PENDIDIKAN SOSIAL YANG TERKANDUNG DALAM AL-QURAN SURAT ALI IMRAN AYAT 159

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh

Putri Kasih Handriyani NIM 109011000042

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Quran Surat Ali Imran Ayat 159 disusun oleh Putri Kasih Handriyani. NIM 109011000042. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya Ilmiah yang berhak untuk diujikan pada siding munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.


(3)

Skripsi berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159 disusun oleh PUTRI KASIH HANDRIYANI NIM 109011000042, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 25 Maret 2014 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.


(4)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Putri Kasih Handriyani Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 26 Mei 1991

NIM : 109011000042

Jurusan/Prodi : Pendidikan Agama Islam

Judul : Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159 adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen : Nama Pembimbing : Abdul Ghafur, MA

NIP : 196812081997031003

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.


(5)

i ABSTRAK

Kata Kunci: Pendidikan Sosial, Lemah lembut, Memaafkan, Musyawarah

Latar belakang penelitian ini dilandasi oleh adanya kegelisahan tentang merosotnya nilai-nilai luhur perilaku sosial, kepekaan dan kepedulian sosial di kalangan masyarakat yang tidak berbasis pada ajaran agama. Menyadari sangat vital dan pentingnya kedudukan dan fungsi al-Qur’an bagi umat Islam, maka pengaplikasiannya menjadi urgen dan wajib mendapat kepedulian bersama, sehingga nilai-nilai pendidikan sosial yang tercakup di dalamnya menjadi terwujudkan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Bermula dari keadaan inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam nilai-nilai pendidikan sosial yang tertuang dalam QS. Ali Imran ayat 159. Penelitian ini bertujuan, Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam QS. Ali Imran ayat 159.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Sumber data primer adalah kitab-kitab tafsir QS. Ali Imran ayat 159. Sedangkan data sekundernya berupa buku-buku pendidikan, artikel, atau tulisan yang menjelaskan tentang pendidikan. Adapun dalam pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif analitis karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya, disertai argumen-argumen dan menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah atau dokumen lainnya.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, nilai-nilai pendidikan sosial yang dapat digali dari nilai pendidikan sosial dalam dalam QS. Ali Imran ayat 159 adalah sikap sosial lemah lembut, pemaaf atau memaafkan, dan bermusyawarah. Relevansinya dengan pendidikan sosial adalah adanya usaha, pengorbanan, kemanusiaan untuk memiliki sikap empati, menghormati, menghargai orang lain sehingga memiliki rasa tenggang rasa dan kepedulian, toleran dan solidaritas sosial yang tinggi. Ini sifat yang melatih seseorang untuk menunjukkan eksistensi dirinya dalam bermasyarakat. Inilah nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam QS. Ali Imran 159.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahi walhamdulillah. Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Kiranya tiada kata yang lebih pantas untuk diucapkan selain

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, sebagai manifestasi rasa syukur kita

kehadirat Illahi Rabbi yang telah menghadiahkan anugerah yang begitu mahal harganya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat salam semoga senantiasa tercurah bagi baginda Nabi Muhammad saw, orang yang begitu mencintai kita sehingga diakhir hayatnya yang beliau sebut dan kenang hanyalah kita umatnya.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas bantuan, dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut diajukan kepada:

1. Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, Ph.D, MA selaku Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M,Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kebijakan yang dibuat selalu mengarah pada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.

3. Ibu Marhamah Saleh, Lc, MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Jakarta. Terima kasih atas waktu luang yang telah diberikan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada kami selaku mahasiswa.

4. Bapak Abdul Ghafur, MA yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang tulus kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(7)

iii

5. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan.

6. Pimpinan dan staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan pelayanan dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis untuk menelaah dan meminjam buku-buku yang diperlukan dalam rangka penyusunan skripsi ini.

7. Orang Tua penulis, Ayahanda M. Yusuf Effendi (Alm), Wawan Winata dan Ibunda Hj. Siti Zubaidah tercinta yang dengan tulus ikhlas merawat dan mendidik penuh rasa kasih sayang, memberikan pengorbanan yang tidak terhitung nilainya dan senantiasa mendoakan penulis dalam menempuh perjalanan hidup ini.

8. Kakak dan Adik-adikku tersayang, Iin Setiawati berserta buah hatinya Tamammun Khoirun Nisa, Nazwa Khusnul Khotimah, Miya Damayanti semoga selalu menjadi anak-anak yang membanggakan kedua orang tua kita. Amin..

9. Nur Ahmad Soim, S.Fil,I suami pelipur lara dikala suka dan duka, yang selalu setia mendampingi perjuanganku sampai detik ini, yang tak pernah henti memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk cepat menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa memberikan pengajaran yang berharga dalam kehidupan ini, dan buah hati kita berdua Niyaz Najiha Ahmad yang akan menghiasi kebahagian kita sebagai seorang ayah dan bunda. 10. Teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, semua teman kelas PAI A

angkatan 2009 khususnya Nuy, Rahma, Acha, Wardah, Ira, Suherni dan Salimah yang sama-sama menempuh pendidikan program S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta, 25 Maret 2014


(8)

iv DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI PENDIDIKAN SOSIAL A. Pengertian Pendidikan Sosial ... 10

B. Obyek Pendidikan Sosial ... 15

C. Tujuan Pendidikan Sosial ... 20

D. Unsur-Unsur Pendidikan Sosial ... 21

E. Metode dan Strategi Pendidikan Sosial ... 28

F. Hasil Penelitian yang Relevan ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ... 36

B. Metodologi Penelitian ... 36

C. Fokus Penelitian ... 37

D. Teknik Pengumpulan Data ... 38

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Teks dan Terjemah QS. Ali ‘Imran Ayat 159 ... 39

B. Makna Kosa Kata Inti ... 39

C. Asbabun Nuzul ... 41

D. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159 ... 42

E. Pendidikan Sosial yang Terkandung dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran 159 ... 53


(9)

v BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 68 B. Saran ... 69


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan

yang sebaik-baiknya (QS 17:9). Al-Quran memperkenalkan dirinya dengan

berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Allah berfirman, sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran

dan kamilah pemelihara-pemelihara-Nya. (QS. 15:9)

Demikianlah Allah menjamin kemurnian dan keaslian Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca dan diajarkan oleh Rasulullah Saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi Saw.


