Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan di Negara Indonesia dan Pakistan
INDONESIA DAN PAKISTAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ATIQOH FATIYAH NIM : 1112044100052
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1438 H/2016 M
(2)
(3)
(4)
(5)
Atiqoh Fatiyah, 1112044100052, “ Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan
Di Negara Indonesia dan Pakistan’’ Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsyiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2016.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui konsep mahar dalam fiqih dan bagaimana posisi mazhab fiqih dalam konteks praktek mahar di Indonesia dan Pakistan serta perbedaan konsep mahar dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonsia dengan Undang-Undang Pakistan. Secara metodelogis, penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan menggunakan metode sutudi pustaka, dengan pendekatan normatif, sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan.
Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil data dari berbagai macam sumber sebagai berikut.
1. Data hukum primer yang memuat informasi atau data bahan-bahan hukum yang terkait. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang sipil Pakistan Dowry and Bridal Gift (Restricion) Act Tahun 1974.
2. Data hukum sekunder, sumeber data sekunder yang di ambil adalah studi kepustakaan, buku-buku, arsip-arsip, jurnal, dokumen, yag mendukung dalam pembahasan ini.
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah bahwa hukum Islam al-Qur’an maupun
as-Sunnah tidak menetapkan mengenai kadar maksimal mahar yang diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Akan tetapi perundang-undangan mengenai mahar di Pakistan berbeda dengan negara Islam lainnya, karena di dalam perundang-undangan Pakistan mahar di tetapkan kadar maksimalnya.
Kata Kunci : Mahar, Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan di Pakistan
dan Indonesia
Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
(6)
i
يحَرلا حَرلا ّ سب
ع اَسلا اَصلا ، يّدلا ي ّدلا ر أ ى ع يعتس هب ، ي ل علا ّ ر ه د حلا
ّي ، ي سر لا فرشأ ى
ى ع س هي ع ّ ى ص دَ ح
يّدلا ي ىلإ سحإب ع ت
يعب َتلا هب حصأ هلآ
Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allah kita memohon
pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah
atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para
sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari
pembalasan.
Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “STUDI KOMPARATIF
KEDUDUKAN MAHAR PERNIKAHAN DI NEGARA INDONESIA DAN PAKISTAN’’
telah selesai ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H) strata satu dalam Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa ada
bantuan dari berbagai pihak. Maka tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih dan
jazakumullah khoiru jaza kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
(7)
ii
telah membantu kelancaran administrasi.
2. Dr. Abdul Halim, M.Ag dan Arip Purkon, MA. Selaku Ketua dan Sekretaris Program
Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) .
3. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dosen pembimbing yang telah rela meluangkan waktu di
tengah kesibukan untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan
skripsi.
4. Hj. Rosdiana, MA. Selaku dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan
dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai.
5. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
menyediakan berbagai macam literatur dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hiayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi.
6. Kepada kedua orang tua tercinta Ir. H. Fathullah dan Hj. Sunarsiah, kakak-kakak (Teh
Fathna Rahma, S.Pd, kak Firman Rusydi, S. E., adik tersayang Dahlia Faramadina, dan
Salman Al- Farisi) yang telah memberikan motivasi serta memberikan nasehat-nasehat
kepada penulis demi kelancaran penulisan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat dari Keluarga Besar Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah).
Terimakasih atas kebersamaan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Orang tercinta Achmad Firdaus, S.Sy, sahabat-sahabat Eka Yulyana Sari, Sarifah N.F,
Indira.A, Siti Hannah, dan Lia Yulyanti dan seluruh sahabat-sahabat seperjuangan
(8)
iii
mereka diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.
Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi kesempurnaan penulisan
skripsi ini dan wawasan ilmu penulis. Besar harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.
Jakarta, 17 Oktober 2016
(9)
iv ABSTRAK
KATA PENGANTAR……… ...i
DAFTAR ISI……… ...iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. ...1
B. Identifikasi Masalah……… ...11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...12
E. Review Studi Terdahulu ...13
F. Signifikan Penelitian………...17
G. Metode Penellitian ...17
H. Sistematika Penulisan ...20
BAB II KONSEP MAHAR DALAM ISLAM DAN TRADISI BANGSA ARAB A. Sejarah Mahar……… ...22
B. Mahar Dalam Tradisi Bangsa Arab……… ...35
BAB III HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN PAKISTAN A. Profil Islam Indonesia dan Pakistan……….……… ...38
B. Madzhab Hukum Keluarga Indonesai dan Pakistan………...46
BAB IV KEDUDUKAN DAN JUMLAH MAHAR DI INDONESIA DAN PAKISTAN A. Konsep Mahar dalam Fiqih……….57
B. Laporan Administrasi Mahar di Indonesia dan Pakistan…...62
C. Analisis Perbandingan Kedudukan dan Jumlah Mahar di Indonesia dan Pakistan ………68
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……… ...76
B. Saran-saran……… ...77
DAFTARPUSTAKA……… ...79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
(10)
(11)
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan sebagai bagian dalam al-ahwal asy-syakhshiyyah merupakan
proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena pada saat mereka
sampai pada tahap dewasa akan muncul perjalanan ikatan dalam jenisnya. Sebagai
tujuan dari keluarga sakinah, mawaddah warrahmah. Pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan gholidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.1
Dengan adanya dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan, oleh karena itu
suatu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya
apa yang menjadi tujuan dari perkawinan yaitu terwujudnya keluarga sakinah,
mawaddah, warrahmah. Namun sering sekali sesuatu yang tidak diinginkan terjadi
pada perempuan. Maka Islam sangat memperhatikan kedudukan seorang perempuan
dengan memberikan haknya diantaranya yaitu hak menerima mahar.2 Karena mahar
merupakan hak isteri yang diterima dari suami, pihak suami memberikannya dengan
sukarela tanpa mengharapkan imbalan. Sebagai pernyataan kasih sayang dan
tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya.3
Indonesia dan Pakistan merupakan negara yang secara geografis terletak di
benua yang sama namun, berada pada wilayah teritorial yang berbeda. Indonesia
berada di benua Asia bagian Tenggara sedangkan Pakistan berada di benua Asia
1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV Akademia Pressindo, 2010), h.114.
2
Abdurrahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 85. 3
Peunoh Dauly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Banding dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 219.
(12)
bagian Selatan. Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya bermazhab
Syafi‟i, sedangkan Pakistan mayoritasnya menganut mazhab Hanafi. Dengan demikian paham dikedua negara tersebut memiliki pemahaman yang berbeda.
Perbedaan tersebut bukan hanya terletak pada mazhab yang dianut oleh kedua negara
tersebut akan tetapi perbedaan juga terdapat perundang-undangan di kedua negara
tersebut dalam sistem perkawinan dan mahar. Tidak ada petunjuk yang pasti
mengenai mahar, maka Fuqahah telah sependapat bahwa mahar itu tidak terdapat
batas maksimalnya.4
Sistem hukum yang berlaku di Republik Indonesia yaitu, sistem hukum adat,
sistem hukum Islam, dan sistem hukum barat. Sistem Hukum barat baik itu berasal
dari Eropa Kontinental yang disebut civil law maupun yang berasal dari Eropa
kepulauan yang dikenal dengan common law atau Hukum Anglo Sakson. Sistem
Hukum Eropa Kontinental (civil law) dibawa oleh penjajah Belanda ke Indonesia
pada pertengahan abad ke- 19 (tahun 1954), yang semula dimaksud sebagai pengganti
Hukum adat dan Hukum Islam yang diberlakukan terhadap semua golongan
penduduk. Namun, karena khawatir penduduk yang beragama Islam akan
mengadakan perlawanan terus menerus, maka diberi ruang sempit untuk hukum
kebiasaan atau Hukum adat dan hukum agama bagi masyarakat pribumi dan golongan
bumiputera. Kini berdasarkan aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, hukum
belanda masih tetap diberlakukan di Indonesia.5
Indonesia merupakan negara degan kekayaan berbagai macam adat baik dalam
perkawinan maupun dalam acara-acara penting lainnya. Pada umumnya praktik
upacara perkawinan di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk budaya dan sistem
4
Imam Mulim, Shohih Bukhori Juz 5, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1994), h. 69. 5
Muhammad Duad Ali, Cik Hasan Bisri (EDS), Kedudukan dan Pelaksanaan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, dalam Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: Logos, 1998), h. 39-40.
