirid}ai oleh Allah SWT. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan dilihat dari satu segi kehidupan manusia melainkan membawa ajaran kebenaran yang mengandung nilai-nilai

universal yang terdiri dari pada Akhlaq dan Aqidah yang dijadikan sebagai

panduan dan pedoman hidup sebagai manusia. Oleh sebab itu, sebagai

manusia wajib beriman kepada kitab Allah supaya bisa melaksanakan syariat

Islam sebagai pedoman dengan rasa takwa kepada Allah.

Salah satu dari segi aturan syariat Islam yang terdapat dalam al-Quran adalah tentang perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin diantara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga yang sah dengan melahirkan keturunan-keturunan yang sesuai dengan syariat Islam.

Bagi umat Islam, pernikahan adalah merupakan suatu perbuatan yang suci dan mulia sekaligus merupakan dinding yang kokoh untuk membentengi manusia dari dosa-dosa yang dilakukan karena dorongan hawa nafsu melalui pernikahan orang dapat menyalurkan biologisnya secara halal dan sah. Selain itu pernikahan sebagai sarana untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia.


(10)

Hukum perkawinan Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting. Oleh karena itu, aturan-aturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci, sebagaimana yang tercantum dalam Surat Az-Zariyat ayat 49 yang berbunyi:

َْقَلَخ ٍءْيَش ِلُك ْنِمَو

َنوُرَكَذَت ْمُكَلَعَل َِْْجْوَز ا

Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”.1

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranan yang positif dalam

mewujudkan tujuan perkawinan.2

Sebagaimana dipahami dari teks-teks ayat suci Al-Qur’an dan as

-sunnah (hadis Nabi), perkawinan juga dimaksudkan sebagai usaha menyelamatkan dan mengamankan alat-alat kelamin dari berbagai bentuk penyimpangan seksual yang pada gilirannya dapat merusak fungsi-fungsi reproduksi.

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat

kuat atau mitsa>qan ghal>iz}an untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah,

warah}mah.3

1

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Cahaya Qur’an, 2006),522.

2

Moh. Thalib, Fikih Sunnah 6 terjemahannya, (Bandung: Alma’arif, 1990), 9.

3


(11)

Demikian juga halnya dengan target yang ingin diraih dalam Undang-Undang perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.4

Perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum apabila sudah memenuhi syarat-syarat sah dan rukun pernikahan. Salah satu syarat sah

pernikahan adalah dengan adanya pemberian mahar atau maskawin kepada

calon mempelai perempuan.5 Menurut kesepakatan para ulama, mahar adalah

pemberian wajib bagi calon suami kepada calon isteri yang merupakan salah

satu syarat sahnya pernikahan.6

Mahar secara etimologiartinya maskawin. Secara terminologi, mahar

adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang

isteri kepada calon suaminya.7

Kata mahar ini berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa

Indonesia, akan tetapi di Indonesia ada juga yang memakai perkataan mas

kawin.8 Dalam Al-Qur’an kata mahar tidak digunakan, akan tetapi digunakan

kata s}aduqah.9

4

R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), 537-538.

5

Idris Lamulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 16.

6

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 101.

7

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka setia, 1999), cet ke-1, 105.

8

Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,1974), 77.

9


(12)

Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan berbagai macam nama,

yaitu: mahar, s}adaq, nih}lah, farid}ah, hibah, ujr, uqar, dan alaiq, tetapi ada

juga yang mengatakan dengan kata thaul.10 Keseluruhan kata tersebut

mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.

Dalam Kompilasi Hukum Islam mahar adalah pemberian dari calon

mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang

atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.11

Dari definisi mahar tersebut di atas jelaslah bahwa hukum takli>fi>

dari mahar itu adalah wajib, dengan arti seorang yang mengawini seorang

perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa suami

apabila tidak meyerahkan mahar kepada isterinya.

Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu telah ditetapkan dalam

Al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 4, yang berbunyi:

ْنَع ْمُكَل َِْْط ْنِإَف ًةَلِِْ َنِِِاَقُدَص َءاَسِلا اوُتآَو

اًئيِرَم اًئيَِ ُوُلُكَف اًسْفَ ن ُِْم ٍءْيَش

Artinya: “berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”12

Maksudnya berikanlah mahar kepada para isteri sebagai pemberian

wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Jika isteri setelah menerima

10

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-

Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), 84.

11

Kompilasi Hukum Islam,14.

12


(13)

maharnya tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan maharnya

sebagian kapadamu, maka terimalah dengan baik. Hal tersebut tidak

disalahkan atau dianggap dosa. Bila isteri memberikan maharnya karena

malu, takut atau terkicuh, maka tidak halal menerimanya.13

Begitu juga surat An-Nisa’ ayat 25 yang berbunyi :

ِفوُرْعَمْلاِب َنَُروُجُأ َنُوُتآَو َنِهِلَْأ ِنْذِإِب َنُوُحِكْناَف

Artinya: “karena itu kawinlah mereka wanita dengan seizin

keluarganya dan berikanlah kepada mereka maskawinnya”.14

Berdasarkan penjelasan di atas, maka mahar adalah harta yang

diberikan oleh suami kepada istrinya sebagai pemberian wajib dalam suatu ikatan perkawinan yang sah merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami isteri.

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar. Ini berarti bahwa mahar adalah hak milik si wanita itu sendiri, bukan milik ayah atau saudara lelakinya dan merupakan pemberian

dari pria kepada wanita dengan dasar kerelaan dan keikhlasan.15

Pemberian mahar ini wajib hukumnya atas laki-laki, akan tetapi tidak

menjadi rukun nikah dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad,

pernikahan itupun sah. Banyaknya maskawin tidak dibatasi oleh syari’at

Islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhoan isteri. Sungguhpun demikian, suami hendaknya benar-benar sanggup membayarnya

13

Sayyid Sabiq, Fikih sunnah 7, (Bandung: Al-Ma’Arif, 1990), 52-53.

14

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, 121.

15


(14)

karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi hutang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya hutang kepada orang lain.16

Berdasarkan teori mahar di atas, dalam praktiknya mengenai mahar

ini, tidak mustahil terdapat suatu hal yang berlebihan, seperti masih adanya

kewajiban pemberian mbayar tukon dalam suatu pernikahan oleh calon suami

kepada calon isteri.

Mbayar tukon merupakan pemberian wajib seorang laki-laki kepada

perempuan yang akan dinikahinya selain dari mahar yang telah ditetapkan

dalam bentuk uang dan dilakukan jauh-jauh hari sebelum akad pernikahan dilangsungkan.

Ketika Hukum Islam dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda sering kali wujud yang ditampilkan tidak selalu sama dan seragam dengan pranata-pranata Islam. Seringkali disesuaikan dengan hukum-hukum adat yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan dengan berbagai ciri khasnya. Sebagaimana yang terjadi di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang terdapat tradisi yang sampai saat ini tetap berlangsung dan dilaksanakan dalam pelaksanaan pernikahan, yaitu ketika seorang laki-laki dan perempuan ingan

melaksanakan sebuah pernikahan, maka si calon pria diwajibkan mbayar

tukon kepada calon perempuan yang pemberiannya tersebut dilaksanakan sebelum akad nikah atau dilaksanakan jauh-jauh hari sebelum acara

16


(15)

pernikahan dilangsungkan, dengan ketentuan yaitu jumlah pemberian mbayar tukon harus sebesar mungkin yang disanggupi oleh si calon pria.

Apabila ada kemungkinan pihak laki-laki tidak bisa memenuhi

kewajiban mbayar tukon tersebut atau mungkin si calon pria sanggup

memenuhi mbayar tukon namun jumlahnya sedikit dan tidak sesuai dengan

ketentuan yang telah berlaku ada tradisi tersebut maka si calon pria dianggap tidak bisa menghargai calon isteri serta keluarga si calon isteri, karena di masyararat setempat menganggap perempuan adalah suatu hal yang sangat berharga dan dijunjung tinggi keberadaannya. Di samping itu pula calon laki-laki dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan ada kemungkinan akan mempermalukan pihak perempuan, tradisi tersebut berlaku bagi semua kalangan baik itu orang kaya maupun orang tidak mampu (miskin).

