TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP DOI MENRE DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI SARAWAK MALAYSIA.
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ‘DOI MENRE’ DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI SARAWAK, MALAYSIA (STUDI KASUS DI DESA SADONG JAYA, ASAJAYA, SARAWAK)
SKRIPSI Oleh:
AHMAD MUTHIEE BIN ARPA NIM.C41209132
Universitas Islam NegeriSunanAmpel FakultasSyariah dan Hukum
Jurusan Hukum dalam ProdiAhwalusSyakhsiyah Surabaya
(2)
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ‘DOI MENRE’ DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI SARAWAK, MALAYSIA (STUDI
KASUS DI DESA SADONG JAYA, ASAJAYA, SARAWAK)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Ilmu Syariah dan Ekonomi Islam
Oleh:
Ahmad Muthiee Bin Arpa
NIM : C41209132
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum dalam Prodi Ahwalus Syakhsiyah Surabaya
(3)
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ahmad Muthiee Bin Arpa NIM : C41209132
Syariah dan Ekonomi Islam/ Syariah/ Ahwalus Fakultas/Jurusan/Prodi :
Syakhsiyah
Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap ‘Doi Menre’Dalam Pernikahan Adat Bugis Di Sarawak, Malaysia. (Studi Kasus Didesa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak)
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, 15 Jan 2015 Yang membuat pernyataan
Ahmad Muthiee Bin Arpa NIM. C41209132
(4)
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Muthiee Bin Arpa NIM. C41209132 ini telah diperiksa dan disetujui untuk dimunaqasahkan.
Surabaya, 15 Jan 2015 Pembimbing,
Dr. Hj. Dakwatul Chairah, M.Ag NIP. 195704321986032001
(5)
PENGESAHAN
Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Muthiee Bin Arpa NIM. C41209132 ini telah dipertahankan didepan sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel pada hari Rabu tanggal 28 Januari 2015, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam Ilmu Syari'ah.
Majelis Munaqasah Skripsi :
Ketua, Sekretaris,
Dr. Hj. Dakwatul Chairah, M. Ag Nurissaidah Ulinnuha
NIP.195704231986032001 NIP.199011022014032004
Surabaya, 3 Pebruari 2015
Mengesahkan, Fakultas Syari'ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
(6)
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap ‘Doi Menre’ (Uang Hantaran) Dalam Pernikahan Adat Bugis Di Sarawak, Malaysia. (Studi Kasus Di DesaSadong Jaya, Asajaya Sarawak)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan yaitu: Bagaimana kedudukan Doi’ menre’ dan fungsinya dalam perkawinan adat Bugis yang menjadi pedoman masyarakat muslim di Indonesia dan di Sarawak, Malaysia?. Seterusnya bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap Doi’ Menre dalam pernikahan adat Bugis Desa tersebut?
Penelitian ini merupakan penelitian metode purpossive sampling yang datanya diperoleh kemudian dianalisis melalui wawancara secara langsung hingga menghasilkan penjelasan ketentuan kedudukan Doi Menre dan fungsinya dan pandangan Hukum Islam terhadap Doi Menre di Desa Sadong Jaya, Asajaya.
Dalam penelitian ini diperoleh Hasil penelitian menyimpulkan bahwa masyarakat Desa Sadong jaya menganggap bahwa Doi Menre adalah sejumlah uang yang wajib diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri. Fungsinya adalah digunakan sebagai biaya dalam resepsi perkawinan. Tujuan pemberian Doi Menre adalah untuk menghargai atau menghormati wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui Doi Menre tersebut. Kedudukan Doi Menre dalam perkawinan adat tersebut adalah sebagai salah satu pra syarat, karena tidak ada Doi Menre maka tidak ada perkawinan. Adapun nilai Doi Menre sangat ditentukan oleh kedudukan atau status sosial dalam masyarakat, seperti jenjang pendidikan, ekonomi keluarga, kesempurnaan fisik, gadis dan janda, jabatan, pekerjaan dan keturunan. Apabila wanita yang akan dinikahi kaya maka akan banyak pula nilai Doi menre yang akan diberikan calon mempelai laki laki kepada perempuan tersebut. Pemberian Doi Menre dalam perkawinan adat Bugis Sadong Jaya tidak diatur dalam hukum Islam. Hukum Islam hanya mewajibkan calon mempelai laki laki membayarkan mahar kepada calon mempelai wanita dan itupun dianjurkan kepada pihak wanita agar tidak meminta mahar berlebihan. Proses penentuan jumlah Doi Menre tersebut dilakukan dengan musyawarah yang pada akhirnya akan mendapatkan kesepakatan antara kedua bela pihak. Karena adanya unsur kesepakatan di dalamnya sehingga menurut hukum islam, adat tentang Doi Menre hukumnya mubah atau boleh.
Dengan adanya penelitian ini diharap dapat menjadi referensi yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi pembentukan suatu produk hukum. Sekaligus diharap menjadi literatur yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai sumber kajian mahasiswa. Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangatlah dibutuhkan dari semua pihak supaya segala
(7)
MOTTO
ﺎﻬ
َ
َ
َ َ َو
َ
َ
ﺎﻬ
َ
ﺒ
َ
َ
آ َ
َ
ﺎﻣ
َ َ
ﺎﻬ
َ
َو
َ
ﷲ
ﱠﻻ
ا
إ َ
ﻒ
َ
ﺎ
َ
َ
ﻔ
َ
ﻧ
ﱢﻜ
َ
َ َ
ﻻ
َ
َ
ﺒ
َ
َاآ َ
ﺎﻣ
َ
“God will never give you something out of your ability”
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
(8)
KATA PENGANTAR
ﻢﯿﺮﺣ ﻨﭑﻤﺮﺣ ﭑ ﮭﭑﻤﺴﺑ
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji-pujian milik Allah, Penguasa sekalian alam. Selawat dan salam buat junjungan besar Nabi Muhammad SAW, ahli keluarganya, para sahabat, tabi’in dan penerusnya para ulama di mana dan kapan pun mereka berada.
Sesungguhnya, penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan sebagai wujud partisipasi kita mengembangkan, serta mengaktualisasikan ilmu yang telah kami peroleh selama menimpa ilmu dibangku perkuliahan, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dan juga masyarakat pada umumnya.
Dengan perasaan dan rasa rendah hati, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak, yang telah membantu dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Prof. Dr. H. Abdul A’la,M.Ag, selaku Rektor UIN Sunan Ampel 2. Dr. H. Sahid, H.M, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah
3. Dr. Nur Lailatul Musyafu’ah, Lc. M.Ag, sebagai Ketua jurusan Ahwalus Syakhsiyahdan Hj. Nurul Asiyah Nadhifah, M.HI, selaku Sekretaris Jurusan Ahwalus Syakhsiyah
4. Dr. Hj. Dakwatul Chairah, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing yang berpatisipasi membantu membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi dengan sempurna dan benar.
5. Seluruh dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya yang selama ini telah mencurahkan segala ilmu pengetahuan kepada penulis. Semoga Allah melipat ganda amalan kebaikan yang telah mereka berikan.
(9)
6. Kepada keluarga penulis terutama Ayah anda dan Bunda penulis sendiri dan yang telah banyak memberi sokongan, inspirasi dan doa di dalam mensukseskan skripsi ini.
7. Kepada Ustaz-Ustaz Institut Iqra’ Madrasah Al-Quran Bintulu Sarawak yang tanpa putus memberi kata semangat kepada penulis dalam menyiapkan skripsi ini.
8. Kepada teman seperti Naufal, Dani, Syukri, Yoyo, Zainul, Aimul, Shafiq, Akmal, Kautsar,Termizi, Ahmad, Rizqin, Asjad, Khawlah, Khadeeja, Akhi Ervan,Akhi Tedi, Muzahro, Wan Hafiz dan yang selalu ada dalam mendukung penulis untuk menyiapkan skripsi ini.
9. Semua pihak yang berantisipasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, meski dengan beberapa ketidak sempurnaan, penulis berharap skripsi ini mampu menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya tentu dengan inayah dan ridho-Nya.
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
MOTTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 6
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka... 9
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 8
G. Definisi Operasional... 14
H. Metode Penelitian... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM ... 22
A. Pengertian Mahar... 22
B. Landasan Hukum Mahar ... 23
C. Syarat-syarat Mahar ... 26
D. Macam-macam Mahar ... 27
(11)
BAB III : DOI MENRE DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI DESA
SADONG JAYA SARAWAK. ... 37
A. Deskripsi Desa Sadong Jaya ... 37
B. Keadaan Ekonomi ... 46
C. Pernikahan Adat Bugis... 47
D. Doi Menre Dalam Perkahwinan ... 53
E. Fungsi Doi Menre ... 54
F. Proses Pernikahan Adat Bugis ... 55
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG DOI MENRE’ DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI SARAWAK, MALAYSIA (STUDI KASUS DI DESA SADONG JAYA, ASAJAYA, SARAWAK)... 58
A. Tentang Kedudukan dan Fungsi Doi Menre Desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak... 58
B. Tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Doi Menre Desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak ... 59
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 69
B. Saran-saran... 70 DAFTAR PUSTAKA
(12)
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
No Arab Indonesia Arab Indonesia
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ’ b t th j h} kh d dh r z s sh s} d} ط ظ ع غ ف ق ك ل م ت و ه ء ي t} z} ‘ gh f q k l m n w h ’ y
Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers, Disertations (Chicago and London: The University of Chicago Press,1987).
B. Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong) Tanda dan Huruf
Arab Nama Indonesia
َ َ َ َ َ َ fath}ah kasrah d}ammah a i u
Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh}arakat \ sukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakatsukun. Contoh: iqtid}a@’ (ءﺎﺿﺗﻗا)
(13)
2. Vokal Rangkap (diftong) Tanda dan
Huruf Arab
Nama Indonesia Ket.
ﱯ ْ
ْــ
ﻮ
ْ ْــ
fath}ah dan ya’ fath}ah dan wawu
ay aw
a dan y a dan w
Contoh :bayna(نﯾﺑ)
: mawd}u@‘ (وعﺿوﻣ)
3. Vokal Panjang (mad)
Tanda dan
Huruf Arab Nama Indonesia Keterangan
ﺎ ْــ ﻲ
ْــ
ﻮ ْــ
fath}ah dan alif kasrahdan ya’ d}ammahdan wawu
a@ i@ u@
a dan garis di atas i dan garis di atas u dan garis di atas Contoh : al-jama@‘ah( ﺔﺎﻣﻟﺟا)
: takhyi@r(رﯾﯾﺗﺧ) : yadu@ru (دورﯾ)
C. Ta@’Marbu@t}ah
Transliterasi untuk ta’ marbu@t}ah ada dua :
1. Jika hidup (menjadi mud}a@f) transliterasinya adalah t. 2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.
Contoh : shari@‘atal-Isla@m(مﺳ اﺔﯾ رﺷ) :shari@‘ahisla@mi@yah (ﺔﯾﻣﺈﺳ ﯾرﺷ)
D. Penulisan Huruf Kapital
Penulisan huruf besar dan kecil pada kata, phrase(ungkapan) atau kalimat yang ditulis dengan transliterasi Arab-Indonesia mengikuti ketentuan penulisan yang berlaku dalam tulisan.Hurufawal (initial latter) untuk nama diri, tempat, judul buku, lembagadan yang lain ditulis denganhurufbesar.
(14)
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP DOI MENRE DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI SARAWAK MALAYSIA
Ahmad Muthiee Bin Arpa
Abstrak: Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap ‘Doi Menre’ (Uang Hantaran) Dalam Pernikahan Adat Bugis Di Sarawak, Malaysia. (Studi Kasus
Di Desa Sadong Jaya, Asajaya Sarawak)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan yaitu:Bagaimana kedudukan Doi’ menre’ dan fungsinya dalam perkawinan adat
Bugis yang menjadi pedoman masyarakat muslim di Indonesia dan di Sarawak,
Malaysia?.Seterusnya bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap Doi’ Menre dalam
pernikahan adat Bugis Desa tersebut?Penelitian ini merupakan penelitian metode purpossive sampling yang datanya diperoleh kemudian dianalisis melalui wawancara secara langsung hingga menghasilkan penjelasan ketentuan kedudukan Doi Menre dan fungsinya dan pandangan Hukum Islam terhadap Doi Menre di Desa Sadong Jaya, Asajaya.Dalam penelitian ini diperoleh Hasil penelitian menyimpulkan bahwa masyarakat Desa Sadong jaya menganggap bahwa Doi Menre adalah sejumlah uang yang wajib diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri. Fungsinya adalah digunakan sebagai biaya dalam resepsi perkawinan. Tujuan pemberian Doi Menre adalah untuk menghargai atau menghormati wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui Doi Menre tersebut. Kedudukan Doi Menre dalam perkawinan adat tersebut adalah sebagai salah satu pra syarat, karena tidak ada Doi Menre maka tidak ada perkawinan. Adapun nilai Doi Menre sangat ditentukan oleh kedudukan atau status sosial dalam masyarakat, seperti jenjang pendidikan, ekonomi keluarga, kesempurnaan fisik, gadis dan janda, jabatan, pekerjaan dan keturunan. Apabila wanita yang akan dinikahi kaya maka akan banyak pula nilai Doi menre yang akan diberikan calon mempelai laki laki kepada perempuan tersebut. Pemberian Doi Menre dalam perkawinan adat Bugis Sadong Jaya tidak diatur dalam hukum Islam. Hukum Islam hanya mewajibkan calon mempelai laki laki membayarkan mahar kepada calon mempelai wanita dan itupun dianjurkan kepada pihak wanita agar tidak meminta mahar berlebihan. Proses penentuan jumlah Doi Menre tersebut dilakukan dengan musyawarah yang pada akhirnya akan mendapatkan kesepakatan antara kedua bela pihak. Karena adanya unsur kesepakatan di dalamnya sehingga menurut hukum islam, adat tentang Doi Menre hukumnya mubah atau boleh.Dengan adanya penelitian ini diharap dapat menjadi referensi yang
bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi pembentukan suatu produk hukum. Sekaligus diharap menjadi literatur yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai sumber kajian mahasiswa. Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangatlah dibutuhkan dari semua pihak supaya segala kekurangan dan kekhilafan dapat dikoreksi dan dibenahi.
(15)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
MOTTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 6
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka... 9
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 8
G. Definisi Operasional... 14
H. Metode Penelitian... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM ... 22
A. Pengertian Mahar... 22
B. Landasan Hukum Mahar ... 23
C. Syarat-syarat Mahar ... 26
D. Macam-macam Mahar ... 27
(16)
BAB III : DOI MENRE DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI DESA
SADONG JAYA SARAWAK. ... 37
A. Deskripsi Desa Sadong Jaya ... 37
B. Keadaan Ekonomi ... 46
C. Pernikahan Adat Bugis... 47
D. Doi Menre Dalam Perkahwinan ... 53
E. Fungsi Doi Menre ... 54
F. Proses Pernikahan Adat Bugis ... 55
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG DOI MENRE’ DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI SARAWAK, MALAYSIA (STUDI KASUS DI DESA SADONG JAYA, ASAJAYA, SARAWAK)... 58
A. Tentang Kedudukan dan Fungsi Doi Menre Desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak... 58
B. Tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Doi Menre Desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak ... 59
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 69
B. Saran-saran... 70 DAFTAR PUSTAKA
(17)
1
BAB I
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP DOI MENRE DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI SARAWAK MALAYSIA
A. Latar Belakang Masalah.
Perkawinan merupakan perjanjian suci yang diharapkan bagi
pasangan calon suami istri memperoleh kebahagiaan dalam menempuh
hidup berumah tangga.Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan,adalah”ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita untuk hidup berumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1
Islam sangat menganjurkan perkawinan karena perkawinan
mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah swt,
dan mengikuti sunnah Nabi di samping itu juga mempunyai nilai-nilai
kemanusiaan untuk memenuhi naluri hidup manusia guna melestarikan
keturunan,mewujudkan ketenteraman hidup, dan menumbuhkan rasa kasih
sayang dalam hidup bermasyarakat.2
Perkawinan sebagai salah satu sendi kehidupan masyarakat tidak
lepas dari tradisi yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran agama
yang mereka anut, baik sebelum atau sesudah upacara perkawinan
dilaksanakan. Perkawinan merupakan sumbu kehidupan masyarakat.
1
UU.NO,1/1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1 2
HSA, Al-Hamdani,Risalah Nikah, Alih Bahasa oleh Agus Salim, cet.ke-1 (Jakarta: Anai,1985), hlm.23
(18)
2
Perkawinan pada suatu masyarakat biasanya diikuti oleh berbagai
rangkaian acara adat dan upacara adat.
Hukum perkawinanIslam mempunyai kedudukan yang sangat
penting. Oleh karena itu, aturan-aturan tentang perkawinan ini diatur dan
diterangkan dengan jelas dan terperinci, sebagai mana yang tercantum
dalam Surat Az-Zariyat ayat 49 yang berbunyi:
Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).3
Juga disebutkan dalam Al-Quran Surat Yasin Ayat 36, yang
berbunyi:
Artinya: Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Pada umumnya pelaksanaan upacara perkawinan adat di Malaysia
dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam
kaitannya dengan susunan masyarakat atau kekeluargaan yang
dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.4
Dalam Islam secara lengkap telah diatur mengenai sesuatu yang
berkaitan dengan perkawinan, apalagi perkawinan diikat atas nama Allah
yang akan dipertanggung-jawabkan kepada-Nya. Sebagai salah satu
3
Departemen Agama RI,Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: Cahaya Qur’an, 2006),522. 4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkaawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung : Mandar Maju, 1990), hlm.97.
(19)
3
bentuk akad atau transaksi, perkawinan dalam hukum Islam akan
mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara pihak terkait, yaitu
pasangan suami istri. Adapun salah satu kewajiban suami yang merupakan
hak istri adalah pemberian mahar atau maskawin dari caln suami kepada
calon istrinya.
Dalam perkembangannya, masyarakat Bugis tidak hanya
berdomisili di Daerah Asajaya saja akan tetapi telah menyebar ke berbagai
wilayah Malaysia, salah satunya adalah ke Desa Sadong Jaya, Asajaya
Sarawak. Di Desa Sadong Jaya. Orang-orang Bugis membentuk komunitas
tersendiri, dengan berbagai adat dan tradisi termasuk memelihara adat
perkawinan yang masih berlaku sampai sekarang.