(13)
perkawinan adat yang berkaitan dengan susunan masyarakat atau kekeluargaan yang
dipertahankan oleh suatu masyarakat tertentu.6 Masyarakat yang masih mengikut
kebiasaan di daerah dan ketentuan adat yang masih berlaku diantaranya :
1. Masyarakat Batak Toba menyebut maskawin atau mahar dengan sebutan
pangolin. Pembayaran maskawin atau mahar biasanya terdiri dari uang dan ternak.7
2. Suku Komering di Sumatera Selatan menggunakan emas sebagai mahar
atau mas kawin.8
3. Pada masyarakat Bugis, mahar dikenal dengan istilah sunrang (Bugis) atau
sompa (Makasar). Sompa atau sunrang itu besar kecilnya mahar atau
maskawin sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang akan dipinang.
Sompa atau sunrang menggunakan nominal uang atau dapat saja terdiri
dari sawah, kebun, kris pustaka, perahu, yang semuanya mempunyai
makna penting dalam pernikahan.9
4. Pada masyarakat Maluku mahar biasanya (sehelai kain) juga terdiri atas
sepasang anting emas dan gading gajah yang ditaruh didalam wadah sirih
yang biasa disebut tol‟a dan kemudian ditempatkan didalam lumbung dibumbungan rumah, terus digunakan sebagai mahar dalam perkawinan
generasi selanjutnya.10
5. Pada masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam prroses meminang
gadis dikalangan suku Lamaholot sangat unik. Meski penduduk wilayah
6
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 97.
7
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: Lkis, 2004), h. 225. 8
Hatama Rosid dkk, ed, Harmonisasi Agama dan Budaya Di Indonesia, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 339.
9
Mattulada, Kebudayaan Bugis-Makasar, Dalam Koentjaraningrat, ed. Manusia dan kebudayan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1979), h. 269.
10
Shavira Alaydrus, Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar, dari
http://www.antaranews.com/berita/read/431398/mahar-dalam-tradisi-pernikahan-bangawan-babar, artikel diakses pada 28 April 2016 jam 10.40 WIB .
(14)
ini tidak memelihara gajah, akan tetapi gading gajah sudah menjadi mahar
dalam suatu perkawinan sejak ratusan tahun lalu. Dalam masyarakat
Lamaholot ukuran atau jumlah mahar dalam pernikahan atau biasa disebut
dengan belis yang berupa gading gajah tergantung pada status sosial gadis
atau calon mempelai perempuan yang akan dipinang.11
Perkawinan dalam pandangan masyarakat adat yaitu bertujuan untuk
membangun, membina, memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun
dan damai. Hal tersebut disebabkan oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
adat yang berkaitan dengan tujuan perkawinan tersebut serta berkaitan dengan
kehormatan keluarga dan kerabat dalam masyarakat. Maka proses pelaksanaan
perkawinan harus diatur dengan tatatertib adat agar dapat terhindar dari
penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akan berdampak kepada
martabat bahkan kepada kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan.12
Di dalam Kompilasi Hukum Islam membahas mengenai rukun dan syarat
perkawinan dimana pada bab ini menegaskan bahwa mahar tidak menjadi rukun
dalam sebuah perkawinan. Kemudian ditetapkan mengenai asas mahar yaitu
sederhana dan mudah. Serta ditegaskan pula kepemilikan mahar yaitu menjadi hak
isteri. Dan prinsip penyerahan mahar diantaranya dapat berupa tunai dan ada
kemungkinan ditangguhkan. Demikian juga mahar boleh dalam penyerahan lunas
maupun sebagian.13
11
Kornelis Kewa Ama, Mahar Kawin yang Membebani Keluarga, dari
http://lipus.kompas.com/jejakaperadabanntt/read/2010/12/10/08361911, artikel diakses pada 28 April 2016, jam 13.45 WIB .
12
Tolib Setiadi, Intisari Hukum Adat Indoniesa, dalam kajian kepustakaan, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 222.
13
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonsia, (Jakarta: CV Akademia Pressindo, 2010), h. 113-121.
(15)
Pengaturan mahar didalam KHI bertujuan untuk:14
1. Menertibkan masalah mahar.
2. Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan merupakan “rukun
nikah”.
3. Menetapkan etika mahar atas asas “kesederhanaan dan kemudahan‟‟ bukan didasarkan atas asas prinsip ekonomi, status, dan gengsi.
4. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan dan
persepsi yang sama dikalangan masyarakat dan aparat penegak hukum.
Mahar yang diberikan kepada calon isteri haruslah memenuhi syarat-syarat
diantaranya:15
1. Barang yang diberikan sebagai mahar ialah harta berharga.
2. Barangnya suci serta dapat diambil manfaatnya.
3. Bukan barang ghasab.
4. Bukan merupakan barang yang tidak jelas keberadaannya.
Mahar di dalam perundang-undangan Indonesia berdasarkan dengan asas
kesederhanaan dan kemudahan hal tersebut sangat berkesinambungan terhadap
mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Pada hakikatnya mazhab
yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia yaitu mazhab Syafi‟i. Dalam
menentukan batas minimal mengenai mahar Imam Syafi‟i berpendapat bahwa mahar
tidak ada batas rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu
14
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 40.
15
Tihami dan Sohari, Fiqih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: RajaWali Pers, 2009), h. 39-40.
(16)
yang lain dapat dijadikan sebagai mahar.16 Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh
Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara
pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual beli, akan tetapi mahar sebagai
lambang penghormatan kepada perempuan sekaligus mahar sebagai lambang
kewajiban tanggung jawab suami untuk memberi nafkah kepada isteri, selain lambang
cinta dan kasih sayang suami terhadap isteri. Sebagaimana dikemukakan oleh ulama
Syafi‟i.17
Pelaksanaan pembaharuan hukum keluarga di Pakistan tidak menggunakan
aturan-aturan legislasi modern, akan tetapi hanya berpegang pada konsep
tradisional.18 Proses reformasi di Pakistan dalam rangka penyusunan hukum keluarga
muslim yang baru, dimulai sejak tahun 1955. Dalam hal ini Pemerintah Pakistan
membentuk suatu komisi yang terdiri atas tujuh anggota yang semuanya merupakan
ahli agama. Komisi ini bertugas mensurvei masalah-masalah yang berkaitan dengan
perkawinan dan hukum keluarga dengan tujuan merekomendasikan posisi kaum
perempuan dimasyarakat sesuai dengan dasar-dasar Islam. Pada tahun 1956
pemerintah Pakistan mengumumkan bahwa pada tahun yang akan datang tidak akan
ada hukum yang diberlakukan bertentangan dengan syari‟at. Undang-undang yang sudah berlaku akan ditinjau ulang serta direvisi sesuai dengan pemerintah tersebut.
16
Abdul Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1993), h. 340. 17
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h. 124.
18
Samir Fuady, Peran Urf dalam Formalisasi Hukum Peminangan di Malaysia dan Pakistan menurut Tinjauan Dalil al-Qur’an dan Sunnah dalam Jurnal Al-Mu’ashirah, vol. 10, No. 1, Januari 2013, Pasca Sarjana UIN Jakarta 2013 , h. 83.