Adapun pemberian tersebut bersifat wajib apabila tidak terpenuhi maka akan menghambat pernikahan tersebut. Oleh karena itu muncul inti permasalahan yang menarik untuk ditinjau lebih jauh dan dikaji dalam bentuk

skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Mbayar tukon

Dalam Pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Diskripsi pemberian wajib calon suami kepada calon isteri.


(16)

3. Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan.

4. Apa saja dampak dari tidak terlaksananya pemberian wajib mbayar tukon.

5. Pandangan masyarakat dan tokoh masyarakat di Desa Gejagan Kecamatan

Pakis Kabupaten Magelang.

6. Pendapat para tokoh ulama’ di masyarakat di Desa Gejagan Kecamatan

Pakis Kabupaten Magelang.

7. Akibat hukum dari pemberian mbayar tukon di Desa Gejagan Kecamatan

Pakis Kabupaten Magelang.

8. Tinjauan Hukum Islam terhadap tradisi mbayar tukon dalam pernikahan.

Dari identifikasi masalah tersebut, maka penulis membatasi masalah dalam beberapa aspek yaitu :

1. Proses terjadinya tradisi mbayar tukon dalam pernikahan di Desa Gejagan

Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

2. Tinjauan Hukum Islam terhadap tradisi mbayar tukon dalam pernikahan di

Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan dalam batasan masalah di atas, maka yang dapat dijadikan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pelaksanaan Tradisi Mbayar tukon dalam pernikahan di Desa


(17)

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Tradisi Mbayar tukon dalam pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi singkat tentang kajian atau penelitian yang pernah sudah dilakukan diseputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan

atau duplikasi dari kajian atau penelitian tersebut.17

Sebelumnya masalah kewajiban pemberian dalam perkawinan telah

banyak yang membahas diantaranya membahas tentang mahar, akan tetapi

masalah kewajiban pemberian mbayar tukon dari calon suami kepada calon

isteri yang praktek pelaksanaannya sebelum akad nikah belum ada yang pernah mengangkat masalah ini dan penelitian ini adalah yang pertama kali dikupas dan dibahas.

Adapun pembahasan tentang kewajiban pemberian dalam perkawinan sebagaimana yang telah dibahas oleh para mahasiswa adalah :

1. Skripsi Atiqah yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi

Pemeberian Dalam Pernikahan Ngelangkahi di Desa Sumbangan

Kecamatan Bumi Jawa Kabupaten Tegal” disini dijelaskan tentang kewajiban suami untuk memberikan barang atau uang sebagai syarat

selain dari mahar untuk menikah dengan isterinya yang masih mempunyai

kakak perempuan untuk memenuhi tradisi pemberian barang atau uang

17Fakultas Syari’ah,


(18)

tersebut dalam perkawinan ngelangkahi (seorang adik perempuan yang

ngelangkahi kakaknya untuk menikah).18

2. Skripsi Silfi Listiani yang berjudul “Tinjauan hukum Islam mengenai tradisi pemberian almari oleh suami kepada isteri dalam pernikahan (Studi Kasus di Desa Buko Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Jawa Tengah)” di sini dijelakan tentang kesepakatan anatara pihak laki-laki dan

pihak perempuan mengenai pemberian wajib selain mahar yang sudah

menjadi tradisi di desa buko kecamatan wedung kabupaten demak jawa tengah, yakni sebuah almari yang diberikan suami kepada isteri sebagai tradisi pemberian wajib almari oleh suami kepada isteri dalam

pernikahan.19

3. Skripsi Huzairi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Kewajiban Pemberian Bereget Dalam Pernikahan (Studi Kasus di Desa

Pacentan Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan)”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan pemberian wajib sejumlah uang yang disebut dengan

bereget oleh seorang laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya yang dilakukan sebelum akad atau jauh-jauh hari sebelum akad nikah

dilangsungkan.20

18Atiqah, “

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemeberian Dalam Pernikahan Ngelangkahi di Desa Sumbangan Kecamatan Bumi Jawa Kabupaten Tegal” (Skripsi Tidak Diterbitkan UIN Sunan Kali Jaga, 2008).

19

Silfi Listiani “Tinjauan hukum Islam mengenai tradisi pemberian almari oleh suami kepada isteri dalam pernikahan (Studi Kasus di Desa Buko Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Jawa Tengah” (Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007).

20

Huzairi,“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewajiban Pemberian Bereget Dalam Pernikahan (Studi Kasus di Desa Pacentan Kecamatan Tanah Merah Kabupaten Bangkalan)” (Skripsi-UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015).


(19)

4. Skripsi Athiyah yang berjudul “Tradisi Penyerahan Perabot Rumah Tangga dalam Perkawinan (Studi Kasus di Desa Karduluk Kec. Pragaan Kab. Sumenep Madura)”. Skripsi ini berisi tentang tradisi wajib memberikan perabot rumah tangga seperti satu set kursi, kasur, bantal guling, seprei, alat-alat kecantikan beserta lemari hiasnya, dan lain-lain. Pemberian ini diberikan secara wajib oleh pihak laki-laki untuk pihak

perempuan dan mahar atau pemberian ini diluar dari mahar yang

disebutkan secara langsung saat akad nikah berlangsung.21

Secara singkat, bahwa dari semua pembahasan tentang kewajiban pemberian di atas, semuanya adalah hasil penelitian yang berdasarkan kasus di suatu daerah. Sedangakan bahasan yang akan dibahas disini lebih

ditekankan pada suatu kasus mengenai kewajiban pemberian mbayar tukon

oleh calon suami kepada calon isteri sebelum pernikahan dilaksanakan yang terjadi di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Serta Tinjauan Hukum Islam terhadap masalah tersebut dan masalah tersebut terangkum dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Mbayar tukon Dalam Pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten

Magelang”.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut :

21

Athiyah, “Tradisi Penyerahan Perabot Rumah Tangga dalam Perkawinan (Studi Kasus di Desa

Karduluk Kec. Pragaan Kab. Sumenep Madura)” (Skripsi-UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015).


(20)

1. Untuk mengetahui kewajiban pelaksanaan tradisi mbayar tukon dalam

pernikahan diDesa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

2. Untuk mengetahui Analisis Hukum Islam terhadap tradisi mbayar tukon

dalam pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna dalam dua aspek:

1. Aspek keilmuan (teoritis)

Dari hasil penelitian ini, di harapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan memperkaya wawasan keilmuan. Khususnya bagi mahasiswa UIN Sunan Ampel bidang Ahwal Al-Syakhsiyyah yang

berkaitan dengan masalah mbayar tukon dalam pernikahan di Kabupaten

Magelang.

2. Secara terapan (praktis)

Penelitian ini kiranya dapat berguna bagi penerapan suatu ilmu pengetahuan.

G. Definisi Operasional

Berdasarkan judul skripsi yang telah di angkat oleh penulis yaitu “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Wajib Mbayar tukon Dalam

Pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang” maka

dapat diberikan suatu pendefinisian yang lebih terperinci jelas guna menghindari kerancuan, sehingga spesifikasi masalah akan tampak jelas.


(21)

1. Hukum Islam, adalah Hukum Islam tentang perkawinan khususnya yang

berkaitan dengan mahar yang akan mengacu pada Al-Qur’an, al-Hadis,

maupun beruapa hukum yang ditetapkan dengan jalan al-Ijma’ dan al

-Ra<’yu (Ijtihad).

2. Tradisi mbayar tukon, adalah pemberian wajib yang berupa uang dari

pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan proses pemberiannya paling tidak satu minggu sebelum terjadinya perkawinan, dan jumlah uang yang diberikan minimal berkisar antara 3 juta rupiah sampai lebih sesuai dengan tradisi yang sudah berlaku di desa tersebut.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat lapangan, yaitu di Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, oleh karena itu, supaya peneliti dapat menyusun dengan benar maka penulis menggunakan metode penulisan yaitu:

1. Data yang dikumpulkan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan data dalam bentuk informasi, komentar pendapat atau kalimat. Data tersebut berupa informasi berupa proses dan

faktor-faktor apa yang melatar belakangi terjadinya pemberian wajib mbayar

tukon dalam pernikahan, pendapat masyarakat dan tokoh masyarakat Desa

Gejagan mengenai pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan tersebut.