Berdasarkan pengamatan langsung yang dilakukan oleh penyusun
bahwa dalam perkawinan masyarakat Bugis di Desa Sadong Jaya,
Asajaya, Samarahan Sarawak , terdapat dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan dalam proses perkawinan, yaitu pihak laki-laki tidak hanya
memberikan mahar, akan tetapi menurut ketentuan adat juga harus
memberi Doi’ Menre’ (uang hantaran). Doi’ Menre’(uang hantaran)dalam
pernikahan adat Bugis adalah penyerahan harta terdiri dari uang atau harta
yang berupa passiok (cincinpengikat)5,Doi’ balanca (uang pesta)6, Sompa
5
Passiok adalah seperangkat cincin engikat yang diantar oleh keluarga calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita disertai dengan kosmetik serta kain perlengkapan untuk calon mempelai wanita. Lihat Wiwik Pertiwi Y, Pandangan Generasi Muda Terhadap Upacara Perkawinan Adat di Kota Unjung Pandang (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,.1998), hlm.43
6
Duwik Balanca adalah uang yang diserahkan oleh pihak laki-laki pada acara mepettu adat( Terjadinya kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan ) Untuk dipakai yang akan dilangsungkan, lihat A.Rahmi Meme dkk, Adat dan Upacara Perkawinan Sulawesi Selatan(Jakarta :Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1978), hlm.65
(20)
4
(mas kawin)7, yang besarnya diukur sesuai dengan tratifikasi sosial dalam masyarakat.
Dalam pemikiran hukum Islam (ilmu fiqh) para ahli hukum islam
banyak yang menerima berbagai macam praktek adat untuk dimasukkan
ke dalam teori hukum Islam selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’at. Adat digunakan untuk memelihara kemaslahatan. Mereka
melihat prinsip-prinsip adat sebagai salah satu sumber hukum Islam
sekunder, dalam pengertian diaplikasikannya prinsip-prinsip adat tersebut
hanya ketika sumber primer (al-Qur’an dan Hadits) tidak memberi
jawaban terhadap permasalahan yang muncul.8
Kalau dilihat secara spesifik dan mendalam lagi akan ditemukan
beberapa praktek adat yang terkesan melenceng dari Syari’at Islam,
sekurang-kurangnya terkesan ada ketentuan-ketentuan yang menyulitkan
masyarakat untuk menunaikan ajaran agamanya. Hal ini seperti adat
masyarakat Sadong Jaya, Asajaya Sarawak.
Dalam pernikahan masyarakat Muslim Negeri Sarawak, mempelai
laki-laki wajib memberikan Doi’ menre’ dengan menetapkan sendiri
jumlah uang hantaran yang akan diberikan kepada calon mempelai
perempuan sesuai kesepakatan bersama kedua mempelai.
Majlis yang menyerupai adat bertunang ini digelar Doi’ menre
membawa maksud membawa hantaran atau lebih mudah naik duit.
7
Sompa adalah pemberian berupa uang atau harta yang diberikan oleh pihak laki-laki untuk pernikahan yang disebutkan dalam akad, lihat Ibid.
8
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia.(Jakarta :INIS,1998), hlm.6.
(21)
5
Dalam majlis ini, pihak lelaki akan membawa uang hantaran
yang telah ditetapkan semasa meminang yang mana hamper sama
dengan adat perkahwinan melayu. Sebilangan besar daripada
keluarga pihak perempuan akan menerima kesemua wang
hantaran dan selebihnya hanya menerima sebahagian sahaja.
Oleh yang demikian, semasa dulang hantaran diberikan ketika
majlis pernikahan, dulang uang hantaran sekadar simbolik
sahaja,kerana uang hantaran telah pun diserahkan kepada pihak
perempuan untuk menampung kos perbelanjaan majlis persandingan.
Berangkat dari pemahaman di atas, maka ketentuan penetapan
jumlah Doi’ menre’(uang hantaran)yang ditentukan oleh masyarakat suku
Bugis dalam perkawinan masyarakat Islam Sarawak perlu dikaji ulang.
Bisa jadi merugikan salah satu pihak yaitu pihak laki-laki yang tidak
memiliki uang.
Dalam pernikahan contohnya, ada ketentuan adat yang
mensyaratkan seorang suami harus memberikan suatu pemberian adat
yang dikenal dengan doi’ menre’ yang jumlahnya sesuai kesepakatan
antara pihak laki-laki dengan perempuan, di samping kewajibannya untuk
memberikan uang hantaran sebagaimana yang diatur dalam Islam. Hal itu
sudah menjadi inheren (melekat) dalam kehidupan masyarakat Bugis yang
tidak dapat dipisahkan dari tradisi mereka. Masih banyak lagi kesepakatan
–kesepakatan yang lain yang sesuai dengan adat yang sudah ditentukan
(22)
6
dan sekurang-kurangnya 5 dan 20 m ( 5 lebar 20 panjang ) dan ini adalah
salah satu bentuk pemberian doi’ menre’ (uang hantaran) yang mesti ada
dan kedudukan tanah tersebut harus jelas supaya bisa diketahui oleh pihak
perempuan.
Melihat persoalan di atas timbul kesan bahwa ada dua kewajiban
yang mesti dilakukan oleh calon suami kepada calon istri yaitu kewajiban
memberikan pemberian adat yang dikenal dengan istilah Doi’ Menre’
(uang hantaran) dan kewajiban untuk diberikan sebagaimana dengan
ajaran Islam atau setidak-setidaknya menyulitkan masyarakat Bugis
sebelum melaksanakan akad perkawinan.
Dari latar belakang di atas penyusun tertarik untuk meneliti
bagaimana Tinjauan hukum Islam terhadap Doi’ Menre’ (uang hantaran)
dalam perkawinan adat Bugis di Desa Sadong Jaya, Asajaya Sarawak.
Sebab tidak menutup kemungkinan ada perbedaan dalam praktek
pemberian Doi’ menre’ dalam setiap daerah yang berlangsung sampai
sekarang khususnya di Desa Sadong Jaya.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dalam skripsi berjudul: “Tinjauan Hukum Islam terhadap Doi’ menre’ (uang hantaran) dalam pernikahan MasyarakatIslam Negeri
(23)
7
berkaitan dengan masalah tersebut maka pembahasan skripsi ini
terdapat beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:
a. Deskripsitentang penetapan doi’ menre’(uang hantaran).
b. Faktor-faktor yang melatarbelakangi proses doi menre’(uang
hantaran)sebagai lamaran sebelum akad nikah.
c. Respon masyarakat terhadap doi’ menre’(uang hantaran).
d. Proses pemberian doi’ menre’(uang hantaran) dalam
perkawinanbagi Masyarakat Islam Negeri Sarawak, Malaysia.
e. Tinjauan hukum Islam terhadap proses pemberian doi’ menre’
(uang hantaran) dalam perkawinanbagi Masyarakat Islam Negeri
Sarawak, Malaysia.
2. Batasan Masalah
Batasan masalah merupakan proses agar penelitian terarah,
terfokus, dan tidak menyimpang dari sasaran pokok penelitian. Dengan
sebab itu, maka penulis memfokuskan kepada pembahasan atau
masalah-masalah pokok yang dibatasi dalamkonteks permasalahan
yang terdiri dari:
a. Kedudukan Doi’ Menre’ (uang hantaran) dan fungsinya dalam
perkawinan adat Bugis di Sadong Jaya,Asajaya, Sarawak.
b. Tinjauan hukum Islam terhadap Doi’ menre’ (uang hantaran)
(24)
8
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan Doi’ Menre’ (uang hantaran) dan fungsinya
dalam perkawinan adat Bugis di Sadong Jaya,Asajaya, Sarawak?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Doi’ menre’ (uang
hantaran) dalam pernikahan adat Bugis di Sadong Jaya,Asajaya,
Sarawak?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan kedudukan Doi’ menre’ dan fungsinya dalam
pernikahan adat Bugis di Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak
b. Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap Doi’ menre’ dalam
pernikahan adat Bugis di Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Ilmiah
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
khazanah keilmuan khususnya yang berkaitan dengan perkawinan
adat.
b. Kegunaan Terapan
Skripsi ini diharapkandapat memberikan sebuah wacana keilmuan
(25)
9
masyarakat Bugis yang beragama Islam pada khususnya dan bagi
semua pihak yang mempunyai kepentinngan dengan doi’ menre’.
E. Telaah Pustaka
Tinjauan pustaka ini tentunya sangat diperlukan dalam rangka
untuk mencari wawasan terhadap masalah yang dibahas dalam penulisan
skripsi ini. Ada beberapa buku yang menyinggung permasalahan Doi’
menre’ dalam pernikahan adat Bugis, antara lain buku yang berjudul Adat
dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan, yang disusun oleh tim
dari penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah propinsi Sulawesi
Selatan. Dalam buku ini menjelaskan latar belakang sejarah serta tata cara
perkawinan adat mulai dari pelamaran sampai pada tahap penentuan
tempat tinggal seorang yagn sudah menikah. Buku ini sifatnyaa deskriptif
yaitu menjelaskan secara umum tentang pernikahan adat Bugis yang
berkaitan dengan masalah Balanca (uang pesta pernikahan adat)
diserahkan kepada pihak perempuan sebelum masuk pada tahap acara
pernikahan dan harus tunai9, Selanjutnya sompa (mahar) dan passiok (cincin pengikat) diserahkan pada saat akad nikah di depan penghulu
sementara masyarakat Sadong Jaya, bahwa balanca kadang diartikan
sbagai sompa yang dikenal sbagai sompa tadang (mahar yang
ditangguhkan) tetapi sebenarnya uang belanja pesta pernikahan ditanggung
9
Duwik Balanca adalah uang yang diserahkan oleh pihak laki-laki pada acara mepettu adat( Terjadinya kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan ) Untuk dipakai yang akan dilangsungkan, lihat A.Rahmi Meme dkk, Adat dan Upacara Perkawinan Sulawesi Selatan(Jakarta :Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1978), hlm.50.