(11)

Menurut seorang ulama besar syiah kontemporer, Muhammad Husain al-Thabathaba’iy sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab di dalam buku Membumikan Al-Quran,1 menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia telah dibaca oleh kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci tersebut lanjut Thabathaba’iy memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaanya. Ini sudah cukup bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan.

Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam dan merupakan pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Qur'an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allâh wa hablum min al-nâs), bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Al-Quran adalah kitabullah yang memuat banyak ajaran luhur didalamnya. Kandungan dan rahasia yang tertuang di balik ayat-ayat Al-Quran, sungguh tidak akan pernah tertandingi. Dengan Al-Quran, tidak akan pernah ada kemaksiatan dan kejahatan, karena ajaran yang di bawa oleh Al-Quran sudah jelas: sebagai rahmat bagi semua alam. Membaca dan mengajarkan serta mengamalkan Al-Quran merupakan tugas ideal seorang muslim, yang telah mendapatkan warisan dari Rasulullah Saw. Al-Quran telah diwariskan kepada kita umat Islam untuk dibaca, dikaji, diamalkan dan disebarkan, sehingga ajaran ideal Al-Quran dapat terus membumi.

Al-Qur'an sebagaimana diketahui, diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslubnya. Suatu bahasa yang kaya kosakata dan sarat kandungannya. Kendati Al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti bahwa semua

1


(12)

orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami Al-Quran secara rinci.2

Menurut Abdullah Darraz, dalam Al-Naba’ Al-‘Azhim, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, mengatakan bahwa: Apabila anda membaca Al-Quran, maknanya akan jelas di hadapan Anda. Tetapi bila Anda membacanya sekali lagi, akan Anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (ayat- ayat Al-Quran) bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat.3

Al-Quran adalah peninggalan Nabi yang sangat penting, Al-Quran adalah akhlak Nabi, sehingga dengan Al-Quran kita dapat memahami ajaran Nabi terlebih yang terkait dengan akhlak Nabi. Dalam pandangan Islam, akhlak dapat dilihat sebagai sebuah intuisi yang bersemayam di hati tempat munculnya tindakan-tindakan sukarela, tindakan yang benar atau salah. Sehingga menurut tabi'atnya, intuisi tersebut siap menerima pengaruh pembinaan yang baik, atau pembinaan salah kepadanya. Jika intuisi tersebut dibina untuk memilih keutamaan, kebenaran, maka itu menjadi trade

mark-nya dan perbuatan baik muncul dari padamark-nya dengan mudah. Itulah akhlak yang baik, misalnya akhlak lemah lembut, sabar, pemaaf, adil dan sebagainya.

Dan sebaliknya, jika intuisi tersebut disia-siakan, tidak dibina dengan pembinaan yang proporsional, bibit-bibit kebaikan di dalamnya tidak dikembangkan, dan dibina dengan pembinaan yang buruk hingga keburukan menjadi sesuatu yang dicintainya, kebaikan menjadi sesuatu yang dibencinya, dan perbuatan serta perkataan buruk keluar daripadanya dengan mudah maka

2

Abdul Halim (ed), Al-qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), cet. 1, h. 3.

3


(13)

dikatakan akhlak yang buruk, misalnya berkhianat, pemarah, dengki dan sebagainya.

Oleh karena itu, Islam memuji akhlak yang baik menyerukan kaum muslim membinanya dan mengembangkan di hati mereka. Islam menegaskan bahwa bukti keimanan ialah jiwa yang baik, dan bukti keislaman ialah akhlak yang baik. Allah memuji Nabi Muhammad Saw., karena akhlaknya yang baik. Akhlak yang baik merupakan tingkah laku yang harus dilakukan seperti Rasulullah Saw.4 Sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw bersabda:

ﺍ : ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ

ﻧﻤ

ﺑ ﺎ

ﻌﹾﺜ

ﺖ

ﻟﹸﺎﺗ

ّﻤ

ﻣ ﻢ

ﹺﺭﺎﻜ

ﻡ

ﹾﻟﺍﹶﺎ

ﺧ

ﹶﻼ

ﹺﻕ

.

( ﺪﲪﺍ ﻩﻭﺭ )

“Rasulullah Saw bersabda; Bahwasanya aku diutus sebagai Rasul

untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad)5

Orang Muslim tidak melihat akhlak berbuat baik sebagai akhlak mulia yang layak dimiliki, namun ia melihatnya sebagai bagian dari akidah dan keislamannya, karena agama Islam dibangun di atas tiga pilar yaitu iman, Islam, dan ihsan. Rasulullah menanamkan iman, Islam, dan ihsan sebagai pilar agama. Menurut Nurcholis Madjid ketiga pilar ini semuanya menunjukkan berbagai kualitas pribadi seseorang yang beriman kepada Allah, lebih lanjut Cak Nur (panggilan sapaan Madjid) mengatakan bahwa kualitas-kualitas itu membentuk simpul-simpul keagamaan pribadi, sebab semuanya terletak dalam inti kedirian seseorang dan berpangkal pada batin dan lubuk hatinya.6 Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik dalam banyak firman-Nya, misalnya dalam firman Q.S. Al-Baqarah ayat 195:

ﺍﻮﹸﻘﻔﻧﹶﺃﻭ

ﻲﻓ

ﹺﻞﻴﹺﺒﺳ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺎﹶﻟﻭ

ﺍﻮﹸﻘﹾﻠﺗ

ﻢﹸﻜﻳﺪﻳﹶﺄﹺﺑ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

ﺔﹶﻜﹸﻠﻬﺘﻟﺍ

ﺍﻮﻨِﺴﺣﹶﺃﻭ

ﹺﺇﱠﻥ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺐﺤﻳ

ﺓﺭﻮﺳ) .ﲔﹺﻨِﺴﺤﻤﹾﻟﺍ

:ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

195

(

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,

4

Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000), cet. 1, h. 217.

