pemahaman strukturasi atas praktik audit investigatif

PEMAHAMAN STRUKTURASI ATAS PRAKTIK AUDIT INVESTIGATIF
PADA KANTOR PERWAKILAN BPK-RI DI SURABAYA
(Studi Kasus Tindak Pidana Korupsi)
Oleh :
Gemalia Dwi Agustina
0210233036
dan:
Drs. M. Achsin, SH., MM., Ak.
UNIVERSITAS BRAWIJAYA – MALANG
2008
PENDAHULUAN
Masalah korupsi bukan hal yang baru di Indonesia. Secara yuridis istilah korupsi sudah
dikenal sejak tahun 1957 dalam bentuk Peraturan Militer Angkatan Darat dan Laut Republik
Indonesia Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan Penguasa Militer dibuat karena UndangUndang Hukum Pidana yang dianggap tidak mampu lagi menanggulangi permasalahan
korupsi, pada saat itu korupsi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti
kesejahteraan

rakyat,

menghambat


pembangunan,

merugikan

perekonomian,

dan

mengabaikan moral. Peraturan Penguasa Militer dapat dikatakan sebagai upaya awal bagi
Pemerintah untuk menanggulangi korupsi, sehingga saat ini dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

namun adanya peraturan perundang-

undangan tersebut belum mampu menekan angka korupsi yang semakin meningkat. Apalagi
di era orde baru, yang semula paling lantang menentang praktik korupsi, justru membuat
korupsi semakin tumbuh subur dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
yang penuh dengan unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Menurut Arifin (2000,
2) mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menyatu menjadi sistem penyelenggaraan

pemerintahan (sistemik), bahkan pemerintahan akan hancur jika korupsi benar-benar
diberantas.
1

Salah satu upaya Pemerintah untuk menanggulangi tindak korupsi adalah dengan
melaksanakan audit investigatif. BPK-RI sebagai lembaga yag dipercaya dan memiliki
kewenangan dalam melaksanakan audit investigatif serta terpercaya dalam memberantas
korupsi. Audit investigatif diawali dengan pembentukan peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan dunia bisnis. Peraturan-peraturan tersebut dibuat seiring dengan meningkatnya
penyelewengan pada kontrak-kontrak pemerintah dan semakin merebaknya kejahatan kerah
putih (white collar crime)1 terhadap kepentingan publik. Praktik Audit investigatif BPK-RI
sendiri dilaksanakan tidak hanya di kantor pusat, melainkan juga di kantor-kantor perwakilan.
Masing-masing kantor perwakilan memiliki kewenangan untuk melakukan audit Investigatif,
dan nantinya laporannya akan diserahkan kepada BPK-RI pusat dan DPR/DPRD. Audit
Investigatif menjadi sangat penting terutama apabila nanti hasil audit menunjukkan bukti
adanya pelanggaran hukum materiil dan formil2, maka hasil laporan audit investigatif akan
diserahkan kepada kejaksaan untuk diproses secara hukum (Karni, 2000, 118).
Pelaksanaan audit investigatif pada Perwakilan BPK-RI di Surabaya

melibatkan


semua pihak, mulai pimpinan, para pejabat struktural, tim konsulen hukum, dan auditor
investigatif. Adanya hubungan auditor dengan pejabat struktural sejalan dengan pemikiran
Giddens (2003) mengenai strukturasi, dimana adanya keterkaitan auditor sebagai agen, dan
BPK-RI sendiri sebagai struktur.
Salah satu proporsi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan sumberdaya yang
digunakan dalam produksi dan reproduksi merupakan tindakan sosial sekaligus alat
reproduksi sistem, yang disebutnya sebagai dualitas struktur (Giddens, 2003, 22). Teori
strukturasi menyebutkan bahwa pelaku (agency) dan struktur saling berkaitan, tidak ada
1

Disebut sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) karena orang yang biasanya melakukan kecurangan
atau korupsi biasanya memakai kemeja putih dan berkerah (Karni, 2000, 35).
2

Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang memuat bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang serta
ancaman hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya, dalam hal ini KUHP. Hukum pidana formil merupakan
hukum acra pidana yang mengatur tata cara menjalankan hukum pidana materiil, dalam hal ini KUHAP
(Chazawi, 2006, 4)


2

”struktur tanpa pelaku, sebagaimana tidak ada tindakan tanpa struktur” (Priyono, 2002, x).
Pelaku secara refleksif bisa merubah atau menentukan struktur yang telah ada, yang artinya
bisa menjadi tuan atas nasibnya sendiri, maka dari itu penulis mengambil judul:
”Pemahaman Strukturasi atas Praktik Audit Investigatif pada Perwakilan
BPK-RI Di Surabaya”.
Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai :
(1) Bagaimanakah praktik audit investigatif pada Perwakilan BPK RI di
Surabaya?
(2) Bagaimanakah peran auditor dan organisasi dalam konteks interaksi?
(3) Bagaimanakah peran individu dan organisasi dalam lingkungan sosial?
KAJIAN LITERATUR
Kecurangan
Pengertian kecurangan ialah serangkaian irregularities dan illegal acts yang
dilakukan untuk menipu atau memberikan gambaran kekeliruan terhadap pihak lain yang
dilakukan pihak intern dan ekstern suatu organisasi dengan tujuan menguntungkan dirinya
sendiri dan oang lain dengan merugikan orang lain (Anonim, 2000) dalam (Widayanti dan
Subekti, 2001, 100). Pengertian kecurangan sesuai Standar Profesional Akuntan Publik (PSA
No.70 seksi 316.2 paragraf 4) adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau

pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan.
Kecurangan merupakan tindakan pidana yang menguntungkan diri sendiri atau
organisasi atau keduanya (Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht. 2003, 27). Ada tiga
motif seseorang melakukan kecurangan, yaitu (1) perceived pressure, (2) perceived
opportunities, dan (3) rationalizations. Menurut Karni (2000, 38) menyebutkan bahwa
kecurangan terjadi akibat tekanan kebutuhan dari seseorang, dan lingkungan yang
memungkinkan untuk bertindak. GONE

dalam Majalah Pemeriksa No.5 tahun 1993

merupakan singkatan dari: (G – Greed – keserakahan, ketamakan, kerakusan). (O –
Opportunity – kesempatan). (N – Need – kebutuhan). (E – Exposure – pengungkapan)
3