(26)
10
sebagian oleh pihak perempuan jika tidak mencukupi dari uang yang telah
di berikan oleh pihak laki-laki calon suami.
Dalam sebuah skripsi yang ditulis oleh Mustopa kamal membahas
tentang Upaya Da’i dalam menghadapi sompa dan balanca dalam
pernikahan adat Bugis di Propinsi Riau. Menyinggung masalah balanca
dan sompa ia berkesimpulan bahwa balanca dan sompa tidak dibenarkan
karena melihat latar belakang historisnya. Dalam penelitian tersebut
Mustopa Kamal melihat bahwa syarat yang ditetapkan dalam adat sama
seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat jahiliyah pada zaman
pra-Islam. Ia menitik-beratkan pada metode-metode yang digunakan para Da’i
dalam menghadapi kasus dalam masyarakat10. Penelitian tersebut menekankan bahwa balanca dan sompa terkesan dipaksakan seperti yang
terjadi di masyarakat desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak. Tapi bagi
masyarakat Sadong Jaya walaupun hal tersebut sebagai syarat tidak
menjadi sesuatu hal yang biasa menghalangi pernikahan karena
sebenarnya pada tahap setelah terjadinya akad nikah, uang pesta bias
ditangguhkan dan mahar tersbut menajdi bekal dalam keluarga setelah
berpisah dari orang tua mereka.
Meskipun masalah doi’ menre’ itu sudah banyak dikaji namun
untukkasus doi’ menre’ di Desa Sadong Jaya, penyusun memandang amat
relevan untuk diangkat kembali sebab penulis melihat pentingnya hal itu
untuk diteliti lebih lanjut dalam sebuah karya ilmiah (skripsi).
10
Yaskur (00350404) Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Jalukan dan Gawan dalam perkawinan. No sy 2179 Yas, hlm, 23.
(27)
11
F. Kerangka Teoretik
Para’ ulama dan fuqaha dalam mencari hukum selalu berpegang
teguh pada sumber hukum Islam dan maqasid Asy–Syari’ah dimana salah
satu teori penetapan hukum Islam. Oleh karena itu, Abdul Wahhab Khallaf
membagi ‘urf menjadi dua macam, yang pertama adalah ‘urf yang saheh
dan yang kedua adalah ‘urf yang fasid, Adapun ‘urf yang sahih adalah apa
yang telah diketahui masyarakat tidak bertentangan dengan syari’at tidak
menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib, sedangkan
‘urf yang fasid yaitu apa yang telah dikenal masyarakat akan tetapi
berlainan atau bertentangan dengan Syari’at atau menghalalkan yang
haram atau membatalkan yang wajib.11
Pelaksanaan adat pemberian atau pembayaran Doi’ menre’
merupakan adat yang dijalankan oleh masyarakat, yang ada pada
bagian-bagian dari setiap pelaksanaan adat tersebut mengandung ‘urf baik atau ‘urf yang saheh maupun ‘urf yang fasid, kemudian untuk melihat secara
keseluruhan mengenai pelaksanaan kedua adat tersebut menurut
pandangan hukum Islam yang pada hakikatnya independen. Dalil ini tidak
luput dari kaidah hukum Islam “maslahah mursalah”.12
Sedangkan penerapan kaidah maslahah mursalah ini pada dasarnya
harus memenuhi beberapa syarat antara lain:
1. Maslahah tersebut harus sesuaidengan tujuan Syara’. Tidak
bertentangan dengan nas-nas bersifat qat’i.
11
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, (Kuwait: Dar-al-Qalam, 1978),hlm,89. 12
(28)
12
2. Dapat diterima akal, tidak hanya didasarkan pada perasangkaan
semata.Dalam penerapannya harus benar-benar dapat merealisasikan
manfaat dan menghindarkan bahaya.
3. Maslahah bersifat umum dan bukan untuk kepentingan yang bersifat
bersifat pribadi ataupun kelompok.13
Adat adalah apa yang telah dikenal dan dipraktekkan oleh
masyarakat baik berupa perkataan,perbuatan ataupun tidak melaksanakan
(meninggalkan). Keberadaan adat ini diakui sebagai salah satu sumber
hukum Islam selama tidak menyalahi ketentuan nas dan kebiasaan yang
hidup dalam masyarakat. Sedangkan permasalahan yang ada di Desa
Sadong Jaya, Asajaya , Sarawak, terutama yang berkaitan dengan Doi’ menre’ (uang hantaran) mahar (sompa)dan cincin tunangan (passio) yang
harus dipenuhi oleh pihak priakepada pihak perempuan itu salah satu
perbuatan adat yang sangat dianjurkan dalam Islam, dalam hal ini sudah
menyalahi ketentuan nas.
Kalau ditinjau dari sumber pokok hukum Islam yaitu al-Qur’andan
as-Sunnah yang berkaitan dengan mahar,adalah:
)
4
(
Artinya: Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya.(surat an-nisa’:4)
13
(29)
13
Sedangkan dalil yang lain yang menjadi dasar dalam
pembahasanya selain al-Qur’an yaitu hadis Nabi yang berbunyi:
ﺎﻧﺛدﺣ ﻰﯾﺣﯾ ﺎﻧﺛدﺣ ﻊﯾﻛو ن ﻋ نﺎﯾﻔﺳ ن ﻋ ﻲ ﺑأ مز ﺎﺣ ن ﻋ لﮭﺳ ن ﺑ دﻌﺳ ن أ ﻲ ﺑﻧﻟا ﻰ ﻠﺻ ﷲ ﮫﯾﻠﻋ مﻠﺳ و ل ﺎﻗ ل ﺟ ر ﻟ ج و ز ﺗ و ﻟو مﺗﺎﺧ ﺑ ن ﻣ
دﯾدﺣ
14
Artinya: Telah berkata Yahya kepada Abu Sufian Abu Hazem Bin Saad jelas bahawa Nabi saw berkata kepada orang yang berkahwin walaupun meterai besi.
Ayat al-Qur’an dan al Hadis dia atas bahwa sesungguhnya
pemberian yang harus diberikan calon suami terhadap suami terhadap
istrinya tidak lain berdasarkan atas kemampuan dan kesanggupan calon
suami dalammemberikan maharnya, bukan Doi’ menre’ (uang hantaran)
dan yang lain mengiringi mahar tersebut sehingga memberatkan bagi
calon suami. Sedangkan Islam sendiri tidak memberikan ketentuan batasan
sedikitpun atau besarnya jumlah mahar. Bahkan boleh dengan benda yang
bermanfaat lainnya.15
Tapi perlu diketahui dan dicermati dengan baik bahwa doi’ menre’
adalah sebuah kebiasaan atau adat bagi masyarakat Bugis yang jumlahnya
yang mengikat sesuai dengan kesepakatan bersama yang mesti
dilaksanakan bagi calon suami jika hendak menikahi calon mempelai
perempuan sebab itu adalah sebuah ketentuan yang telah ada dari zaman
dahulu kala.
14
Al-Imam Abi ‘ Abdillah Ibn Ismail Al-Bukhari,Sahaih Bukhari _Beirut:Dar
al-Fikr,1995),III:267, Hadis Nomor 5150 “Kitab an-Nikah,”Bba al Mahr bi al-Urud wa Khatmi min
Hadid.”Hadis dari Sahal Ibn Sa’ad” 15
(30)
14
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya kekeliruan dan kesalahan dalam
memahami judul skripsi ini, perlu adanya pembatasan pengertian serta
penjelasan terhadap judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap ‘Doi
Menre’ Dalam Pernikahan Adat Bugis Di Sarawak, Malaysia (Studi
Kasus Di Desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak)sebagai berikut :
Hukum Islam : Hukum yang terdapat bersumber dari hukum
syariat Islam yang terdapat pada Al-Quran dan
Al-Hadis. Maupun berupa hukum yang
ditetapkan dengan jalan al-Ijma’ dan Ijtihad.
Doi’ Menre : Doi Menreyang membawa maksud naik duit
(uang hantaran).
Doi Menre (uang hantaran) dalam majlis ini,
pihak lelaki akan menyediakan uang hantaran
yang telah ditetapkan sebelum aqad nikah.
Sebilangan besar di keluarga pihak perempuan
akan menerima kesemua uang hantaran dan
selebihnya hanya menerima sebahagian sahaja.
Oleh yang demikian, semasa dulang hantaran
diberikan ketka majlis pernikahan, dulang uang
(31)
15
hantaran telah pun diserahkan kepada pihak
perempuan.
Pernikahan Adat :Ikatan hidup bersama antara seorang pria dan
wanita yang bersifat komunal dengan tujuan
mendapatkan generasi penerus agar supaya
kehidupan persekutuan atau tidak punah, yang
didahului dengan rangkaian upacara adat.
Perkawinan adat yang dimaksud adalah di Desa
Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak.
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa yang dimaksudkan
penulis dalam skripsi ini adalah mengenai tinjauan hukum Islam terhadap
Doi Menre Dalam Pernikahan Adat Bugis Di Sarawak, Malaysia. (Studi
Kasus Di Desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak). Adapun hukum Islam
yang dimaksudkan disini adalah hukum fiqih.
H. Metode Penelitian
Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah, perlu menggunakan
pendekatan yang tepat dan sistematis, sebagai pegangan dalam penulisan
skripsi dan pengolahan data untuk memperoleh hasil yang valid, maka
dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode yaitu:
1. Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang valid, penulis menggunakan
(32)
16
penelitian lapangan, yaitu terjun lansung kelapangan guna mengadakan
penelitian pada objek yang di bahas.16Disamping itu, penulis juga melakukan kajian terhadap buku-buku, jurnal,makalah, artikel dan
tulisan-tulisan yang berhubungan dengan judul penelitian ini.