(17)
Peraturan perundang-undangan di Pakistan memang tidak dijumpai istilah
musyawarah. Tetapi, prinsip demokrasi yang tercantum dalam undang-undang
tersebut harus dipahami tidak lain adalah sistem demokrasi Islam yang menggunakan
prinsip-prinsip musyawarah sebagai tolak ukurnya. Asumsi ini didasarkan pada
rumusan yang tercantum dalam pembukuan Undang-undang Pakistan dan dalam
beberapa pasal tertentu bahwa kekuasaan dankewenangan negara harus
diselenggarakan menurut ajaran agama Islam dan tuntutan Islam sebagaimana yang
tercantum di dalam Alquran dan Sunnah. Salah satu prinsip pokok dalam pengaturan
negara menurut Alquran dan seperti yang telah dicontohkan oleh nabi ialah
musyawarah yang berbeda dengan sistem demokrasi barat.Karena itu, pengertian
demokrasi bagi Pakistan adalah sistem demokrasi yang sesuai dengan Islam.19
Laporan dan rekomendasi Komisi Tujuh Muslim Family Laws Odonance
(MFLO) pada tahun 1961 secra resmi diumumkan.20 MFLO pada tahun 1961 ini
berisi mengenai peraturan tentang pencatatan perkawinan, poligami, percerian,
nafkah (biaya hidup), mahar, hak waris bagi cucu, dan batas usia perkawinan untuk
pembatasan maksimal. Selain itu terdapat keharusan bagi wali untuk melaporkan
kepada pegawai pencatatan pernikahan mengenai biaya pernikahan dalam waktu 15
hari setelah pelaksanaan akad nikah. Adapun sanksi pidana juga akan diberikan
kepada para pihak yang melanggar ketentuan di dalam Undang-undang tersebut,
dalam hal ini Pakistan merupakan negara yang berani memberikan sanksi pidana
dalam masalah mahar.
19
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, cet. Ke -1, (Bogor: Kencana , 2003), h.234. 20
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: N.M. Tripathi PVT, 1970). h. 248.
(18)
Undang-undang yang berlaku di Pakistan mengenai mahar diatur dalam
Dowry and Bridal Gifts (Restriction) act 1976 yang diatur di dalam pasal 2 sampai
dengan pasal 5, dimana pasal 2 menjelaskan mengenai definisi mahar, pasal 3
mengatur mengenai pembatasan maksimal mahar, hadiah, dan hadiah pengantin. Pada
pasal 3 tepatnya ayat (1) menetapkan jumlah maksimal mahar 5000 Rupee atau setara
dengan Rp980.055,94.21 Serta dalam pasal 4 mengatur mengenai hadiah atau kado
yang boleh diberikan tidak boleh lebih dari 100 Rupee atau setara denganRp
19.601,12.22 Dan dalam pasal 5 perundang-undangan Pakistan menyebutkan bahwa
semua yang diberikan sebagai mahar, pemberian yang berkaitan dengan pernikahan
atau hadiah maupun kado yang diberikan menjadi hak penuh milik istri. Dan pasal 9
menetapkan bahwa seseorang yang melanggar aturan yang ada dalam Undang-undang
ini dapat dihukum dengan hukuman maksimal 6 bulan.23
Di dalam melihat posisi mengenai mahar di Pakistan aspek yang sangat
menonjol dalam perundang-undangan menegenai mahar yaitu dari segi jumlah yang
ditetapkan oleh Undang-undang tersebut dimana hal tersebut saling berterkaitan
dengan mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduk Pakistan. Seperti yang sudah
diuraikan diatas dimana mayoritas penduduk Pakistan bermazhab Hanafi. Di dalam
kitab Ushul Fiqih yang di tulis oleh Abdul Wahab Kallaf mendeskripsikan mengenai
ukuran minimal mahar dalam pandangan Imam Abu Hanifah yaitu sebanyak 10
Dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karena itu diwajibkan
mahar mitsil. Dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian
21
http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke Indonesia (Rupiah), diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
22
http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke indonesia (Rupiah), diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
23
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,(Bombay: N. M. Tripathi PVT, 1970), h. 249-251.
(19)
yang mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama Hanafiyah beralasan dengan
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan Baihaqi sebagai berikut:
ةرشع نود رهم َ و ءايلوِا َإ نهجوزي َو اؤفك َإ ءاسنلا حكني َ :م.ص ها لوسر لاق ,لاق هنع ها يضر ها دبع نب رباج نع مهارد
Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ‘’ketahuilah, wanita
itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh
mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan
tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham. (HR. Daruquthni dan
Baihaqi).24
Hadits tersebut menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut ukuran
yang benar secara syara‟ adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash yang lain yang menunjukan persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu
akad atau lainnya.25
Perbedaan yang terlihat dari beberapa ketentuan yang berlaku di kedua negara
tersebut adalah di dalam menentukan jumlah mahar. Pakistan mencantumkan dalam
aturan yang berlaku bahwa maksimal mahar adalah 5000 Rupee atau setara dengan
Rp980.055,94.26 Bahkan sampai kepada kado atau hadiah yang boleh diberikan
kepada pengantin tidak boleh lebih dari 100 Rupee atau setara dengan Rp 19.601,12.27
Dengan begitu sanksi pidana juga akan diberlakukan kepada para pihak yang
24
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro, Juz VII
(Makkah: Dar al-Bazh), h. 240. 25
Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-2 (Semarang: Toha Putra Group, 20014), h. 178. 26
http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke Indonesia, diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
27
http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke Indonesia (Rupiah), diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
(20)
melanggar ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam hal ini Pakistan
merupakan negara yang lebih berani memberikan sanksi pidana dalam masalah
mahar.
Dilihat dari pembahasan di atas, hukum perkawinan dan perceraian dalam
undang-undang hukum keluarga Pakistan dan Indonesia tidak bertentangan dengan
prinsip dasar hukum Islam sebagaimana yang secara liberal ditafsirkan oleh ahli
hukum.28 Pernyataan tersebut menunjukan suatu fenomena yang sangat menarik untuk
dikaji. Baik itu hal yang terkait dengan paham keagamaan (mazhab), maupun
hal-hal yang terkait dengan politik atau regulasi yang diatur oleh kedua negara tersebut.
Karena itu hal ini menjadi perhatian penting untuk di kaji. Oleh sebab itu hal ini
sangat menarik untuk di kaji dengan melihat bagaimana perbedaan mahar di kedua
negara tersebut yang di pengaruhi oleh letak geografis, tradisi, maupun paham
keagamaan (mazhab) yang dianut oleh kedua negara tersebut. Maka dari itu peneliti
mengangkat judul tentang “Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan di
Negara Indonesia dan Pakistan”.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian Latar Belakang Masalah diatas, maka penulis mengidentifikasikan
permasalahan-permasalahan yag berkaitan dengan kedudukan mahar pernikahan,
yaitu :
1. Bagaimana ketentuan mahar dalam perundang-undangan di Pakistan dan
Indonesia?
28
Muhammad Zumroni, Sumber Hukum dan Konstitusional Undang-Undang: Perbanding Indonesia dengan beberapa negara muslim (Pakistan, Mesir, dan Iran) fakultas syariah dan hukum prodi Jinayah Syiasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 78.
(21)
2. Apakah ada pengaruh dualisme aliran mazhab yang membedakan hukum
mengenai mahar di kedua negara tersebut?
3. Bagaimana perbandingan ketentuan mahar pada Kompilasi Hukum Islam di
negara muslim?
4. Siapa saja yang berhak terhadap pemberian mahar tersebut?
5. Bagaimana tradisi mahar pada setiap daerah di Indonesia dan Pakistan terhadap
sistem mahar dan perkawinan?
6. Apa saja jenis perceraian yang diakibatkan dengan pengembalian mahar?
7. Kapan berlakunya kewajiban mengenai mahar di Indonesia dan Pakistan?
Dalam studi ini penulis hanya memfokuskan kepada jumlah dan kedudukan mahar di
Indonesia dan Pakistan.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka penulis membatasi masalah
pada pokok pembahasan yaitu :
a. Ketentuan mahar yang ditetapkan di dalam undang-undang Pakistan mengenai
mahar telah diatur dan ditetapkan di dalam Undang-undang tersebut.
b. Ketentuan mahar yang ditetapkan di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam
perundang-undangan Indonesia bahwa mahar berasaskan kesederhanaan dan
kemudahan bukan berdasarkan jumlah.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diketahui bahwa
permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat diidentifikasikan sebagai
(22)
1. Bagaimana konsep mahar dalam Fiqih?
2. Bagaimana perbedaan konsep mahar dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Indonesia dengan Undang-undang Pakistan?