Korupsi
Korupsi merupakan permasalahan yang komplek. Korupsi sudah ada sejak zaman
dahulu sampai sekarang. Dengan adanya otonomi daerah, korupsi semakin tumbuh subur bak
jamur di musim hujan. Misalnya saja, pada tahun 2004 terungkapnya kasus korupsi terjadi
hampir di seluruh pemerintahan daerah dengan nilai yang sangat material, membuktikan
bahwa praktik korupsi telah semakin banyak terjadi. Upaya membasmi korupsi bukanlah

pekerjaan yang mudah, ibarat “memutus siklus lingkaran setan” yang tidak akan ada
habisnya. Selanjutnya, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio berarti penyuapan, dan
coruptore

berarti

merusak.

Gejala

dimana

pejabat,

badan-badan

negara

telah


menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidakberesan
dan lainnya. Adapun arti harfiah korupsi diartikan sebagai kejahatan, kebusukan, dapat
disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran (Hartanti, 2006, 8). Unsur-unsur tindak
pidana korupsi menurut UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
adalah : (a) melakukan perbuatan melawan hukum, (b) merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, (c) menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada
padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi.
Memberantas korupsi di Indonesia bukan suatu hal yang mudah terutama korupsi
telah menyebar, menjangkit, mengakar dan dipraktekkan secara sistemik. Apalagi upaya
penegakan hukum belum optimal mengikis korupsi, malah korupsi juga terjadi di lembaga
peradilan. Untuk itu Dalam memberantas korupsi yang terpenting adalah bagi pembenahan
moral masing-masing individu dalam bentuk kesadaran. Penting bagi setiap individu agar
memiliki kesadaran, dimana kesadaran sendiri terbagi atas tiga hal yaitu motivasi tak sadar,
kesadaran diskursif, dan kesadaran praktis (Priyono, 2002, 29). Pemberantasan korupsi hanya
bisa dihentikan secara komprehensif dengan melakukan revolusi kesadaran, jika seseorang
benar-benar sadar, maka akan merasa enggan dan malu untuk melakukan korupsi. Atas dasar
4

kesadaran inilah nantinya bisa menjadi suatu kebiasaan yang baik, sehingga nantinya bangsa

ini benar-benar bebas dari praktik korupsi.
Audit Investigatif
Istilah audit investigatif di lingkungan lembaga pemerintahan seperti BPK sudah
umum dan sering dipakai oleh BPK, BPKP dan KPK, sedangkan menurut Indonesian
Corruption Watch (2004, 1) pelaku investigatif digolongkan menjadi dua yaitu:
1) Investigatif internal dilakukan oleh BPK, BPKP, KPK, Inteljen, SPI.
2) Investigatif eksternal (publik) dilakukan oleh Ormas, LSM, Parpol, dan wartawan.
Menurut BPK-RI sendiri pengertian audit investigatif ialah pemeriksaan yang
bertujuan untuk mengungkapkan ada tidaknya indikasi kerugian negara atau daerah dan atau
unsur pidana. ICW (2004, 3) membagi tahapan pelaksanaan audit investigatif menjadi 8
tahap yaitu: petunjuk awal, pengembangan informasi awal, wawancara ahli dan pendalaman
literatur, pencarian informasi dan dokumen, pengorganisasian data dan menganalisis,
pelaporan, pengumuman hasil ke pihak internal, serta pengumuman hasil kepada publik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan interpretif.
Menurut Moleong (2006, 6) penelitian kualitatif ialah penelitian yang bermaksud memahami
fenomena mengenai apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan dan sebagainya, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa dalam konteks khusus yang alamiah dengan menggunakan metode
alamiah. Paradigma intepretif berakar pada sosiology of regulation dengan sudut pandang

subyektif. Perhatian utamanya ada pada bagaimana memahami dunia sosial sebagaimana
adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial berdasarkan pengalaman subjektif.
Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan kesadaran seseorang dan subyektivitas, dalam

