Kedudukan Orang Berilmu (Surat Al Imran Ayat 18)

Makalah Tafsir Tarbawi
Kedudukan Orang Berilmu (Surat Al-Imran Ayat 18)

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT pencipta alam semesta yang menjadikan bumi dan isinya
dengan begitu sempurna. Tuhan yang menjadikan setiap apa yang ada dibumi sebagai
penjelajahan bagi kaum yang berfikir. Tidak lupa sholawat serta salam akan tetaptercurahkan
kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya
hingga akhir zaman. Dan sungguh berkat limpahan rahmat -Nya saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini demi memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi I.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan
itu hanya milik Allah SWT semata. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga penulis dapat
memperbaiki makalah ini menjadi lebih layak untuk dibaca, dan dapat memberikan manfaat
bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan informasi
yang bermanfaat bagi semua pihak. Atas perhatiannya penulis menyampaikan terima kasih.

PENDAHULUAN
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam, hal ini terlihat
dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan

mulia disamping hadits-hadits nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus
menuntut ilmu. Didalam Al qur’an, kata ilmu digunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna
bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-Qur’an sangat kental dengan nuansanuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam.
Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an yang artinya: ”Allah meninggikan beberapa
derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu
(diberi ilmu pengetahuan) dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”Ayat ini
dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi
memperoleh kedudukan yang tinggi. Ketinggian itu bukan saja karena nilai ilmu yang
dimilikinya, tetapi juga karena amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan,
atau tulisan maupun dengan keteladanan.Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi
pendorong untuk menuntut ilmu, dan ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar
betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah bila
melakukan hal-hal yang dilarangnya.
Jika umat Islam menyadari dan memegang teguh ajaran agamanya untuk menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan, maka pasti dapat diraih kembali puncak kejayaan Islam
sebagaimana catatan sejarah di abad awal Hijrah hingga abad ke dua belas Hijrah, dimana
umat dan Negara- negara Islam menjadi pusat peradaban dunia.

PEMBAHASAN
Kedudukan Orang Berilmu

QS. Ali Imran ayat 18
(١٨) ‫حشكهحد الل ل حزه أ حن ل حزه حلا إكل لححه إك ل حلا زهحو حوال لحمحلائكك حزة حوزأوزلو ال لكعل لمك حقائكمما كبال لكقلسكط حلا إكل لححه إك ل حلا زهحو ال لحعكزيزز ال لححككيم‬
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Penjelasan Tafsir
Tafsir Al-Maraghi
‫حشكهحد الل ل حزه أ حن ل حزه حلا إكل لححه إك ل حلا زهحو حوال لحمحلائكك حزة حوزأوزلو ال لكعل لمك حقائكمما كبال لكقلسكط‬
Allah SWT menjelaskan tentang wahdaniyat Allah, dengan menegakkan bukti-bukti
kejadian yang berada di cakrawala luas, dalam diri mereka, dan menurunkan ayat-ayat tasyri’
yang mencerminkan hal tersebut. Para malaikat memberitakan kepada para Rasul tentang hal
ini, kemudian mereka menyaksikan dengan kesaksian yang diperkuat ilmu darury. Hal ini
menurut para Nabi lebih kuat dari semua keyakinan. Orang-orang yang berilmu telah
memberitakan tentang kesaksian ini, menjelaskan dan menyaksikannya dengan kesaksian
yang disertai dalil dan bukti. Sebab, orang yang mengetahui sesuatu tidak membutuhkan
hujjah lagi untuk mengetahuinya.
Makna Al-Qistu, artinya dengan keadilan dalam akidah. Ketauhidan adalah
pertengahan antara inkar dan syirik terhadap Tuhan. Berlaku adil dalam hal ibadah, akhlak
dan amal adalah adanya keseimbangan antara kekuatan rohaniyah dan jasmaniyah. Sebagai

perwujudannya adalah adalah berlaku syukur dengan menjalankan shalat dan dan beribadah
lainnya guna meningkatkan rohani, membersihkan jiwa dan memperbolehkan dirinya hal-hal
yang banyak dari kebaikan (rizki), untuk memelihara dan mengurus badan. Juga berlaku adil
dalam melaksanakan hukum-hukum-Nya, seperti firman Allah:
‫ححساكن‬
‫ا ك لحن ا ح‬
‫ل ي حأ ل زمزر كبالحعلد كل حوا للك ل‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan....” (An-Nahl:
90)
Allah SWT telah menjadikan sunnah penciptaan ini berdasarkan asas keadilan.
Karenanya siapa saja memikirkan sunnah dan tatanan yang teliti ini akan tampak pada dirinya
keadilan Allah dalam bentuk yang paling sempurna dan jelas.
Kekuasaan Allah SWT yang berdasarkan keadilan, semuanya merupakanbukti
kebenaran kesaksian-Nya. Sebab, adanya kesatuan tatanan (sistem) alam semesta ini
menunjukkan kesatuan penatanya (Penciptanya).

