Tinjauan hukum Islam terhadap hak politik dalam akta hasutan 1948 di Malaysia

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MU’AZ BIN ABD. AZIZ NIM: 109045200015

KO N S E N TR AS I SI YAS AH S YAR’ IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J AK AR T A


(2)

(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperloleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 20 Juni 2011 M 18 Rejab 1432 H


(5)

i

Puji serta syukur kehadrat Ilahi atas seluruh rahmat serta hidayahNya yang telah dilimpahkan kepada hamba dan seluruh umat manusia di dunia. Sungguh hamba hanya insan yang tiada berdaya selain dengan pertolongan Mu ya Rabb, atas izin dan keridhaanMu maka hamba dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akta Hasutan 1948 Di Malaysia.” Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah saw. yang memberikan cahaya terang bagi perkembangan Islam di dunia.

Tiada hari tanpa hamba mengucap syukur kepadaMu ya Allah, Tuhan penggenggam langit dan bumi yang menguasai hari pembalasan. Tidak ada satu kejadianpun tanpa seizinMu, terima kasih karena telah mengizinkan hari ini terjadi

dalam hidup hamba. Amin ya Rabbal âlamin. Jutaan terima kasih kepada:

1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan kesempatan untuk menyelesaikan S1.

2. Negara Republik Indonesia yang telah memberikan izin tinggal.

3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Asmawi, M.Ag, selaku ketua Jurusan Jinayah Siyasah, Afwan Faizin,

M.A, selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah dan Sri Hidayati, M.A, mantan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.

6. Iding Rosyidin M.Si dan Masrofah, S.Ag, M.Si, selaku Pembimbing, yang

banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran, serta tunjuk ajar kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


(6)

ii

yang takkan pernah surut walaupun kemarau panjang datang melanda.

8. Teristimewa juga pada Nurul Asmat bte Nordin yang selalu mendukung,

memberi semangat dan sentiasa setia menunggu.

9. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Jinayah Siyasah

khususnya yaitu Prof. Atho Mudzar, Prof. Abd. Ghani, Prof. Yunasril Ali, Prof. Amany Lubis, Prof. Abduh Malik, Dr. Nurul Irfan, Dr. Abdul Halim, Dr. Isnawati Rais, Dr. Rumadi, Dr. Mamat Selamat, Dr. J.M Muslimin, Dewi Sukarti, Khamami Zada, Atep Abdurrafiq, Iding Rosyidin, Wiwi Mashum, Siti Hannah, Damanhuri Mustofa, Ismail Hasani, Ahmad Kholidin, Fahmi Ahmadi, Kamarusdiana, Bambang Catur, Heldi, Sri Hidayanti, Elviza, atas segala motivasi, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin, Akademik Pusat, dan Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10.Pimpinan dan segenap karyawan perpustakaan-perpustakaan di Indonesia

dan perpustakaan-perpustakaan di Malaysia.

11.Terima kasih dan salam sayang penuh kerinduan kepada atuk Khamis dan

nenek Halimah dan semua saudara- mara penulis dan adik-adik yaitu Umar, Naim, Syafiqah, Farhan, Hanif dan Afiq.

12.Dato’ Tuan Guru Hj. Harun Taib selaku pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat

KUDQI & Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI. Pihak Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah (KUDQI) yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat terutama, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust. Kamaruzaman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas,


(7)

iii

warga MDQ, Ayahanda Ust. Rosli, Ust. Zulyadain, Ust. Wan Awang, dan semua tenaga pengajar MDQ serta adik-adik banin dan banat yang berkesempatan dengan penulis.

13.Sahabat-sahabat Malaysia yaitu Hadi, Saipudin, Zalani, Khalil, Hanzalah, Pijo,

Syamil, Amir, Mok, Helimi, Hafiz, Fuad, Sabri, Ukasyah, Ridzuan, Ust. Azahari, Ridhuan Hamid, Farid, Najmi, Nash, Syuk, Munir, Madan. Dan semua sahabiyah Kak Su, Azidah, Hidayah, Khadijah, Faizah, Hajar, Alfiyah,

Ain, Ba’yah, Zudena, Syazwani, Najiha, Saedah, Balqis, Sumaiyah, Zuriah,

Halijah, Norjanah, Sahara.

14.Sahabat-sahabat Indonesia terutamanya, Muchsin, Danny, Pak Iskandar, ibu

Halimah, Iqbal, Stephani, Indah, Sally, April, bung Arman, Mada dan yang lain. Karena telah banyak menolong penulis dalam bentuk apa pun selama di Indonesia ini.

15.Terakhir, jutaan rasa terima kasih kepada semua individu yang secara tidak

langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.

Semoga Allah Subhanaahu wa Ta’ala menjadikan usaha kecil ini sebagai amal yang ikhlas, memberi manfaat yang berterusan, menjadi teman ketika berseorangan di kuburan dan keberkatan untuk kedua orang tua dan umat Islam seluruhnya.

Wama taufiqi Illa billah.

Jakarta, 6 Juni 2011 4 Rejab 1432 H


(8)

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..……..i

DAFTAR ISI………...……...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………..…..1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………..…….6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..…...6

D. Kajian Terdahulu (Review) ………...7

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan………..10

F. Sistematika Penulisan…….………..…… 11

BAB II HAK-HAK POLITIK A. Pengertian Hak-Hak Politik ………...12

B. Hak-Hak Politik………..19

C. Sejarah Hak Politik dalam Islam ………….………..20

BAB III IMPLEMENTASI AKTA 15 TEN TANG HASUTAN TAHUN 1948 DI MALAYSIA A. Definisi Akta Hasutan ………...……….28

B. Materi dalam Akta Hasutan……….………...30

C. Tinjauan akta hasutan dalam Konsitusi Malaysia…………...………33 D. Implementasi Akta Hasutan di Malaysia………..……..…40


(9)

vii

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK POLITIK DAN AKTA HASUTAN

A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak-hak Politik………44

B. Kedudukan Akta Hasutan dalam Pandangan Hukum Islam…….….53

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………...59

B. Saran ……….….60

DAFTAR PUSTAKA………...……...61

LAMPIRAN: ……….…...66 .


(10)

1

Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagai disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman;

                                                    ( ءاسنلا / ٤ : ٨ )

Artinya: Wahai orang-orang Yang beriman, Taatlah kamu kepada Allah dan

Taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang Yang berkuasa) dari kalangan kamu. kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) Dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya - jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu), dan lebih elok pula kesudahannya. (Qs. An-Nisa’/ 4: 58).

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di

sini tidaklah datang dengan lafazh „ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin

merupakan ikutan daripada ketaatan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk membuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan taat kepadanya.

Hak bagi warga negara untuk berpatisipasi dalam urusan negara, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan melalui hak dalam memberikan suara, hak memilih dalam pemilihan, dan kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan


(11)

pers dan kebebasan berkumpul. Landasan dasar hak ini dalam Islam yang

dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dijelaskan oleh Rasulullah

adalah berkumpul pada enam asas dasar yaitu; Kebebasan atau demokrasi,

keadilan, persamaan, permusyarakatan, perbandingan dan mawas diri.1

Negara maju adalah negara yang mampu menjalankan tugasnya, bukan hanya untuk menjaga dan memelihara keamanan, tetapi juga mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyatnya. Dan kemajuan suatu negara tidak hanya dapat dilihat dari segi kemajuan ekonominya saja, akan tetapi harus dilihat dari segi yang lain seperti politik dan sosial budaya. Artinya bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat itu tidak hanya diukur dengan kemajuan ekonomi saja, akan tetapi dilihat dari terpenuhinya semua hak-hak rakyat seperti hak hidup, hak milik, hak perlindungan keamanan dan kehor matan, hak politik dan lain- lain.

Jaminan hak- hak rakyat biasanya di negara-negara moderan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hak- hak rakyat yang harus diberikan dan dijamin oleh negara itu pada hakikatnya adalah hak asasi manusia yang bersifat kodrati berasal dari Tuhan. Oleh karena itu sebenarnya hak- hak

dasar manusia (rakyat) tidak memerlukan legatimasi yuridis untuk

1 Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam,(Ja karta Timu r:Pustaka Al-Kausar,2005) cet.


(12)

memberlakukannya dalam sistem hukum nasional maupun internasional.2 Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia. Namun terkadang adanya penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi terhadap perampasan, perkosaan, dan pemanipulasian HAM oleh manusia satu kepada manusia yang lain atau oleh manusia kepada rakyatnya, sehingga HAM memerlukan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.