5

bingkai rujukan seseorang yang terlibat langsung, bukan sebagai pengamat. (Mardiko dan
Albert. K, 2006, 5)
Peneliti menggunakan metode penelitian studi kasus, Menurut Widjanarti, dkk
(1999,1) studi kasus merupakan strategi riset yang terfokus pada pemahaman terhadap
sesuatu yang dinamis dalam konteks tunggal. Studi kasus dapat digunakan untuk memberikan
gambaran terhadap suatu masalah, pengujian teori, atau pembentukan teori. Obyek penelitian
dilakukan pada kantor Perwakilan BPK-RI di Surabaya, yang berada di jalan Kendang Sari
Nomor 45-47 Surabaya.
Analisis penelitian ini menggunakan teori strukturasi berarti mengkaji tempat
produksi dan direproduksinya sistem-sistem interaksi tindakan atau praktik sosial. Mengacu
pada teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman individual
maupun keberadaan bentuk totalitas kemasyarakatan, namun merupakan praktik-praktik
sosial yang ditata menurut ruang dan waktu (Priyono, 2002, 36). Dengan demikian upaya
rekontruksi audit investigatif dalam konteks organisasi BPK-RI ini, peneliti tidak hanya

memperhatikan auditor (sebagai aktor) atau organisasi BPK-RI sebagai totalitas
kemasyarakatan (struktur), tetapi juga lebih penting dari itu adalah interaksi yang terjadi
diantara keduanya dalam konteks ruang dan waktu. Adanya praktik audit investigatif sendiri
terwujud bukan dari peran agen saja atau strukturnya saja, melainkan hasil interaksi diantara
keduanya. Auditor yang bertindak sebagai agen mempunyai nilai-nilai yang tidak sama
dengan struktur, dari situ muncul kebijakan-kebijakan dalam hal ini sangat menpengaruhi
struktur, sehingga menimbulkan strukturasi.
Sejalan dengan perkembangan dinamika kehidupan, dimana begitu besar peran
individu dalam mempengaruhi pembentukan struktur, terlepas dari dimensi internal atau
susunan psikologis yang diajukan oleh Giddens (2003) yang lanjutkan oleh Dillard dan
Yuthas (2002) dalam model pengaruh rekursif nilai dan norma melalui struktur dan agen.
Kemudian Ludigdo (2005, 64) menambahkan teori lain untuk mempertajam pengembangan
6

diri individu untuk berperilaku etis, teori tersebut disebut kecerdasan spiritual (SQ).
Penajaman itu dipandang perlu utuk dilakukan sebab teori strukturasi banyak mengacu pada
teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh sigmud Freud yang kemudian dilanjutkan oleh
Erick H. Erikson dengan tambahan adopsi ilmu sosial didalamnya (Giddens, 2003, 49-80).
Teori psikoanalisis untuk saat ini (id, ego, dan superego) dianggap tdak lagi sesuai dalam
menjelaskan keadaan diri individu.

IQ merupakan bentuk kemampuan seseorang menggunakan daya nalar

seperti

membaca, menulis, dan menghitung. EQ merupakan kemampuan seseorang untuk
mengendalikan diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri dalam
menghadapi dorongan hati dan perasaan (Daniel, 1995). SQ (kecerdasan spiritual) merupakan
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan
untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai apakah hidup kita lebih bermakna dari yang lain. Kecerdasan
spiritual (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara
efektif, dan bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi (Zohar dan Marshall, 2001, 4) dalam
Ludigdo (2005, 65).
SQ dipandang perlu dikembangkan mengingat bahwa banyaknya perilaku yang
menyimpang dari perilaku etis, terlebih ketika seseorang dihadapkan dalam suatu realitas
dunia sosial yang amat luas. Selain itu dalam memahami realitas dunia sosial dengan
mempertajam aspek dimensi internal individu maka pada teori strukturasi ditambahkan
perspektif kecerdasan spiritual (SQ) dari Zohar dan Marshall (2001) sebagai cerminan atas
kesadaran spiritual (Ludigdo, 2005, 74). Peneliti sendiri mendukung penggunaan kecerdasan
spiritual yang dikembangkan oleh Ludigdo (2005) dengan maksud bahwa SQ sesuai dengan
dimensi kehidupan masyarakat Indonesia yang masih memegang nilai-nilai agama, dan
budaya dalam setiap tindakan, terlebih ketika auditor melaksanakan audit investigatif. Seperti
apa yang dinyatakan oleh Ludigdo bahwa:
7

”Agen dan struktur merupakan suatu kesatuan yang utuh dalam menghadapi
dunia sosial”.
Praktik audit invetigatif tersebut tidak terlepas dari peran auditor (agen) dan
organisasi (struktur) sebagai satu kesatuan yang memperoleh pengaruh dari lingkungan
sosial, dari situ akhirnya muncul berbagai kebijakan dan kekuatan dari agen dan struktur
dalam menghadapi pengaruh tersebut.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Memahami Praktik Audit Investigatif
BPK-RI di Surabaya sendiri mulai dibentuk tanggal 7 Juni 2006, berdasarkan Surat
Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No.12/SK/I-VII.3/7/2004
Tentang Organisasi dan Tata Kerja BPK-RI. Peresmian dilakukan oleh Anwar Nasution
selaku kepala BPK-RI Pusat. BPK-RI terdiri atas 13 karyawan sebagai pejabat struktural dan
114 pejabat fungsional, termasuk auditor. Dari penelitian yang dilakukan pada kantor
perwakilan BPK-RI di Surabaya menunjukkan bahwa pelaksanaan audit investigatif
bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya tindak pidana korupsi yang terjadi di suatu
organisasi. Dalam melaksanakan audit investigatif, auditor menggunakan Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang di dalamnya mencakup Standar Profesional
Akuntan Publik, serta panduan manajemen pemeriksaan investigatif yang dikeluarkan BPKRI dalam melaksanaan tugas tersebut. Yang terpenting bagi auditor adalah memahami
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Studi Kasus Korupsi Kabupaten Badung di Bali
Audit Investigatif atas kasus korupsi di kabupaten Badung merupakan salah satu
contoh dari banyak kasus korupsi yang ada di Indonesia. Korupsi di kabupaten Badung Bali
terungkap dari dari hasil laporan pemeriksaan keuangan semester pertama pada tahun 2005,
kasus ini bermula dari adanya tekanan dewan kepada Bupati Badung, pada saat itu dewan
meminta bantuan keuangan kepada Bupati Badung, jika permintaan dewan tidak dipenuhi,
8