Data-data tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama yang dalam hal ini adalah Jabatan Agama Islam Sarawak
(JAIS) dan pelaku warga masyarakat Bugis Negeri Sarawak,
Malaysia.
b. Data sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen
resmi buku-buku yang masih berhubungan dengan judul di atas,
jurnal dan sejenisnya, diantaranya adalah;
1) Ahli Dewan Bahasa dan Pustaka Negeri Sarawak.
2) Abd. Kadir Bin Nohong, Pemanca/Penghulu Sadong Jaya.
3) .Hj Pelanchoi Bin Daeng Kandhacing, Tokoh Bugis Sadong
Jaya.
4) Fiqh al Sunnah karya Sayyid Sabiq.
5) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Karya Amir
Syarifuddin.
6) Hukum Islam karya Abd Shomad.
7) Asas-asas dan Susunan Hukum Adat karya Ter Haar.
1. Sifat Penelitian
16
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Research I, (Yogyajakarta : Yayasan Penelitian Fakultas Psikologi UGM, 1981), 4
(33)
17
Penelitian ini bersifat prespektif, yang berusaha memaparkan
tentang Doi’ menre’ (uang hantaran) dalam pernikahan adat Bugis,
lalu dilakukan analisis untuk kemudian dinilai dari sudut pandang
hukum Islam.
2. Pendekatan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif, yaitu
mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan sudut pandang
hukum Islam.
Pendekatan Usul fiqh, yakni pendekataan terhadap
sumber-sumber dan metodologi hukum, dalam arti bahwa, al-Qur’an dan
as-Sunnah merupakan sumber hukum dan sekaligus sasaran penetapan
metedologi usul fiqh.17
3. Populasi dan Sampel.
Penelitian ini mengambil populasi di Desa Sadong Jaya,
Asajaya, Sarawak. Tehnik sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Purposive sampling (sampel bertujuan).18 Melalui tehnik purposive sampling ini data dikumplkan dari beberapa responden atau
17
Upaya melakukan deduksi hukum-hukum fiqihi dari indikasi-indikasi yang terdapat dalam sumber-sumbernya merupakan tujuan pokok usul fiqh. Fikih adalah produksi ahir dari usul fikih.Meskipun begitu, keduanya merupakan bidang ilmu yang berdiri sendiri. Perbedaan utama antara fikih dan Usul fiqh ialah bahwa yang disebut pertama berkaitan dengan pengetahuan mengenai kaidah-kaidah hukum yang terperinci dalam berbagai cabangnya, sedangkanyang disebut terakhir berhubungan metode yang diterapkan dalam deduksi hukum-hukumdari sumber sumbernya. Dengan kata lain,fiqih adalah hukum itu sendiri,sementara usul fiqh merupakan metodologi hukum Muhammad Hasim Kamli. Principles of Islamic jurisprudence (Malaysia:pelanduk publication,1989), hlm,1-3.
18
(34)
18
informan yang mengerti betul tentang apa dan bagaimana yang diteliti
dan bias mewakili sekuruh lapisan populasi. Adapun para
respondenyang dijadikan sampel adalah tokoh-tokoh masyarakat yang
mengerti tentang persoalan Doi’ menre’ (uang hantaran) dalam
masyarakat Bugis di Desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak.
4. Tehnik pengumpulan Data.
a. Wawancara/Interview
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
pewancara dengan responden atau orang yang diwawancarai dengan
atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dalam
penelitian ini dilakukan dengan bertemu langsung atau menggunakan
alat komunikasi via telpon dengan menjadikan tokoh masyarakat
Desa Sadong Jaya Sebagai key informan, karena dianggap telah
mewakili masyarakat setempat serta mengingat kemampuan peneliti
dilihat dari efesiensi waktu yang relatif singkat dan tempat penelitian
yang jauh. Adapun key informan tersebut diantaranya Abd Kadir Bin
Nohong dan Hj Pelanchoi Bin Daeng Kandhacing sebagai to matoa
(orang yang di tuakan). Mizi, Syarifuddin dan Azhar.
b. Pengamatan/Observasi
Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala
(35)
19
Sarawak. Objek observasi yang dilakukan adalah perihal pelaksanaan
pemberian doi’ menre’ (uang hantaran) dalam perkawinan adat Bugis
Sarawak, Malaysia.
c. Angket
Angket adalah alat pengumpul data dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan angket tertutup
dimana semua jawaban sudah ditentukan oleh peneliti sendiri.
Digunakan tehnik ini oleh peneliti untuk mengetahui
bagaimana masyarakat Bugis melakukan pelaksanaan doi menre (uang
hantaran).
5. Analisis data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya
akanmenganalisis data tersebut menggunakan metode diskriptif, yaitu
menggambarkan tentang proses doi’ menre’ (uang hantaran)
perkawinan bagi masyarakat Bugis Negeri Sarawak, Malaysia. Yaitu
bila seorang laki-laki ingin menikahi seorang gadis maka dia harus
menyediakan doi’ menre’(uang hantaran) yang telah ditetapkan oleh
calon mempelai sebelum akad nikah, justru sudah menerima
persetujuan dari JAIS (Jabatan Agama Islam Sarawak). Penelitian ini
dalam analisisnya juga menggunakan metode deduktif yaitu cara
(36)
20
berangkat dari sebuah teori yang kemudian di buktikan dengan
pencarian fakta. Dalam analisis data yang dilakukan, penulis terlebih
dahulu menjelaskan teori tentang uang hantaran dalam syariat Islam,
Kemudian setelah itu baru penulis menganalisis praktek proses doi’
menre’ oleh Jabatan Agama Islam Sarawak kepada masyarakat Bugis
Sarawak.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan maka penyusun membuat
sistematika pembahasan sebagai berikut
Bab Pertama merupakan Pendahuluan yang merupakan prosedur
dasar dalam melakukan penelitian dari kesluruhan isi skripsi ini yang
menguraikan Latar belakang masalah, Pokok Masalah, Tujuan dan
kegunaan, Telaah pusaka, Kerangka teoretik, Metode penelitian, dan
Sistematika pembahasan.
Bab Kedua ini terlebih dahulu akan memberikan gambaran secara
umum yang jelas bagaimana pernikahan dalam Islam, yang di dalamnya
memuat tentang: 1 Pengertian, melihat secara jelas bagaimana pengertian
pernikahan dalam Islam syarat dan rukun dalam pernikahan Islam,
penyusun mencantumkan syarat dan rukun melakukan atau analisis
terhadap doi’ menre’dengan mengkomparasi antara rukun dan syarat
pernikahan Islam. 3 Jumlah, bentuk dan jenis, macam-macam.tujuan
(37)
21
secara jelas karena pembahasan yang akan dibahas berkaitan erat supaya
analisisnya tepat.
Bab ketiga ini merupakan pembahasan tentang Doi’ Menre’ dalam
pernikahan adat Bugis di Desa Sadong Jaya, Asajaya, Sarawak yang
meliputi Letak Geografis,Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kondisi
keagamaan, dan tahapan-tahapan pernikahan pada masyarakat Bugis di
Desa Sadong Jaya.
Bab Keempat ini menguraikan Analisis terhadap praktek Doi’ Menre’dalam pernikahan adat Bugis di Desa Sadong Jaya. Pembahasannya
juga meliputi Pandangan Hukum Islam Terhadap Doi’ Menre’ (Uang
hantaran).
Bab Kelima merupakan penutup dari pembahasan skripsi yang
meliputi kesimpulan dari hasil penelitian dan analisis, serta saran-saran
(38)
44
BAB III
DOI MENRE DALAM PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI DESA
SADONG JAYA SARAWAK
A. Deskripsi Desa Sadong Jaya.
1. Letak Geografis.
Kelurahan Sadong Jaya merupakan salah satu wilayah dari Kecamatan Kota Samarahan Kuching Sarawak. Adapun batas daerah atau wilayah kelurahan adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara Kabupaten Simunjan Kecamatan Taman Hijr
b. Sebelah timur Serian Kecamatan Selayu.
c. Sebelah selatan Miri.
d. Sebelah barat Selat Semenanjung.
Kelurahan Sadong Jaya terletak di pinggir jalan propinsi yang
menghubungkan antara satu kebupaten ke kabupaten lainnya. Oleh
karena itu Kelurahan Sadong Jaya ini bisa ditempuh dengan
mudahnya menggunakan semua jenis transportasi darat. Kelurahan
Sadong Jaya berjarak sekitar 80 Km dari Kecamatan ke Ibu Kota
Propinsi. Adapun waktu yang dibutuhkan dari Ibu Kota ke Kecamatan
Biringkanaya adalah 3 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua.
(39)
45
pegunungan/perbukitan.Adapun luas wilayah Kelurahan Untia sebaga
berikut:54
a. Pemukiman seluas 12 ha/m2.
b. Perkantoran seluas 2 ha/m2.
c. Persawahan seluas 120 ha/m2.
2. Keadaan Sosial Masyarakat dan Ekonomi.
Masyarakat Kelurahan Desa Sadong Jaya , Asajaya mayoritas
beragama Islam dan mempunyai kesadaran yang cukup tinggi. Hal ini
dapat dilihat dari adanya kegiatan pengajian. Kegiatan yang diadakan
adalah :
a. Yasinan dan arisan rutin yang dilaksanakan oleh ibu-ibu setiap bulan
sekali.
b. Memperingati hari-hari besar seperti maulid Nabi Muhammad
SAW dan Isra al-Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
c. Pengajian umum yang dilaksanakan tiap sabtu malam di masjid.
d. Pengajian TPQ remaja yang dilaksanakan tiap hari di masjid.