Hak politik merupakan salah satu hak rakyat yang harus diberikan dan dijamin oleh negara. Misalnya hak rakyat untuk berkumpul atau berserikat, berpendapat di muka umum dan turut serta dalam pemerintahan. Adanya pemenuhan dan jaminan hak-hak dasar rakyat termasuk hak politik- merupakan suatu ciri sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, yaitu suatu pemerintahan yang melibatkan peran rakyat dan tidak memasung kehendak rakyat karena pada hakikatnya demokrasi itu adalah suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Kebebasan bersuara dijamin oleh konstitusi Malaysia dalam pasal 10 (1) (a) dan pasal 10 (2) (a) dengan jelas memberikan garis panduan dalam soal kebebasan bercakap dan mengeluarkan pendapat, yaitu pendapat yang disuarakan hendaklah mengambil kira kepentingan keselamatan negara, kepentingan dan

2 Ba mbang Sutiyoso, Ak tuarita Huk um dalam Era Reformasi, (Jakarta : Ra jawa li Press,


(13)

keistimewaan pihak-pihak tertentu.3 Kebebasan bersuara ini merangkumi ucapan sama ada bersifat simbolik, dituturkan, bersifat penulisan, berbentuk politik,

kesenian ataupun komersil.4 Dalam konteks Malaysia, kebebasan dan

menyuarakan pendapat memberikan hak kepada pers-pers nasional memainkan peranan yang cukup penting dalam menghebahkan maklumat dan berita yang tepat, sahih dan benar. Walau bagaimanapun, kebebasan yang diberikan ini tidak bersifat mutlak tetapi boleh disekat seandainya melibatkan aspek kepentingan keselamatan persekutuan ketenteraman awam dan kemoralan. Kebebasan bersuara berkebijakan undang-undang yang dibuat oleh manusia ini menunjukkan

tidak bebas. 5

Perdana Menteri Tun Dr. Seri Maharthir mengatakan, hak kebebasan pers, coba menonjolkan bahwa pers bebas untuk mengkritik pemerintah ataupun menyokong pemerintah. Katanya, sesebuah pers yang hanya mengecam pemerintah tidak pula berarti bebas. Katanya lagi :

“Kebebasan pers tidak bermakna jika sering menyiarkan pembohongan

mengenai sesuatu perkara karena dikongkong oleh matlamat politik sesuatu pihak yang menentang pemerintah. Pers yang bersifat demikian biasanya

3

http://bersih.blogspot.com/2007/ 12/ kebebasan-bersuara-telah-disalah-guna.html dia kses pada tanggal 15/ 12/2010 ja m11:10, wib.

4 Faridah Jalil, Kebebasan dan Jenayah Dalam Berk arya. (Kuala Lu mpur, De wan Sastera.

Oktober 2001) cet I, h. 23

5

Mohd. Safar Hasim. Pers di Malaysia Antara Kebebasan dengan TanggungJawab. (Bangi. Penerbit Un iversiti Kebangsaan Malaysia, 2005) cet I, h. 5


(14)

dijejaskan oleh pemilik, pengarah serta pihak yang sanggup menolak kebenaran bagi memelihara kemasyuran dan kewangan mereka semata-mata”.6

Kebebasan bercakap bataskan kepada kata-kata yang tidak menjadi fitnah, kata-kata yang tidak mencerca mahkamah atau kata-kata yang melanggar hak keutamaan parlemen dan dewan negeri. Sesiapa yang menyebut, menulis, mencetak, menjual atau menyiarkan perkataan yang membawa hasutan adalah

dianggap oleh undang-undang. 7 mereka dianggap melakukan kesalahan yang

boleh dihukum hingga lima tahun penjara atau sanksi RM5000. 8

UU ini jelas membatasi kebebasan hak politik yang dibawa oleh warga negara Malaysia khususnya dari partai oposisi. Intelektual juga takut menyampaikan pendapat yang bertentangan dengan pemerintah karena terdapat UU yang membatasi hak- hak tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis terdorong untuk mengkaji hak- hak politik dan kaitan UU hasutan di Malaysia dan

menjadikan sebagai tema skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Hak Politik Dalam Akta Hasutan1948 di Malaysia”.

6Othman Muhammad, Erti Kebebasan Pers-Persekitaran Yang Membimbangk an. Kuala

Lu mpur, Sasaran, Dese mber 1992)cet, I, h.20-23

7

Akta Hasutan 1948

8 Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, (dewan bahasa


(15)

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latarbelakang masalah di atas, maka penulis mencoba membataskan permasalahan tersebut dengan mengfokuskan ruanglingkup di antaranya adalah, kedudukan pembentukan undang- undang atau UU hasutan yang dipengaruhi dari prilaku sosial dan juga terkait dalam hal berpolitik. Kemudian pandangan hukum Islam terhadap implementasi Undang- undang Hasutan ini.

2. Perumusan Masalah

Supaya tidak menjadi pembahasan yang panjang penulis merumuskan pemasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana kebebasan berpendapat diatur dalam undang-undang Negara

Malaysia?

b. Bagaimana implementasi Akta Hasutan di Malaysia?

c. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai hak politik menurut UU

Hasutan di Malaysia?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada beberapa alasan dan tujuan yang mendasari penulis memilih judul skripsi ini. Berikut adalah :

a. Untuk menjelaskan bagaimana kebebasan berpendapat diatur dalam

undang-undang Negara Malaysia.


(16)

c. Untuk menjelaskan bagaimana Islam memandang hak politik menurut UU Hasutan di Malaysia.

Ada pun manfaat dalam penelitian ini, diantaranya ialah;

1. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan

dibidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di Malaysia

2. Memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang bagaimana kebebasan

berpendapat itu dari perspektif Hukum Islam dan Perlembagaan Persekutuan di Malaysia.

3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk

peneliti- peneliti akan datang.

D. Review Studi Terdahulu

Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang hak-hak asasi telah dilakukan, baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkajinya secara umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi, di antaranya:

Penelitian skripsi yang ditulis oleh Masrianti yang berjudul “Hak-hak


(17)

Dalam Konteks Hak-hak Dan Kedudukan Perempuan” tahun 2006.9 Penelitian ini di antaranya membahas tentang hak- hak dan kedudukan kaum perempuan dan realitasnya pada masa kini.

Penelitian yang ditulis oleh Ahmad Baihakki Bin Arifin yang berjudul

Hak-hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia”,

tahun 2008.10 Penelitian ini membahas tentang hak- hak politik warga negara

Malaysia yang diatur di dalam konstitusi Malaysia.

Penelitian yang ditulis oleh Abdul Qodir yang berjudul “Kebebasan

Pindah Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan HAM”, tahun 2008.11 Penelitian ini membahas tentang kebebasan untuk pindah agama yang telah diatur oleh hukum Islam dan juga menurut HAM.

Selain skripsi di atas, sejumlah penelitian dengan bahasan tentang Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam telah dilakukan, baik yang mengkaji secara

spesifik topik tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan

penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut:

9 Masrianti, “

Hak -hak Asasi Manusia Menurut Islam Dan Dek larasi Universal: Studi Perbandingan Dalam Kontek s Hak -hak Dan Keduduk an Perempuan”, (Skripsi S1 Faku ltas Syariah dan Hu ku m, Universitas Isla m Negeri Sya rif Hidayatullah Ja karta, 2005)

10 Ahmad Baihakki Bin Arifin, “Hak -hak Politik Warga Negara Dalam Perlembagaan

Persek utuan Malaysia”, (Skripsi S1 Fa kultas Syariah dan Huku m, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ja karta, 2005)

11 Abdul Qodir, “

Kebebasan Pindah Agama Dalam Perspek tif Huk um Islam Dan HAM”, (Skripsi S1 Fa kultas Syariah dan Huku m, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jaka rta, 2005)


(18)

Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia” karya Mohd

Salleh Abas.12 Buku ini menjelaskan tentang prinsip dan tatacara pemerintahan di

Malaysia. Dan didalamnya banyak menguraikan tentang konstitusi Malaysia yang mana turut menjelaskan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.

Kedua, “Hak Asasi Manusia dalam Islam”, karya Syekh Syaukat

Hussain.13 Buku ini membahas tentang konsep HAM di dalam Islam dan ruang

lingkup HAM dalam perspektif Islam serta bagaimana usaha-usaha perlindungan dalam Islam terhadap pelaksanaan HAM.

Ketiga, “Hak Asasi Manusia dalam Islam” karya Ikhwan.14 Buku ini membicarakan tentang hak asasi dalam Islam dan hukum internasional. Di dalamnya juga turut diadakan perbandingan antara hukum Islam dan hukum Internasional terhadap beberapa isu hak asasi manusia.

Keempat, “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam”, karya

Rusjdi Ali Muhammad.15 Buku ini membincangkan kewajiban dan hak manusia

di dalam sesebuah negara yang terdiri dari orang Islam dan Non- muslim.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

12

Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan di Malaysia (Kuala Lu mpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006.

13

Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam. Penerje mah Abdul Rochim C.N.. (Jakarta : Ge ma Insani Press, 1996). cet.I

14

Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Ja karta: Logos Wacana Ilmu, 2004). cet.I

15

Rusjdi AliMuhammad, Hak Asasi Manusia dalam Perspek tif Syariat Islam (Aceh: Ar-Raniry Press, 2000).cet. I


(19)

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penulis

mencoba mengumpulkan data-datanya berasal dari sumber-sumber hukum yang ada yaitu undang- undang dan hasil karya dari kalangan hukum.

2. Obyek Penelitian

Yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah hak politik dan hubungan antara UU hasutan di Malaysia. Dan tinjauan terhadap hukum Islam.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumenter dari bahan-bahan tertulis yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan obyek penelitian. Data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer dan sekunder.

Termasuk ke dalam sumber data primer adalah buku Perlembagaan

Persekutuan dan UU hasutan 15 tahun 1948 Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku dari kalangan hukum, jurnal, dan situs internet yang berkaitan dengan obyek penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Dalam melakukan analisis terhadap data-data yang sudah terhimpun, penulis menggunakan teknik perbandingan hukum dengan mencari adanya perbedaan-perbedaan dan persamaan pada sistem hukum Malaysia dan hukum Islam yang mengatur hak politik


(20)

5. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab dan masing- masing bab terdiri dari sub-sub bab, adapun secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I, Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II, Pembahasan dalam bab II ini mengenai hak-hak politik yaitu membahaskan, pengertian hak- hak politik, sejarah hak politik dalam Islam.