(22)

Penelitian ini bersifat lapangan, maka untuk mendapatkan data yang konkrit dalam penelitian ini dibutuhkan sumber data. Berdasarkan data di atas perlu data-data sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya,

diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.22 Dengan kata lain, data lain

diambil oleh peneliti secara langsung dari objek penelitiannya, tanpa diperantarai oleh pihak ketiga, keempat dan seterusnya. Dalam penelitian ini data diperoleh langsung dari lapangan yaitu berupa hasil wawancara

tentang bagaimana tradisi pemberian wajib mbayar tukon dalam

pernikahan di Desa Gejagan, Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Adapun data primer dalam penelitian ini diperoleh dari sumber individu atau perseorangan yang memiliki pengetahuan dalam permasalahan yang diteliti, seperti dari tokoh agama ataupun tokoh masyarakat setempat.

b. Sumber Data Sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen

resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku

harian dan seterusnya.23 Adapun data ini diperoleh dari sumber tidak

langsung, seperti buku-buku kepustakaan yang masih besangkutan dengan pembahasan dalam penelitian ini yang diantaranya :

1. Abd. Rahman Dahlan, Usul Fiqh,

2. Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia

3. Idris Lamulyo, Hukum Perkawinan Islam

4. Kitab Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974

22

Umar Husein, Metode Riset Komunikasi Organisasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), 56.

23


(23)

5. Kompilasi Hukum Islam

6. Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam

7. Sayyid Sabiq, Fiqqih Sunnah

8. Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I

9. Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, J.9,

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik :

a. Dokumentasi, yaitu merupakan metode untuk memperoleh data-data

dan buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian diantaranya meliputi arsip jumlah penduduk, pekerjaan, agama, ekonomi, dan pendidikan penduduk, dan catatan lapangan atau hasil

wawancara yang nantinya akan diolah menjadi analisis data.24

b. Interview, yaitu melakukan wawancara dan tanya jawab dalam

penelitian yang berlangsung secara lisan dimana terdapat dua orang atau lebih untuk bertatap muka mendengarkan secara langsung

informasi-informasi atau keterangan-keterangan.25

4. Teknik Pengolaan Data

Setelah terkumpul, maka penulis mengadakan analisis data, dalam hal ini tahapan-tahapan yang akan ditempuh adalah sebagai berikut:

24

Irawan Soehartono , Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 70.

25


(24)

a. Editing adalah pemeriksaan kembali terhadap data-data yang

diperoleh.26 Tentang pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan

di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang yang telah diperoleh dalam kejelasan untuk penelitian.

b. Organizing adalah menyusun secara sitematis data yang diperoleh

tentang pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan di Desa

Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang dalam kerangka paparan yang telah di rencanakan sebelumnya untuk memperoleh bukti-bukti dan gambaran secara jelas tentang permasalahan yang diteliti.

5. Teknik Analisis Data

Setelah data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya menganalisis data tersebut menggunakan metode deskriptif, yaitu

menggambarkan tentang penetapan jumlah pemberian wajib mbayar

tukon dalam perkawinan bagi masyarakat di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, ialah apabila seorang laki-laki ingin menikahi

seorang perempuan maka dia wajib memberikan mbayar tukon yang telah

ditetapkan oleh masyarakat desa Gejagan. Penelitian ini dalam analisisnya juga menggunakan metode deduktif yaitu cara analisis yang digunakan dalam sebuah penelitian disaat penelitian berangkat dari sebuah teori yang kemudian dibuktikan dengan pencarian fakta.

26


(25)

Dalam analisis data yang dilakukan, pola pikir deduktif yaitu bahwa penulis terlebih dahulu menjelaskan teori tentang perkawinan dan

mahar dalam Hukum Islam, bagaimana praktek dan kebiasaan yang diajarkan oleh Rasulullah. Kemudian setelah itu baru penulis

menganalisis praktek pemberian wajib mbayar tukon dalam pernikahan di

Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, apakah ada kesesuaian dan titik temu dengan landasan teori dan praktek pemberian wajib dalam Hukum Islam dan yang dilakukan oleh Rasulullah.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan saling mendukung dan melengkapi.

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan berisi latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, identifikasi masalah, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, berisi landasan teori yang tentang perkawinan meliputi : pengertian perkawinan, hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan,

tujuan perkawinan, tentang mahar (maskawin) dan juga tentang Ur’f.

Bab ketiga, merupakan uraian tentang data laporan hasil penelitian yang meliputi: profil keadaan Desa Gejagan berupa letak geografis, keadaan sosial, keadaan ekonomi, kondisi pendidikan dan Agama, dan proses


(26)

Bab keempat, merupakan bab yang menganalisis lebih mendalam

mengenai Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Wajib Mbayar tukon

Dalam Pernikahan di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang,

Yaitu Analisis Terhadap Deskripsi Pemberian Wajib Mbayar tukon Dalam

Pernikahan dan Analisis Terhadap Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Pemberian Wajib Mbayar tukon Dalam Pernikahan.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TANTANG PERNIKAHAN, MAHAR, DAN ‘URF

DALAM ISLAM

A. PERNIKAHAN

1. Pengertian Pernikahan

Perkawinan menurut bahasa (az-zawaj) diartikan pasangan atau

jodoh. sedangkan menurut syara’, fuqaha’telah banyak memberikan definisi. Secara umum di artikan akad zawaj adalah pemilikan sesuatu melalui jalan yang disyari’atkan dalam agama. Sebagai mana kata zawaj

diucapkan pada akad atau transaksi, menurut fuqoha’ kata nikah juga

banyak diucapkan dalam akad. Menurut bahasa nikah diartikan adh-dham

(berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtilah (bercampur).

Para ulama merinci makna lafadz nikah ada empat macam.

1. Nikah diartikan akad dalam arti yang sebenarnya dan diartikan

percampuran suami istri;

2. Nikah di artikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan

akad;

3. Nikah dalam lafadz (mempunyai dua makna yang sama);

4. Nikah di artikan ad-dham meliputi gabungan fisik yang satu dengan

fisik yang lain dan gabungan ucapan satu dengan ucapan lain; yang pertama gabungan dalam bersenggama yang kedua gabungan dalam akad.


(28)

Sedangkan para ahli fikih lainnya berbeda pendapat dalam hal makna hakiki nikah:

1. Ada yang berpendapat bahwa makna hakikinya adalah akad dan

makna kiasannya (majaz) adalah bersetubuh. 1 Para fukaha

mengatakan, ketika makna kiasan lebih diutamakan atas makna sinonim, maka hal ini menunjukkan bahwa makna kiasannya adalah bersetubuh. Oleh karena itu, makna hakiki nikah dalam syariat adalah akad dan makna kiasannya adalah bersetubuh.

2. Sebagian berpendapat bahwa makna hakiki nikah adalah akad dan

persetubuhan, karena ia digunakan dalam kedua makna ini. Kami sangkal bahwa ia lebih umum dari pada kedua makna ini.

3. Sebagian lain berpendapat bahwa makna kiasannya adalah akad dan

makna hakikinya adalah persetubuhan, karena keduanya diambil dari makna “memeluk dan bercampur”.2

Sumber hukum pernikahan dalam Islam adalah al-Quran dan Sunnah Rasul. Dalam al Quran banyak sekali ayat-ayatnya, seperti dalam surat an Nisa ayat 1:

اَهَجْوَزَاَهْ نِمََقَلَخَو...

َ

اَمُهْ نِمََثَبَو

َ

اَجِر

اسنلا(..ًءآسِنَوَاًرْ يِثَكَ ًً

َ:َء

۱

)

َ

Artinya: “…Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”(QS. An Nisa: 1)3

1

Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab III, 300 2

Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, 302 3


(29)

Rasulullah saw juga menegaskan: “nikah adalah termasuk sebagian dari sunnahku. Maka barang siapa yang tidak senang (benci) terhadap sunnahku, ia bukanlah dari umatku.”(HR. Ibnu Majah dari Aisyah ra.)