maka Dewan akan mengancam memberhentikan Bupati sebelum masa jabatannya berakhir
dengan

mengajukan surat pemberhentian kepada Menteri Dalam Negeri. Karena

kekhawatiran Bupati terhadap ancaman Dewan dan keinginannya untuk mempertahankan
jabatannya, akhirnya Bupati mau mengabulkan permintaan dewan tersebut, dana yang
diberikan kepada dewan diperoleh dari APBD. Dalam kasus tersebut terdapat empat
penyimpangan yaitu: (1) bantuan keuangan kepada DPRD, (2) biaya asuransi, (3) uang purna
bakti DPRD, dan (4) bantuan keuangan kunjungan kerja DPRD.
Atas dasar kasus korupsi di kabupaten Badung maka kepala perwakilan Perwakilan
BPK-RI

membentuk

tim

audit

investigatif

berdasarkan

Surat

tugas

Nomor

48/ST/XIV.5/09/2005 tanggal 8 September 2005 untuk melakukan audit Investigatif, tim
audit yang terdiri dari empat orang, Pak Kardi sebagai ketua tim, dan Anita, Edi, Sandi
sebagai anggota tim. Praktik audit Investigatif sendiri terdiri dari tiga tahap, yaitu : (1) Tahap
perencanaan. Perencanaan audit Investigatif dilakukan setelah adanya informasi awal dari
hasil laporan audit keuangan kabupaten Badung tahun 2004. dari informasi awal tersebut,
akhirnya BPK-RI membentuk tim audit Investigatif, dan tugas pertama tim tersebut menelaah
informasi awal tersebut. Pada tahap ini tim harus menentukan jenis-jenis penyimpangan yang
terjadi, modus operandi, sebab-sebab penyimpangan, unsur-unsur kerjasama, pihak-pihak
yang terlibat, besarnya kerugian daerah akibat kasus korupsi tersebut. (2) Tahap pelaksanaan.
Pelaksanaan audit Investigatif harus dilakukan oleh auditor yang kompeten, memiliki
integritas serta independensi. Pada tahap ini tim harus memperoleh bukti audit yang
memperkuat dugaan tindakan pidana korupsi. Bukti diperoleh dengan cara-cara inspeksi,
observasi, wawancara, konfirmasi, analisa, pemeriksaan bukti tertulis, perbandingan,
rekonsiliasi, penelusuran, perhitungan kembali, penelahaan, review analitis, dan pemaparan.
(3) Tahap Pelaporan. Pelaporan hasil audit investigatif harus memenuhi unsur akurat, jelas,
berimbang, relevan, dan tepat waktu. Hasil laporan yang teah disetujui Kepala Perwakilan
akan diserahkan kepada lembaga perwakilan DPR/DPRD dan DPD. Hasil audit Investigatif
9

ternyata membuktikan adanya tindak pidana korupsi di kabupaten Badung, maka laporan
audit Investigatif akan diserahkan kepada kejaksaan untuk ditindaklanjuti dan diproses secara
hukum. Berdasarkan hasil pemeriksaan audit investigatif tersebut ketua tim audit diminta
memberikan keterangan berdasarkan keahliannya di pengadilan.
Kesadaran Individu Dalam Praktik Audit Investigatif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kantor Perwakilan BPK-RI di Surabaya,
menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam menjalankan peranannnya ketua tim beserta
anggotanya (agen) mengaplikasikan kesadarannya dalam praktik audit investigatif, dan agen
memiliki daya ubah yang kuat dalam mengubah struktur. Giddens memberikan sebuah
jawaban, bahwa pelaku tahu, tapi belum tentu sadar. Terlebih ketika conscious dipahami
sebagai penjelasan secara rinci, sistematis dan gamblang. Giddens membagi tiga dimensi
internal pelaku. Pertama, motivasi tak sadar (unconscious motives) yang menyangkut
keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan tapi bukan tindakan itu
sendiri. Kedua, kesadaran diskursif (discursive consciousnes) yang mengacu pada kapasitas
manusia dalam merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit dan rinci atas tindakan yang
kita lakukan. Ketiga, kesadaran praktis (practical consciousness) menunjuk pada gugus
pengetahuan

praktis

yang

tidak

selalu

bisa

diurai.

Kemudian

Ludigdo

(2005)

mengembangkan tingkat kesadaran individu dengan menambahkan kesadaran spiritual.
Kesadaran spiritual merupakan kemampuan seseorang dalam memberikan penghayatan
dalam setiap tindakan atau perilaku, sehingga menjadikan hidup lebih bermakna demi menuju
manusia seutuhnya.
Kesadaran Diskursif
Triyowono mengatakan bahwa: ”Kesadaran diskursif bisa dihasilkan dari interaksi
antara dua individu, di mana salah satu individu bisa memberikan penjelasan kepada
individu lain mengenai tindakannya”.