3. Bagaimana posisi mazhab fiqih dalam konteks praktek mahar di Indonesia dan
Pakistan ?
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan berdasarkan Rumusan Masalah di dalam penulisan skripsi ini
diantaranya yaitu:
1. Untuk mengetahui mahar menurut hukum Islam
2. Untuk mengetahui pengaruh mazhab didalam hukum keluarga di Indonesia
dan Pakistan.
3. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan mengenai ketentuan mengenai
mahar yang diatur di dalam perudang-undangan Indonesia dan Pakistan.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Praktis
Memberikan informasi yang mendalam mengenai perbandingan
Undang-undang mengenai mahar pada hukum keluarga di negara Islam
mengenai penetapan mahar.
b. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang
dapat menambah khazanah keilmuan khususnya dibindang ilmu hukum
keluarga.
(23)
Kajian studi terdahulu disajikan dalam bentuk table.
NO Studi Terdahulu Objek Kajian Perbedaan
1 HUKUM KELUARGA DI
PAKISTAN (ANTARA
ISLAMISASIDANTEKANAN
ADAT)
Artikel : M. Atho Mudhzar
(Fakultas Syari‟ah dan Hukum
UIN syarif Hidayatullah
Jakarta, 01 Juni 2014).
Artikel tersebut membahas mengenai Islamisasi hukum
keluarga di
Pakistan yang
dengan objek
pembahasan
mengenai batas
minimal usia
pernikahan,
pencatatan
perkawinan,
pembatasan
nilai mahar,
proses
perceraian,
poligami, hak
nafkah istri
dan waris.
Yang membedakan
artikel tersebut
dengan objek
penulis dalam
skripsi ini yaitu
penulis hanya
memfokuskan
kepada penetapan
mahar di Indonesia
dan jumlah mahar
di Pakistan dengan
membandingkan
Undang-undang
yang terkait
dengan kedua
negara tersebut dan
mengurai
mengenai
perbedaan mazhab
yang dianut oleh
kedua negara
(24)
membentuk hukum
keluarga di kedua
negara tersebut.
2 KAJIAN YURIDIS
TENTANG MAHAR.
Artikel : Drs. Husaini, SH.
(Wakil Ketua Mahkamah
Syariah Calang)
Pembahasan
pada artikel
tersebut yaitu
mengenai
mahar yang
berada di
Indonesia
dengan
mengkaji
Kompilasi
Hukum Islam
sebagai sumber
dari artikel
tersebut, serta
artikel tersebut
membahas
menganai
solusi mahar
pada saat cerai
yang masih
belum dilunasi
Yang membedakan
objek kajian
didalam penulisan
skripsi ini yaitu
penulis membahas
mengenai
penetapan mahar di
Indonesia dan
Pakistan,dengan
membandingkan
mengenai
peraturan terhadap
mahar oleh kedua
negara tersebut
berdasarkan hukum
keluarga dikedua
negara tersebut.
Serta meninjau
kembali mengenai
pengaruh mazhab
(25)
oleh suami. tesebut dalam
membentuk hukum
keluarga.
3 KEDUDUKAN DAN
JUMLAH MAHAR
DINEGARA MUSLIM
(Jurnal : Qadariah Barkah
IAIN Raden Fatah Palembang,
02 Juli 2014)
Artikel
tersebut
membahas
menegnai
mahar dinegara
muslim yang
meliputi mahar
di Maroko,
Yordania,
Syria,
Pakistan, dan
Indonesia,
artikel ini juga
mengguraikan
mengenai
sanksi pelaku
pelanggar
mahar di
Pakistan, dan
membahas
mengenai
Meskipun judul
dalam artikel
tersebut hampir
sama dengan
penulis dalam
skripsi ini akan
tetapi yang
membedakan
mengenai artikel
tersebut dengan
penulisan dalam
skripsi ini yaitu
penulis hanya
memfokuskan
mengenai
penetapan jumlah
mahar di Pakistan
dan kedudukan
mahar di Indonesia
serta tidak
(26)
mahar dari
sudut pandang
fiqih.
mengenai sanksi
yang diberlakukan
di negara Pakistan
terhadap jumlah
mahar yang
ditentukan oleh
kedua negara
tersebut.
Sertadidalam hal
ini penulis tidak
hanya
membandingkan
mengenai
ketentuan mahar
di Indonesia dan
Pakistan akan
tetapi penulis juga
mengkaji lebih
mendalam
mengenai pengaruh
terhadap mazhab
yang dianut oleh
kedua negara
tersebut dalam
(27)
keluarga di kedua
negara tersebut.
F. Signifikan Penelitian
Penelitian ini penting dilakukan mengingat masih banyaknya hukum keluarga
Islam di dunia yang memiliki dampak kontradiktif terhadap realita di masyarakat.
Khususnya terhadap masalah jumlah mahar yang ditentukan oleh Undang-undang di
Pakistan. Setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda-beda serta menimbulkan
dampak yang berbeda terhadap masyarakatnya masing-masing. Sehingga hal tersebut
perlu adanya penelitian secara mendalam, demi memberikan penjelasan yang didasari
pembuktian yang ilmiah.
G. Metode Penelitian
Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
sebagai berikut :
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian library research
(Kepustakaan) yaitu, serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka,membaca dan mencatat serta mengelola bahan
penelitian,29 yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang ada relevansinya
dengan pembahasan skripsi ini. Adapun pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan normatif.
2. Sumber Data
29
(28)
Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka
diambil data dari berbagai sumber tertulis sebagai berikut :
a. Sumber Hukum Data Primer
Data primer adalah sumber data asli yang memuat informasi atau data
bahan-bahan hukum yang terkait.Sumber data primer dalam penelitian ini
adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Undang-Undang Sipil Pakistan
“Dowry and Bridal Gift (Restricion) Act Tahun 1976.”
b. Sumber Hukum Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer tersebut. Data sekunder dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan, buku-buku, arsip-arsip, jurnal, dokumen-dokumen
yang mendukung dalam pembahasan ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka mendapatkan data yang akurat untuk mendukung penelitian ini,
maka penulis akan menggunakan metode pengumpulan data, yaitu:
a. menggunakan metode dokumen. Metode dokumen adalah metode yang
dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari data-data melalui
catatan-catatan artifak melalui kajian terhadap studi kepustakaan
seperti buku karya ilmiah, jurnal serta kasus-kasus yang berkaitan dan
didapat melalui sumber yang akurat serta berkaitan dengan penelitian
ini.30 Studi dokumen dalam peneitian ini digunakan untuk memperoleh
data-data yang berkitan dengan pembahasan skripsi ini.
30
(29)
b. Teknik penulisan skirpsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Tahun 2012” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dn Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakata.
4. Teknis Analisis Data
Konsep dasar adanya analisis data adalah proses mengatur urutan-urutan
data, mengordinasikannya kedalam satu pola, dalam katagori dan dalam satuan
uraian data.31 Untuk memenuhi konsep dasar analisis data ini, penulis melakukan
analisis secara komprehensip dan lengkap, yakni secara mendalam dari berbagai
aspek sesuai dengan ruang lingkup penelitian sehingga tidak ada yang
terlupakan.32 Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode berikut ini :
5. Metode Komparatif
Penelitian Komparatif merupakan penelitian yang bersifat membandingkan.
Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan persamaan serta perbedaan dua
atau lebih dari fakta-fakta dan sifat-sifat yang objeknya diteliti berdasarkan
kerangka pemikiran tertentu. Penelitian komparatif adalah jenis penelitian yang
digunakan untuk membandingkan antara dua kelompok atau lebih berdasarkan
variable tertentu. Dalam hal ini penulis membandingkan mengenai ketetapan
mahar yang diatur di dalam Undang-undang Indonesia dan Pakistan.