Dalam sebuah hadits riwayat al Baihaqi Rasulullah saw

menyatakan: “apabila seseorang telah melaksanakan perkawinan, berarti ia

telah menyempurnakan separuh dari agamanya (karena telah sanggup menjaga kehormatannya), oleh karena itu berhati-hatilah kepada Allah

dalam mencapai kesempurnaan pada paruh yang masih tertinggal”.4

Oleh karena itu dapat disimpulkan pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan ulama’ seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman dalam rumah tangga.

Pernikahan adalah pintu gerbang yang sakral yang harus dimasuki oleh setiap insan untuk membentuk sebuah lembaga yang bernama keluarga. Perhatian islam terhadap keluarga begitu besar, karena keluarga merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih luas. Keluarga adalah pemberi warna dalam setiap masyarakat. Baik tidaknya sebuah masyarakat tergantung pada masing-masing keluarga yang terdapat dalam masyarakat tersebut.

4


(30)

Pernikahan merupkan sunnahtullah yang umum dan berlaku semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT. Sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam newujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungn antara jantan dan betina secara anergik atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.

2. Hukum Melaksanakan Pernikahan

Nikah ditinjau dari segi syar’i ada lima macam. Terkadang hukum nikah itu bisa wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah atau hukumnya hanya boleh menurut syariat. Dijelaskan sebagai berikut:

1. Wajib, bagi orang yang takut akan terjerumus ke dalam lembah

perzinaan jika ia tidak menikah. Karena, dalam kondisi semacam ini, nikah akan membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan. Dalam masalah seperti ini Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “jika seseorang membutuhkan nikah, dan takut berbuat zina jika tidak melaksanakannya maka ia wajib menikah dari pada melaksanakan kewajiban ibadah haji. “Para Ulama berkata: dalam kondisi seperti ini tidak dibedakan hukumnya bagi orang yang mampu memberikan


(31)

nafkah dan yang belum mampu untuk menafkahi.”Syekh taqiyyuyuddin berkata: “apa yang dikatakan kebanyakan para Ulama adalah jelas dan benar. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak disyaratkan bagi orang tersebut untuk mampu memberi nafkah, karena Allah menjanjikan bagi orang yang mau melaksanakan nikah akan

menjadi kaya.5 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an Nur

ayat 32:

اْوُحِكْناَو

َ

ََصلاَوَْمُكْنِمَىماَيًَا

َْمُكِءآمِإَوَْمُكِداَبِعَْنِمََْيِحِل

َ

َُهاَُمِهِنْغُ يََءآرَقُ فَاْوُ نْوُكَيَْنِإ

ٌَمْيِلَعٌَعِساَوَُهاَوَهِلْضَفَْنِم

:رونلا(

)

Artinya: “Dan nikahlah orang-orang sendiriran di antara kamu,

dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.Jika mereka miskin Allah akan memampukan

mereka dengan karuniaNya, dan Allah maha luas

(pemberianNya) lagi maha mengetahui.” (QS. An Nur: 32)6َ

2. Sunnah, ketika seorang laki-laki telah memiliki syahwat (nafsu

bersetubuh), sedangkan ia tidak takut terjerumus ke dalam zina. Jika ia menikah, justru akan membawa maslahat serta kebaikan yang banyak, baik bagi laki-laki tersebut maupun wanita yang dinikahinya.

3. Mubah atau dibolehkan, bagi orang yang syahwatnya tidak bergejolak,

tapi ia punya kemauan serta kecenderungan untuk menikah. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk nikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan nikah, seperti mempunyai

5

Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 640 6


(32)

keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.

4. Haram, bagi seorang muslim yang berada di daerah orang kafir yang

sedang memeranginya. Karena hal itu bisa membahayakan anak

keturunannya. Selain itu pula orang-orang kafir itu bisa

mengalahkannya dan menjadikannya di bawah kendali mereka.7

Namun Syafii mengatakan bahwa bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah haram. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195:

ًَََو...

َ

اْوُقْلُ ت

َ

:ةرقبلا(َ...ِةَكُلْهَ تلاَ َلِإَْمُكْيِدْيَاِب

٢١

)

Artinya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri

ke dalam kebinasaan…” (QS. Al-Baqarah: 195)

Termasuk juga hukumnya haram pernikahan bila seseorang nikah dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, termasuk pada orang gila, yang tidak pernah mengurusi antar orang lain (suami atau istrinya), masalah wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar

wanita itu tidak dapat nikah dengan orang lain.8

7

Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, 641 8


(33)

5. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak nikah, hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan

yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.9

Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Malik bin Anas hakikat pernikahan itu pada awalnya memang dianggap sebagai perbuatan yang dianjurkan. Namun bagi beberapa pribadi tertentu, pernikahan itu dapat menjadi kewajiban. Walaupun demikian, Imam Syafii beranggapan bahwa menikah itu mubah atau diperbolehkan.

Keluar dari pertimbangan perintah al-Quran dan Hadits Nabi saw adalah pernikahan itu diwajibkan bagi seorang lelaki yang memiliki

kekayaan yang cukup untuk membayar mahar, memberi nafkah kepada

istri dan anak-anak, sehat jasmani dan khawatir kalau tidak menikah itu justru akan menimbulkan perbuatan zina. Pernikahan juga diwajibkan bagi orang perempuan yang tidak memiliki kekayaan apa pun untuk membiayai hidupnya, dan dikhawatirkan kebutuhan seksnya akan menjerumuskan ke dalam perzinaan. Namun nikah itu sifatnya mubah dan sunnah bagi orang yang mempunyai dorongan seksual yang kuat. Maka dengan pernikahan tidak akan terjerumus ke dalam bujukan setan. Sebaliknya, berkeinginan

9


(34)

untuk menikah itu tidak akan menjauhkannya dari mengabdi kepada Allah

SWT.10

3. Rukun dan Syarat Pernikahan

Mengenai rukun akad nikah ada beberapa hal, yaitu:

1. Adanya calon mempelai wanita dan mempelai pria yang tidak

memiliki hambatan untuk mengadakan akad nikah yang sah. Misalnya, calon mempelai wanita yang dinikahi bukanlah wanita yang

haram untuk dinikahi bagi calon mempelai pria.11

2. Adanya wali, yaitu orang yang akan menikahkan perempuan, dari

keluarga (laki-laki) yang terdekat. Apabila tidak ada, maka qadhi

bertindak sebagai wali, kalau wali tidak ada pernikahan tidak sah.

Wali yang dapat memberikan haknya dalam pernikahan yang dalam kehendaknya apabila dia (perempuan) masih kecil, tetapi manakala sudah (dewasa) dia punya hak penarikan kembali. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa dia (istri) tidak punya hak apabila ayahnya adalah orang yang telah memberinya hak dalam pernikahan. Aturan-aturan serupa itu, berlaku pula apabila pengantin laki-laki yang masih kecil dinikahkan oleh wali, begitu pula dengan budak perempuan yang tuannya telah menikahkannya, kemudian bertentangan dengan kehendak (perempuan), punya hak menolak apabila dia sudah merdeka. Seorang perempuan

10

Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 155

11


(35)

merdeka yang bertanggung jawab penuh, boleh menikahkan dirinya

sendiri tetapi walinya berhak menolak apabila suaminya tidak sekufu.12

Adapun hukum perwalian terhadap orang gila itu persis dengan anak kecil, dan di kalangan ulama mazhab terdapat kesamaan pendapat dalam hal ini, baik orang tersebut gila sejak kecil maupun sesudah baligh dan mengerti.Berbeda dari pendapat di atas, adalah pendapat segolongan mazhab Imamiyah, yang disebutkan dalam ini membedakan antara orang-orang gila sejak kecil dengan orang-orang-orang-orang yang gila sesudah mereka menginjak dewasa dan mengerti. Para ulama mazhab Imamiyah ini mengatakan: perwalian ayah dan kakek berlaku atas orang gila yang sejak kecil, sedangkan orang gila yang sesudah menginjak dewasa,

perwaliannya berada di tangan hakim.13

Syarat-syarat wali ialah:

a. Islam

b. Baligh (dewasa)

c. Berakal

d. Merdeka

e. Adil

f. Laki-laki

12

Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, diterjemahkan oleh Moh. Said, (Jakarta: Depag RI, 1985), 207

13


(36)

3. Adanya saksi.14 Kesaksian dalam suatu pernikahan mempunyai arti yang khusus, hingga ia menjadi salah satu dari rukun pernikahan, atau menjadi salah satu syarat sahnya suatu pernikahan. Dalam pernikahan maka saksi itu dimaksudkan untuk memuliakan pernikahan itu sendiri, dan untuk menolak berbagai prasangka yang mungkin timbul. Firman Allah surat at Talaq ayat 2:

يَوَذَاْوُدِهْشَأَو...