Sifat Perkasa mengisyaratkan pada kesempurnaan kekuasaan dan sifat kebijaksanaan
mengisyaratkan adanya kesempurnaan pengetahuan. Kekuasaan ini tidaklah sempurna
kecuali jika menyendiri dan bebas. Dan keadilah itu tidaklah sempurna kecuali jika meliputi
semua kemaslahatan dan kondisi. Maka, yang bersifat seperti itu tidak ada seorang pun yang

bisa mengalahkan terhadap apa yang telah ia tegakkan, yakni sunnah keadilan dan tidak ada
sesuatu pun dari penciptaan yang bisa keluar dari kebijaksanaan yang sempurna itu.1

Tafsir Al-Azhar
"Allah telah menjelaskan bahwa tiada Tuhan selain Dia."(pangkal ayat 18).Syahida
diartikan menjelaskan. Dengan segala amal ciptaanNya ini, pada langit dan bumi, pada lautan
dan daratan, pada tumbuh-tumbuhan dan binatang, dan segala semat-semesta, Tuhan Allah
telah menjelaskan bahwa hanya Dia yang Tuhan, hanya Dia yang mengatur. Maka segala
yang ada ini adalah penjelasan atau kesaksian dari Tuhan, menunjukkan bahwa tiada Tuhan
melainkan Allah."Demikianpun malaikat"dalam keadaan mereka yang ghaib itu; semuanya
telah menyaksikan, telah memberikan syahadah bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah.
Sebab Malaikat adalah sesuatu kekuatan yang telah diperintahkan oleh Tuhan melaksanakan
perintahNya, dan taat patuh setialah mereka menjalankan perintah itu. Kita tidak dapat
melihat malaikat dalam bentuk rupanya yang asli, tetapi kita dapat merasakan adanya. Di
antara malaikat itu ialah Jibril yang diperintahkan Tuhan menyampaikan wahyu kepada Nabi
kita Muhammad saw dan wahyu itu telah tercatat menjadi al-Qur'an dan al-Qur'an telah
terkumpul menjadi mushhaf. Oleh sebab itu di dalam tangan kita sendiri kita telah mendapat
salah satu bekas syahadah dari malaikat.
"Danorang-orang yang berilmu"pun telah menyampaikan syahadahnya pula, bahwa
tidak ada Tuhan melainkan Allah. Bertambah mendalam ilmu, bertambah menjadi

kesaksianlah dia bahwa alam ini ada bertuhan dan Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah dan tidak
ada Tuhan yang lain, sebab yang lain adalah makhlukNya belaka. "Bahwa Dia berdiri
dengan keadilan", yakni setelah Allah menyaksikan dengan qudrat-iradatNya, dan malaikat
menyaksikan dengan ketaatannya, dan manusia yang berilmu menyaksikan dengan
penyelidikan akalnya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, maka timbul pulalah
kesaksian bahwa Tuhan Allah itu berdiri dengan keadilan. Bahwa Tuhan mencipta alam
dengan perseimbangan dan Tuhan menurunkan perintahNya dengan adil, serta seimbang.
Adil ciptaan-Nya atas seluruh alam, sehingga manusia berjalan dengan teratur, tidak
lain adalah karena adil pertimbangannya. Adil pula perintah dan syariat yang diturunkan-Nya,
sehingga seimbang dunia dengan akhirat, rohani dengan jasmani. Kata qisthi mengandung
akan maksud adil, seimbang, setimbang; semuanya bisa kita dapati di mana-mana dengan
teropong ilmu pengetahuan. "Tidaklah ada Tuhan selain Dia. Maha gagah lagi
Bijaksana."(ujung ayat 18).
Hendaklah menarik perhatian kita tentang kedudukan mulia yang diberikan Tuhan
kepada Ulil-ilmi, yaitu orang-orang yang mempunyai ilmu di dalam ayat ini. Setelah Tuhan
1 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1987),
hlm. 206-208.

menyatakan kesaksianNya yang tertinggi sekali, bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan
kesaksian itu datang dari Allah sendiri, maka Tuhan pun menyatakan pula bahwa kesaksian

tertinggi itupun diberikan oleh malaikat. Setelah itu kesaksian itupun diberikan pula oleh
orang-orang yang berilmu. Artinya, tiap-tiap orang yang berilmu, yaitu orang-orang yang
menyediakan akal dan pikirannya buat menyelidiki keadaan alam ini, baik di bumi ataupun di
langit, di laut dan di darat, di binatang dan di tumbuh-tumbuhan, niscaya manusia itu
akhirnya akan sampai juga, tidak dapat tidak, kepada kesaksian yang murni, bahwa memang
tidak ada Tuhan melainkan Allah. Itulah pula sebabnya maka di dalam surat Fathir (surat 35
ayat 28) tersebut, bahwa yang bisa merasai takut kepada Allah itu hanyalah ulama, yaitu ahliahli ilmu pengetahuan.
Imam Ghazali di dalam kitab al-Ilmi dan di dalam kitabnyaIhya Ulumuddin telah
memahkotai karangannya itu ketika memuji martabat ilmu bahwa ahli ilmu yang sejati telah
diangkat Tuhan dengan ayat ini kepada martabat yang tinggi sekali, yaitu ke dekat Allah dan
ke dekat malaikat.
Itulah kesan yang timbul kembali, meyakinkan kesan yang pertama tadi demi setelah
memperhatikan pendirian Tuhan Allah dengan keadilan itu. Pada dua nama, Aziz dan Hakim,
gagah dan bijaksana, terdapat lagi keadilan. Tuhan Allah itu Gagah Perkasa, hukum-Nya
keras, teguh dan penuh disiplin. Tetapi dalam kegagah-perkasaan itu, diimbangiNya lagi
dengan sifatNya yang lain, yaitu Bijaksana. Sehingga tidak pernah Allah berlaku sewenangwenang karena kegagah-perkasaanNya dan tidak pernah pula bersikap lemah karena
kebijaksanaanNya. Di antara gagah dan bijaksana itulah terletak keadilan.2
Tafsir Al-Mishbah
Kata ( ‫)حشكهحد‬syahida yang diatas diterjemahkan dengan menyaksikan, mengandung
banyak arti, antara melihat, megetahui, menghadiri, dan menyaksikan, baik dengan mata