5

Muhyiddin Abdusshomad, Etika Bergaul, (Surabaya: Khalista, 2007), h. 6.

6

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 4 h. 41.


(14)

karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah[1]: 195)

Menurut Zakiah Daradjat, Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan dalam Al-Quran, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal saleh. Lebih lanjut Daradjat mengatakan bahwa pendidikan karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukkan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat.7

Di dalam Al-Quran terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Sebagai contoh dapat dibaca kisah lukman mengajari anaknya dalam surat Lukman ayat 12 s/d 19. Cerita itu menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadat, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Quran sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam.

Mewacanakan tentang pendidikan, maka tidak akan mungkin melepaskannya dari dinamika kehidupan sosial manusia yang senantiasa berkembang. Perkembangan sosial itulah yang pada akhirnya memperkaya konsep-konsep dalam usaha pengembangan dan perbaikan pendidikan. Sudah menjadi pendapat umum (common sense) bahwa pendidikan adalah rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perilaku

7


(15)

seseorang dan masyarakat.8 Dengan demikian, dinamika sebuah peradaban sosial, mau tidak mau melibatkan peranan pendidikan, sungguhpun dalam format dan kapasitas yang sederhana.

Di dalam Islam sangat dianjurkan untuk memiliki sifat kepedulian dengan orang lain atau dalam istilah lain dikatakan dengan kesalehan sosial. Akhir-akhir ini kita temukan dimasyarakat, sekolah atau bahkan kampus munculnya fenomena kekerasan serta permusuhan yang sifatnya turun temurun seperti tawuran pelajar, mahasiswa, permusuhan antar kampung (desa) dsb. Di masyarakat kita sepertinya sudah tidak ditemukan naluri manusia yang hakiki, justru yang muncul belakangan ini adalah budaya kekerasan dan permusuhan. Minimnya jiwa yang siap berkorban, lebih sering mendahulukan kepentingan pribadi dari pada orang banyak, egoisme serta emosional. Ini sangat mengerikan bagi tumbuh kembangnya peradaban. Masyarakat kita harus segera berubah menjadi lebih baik. Masyarakat harus di didik untuk memiliki nilai-nilai kebaikan dan kesalehan antar sesama manusia dan lingkungan. Berbuat baik kepada manusia secara umum ialah dengan berkata lembut kepada mereka, mempergauli mereka dengan pergaulan yang baik setelah sebelumnya menyuruh mereka kepada kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran, memberi petunjuk kepada orang yang tersesat di antara mereka, mengajari orang bodoh di antara mereka, mengakui hak-hak mereka, tidak menggangu mereka dengan mengerjakan tindakan yang membahayakan mereka, memaafkan segala kesalahan dan lain sebagainya.9

Nilai-nilai kebaikan ini merupakan bagian penting dari pendidikan, lebih tepatnya pendidikan yang mengarahkan pada kepedulian sosial atau dalam istilah pendidikan sering disebut dengan pendidikan sosial. Menurut pendapat St. Vembriarto yang dikutip oleh Soelaeman Joesoef dalam bukunya Pengantar Pendidikan Sosial, menyatakan bahwa: “Pendidikan sosial adalah usaha mempengaruhi dan mengembangkan sikap sosial

8

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h. 133.

9


(16)

seseorang.”10 S. Hamidjoyo, memperjelas bahwa pendidikan sosial merupakan suatu proses yang diusahakan dengan sengaja di dalam masyarakat untuk mendidik (atau membina, membimbing, membangun) individu dalam lingkungan sosial dan alamnya supaya secara bebas dan bertanggung jawab menjadi pendorong ke arah perubahan dan kemajuan.11

Berdasarkan pengertian tentang pendidikan sosial di atas, dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan sosial adalah esensi yang melekat pada suatu kegiatan pendidikan yang mana pendidikan tersebut dilaksanakan dalam rangka membantu proses perkembangan sosial untuk mencapai kedewasaan seseorang. Di dalam Al-Quran terdapat nilai-nilai pendidikan sosial yang cukup untuk mengatakan bahwa Islampun mengajarkan tentang pendidikan sosial, sikap lemah lembut, pemaaf dan bermusyawarah, merupakan inti dari pendidikan sosial, di dalam kehidupan ini sikap lemah lembut merupakan awalan seseorang untuk membuka dirinya dengan orang lain, dengan sikap lemah lembut ini seseorang dituntut untuk menghormati, menghargai, dan berpartisipasi, toleransi dan solidaritas sosial akan segera terjalin manakala sikap lemah lembut ini dimiliki bersama. Sementara sifat memaafkan adalah langkah berikutnya dimana rasa pengorbanan dalam bermasyarakat dibuktikan. Memaafkan memerlukan jiwa yang besar, yaitu jiwa yang penuh kepasrahan pada tuhannya. Ketika perasaan sudah dikembalikan pada sang pencipta maka secara lambat laun perilaku dan kepribadiaan seorang pemaaf akan diangkat derajatnya oleh sang pencipta, setelah itu secara otomatis makhluknya dengan sadar akan memuliakannya. Sehingga terjalinlah harmonisasi kehidupan karena saling memaafkan dan memuliakan. Dan yang terakhir adalah sikap suka bermusyawarah. Sikap yang mulia, karena merasakan ada orang lain selain dirinya, sikap ini mengajarkan di dalam hidup bermasyarakat, sifat egois, menang sendiri harus disingkirkan serta memprioritaskan kepada kepentingan bersama dan kepedulian sosial.