َ

اوُمْيِقَاَوَْمُكْنّمَ لْدَع

َ

ََةَداَهَشلا

َ

َِهّلِل

َ:قاطلا(...

)

Artinya: “…persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di

antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…”(QS. At Talaq: 2)

Imam Abu Hanifah, Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal menegaskan bahwa sesungguhnya pemberitahuan itu sudah terpenuhi dengan adanya saksi-saksi waktu akad nikah. Kesaksian dua orang saksi itu adalah pemberitahuan yang minimal. Dan tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya dua orang saksi, sekalipun ada pemberitahuan yang lain, seperti upacara pesta pernikahan dan

sebagainya yang hukumnya hanya sunnah.15

4. Adanya ijab atau penyerahan, yaitu lafazh yang diucapkan oleh

seorang wali dari pihak mempelai wanita atau pihak yang diberi kepercayaan dari pihak mempelai wanita dengan ucapan “saya

nikahkan kamu dengan... dengan mahar…”

5. Adanya kabul atau penerimaan, yaitu suatu lafazh yang berasal dari

calon mempelai pria atau orang yang telah mendapat kepercayaan dari

14

Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafii II, 270 15


(37)

pihak mempelai pria, dengan mengatakan “saya terima nikahnya…,

dengan mahar…”16

Ijab kabul itu suatu yang tidak dapat dipisahkan sebagai salah satu rukun nikah. Teknik mengijabkan dan mengkabulkan dalam akad nikah itu ada empat macam, yaitu:

a. Wali sendiri yang menikahkan perempuan.

b. Wali-wali yang menikahkan (pihak yang diberi kepercayaan dari

pihak mempelai wanita)

c. Suami sendiri yang menerima nikah

d. Wakil suami yang menerima nikah.17

Dalam masalah sighat ijab kabul ini ada beberapa hal yang perlu diketahui, antara lain:

a. Lafalz nikah itu harus dengan kata-kata “nikah”, “tazwij” atau

terjemahannya seperti kawin atau dijodohkan. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim: “berhati -hatilah terhadap wanita (istrimu), karena kalian mengambil mereka (sebagai istri) dengan dasar amanat dari Allah, dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan menggunakan kalimat Allah.”

b.Lafalz ijab kabul harus didengar oleh kedua belah pihak dalam

suatu majlis yang khusus diadakan untuk keperluan itu. Begitu pula

16

Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, 649 17


(38)

sighat ijab kabul itu tidak boleh dipisahkan oleh ucapan-ucapan

lain atau dengan pembicaraan lainnya.18

Untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak sudah tamyiz, bila salah satu pihak ada yang gila

atau masih kecil dan belum tamyiz (membedakan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.

2. Ijab kabulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab kabul

tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain. Tetapi didalam ijab kabul tak ada syarat harus langsung, bilamana majlisnya berjalan lama dan antara ijab kabul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab kabul, maka tetap dianggap satu majlis, sama dengan pendapat golongan Hanafi dan Hambali, yang menyatakan bila ada tengggang waktu antara ijab kabul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majlis juga tidak diselingi sesuatu yang mengganggu.

3. Hendaklah ucapan kabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau

lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: aku nikahkan

kamu dengan anak perempuanku si A, dengan mahar seratus rupiah,

umpamanya lalu kabul menjawab: aku menerima nikahnya dengan

mahar dua ratus rupiah, maka nikahnya sah, sebab kabulnya memuat

18


(39)

harga yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari yang dinyatakan pengijab.

4. Pihak-pihak yang melakukan akad harus dapat mendengarkan

pernyataan masing-masingnya dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah, sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat difahami, karena yang dipertimbangkan di sini ialah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang

dinyatakan dalam ijab dan kabul.19

4. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Allah SWT mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi kehidupan manusia karna adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang bagi manusia, mahluk yang dimuliakan Allah SWT. Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan menjahui dari ketimpangan dan penyimpangan, Allah SWT telah membekali syariat dan hukum-Hukum Islam agar dilaksanakan manusia dengan baik.

Tujuan dan hikmah agama Islam dalam mensyariatkan pernikahan diantaranya sebagai berikut:

1. Membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rohmah.20 Firman Allah

SWT dalam surat ar Rum ayat 21:

ََوَ

َِم

َْنَ

آََياَ

ِتَِهَ

ََأَْن

َ

ََخََل

ََقََ

َلَُك

َْمَ

َّمَْن

َََأَْ ن

َُف

َِس

َُك

َْمَََأ

َْزََو

ًَجا

َّلَا

ََتَْس

َُكَُن

َوَا

َِإََلَْ ي

ََه

ََوَا

َ

ََجََع

ََلَ

ََ بَْ يََن

َُك

َْمَ

ََمََو

ََدًَة

َََوََر

ََْح

ًَةَ

َِإََن

َ

َِف

ََذََ

ِل

ََك

َ

آَ

َي

َ تا

ََّل

ََقَْو

َ مَ

ََ يََ تََف

ََك

َُرَْو

ََنَ

َمورلا(

٢

)

19

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah VI, 49-51 20


(40)

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kemahabesaran)-Nya adalah bahwa Dia mencipta jodoh-jodohmu dari kalanganmu

sendiri agar kamu merasa tenang (li taskunu) bersama mereka

dan Dia menjadikan rasa cinta kasih di antara kamu.

Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda

(kemahabesaran Allah) bagi orang-orang yang mau

berfikir.”(Q.S. Ar Rum: 21)21

2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah

SWT mengerjakannya.

3. Untuk menghormati sunnah Rasulullah saw. Beliau mencela

orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadah setiap malam dan tidak akan nikah-nikah. Beliau bersabda:

...

ََفََم

ََرَن

ََبغ

َََع

َْنَ

َُسََن

َِت

ََ فَََل

َْي

ََس

ََِم

َّّ

َ َ.

)ملسموَيرَاخبلاَ اور(

Artinya: “…Maka barangsiapa yang benci kepada sunnahku

bukanlah ia termasuk (umat)ku”. (H.R.Bukhari dan Muslim).

4. Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan

rasa kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan dirasakan pula dalam masyarakat atau umat, sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta dan kasih

sayang.22

5. Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas

ayah, kakek dan sebagainya hanya diperoleh dengan pernikahan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga

21

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 324 22


(41)

menjadilah ia seorang muslim yang dicita-citakan. Karena itu agama Islam mengharamkan zina, tidak mensyariatkan poliandri, menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak di luar pernikahan, yang

tidak jelas asal usulnya.23

Naluri seksual merupakan naluri yang paling kuat, yang selalu mendesak manusia untuk mencari dan menemukan penyalurannya. Oleh karena itu jika jalannya tertutup dan tidak menemui kepuasan, manusia akan mengalami kegelisahan dan keluh kesah, yang akan menyeretnya kepada penyelewengan-penyelewengan yang tidak diinginkan. Pernikahan adalah suatu cara yang alamiah yang sebaik-baiknya dan corak kehidupan yang paling tepat untuk memuaskan dan menyalurkan naluri ini. Dengan demikian badan jasmani tidak akan menderita kegoncangan lagi, nafsu kelamin dapat dikendalikan, dan hasrat keinginannya dapat dipenuhi dengan barang yang dihalalkan

Allah.24

B. MAHAR (Mas Kawin) 1. Pengertian Mahar

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi,

mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri

sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih

bagi seorangisteri kepada calon suaminya.25

23 Ibid, 15 24

Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, 248

25

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka setia, 1999, cet ke-1), 105.