Kesadaran diskursif yang dimiliki Pak Kardi

menjadikan dirinya selalu hati-hati dalam setiap langkah termasuk menolak segala bentuk
1

upaya kesepakatan dari pihak-pihak yang terlibat kasus korupsi. Pada saat itu Pak Kardi
diajak ke showroom mobil oleh salah satu pihak yang terlibat kasus korupsi, tawaran itu
cukup menggiurkan, yaitu mobil new kijang, seharga Rp 200 juta, namun tawaran tersebut
langsung ditolak. Sesuai dengan pernyataan Pak Kardi bahwa ”tak perlu beginian, terima
kasih atas penawarannya tapi saya tidak bisa menerimanya karena saya sudah dimakmurkan
oleh negara, kalaupun anda tidak bersalah mengapa harus takut”. Penolakan Pak Kardi
tersebut merupakan refleksi dari kepribadiannya, ”Sopo kang nandhur, bakal ngunduh
wohing pakarti” dia menyakini bahwa siapapun yang berbuat baik maka akan mendapatkan
kebaikan, sebaliknya siapa yang berbuat keburukan, maka Tuhan akan memberikan imbalan
yang buruk pula, sebab sekali seorang berbuat tidak baik dan tidak adil pada orang lain
sesungguhnya dia berbuat tidak adil dan menanam keburukan pada dirinya sendiri.
Motivasi Tidak Sadar
Motivasi tidak sadar di wujudkan dengan keberanian yang di miliki Pak Kardi,
Anita, Sandi dan Edi. Dia selalu memegang prinsip “becik ketitik ala ketara”, bagi dirinya
tidak akan pernah merasa takut dengan siapapun, entah itu bupati, anggota DPRD, maupun
ketua DPRD atau lainnya. “Umumnya auditor sering merasa tertekan jika berhadapan
dengan pejabat tinggi tetapi saya tidak, bagi saya siapapun orangnya jika salah pasti saya
libas, sebab itu bagian dari perjuangan kami. Saya ingat betul ketika saya meminta
keterangan dengan anggota dewan, ada yang berbelit-belit langsung saya bentak-bentak,
saya maki-maki dia di depan para stafnya, pada akhirnya dia mau mengakui telah menerima
uang purna bakti sebesar seratus juta”. Timbulnya keberanian tersebut karena adanya
dorongan dari dalam hati, dimana dia ingin menciptakan praktik audit investigatif yang jujur
dan transparan.
Kesadaran Praktis
Kesadaran praktis diwujudkan ketaatannya terhadap peraturan yang ada. Menurut
Pak Kardi melaksanakan audit investigatif memang ribet, membutuhkan waktu yang lama
1

dan proses yang panjang, analisa lebih detail, prosedur yang berbelit-belit. Namun auditor
dilarang untuk memperlambat atau tidak melaporkan hasil audit investigatif kepada pihak
yang berwenang, hal ini akan melanggar pasal 36 Undang-Undang No. 15 tahun 2006 tentang
BPK, yang berbunyi Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil audit
yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Kesadaran Etis
Kesadaran etis diwujudkan dengan keyakinan dan keimanan yang dimiliki Pak Kardi
dengan anggota timnya. Dimana pada saat itu mereka mendapat ancaman akan dibunuh oleh
pihak-pihak yang terlibat kasus korupsi. Pak Kardi meyakinkan kepada anggota timnya
bahwa bahwa hidup mati seseorang ditentukan oleh Tuhan, maka Pak Kardi hanya memberi
petuah bijak: ”Ancaman dan tekanan merupakan sego jangan bagi profesi kita, kita jangan
pernah takut pada ancaman tersebut, kalaupun seseorang mau membunuh, tidak akan
disampaikan terlebih dahulu, ya kalau ada niat pasti akan dilaksanakan, tapi kalau belum
belum sudah mengancam, maka saya pastikan niatnya tidak akan dilakukan”. Pemahaman
akan konsepsi ini tidak mungkin bila hanya akan mengandalkan akal dan kalbu saja. Hal ini
disebabkan manusia memiliki keterbatasan, diantaranya manusia tidak dapat menembus
dimensi ruang dan waktu, seseorang tidak akan pernah tahu dimana dan kapan akan mati, dan
tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok, oleh sebab itu manusia hanya bisa pasrah
dan berserah diri pada Tuhan.
Pemahaman Strukturasi Atas Praktik Audit Investigatif
Penelitian yang dilakukan di kantor Perwakilan BPK-RI di Surabaya menunjukkan bahwa
adanya penggambaran yang jelas adanya aspek legitimasi, dominasi, dan aspek signifikasi,
yang sesuai dengan pandangan Giddens mengenai tiga gugus besar struktur (signifikasi,
1

legitimasi, dan dominasi) dalam (Priyono, 2003, 2004). Organisasi BPK-RI merupakan
organisasi yang formal yang memiliki seperangkat aturan mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang. Aturan tersebut didokumentasikan dalam Undang-Undang No.15 tahun 2006
tentang BPK-RI. Tugas BPK-RI memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
Negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerinrtah daerah, sedangkan
wewenangnya

menentukan

objek

pemeriksaan,

merencanakan

dan

melaksanakan

pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan
laporan pemeriksaan keuangan Negara. Dengan demikian aturan tersebut dibuat bukan hanya
memenuhi aspek legalitas, atau lebih tepatnya dalam padangan Giddens disebut sebagai unsur
legitimasi dari struktur sosial, namun aturan tersebut dibuat untuk menjaga kualitas organisasi
sehingga tercipta praktik audit yang efektif, efisien serta terwujudnya pemerintahan yang
bersih dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kewenangan atas praktik auditor sepenuhnya berada ditangan ketua tim. Ketua tim
memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan dan hasil audit investigatif, menetapkan
segala keputusan, selain itu juga menetukan program pemeriksaan dan pembagian tugas
anggota timnya. Hal ini menunjukkan aspek dominasi dari ketua tim telah berjalan, namun
yang perlu disadari disini ialah tidak sepenuhnya aspek dominasi berperan, ada keterbatasanketerbatasan (constrain) yang membatasi aspek dominasi itu sendiri. Ketua tim dan anggota
setiap tahun dievaluasi oleh ketua perwakilan dengan meminta bantuan Kantor Akuntan
Publik untuk memeriksa auditor, dari hasil laporan audit Kantor Akuntan Publik, kepala
perwakilan bisa mengevaluasi kinerja ketua tim, serta menilai konsistensinya dalam
mempertahankan independensi, obyektivitas, integritas.
Triyuwono mengatakan:
”Teori Strukturasi pada dasarnya memberi penekanan dimana agen bisa
merubah struktur, atau struktur bisa merubah agen”