Bab III, Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum UU hasutan 1948 di Malaysia, seterusnya tafsiran UU hasutan, beberapa hal yang diatur dalam UU hasutan, tinjauan UU hasutan dalam perlembagaan persekutuan dan implementasi UU hasutan.

Bab IV, Merupakan tinjauan hukum Islam terhadap hak- hak politik dan juga kedudukan UU hasutan dalam pandangan hukum Islam

Bab V, Merupakan bab penutup, yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran.


(21)

12 A. Pengertian Hak-hak Politik

Kata hak politik terdiri dari dua kata yaitu hak dan politik.Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia kata hak berarti benar, milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu dan

hak juga berarti derajat atau mertabat.1

Kata hak berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi mengandung

beberapa arti. Dalam al-Quran terdapat beberapa makna untuk kata hak. Makna

hak sebagai ketetapan dan kepastian terdapat dalam al-Quran surat Yasin/36: 7.

Makna hak sebagai menetapkan dan menjelaskan terdapat dalam surat al-Anfal/8:

8. Makna hak sebagai bagian yang terbatas terdapat dalam al-Ma’arij/70: 24-25.

Kata hak dengan arti benar, lawan dari batil, terdapat dalam surat Yunus/10: 35.2

Dalam kamus Lisan al-Arab, kata hak diartikan dengan ketetapan, kewajiban,

yakin, yang patut dan benar.3

Sedangkan kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang

menunjukkan sifat peribadi atau perbuatan. Secara leksikal, asal kata tersebut

1

Tim Penyusun Kamus Departe men Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bala i Pustaka, 1998), Cet. I, h . 292

2

Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Ja karta: Logos, 2004), Cet. I, h. 9

3 Jalaluddin Muhammad Ibnu Manzhur, Lisan al-'Arab, (Mesir: Dâr a M ishriyah li a


(22)

berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata

Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a

citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin

pengetahuan, yaitu ilmu politik.4

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau

menangani suatu masalah).5 Politik merupakan kata kolektif yang mempunyai

pemikiran-pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.6

Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam- macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan

tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.7 Selanjutnya

sebagai suatu sistem Munawir Sadzali menerangkan, bahwa politik adalah suatu

4

Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, (Jaka rta: PT. Ra ja Grafindo Persada, 1995), Cet. II, h. 34

5

Ibid., h. 292

6

Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Kontemporer, (Surabaya: Arkola, 1994),cet. I h. 608

7 Miria m Budiard jo, Dasar-dasar Ilmu Politik , (Jakatra: PT. Gra media Pustaka Uta ma,


(23)

konsepsi yang berisikan ketentuan-ketentuan siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggungjawab dan

bagaimana bentuk tanggungjawabnya.8

Politik dalam bahasa Arab disebut dengan siyâsah yang berasal dari kata

س س س س

س س , yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhîth dikatakan: ْ ْ أ : ً س س َعَ ا ْسس yang berarti saya

memerintahnya dan melarangnya.9 Politik atau siyâsah mempunyai makna

mengatur urursan umat, baik secara da lam karenapun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh negara (pemerintah) karenapun umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat

atau rakyat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melakukan tugasnya.10

Difinisi ini diambil dari hadis-hadis yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban untuk mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan umat atau rakyat. Rasulullah SAW bersabda:

8

Munawir Sya zili, Islam dan Tata Negara, (Jaka rta:UI Press. 1990),cet. V, h. 41

9 Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi,

Al-Qâmûs al-Muhîth, (Ba irut: Dâ r a l-Fikir, 1995), cet. I, h. 496

10 Abdul Qadim Za llu m, Afk aru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemik iran Politik Islam,


(24)

سحْا ْ ع ْشأْا بأ ثَّح ْع بأ ثَّح َا ض ف س ْب قْع د ع د ْب ها ّْبع َ أ

ْ ع ها َص َ بَ ا ْع س َس ْ ع ها َص ها س ْ ْع س ًث ّح كثِّح ِإ قْع قف ف ق َس : َجْا حئا ّْج ْ َاإ حْص ب ْطح ْ ً َع ها عْ ْسا ّْبع ْ )

ب ا ا (

11

Artinya: Diceritakan kepada kami Abu Nu’aim diceritakan kepada kami Abu

Al-Asyhab diriwayatkan dari Al-Hasan bahwasanya Abdullah bin Ziyad menjenguk Ma’qil bin Yasar ketika dia sakit menjelang matinya berkata Ma’qil kepadanya (Ziyad): saya akan memberitahukan kepadamu apa yang telah saya dengar dari Rasulullah SAW., aku mendengar Nabi SAW bersabda:“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan ummat dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (rakyat) dia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Bukhari)

س ِأ ْ ع صْح ْب َبض ْ ع سحْا ْ ع د ق ثَّح ْح ْب َ ثَّح دْ أْا ّ خ ْب اَّ ثَّح ق َس ْ ع َ ا َص َ ا س َ أ :

س ْأ ْ ئ ب ف ع ْ ف ْ ْ ْ ف ْع ف ءا أ ْ س

عب ض ْ ْ .

ق ْ ق افأ اْ ق :

ْا ص ،ا )

س ا (

12

Artinya: Diceritakan kepada kami Hadab bin Khalid Al-Azdi diceritakan kepada

kami Hammam bin Yahya diceritakan kepada kami Katadah daripada Dayyabah bin Mihshon daripada Ummi Salamah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui

11

Muhammad bin Ismâ il bin Ibrâhim a l-Bu khâri, Sahîh Bukhâri,(Beirut: Dâ r al-Fikr, t.th), Juz XXII, h. 62, hadits no. 6617

12 Muslim b in al-Ha j Abu al-Husin al-Qusairi a l-Nisaburi, Sahîh Muslim, (Beirut: Dâr


(25)

perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara’), maka dia tidak diminta tanggung-jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang yang redha (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum syara’) dan mengikutinya maka dia berdosa. Para sahabat bertanya: apakah kita memerangi mereka? Rasul menjawab: tidak, selama mereka menegakkan shalat (hukum-hukum Islam).” (HR. Muslim).

Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, memb icarakan politik pada dasarnya adalah membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki ide- ide, azas-azas sejarah pembentukan negara, hakekat negara serta

bentuk dan tujuan negara.13

Politik ialah cara dan upaya menangani masalah- masalah rakyat dengan seperangkat undang- undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Mengacu pada pengertian tersebut, politik yang berasal dari kata polis yang berarti Negara bisa juga diartikan sebagai bentuk kumpulan yang sengaja dibentuk untuk mendapatkan

suatu yang baik. Karenanya, setiap negara (polis) sudah barang tentu harus

13 J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles; Seri Filsafat Politik, (Jakarta: CV.


(26)

memiliki suatu aturan main yang disebut undang-undang atau hukum, pemegang

otoritas hukum yang kemudian disebut sebagai politicos atau raja, dan yang

melaksanakan aturan pemerintahan dalam hal ini semua lapisan masyarakat yang mengakui terhadap kekusaan seorang pemimpin. Oleh karenanya, persoalan politik kelihatannya tidak bisa dilepaskan dari persoalan kesepakatan, legitimasi, bai’at terhadap seseorang pimpinanan produk hukum yang lahir sebagai aturan

dalam melaksanakan roda pemerintahan.14

Ilmu politik adalah salah satu disiplin ilmu kemasyarakatan yang membahas masalah- masalah pemerintahan, lembaga-lembaga, negara, proses politik, hubungan internasional, tata negara dan pemerintahan. Semuanya itu merupakan kegiatan perseorangan karenapun kelompok yang menyangkut

hubungan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat mendasar.15

Teori tentang politik dalam Islam telah banyak dikemukakan oleh para ulama baik di masa lampau atau pun di masa kini. Hal ini mudah dipahami,

karena masalah politik termasuk ruang lingkup ijtihad yang memungkinkan

kepada para ulama untuk mengkaji setiap masa.16 Dalam hal ini Quran dan

al-Sunnah tidak memberikan ketentuan yang pasti mengenai politik. Dalam al-Quran tidak ditemukan konsep tentang politik umat Islam untuk diaplikasikan pada setiap tempat dan zaman. Karena jika hal ini ada, berarti al-Quran menghambat

14

Moh. Mufid, Politik dalam Perspek tif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), Cet. I, h. 9

15

H. M. Darwis Hude, (ed), Cak rawala Ilmu dalam Al-Qur’an, (Ja karta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. I, h. 471

16 H. Inu Kencana, Al-Quran dan Ilmu Politik , (Jakarta : PT Rine ka Cipta, 1996), Cet. I,


(27)

dinamika perkembangan umat. Adalah suatu kebijaksanaan al-Quran untuk membiarkan hal ini dipecahkan oleh nalar manusia sebagai suatu kemampuan dan perkembangan zaman. Kendati demikian al-Quran memberikan prinsip-prinsip

dasar bagi kehidupan bermasyarakat.17

Dari penjelasan di atas, secara garis besar hak politik dapat diartikan

sebagai suatu kebebasan dalam menentukan pilihan yang tidak dapat diganggu ataupun diambil oleh siapa pun dalam kehidupan bermasyarakat di suatu negara. Menurut para ahli hukum hak politik adalah hak yang dimiliki dan diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik (negara), seperti hak memilih (dan dipilih), mencalonkan diri dan memega ng jabatan umum dalam

negara,18 atau hak politik itu adalah hak- hak di mana individu memberi andil

melalui hak tersebut dalam mengelola masalah- masalah negara atau

memerintahnya.19 Hak politik merupakan hak asasi setiap warga negara untuk

ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya hak untuk berkumpul dan berserikat (membentuk partai politik), dan hak untuk mengeluarkan pendapat termasuk mengawasi dan mengkritisi pemerintah apabila terjadi penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau membuat kebijaka n yang bertentangan dengan aspirasi rakyat.