(42)

Kata mahar ini berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai, akan tetapi di Indonesia ada juga yang memakai

perkataan mas kawin.26Dalam Al-Qur’an kata mahar tidak digunakan,

akan tetapi digunakan kata shaduqah.27

Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan berbagai macam nama,

yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba, ujr, uqar, dan alaiq,13 tetapi

ada juga yang mengatakan dengan kata thaul. Keseluruhan kata tersebut

mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang

diterima.28

Menurut Sayyid Sabiq mahar adalah pemberian wajib suami pada

isteri sebagai jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan ridha

menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.29

Sebagian ulama’ Hanafiah mendefinisikan mahar sebagai berikut :

ََاَْل

ََمَْه

َُرَ

َََُوَ

ََماَ

ََيَْس

ََتَِح

َ قَُهَ

ََاَْل

ََمَْر

َََءَُة

ََِب

ََعَْق

َِدَ

َّنلا

ََكَا

َِح

َََاَِو

ََْلا

ََوَ

َْط

َ ء

َ

Artinya : “mahar adalah suatu yang berhak dimiliki oleh seorang

wanita sebab adanya akad nikah atau wat}”.30

Sedangkan menurut sebagian ulama’ Malikiyah mahar adalah:

ََاَْل

ََمَْه

َُرَ

َََُوَ

ََم

ََْيَا

ََعَُل

ََِلَْل

ََزَْوَ

ََجَِة

َ

َِْفَ

ََنَِظ

َِْيَ

َِْلا

َْساَِت

َْمََت

َِعا

ََِب

َِه

Artinya: “Mahar adalah sesuatu yang dijadikan (dibayarkan) kepada isteri sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksualitas ”.31

26

Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 77.

27

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 100.

28

Darmawan, Mahar dan Walimah,(Surabaya : Srikandi, 2007), 3.

29

Sayyid Sabbiq, Fiqqih Sunnah 7, (Bandung : Alma’arif, 1990), 53.

30

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, J.9, (Beirut : Dar al-Fikr,t.t), 6758.

31


(43)

Malikiyah memandang mahar bahwa mahar yang diwajibkan dalam nikah sebagai alat pembayaran bagi isteri atas jasa pelayanan seksualitas pada suami, dan yang ini adalah pandangan yang materialis.

Imam Zakariya Al-Anshari mendefinisikan Sidhaq mahar sebagai

berikut:

ِ بِ ن

ِ ك

ِ حا

ِِ ا

ِ وِ

ِ ب ج وا م

ِ و

ِ ط

ِ ء

ِ و اِ

ِ تِ ف

ِ وِ

ِ يِ ظ

ِ

ِ ره قِ ع ض ب

ِ كِا

ِ إِ رِ

ِ ض

ِ عا

Artinya: “Sesuatu yang diwajibkan sebab nikah, persetubuhan atau hilangnya manfaat budak dengan terpaksa seperti terjadinya susunan”32

Dalam Kompilasi Hukum Islam mahar adalah pemberian dari

calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk

barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.33

Dari definisi mahar tersebur di atas jelaslah bahwa hukum taklifi

dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang

perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa

suami yang tidak menyerahkan mahar kepada isterinya.

Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami

terhadap istri. Selain itu mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami hidup bersama istri serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan seorang suami terhadap istri.

Walau bagai manapun mahar tidaklah merupakan rukun nikah atau

syarat sahnya suatu pernikahan. Sekiranya pasangan setuju menikah tanpa

32

Zakariyah al-Anshari, Fath al-Wahhab, j.2, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), 54.

33


(44)

menentukan jumlah mahar, pernikahan tersebut tetap sah tetapi suami

diwaibkan membayar mahar misil (yang sepadan). Ini berdasarkan satu

kisah yang berlaku pada zaman Rasululah SAW dimana seorang

perempuan menikah tanpa disebutkan maharnya. Tidak lama kemudian

suamnya meninggal dunia sebelum sempat bersama dengannya (melakukan persetubuhan) lalu Rosulullah mengeluarkan hukum supaya

perempuan tersebut diberikan mahar misil untuknya. 34

2. Dasar Hukum Mahar

Suatu kelebihan syari’at Islam dengan Syri’at yang lainnya antara

lain dalam hal memulyakan wanita. Dalam Hukum Islam diwajibkan seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang wanita untuk

memberikan mahar. Meskipun pemberian mahar tersebut hanya sebagai

sebagai symbol atas kecintaan seorang calon suami, bahwasannya dia benar-benar mencintai calon isterinya. Demikian juga calon isteri, bahwa

penerimaan mahar tersebut sebagai simbol tanggung jawab seorang wanita

terhadap harta atau bentuk pemberian lain yang diamanatkan suami kepadanya.

Perintah pembayaran mahar ini didasarkan atas firman Allah SWT

dalam surat An-Nisa: 4 yang berbunyi :

ََاَو

اًئيِنََُْوُلُكَفَاًسْفَ نَُهْنّمَ ءْيَشَْنَعَْمُكَلََِْْطَْنِإَفًَةَلََِِْنِهِتقُدَصََءآسّنلااوُت

َََم

َ:ءاسنلا(َ.اًئيِر

٤

)

Artinya:“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu

34


(45)

dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4).35

Perintah pembayaran mahar juga tercantum dalam firman Allah

SWT dalam surat An-Nisa: 25 yang berbunyi :

ِ نا ف

ِ ك

ِ ح

ِ وِ

ِ ا

ِ نِ

ِ بِ ا

ِ ذ

ِ نِ

ِ اِ

ِ لِ ه

ِ نِ

ِ وِ اِ ت

ِ و

ِ ِا

ِ نِ

ِ اِ ج

ِ وِ ر

ِ ِ ن

ِِ با

ِ مل

ِ عِ ر

ِ و

ِ ف

ِِ

ا(

ِ نل

ِ س

ِ ءا

ِ:

)

Artinya: “……karena itu kawinlah mereka dengan seizin keluarga

(orang tua) dan berilah mas kawin menurut yang patut…..”36

Dari kedua ayat tersebut diatas diperoleh ketentuan bahwa mahar

adalah merupakan pemberian wajib dari suami kepada isterinya. Terutama

untuk isteri-isteri yang telah dicampuri mahar merupakan kewajiban atas

suami dimana si isteri harus tau berapa besar dan wujud dari mahar yang

menjadi haknya itu. setelah si isteri mengetahuinya, boleh terjadi

persetujuan lain tentang mahar yang menjadi hak isteri itu. misalnya ia

membebaskan suami untuk pemberiaan mahar itu atau ia mengurangi

jumlah, merubah wujud dan lain sebagainya.

Dengan demikian mahar yang menjadi hak isteri itu dapat

diartikan sebagai tanda bahwa suami sanggup untuk memikul kewajiban-kewajiban sebagai suami dalam hidup perkawinannya selanjutnya. Jadi

jangan di artikan bahwa pemberian mahar itu sebagai pembelian atau upah

bagi isteri yang telah menyerahkan dirinya kepada suami.

Adapun jumalah besarnya dan wujudnya mas kawin itupun tidak ditentukan dengan pasti. Hal ini tergantung pada kemampuan calon sumai

35

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 61 36


(46)

dan persetujuan dari masing-masing pihak yang akan menikah. Janganlah hendaknya ketidak sanggupan membayar mas kawin yang jumlahnya besar menjadi penghalang bagi berlangsungnya suati perkawinan. Yang

penting calon suami wajib member mahar kepada isterinya dalam bentuk

atau wujud apapun asal mempunyai nilai dan halal. Bahkan mahar adapula

yang berwujud upah. Dalam hal ini seoarang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita melakukan suatu pekerjaan pada pihak isteri yang bisa mendatangkan upah, dan upah yang diterimanya itu dipakai

untuk membayar mahar kepada calon isterinya. Perkawinan dengan mahar

berupa upah ini disebut nikah bil ijarah.37

3. Syarat-Syarat Mahar

Mahar boleh berupa uang, perhiasaan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya yang

mempunyai harga. Disyarakan bahwa mahar harus diketahui secara jelas

dan global, misalnya sepotong emas atau sekarung gandum.

Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya yang dijadikan mahar itu

adalah barang yamg halal dan berharga dalam syariat Islam.38Mahar yang

diberikan kepada calon isteri, harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Harta atau bendanya berharga.

