PEMAHAMAN AUDITOR ATAS PELAKSANAAN AUDIT

PEMAHAMAN AUDITOR ATAS PELAKSANAAN AUDIT TERHADAP
PRINSIP-PRINSIP SYARIAH PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
DI INDONESIA
(STUDI KASUS PADA AUDITOR YANG MELAKUKAN AUDIT FIELD
WORK PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA)

KELOMPOK :
1. ASTRID AFRITAN
2. EKA SEPTIYANI
3. FEBRIYANI DEBORA
4. FINTIA AGIA WIDIYA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS INDONESIA
SALEMBA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan ekonomi Islam mulai menjamur di seluruh negara, tak terkecuali

Indonesia yang memiliki jumlah penduduk dengan salah satu mayoritas muslim terbesar di
dunia. Di Indonesia, meskipun terlambat dibandingkan dengan negara tetangga, seperti
Malaysia dan negara lainnya di Timur Tengah, keuangan syariah telah berkembang dengan
pesat. Dalam catatan sejarah, dari tahun 1991 sampai dengan 2016, telah banyak berdiri
berbagai lembaga keuangan syariah dan dikeluarkannya kebijakan ataupun peraturan yang
mendukungnya. Pada tahun 1991 didirikan Bank Islam pertama di Indonesia yaitu Bank
Muamalat Indonesia. Kemudian diikuti dengan berdirinya lembaga keuangan syariah lainnya
seperti asuransi syariah (1994), reksadana syariah oleh PT Danareksa Investment
Management (1997), diperkenalkannya Pasar Uang Antar Syariah dan Jakarta Islamic Index
(2000), ReIndo Syariah Retakaful syariah pertama (2004), MOU antara BAPEPAM-LK dan
DSN-MUI dalam membuat peraturan Pasar Modal Syariah (2003), Amanah Finance, lembaga
keuangan nonbank pertama (2005), dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah dan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
(2008), dsb. Tujuan pembentukan LKS sendiri yaitu sebagai alternatif sistem ekonomi yang
memiliki arah pandang untuk mengentaskan kemiskinan, serta mengurangi penggunaan riba
seperti yang umum terjadi pada perbankan konvensional.
LKS di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan adanya peningkatan jumlah bank umum syariah (BUS) dimana pada tahun 2008
hanya terdapat 5 (lima) Bank Umum Syariah (BUS) dan saat ini terdapat 12 (dua belas) BUS
di Indonesia. Selain itu terdapat 22 (dua puluh dua) usaha unit syariah (UUS), dan terdapat

163 (seratus enam puluh tiga) BPRS yang juga bernaung di Indonesia. Berikut merupakan
tabel jaringan kantor individual perbankan Syariah di Indonesia sampai bulan Juli 2016.

Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Syariah: Juli 2016

Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, Overview IKNB Syariah: Juli 2016

Selain jumlah LKS yang bertambah, total aset LKS tersebut juga selalu bertambah
setiap periode. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Syariah: Juli 2016

Dengan total aset yang besar tersebut, diperlukan pengawasan untuk memastikan
bahwa perbankan syariah telah menjalankan keseluruhan aktivitas operasi bisnisnya sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. Terdapat 6 (enam) PSAK khusus yang mengatur transaksi
maupun kegiatan berbasis syariah di Indonesia, yaitu PSAK No 101 tentang penyajian
laporan keuangan syariah, PSAK No 102 tentang akuntansi Murabahah (jual beli), PSAK No
103 tentang Akuntansi Salam, PSAK No 104 tentang Akuntansi Isthisna, PSAK No 105
tentang Akuntansi Mudarabah (bagi hasil), dan PSAK No 106 tentang Akuntansi Musyarakah
(kemitraan). Penyusunan keenam PSAK tersebut oleh KAS DSAK telah menyesuaikan

dengan pernyataan perbankan syariah Indonesia (PAPSI)

Bank Indonesia, dan telah

mendaraskan pada sejumlah fatwa akad keuangan syariah yang dikeluarkan oleh DSN MUI.
Menurut UU No. 21 Tahun 2008 mengenai perbankan syariah, prinsip syariah merupakan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk tujuan

penyimpanan, dan atau pembiayaan usaha, atau kegiatan lainnya yang dijalankan sesuai
dengan syariah, berdasarkan bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan
modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah),
atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau
kepemilikan atas barang yang disewa oleh bank kepada nasabah atau yang disebut (ijarah wa
iqtina).
Kaitan antara prinsip-prinsip syariah tersebut yang dipegang oleh perbankan syariah
dengan standar akuntansi keuangan syariah yang berlaku umum yaitu prinsip-prinsip syariah
ini mengakomodir keseluruhan transaksi dan kegiatan dalam siklus bisnis syariah. Hal ini
diperlukan sebagai pedoman agar seluruh aktivitas bisnis dalam lingkup syariah memiliki
keseragaman, sehingga memudahkan pembaca laporan keuangan, serta memudahkan dalam
pelaksanaan penyusunannya sesuai dengan tujuan disahkannya suatu peraturan standar