17

Munawir Sya zili, Islam Dan Tata Negara, (Ja karta:UI Press. 1990),cet. V , h. 41

18

A. M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, (Jakarta : Ge ma Insani Press, 1996), Cet. I, h. 17

19

Abdul Karim Za idan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), Cet. I, h. 17


(28)

B. Hak Politik

1. Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan.

Hak untuk memilih berarti semua penduduk boleh memilih dalam pemilihan umum. Meskipun hak pilih memiliki dua komponen yang penting, yaitu hak untuk memilih dan kesempatan untuk memilih, istilah hak pilih hanya dihubungkan dengan hak memilih. Konsep hak pilih awalnya merujuk pada hak pilih seluruh penduduk laki- laki, tanpa memandang harta kekayaan. Negara pertama yang menerapkan konsep

hak pilih adalah Perancis pada tahun 1792. Pada perkembangan

selanjutnya, di banyak negara, hak suara penuh termasuk untuk perempuan muncul.

2. Hak membuat dan mendirikan parpol.

Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud- maksud damai.

Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyele nggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(29)

Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun,terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai -nilai agama, kesusilaan,ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

4. Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

Setiap orang memiliki hak untuk berpatisipasi secara langsung atau tidak langsung dalam penyelengaraan pemerintahan di negerinya. Dia juga memiliki hak untuk memegang jabatan publik sesuai ketentuan-ketentuan dan syarat.

C. Sejarah Hak Politik dalam Islam

Islam merupakan manhaj ketuhanan yang diturunkan kepada nabi besar

Muhammad SAW untuk umat manusia agar mereka berada dalam jalan yang benar dan selamat di dunia dan di akhirat. Dilihat dari sejarah sebelum datang Islam, keadaan manusia pada waktu itu berada dalam keadaan Jahiliyyah. Kehidupan beragama di jazirah Arab sebelum Islam adalah penyembah berhala,


(30)

mereka telah menyimpang jauh dari ajaran ketuhanan yang dibawa oleh Nabi-nabi mereka. Hukum yang berlaku berdasarkan kepada hukum adat istiadat, dan dalam tatanan masyarakat menganut paham kesukuan (kabilah). Selain penyembah berhala, juga sering terjadi peperangan antara kabilah, terjadi perbudakan, dan hal- hal lain yang berbau Jahiliyyah.

Dalam keadaan seperti itulah Islam datang dengan al-Quran sebagai petunjuk hidup. Al-Quran yang berisi hukum- hukum atau pera-turan-peraturan yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sunnahnya telah membawa bangsa Arab keluar dari kejahilan sehingga mereka menjadi bangsa yang beradab. Bahkan, Rasulullah SAW telah berhasil membuat suatu peradaban baru yaitu suatu tatanan masyarakat yang teratur dan dinamis, dalam bentuk kepemimpinan Beliau di Madinah. Rasulullah SAW telah memperkenalkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip pemerintahan (kenegaraan). Misalnya dapat dilihat dari praktik-praktik yang dicontohkan Nabi dalam musyawarah dengan para sahabat. Walaupun beliau sebagai pemimpin agama (rasul) dan pemimpin negara, akan tetapi beliau tidak bersikap otoriter terhadap para sahabat dan kaum muslimin. Beliau memberikan dan menjamin hak-hak warga masyarakat termasuk dalam hal

yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan (politik).20

Ada beberapa peristiwa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW berkenaan dengan hak politik masyarakat misalnya ketika kaum Muslimin hendak

20

Muhammad Dhiauddin Ra is, An-nazhariyatu as-siyasatul-islamiyah, edisi indonesia, Teori Politik Islam, terje mah o leh Abdul Hayyie a l-Kattani,(Jaka rta: Ge ma Insani Press, 2001) cet. I, h. 7


(31)

melakukan Perang Uhud. Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabat, beliau meminta pertimbangan mereka apakah sebaiknya tetap tinggal dan berlindung di Madinah saja atau keluar menyongsong pasukan kaum kafir Quraiys. Ada sahabat yang mengusulkan untuk keluar menyongsong kaum kafir

Quraiys dan Nabi pun menerimanya.21 Demikian juga Nabi menerima pendapat

sahabat Salman Al-Farisi agar membuat parit dalam peperangan Ahzab, sehingga

perang ini disebut juga dengan perang Khanddak (parit).22

Pasca Rasulullah SAW wafat, sahabat Khulafah ar-Rasyidin pun telah

memberikan contoh berkenaan dengan hak politik masyarakat misalnya ketika Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat menjadi Khalifah beliau berkhutbah:

“Amma Ba’du. Wahai manusia! Sesungguhnya saya telah dipilih untuk memimpin kalian dan bukanlah saya orang terbaik diantara kalian. Maka, jika saya melakukan hal yang baik bantulah saya, dan jika saya melakukan tindakan yang menyeleweng luruskanlah saya. Sebab kebenaran itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat dalam pandangan saya hingga saya ambilkan hak -haknya untuknya, sedangkan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di hadapanku sehingga saya ambilkan hak orang lain darinya… Taatlah kalian

21 Akra m Dhiya A l-Umuri, As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, edisi Indonesia

Selek si Sirah Nabawiyyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, Oleh Abdul Rosyad Shidiq, (Ja karta: Da rul Fa lah, 2004), Cet. I, h. 408

22 Shafiyyur Rahman, Sirah Nabawiyah, edisi Indonesia Sirah Nabawiyah, penerje mah


(32)

pada ku selama saya taat kepada Allah dan jika saya melakukan maksiat kepada

Allah dan RasulNya, maka tidak ada kewajiban taat kalian kepada ku.”23

Dari pidato Abu Bakar tersebut dapat dipahami bahwa beliau bersedia untuk ditegur dan diluruskan jika melakukan penyelewengan dalam pemerintahannya. Ini berarti bahwa Khalifah Abu Bakar menjamin dan memberikan hak politik dalam berpendapat kepada rakyatnya.

Umar Ibn al-Khaththab tidak pernah memaksakan pendapat apa lagi mendiktekan kehendaknya. Bagi Umar musyawarah bukanlah hanya sekadar untuk menguatkan pendapatnya semata, akan tetapi untuk mencari kebenaran. Umar pernah berkata: “Janganlah tuan-tuan mengemukakan pendapat yang menurut persangkaan tuan-tuan sesuai dengan keinginan saya, tetapi kemukakanlah buah fikiran menurut perkiraan tuan-tuan sesuai dengan kebenaran.”24

Satu ketika Umar berpidato dihadapan rakyatnya: “Tuan-tuan jangan memberi maskawin melebihi 40 ugiah! Barang siapa yang melebihinya, maka kelebihannya akan saya masukkan ke baitulmal.” Tiba-tiba dari barisan wanita

muncul seorang ibu-ibu yang menyanggahnya dengan berkata: “tidak ada hak

anda untuk berbuat demikian!.” Lalu Umar bertanya: “Kenapa?” seorang ibu itu menjawab bukankah Allah telah berfirman:

23

Ima m as-Suyuthi, Tarikh Khulafa, edisi Indonesia diterje mah kan oleh Samson Rah man, Tarik h Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam, (Ja karta : Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. I, h. 75

24

Khalid Muhammad Khalid, Khulafa ar-Rasul, alih bahasa oleh Mahyuddin Syaf, dkk., Mengenal Pola Kepimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, (Bandung: CV. Diponegoro, 1996), Cet. IV, h. 220-221


(33)

                              ) ء س ا /

٤

:

٢٠ )

Dan jika kamu hendak mengambil isteri (baharu) menggantikan isteri (lama Yang kamu ceraikan) sedang kamu telahpun memberikan kepada seseorang di antaranya (isteri Yang diceraikan itu) harta Yang banyak, maka janganlah kamu mengambil sedikitpun dari harta itu. Patutkah kamu mengambilnya Dengan cara Yang tidak benar dan (yang menyebabkan) dosa Yang nyata? ( Q.s: an-Nisa/ 4: 20)

Mendengar sanggahan itu wajah Umar pun berseri-seri dan tersenyum. Lalu berkata: “benarlah wanita itu dan salahlah Umar.”25

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa sejak zaman Nabi SAW dan para sahabat telah memberikan contoh dalam hal kebebasan berpendapat dan bermusyawarah dalam mejalankan kepemimpinannya. Selain itu adanya kebebasan berkumpul atau berserikat dan berpendapat dapat kita lihat dari adanya golongan-golongan yang ada pada masa para sahabat seperti adanya golongan Khawarij, Jabariah, Qadariah, Asy’ariah dan bahkan sempat terjadi perpecahan kaum muslimin ke dalam golongan pada masa khalifan Ali bin Abi Thalib, yang mana beliau pada waktu itu didukung oleh satu golongan yang kemudian menjadi golongan syiah.