10Soelaeman Joesoef dan Slamet Santoso, Pengantar Pendidikan Sosial, (Surabaya:

Usaha Nasional, 1981), h. 17.

11

Soelaeman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 100.


(17)

cita-cita untuk membangun masyarakat yang damai dan sejahtera segera akan terwujud manakala dalam bermasyarakat antar warga suka bermusyawarah. Inilah nilai-nilai pendidikan sosial yang diajarkan oleh Nabi kepada kita.

Pakar pendidikan Islam, Abdullah Nashih Ulwan pernah merumuskan bahwa pendidikan sosial dalam Islam, adalah pendidikan anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dengan dasar-dasar psikis yang mulia serta bersumber pada aqidah Islamiyah yang abadi dengan diiringi perasaan keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat nanti ia terbiasa dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang serta tindakan yang bijaksana.12

Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk mengkaji serta menganalisa konsep pendidikan sosial yang ada dalam Al-Qur'an, untuk itu penulis mengambil judul, “PENDIDIKAN SOSIAL YANG TERKANDUNG DALAM AL-QURAN SURAT ALI IMRAN AYAT 159.”

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Masih banyak manusia (peserta didik) yang tidak mampu menahan dirinya dari sikap egois dan lebih cenderung emosional

b. Begitu banyak manusia yang tidak mampu untuk mengelola emosinya c. Menyelesaikan masalah dengan tidak menggunakan pendekatan

musyawarah untuk mencari kesepakatan

12

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, (Arab Saudi: Darus Salam, 1997), h. 273.


(18)

2. Pembatasan Masalah

Dengan adanya identifikasi di atas, penulis membatasi masalah yaitu, “pendidikan sosial yang terkandung dalam tafsir Q.S. Ali Imran ayat 159”

3. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya “Bagaimana nilai-nilai pendidikan sosial dalam Q.S. Ali Imran ayat 159?”

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan sosial dalam Q.S. Ali Imran ayat 159.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Akademik

Dapat memotivasi bagi pengembangan khazanah keilmuan di bidang tafsir pendidikan sosial, membuka kemungkinan penelitian lebih lanjut dan peninjauan kembali hasil pengkajian ini.

2. Bagi Masyarakat

Dapat mengetahui dan diaplikasikan pendidikan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Bagi penulis

Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(19)

10

BAB II

KAJIAN TEORI PENDIDIKAN SOSIAL

A. Pengertian Pendidikan Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,1 pendidikan berasal dari kata “didik,” lalu diberikan awalan kata “me-” sehingga menjadi “mendidik” yang artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran.

Pengertian pendidikan menurut Undang-undang Sisdiknas No.20 Th. 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.2 Sedangkan pengertian pendidikan menurut para ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pendidikan sebagai berikut:

Menurut Umar Tirtarahardja dan S.L. La Sulo, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada

1W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1985), h. 232.

2

Undang-Undang Sisdiknas UU RI No.20 Th.2003, (Jakarta: Sinar Grafika,2009), cet.2, h. 3.


(20)

terbentuknya kepribadian peserta didik.3 M. Ngalim Purwanto mendefinisikan, pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan, lebih lanjut Purwanto menambahkan pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.4

Selanjutnya, menurut Poerbakawatja dan Harahap sebagaimana dikutip oleh Muhibbin Syah, pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya, orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang tua yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik mislanya guru sekolah, pendeta atau kiyai dalam lingkungan keagamaan, kepala-kepala asrama dan sebagainya.5 Menurut Kingsley Price sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly, mengatakan bahwa pendidikan ialah proses di mana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa.6

Pendidikan dalam konteks Islam, mengacu pada tiga unsur yaitu: al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut, al-tarbiyah yang terpopuler digunakan dalam praktek pendidikan Islam. Sedangkan term al-ta’lim dan al-ta’dib jarang di gunakan.7 Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Memang kata tarbiyah dengan

3

Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), cet. 2, h. 34.

4

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Rosda, 2007), cet. 18, h. 10.

5

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. 18, h. 11.

6

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 3.

7

Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 14.


(21)

kata kerja “rabba” merupakan kata umum, kata yang digunakan adalah kata “pengajaran” dalam bahasa arabnya adalah ta’lim, dengan kata kerjanya

allama.” Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arab berarti “tarbiyah wa

ta’lim”. Kata kerja Rabba (mendidik), sudah digunakan pada zaman Nabi

Muhammad Saw. Dalam kata benda “rabba” ini digunakan juga untuk “Tuhan,” mungkin karena Tuhan yang bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, malah menciptakan. Kata lain yang berarti pendidikan itu ialah ‘addaba’ kata ta’lim dengan kata kerjanya ‘allama’ juga sudah di gunakan pada zaman Nabi.8