1

Maksudnya agen bukanlah aktor yang pasif dan menjalankan apapun yang ada
dalam struktur, melainkan punya kekuatan untuk merubah struktur dengan kebijakannya,
sebaliknya struktur juga mempunyai beberapa peraturan yang mengatur tindakan agen. Yang
menjadi permasalahan dalam praktik audit investigatif sendiri ialah pengaruh dari lingkungan
luar, seperti halnya upaya penyuapan kepada auditor. Praktik suap merupakan gambaran
signifikasi dari organisasi BPK-RI, menyebutkan bahwa bahwa struktur yang ada telah
menganggap “suap” sebagai suatu hal yang biasa. Seperti apa yang dituturkan Pak Kardi, ada
salah satu rekannya yang mau menerima suap, ”sebut saja namanya Faiz”. Suap dari pihakpihak yang terlibat kasus korupsi dengan penawaran sejumlah uang berharap agar dalam hasil
laporan audit Investigatif membuktikan tidak ada adanya penyimpangan yang berindikasi
pada korupsi, dengan demikian kasus tersebut tidak akan diproses secara hukum. Alasan Faiz
menerima suap tersebut sangat mendasar, yaitu masalah penghasilan yang minim sedangkan
pekerjaan yang diembannya cukup berat. Menurut pendapatnya ”kenyataannya bahwa
auditor juga dihadapkan pada permasalahan yang komplaks, dimana kebutuhan hidup
semakin banyak, maka dari itu saya mau menerima suap tersebut”, mengetahui hal itu Pak
Kardi tidak tinggal diam, kemudian menyarankan agar Faiz tidak mau menerima, serta
mengingatkan pada dia kalau-kalau dia ketahuan kepala perwakilan bisa-bisa dikenakan
sanksi. Akan tetapi Faiz mengatakan “ah, itu sudah biasa, Kepala perwakilan mengatakan
semua itu tak usah dibuat rumit”. Dan diluar dugaan Pak Kardi kepala perwakilan malah
mengamini tindakan Faiz. Mengetahui hal itu Pak Kardi tidak tinggal diam, dia berusaha
meyakinkan kepada rekannya dan kepala perwakilan bahwa tujuan pelaksanaan audit
Investigatif adalah memberantas praktik korupsi, tapi justru membuka peluang korupsi,
mengapa auditor harus kehilangan martabatnya hanya demi uang. Secara tegas Pak Kardi
katakan “kalau anda mau terima silahkan saja, tapi jangan berikan pada saya”. Setelah
mendapat teguran yang keras dari Pak Kardi akhirnya timbul kesadaran dari kepala
perwakilan, sehingga mau merubah pola struktur yang ada. Sejak saat itu tersebut Kepala
1

perwakilan lebih berkomitmen menegakkan kode etik yang telah dibuat oleh Kepala BPK-RI
pusat dan menunjuk majelis kehormatan untuk mengawasi pelaksanaan kode etik tersebut.
Pengaruh Lingkungan sosial juga berdampak pada ketidakadilan di organisasi BPKRI sendiri, dimana kebenaran ditentukan oleh adanya kekuasaan. Pak Kardi juga
menceritakan kalau pada akhir tahun 2007 ini, ada evaluasi dari majelis kehormatan
mengenai kinerja auditor, setelah ditelusuri ternyata yang melakukan penyimpangan tidak
hanya auditor melainkan sampai pejabat eselon satu, tapi terdapat ketidakadilan disini dimana
auditor dikenakan sanksi, sedangkan pejabat eselon 1 diampuni. Semua itu merupakan
gambaran lingkungan sosial yang terlanjur “salah kaprah”, dimana terdapat ketidakadilan,
yang salah dianggap benar, siapa yang kuat dia yang akan menang.
Menghadapi situasi seperti ini, Pak Kardi menunjung tinggi semangat
mempertahankan nilai-nilai lokal yang dimilikinya dalam bentuk kolektivitas, kejujuran, dan
keberanian dalam menegakkan kebenaran. Kearifannya dan profesionalitas Pak Kardi
mendapat banyak dukungan dari anggota timnya dan rekan-rekan seprofesinya sehingga
menjadi contoh teladan bagi para juniornya. Dari situ muncul keyakinan dalam diri Pak Kardi
bahwa ”sopo kang salah mesti bakal seleh” suatu saat nanti siapa saja yang bersalah akan
sadar akan kesalahannya. Praktik korupsi di Indonesia akan berkurang, dengan perubahan
pola pikir setiap individu dengan kebaikan dan kejujuran yang nantinya akan menjadi
kesadaran praktis, dimana setiap individu akan terbiasa untuk menolak segala bentuk korupsi.