6. Metode Peneitian Kualitatif
31
Lexi. J, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cet. Ke-26 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 248.
32
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h. 127.
(30)
Adapun metodelogi penelitian yang digunakan dalah metode penelitian
kualitatif dengan jenis penelitian historis dengan maksud menguji hipotesis atau
membandingkan hasil studi kepustakaan dengan dugaan adanya kesamaan sejarah
antar satu negara yang mengalami hemogoni oleh penjajah.33 Adapun teknik
pengumpulan data dari penelitian historis ini diperoleh melalui catatan-catatan
artifak atau laporan-laporan verbal dengan tahapan sebagi berikut:
a. Melakukan observasi terhadap hasil observasi orang lain (studi kepustakaan).
b. Kecermatan penting dilakukan dengan memperhatikan keobjektifitas,
keotentikan data, yang terpenting terdapat dari sumber yang tepat.
c. Data yang diperoleh harus bersifat sistematis menurut urutan peristiwa dan
bersifat tuntas.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripisi ini adalah
BAB perbab, dimana antara BAB yang satu dengan BAB yang lainya memiliki
keterkaitan. Sistematika penulisan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
Pada BAB I merupakan bab Pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi
ini, pada bab ini saya menguraikan dengan uraian bahasa meliputi: Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Signifikan Penelitian, Metodologi
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Pada BAB II saya menjelaskan serta mendeskripsikan mengenai Konsep
Mahar dalam Islam dan Tradisi Bangsa Arab.
33
Http:///macam-macampenelitiankualitatif.Subliyato.com diakses pada hari Rabu 04-11-2015, jam 13.15 WIB.
(31)
Pada BAB III ini saya menjelaskan serta mendeskripsikan mengenai hukum keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan sebagai negara muslim, pengaruh mazhab
terhadap pembentukan hukum keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan.
Pada BAB IV ini saya membahas mengenai Konsep Mahar dalam Fiqih,
setelah itu saya membahas mengenai Kewajiban Jumlah Mahar di Pakistan dan
kedudukan Mahar di Indonesia, serta Laporan Admistrasi Mahar di Pakistan
Pada BAB V ini Merupakan bab penutup, yang terdiri dari kesimpulan
terhadap permasalahan dalam penyusunan skripsi ini. Sekaligus memberikan saran
(32)
22
KONSEP MAHAR DALAM ISLAM DAN TRADISI BANGSA ARAB
A. Sejarah Mahar
Mahar sudah dikenal pada masa jahiliyah, jauh sebelum Islam datang. Akan
tetapi, sebelum datangnya Islam mahar bukan diperuntukkan kepada calon istri,
melainkan kepada ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak istri. Karena pada masa
itu konsep perkawinan menurut hukum adat ketika itu sama dengan transaksi jual
beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dan ayah atau keluarga dekat
laki-laki dari calon istri sebagai pemilik barang.
Di zaman jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga
walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya. Dan tidak memberikan
kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu, Islam datang
menghilangkan belenggu ini, kepadanya mahar di berikan.1
Menurut Anderson, sejak zaman pra-Islam (Arab jahiliyah) telah ada berbagai
macam corak perkawinan. Dimulai dari perkawinan patrilineal dan patrilokal,
matrilineal dan matrilokal, hingga perkawinan temporer untuk sekedar
bersenang-senang (perkawinan muth‟ah). Bentuk perkawinan yang terhormat pada masa itu adalah patrilineal dimana pengantin pria membayar sejumlah uang atau mahar kepada
calon pengantin perempuan.2
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid ke-VII, (Bandung : PT. Alma‟arif, 1981), h. 53.
2
(33)
Pemberian mahar dalam perkawinan tidak dapat di pisahkan dalam tradisi
perkawinan pada masyarakat Arab pra-Islam. Pada masa itu, seorang laki-laki yang
ingin meminang seorang perempuan harus melalui melalui seorang laki-laki yang
menjadi wali dari anak perempuannya sendiri, dan laki-laki yang bersangkutan
memberikan mahar kepada wali, kemudian menikahinya.3
Ketika al-Qur‟an datang mahar tetap diberlakukan, hanya saja konsepnya yang
mengalami perubahan. Kalau dahulu mahar dibayarkan kepada orang tua (ayah) calon
istri sekarang mahar tersebut diperuntukkan calon istri. Salah satu dari usaha Islam
ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk
memegang urusannya.
Kata “Mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah diadopsi kedalam bahasa
Indonesia terpakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan
pengertian “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan ketika dilangsungkanakad nikah”. Hal ini sesuai dengan tradisi
yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad
nikah.4 Di dalam istilah ahli fiqih mahar juga dipakai dengan istilah „‟Shadaq, nihlah
dan faridhah „‟ didalam bahasa Indonesia di paki dengan istilah maskawin.5
Mahar atau maskawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan yang merupakan hak si istri.6 Mahar merupakan satu diantara
hak istri yang didasarkan atas Kitabullah, Sunnah Rasul dan ijma‟.7
Konsep tentang
3
Khoiruddin Nasution, Islam tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan 1), (Jakarta: Academia & Tazzafa, 2004), h. 127.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 84.
5
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 81.
6
Nasiri, Hebohnya Kawin Misyar, (Surabaya: Al Nur, 2010), h. 13.
7
(34)
maskawin atau mahar adalah bagian yang sangat penting dalam pernikahan. Tanpa
maskawin atau mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan pernikahan dengan
benar.Maskawin atau mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan pernikahan.8
Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada isteri, sebagai tanda keseriusan
laki-laki untuk menikahi dan mencintai perempuan. Sebagai lambang ketulusan hati
untuk mempergaulinya secara ma‟ruf.9
Dasar wajibnya memberikan mahar ditetapkan dalam al-Qur‟an dan hadits
Nabi. Dalil mengenai mahar dijelaskan dalam al-Qur‟an surah an-Nisa ayat 4 yang
berbunyi:
ِنلا اوُتآو
ًئيِرّم اًئْيِنَه ُْوُلُكَف اًسْفَ ن ُهْنِم ٍءْيَش ْنَع ْمُكَل َِْْط ْنِإَف ًةَلِِْ ّنِهِتَق ُدَص َءآَس
ا
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.10
Ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban memberikan mahar pada
perempuan yang akan dinikahi. Mahar tersebut merupakan hak mutlak bagi
perempuan, bukan hak ayah atau saudara laki-laki perempuan tersebut.
Perintah untuk memberikan mahar juga tercantum dalam al-Qur‟an surah an
-Nisa ayat 25 yang berbunyi:
……
ْوُحِكْناَف
ّنُه
ِنْذِإِب
ّنِهِلْهَأ
ّنُهْوُ تآَو
ّنُهَرْوُجُأ
ِفْوُرْعَمْلاِب
………
Artinya : “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut”.11
8
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan, (Jakarta: Teraju, 2004 ), h. 101.
9
Muhammad Husain, Fiqih Perempuan Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender, (Yongyakarta: LKIS, 2010), h. 108-109.
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h. 77.
11
(35)
Dalam ayat lain dijelaskan tentang kewajiban memberikan mahar sebagaimana
dalam al-Qur‟an surah an-Nisa ayat 24 yang berbunyi:
……
ًةَضْيِرَف ّنُهَرْوُجُأ ّنُهْوُ ت َأَف ّنُهْ نِم ِهِب ْمُتْعَ تْمَتْسااَمَف
……..
Artinya: “Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)”12
Selain dalam al-Qur‟an kewajiban mahar disebutkan pula di dalam hadits
Rasulullah sebagai berikut:
َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا َلوُسَر َ ُهَل َلاَق َةَمِطاَف ّىِلَع َجّوَزَ ت اّمَل : َلاَق ٍساّبَع ِنْبا ْنَع
،اًئْيَش اَهِطْعَا" :
ىِدْنِعاَم :َلاَق
دواد وبا اور( ُةّيِمْطَْْا َكُعْرِد َنْيَا :َلاَق ،ٌئْيَش
)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata: ketika Ali menikahi Fatimah, Rasulullah SAW
berkata kepada Ali: berikanlah sesuatu kepada Fatimah, Ali berkata: saya tidak memiliki sesuatu”. Nabi berkata: ‘’dimana baju besimu”. (H.R Abu Dawud).