Untuk meningkatkan ibadah masyarakat Kelurahan Sadong Jaya.
Asajaya maka dilengkapilah dengan sarana ibadah sebagai berikut:
a. Mesjid sebanyak 1 buah gedung.
54
(40)
46
b. Langgar/mushalla sebanyak 1 buah gedung.
Keadaan Ekonomi
Masyarakat Kelurahan Sadong Jaya bekerja disektor pertanian, jasa
angkutan, industri kecil, peternakan, nelayan dan pegawai instansi
pemerintah. Nelayan dan buruh tani adalah jenis mata pencaharian yang
banyak diminati masyarakat. Adapun tingkat mata pencaharian
masyarakat Kelurahan Sadong Jaya.Asajaya dapat dilihat di bawah ini:55 a. Petani sebanyak 62 orang.
b. Buruh tani sebanyak 62 orang.
c. Pegawai negeri sipil sebanyak 6 orang.
d. Pedagang keliling sebanyak 15 orang.
e. Peternak sebanyak 35 orang.
f. Nelayan sebanyak 103.
g. Montir sebanyak 2 orang.
h. TNI sebanyak 2 orang.
i. POLRI sebanyak 4 orang.
j. Pensiunan PNS/TNI/POLRI sebanyak 3 orang/
k. Dukun kampung sebanyak 4 orang.
l. Karyawan perusahaan swasta sebanyak 19 orang.
m. Karyawan perusahaan pemerintah sebanyak 2 orang.
55
(41)
47
B. Pernikahan Adat Bugis.
1. Tujuan Pernikahan,
Salah satu bagian terpenting dari kehidupan manusia adalahperkahwinan, karena perkawinan merupakan Sunnah Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW. Perkawinan sesungguhnya merupakan suatu peristiwa yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, yaitu tanggung jawab Orang Tua, keluarga, kerabat, bahkan kesaksian dari anggota masyarakat di mana mereka berada, maka selayaknyalah jika upacara tersebut diadakan secara khusus dan meriah sesuai dengan tingkat kemampuan atau strata sosial dalam masyarakat. Upacara perkawinan banyak dipengaruhi oleh acara-acara sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai didoakan ke hadirat Allah SWT, sukses dalam segala usaha dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang langgeng menuju keluarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah.
2. Upacara Pernikahan Adat Bugis ,
Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis Bone yang disebut
”Appabottingeng ri Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap kegiatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang berurutan yang tidak boleh saling tukar menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada masyarakat Bugis Bone yang betul-betul masih memelihara adat istiadat.
Pada masyarakat Bugis sekarang ini masih kental dengan kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang sewajarnya dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna, diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan abadi, dan hubungan antar dua keluarga tidak retak
(42)
48
Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi :
1. Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan). Maksudnya calon mempelai laki-laki melihat calon mempelai perempuan dengan cara bertamu dirumah calon mempelai perempuan, apabila dianggap layak, maka akan dilakukan langkah selanjutnya.
2. Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang sudah betul-betul dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah dikenal akrab oleh calon mempelai laki-laki.
3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang datang mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan orang tua si perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta Mallino (duta resmi)
(43)
49
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi Duta Mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki kerumah perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.
Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga terdekatnya serta orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran pada waktu pelamaran. Setelah rombongan To Madduta (utusan) datang, kemudian dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Dimulailah pembicaraan antara To Madduta dengan To Riaddutai, kemudian pihak perempuan pertama mengangkat bicara,lalu pihak pria menguitarakan maksud kedatangannya.
Apa bila pihak perempuan menerima maka akan mengatakan
”Komakkoitu adatta, srokni tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya
bila demiokian tekad tuan, kembalilah tuan, pelajarilah saya dan saya pelajari tuan, atau dengan kata lain pihak perempuan menerima, maka dilanjutkan dengan pembicaraan selanjutnya yaitu Mappasiarekkeng.
6. Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa jua disebut dengan Mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya.Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain :
a. Tanra esso (penentuan hari)
(44)
50
c. Sompa (emas kawin) dan lain-lain
Setelah acara peneguhan Pappettuada selesai, maka para hadirin disuguhi hidangan yang terdiri dari kue-kue adat Bugis yang pad umumnya manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis (senang) dikemudian hari.
a. Upacara Sebelum Akad Perkawinan
Sejak tercapainya kata sepakat, maka kedua belah pihak keluarga sudah dalam kesibukan. Makin tinggi status sosial dari keluarga yang akan mengadakan pesta perkawinan itu lebih lama juga dalam persiapan. Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan kepada seluruk sanak keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang wanita dengan menggunakan pakaian adat.
Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin . biasanya tiga malam berturut-turt sebelum hari pernikahan calon pengantin Mappasau (mandi uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng samapai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara Mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang Penni.
Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada
(45)
51
Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk : Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya.
Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk
golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini.
a. Upacara Sebelum Akad Perkawinan
Setelah prosesi mappacci selesai, keesokan harinya mempelai laki-laki diantar kerumah mempelai wanita untyk melaksanakan akad nikah (kalau belum melakukan akad nikah). Karena pada masyarakat Bugis Bone kadang melaksanakan akad nikah sebelum acara perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah Kawissoro. Kalau sudah melaksanakan Kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara Mappasilukang dan Makkarawa yang dipimpin oleh Indo Botting.
(46)
52
Setelah akad perkawinan berlangsung, biasanya biadakan acara resepsi (walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan doa restu dan sekaligus menjadi saksi atas pernikahan kedua mempelai agar mereka tidak berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua mempelai bermesraan.
Pada acara resepsi tersebut dikenal juga yang namanya Ana Botting, hal ini dinilai mempunyai andil sehingga merupakan sesuatu yang tidak terpisakhkan pada masyarakat bugis bone. Sebenarnya pada masyarakat Bugis Bone, ana botting tidak dikenal dalam sejarah, dalam setiap perkawinan kedua mempelai diapit oleh Balibotting dan Passepik, mereka bertugas untuk mendampingi pengantin di pelaminan.
Ana Botting dalam perkawinan merupakan perilaku sosial yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan ciri khas kebudayaan orang Bugis pada umumnya dan orang Bugis pada khususnya, karena kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat aatu kelompok penduduk tertentu. Oleh karena itu, Ana Botting merupakan kegiatan (perilaku) manusia yang dilaksanakan oleh masyarakat Bugis Bone pada saat dilangsungkan perkawinan.
(47)
53
C. Doi Menre Dalam Perkahwinan.
1. Pengertian Dasar Doi’ Menre’.
` Doi Menre’ adalah sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh
calon mempelai suami kepada pihak keluarga calon istri, yang akan
digunakan sebagai biaya dalam resepsi perkawinan dan belum termasuk
mahar. Doi Menre’ memiliki peran yang sangat penting dan merupakan
salah satu rukun dalam perkawinan adat suku Bugis Sarawak.
Masyarakat suku Bugis Sarawak dan khusunya bagi masyarakat
Desa Sadong Jaya Asajaya menganggap bahwa pemberian Doi Menre’
dalam perkawinan adat mereka adalah suatu kewajiban yang tidak bisa
diabaikan.
Tidak ada Doi Menre’ berarti tidak ada perkawinan. Itu dapat
disaksikan saat proses negosiasi antara utusan keluarga dari pihak
laki-laki dan utusan dari pihak keluarga perempuan, mereka lebih fokus
membahas jumlah Doi Menre’ dan tidak mempermasalahkan jumlah
mahar dengan anggapan bahwa mahar hanya kewajiban dan syarat dari
agama, jadi jumlahnya tergantung kerelaan suami.56
Masyarakat Bugis Desa Sadong Jaya beranggapan bahwa
kewajiban atau keharusanmemberikan Doi Menre’ sama seperti kewajiban
memberikan mahar. Hal ini terjadi karena antara uang hantaran dan mahar
56
(48)
54
adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan walaupun
mereka lebih terfokus pada uang hantaran. Seorang calon suami yang
memberikan uang panaik kepada pihak keluarga calon istri bukan berarti
secara langsung telah memberikan mahar. Karena uanghantaran tersebut
belum termasuk mahar.
D. Fungsi Doi Menre.
Secara sederhana, Doi Menre’ dapat diartikan sebagai uang
belanja, yakni sejumlah uang yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki
kepada pihak keluarga mempelai perempuan. Uang hantaran tersebut
ditujukan untuk belanja kebutuhan pesta pernikahan.Satu hal yang harus
dipahami bahwa uang hantaran yangg diserahkan oleh calon suami
diberikan kepada orang tua calon istri.
Penggunaan yang dimaksud adalah membelanjakan untuk
keperluan pernikahan mulai dari penyewaan gedung atau tenda, menyewa
grup musik atau masyarakat setempat menyebutnya electone, membeli
kebutuhan konsumsi dan semua yang berkaitan dengan jalannya resepsi
perkawinan . Adapun kelebihan uang hantaran yang tidak habis terpakai
akan dipegang oleh orang tua. Akan tetapi pada umumnya semua uang
tersebut akan habis terpakai untuk keperluan pesta pernikahan. Adapun
anaknya akan mendapat sebagian dari total Doi Menre’ tersebut jika tidak
(49)
55
memberikan semuanya atau tidak, itu menjadi otoritas orang tua si calon
istri. Walaupun dalam kenyataanya orang tua tetap memberikan sebagian
kepada anaknya untuk dipergunakan sebagai bekal kehidupannya yang
baru.