Sebagai langkah awal untuk mengerti konsep, definisi kiranya dapat digunakan. Namun, untuk mengerti konsep sebagaimana mestinya, definisi selalu tidak representatif. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan bahasa dan kemampuan intelektual untuk merumuskan definisi, disamping subyektivitas si perumus itu sendiri. Akan tetapi sebagai bahan tambahan rumusan pendidikan, didalam pendidikan Islam terdapat konsep-konsep dasar yang membentuknya. (1) usaha. Pendidikan adalah usaha, yaitu suatu aktivitas mengerahkan kemampuan dalam mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai suatu tujuan. Pendidikan bukan penetapan yang didalamnya hanya terdapat saat memberi dan menerima tanpa hambatan. Sebagai usaha, pendidikan mesti berhubungan dengan tujuan. Sulit dibayangkan ada usaha yang tidak bertujuan, terutama karena pendidikan adalah usaha yang dilakukan manusia dan terhadap manusia. Suatu hal yang membedakan tindakan manusia dari tindakan binatang ialah sifatnya yang teologis (mengarah kepada tujuan). (2). Kemanusiaan. Pendidikan merupakan sesuatu yang khas bagi manusia, dan karenanya tidak diterapkan pada binatang ataupun tumbuh-tumbuhan. Ini sesuai tabiat risalah Islam yang memang diperuntukkan untuk umat manusia. Atas dasar itu, pengembangan sumber daya manusia bisa merupakan aktivitas pendidikan, tetapi pengembangan sumber daya alam tidak akan pernah dipandang sebagai aktivitas pendidikan, kecuali apabila dilaksanakan dalam rangka yang pertama. (3) perkembangan.

8


(22)

Yang diperbuat pendidikan terhadap manusia ialah mengembangkannya untuk menjadi pribadinya, bukan menjadi yang berada diluar pribadinya. Proses “mau jadi dokter, mau jadi pramugari, bahkan mau jadi presiden “bukanlah pendidikan, kecuali apabila semua ke-mau-an itu merupakan sesuatu yang membedakan pribadinya dari yang lain.9

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar oleh orang dewasa terhadap perkembangan jasmani dan rohani, untuk menumbuhkan dan membentuk personalitas yang utuh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab di masyarakat.

Adapun pengertian sosial, menurut Kamus Sosiologi dan Kependudukan, ialah hubungan seorang individu dengan yang lainnya dari jenis yang sama; atau pada sejumlah individu yang yang membentuk lebih banyak atau lebih sedikit kelompok-kelompok yang terorganisir, juga tentang kecenderungan-kecenderungan dan impuls-impuls yang berhubungan dengan yang lainnya.10 Dari beberapa pendapat di atas di simpulkan bahwa pendidikan sosial adalah usaha sadar oleh seseorang pendidik terhadap anak untuk mempengaruhi dan mengarahkan pada proses sosial.

Kesimpulan tersebut, selaras dengan pendapat para ahli pendidikan dalam menafsirkan pendidikan sosial, di antaranya menurut H.A.R. Tilaar dan Sardin Pabbadja, pendidikan sosial adalah sebagai proses sosialisasi anak, yang berarti akan mengarahkan kegiatannya pada sosialisasi anak dalam lingkungan sosial. Menurut Santoso S. Hamidjojo sebagaimana dikutip St. Vembriarto, mengatakan bahwa pendidikan sosial adalah suatu proses yang diusahakan dengan sengaja di dalam masyarakat untuk mendidik (atau membina, membimbing, membangun) individu dalam lingkungan sosial dan alamnya supaya secara bebas dan bertanggungjawab menjadi pendorong ke arah perubahan dan kemajuan.11

9

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam,... h. 11.

10

G. Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), cet. 2, h. 382.

11


(23)

Sedangkan M. Ngalim Purwanto berpendapat bahwa pendidikan sosial adalah pengaruh yang disengaja yang datang dari pendidik-pendidik (seperti nenek, paman dan bibi, ayah dan ibu, dan guru-guru), dan pengaruh itu berguna untuk: 1) Menjadikan anak itu anggota yang baik dalam golongannya, 2) Mengajar anak itu supaya dengan sabar berbuat sosial dalam masyarakat, seperti dalam rapat-rapat, di jalan, dalam kereta api, di pasar, di dalam gedung bioskop, di Kantor Pos, di warung koperasi, dan sebagainya. Pendeknya, di mana dan bilamana saja ia berhubungan dengan orang-orang lain.12

Definisi pendidikan sosial yang lebih luas diberikan oleh Abdullah Nasih Ulwan. Ia menjelaskan bahwa pendidikan sosial adalah:

ﹺﺏﺍﺩﹶﺍ ﹺﻡﺍﺰﺘﹾﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻩﺭﺎﹶﻔﹾﻇﹶﺍ ﺔﻣﻮﻌﻧ ﹸﺬﻨﻣ ﺪﹶﻟﻮﹾﻟﺍ ﹺﺐﻳﺩﹾﺎﺗ ﺔﻴﻋﺎﻤﺘﺟﺎﹾﻟﺍ ﺔﻴﹺﺑﺮﺗﺎﹺﺑ ﺩﻮﺼﹾﻘﻤﹾﻟﹶﺍ

ﺎﻤﺘﺟﺍ

ﹺﺭﻮﻌﺸﻟﺍﻭ ﺓﺪﻟﺎﹶﳋﺍ ﺔﻴﻣﹶﻼﺳﺎﹾﻟﺍ ﺓﺪﻴﻘﻌﻟﺍ ﻦﻣ ﻊﺒﻨﺗ ﹲﺔﹶﻠﻴﹺﺒﻧ ﺔﻴِﺴﹾﻔﻧ ﹸﻝﻮﺻﹸﺍﻭ ﺔﹶﻠﺿﺎﹶﻓ ﺔﻴﻋ

ﹺﻞﻣﺎﻌﺘﻟﺍ ﹺﻦﺴﺣ ﻦﻣ ﻪﹺﺑ ﺮﻬﹾﻈﻳ ﺎﻣ ﹺﺮﻴﺧ ﻰﻠﻋ ﹺﻊﻤﺘﺠﹸﳌﺍ ﻰﻓ ﺪﹶﻟﻮﻟﺍ ﺮﹺﻬﹾﻈﻴﻟ ﹺﻖﻴﻤﻌﻟﺍ ﻲﹺﻧﺎﻤﻳﻻﺍ

ﺗﻻﺍﻭ ﹺﺏﺩﹶﻻﺍﻭ

ﹺﻢﻴﻜﹶﳊﺍ ﻑﺮﺼﺘﻟﺍﻭ ﹺﺞﺿﺎﻨﻟﺍ ﹺﻞﹾﻘﻌﻟﺍﻭ ﻥﺍﺰ

.