akuntansi keuangan yang berlaku umum tersebut. Untuk itu dibutuhkan Audit Syariah. Audit
syariah sendiri merupakan layanan jaminan yang setara dengan auditor eksternal, hanya saja
di dalam audit syariah dibutuhkan pengetahuan tambahan mengenai keuangan Islam dan
syariat Islam itu sendiri.
AAOIFI’s Governance Standard No.2 (GSIFI 2) merumuskan audit syariah memiliki
pengertian yang sama dengan sharia review yang dijalankan oleh suatu departemen atau
bagian dari audit internal yang memiliki fungsi untuk memeriksa dan mengevaluasi tingkat
kepatuhan terhadap aturan syariah, fatwa, aturan yang dikeluarkan oleh lembaga fatwa dan
dewan pengawas syariah yang independen, sehingga auditor syariah merupakan personil
yang bertugas untuk melakukan audit dengan mengkaji seberapa besar tingkat kepatuhan
bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah, fatwa, serta peraturan yang dikeluarkan oleh
lembaga fatwa dan dewan pengawas syariah yang independen. Tanggung jawab yang
diemban oleh seorang auditor syariah, selain terhadap pihak audittee sebagai pengguna
jasanya, seorang auditor syariah juga memiliki tanggung jawab yang pertama, yaitu kepada
Allah SWT sebagai pertanggung jawaban atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Tanggung
jawab kedua yang diberikan yaitu kepada investor yang telah membiayai perusahaan melalui
modal yang ditempatkan, dan selayaknya untuk mendapat pertanggung jawaban atas kinerja
dan pengelolaan terhadap perusahaan tersebut, dan yang terakhir seorang auditor syariah
harus memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Audit syariah mencakup lebih banyak dimensi dibandingkan dengan audit

konvensional yaitu audit terhadap laporan keuangan, operasional, struktur organisasi dan
manajemen, serta sistem informasi teknologi (Sultan, 2007). Selain itu, audit syariah harus

memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan manajemen telah mencakup
kebenaran, keadilan, serta relevansi, memastikan seluruh tindakan manajemen telah menuruti
keseluruhan aturan hukum dan prinsip-prinsip Islam, dan memastikan manajemen telah
melaksanakan tujuan syariah yang bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan taraf
kehidupan manusia dalam seluruh dimensi (Hanifah, 2010). Sehingga, audit syariah ini
berfungsi untuk memastikan penerapan hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia, serta memiliki tujuan yang lebih besar yaitu untuk mempertemukan antara konsep
audit dengan maqosid syariah (Kasim, Ibrahim, Hameed, & Sulaiman, 2009; Yaacob &
Donglah, 2012; Shafeek, 2013).
Pentingnya peranan auditor syariah dalam mengimbangi perkembangan industri
keuangan syariah saai ini harus diimbangi dengan sumber daya manusia yang ahli dalam
berbagai ilmu pengetahuan yang dibutuhkan suatu profesi di dalam struktur organisasi
lembaga keuangan syariah khususnya sebagai auditor syariah. Namun hal ini nampaknya
masih sulit terwujud dimana sumber daya manusia yang dibutuhkan masih kurang untuk
mengisi posisi sebagai auditor syariah. Jumlah sumber daya manusia yang telah memiliki
Sertifikasi Akuntan Syariah (SAS) baru mencapai angka 54 (lima puluh empat) orang,
berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2013), sedangkan

akuntan publik yang mengantongi ijin untuk melakukan audit terhadap LKS, berdasarkan
data OJK hanya terdiri dari 32 (tiga puluh dua) KAP (OJK, 2015).
1.2 Rumusan Masalah


Apakah auditor memiliki pemahaman yang cukup terhadap prinsip-prinsip syariah
yang menjadi landasan dalam menjalankan audit field work pada Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) di Indonesia?

1.3 Tujuan
 Mengetahui pemahaman yang dimiliki auditor mengenai prinsip-prinsip syariah yang
menjadi landasan dalam menjalankan audit field work pada Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
 Bagi regulator. Memberikan gambaran dan masukan mengenai sejauh mana
pemahaman yang dimiliki oleh auditor mengenai prinsip-prinsip syariah, dan atas

proses audit yang telah dijalankan selama ini oleh auditor, sehingga dapat
meningkatkan kompetensi serta kapasitas yang dimiliki auditor di Indonesia.
 Bagi investor. Memberikan gambaran dan implikasi atas pemahaman auditor terhadap

prinsip-prinsip syariah yang merupakan landasan operasi bisnis syariah, dan atas
proses audit syariah. Hal tersebut akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh investor untuk berinvestasi pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
di Indonesia.
 Bagi pengguna jasa LKS. Memberikan gambaran mengenai kondisi real atas
pemahaman auditor terhadap prinsip-prinsip syariah, dan proses audit yang
mempengaruhi kondisi keseluruhan atas aktivitas operasi bisnis syariah di Indonesia.
1.5

Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan memberikan batasan pada objek penelitian
yaitu pada Auditor yang pernah melakukan audit field work pada Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) di Indonesia.