SIMPULAN
Praktik korupsi bisa dikatakan menjadi rutinitas atau kebiasaan sebagian besar
mesyarakat Indonesia, mulai dari struktur pemerintah daerah sampai pemerintah pusat. Jika
korupsi menjadi suatu praktek yang lazim maka sebenarnya masyarakat telah dihegemoni
oleh sebuah struktur atau pola yang sejak lama dan terulang. Apalagi besarnya pengaruh
lingkungan sosial terhadap organisasi BPK-RI sendiri menjadikan auditor tidak siap
1

mengadapi dunia sosial yang terlanjur salah kaprah, menganggap suap sebagai suatu hal yang
lumrah, terdapat ketidakadilan, dan berlakunya hukum rimba ”siapa yang kuat/berkuasa, dia
yang akan menang”. Pengaruh yang demikian akan mengurangi integritas, independensi,
serta profesionalitas auditor BPK-RI, untuk itu teori strukturasi yang diperkenalkan oleh
Giddens maka memberikan angin segar bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,
strukturasi secara jelas memberikan gambaran kepada auditor BPK-RI bahwa segala tindakan
direfleksikan bentuk kesadaran dan individu memiliki kekuatan dalam menciptakan
kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai nilai-nilai yang ada pada struktur organisasi BPK-RI,
sehingga tercipta pola strukturasi.
Bentuk kesadaran auditor yang diupayakan dalam bentuk kesadaran praktis, dimana
agar nantinya pemberantasan korupsi oleh auditor bukan sebagi bentuk formalitas melainkan
menjadi sesuatu kebiasaan. Kesadaran diskursif dicontohkan dengan tindakan auditor dalam
menolak segala bentuk suap. Kesadaran tersebut timbul karena menganggap suap merupakan
bagian dari korupsi dan tindakan menerima suap berarti melanggar undang-undang, serta ada
sanksi hukumnya.

Motivasi tidak sadar dicontohkan pada keberanian auditor dalam

menghadapi segala bentuk ancaman dan tantangan, secara sadar sebenarnya auditor
mengetahui bahwa tugas yang diembannya begitu berat, dan sulit rasanya untuk diselesaikan,
namun berkat keberanian yang dimiliki maka praktik audit investigatif dapat terselesaikan.
Kesadaran etis dicontohkan dengan keyakinan dan keimanan yang dimiliki Pak Kardi dengan
anggota timnya dalam menghadapi tantangan dan ancaman selama pelaksanaan audit
investigatif.
Pemberantasan korupsi bisa terwujud jika masing-masing auditor secara
komprehensif melakukan revolusi kesadaran. Kesadaran praktis yang diwujudkan dengan
ketaatan terhadap peraturan merupakan imperatif kesadaran yang bersifat internal. Kesadaran
yang dimiliki auditor seharusnya mendapat supporting dari eksternal berupa penegakan
hukum. Semuanya akan bisa terlaksana jika masing-masing masyarakat Indonesia, tidak
1

hanya auditor BPK-RI memiliki kemampuan untuk intropeksi dan mawas diri, yang
diperlukan saat ini adalah merubah pola pikir yang telanjur menganggap korupsi merupakan
suatu hal yang wajar menjadi suatu perbuatan yang tercela. Dengan membangun kesadaran
global anti korupsi dan harus ditegakkan secara terus menerus serta diperjuangkan, sehingga
masyarakat Indonesia dengan penuh kesadaran akan merasa malu jika melakukan korupsi,
dan menemukan struktur yang baru menuju bangsa yang lebih bermartabat.
Keterbatasan Penelitian
Organisasi BPK-RI bersikap defensif kepada peneliti, sehingga peneliti tidak bisa
mengeksplorasi data serta mendapatkan informasi yang lebih banyak. Waktu penelitian
sangat singkat kurang lebih hanya 1 bulan, padahal metode studi kasus sendiri menekankan
kepada peneliti agar lebih memahami kasus yang akan diteliti. Dengan demikian peneliti
berusaha mempelajari kasus secara mendalam dengan memanfaatkan informasi yang
diperoleh dari informan.
Saran
Saran Untuk organisasi BPK-Ri seharusnya lebih bersikap terbuka terhadap siapapun yang
hendak melakukan penelitian, sepanjang tidak merugikan instansi BPK-RI. Hendaknya
auditor BPK beserta pejabat struktural melakukan revolusi kesadaran, sebab korupsi tidak
bisa diberantas oleh orang-orang suci, melainkan bisa diberantas oleh orang-orang yang
sadar. Saran untuk peneliti selanjutnya agar (1) melakukan pendekatan persuasif dengan para
pejabat BPK-RI dengan tujuan mempermudah perolehan data. (2) Melakukan perijinan
penelitian jauh dari sebelumnya waktu penelitian yang akan dilakukan, sehingga bisa BPK-RI
lebih fleksibel menentukan waktu penelitian sehingga bisa mengeksplorasi data lebih banyak.
(3) Diharapkan peneliti selanjutnya bisa memperoleh kasus lebih dari satu, sehingga antar
kasus tersebut bisa diperbandingkan hasil laporan audit investigatif yang membuktikan ada
tidaknya kerugian daerah yang mengarah pada unsur pidana. (4) Obyek penelitian bisa juga
ditambahkan, tidak hanya di kantor Perwakilan BPK-RI di Surabaya, melainkan di kantor1