E. Proses Pernikahan Adat Bugis.
Proses perkawinan pada tiap-tiap daerah selalu menjadi hal yang
sangat menarik untuk dibahas. Baik dari segi latar belakang budaya
perkawinan tersebut, maupun dari segi kompleksitas perkawinan itu
sendiri. Karena dalam perkawinan yang terjadi bukan hanya sekedar
menyatukan dua orang yang saling mencintai. Lebih dari itu, ada nilai nilai
yang tak lepas untuk dipertimbangkan dalam perkawinan, seperti status
sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga pria
dan wanita. Kompleksitas perkawinan pada masyarakat bugis merupakan
nilai- nilai yang tak lepas untuk dipertimbangkan dalam perkawinan.
Perkawinan Bugis adalah salah satu perkawinan di Malaysia yang
paling kompleks dan melibatkan banyak emosi. Bagaimana tidak, mulai
dari ritual lamaran hingga selesai resepsi pernikahan akan melibat kan
seluruh keluarga yang berkaitan dengan kedua pasangan calon mempelai.
Ditambah lagi dengan biaya mahar dan "dui menre" atau biaya akomodasi
pernikahan yg selangit. Sebenarnya tradisi perkawinan yang tergolong
(50)
56
mengalami pergeseran dan mulai dipraktekkan masyarakat umum suku
Bugis khususnya di masyarakat Bugis Sadong Jaya.57
Tradisi uang belanja (dui menre) pada masyarakat Bugis Bone ini
dipercaya mampu menaikkan status sosial seseorang yang tergantung dari
berapa jumlah uang belanja (dui menre) yang akan diberikan. Seperti pada
masyarakat golongan menengah ke bawah yang dengan cepat bisa
mendapatkan status sosial tinggi hanya akibat tingginya uang belanja (dui
menre) yang diajukan oleh mempelai laki-laki. Di samping dari status
sosial, indikator besar kecilnya uang belanja (dui menre) bisa dilihat dari
kemewahan pesta pernikahan. Hal ini kemudian menjadi masalah dimana
hampir semua masyarakat ingin menikahkan anaknya dengan jumlah uang
belanja (dui menre) yang tinggi untuk kepentingan derajat sosial di tengah
masyarakat.
Idealnya, perkawinan orang Bugis harus terjadi antar kalangan
yang berstatus sosial sama, yaitu dari garis keturunan dan status yang
sebanding. Akan tetapi perkawinan orang bugis terdapat semacam norma
kesepakatan dengan pemberian sanksi atas pernikahan seorang lelaki
dengan perempuan yang berstatus lebih rendah namun apabila perempuan
yang berada pada status lebih rendah status sosialnya akan naik jika uang
belanja (dui menre) jumlahnya sangat besar karena besar kecilnya uang
belanja adalah sebuah penentu status sosial seseorang.58
57
Hukum Muhammad Hasim Kamli. Principles of Islamic jurisprudence Malaysia: pelanduk publication, 1989.
58
(51)
57
Dalam masyarakat Bugis, upacara perkawinan tersebut merupakan
suatu bentuk kegiatan tertentu dari upacara tersebut, harus diselenggarakan
dalam upacara yang bersifat trasedental. Dalam tulisan ini, penulis akan
membahas mengenai tradisi perkawinan di kalangan masyarakat Bugis
Bone yang mengenal tradsi uang belanja (dui menre) yang pembahasannya
(52)
22
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Mahar
Dalam istilah ahli fiqh, di samping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan “shadaq”, “nihlah” dan “faridhah” dalam bahasa Indonesia
dipakai dengan perkataan maskawin.19 Makna dasar shadaq yaitu memberi derma (dengan sesuatu), nihlah artinya pemberian, faridhah
artinya memberikan.20
Hasil Karya Wahbah Zuhaili dalam buku Fiqh Imam Syafi’i
mengatakan bahwa mahar mempunyai sepuluh nama lain, yaitu:
maskawin, ṣadāq,nihlah, farīah, haba, ajr, ‘uqr, ‘alāiq, thaul, dan nikah.
Kata shadaq, nihlah, farihah, dan ajr disebutkan dalam al-Quran,
sedangkan kata mahar, aliqah, dan uqr ada dalam as-Sunnah. Shadaq
berasal dari kata shidq (jujur; kesungguhan). Sebagai isyarat keinginan
menikah yang sungguh-sungguh.21
Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami
kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian
19
M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah lengkap (t.tp, t.th), 36. 20
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (jakarta : PT Hidakarya Agung, 1990), 121. 21
(53)
23
yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam benda
maupun jasa (memerdekakan, mengajarkannya dan sebagainya).22
Adapun pengertian mahar dalam KHI adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang,
uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam.23
Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar-nya, sebagaimana
dikutip Nasruddin Umar menungkapkan bahwa dalam Al-Quran, sebutan
mahar dengan lafaz al-Nihlah dalam sebuah pemberian yang ikhlas
sebagai bukti ikatan kekerabatan serta kasih sayang.24
B. Landasan Hukum Mahar
Mahar merupakan hak penuh mempelai perempuan. Hak tersebut
tidak boleh diambil oleh orang tua, keluarga maupun suaminya, kecuali
bila perempuan tersebut telah merelakannya. Namun, dalam budaya pada
masa sekarang, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari
transaksi jual beli. Adanya pemahaman seperti ini diakui atau tidak telah
memposisikan istri dalam posisi yang lebih rendah daripada suaminya.
Oleh karenanya sang suami merasa berkuasa atas diri, jiwa dan raga sang
istri, sehingga si istri harus taat kepada suaminya secara mutlak dalam
kondisi apapun. Hak-hak dasar si istri pun terkadang menjadi terabaikan
bahkan menjadi hilang, karena sang suami merasa bahwa dirinya sudah
22
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), 84. 23
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (akarta: Gema Insani Press, 1994), 75.
24
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: PT. (Serambi Ilmu Semesta, 2010), Cet. 1,79.
(54)
24
membeli istrinya dengan mahar yang ia berikan pada saat akad nikah. Pola
pikir seperti ini merupakan pola pikir masa jahiliyah, dimana kaum
perempuan tidak diakui eksistensinya, bahkan ia dianggap sebagai properti
yang bisa diwariskan dan diperjual belikan.
Di dalam Islam pengantin laki-laki wajib memberi mahar kepada
pengantin perempuan. Amalan ini telah tertulis di dalam Al-Quran dan
Sunnah Rasul SAW dan sudah semestinya menjadi suatu kewajiban yang
pasti. Al-Quran menjadikan mahar sebagai hadiah yang harus disampaikan
oleh seorang suami kepada istrinya.25 Menurut kesepakatan ulama, seseorang boleh tidak memberikan mahar, namun hukumnya makruh.26
Hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki
yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada
istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada
istrinya.27
Ketentuan ini terdapat di beberapa ayat Al-Quran adalah firman
Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 4:
٤
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian
25
Mahmood Zuhdi Hj Abdul Halim dan Raihanah Hj Azhari, Undang-undang Keluarga Islam
Konsep Perlaksanaannya di Malaysia, (Kuala Lumpur, Malaysia: Cet. 1, 1987), 89.
26
Wahbah Zuhaili,Fiqih Imam Syafi’I, Jilid II, (Jakarta: 2010), 550. 27
Amir Syariffuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
(55)
25
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.28
Demikian juga Firman Allah SWT surah An-Nisaa’ ayat 24:
٢ ٤
Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.29
Berdasarkan kedua ayat di atas selain didalam Al-Quran, hal mahar
juga disebut dalam sabda Nabi SAW, diantaranya yaitu:
1. Hadis yang berasal dai Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi
28
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 77 29
(56)
26
)
(
Artinya: Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari Sufyan dari
Abi Hazim bin Dinar dari Sahal bin Said as-Sa’idi bahwa Nabi berkata:” hendaklah seorang menikah meskipun
(hanya dengan mahar) sebuah cincin yang terbuat dari besi. (HR Bukhari)30
2. Hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, yang berbunyi:
(
)
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW, sebaik-baiknya wanita (istri adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya). (HR Baihaqi)31
C. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi
syarat-syarat berikut:
1. Harta atau bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak
berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya
mahar.32Dalam perkawinan, substansi mahar bukanlah imbalan mahar belaka, melainkan simbol hajat dan niat seseorang melakukan
30
Hafids Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismali Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Riyadh: Baitul Afkar Addauliyah, 1998),601.
31
Ahmad Ibn Al-hassan Ibn Ali Al-Baihaqi,Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), juz 3, 13. 32
(57)
27
pernikahan. Dengan itu, mahar itu bisa berupa harta atau bisa juga
berupa apa saja yang bernilai.
2. Barang yang halal dan dinilai berharga dalam syariat Islam.33 Mahar akan menjadi tidak sah jika mahar itu dari khamar, darah, babi atau
yang tidak bisa bermanfaat dan tidak bisa diperjual belikan bagi
perempuan yang menerimanya.
3. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak
disebutkan jenisnya.34
Ada perbedaan pendapat tentang syarat-syarat mahar tersebut
yaitu: Golongan malikiyah berpendapat apabila ketika akad disebutkan
mahar yang berupa barang ghasab, jika kedua mempelai mengetahui kalau
mahar tersebut barang ghasab, jika keduanya rasyid (pandai) maka
akadnya rusak, dan fasakh sebelum dukhul, tetapi akadnya tetap jika telah
dukhul serta wajib membayar mahar mitsil apabila keduanya masih kecil
(tidak rasyid). Sedangkan kalau yang mengetahui hanya suaminya saja,
maka nikahnya sah. Tetapi kalau pemilik benda (yang dibuat mahar)
mengambil benda yang dijadikan mahar.