“Pendidikan sosial adalah pendidikan anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikis yang mulia dan bersumber pada aqidah islamiyah yang abadi dan perasaan keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat nanti ia terbiasa dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.”13

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah usaha mempengaruhi yang dilakukan dengan sadar, sengaja dan sistematis agar individu dapat membiasakan diri dalam mengembangkan dan mengamalkan sikap-sikap dan perilaku sosial dengan baik dan mulia dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.

12

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,... h. 171-172.

13

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, (Arab Saudi: Darus Salam, 1997), 273.


(24)

Atau dalam kesimpulan lain pendidikan sosial di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian pendidikan sosial adalah esensi yang melekat pada suatu kegiatan pendidikan yang mana pendidikan tersebut dilaksanakan dalam rangka membantu proses perkembangan sosial sehingga anak didik akan memilih dan melaksanakan adab sosial yang baik agar dapat hidup rukun ditengah-tengah masyarakatnya.

B. Obyek Pendidikan Sosial

Pembahasan tentang pendidikan tidak mungkin terlepas dari obyek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan kedudukan yang mulia, bentuk fisik yang bagus dan seimbang. Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu karena (1) akal dan perasaan, (2) ilmu pengetahuan dan (3) kebudayaan, yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada sang pencipta, Allah Swt.14 Obyek dari pendidikan sosial yang ingin penulis capai adalah, manusia (peserta didik) setidaknya memiliki minimal tiga sikap dibawah ini:

1. Sikap Berserah Diri Kepada Tuhan.

Menurut Nurcholis Madjid, Sikap berserah diri kepada Tuhan

(ber-islam) itu secara inheren mengandung berbagai konsekuensi. Pertama,

konsekuensi dalam bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak. Karena itu Tuhan bukan untuk diketahui, sebab “mengetahui Tuhan” adalah mustahil. Dalam keadaan tidak mungkin mengetahui, yang harus dilakukan manusia ialah usaha terus menerus dan penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ini diwujudkan dengan merentangkan garis lurus itu merentang sejajar secara berhimpitan dengan hati nurani. Berada di lubuk yang paling

14


(25)

dalam pada hati nurani itu ialah kerinduan kepada kebenaran, yang dalam bentuk tertingginya ialah hasrat bertemu Tuhan itu dalam semangat berserah diri kepada-Nya. Inilah alam, tabiat atau fitrah manusia. Alam manusia ini merupakan wujud perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia. Maka sikap berserah diri kepada Tuhan itulah jalan lurus menuju kepada-Nya. Karena sikap itu berada dalam lubuk hati yang paling dalam pada diri manusia sendiri, menerima jalan lurus itu bagi manusia adalah sikap yang paling fitri, alami dan wajar.

Jadi sikap berserah diri kepada Tuhan ber-islam bagi manusia adalah sesuatu yang alami dan wajar. Ber-islam menghasilkan bentuk hubungan yang serasi antara manusia dan alam sekitar, karena alam sekitar ini semuanya telah berserah diri serta tunduk patuh kepada Tuhan secara alami pula. Sebaliknya, tidak berserah diri kepada Tuhan bagi manusia adalah tindakan yang tidak alami. Manusia harus mencari kemuliaan hanya pada Tuhan, dan bukannya pada yang lain. Ber-islam sebagai jalan mendekati Tuhan itu ialah dengan berbuat baik kepada sesama manusia, disertai sikap menunggalkan tujuan hidup kepada-Nya tanpa kepada yang lain apa pun juga.15

Lebih lanjut Cak Nur (panggilan Nurcholis Madjid) menyatakan bahwa salah satu kelanjutan logis prinsip ketuhanan itu ialah paham persamaan manusia. Yakni bahwa seluruh umat manusia, dari segi harkat dan martabatnya asasinya, adalah sama. Tidak seorangpun dari sesama manusia berhak merendahkan atau menguasai harkat dan martabat manusia lainnya, misalnya dengan memaksakan kehendak dan pandangannya kepada orang lain. Manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran mutlak, pengetahuan manusia itu, betapa pun tingginya, tetap terbatas. Karena itu setiap manusia dituntut untuk bersikap rendah diri guna bisa mengakui adanya kemungkinan orang lain yang mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi. Dia harus selalu menginsafi dan

15

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 4 h. 2-3.


(26)

memastikan bahwa senantiasa ada Dia Yang Maha tahu. Maka manusia dituntut untuk bisa saling mendengar sesamannya, dan mengikuti mana saja dari banyak pandangan manusia itu paling baik.16

2. Sikap Toleransi

Toleransi adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan agama yang dianut dan kepercayaan yang dihayati oleh pihak atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan atau eksistensi suatu golongan, agama, atau kepercayaan diakui dan dihormati oleh pihak lain. Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan, maupun dihadapan Tuhan tetapi juga perbedaan-perbedaan dalam cara-cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai dengan dasar kemanusian dan beradab. Menurut Umar Hasyim, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya, atau mengatur hidupnya, dan menentukan nasibnya masing-masing selama tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat asas terciptanya ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Berdasarkan pemahaman ini, pada dasarnya bentuk sikap toleransi, lebih-lebih di suatu kawasan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan egalitarianisme, sangat terkait erat dengan suatu pandangan yang mengakui the right of self determination, yaitu suatu hak menentukan sendiri nasib pribadi masing-masing umat dalam menentukan keyakinannya untuk memilih suatu agama. Selanjutnya untuk lebih memperjelas aplikasi terminologi toleransi di atas dalam kehidupan umat beragama, ada baiknya diperhatikan segi-segi atau elemen-elemen dalam toleransi, yang dalam hal ini setidak-tidaknya dijumpai 5 hal,17 yaitu:

16

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,... h. 4-5.