Jika kita bandingkan dengan dunia Barat, maka pembahasan tentang sejarah perjuangan hak politik berkaitan erat dengan sejarah Hak Asasi Manusia

25 Hussien Haikal, Al- Farruq Umar, edisi Indonesia Umar Al-Khattab, diterje mah oleh


(34)

(HAM), yaitu usaha manusia untuk mendapatkan hak-haknya yang dirampas oleh manusia yang lain. Usaha ini merupakan sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal pada abad ke-17 dan 18 terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka peker-jakan. Manusia pada zaman tersebut terdiri dari dua lapisan besar, yakni lapisan atas yang minoritas dan lapisan bawah yang mayoritas jumlahnya. Lapisan bawah tidak mempunyai hak- hak dan diperlakukan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa atas diri mereka. Mereka diperlakukan sebagai budak yang dapat diperlakukan sekehendak pemilik-nya. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, timbul gagasan untuk memper-samakan kedudukan lapisan bawah dan lapisan atas karena mereka sama-sama manusia. Muncullah ide persamaan, persaudaraan, dan kebebasan yang

ditonjolkan oleh revolusi Perancis pada akhir abad kedelapan belas.26

Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahir HAM di

kawasan Eropa gandang dengan kelahiran Magna Charta 15 Juni 1215, suatu

dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris

kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka.27 Dokumen ini

antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta

pertanggung-jawabannya di muka hukum. Kelahiran Magna Charta ini kemudian diikuti oleh

26 Harun Nasution, “Pengantar” dalam

Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta :Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Firdaus, 1995), Cet. II, h. 51

27 Miria m Budiard jo, Dasar-dasar Ilmu Politik , (Jakatra: PT. Gra med ia Pustaka Utama,


(35)

kemunculan Bill of Righs di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu, mulai timbul pandangan (adagium) yang intinya bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbul negara

hukum dan negara demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan harus

diwujudkan, betapa pun berat resiko yang harus dihadapi, karena hak kebebasan

baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.28 Untuk mewujudkan semua itu,

maka lahir teori kontrak sosialJ.J. Roussseau (social contract theory),29 teori trias

politika Montesquieu,30 dan John Locke di Inggris dengan teori hukum kodrati.31

Perkembangan HAM selanjutnya, ditandai dengan munculnya The

Amarican declaration of Independence. yang lahir dari paham kontrak sosial Rousseau dan trias politika Montesquieu. Mulai dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidak logis ia dibelenggu bila

28

Dede Rosyada, dkk., Pendidik an Keawarganegaraan (Civic Education): Demok rasi, Hak Asasi Manusia dan Masyrakat Madani, (Jakarta: Tim ICCE UIN Syyarif Hidayatullah Jakarta dan Prenada Media, 2003), Cet. I, Edisi Revisi,h. 202

29

Menurut Rousseau, manusia yang tinggal dalam keadaan primitif me miliki suatu kebebasan asli. La lu pada suatu ketika manusia yang me miliki kebebasan asli itu me mbentuk suatu kehidupan bersama orang lain yang juga me miliki kebebasan itu. Hal ini terjadi me lalu i suatu proses yang oleh Rousseau disebut k ontrak sosial. Leb ih je lasnya lihat Theo Hu ijbers, Filsafat Huk um dalam Lintasan Sejarah, Cet. XV, (Yogyaka rta: Kanisius, 2006), h. 88

30 Yaitu suatu teori tentang pembagian ke kuasaan, menurutnya kekkuasan Negara dibagi

atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga dan masing -masing ke kuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri-sendiri, yaitu kekuasan perundang-undangan (legislative), ke kuasaan me la ksanakan pemerintahan (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudikatif). Lihat Suhino, Ilmu Negara, cet. V, (Yogyakarta: Liberty, 2005), h. 117, dapat dilihat juga pada Moh. Kusnardi dan Bintan R. Sarag ih, Il mu Negara, (Ja karta: Gaya Media Prata ma , 2000), Cet. IV, h. 222

31

Menurut John Locke, secara kodratnya manusia sejak lahir te lah me mpunyai hak -hak kodrat atau hak-hak asasi atau hak-hak ala miah, yaitu hak-ha k yang dimilikinya secara pribadi. Mustahillah manusia itu menyerahkan hak-ha k aslinya itu kepada instansi lain, oleh sebab hak-hak itu me lekat pada manusia sebagai pribadi. Hanya kalau orang telah melanggar undang -undang atau dikalah kan dalam perang terdapat kemungkinan mencabut hak-hak pribadi itu. Tujuan negara tidak lain dari pada menja min hak-hak pribadi tersebut. Lebih je lasnya silahkan lihat Suhino, Ibid., h. 107-108 dan juga pada Theo Huijbers, Filsafat Huk um dalam Lintasan Sejarah, h. 81-83


(36)

sudah lahir. Selanjutnya pada tanggal 4 Agustus tahun 1789 lahir The French Declaration (Deklarasi Perancis), yang memuat lima hak utama yang harus

dihormati, yakni propiete (hak pemilikan harta) liberte (hak kebebasan), egalite

(hak persamaan), securite (hak keamanan), dan resistense a l’oppresion (hak

perlawanan terhadap penindasan.32

Perkembangan aturan tentang perlindungan HAM mencapai puncaknya

dengan dideklarasikannya The Universal Declaration of Human Right oleh

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 10 De sember 1948. Sejak berdirinya padanya tanggal 24 Oktober 1945, PBB telah banyak menghasilkan deklarasi dan perjanjian internasional di bidang HAM. Di antara sekian banyak konvensi internasional yang bersifat penting dan universal yaitu Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi

Internasional Hak- hak Sosial dan Politik.33

32 Ikh wan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jaka rta: Logos, 2004), Cet. I, h. 43 33Ibid.., h. 53


(37)

28 BAB III

IMPLEMENTASI UU HASUTAN 1948 DI MALAYSIA

A. Definisi Undang-undang Hasutan

Pemerintah yaitu mempunyai kekuasaan memerintah sebuah negara, daerah, badan yang tertinggi yang merupakan sesuatu negara seperti kabinet,

pengurus dan pengelola.1 “Menghasut” apabila dipakai bagi atau digunakan

berkenaan dengan perbuatan, ucapan, perkataan dan penerbitan atau benda lain itu sebagai yang mempunyai kecenderungan menghasut.

“Penerbitan” termasuk semua perkara bertulis atau bercetak dan segala benda sama ada atau tidak serupa dengan jenisnya dengan pe rkara bercetak yang mengandungi gambaran yang boleh dilihat atau yang mengikut rupanya, bentuknya atau dengan cara lain boleh menggambarkan perkataan atau gagasan, dan juga termasuk tiap naskah dan keluaran semula atau keluaran semula

substansial penerbitan. “Perkataan” termasuk ungkapan, ayat atau bilangan

perkataan atau gabungan perkataan yang lain, sama ada secara lisan atau bertulis.

1

Dessy Anwar, k amus lengk ap bahasa Indonesia terbaru, (Surabaya: A me lia, 2003) cet. I, h. 317


(38)

“Raja” ertinya Yang Dipertuan Agong atau Raja atau Yang Dipertua Negeri

negeri di Malaysia.2 Raja menurut kamus Indonesia adalah penguasa tertinggi

pada suatu kerajaan biasanya diperoleh sebagai warisan.3

Kecenderungan menghasut ialah;

1. bagi mendatangkan kebencian atau penghinaan atau bagi membangkitka n

perasaan tidak setia terhadap raja atau pemerintah;

2. Bagi membangkitkan rakyat raja atau penduduk wilayah yang diperintah oleh

pemerintah supaya coba mendapatkan perubahan, dengan cara selain cara yang sah, jua yang wujud menurut undang- undang di dalam wilayah yang diperintah oleh pemerintah itu;

3. bagi mendatangkan kebencian atau penghinaan atau bagi membangkitkan

perasaan tidak setia terhadap pentadbitan keadilan di Malaysia atau Negeri;

4. bagi mendatangkan perasaan tidak puas hati atau tidak setia di kalangan

rakyat Yang Dipertuan Agong atau rakyat Raja Negeri atau kalangan penduduk Malaysia atau penduduk Negeri;

5. bagi mengembangkan perasaan niat jahat dan permusuhan antar kaum atau

golongan penduduk yang berlainan di Malaysia; atau

2 Malaysia terd iri dari negara-negara bagian yang diketuai o leh seorang raja. Set iap lima

tahun (satu periode) diadakan pemilihan ketua raja -ra ja, dan seorang raja dari satu negara bagian yang terpilih itu diberi gelar Du li Yang Maha Mulia Seri Paduka Yang di-Pertuan Agong. Yang Dipertua Negeri bagi negeri yang tiada raja s eperti Me laka dan Pulau Pinang.

3 Dessy Anwar, ka mus lengkap bahasa Indonesia terbaru , (Surabaya: A me lia , 2003) cet.


(39)

6. bagi mempersoalkan perkara, hak, taraf kedudukan, keistimewaan, kedaulatan atau prerogatif yang ditetapkan atau dilindungi oleh peruntukan

Bahagian III Konstitusi Persekutuan atau Perkara 152,4 153,5 atau 1816

Konstitusi Persekutuan. B. Materi Dalam UU has utan:-

1. Perkara yang dianggap salah dan dikenakan sanksi;

a. orang yang melakukan atau coba melakukan, atau membuat persediaan

untuk melakukan, atau berkomplot dengan orang untuk melakukan, perbuatan yang mempunyai kecenderungan menghasut, atau, jika dilakukan, akan mempunyai kecenderungan menghas ut;

b. menyebut perkataan menghasut;

c. mencetak, menerbitkan, menjual, menawarkan untuk dijual, mengedarkan

atau mengeluarkan semula penerbitan menghasut; atau

d. mengimport penerbitan menghasut.

2. Sanksi;

a. Sesiapa yang melakukan suatu kesalahan dan, apabila disab itkan7, boleh

bagi kesalahan kali pertama didenda tidak melebihi lima ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi tiga tahun atau kedua-duanya dan, bagi kesalahan yang kemudian, boleh dipenjarakan selama tempoh

4

Tentang Bahasa Kebangsaan.