kantor perwakilan yang lain. Begitu banyak kantor perwakilan memungkinkan mempunyai
berbagai macam kebijakan, nilai-nilai, prosedur, interaksi yang dihasilkan, serta realitas yang
dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht, (2003), Fraud Examination, South Western, a
division Thomson Learning, United States of America
Arifin, Johan, (2000), Korupsi dan Upaya Pemberantasannya Melalui Strategi Auditing:
Audit Forensik, Media Akuntansi, No.13 Th VII, September, hlm II-IX
Chazawi, Adami. 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. PT. Alumni, Bandung
Daniel, (1995), IQ, EQ, dan SQ, artikel, (http://www.kecerdasanindividu.htm, diakses tanggal
2 Februari 2008)
Giddens, A, (2003), The Constitution of Society; Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial,
Penerbit PT Pedati, Pasuruan. Diterjemahkan dari judul asli “The Consequences of
Modernity”, Stanford University Press – UK, 1995
Grahani, Irma, (2006), Pengaruh Independensi, Locus Of Control, dan Pengembangan Moral
Auditor Terhadap Fraud Auditing, Skripsi, Malang: Fakultas Ekonomi Jurusan
Akuntansi Universitas Brawijaya
Hartanti, Evi, (2006), Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
Hardjapamekas, E.R, (1999), Audit Forensik Skandal Bank Bali, Majalah Tempo,
No.28/XXVIII/13-19 September hlm 1-3
Hardjapamekas, E.R, (2001), Skandal Akuntan: Kecelakaan Atau Keserakahan, Majalah
Tempo, N0.20/XXXI/15-21 Juli hlm 1-3
IAI, (2001), Standar Profesional Akuntan Publik Per Januari 2001, Penerbit Salemba Empat,
Jakarta; 20000.1-20000.6
Irianto, Gugus, (2003), Skandal Korporasi Dan Akuntan, Lintasan Ekonomi, Volume XX,
Nomor 2, Juli, hlm 104-114
Indonesia Corruption Watch, Investigasi Korupsi, artikel, (http://www.icw.go.id diakses pada
tanggal 6 Mei 2007)
Junaedi, Fajar, (2005), Teori tentang Interaksi Simbolik, dan Strukturasi, artikel,
(http://www.teorikomunikasi.htm, diakses pada tanggal 26 Juli 2007)
Karni, Soejono, (2000), Auditing Khusus dan Audit Forensik Dalam Praktik. Lembaga
Penerbit FE-UI, Jakarta
1

Ludigdo, Unti, (2005), Pemahaman Strukturasi Atas Praktik Etika di Sebuah Kantor Akuntan
Publik, Disertasi, Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya
Mardiko, dan Albert Kurniawan, (2006), Elements of the Sociology or Corporate Life,
Artikel, Ringkasan Karya Gibson Burrel and Gareth Morgan; Social Paradigms and
Organizational Analysis, Hainemann, London, Chapter 1-3
Moleong, Lexy, (2006), Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit Rosdakarya, Bandung
Mulyana, Dedy, (2003), Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, Penerbit Rosdakarya, Bandung
Murtanto dan Gudono, (1999), Identifikasi Karakteristik Keahlian Audit: Profesi Akuntan
Publik di Indonesia, JRAI. Volume2, No.1, hlm 38-52
Peraturan BPK-RI Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Kode Etik BPK RI, (http://bpk_ri.go.id
diakses pada tanggal 12 September 2007)
Priyono, B.H, (2002), Anthony Giddens; Suatu Pengantar, KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia), Jakarta
Rasuli, M. 2000. Mengungkap Tindak Kecurangan (Korupsi) dengan Bantuan Forensik
Akuntan. Media Akuntansi, No. 15 Tahun VII, hlm vi-xii
Ritzer, G dan D.J Goodman, (2003), Teori Sosiologi Modern, Penerbit Prenada Media,
Jakarta. Diterjemahkan dari Modern Sociological Theory, Sixth Edition
Salim,

M,
Strategi
Pemberantasan
Korupsi
di
(http://www.transparansi.or.id, diakses 21 Desember 2006)

Indonesia,

Artikel,

Salman, Chairiansyah, (2005), Audit Investigatif: Metode Efektif dalam Pengungkapan
Kecurangan, Economics Business Accounting Review, Edisi I, November, hlm 5-17
Soemardjan, Selo, (1998), Membasmi Tindak Pidana Korupsi, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta
Soesilo, (2005), Kejawen: Philosofi dan Perilaku, Yayasan Yasula, Malang
Subana dan Sudrajat, (2001), Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Penerbit CV. Pustaka Setia,
Bandung
Sudrajat, Akhmat, (2008), IQ, EQ, dan SQ dari Kecerdasan Tunggal Ke Kecerdasan
Majemuk, artikel, (http://www.akhmat_sudrajat.htm, diakses tanggal 2 Februari 2008)
Supelli, Karlina, (2004), Carpe Diem; Modernitas, Artikel, (http://www.cdc-ftui.htm, diakses
pada tanggal 18 Agustus 2007)
Suryono, Agus, (2002), Pentingnya Manajemen Birokrasi Profesional untuk Mengatasi
Kemunduran Birokrasi dalam Pelayanan Publik, Artikel, (diakses pada tanggal 12
Agustus 2007)
1

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Widayanti Dan Subekti, (2001), Analisis Keahlian Auditor BPK-RI Menuju Pelaksanaan
Fraud Auditing, Tema, Volume II, No.2, hlm 97-115
Widjayanti, dkk, (2004), Membangun Teori dari Studi Kasus,
(http://www.bebas.vlsm.org, diakses pada tanggal 3 September 2007)

Artikel,

Widoyoko,
(2005),
Premi
Bagi
Pelapor
Perbuatan
Korupsi,
(http://www.sinarharapan.co.id, diakses pada tanggal 3 September 2007)

Artikel,

Yin, Robert K, (2006), Studi Kasus; Desain dan Metode, Penerbit PT RajaGrafindo
Persada,Jakarta

2