D. Macam-macam Mahar
Adanya pernikahan menjadi sebab seorang suami diwajibkan
memberikan sesuatu kepada istrinya baik berwujud uang maupun berupa
33
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, ( Jakarta: PT. Lantera Baristama), 2001,365 34
(58)
28
barang. Pemberian ini adalah disebut mahar. Mahar adalah yang wajib ada
meskipun tidak dijelaskan bentuk dan harganya pada saat akad nikah dan
suatu diantara hak istri yang didasarkan dengan Kitabullah, Sunnah Rasul,
dan Ijma’ kaum Muslimin. Para Fuqaha telah membahagikan mahar
kepada dua macam:
1. Mahar Musamma.
Mahar Musamma adalah mahar yang disepakati oleh
pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi
akad. Para Ulama Madzhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal
dalam mahar tersebut karena adanya firman Allah Surat An-Nisaa’
ayat 20 yang berbunyi35:
٢ ٠
Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali.36
Dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia yang
ditulis Amir Syarifuddin mengatakan mahar musamma adalah mahar
yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad.
Inilah mahar yang umum berlaku dalam suatu perkawinan.
Selanjutnya kewajiban suami untuk memenuhi selama hidupnya atau
35
Muhammad Jawad Al-Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, 364. 36
(1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
Walaupun terkadang terjadi tawar-menawar sebelum tercapainya
kesepakatan jika pihak laki-laki keberat
an dengan jumlah Doi Menre’.
Fungsi Doi Menre adalah sebagai persediaan majlis resepsi
sebelum upacara perkahwinan bermula, Ia juga membantu untuk membeli
keperluan-keperluan yang asas untuk memeriahkan lagi upacara
pernikahan. Sekiranya, Doi Menre tidak melengkapi sesuai aturan, Maka
dari itu, Majelis akad nikah tidak boleh di lanjutkan sehingga adanya Doi
Menre.
2.
Tentang hukum doi menre’ menurut hukum Islam adalah mubah
(boleh) karena kedudukannya adalah sebagai hibah. Pemberian doi’ menre’
dalam pernikahan adat Bugis merupakan persyaratan (kewajiban) adat
bukan berdasarkan syar’i. Jadi menurut hukum Islam orang boleh
memberikan atau tidak memberikan doi’ menre’.
B. Saran-saran.
1.
Kepada lembaga pemerintah di Jabatan Agama Islam (JAIS) maupun
Tokoh Agama dalam hal ini khususnya yang berkompeten pada
konsentrasi hukum Islam atau organisasi kemasyarakatan agar persoalan
yang ada dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan adat dapat
diperhatikan, karena mayoritas masyarakat adalah ummat Islam di sisi
lain mereka juga hidup dilingkungan adat mereka.
(2)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
2.
Kajian tentang hukum perlu ditinggalkan guna menjawab
persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat mengingat bangsa
Malaysia merupakan bangsa yang majemuk dan sangat plural.
3.
Kepada masyarakat Desa Sadong Jaya, Asajaya dan sekitarnya sebaiknya
pelaksanaan adat yang menyangkut tentang Doi Menre’ (uang hantaran)
sedikit demi sedikit harus dihilangkan setidak-tidaknya harus dipermudah
kandengan cara mengurangkan Doi Menre’ tersebut, supaya tidak
memberatkan
bagi pihak laki-laki untuk melaksanakan Sunnah
Rasulullah Saw. Yaitu kewajiban utnuk menikah sekalipun Tinjaun
Hukum Islam tidak melarang hal tersebut.
Dan penyusun mengajak segenap masyarakat Desa Sadongjaya
khususnya masyarakat yang memakai adat yang serupa secara umum
untuk menilai, memikirkan, serta mengembalikan tujuan dan prinsip
semula perkawinan Islam, yang tidak lain semata-mata merupakan
ibadah kemudian hal-hal yang bukan adat jangan dicmpur-adukkan
dengan hal-hal yang bersifat materi. Demikianlah Tinjauan Hukum Islam
terhadap doi’ menre’ dalam pernikahan adat Bugis di Desa Sadong Jaya,
Asajaya Sarawak, yang dapat penyusun kemukakan. Pembahasan yang
menyusun lakukan ini tentu saja tidak dapat lepas dan
kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan sebagai manusia biasa penyusun
yang miskin Ilmu ini menyadari betul akan kekuarangan tersebut,
terutama dalam hal penelitian social dan pengetahuan yang berhubungan
dengan berbagai pustaka yang membahas mengenai hal tersebut.
(3)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
Ahirnya penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dan berbagai pihak, khususnya terhadap penelitian social dan
kultural terhadap hasil analisis ini agar nantinya dapat dilakukan
perbaikan-perbaikan. Semoga skripsi ini mendatangkan manfaat bagi
semua pihak khusunya mahasiswa Hukum yang ada di Malaysia dan
Indonesia.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Abdul Gani,Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994
Ahmad Ibn Al-hassan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Hamdani, RisalahNikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
A.Rahmi Meme dkk, AdatdanUpacaraPerkawinan Sulawesi Selatan Jakarta :DepartemenPendidikandan Kebudayaan,1978
Bugha,Musthafa & Muhyiddin Misto. Syarah Arbain Nawawiyah Pokok-Pokok Ajaran Islam, Jakarta, Robbani Press, 2005.
Daly, Peunoh.Hukum Perkawinan Islam,Jakarta: Kencana, 2006. Darmawan, Eksistensi Mahar danWalimah, Srikandi, 2007.
Daud Ali, Muhammad. PengantarIbnuHukumdan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001.
Departemen Agama RI.Al-Qur’an danTerjemahnya, Jakarta: Cahaya Qur’an, 2006.
E.,Kratz. Silsilah Raja-Raja Sambas As A Source of History, Kuala Lumpur: Archipel, 1980.
Fauzil Adhim, Muhammad. Kado Pernikahan Untuk Isteri, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006.
Hadi, Sutrisno.MetodologiPenelitian Research I, Jogjajakarta: YayasanPenelitianFakultasPsikologi UGM, 1981
Hakim, Rahmat, HukumPerkawinan Islam, (Bandung, PustakaSetia, 2000) Hassan,AbdJalilPerkawinandalam Islam,(Kuala Lumpur, Penerbit A.S Noorden) Imam Hafids Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismali Al-Bukhari. Shahih Bukhari,
Riyadh: Baitul Afkar Addauliyah, 1998.
KamusDewanEdisiKeempat,TerbitanDewan Bahasa Dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2005
(5)
Murtadha, Mutharari. Hak-hak wanita dalam Islam, Jakarta: Lantera, 1995. Mudjab Mahalli, Ahmad. Wahai Pemuda Menikahlah, Jogjakarta: Menara Kudus,
2002.
MasjfukZuhdi, MasailFiqhiyyah, (Jakarta :Gunung Agung,1996)
Morsidi,BinNatsirArtikal “BiodatadanSejarahPerkembanganMahkamahsyari'ah Sarawak”
M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Bandung: PT Insani Press, 2005.
Mahmood Zuhdi, Abdul Halim dan Raihanah Hj Azhari. Undang-undang Keluarga Islam Konsep Perlaksanaannya di Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia: Sinar Cahaya, 1987.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: PT. Lantera Baristama, 2001.
MasjfukZuhdi, MasailFiqhiyyah, (Jakarta :Gunung Agung,1996) Rahman, Ghazaly Abdul. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2007.
R. Nicholl, Brunei Rediscovered: A Survey of Early Times, Kuala Lumpur: BMJ,1980.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jilid III, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012
Said, Imam Ghozalidan A. Zaidun.BidayatulMujtahidJilid II, Jakarta: Pustaka Amani) Cet. 1 JunaidiUla, 1995.
Salim bin ‘Ied al-Hilali, Syarah Riyadhush Shalihin, Jakarta PT. Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2000.
Shomad, Abd Wahid, Fiqh Seksualitas Malang : Insan Madani, 2009
Syariffuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007. Syed Ahmad, Syed Idrus.& R. Santhiram, Perkembanganpendidikan di Sarawak,
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa danPustaka, 1990
Siddik, Abdullah, HukumPerkawinan Islam, Jakarta, PenerbitTintamas, 1983 Soleh, A. Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela, 2003
(6)
Tahir, Mohammad bin Abdul Ghani. Haji, Hikayat Datuk Merpati, Kuala Lumpur: Sinar Jaya, 1989.
Umar, Nasaruddin.Fikih Wanita Untuk Semua, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Wolters, O. W, The fall of Śrīvijaya in Malay history, Kuala Lumpur: SMJ XII, 1970
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hanbali, Jakarta: PT. Hidayakarya Agung, 1991.
Yunus, Mahmud Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990 Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’I, Jilid II, Jakarta: PT. Niaga Swadaya, 2010. Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu Al- Islami Wa Adillatuhu, Dar as-Salam: Kairo, 2007. “SejarahNegeri Sarawak” dalamhttp://ms.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Sarawak,
diaksespada 21 Mei 2014.
“DaftarhargaataunilaimaskawinseluruhNegeri di Malaysia”
dalamhttp://rosyur.blogspot.com/2011/01/nilai-mas-kawin-bg-seluruh-negeri-di.html, diaksespada 21 Mei 2014.