5

Ha k ke istimewaan orang me layu.

6

Perkecualian bagi kedaulatan raja -ra ja. 7


(40)

tidak melebihi lima tahun; dan apa- apa penerbitan menghasut yang didapati dalam milik orang itu atau yang digunakan sebagai keterangan dalam perbicaraannya hendaklah dilucuthakkan dan boleh dimusnahkan atau dilupuskan dengan cara lain sebagaimana yang diarahkan oleh peradilan.

b. orang yang ada dalam miliknya tanpa sebab yang sah penerbitan

menghasut melakukan suatu kesalahan dan, apabila disabitkan, boleh bagi kesalahan kali pertama didenda tidak melebihi dua ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi lapan belas bulan atau kedua-duanya, dan, bagi kesalahan yang kemudian, boleh dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi tiga tahun, dan penerbitan itu hendaklah dilucut hakkan dan boleh dimusnahkan atau dilupuskan dengan cara lain sebagaimana yang diarahkan oleh peradilan.

c. orang yang melanggar sesuatu perintah yang dibuat di bawah seksyen

media cetak adalah melakukan suatu kesalahan dan, apabila disabitkan, boleh didenda tidak melebihi lima ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi tiga tahun atau kedua-duanya.

3. Penangkapan

a. Seseorang Majistret boleh mengeluarkan waran yang memberi kuasa

pegawai polis, yang berpangkat tidak rendah daripada Inspektor, untuk memasuki premis di mana penerbitan menghasut diketahui atau dengan


(41)

semunasabahnya disyaki berada dan untuk mencari di dalamnya penerbitan menghasut.

b. Apabila didapati oleh pegawai polis yang berpangkat tidak rendah

daripada Penolong Penguasa bahwa ada sebab yang munasabah bagi mempercayai bahwa dalam mana- mana premis ada disembunyikan atau disimpan penerbitan menghasut, dan dia mempunyai alasan yang munasabah bagi mempercayai bahwa, oleh sebab kelengahan yang akan disebabkan oleh usaha untuk mendapatkan suatu waran geledah, tujuan penggeledahan itu mungkin terkecewa, pegawai polis itu boleh memasuki dan menggeledah premis itu seolah-olah dia diberi kuasa untuk berbuat demikian oleh waran yang dikeluarkan di bawah subseksyen (1).

4. Penggantungan koran yang didapati menghasut.

Apabila orang disabitkan karena menerbitkan dalam akhbar perkara yang mempunyai kecenderungan menghasut, peradilan boleh, jika difikirkannya patut, sama ada sebagai ganti atau sebagai tambahan kepada hukuman lain, membuat perintah mengenai semua atau mana- mana daripada perkara yang berikut:

a. melarang penerbitan selanjutnya akhbar itu, sama ada dengan mutlak atau

kecuali mengikut syarat-syarat yang akan dinyatakan dalam perintah itu, selama suatu tempoh yang tidak melebihi satu tahun dari tarikh perintah itu;


(42)

b. melarang penerbit, tuan punya, atau penyunting akhbar itu, sama ada dengan mutlak atau kecuali mengikut syarat-syarat yang akan dinyatakan dalam perintah itu, selama tempoh yang disebut terdahulu, daripada

c. menerbitkan, menyunting atau menulis bagi akhbar, atau daripada

membantu, sama ada dengan wang atau dengan yang me mpunyai nilai wang, dengan bahan, perkhidmatan peribadi, atau dengan cara lain dalam penerbitan, penyuntingan atau pengeluaran akhbar;

d. bahwa selama tempoh yang disebut terdahulu mesin cetak yang

digunakan dalam mengeluarkan akhbar itu hendaklah digunakan hanya mengikut syarat-syarat yang akan dinyatakan dalam perintah itu, atau bahwa mesin cetak itu hendaklah disita oleh polis dan ditahan oleh mereka selama tempoh yang disebut terdahulu.

C. Tinjauan UU hasutan dalam Konstitusi Malaysia

Pemerintahan Malaysia dan pembentukan negara itu sebagaimana negara- negara lain yang baru merdeka dan kebanyakan negara di dunia hari ini, dibentuk atas Konstitusi tertulis. Konstitusi itu merupakan undang- undang tertinggi yang

menentukan corak dan perjalanan negara tersebut.8 Kebebasan berpendapat dalam

Konstitusi Malaysia perkara (10) yaitu: Pasal 1: tertakluk kepada pasal (2),(3)dan(4):

8 Nakha ie Ha ji Ahmad, Penghayatan Politik Islam dalam Pemerintahan, (t.tp.,Percetakan


(43)

a) Tiap-tiap warganegara berhak kepada kebebasan bercakap dan berpendapat;

b) Semua warganegara berhak untuk berhimpun secara aman dan tanpa senjata;

c) Semua warganegara berhak untuk membentuk persatuan.

Pasal 2: Parlemen boleh melalui undang- undang mengenakan:

a) Ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (a) pasal (1), batasan yang

didapatinya perlu atau sesuai manfaat demi kepentingan kesela matan Persekutuan atau bahagiannya, hubungan baik dengan Negara-negara lain, ketenteraman publik atau prinsip moral dan batasan-batasan yang bertujuan untuk melindungi keistimewaan parlemen atau Dewan Undangan atau untuk membuat peruntukan menentang penghinaan peradilan, fitnah atau pengapian kesalahan;

b) Ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (b) pasal (1), batasan yang

didapatinya perlu atau suai manfaat demi kepentingan keselamatan Persekutuan atau bahagiannya atau ketenteraman publik.

c) Ke atas hak yang diberikan oleh perenggan (c) pasal (1), batasan yang

didapatinya perlu atau suai manfaat demi kepentingan keselamatan persekutuan atau bahagiannya, ketenteraman publik atau prinsip moral.

Pasal 3: batasan-batasan keatas hak untuk membentuk persatuan yang diberikan oleh perenggan (c) pasal (1) boleh juga dikenakan oleh undang-undang yang berhubungan dengan perburuhan atau pendidikan.


(44)

Pasal 4: pada mengenakan batasan-batasan demi kepentingan keselamatan Persekutuan atau bahagiannya atau ketentraman awam di bawah pasal(2)(a), parlimen boleh meluluskan undang-undang melarang dipersoalkan perkara, hak, taraf kedudukan, keistimewaan dan kedaulatan yang ditetapkan atau dilindungi oleh peruntukan Bahagian III, perkara 152,153 atau 181 melainkan yang berhubungan pelaksanaannya sebagaimana yang dinyatakan dalam undang-undang itu.

UU hasutan juga terkait dengan kebebasan diri. Ini karena UU ini pihak terkait bisa dikenakan sanksi. Hak kebebasan diri adalah perkara pokok yang menjadi kebutuhan hidup manusia. Tanpa kebebasan diri, kehidupan manusia itu tidak mempunyai nilainya dan boleh diperlakukan sesuka hati kepada siapa pun. Hak kebebasan diri ini telah diatur dengan panjang lebar di dalam Konstitusi Malaysia, demi kenyamanan rakyat menjalani hidup yang layak sebagai seorang manusia.

Hak ini telah diatur sebagai berikut:

(a) Seseorang itu tidak boleh diambil nyawanya atau dihapuskan kebebasannya

melainkan mengikut undang- undang. Peradilan berhak melepaskan dia jika didapati bahwa dia ditahan karena menyalahi undang-undang. Apabila seseorang itu ditangkap, ia hendaklah diberitahu sebab-sebab dia ditangkap, dibenarkan berunding dan dibela oleh seorang penasihat undang- undang yang dipilihnya sendiri. Tiap-tiap orang yang ditangkap hendaklah dibawa ke


(45)

hadapan majistret dalam tempoh 24 jam dari mula tangkapan itu, melainkan dia telah dilepaskan sebelum habis tempoh.

(b) Seseorang itu tidak boleh diseksa karena telah melakukan perbuatan yang

sememangnya tidak menjadi kesalahan pada ketika ia melakukan perbuatan itu. Dan dia tidaklah pula boleh dihukum selain hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang pada ketika ia melakukan kesalahan itu. Seseorang yang telah dibebaskan daripada kesalahan atau disabitkan kesalahannya, tidak boleh dibicarakan lagi atas kesalahan itu, melainkan kebebasannya itu telah dihapuskan oleh Peradilan Tinggi dan bicara semula diperintahkan oleh peradilan tersebut.

(c) Seseorang warganegara itu tidak boleh dibuang negeri daripada Persekutuan.

Dan tertakluk kepada undang- undang tentang keselamatan Persekutuan, keamanan awam, kesihatan awam, atau hukuman ke atas penjenayah, tiap-tiap warganegara berhak bergerak di seluruh Persekutuan dan tinggal di tempat dalam Persekutuan ini.

(d) Seseorang warganegara itu ada kebebasan bercakap dan menyuarakan

fikirannya, berkumpul dalam keadaan yang aman dan tidak bersenjata, serta menubuhkan persatuan. Tetapi semua kebebasan ini boleh dihadkan oleh undang-undang jika difikirkan mustahak dan perlu demi kepentingan


(46)

keselamatan Persekutuan, tali persahabatan dengan negeri- negeri lain,

ketenteraman awam dan keelokan akhlak awam.9

Berkenaan dengan kebebasan dalam perkara (a) dan (b) di atas, ini sudah menjadi pedoman pada undang-undang pidana di Malaysia. Semua peraturan ini

boleh didapati dalam Kanun Acara Jenayah.10 Adalah menjadi prinsip asas bagi

undang-undang negara Malaysia yaitu tiap-tiap orang dianggap tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah), melainkan setelah dibuktikan bahwa ia bersalah.