Nabi sangat menekankan kepada Ali agar memberikan sesuatu apapun kepada
Fatimah anak beliau sebagai mahar walau hanya dengan baju besi.
Begitu pula Rasulullah sangat menekankan pada umat Islam tentang
kewajiban memberikan mahar kepada calon istri walau hanya dengan beberapa surah
dari al-Qur‟an, sebagaimana hadist Rasul yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
Sahl bin Sa‟ad sebagai berikut:
ّللا َلوُسَر ْتَءاَج ًةَأَرْما ّنَأ :ٍدْعَس ِنْب ِلْهَس ْنَع
يِسْفَ ن َكَل َبَهَِِ ُتْئِج ِهّللا َلوُسَر اَي :ْتَلاَقَ ف َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِه
َأَطْأَط ُُّ ُهَبّوَصَو اَهْ يَلِإ َرَظّنلا َدّعَصَف َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا ُلوُسَر اَهْ يَلِإ َرَظَنَ ف
ْرَمْلا ْتَأَر اّمَلَ ف ُهَسْأَر
اَهيِف ِضْقَ ي ََْ ُهّنَأ ُةَأ
ِنْجِوَزَ ف ٌةَجاَح اَِِ َكَل ْنُكَت ََْ ْنِإ ِهّللا َلوُسَر اَي :َلاَقَ ف ِهِباَحْصَأ ْنِم ٌلُجَر َماَقَ ف ْتَسَلَج اًئْيَش
ْنِم َكَدْنِع ْلَه َلاَقَ ف اَهي
ِإ ْبَهْذا :َلاَق ِهّللا َلوُسَر اَي ِهّللاَو ََ :َلاَقَ ف .ٍءْيَش
اَي ِهّللاَو ََ :َلاَقَ ف َعَجَر ُُّ َبَهَذَف .اًئْيَش ُدََِ ْلَه ْرُظْناَف َكِلْهَأ ََ
ِهّللاَو ََ :َلاَقَ ف َعَجَر ُُّ َبَهَذَف .ٍديِدَح ْنِم اًََاَخ ْوَلَو ْرُظْنا :َلاَق اًئْيَش ُتْدَجَو اَم ِهّللا َلوُسَر
اًََاَخ َََو ِهّللا َلوُسَر اَي
ْنِم
ْيَلَع ُهّللا ىّلَص ِهّللا ُلوُسَر َلاَقَ ف ُهُفْصِن اَهَلَ ف ٌءاَدِر ُهَل اَم :ٌلْهَس َلاَق .يِراَزِإ اَذَه ْنِكَلَو ٍديِدَح
ْنِإ َكِراَزِإِب ُعَنْصَت اَم :َمّلَسَو ِه
َلَع ْنُكَي ََْ ُهْتَسِبَل ْنِإَو ٌءْيَش ُهْنِم اَهْ يَلَع ْنُكَي ََْ ُهَتْسِبَل
ِهّللا ُلوُسَر ُآَرَ ف َماَق ُُّ ُهُسَلََْ َلاَط َّّح ُلُجّرلا َسَلَجَف ؟ٌءْيَش َكْي
َلاَق ؟ِنآْرُقْلا ْنِم َكَعَم اَذاَم :َلاَق َءاَج اّمَلَ ف َيِعُدَف ِهِب َرَمَأَف اًيِلَوُم َمّلَسَو ِهْيَلَع ُهّللا ىّلَص
اَذَك ُةَروُسَو اَذَك ُةَروُس يِعَم :
12
(36)
َِِ اَهَكُتْكّلَم ْدَقَ ف ْبَهْذا :َلاَق ْمَعَ ن :َلاَق ؟َكِبْلَ ق ِرْهَظ ْنَع ّنُهُؤَرْقَ تَأ َلاَق اَهَدّدَع اَذَك ُةَروُسَو
اور( .ِنآْرُقْلا ْنِم َكَعَم ا
.)يراخبلا
Artinya: “Dari Sahl bin Sa’ad: bawa seorang perempuan telah datang kepada
Rasulullah saw kemudian ia berkata: wahai Rasulullah aku datang untuk mencintai dirimu seorang. Maka Rasulullah saw. menaikan pandangannya kepada perempuan itu dan merendahkan pandangannya kemudian menundukkan kepalanya, dan ketika perempuan itu melihat belum ada keputusan apa-apa maka perempuan itu pun duduk dan datanglah seorang laki-laki dari golongnya dan berkata: wahai Rasulullah jika anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkanlah aku dengannya,
Rasulullah berkata: “apakah kamu mempunyai sesuatu ?” “tidak demi Allah ya
Rasulullah saya tidak mempunyai apa-apa”, maka Rasulullah berkata:“pergilah
kepada keluargamu dan lihatlah apakah kamu menemukan sesuatu”. Maka pergilah
laki-laki tersebut kemudian datang kembali kepada Rasulullah dan laki-laki itu
berkata “tidak ada, demi Allah saya tidak mendapatkan sesuatu pun, maka Rasulullah berkata “carilah walau pun hanya berbentuk cincin besi”,maka laki-laki itu pergi dan kembali lagi kemudian ia berkata “demi Allah tidak ada ya Rasulullah walaupun hanya sebuah cincin besi akan tetapi ini saya mempunyai sarung, Rasulullah berkata apa yang bisa kau lakukan dengan sarungmu ? jika kamu memakainya maka tak ada satu pun untuk dia, dan jika ia memakainya maka tak akan ada satu pun untukmu, maka duduklah laki-laki itu pada majelis tersebut dalam waktu yang lama kemudian ia berdiri. Dan Rasulullah saw. melihatnya kemudian memanggilnya dan ketika laki-laki itu datang, Rasulullah berkata “apa yang kamu tahu tentang al-Qur’an”? laki-laki itu menjawab “saya menghafal surat ini dan surat
ini dan surat ini, kemudian Rasulullah berkata “apakah kamu membacakan untuk dia
dari hatimu yang paling dalam ? laki-laki itu menjawab “ya” Rasulullah berkata
“pergilah maka kamu telah menikahinya dengan apa yang kamu punya dari
al-Qur’an”.13
(H.R Al-Bukhari)
Pada umumnya mahar biasanya berbentuk materi baik berupa uang atau
barang berharga lainnya. Namun syari‟at Islam memungkinkan mahar dalam bentuk
yang lainnya, seperti dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Sebagaimana firman
Allah dalam surah al-Qasas ayat 27 yang berbunyi:
َع َتْمَََْأ ْنِإَف ٍجَجِح َ ِّاَََ َِّرُجْأَت ْنَأ ىَلَع َِْْ تاَه َََّنْ با ىَدْحِإ َكَحِكْنُأ ْنَأ ُديِرُأ ِِّإ َلاَق
ْنِمَف اًرْش
ْنَأ ُديِرُأ اَمَو َكِدْنِع
َِِِْاّصلا َنِم ُهّللا َءاَش ْنِإ ُِّدِجَتَس َكْيَلَع ّقُشَأ
.
Artinya:”Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun. Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".14
13
Al-Bukhari, Sahih Al-bukhari, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2008), h. 440.
14
(37)
Kewajiban membayarkan mahar pada hakikatnya tidak hanya untuk
mendapatkan kesenangan, namun lebih kepada penghormatan dan pemberian dari
calon suami kepada calon isteri sebagai awal dari sebuah pernikahan dan sebagai
tanda bukti cinta kasih seorang laki-laki.15
Adapun mahar menurut para madzhab diantaranya yaitu: Madzhab Hanafi
ialah mahar sebagai sesuatu yang didapatkan seseorang perempuan akibat akad
pernikahan atau persetubuhan. Sedangkan mahar menurut Mazhab Maliki yaitu
sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya
dan Mazhab Syafi‟i mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab
pernikahan atau persetubuhan, atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa
daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi, begitu juga mahar menurut
Mazhab Hambali mendefinisikan mahar sebagai pengganti dalam akad pernikahan,
baik mahar ditentukan di dalam akad atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan
kedua belah pihak atau hakim.16
Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara
pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, akan tetapi mahar
merupakan lambang penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang
kewajiban tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istri, selain lambang cinta
kasih sayang suami terhadap istri, sebagaimana dikemukakan ulama Syafi‟iyah.17
15
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdiy, Tanwir al-Qulub, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), h. 384.