17

Haris Muchit (eds), Sarung dan Demokrasi dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan, (Surabaya: Khalista, 2008), h. 256.


(27)

a. Mengakui hak setiap orang. Artinya suatu sikap mental dari kalangan umat beragama yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan pilihannya dalam beragama.

b. Menghormati keyakinan orang lain. Arah dari elemen yang kedua ini adalah tidak dibenarkan seseorang memaksakan apa yang diyakininya untuk juga diyakini oleh orang atau golongan lain. Karena bagaimanapun soal keyakinan dalam hal ini agama adalah urusan pribadi yang bersifat transendental.

c. Agree in disagreement, yakni setuju dalam perbedaan. Fokus elemen ini adalah perbedaan itu tidak harus melahirkan permusuhan, karena ia selalu ada di dunia ini kapanpun dan dimanapun. Untuk itu, fenomena perbedaan agama tidak semestinya memunculkan pertentangan.

d. Saling pengertian di antara umat beragama. Artinya, bila hal ini tidak dimiliki oleh masing-masing pemeluk agama maka yang terjadi adalah saling membenci, saling berebut pengaruh dalam rangka memonopoli kebenaran. Dan ujung-ujungnya adalah konflik di antara umat beragama akan terjadi.

e. Kesadaran dan kejujuran. Dalam hal ini dapat diilustrasikan, di sebuah kendaraan bus umum terdapat seorang ibu dengan anaknya yang masih kecil menangis dengan keras. Orang-orang yang ada disekitarnya bila tidak toleran, tentunya mereka akan menggerutu atau bahkan mengumpat ibu itu karena dirasakan sangat menganggu. Sementara yang berjiwa toleran, tentunya mereka akan menekan perasaannya, atau justru merasa kasihan kepada si ibu tadi. Dari ilustrasi tadi dapat disimpulkan, bahwa toleransi itu menyangkut sikap jiwa dan kesadaran batin seseorang. Kesadaran jiwa menimbulkan kejujuran dalam sikap dan tingkah laku.18

18


(28)

3. Solidaritas Sosial

Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun tidak dapat dipisahkan darinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakatnya, sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui masyarakatnya seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun dan lain-lain. Demikan juga dalam bidang material. Betapapun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil material yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain, baik secara langsung dan disadari, maupun tidak. Seseorang bisa berhasil itu tidak mungkin dengan sendirinya dan diwujudkannya dengan mandiri. Manusia itu mengelola, tetapi Allah yang menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian wajar jika Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkan kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.19

Menurut Said Aqil Siroj, lahirnya persaudaraan (ukhuwah) diilhami oleh eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Ia lahir dari lembaga institusi terkecil dalam komunitas sosial yang dinamakan keluarga. Beberapa keluarga kemudian membentuk RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, hingga terwujud sebuah bangunan negara. Semakin melebar dan membesarnya institusi-institusi di atas keluarga, tentu tidak dimaksudkan untuk memudarkan nilai-nilai persaudaraan, namun justru harus semakin merekatkan suatu bangunan keluarga besar. Segenap individu yang berada dalam suatu wadah negara, dengan demikian, mutlak memerlukan adanya rasa saling memilki, mencintai serta menyayangi antara satu dengan lainnya sebagai manifestasi kehidupan “keluarga besar” tersebut.20

19

M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), h. 324.

20


(29)

C. Tujuan Pendidikan Sosial

Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Dengan demikian tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan. Menurut undang-undang SISDIKNAS RI tahun 2003 tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.21 Secara umum tujuan pendidikan dapat dikatakan membawa anak didik agar dapat berdiri sendiri (mandiri) di dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat.22 Menurut Jalaluddin, karena pendidikan berdimensi sosial, maka tujuan pendidikan diarahkan kepada pembentukan manusia yang memiliki kesadaran akan kewajiban, hak dan tanggung jawab sosial, serta sikap toleran, agar keharmonisan hubungan antar sesama manusia dapat berjalan dengan harmonis. Lebih lanjut Jalaluddin, menyatakan dalam kaitan dengan kehidupan bermasyarakat tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia sosial yang memiliki sifat takwa sebagai dasar sikap dan perilaku.23 Sementara tujuan pendidikan sosial sebagaimana dijelaskan oleh M. Ngalim Purwanto MP adalah:

1. Mengajar anak-anak yang hanya mempunyai hak saja, menjadi manusia yang tahu dan menginsafi tugas dan kewajibannya terhadap bermacam-macam golongan dalam masyarakat.

2. Membiasakan anak-anak berbuat mematuhi dan memenuhi tugas kewajiban sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negar.24

Dari pengertian di atas, pendidikan sosial bertujuan agar individu dapat mengimplementasikan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

21

Undang-Undang SISDIKNAS UU RI Nomor 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 7.

22

B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: Rineka cipta, 2010), h. 9.

23

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 2 h. 97.