Setiap orang juga tidak boleh dipaksa mengaku bersalah atau memberi keterangan yang menunjukkan bahwa ia telah melakukan kesalahan. Jika dengan jalan paksa, pengakuan salah atau pernyataan itu diperoleh, maka pengakuan dan pernyataan itu tidak boleh diterima oleh peradilan. Untuk membuktikan sesuatu kesalahan, pihak kejaksaan hendaklah mencari keterangan-keterangan yang lain.

Kebebasan ini telah dibatasi oleh wewenang-wewenang yang ada di tangan pemerintah dan seseorang itu boleh ditahan tanpa melalui persidangan apabila perbuatan, kelakuan atau gerak- gerinya dianggap berbahaya bagi keselamatan negara dan ketenteraman masyarakat.

Kebebasan bersuara ini dihadkan kepada kata-kata yang tidak menjadi fitnah, kata-kata yang tidak menjadi hasutan (menghuru-harakan keadaan politik). Kata-kata yang tidak mencerca pengadilan atau kata-kata yang melanggar hak

9

Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia (Kuala Lu mpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), h.296.

10


(47)

keutamaan Parlimen dan Dewan Negeri. Mengeluarkan fitnah merupakan satu kesalahan jenayah. Kata-kata yang mencerca boleh diadukan ke pengadilan oleh

pihak yang terkait dengan kata-kata itu atau peguam negara.11 Sesiapa yang

menyebut, menulis, mencetak, menjual atau menyiarkan perkataan-perkataan yang mempunyai maksud hasutan adalah dianggap oleh undang- undang sebagai melakukan kesalahan yang boleh dihukum hingga lima tahun penjara atau RM

5000 denda.12

Bukan hanya UU Hasutan sahaja yang mengatur dalam kebebasan bersuara ini. Di bawah seksyen 28 UU Keselamatan Dalam Negeri, sesiapa yang menyiarkan perkabaran palsu yang menakutkan rakyat sipil, sama ada yang menyiarkan perkabaran melalui kata mulut atau bertulis dianggap telah melakukan kesalahan. Kata-kata yang bertulis dikawal oleh beberapa undang-undang.

Parlemen dibenarkan meluluskan undang- undang untuk mencegah perbuatan yang menimbulkan keresahan dalam negara, atau perbuatan yang

hendak menggulingkan pemerintah dengan tidak berdasarkan undang-undang.13

11

Mohd. Sa lleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), h.301.

12

Akta hasutan 1945

13


(48)

Di bawah kuasa perkara inilah UU Keselamatan Dalam Negeri 1960 (UU ISA)14 telah diluluskan oleh Parlemen.

Apa yang membedakan penahanan ISA dari penahanan yang lain ialah kesalahan yang mengangkut hal politik, dan bukanlah kesalahan pidana. UU ISA juga memberi kuasa kepada pemerintah untuk meletakkan beberapa syarat tentang kebebasan seseorang yang perbuatan dan kelakuannya dianggap merusak negara. Syarat-syarat ini ialah seperti penahanan di dalam rumah dalam periode tertentu, tidak dibenarkan aktif di dalam politik dan terlibat dalam politik, dipaksa tinggal di sesuatu tempat, dan tiap kali ia hendak keluar dari tempat itu ia hendaklah

memberitahu pihak polisi, dan beberapa syarat lainnya.15

Konstitusi Malaysia menyatakan bahwa setiap warganegara bebas bergerak ke dalam negara, melainkan ia dihalang dan dikawal oleh

undang-undang tentang keamanan dan keselamatan masyarakat.16 Kebebasan ini juga

boleh dibatasi oleh undang-undang untuk keselamatan dan kepentingan negara.

14 Kepanjangan nama akta itu ialah “Satu akta mengadakan keselamatan dalam Persekutuan

penahanan tidak dibicara , mencegah penyeludupan, me mbe rhentikan keke rasan ke atas orang dan harta di te mpat-tempat tertentu dala m Persekutuan dan perkara-perka ra yang berkaitan dengan hal tersebut”.

15

Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan & Pemerintahan Di Malaysia (Kuala Lu mpur: De wan Bahasa dan Pustaka, 2006), h.298.


(49)

D. Implementasi Akta Hasutan di Malaysia

Baru-baru ini, digemparkan dengan penangkapan dan penahanan seorang kartunis tanahair, Zunar di bawah Akta Hasutan 1948. Zunar di bawah Akta Hasutan 1948. Umumnya, perkataan hasutan membawa kepada berbentuk negatif, di mana perkataan hasutan merujuk kepada perbuatan mengajak atau mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan yang salah dan berniat jahat. Seorang kartunis adalah seorang pelukis yang menggunakan seni lukisan kartun yang dihasilkan bagi tujuan menyampaikan sesuat u mesej kepada

masyarakat.17

Penangkapan dan penahanan Zunar, seorang kartunis yang lantang mengkritisi kepincangan sistem politik pemerintah dan sistem kehakiman negara menunjukkan betapa terdesaknya kerajaan Malaysia dalam cubaan menutup penyalahgunaan kuasa dan kebatilan pemerintahan mereka yang jelas lagi nyata. Tindakan tidak bertamadun pihak kerajaan ini jelas dilakukan dengan tujuan untuk membisukan suara-suara keramat rakyat yang berani bangun untuk

menyatakan kebenaran yang cuba diselindungi pembohongan demi

pembohongan.

17

http://www.detikdaily.net/v5/modules.php?name=Ne ws&file =print&sid=9965/ d iakses pada tanggal 21/ 6/2011 ja m 7.18 WIB


(50)

Isu-isu yang dipaparkan melalui kartun-kartun Zunar bukanlah suatu imaginasi kosong atau cerita rekaan semata- mata yang sengaja diada-adakan tanpa sebarang basis, tetapi kartun-kartun tersebut sarat dengan fakta-fakta dan persoalan-persoalan sah berikutan episod-episod pelik tapi benar ceritera politik Malaysia. Ugutan, penangkapan dan penahanan oleh pihak berkuasa tidak akan bisa menghentikan pencarian dan penyebaran fakta- fakta yang tidak pernah bisu

dalam usaha menegakkan kebenaran dan menghapuskan pembohongan.18

Realitinya, tindakan berterusan pihak kerajaan mengugut, menangkap dan menahan rakyat yang berpegang kepada prisip kebebasan bersuara dan menyatakan pendapat di bawah Akta Hasutan jelas membuktikan bahawa Akta Hasutan ini dijadikan alat kepentingan politik pihak kerajaan dalam usaha menutup kebenaran yang bisa memakan diri pihak pemerintah jika tidak dikekang. Dengan menggunakan undang-undang yang tidak berlandaskan prinsip kebebasan dan hak asasi untuk menghalang usaha-usaha rakyat untuk menyampaikan sesuatu fakta dan kebenaran, ia jelas menunjukkan bahawa pada pandangan kerajaan, usaha menyampaikan kebenaran ini adalah sesuatu yang berbentuk hasutan dan berniat jahat.

18

http://www.keadilandaily.co m/tangkap-tanpa-asas-zunar-saman-kera jaan/ diakses pada tanggal 21/6/ 2011 ja m 7.18 WIB


(51)

Setiap hari di media cetak dan elektronik, hanya terpa mpang tentang kebaikan partai pemerintah dan keburukan partai oposisi. Walaupun partai oposisi tidak dapat menggunakan media seperti partai pemerintah. Salah satu media yang tidak diberi kebebasan adalah media cetak milik partai oposisi (PAS). Ini karena Pemerintah telah menindas surat kabar dan majalah dengan menekankan para penerbit untuk mendapatkan permit resmi setiap tahun dan mempunyai kuasa dan selera untuk menggantung permit itu seandainya muncul berita yang tidak menyenangkannya. Pemerintah mau berperan besar dalam mengaturkan cara partai politik oposisi menyebarkan maklumat mereka. Karena itu, partai oposisi

hanya dibenarkan menjual penerbitan mereka kepada ahli-ahli saja.19

Pada peringkat permulaannya, Harakah dikeluarkan setiap hari, tetapi ia telah di halang penjualannya oleh pihak pemerintah. Mereka bimbang karena peningkatan pembelian Harakah oleh masyarakat. Bimbang jika Harakah dapat mempengaruhi pemikiran rakyat, oleh karena merasa tergugat maka pihak pemerintah telah menggunakan UU Penerbitan dan Percetakan sehingga Harakah hanya dapat dijual dua kali dalam seminggu. Walaupun begitu mereka merasa bimbang dan mengetatkan lagi syarat sehinggala h Harakah hanya dapat dikeluar

dua kali dalam sebulan. Ketidakadilan yang berlaku ini sungguh ketara.20

20

http://mindapengarang.wordpress.com/2009/06/10/demo krasi-d i-malaysia-boleh-dijustifikasikan/ diakses pada tanggal 25/ 5/2011 ja m 12:45 WIB


(52)

Kebebasan media juga sering disempitkan oleh UMNO-BN. Apabila pihak pembangkang mempersoalkan hak kebebasan media yang bersifat double standard, mereka mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah membatasi rakyat Malaysia menggunakan media untuk menyatakan pendapat. Mereka berhujah, sekiranya tidak ada demokrasi dalam media sudah tentu koran seperti Harakah, Suara Keadilan, Siasah, blog-blog, dan sebagainya telah diharamkan oleh

pemerintah.21

Harry Street dalam bukunya freedom, the individual and the law

menegaskan bahwa disisi undang- undang yang dikatakan kebebasan surat kabar ialah kebebasan atau hak untuk menerbitka n sesuatu. Artinya berdasarkan uraian profesor undang- undang ini, sekiranya wujud pembatasan dalam bentuk apa sekalipun dan atas alasan apa sekalipun maka tidak wujudlah apa yang dikatakan

kebebasan surat kabar itu.22

Kesimpulanya ini semua jelas menunjukkan bahwa kebebasan surat kabar dan media elektronik tidak sepenuhnya dilaksanakan karena batasan dalam UU tersebut. Pemerintah juga memanipulasikan UU ini untuk kepentingan mereka sendiri.