16
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Darul Fikir, 2007), h. 230.
17
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 124.
(38)
Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad
sebagaimana halnya dalam jual-beli, tetapi merupakan salah satukonsekuensi adanya
akad. Akad nikah boleh dilakukan tanpa menyebut mahar.
Mengenai jumlah rukun nikah para Imam Madzhab berbeda pendapat dalam
membentuknya. Imam malik mengatakan rukun nikah itu ada lima macam
diantaranya adalah :
1. Wali dari pihak perempuan.
2. Mahar (maskawin)
3. Calon pengantin laki-laki.
4. Calon pengantin perempuan.
5. Sighat akad nikah.
Imam Syafi‟i juga menyebutkan lima rukun pernikahan ada lima, yaitu:
1. Calon pengantin laki-laki.
2. Calon pengantin perempuan.
3. Wali.
4. Dua orang saksi.
5. Sighat akad nikah.
Menurut Abd. Rahman Ghazali madhzab Hanafiyah menyebutkan rukun
pernikahan hanya ada ijab dan qabul (akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan
dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan ulama yang lain
menyebutkan rukun dari pernikahan ada empat yaitu:18
1. Sighat (ijab dan qabul).
18
(39)
2. Calon pengantin perempuan.
3. Calon pengantin laki-laki.
4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Para Imam madzhab berbeda pendapat mengenai redaksi mahar akan tetapi
maksud dan tujuannya tetap sama. Diantara mereka yang berbeda pendapat ialah:
a.) Golongan Syafi‟iyah berpendapat bahwa mahar adalah19
ءطو وأ حاكنب بجو ام وهو
artinya: ‘’ Sesuatu yang wajib diberikan sebab adanya pernikahan atau jima’ ‘’.
b.) Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah20
جوزلا ىلع حاكنلا دقع ي بج لاما وه رهماو
دقعلاب وأ ةيمستلاب امإ ،عضبلا عفانم ةلباقم ي
Artinya : ‘’Mahar adalah sejumlah harta yang diwajibkan kepada suami dalam suatu akad nikah sebagai imbalan halalnya jima', baik dengan sebab penyebutan mahar atau karena adannya akad’’.
c.) Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah21
رهما
اَِِ ِعاَتْمِتْس ِإا ِِْْظَن ِْي ِةَجْوّزلِلا ُلَعُْج اَم َوُه
Artinya: ‘’Mahar adalah sesuatu yang di berikan kepada isteri sebagai ganti (imbalan) dari istimta’ atau bersenag-senang dengannya’’
d.) Golongan Hanabilah mengenai mahar adalah
menurut golongan Hanabilah mahar terbagi menjadi 2 jenis atau bentuk, yaitu
pertama mahar yang disebutkan didalam akad nikah atau yang diwajibkan setelah akad nikah. Mahar yang disebutkan atau ditetapkan pada waktu pemberlakuan akad
nikah disebut mahar musamma. Dan yang kedua mahar yang tidak disebutkan
19
Syekh Ahmad Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Fannan, Fathul Mu'in Bisyarhi Qurrotil Ain Bimuhimmatiddin, cet. Ke-1 (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2004), h. 485.
20
Al-Babarty Hasyiyah al-Mufti Asy-Syahir bin Sa‟ied al-Halbi, Al-'inayah Syarhul Hidayah, jilid 3 (Beirut: Darul Fikri, t.th), h. 316.
21
(40)
didalam akad nikah, mahar tersebut disebut dengan mahar mitsil. Jika tidak
menyebutkan mahar di dalam akad nikah maka pernikhannya tetap sah.
Adapun mengenai status hukum mahar para fuqaha sependapat bahwa mahar
itu termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan, dan tidak boleh diadakan persetujuan
untuk meniadakannya.22 Sedangkan menurut Wahbah Zuhayliy mahar bukanlah
rukun dan syarat syahnya dari sebuah pernikahan, melainkan hanya akibat dari adanya
akad nikah sehingga jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah maka hukum
perkawinannya adalah sah.23 Akibat hukum dari perkawinan yang akad nikahnya
tanpa menyebutkan mahar adalah jika terjadi perceraian, maka isteri berhak atas
hak-hak mereka seperti hak-hak nafkah „iddah, muth‟ah, hak-hak pembagian harta bersama, hak-hak
hadhanah atas anak yang belum muayyiz dan hak waris jika perceraian itu disebabkan
karena suami meninggal dunia.24 Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad
Amin al-Kurdiy yang menyatakan bahwa akad tanpa menyebutkan mahar adalah sah
namun dibenci (makruh).25
Imam Syafi‟i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi‟in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu
yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.26 Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Segolongan fuqaha mewajibkan penentuan batas terendahnya, tetapi kemudian
mereka berselisih dalam dua pendapat. Pendapat pertama dikemukakan oleh Imam
22
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 432.
23
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Darul Fikir, 2007), h. 6761.
24
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 136.
25
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdiy, Tanwir al-Qulub, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), h. 385.
26
(41)
Malik dan para pengikutnya. Imam Malik berpendapat bahwa sedikit-dikitnya mahar
adalah seperempat dinar emas atau perak seberat 3 dirham timbangan atau barang
yang sebanding dengan 3 dirham tersebut. Sedangkan pendapat kedua dikemukakan
oleh Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya batas minimal mahar sebanyak 10
Dirham. Ulama Hanafiyah beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
ad-Daruquthni dan Baihaqi sebagai berikut:
نع
َ و ءايلوِا َإ نهجوزي َو اؤفك َإ ءاسنلا حكني َ :م.ص ها لوسر لاق ,لاق هنع ها يضر ها دبع نب رباج
مهارد ةرشع نود رهم
Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ‘’ketahuilah, wanita
itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh
mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan
tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham.(HR. Daruquthni dan
Baihaqi).27
Hadis di atas menjelaskan bahwa batas minimal mahar adalah sepuluh
dirham.Kurang dari itu dianggap tidak ada mahar atau pernikahan itu tidak
sah.Adapun dalil qiyas yang dikemukakan oleh mazhab Hanafiyah adalah dengan
mengqiyaskan batas minimal maharkepada nishab potong tangan dalam pencurian,
karena masing-masing merupakan ketentuan syara‟ yang menghalalkan anggota
tubuh. Menurut mereka nishab pencurian yang mewajibkan potong tangan adalah
sepuluh dirham. Maka itulah yang bisa menghalalkan kehormatan wanita. Hadis ini
menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut ukuran yang benar secara syara‟
adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash yang lain yang menunjukkan
persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu akad atau segala sesuatu yang
disyaratkan.28
27
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro, (Makkah: Dar al-Bazh, Juz VII), h. 240.
28
(42)
Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 huruf d
disebutkan: „‟Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik dalam berbentuk barang, uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam‟‟. Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa mahar merupakan pemberian wajib yang penuh kerelaan dari suami sebagai simbol
penghormatan kepada istri dikarenakan adanya ikatan perkawinan, dengan mahar
tersebut suami menunjukkan kesungguh-sungguhannya atas kerelaan dan cita-cita
untuk membina rumah tangga bersama istrinya. Pengaturan mahar dalam KHI
bertujuan:29
a. Untuk menertibkan masalah mahar.
b. Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan “rukun nikah”.
c. Menetapkan etika mahar atas asas “kesederhanaan dan kemudahan”, bukan didasarkan atas asas prinsip ekonomi, status, dan gengsi.
d. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan
dan persepsi yang sama dikalangan masyarakat dan aparat penegak
hukum.