kepala maupun dengan mata hati. Seorang saksi adalah yang menyampaikan kesaksian di
pengadilan atas dasar pengetahuan yang diperolehnya, kesaksian mata atau hati. Dari sini
kata menyaksikan di atas dipahami dalam arti menjelaskan dan menerangkan kepada seluruh
makhluk.
Allah menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Dia.Kesaksian itu merupakan
kesaksian diri-Nya terhadap diri-Nya. Kesaksian yang sangat kukuh untuk meyakinkan
semua pihak tentang kewajaran-Nya untuk disembah dan diandalkan.
Allah menyaksikan diri-Nya Maha Esa, Tiada Tuhan selain Dia. Keesaan itu pun
disaksikan oleh para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dan masing-masing; yakni
Allah, malaikat, dan orang-orang yang berpengetahuan, secara berdiri sendiri menegaskan
bahwa kesaksian yang mereka lakukan itu adalahberdasarkan keadilan. Makna ini yang
dipahami oleh sementara ulama sebagai arti (‫ )حقائكمما كبال لكقلسكط‬qa’iman bi al-qisth, yang redaksinya
berbentuk tunggal. Tentu saja tidak menunjuk kepada Allah, malaikat, dan orang-orang yang
berilmu; ketiganya sekaligus. Ada juga yang menjadikan kata qa’im bi al-qisthitu sebagai
penjelasan tentang keadaan Allah SWT, dalam arti tidak ada yang dapat menyaksikan Allah
2 Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar Juz III (Edisi Revisi), (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003),
hlm. 178-180.

dengan penyaksian yang adil, yang sesuai dengan keagungan dan keesaan-Nya kecuali Allah
sendiri, karena hanya Allah yang mengetahui secara sempurna siapa Allah. “Ketuhanan

adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah, maka tidak akan ada satupun yang mengenalNya kecuali diri-Nya sendiri.
Allah Qa’iman bi al-qisth, menegakkan keadilan yang memuaskan semua pihak. Dia
yang menciptakan mereka dan menganugerahkan aneka anugerah. Jika ini diberi kelebihan
rezeki materi, maka ada rezeki yang lain yang tidak diberikannya.
Setelah menegaskan bahwa Dia melaksanakan segala sesuatu dialam raya ini berdasar
keadilan yang menyenangkan semua pihak, maka kesaksian terdahulu diulangi sekali
lagi,Tiada Tuhan melainkan Dia. Hanya saja kalau kesaksian pertama bersifat kesaksian
ilmiah yang berdasarkan dalil-dalil yang tak terbantah, maka kali kedua ini adalah kesaksian
faktual yang dilihat dalam kenyataan oleh Allah, para malaikat dan orang-orang yang
berpengetahuan. Itu terlaksana secara faktual, karenaDia Yang Maha Perkasa, sehingga tidak
satupun yang dapat menghalangi atau membatalkan kehendak-Nya; lagi Maha
Bijaksana, sehingga segala sesuatu ditempatkan pada tempat yang wajar.3

3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQuran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 36-39.

PENUTUP
Kesimpulan
Dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu dan ulama (orang-orang berilmu), karena
Allah ta'ala mengkhususkan mereka dalam penyebutan tanpa menyertakan manusia lainnya.
Allah menyandingkan kesaksian mereka dengan kesaksian-Nya dan kesaksian para malaikatNya, dan Allah menjadikan kesaksian mereka adalah keterangan dan dalil yang paling besar

atas ketauhidan-Nya, Agama-Nya dan pembalasan-Nya. Seorang yang mukallaf wajib
menerima kesaksian yang adil lagi benar tersebut, dan termasuk diantara kandungannya
adalah membenarkan mereka, bahwa para makhluk mengikuti mereka dan bahwa mereka
adalah para pemimpin yang diikuti. Dalam poin ini terdapat keutamaan, kemuliaan dan
kedudukan yang tinggi yang tidak dapat diukur kadarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1987. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Hamka. 2003. Tafsir Al Azhar Juz III (Edisi Revisi). Jakarta: Pustaka Panjimas.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta:
Lentera Hati.