21 Ahmad Henry, 60 tahun Islam di bawah UMNO-BN terbelak ah Islam?, ( Pe rak, Pustaka

Ibnu Al-Manhar. 2010) cet.1, h.83

22

Abdul Aziz Bari, Politik Perlembagaan, (Kuala Lu mpur: Institute Kajian Dasar (IKD), 2005,)cet. I, h. 207.


(53)

44

A. Tinjauan Hukum Islam terhadap hak-hak politik

Menurut Muhammad Anis Qasim Ja’far, hak- hak politik itu ada tiga macam, yaitu:

1. Hak untuk mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum;

2. Hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota lembaga perwakilan dan

lembaga setempat; dan

3. Hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan hal- hal lain yang

mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat yang berkaitan dengan politik; 1

Ketiga hak politik ini, tegas Qasim, tidak berlaku kecuali bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu di samping syarat kewarganegaraan. Seseorang boleh menggunakan atau tidak menggunakan hak-hak politik tersebut

tanpa ikatan apa pun.2 Menurut A. M. Saefuddin bahwa tiap individu memiliki

hak-hak politik di antaranya hak memilih, hak musyawarah, hak pengawasan, hak pemecatan, hak pencalonan dalam pemilihan dan menduduki jabatan.

1

Dikutip di dala m buku Mujar Ibnu Syarif, M. Ag, Hak -hak Politik Minoritas Nonmuslim Dalam Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfek tif Politik Islam, (Bandung: Penerbit Agkasa, 2003), cet. I, h. 67


(1)

Bahri, Abdul Aziz, Perlembagaan Malaysia Asas dan Masalah, ( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001) cet, I

……, Abdul Aziz, Politik Perlembagaan, (Kuala Lumpur: Institute Kajian Dasar (IKD), 2005,)cet. I

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakatra: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), Cet. XXVII

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: P.T. Ikhtiar Van Hoeve, 1999), cet. ke-IX

Dhiauddin Rais, Muhammad, An-nazhariyatu as-siyasatul-islamiyah, edisi indonesia, Teori Politik Islam, terjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani,(Jakarta: Gema Insani Press, 2001) cet. I

Haikal, Hussien, Al- Farruq Umar, edisi Indonesia Umar Al-Khattab, diterjemah oleh Ali Audah, ( Bogor: Pustaka Litera AntarNusa 2002), cet. III

Hanbâl, Abu Abdillah Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbâl, (Beirut: Maktab al-Islâmi 1398 H / 1978 M), Juz XXXIV

Hasim, Mohd. Safar. Pers di Malaysia Antara Kebebasan dengan TanggungJawab. (Bangi. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 2005) cet I

Henry, Ahmad, 60 tahun Islam di bawah UMNO-BN, ( Perak: Pustaka Ibnu Al-Mannar, 2010), cet. I

Hude, Darwis, (ed), Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. I

Huijbers,Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 2006) Cet. XV

Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam. Penerjemah Abdul Rochim C.N.. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). cet.I

Ibnu Manzhur, Jalaluddin Muhammad, Lisan 'Arab, (Mesir: Dâr Mishriyah li al-Ta'lif wa al-Tarjamah, t.th), Juz 1

Ibrâhim al- Bukhâri, Muhammad bin Ismâil , Sahîh Bukhâri,(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz XXIII


(2)

63

Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Samson Rahman, Tarikh Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. I

Isâ Abu Isâ al- Tirmizi al-Sâlimi al-Jâmi’, Muhammad, al-Sahîh Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Tharashi al-Arabi, t.th), Juz. VIII

Jalil, Faridah, Kebebasan dan Jenayah Dalam Berkarya. (Kuala Lumpur, Dewan Sastera. Oktober 2001) cet I

Kamali, M. Hashim, Freedom of Expression in Islam, diterjemahkan oleh Eva Y. Nukman dan Fatiah Basri, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, (Jakarta: Mizan, 1996), cet.I

Kencana, Inu, Al-Quran dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), Cet. I

Khalid, Muhammad Khalid, Khulafa ar-Rasul, alih bahasa oleh Mahyuddin Syaf, dkk., Mengenal Pola Kepimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, (Bandung: CV. Diponegoro, 1996), Cet. IV

Koto, Samuel, Demokrasi Suatu Keharusan, ( Jakarta: Khanata, 2004), cet. I

Madaniy , A. Malik, Politik Berpayung Fiqh, ( Yogyakarta: Pustaka Pesentren, 2010), cet. I

Maududi, Abul A’la, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam (terjemahan), (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. III

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), Cet. IV

Mohd Safar, Hasim, mengenali Undang-Undang Media dan Siber, (kuala Lumpur, Utusan Publication & Distribution Sdn Bhd,2000) cet.I

Muda, Suhaini, Undang-Undang Komunikasi, (t.tp. Prentice Hall, 2004) cet. I

Mufid, Moh., Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), Cet. I

Musa, M. Yusuf, Politik dan Negara Dalam Islam, terjemah oleh M. Thalib, (Surabaya: Al-Ikhlas,1990), cet. II


(3)

Nasution ,Harun, “Pengantar” dalam Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Firdaus, 1995), Cet. II

Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008) cet. II

Othman, Muhammad, Erti Kebebasan Pers-Persekitaran Yang Membimbangkan. Kuala Lumpur, Sasaran, Desember 1992)cet, I

Partanto, Pius A. dan , al- Bary, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Kontemporer, (Surabaya: Arkola, 1994) cet. I

Putra, Dalizar Hak Asasi Manusia Menurut Al-Quran, (Jakarta: Al- Husna Zikra, 1995), Cet. II

Qadir Abu Faris, Muhammad Abdul, Fiqh Siyasah, penerjemah Mohammad Zaini Yahaya, ( Kuala Lumpur: Pustaka Syuahada, 2000) cet. I

Rahman, Shafiyyur, Sirah Nabawiyah, edisi Indonesia Sirah Nabawiyah, penerjemah oleh Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,2010), Cet. I

Rapar, J. H., Filsafat Politik Aristoteles; Seri Filsafat Politik, (Jakarta: CV. RajaGrafindo Persada, 1996), Cet. I

Rosyada, Dede, dkk., Pendidikan Keawarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyrakat Madani, (Jakarta: Tim ICCE UIN Syyarif Hidayatullah Jakarta dan Prenada Media, 2003), Cet. I

Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. I

Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), Cet. II

Sutiyoso, Bambang, Aktuarita Hukum dalam Era Reformasi, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Cet. 1

Syarif, Mujar, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim Dalam Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, (Bandung: Penerbit Agkasa, 2003), cet. I


(4)

65

Syuib Abu Abd al- Rahmân al-Nasâ’I, Ahmad, Sunan al-Nasâ’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Cet. II

Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. I

Ya’qub al-Fairuz Abadi ,Muhammad , Al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995) cet, I

Yusof, Mujahid, Wajah Baru Politik Malaysia, (Selangor: Anbakri Publika, 2009) cet. I

Zaidan, Abdul Karim, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), Cet. I

Zallum, Abdul Qadim, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, (Bangil: Al-Izzah, 2004), Cet. II

Situs Internet:

http://bersih.blogspot.com/2007/12/kebebasan-bersuara-telah-disalah-guna.html diakses pada tanggal 15/12/2010 jam11:10 WIB.

http://mindapengarang.wordpress.com/2009/06/10/demokrasi-di- malaysia-boleh-dijustifikasikan/ diakses pada tanggal 25/5/2011 jam 12:45 WIB

http://208.109.79.207/mpifoundation/blog/?p=438 diakses pada tanggal 25/5/2011 jam 12:45 WIB

http://www.malaysiakini.com/news/163113 diakses pada tangal 20/5/2011 jam 12:45 WIB

http://rumaysho.wordpress.com/2009/01/31/harus-tetap-taat-pada-pemimpin/ diakses pada tanggal 23/5/2011 jam 12:45 WIB

http://rizarahman.staff.umm.ac.id/2010/01/10/urgensi-amar-maruf-nahi- munkar/ diakses pada tanggal 23/5/2011 jam 12:45 WIB


(5)

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI a. Padanan Aksara

Huruf Arab

Huruf

Latin Keterangan

tidak dilambangkan

b be

t te

ts te dan es

j je

h ha dengan garis di bawah

kh ka dan ha

d de

dz de dan zet

r er

z zet

s es

sy es dan ye

s es dengan garis di bawah

d de dengan garis di bawah

t te dengan garis di bawah

z zet dengan garis di bawah

„ koma terbalik diatas hadap kanan

gh ge dan ha

f ef

q ki

k ka

l el

m em

n en

w we

h ha

` apostrof


(6)

v b. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasra

u dammah

Adapun Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i

و

au a dan u

c. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas

يــــــ î i dengan topi di atas

وـــــــ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf , dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh = al-syamsiyyah, = al-qamariyyah.

e. Tasydîd

Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf- huruf samsiyyah.

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

g. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh

= al-Bukhâri.