Mahar menurut Abdul Shomad adalah :30
a. Pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum, sesudah atau pada
waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib.
b. Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam
rangka akad perkawinan kedua mempelai, sebagai lambang kecintaan
29
Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 40.
30
Abd. Shomad, Hukum Islam Penoromaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana Group, 2010), h. 229.
(43)
calon suami terhadap calon isteri serta kesedian calon isteri untuk menjadi
isterinya.
Adapun menurut Tihami dan Sohari Sahrani dalam bukunya yang
berjudul Fiqih Munakahat yang menjelaskan tentang syarat-syarat mahar dengan
maksud yang serupa sebagai berikut:31
1. Harta berharga, tidak sah mahar dengan barang dan harta yang tidak
berharga meskipun tidak ada penentuan banyaknya mahar, sesuatu yang
bernilai tetap sah disebut mahar.
2. Barangnya suci serta dapat diambil manfaat, tidak sah mahar dengan
memberikan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak
berharga.
3. Barang yang dijadikan mahar bukan barang ghasab. Ghasab artinya
mengambil barang milik orang lain tanpa izinnya namun tidak bermaksud
untuk memilikinya karena bermaksud akan mengembalikannya kelak.
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya, tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan
jenisnya.
Al-Qur‟an tidak menentukan jenis mahar harus berupa sebuah benda atau jasa tertentu yang harus dibayarkan seorang suami terhadap istrinya. Jawwad Mugniyah
menjelaskan bahwa jenis mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga,
binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya asalkan mahar tersebut
31
M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 39-40.
(44)
adalah barang yang halal dan dinilai berharga.32 Adapun Syarat yang harus dipenuhi
ketika mahar berbentuk barang adalah :33
a. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.
b. Barang itu miliknya sendiri secara penuh dalam arti dimiliki zatnya dan
juga manfaatnya.
c. Barang itu memenuhi syarat untuk diperjual-belikan dalam arti barang
yang tidak boleh diperjual-belikan tidak diperbolehkan dijadikan mahar.
d. Mahar dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang
dijanjikan, dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada
waktu diperlukan.
Mahar itu merupakan pemberian pertama dari seorang suami kepada istrinya
yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu
akantimbul beberapa kewajiban materil yang harus dilaksanakan oleh suami selama
masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian
mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materil
berikutnya. Diberlakunya mahar di dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam
antara lain:34
a. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya
saling membutuhkan.
b. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat
tukar yang mengesankan pembelian.
32
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h. 365.
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 95.
34
Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 66.
(45)
c. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat
dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan
istrinya sesukanya.
d. Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami istri.35
e. Menunujukkan pentingnya dan posisi akad serta menghargai dan memuliakan
perempuan.36
Mahar sebagai kewajiban laki-laki bukan perempuan, selaras dengan prinsip
syariat bahwa seorang perempuan sama sekali tidak dibebankan kewajiban nafkah,
baik sebagai ibu, anak perempuan, ataupun seorang istri. Sesungguhnya yang
dibebankan untuk memberi nafkah adalah orang laki-laki, baik yang berupa mahar
maupun nafkah kehidupan, dan yang selainnya karena orang laki-laki lebih mampu
untuk berusaha dan mencari rizeki.
B. Mahar dalam Tradisi Arab
Sistem pernikahan yang berlaku pada bangsa Arab adalah sistem pernikahan
endogami.Dimana sistem pernikahan tersebut memiliki aturan khusus yang harus
dipatuhi oleh masyrakat karena hal tersebut sudah menjadi suatu kebiasaan yang telah
dijalankan dari dulu hingga kini, sperti hal nya mengawini sesama golongan Arab,
hingga pada pemberian mahar.37 Kalau dahulu mahar dibayarkan kepada orang tua
(ayah) calon istri sekarang mahar tersebut diperuntukkan calon istri.Salah satu dari
usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu
memberinya hak untuk memegang urusannya.
35
Nurjannah, Mahar Pernikahan, (Yogyakarta: Prima Shopi, 2003), h. 55-56.
36
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Darul Fikir, 2007), h. 232.
37
(46)
Praktik ednogami dan kekerabatan ini masih dipertahankan oleh banyak
masyarakat dunia, seperti Kuwait, Jordan, Lebanono, Al-Jazair, Mesir, dan masih
banyak negara lainnya yang memperaktikan perkawinan ednogami maupun sesama
etnis.38
Di negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Somalia
dan lain-lain calon pengantin laki-laki harus menyediakan dana minimal Rp
500.000.000,- atau setengah miliyar untuk perkawinannya. Uang sebanyak itu di
pergunakan untuk biaya mahar, biaya perkawinan yang di tanggung oleh pihak
penngantin laki-laki, biaya rumah biaya mobil serta biaya bulan madu. Di sebagian
masyarakat Arab , semakin tinggi mahar semakin bangga mereka karena itu seakan
sebagai bukti bahwa anak perempuan mereka mendapat calon suami yang status
sosialnya tinggi.
Tradisi tersebut dikarenakan masih banyak hal yang bergantung pada
hubungan keluarga, isolasi geografi, maupun startifikasi sosial, dan budaya dengan
alasan yang fundamental dari beberapa alasan tersebut disebabkan oleh faktor
ekonomi.39
Di beberapa negara Arab, antara lain Arab Saudi, mahar menjadi mahal karena
dikaitkan juga dengan status sosial wanita. Semakin tinggi status sosial, misalnya
keluarga kerajaan, bisa jadi maharnya mencapai 1 juta Riyal atau Rp 3 milyar, atau
bahkanlebih. Tetapi, mahar untuk kebanyakan masyarakat di Arab Saudi antara 1.000 Riyal (sekitar Rp 3 juta) dan 10.000 Riyal (atau sekitar Rp 30 juta). Karena itu angka perkawinan di beberapa negara Arab, termasuk Arab Saudi sangat kecil karena
38
Ar-Rifa‟i, Muhammad Talal, dan Robert C. Woody, Marriage Patterns and Pediadnic Neurologic
Disease in Damascus, Scince II (Syiri‟a: Pakistan Journal, 2007). 39
Sari, Badr-Eddine, Mourad Aribi, & Badia Sari, Effect of Enogamy and Consanguinity on The Development Labial Venous Malformations in area of tlemcen (Wes Algeria) The Oppen genomics Journal, 2008.
(1)
BUKU III HUKUM PERWAKAFAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 215 Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakfkan benda miliknya. (3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
BAB II
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(2)
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat. (3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena: a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir; d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
(3)
BAB III
TATA CARA PERWAKAFAN DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuaty Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Bagian Kedua Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN PENGAWASAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuantersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif; b. karena kepentingan umum.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Bagian Ketiga Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang mewilayahinya.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.
Ketentuan Penutup Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
(5)
PENJELASAN ATAS
BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM PENJELASAN UMUM
1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan.
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.
5. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas Pasal 7
Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan agama. Pasal 8 s/d 18
Cukup jelas Pasal 19
Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali anak angkat dilakukan oleh ayah kandung.
Pasal 20 s/d 71 Cukup jelas Pasal 72
Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan. Demikian pula penipuan terhadap identitas diri.
Pasal 73 s/d 86 Cukup jelas Pasal 87
(6)
Pasal 88 s/d 93 Cukup jelas Pasal 94
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. Pasal 95 s/d 97
Cukup jelas Pasal 98
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. Pasal 99 s/d 102
Cukup jelas Pasal 103
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. Pasal 104 s/d 106
Cukup jelas Pasal 107
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. Pasal 108 s/d 118
Cukup jelas Pasal 119
Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama adalah talak ba’in sughraa. Pasal 120 s/d 128
Cukup jelas Pasal 129
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. Pasal 130
Cukup jelas Paal 131
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. Pasal 132
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. Pasal 133 s/d 147
Cukup jelas Pasal 148
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama. Pasal 149 s/d 185
Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.
Pasal 187 s/d 228 Cukup jelas Pasal 229