Tidak sah mahar yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun

tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar.

37

Soemyati, Huukum Perkawinan Islam dan Undang –Undang Perkawinan, (Yogyakarta: liberty, 1986), 58.

38


(47)

b. Barangnya suci dan bisa di ambil manfaatnya.

Tidak mahar dengan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram

dan tidak berharga

c. Barangnya bukan barang gasab.

Gasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikan kelak.

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.

Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas

keadaaanya, atau tidak disebutkan jenisnya.39

4. Macam-Macam Mahar

Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat

bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

a. Mahar yang Disebutkan (Musamma)

Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti

membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa

menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak

mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.

Berdasarkan bentuk atau cara pembayarannya, mahar

musamma dibagi menjadi dua, yaitu :

1) Mahar Mu ‘ajjal ialah yang segera diberikan kepada isterinya

39


(48)

2) Mahar Mu ‘ajjal ialah Mahar yang pemberiannya di tangguhkan, jadi tidak seketika dibayarkan sesuai dengan persetujuan kedua

belah pihak.40

b. Mahar yang Sepadan (Mitsil)

Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk

wanita yang menikah tanpa menyebutkna mahar dalam akad, ukuran

mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.

Dalam menetapkan jumlah mahar yang sepadan, lazimnya

hendaklah dipertimbangkan dan didasarkan pada jumlah mahar yang

telah ditetapkan dalam pernikahan anggota keluarga dari prempuan yang bersangkutan. Demikian menurut Imam Syafi’I, Hanafi, dan Ahmad bin Hambal. Sedangkan menurut Imam Malik dalam

menetapkan mahar yang sepadan ini haruslah dipertimbangkan dan

didasarkan pada keadaan wanita itu dari segi kecantikan, kesucian rohani, dankedudukan sosial dari keluarga isteri.

Mahar mitsil juga terjadi apa bila alam keadaan sebagai berikut

1. Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad

nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.

40


(49)

2. Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah

bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.41

Dalam hal ini nikah tidak disebutkan dan tidak ditetapkan

maharnya, maka nikahnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama’ diperbolehkan. Karena berdasarkan Firman Allah :

ًَََ

ََحاَنُج

َ

َْمُكْيَلَع

َ

َْنِإ

َ

َُمُتْقَلَط

َ

ََءاَسّنلا

َ

اَمَ

ََْلَ

ََنُو سَََ

َ

َْوَأَ

اوُضِرْفَ ت

َ

ََنََُ

َ

(ًَةَضيِرَف

:ُةاَرَقَ بْلَا

)

َ

Artinya : “tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka

dan sebelum menentukan maharnya…..”42

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan

isterinya sebelum digauli dan belum pula ditetapkan jumlah mahar

tertentu pada isterinya itu dalam hal ini maka isteri berhak mendapat

mahar mishil. Selain itu ayat diatas tidak dimaksudkan dalam suatu perkawinan, suami dibolehkan tidak menyebut kesediaan suami memberi

mahar pada isteri pada saat ijab qabul.

5. Hikmah Adanya Mahar

Sebagaimana telah dikemukakan sebeumnya, bahwa dalam Hukum

Islam mahar merupakan suatu beban yang dibebankan kepada suami dan

menjadi hak milik isteri karena sebab adanya pernikahan. Maka hikmah

adanya mahar dalam pernikahan adalah :

41

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, 120 42


(50)

1. Dengan adanya mahar, hal ini membuktikan bahwa calon suami cinta kepada calon istrinya sehingga dengan suka rela hati ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada isterinya sebagai tanda suci dan sebagai pendahuluan bahwa suami akan terus menerus member nafkah kepada isterinya sebagai suatu kewajiban suami terhadap isterinya.

2. Bagi calon isteri dengan menerima mahar, berarti ia menyatakan

kerelaan dirinya untuk menyatu dengan calon suaminya. Dan bagi pihak

keluarga prempuan mahar merupakan symbol dari persandaran serta

perasaan aman dan bahagia karena putrinya berada ditangan seorang laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.

3. Adanya mahar adalah tanda dan indikasi dari kenyataan bahwa cinta

dimulai dari si pria dan wanita bersikap responsif terhadap bentuk pembuktian cinta dari si pria, serta sebagai tanda penghormatan dengan menghadiahkan sesuatu pada si perempuan.

4. Dengan adanya mahar, merupakan suatu kekayaan bagi suami agar

jangan sampai menggunakan haknya yang hampir tak terbatas itu dengan

sewenang-wenang untuk menceraikan isterinya. Adanya mahar menjadi

salah satu pertimbangan bagi suami untuk menceraikan istrinya, jika ia tahu dan sadar bahwa pada saatperceraian itu terlaksana, maka seluruh

mahar tidak bisa ditarik kembali.

C. ‘URF


(51)

Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang

terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul

kata ma’rifah (yang dikenal), ta’ri>f (definisi), kata ma’ru>f (yang

dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).

Adapun dari segi terminology, kata ‘urf mengandung makna:

ًَّْعَمَىَلَعَُهَقَاْطِاَاوُفَراَعَ تَ ظْفَلَْوَاَْمُهَ نْ يَ بََعاَشَ لْعِفَّلُكَ ْنِمَِهْيَلَعَاوُراَسَوَُساَنلاََُدَاتْعاَاَم

َ

َِهِعاَََِِدْنِعََُرْ يَغَُرَداَبَتَ ي ًََوَُةَغ للاَُهَفَلَاَت ًٍََصاَخ

43

َ

َ

Artinya: Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pnertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.

Kata ‘urf dalam pengertian etimologi sama dengan istilah al-

a>dah (kebiasaan), yaitu:

لاَ ِفََرَقَ تْسِاَاَم

َ ن

َِلْوُ بَقْلاِبَُةَمْيِلَسلاَُعاَبَطلاَُهْتَقَلَ تَوَ ِلْوُقُعْلاَِةَهِجَْنِمَِسْوُف

44

Artinya: sesuatu yang telah mantab di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.

Kata al-‘a>dah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan

secara berulang-ulang. Sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, al-‘urf atau al-a>dah

terdiri atas dua bentuk yaitu, al-‘urf al-quali> (kebiasaan dalam bentuk

perkataan) dan al-‘urf al-fi’li> (kebiasaan dalam bentuk perbuatan).

43

Abd. Rahman Dahlan, Usul Fiqh, (Jakarta: Paragonatama Jaya, 2011), 209. 44


(52)

‘Urf dalam bentuk perbuatan, misalnya transaksi jual beli barang

kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal i>jab dan

qabu>l. Demikian juga membagi mahar menjadi “hantaran” dan “mas

kawin”. Sedangkan contoh ‘urf dalam bentuk perkataan misalnya, kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam

Indonesia mengandung arti talak.45

2. Pembagian al-‘Urf

Klasifikasi adat atau ’urf dapat ditinjau dari beberapa sudut

pandang, yaitu antara lain:

1) Materi yang biasa dilakukan, dalam hal ini terbagi menjadi 2 macam,

yaitu:

a. Al-‘urf al-lafdzi yaitu kebiasaan masyarakat dalam menggunakan kata-kata tertentu dalam mengungkapkan sesuatu sehingga makna ialah yang kemudian dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.

b. Al-‘urf al-‘amaliy yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan

dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan.

2) Ruang lingkup penggunaannya, sehingga dalam hal ini ‘urf dibagi

menjadi dua, yaitu:

a. Al-‘urf al-‘am yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku cara luas diseluruh lapisan masyarakat dan daerah.

45


(53)

b. Al-‘urf al khash yaitu kebisaan yang berlaku di masyarakat dan daerah-daerah tertentu.

3) Penilaian baik dan buruk atau keabsahannya, dalam pola pandang ini

‘urf menjadi dua bagian, yaitu:

a. Al-‘urf al-shahih yaitu kebiasaan yang berlaku di tengahtengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-quran atau hadist. Selain itu juga tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa kesulitan kepada mereka.

Sejalan dengan pendapat tersebut, dikatakan bahwa al-‘urf

al-shahih tidak menghalalkan yang haram atau bahkan membatalkan yang wajib.

b. Al-‘urf al fasid yang di artikan sebagai kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.

Para ushuliyyun sepakat bahwa semua macam ‘urf di atas

kecuali Al-‘urf al-fasid dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan

hukum syara. Seorang fiqih (pakar ilmu fuqih) dari golongan maliki menyatakan bahwa seorang mujtahid di dalam menetapkan suatu hukum harus meneliti terlebih dahulu kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hukum yang akan diputuskannya nanti tidak bertentangan atau bahkan menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat itu sendiri.


(54)

3. Kedudukan al-‘Urf sebagai dalil syara’

Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf al

-s}ahi>h sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaan sebagia dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang paling banyak

menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama

Syafi’iyah dan Hanabilah.

Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas

argumen-agumen berikut ini.

a. Firman Allah SWT pada Surat al-A’ra>f (7) ayat 199:

ََيِلِاَْْاَِنَعَْضِرْعَأَوَ ِفْرُعْلاِبَْرُمْأَوََوْفَعْلاَِذُخ

.

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mngerjakan ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang

bodoh.46

Melalui ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin

untuk mengerjakan yang ma’ru>f . sedangkan yang disebut sebagai

ma’ru>f itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan ulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.

b. Ucapan Sahabat Rasulullah Saw: Abdullah bin Mas’ud ra.:

ٌَئْيَسَِهاََدْنِعََوُهَ فَاًئْيَسََنْوُمِلْسُماََُاَراَمَوٌَنَسَحَِهاََدْنِعََوُهَ فَاًنَسَحََنْوُمِلْسُماََُاَراَمَف

.

47

46


(55)

Artinya “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk disisi Allah”.

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat Islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesuliatan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan dalil-dalil kehujjahan ‘urf di atas sebagai dalil

hukum, maka ulama, terutama ulama Hanafiyah dan Malikiyah

merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan al-‘urf antara lain,

berbunyi :

اا

ٌَةَمَكََُُُةَداَعل

.

48

Adat kebiasaan dapat menjadi hukum.

ََطِباَضًَََوَاًقَلْطُمَُعْرَشلاَِهِبََدَرَوَاَمَ لُك

َ

َِفْرُعلاََلِاَِهْيِفَُعِجْرَ يَِةَغ للاَ ِفًَََوَِهْيِف

.

49

َ

َ

Semua ketentuan syara’ yang besifat mutlak, dan tidak ada pembatasan di dalamnya bahkan juga tidak ada pembatasan dari segi

kebahasaan, maka pemberlakuannya dirujukkan kepada ‘urf.

Kedudukan ‘urf shahih harus dipelihara oleh seorang mujtahid

di dalm menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam

47

Hasan bin Abd al-Azi>z, al-Qawa>id al-Fiqhiyah juz I, ( ar-Riya>d: Da>r al-Tauhid 2007), 126.

48

Abdul Hamid Hakim, as-Sullam juz II, (Jakarta: as-Sa’adiyah 2007), 75.

49


(56)

memutuskan perkara, karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak adalah menjadi kebutuhan dan menjadi maslahah yang diperlukannya selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan

syariat, haruslah dipeliharanya.50

50

Miftahul Arifin, Usul fiqh kaidah-kaidah penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), 147.


(1)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah meneliti dan mengamati sistem pelaksanaan tradisi mbayar

tukon di Desa Gejagan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang maka

penyusun dapat menarik kesimpulan bahwa :

1. Mbayar tukon di Desa Gejagan Kecamatan Pakis adalah pemberian wajib

seorang laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya selain dari

mahar yang telah ditetapkan Hukum Islam dalam bentuk uang dan

dilakukan jauh-jauh hari sebelum akad pernikahan dilangsungkan. Adapun

tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :

a. Pihak calon laki-laki datang untuk melamar dan pada saat itu di

tentukan hari dan tanggal pernikahan dan dua minggu sebelum

pelaksanaan pernikahan pihak laki-laki mengantarkan uang mbayar

tukon yang sudah di tentukan di Desa Gejagan.

b. Sebelum proses ijab qabul pihak mempelai laki-laki diwajibkan

memberikan uang mbayar tukon kepada calon perempuan atau pihak

keluarga perempuan sebagai tanda kasih sayang dan bentuk

penghormatan kepada pihak calon perempuan.

2. Status hukum tradisi mbayar tukon di Desa Gejagan Kecamatan Pakis


(2)

71

kebiasaan turun menurun di masyarakat tidak hanya di Desa Gejagan

namun di beberapa desa lainnya yang masih kental adat istiadatnya.

Sedangkan kedudukan mbayar tukon ini berdasarkan kasus yang telah

dikemukakan pada bab sebelumnya menyimpulkan bahwa, dalam

pelaksanannya diwajibkan namun cenderung memberatkan serta

menimbulkan dampak buruk bagi calon mempelai laki-laki maka di

anggap sebagai ‘Urf fasid, dan menyalahi Hukum Islam karena berakibat keterlambatan menikah atau bahkan tidak dapat terjadi pernikahan.

B. SARAN

1. Adat kebiasaan atau ‘Urf sahih yang berlaku dan berkembang dimasyarakat di harapkan dapat dipertahankan keberadaannya.

2. Tradisi mbayar tukon merupakan adat-istiadat semata namun tidak ada

kewajiban dalam islam untuk memberikan sebagai keharusan jika tetap

ada maka di harapkan sesuai dengan keadaan keluarga calon mempelai

laki-laki dan tidak berlebihan serta tidak memberatkan pihak laki-laki.

3. Jika mbayar tukon ini memberikan keridhoan dari semua pihak dan tidak

mendatangkan beban dari pihak laki-laki maka akan lebih baik lagi jika


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Azi>z, bin Hasan. Al-Qawa>id Al-Fiqhiyah juz I. Ar-Riya>d: Da>r

Al-Tauhid 2007.

Abd. Aziz moh. Azzam dan Abd. Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat.

Jakarta: Amzah, 2009.

Abidin, Slamet, dan Aminuddin. H. Fiqh Munakahat I. Bandung: CV. Pustaka

Setia, Cet.1 ,1999.

Al Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani, 2006.

Al-Anshari, Zakariyah. Fath al-Wahhab, j.2. Surabaya: Al-Hidayah, 1999.

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.

Aminuddin, Slamet Abidin. Fiqh Munakahat I, Bandung: CV. Pustaka setia, cet

ke-1, 1999.

Arifin, Miftahul. Usul fiqh kaidah-kaidah penetapan Hukum Islam. Surabaya:

Citra Media, 1997.

Dahlan, Abd. Rahman. Usul Fiqh. Jakarta: Paragonatama Jaya, 2011.

Darmawan, Mahar dan Walimah, Surabaya: Srikandi, 2007.

Darmawan. Eksistensi Mahar dan Walimah. Bandung: Srikandi, 2007.

Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2009.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.

Hakim, Abdul Hamid. As-Sullam juz II. Jakarta: As-Sa’adiyah, 2007.

Husein, Umair, Metode Riset Komunikasi Organisasi, Jakarta: PT. Gramedia


(4)

Ibrahim Jannati, Muhammad, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab III.

Kamal Pasha, Musthafa. Fikih Islam. Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, Cet.I, 2002.

Lamulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Maluyo, Bandung. Penetapan Hokum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,

1996.

Mas’ud, Ibnu. Fiqih Madzhab Syafii II. Jakarta: Lentera, 2001.

Mughniyah, Moh. Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera Basritama, 2004.

Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan

Gender. Yogyakarta : LKiS, 2001.

Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan

Bintang, 2004.

Narbuko, Cholid. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 6 & 7. Bandung: Al-Ma’arif, 1990.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah VI. Jakarta: Darul fath, 2004.

Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam, diterjemahkan oleh Moh. Said. Jakarta:

Depag RI, 1985.

Soeharton, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

1999.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.


(5)

Subekti, R. dan Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:

Pradnya Paramita, 2008.

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005.

Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat

Dan Undang-Undang Perkawinan.Jakarta: Kencana, 2009.

Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh, jilid 2. Jakarta: Kencana, 2008.

Zein M, Efendi Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Cahaya Qur’an,

2006.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mekar, 2004.

Fakultas Syari’ah. Panduan Skripsi.Surabaya: 2011.

Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusmedia, 2007.


(6)