24


(30)

D. Unsur-Unsur Pendidikan Sosial

Unsur-unsur pendidikan sosial adalah hal yang memungkinkan terselenggaranya proses pendidikan, unsur tersebut memiliki hubungan yang erat antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Dalam pendidikan sosial tidak dijelaskan secara khusus tentang unsur-unsur pendidikan sosial, melainkan merupakan penjabaran atas unsur-unsur pendidikan secara umum kemudian diarahkan kepada pendidikan sosial. Di dalam buku pengantar pendidikan, dijelaskan beberapa unsur pokok pendidikan yaitu: Subjek yang dibimbing (peserta didik), orang yang membimbing (pendidik), interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif), Ke arah mana bimbingan ditujukkan (tujuan pendidikan), pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan), cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).25

Berdasarkan pendidikan tersebut di atas maka unsur-unsur yang harus ada dalam pendidikan sosial adalah:

1. Subjek Yang Di Bimbing (Peserta Didik)

Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya.

Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik, yaitu: a. Individu Yang Memiliki Potensi Fisik Dan Psikis Yang Khas,

Sehingga Menjadi Insan Yang Unik.

Anak sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang ingin dikembangkan dan diaktualisasikan. Unuk mengaktualisasikannya membutuhkan bantuan dan bimbingan.

25


(31)

b. Individu Yang Sedang Berkembang

Yang dimaksud dengan perkembangan disini ialah perubahan yang terjadi dalam diri peserta didik secara wajar, baik ditujukan kepada diri sendiri maupun ke arah penyesuaian dengan lingkungan. c. Individu Yang Membutuhkan Bimbingan Individual Dan Perlakuan

Manusiawi.

Dalam proses perkembangannya peserta didik membutuhkan bantuan dan bimbingan. Bayi yang baru lahir secara badani dan hayati tidak terlepas dari ibunya, seharusnya setelah ia tumbuh berkembang menjadi dewasa ia sudah dapat hidup sendiri. Tetapi kenyataannya untuk kebutuhan perkembangan hidupnya, ia masih menggantungkan diri sepenuhnya kepada orang dewasa, sepanjang ia belum dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa pada diri peserta didik ada dua hal yang menggejala, yaitu:

1) Keadaannya yang tidak berdaya menyebabkan ia membutuhkan bantuan. Hal ini menimbulkan kewajiban orang tua untuk membantunya.

2) Adanya kemampuan untuk mengembangkan dirinya, hal ini membutuhkan bimbingan. Orang tua berkewajiban untuk membimbingnya. Agar bantuan dan bimbingan itu mencapai hasil maka harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. d. Individu Yang Memiliki Kemampuan Untuk Mandiri

Dalam perkembangan peserta didik ia mempunyai kemampuan untuk berkembang ke arah kedewasaan. Pada diri anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri. Hal ini menimbulkan kewajiban pendidik dan orang tua (si pendidik) untuk setapak demi setapak memberikan kebebasan dan pada akhirnya mengundurkan diri. Jadi, pendidik tidak boleh memaksakan agar peserta didik berbuat menurut pola yang dikehendaki pendidik. Ini dimaksud agar peserta didik memperoleh kesempatan memerdekakan diri dan bertanggung


(32)

jawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri. Pada saat ini si anak telah dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri.26

Menurut M. Ngalim Purwanto, mengapa mendidik itu dikatakan memimpin perkembangan anak, dan bukan membentuk anak? Memang, kata “memimpin” di sini tepat. Anak bukanlah seumpama segumpal tanah liat yang dapat di remas-remas dan dibentuk dijadikan sesuatu menurut kehendak si pendidik. Jika sekiranya betul demikian, sudah tentu kita dapat mengharapkan bahwa nanti manusia itu akan menjadi “baik” semua. Sebab menurut kenyataan hampir semua manusia diusahakan dididik, baik oleh orang tuanya maupun oleh masyarakat dan negara. Sehingga akhirnya mungkin pemerintah atau negara tidak perlu lagi mengadakan polisi dan penjara.

Pendidikan disebut pimpinan karena dengan perkataan ini tersimpul arti bahwa si anak aktif sendiri, memperkembangkan diri, tumbuh sendiri, tetapi di dalam keaktifannya itu harus dibantu dan di pimpin.27

2. Orang Yang Membimbing (Pendidik)

Yang dimaksud dengan pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu yang bertanggungjawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru dan masyarakat.

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu

26

Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan,.... h. 52-53.

27


(33)

bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.28

Sementara tugas sebagai guru harus didukung oleh suatu perasaan bangga akan tugas yang dipercayakan kepadanya untuk mempersiapkan generasi kualitas masa depan bangsa. Walaupun berat tantangan dan rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugasnya harus tetap tegar dalam melaksanakan tugas sebagai seorang guru.

Pendidikan adalah proses yang direncanakan agar semua berkembang melalui proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik harus dapat mempengaruhi ke arah proses itu sesuai dengan tata nilai yang dianggap baik dan berlaku dalam masyarakat.

Tata nilai termasuk norma, moral, estetika, dan ilmu pengetahuan, mempengaruhi perilaku etik siswa sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Penerapan disiplin yang baik dalam proses pendidikan akan menghasilkan sikap mental, watak, dan kepribadian siswa yang kuat. Guru dituntut harus mampu membelajarkan kepada siswanya tentang kedisiplinan diri, belajar membaca, mencintai buku, menghargai waktu, belajar bagaimana cara belajar, mematuhi aturan/tata tertib dan belajar bagaimana harus berbuat. Semuanya itu akan berhasil apabila guru juga disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.29 Sedangkan tanggungjawab masyarakat, besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin mayarakat atau penguasa yang ada didalamnya. Pemimpin masyarakat agamis tentu saja menghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota

28

Zakiah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam,....h. 35.

29

Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 55.


(34)

sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahnya. Bila anak telah besar diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota dan warga negara. 30

Dengan demikian, dipundak mereka terpikul keikutsertaan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa orang tua, guru, dan pemimpin/penguasa dari masyarakat ikut bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sebab tanggungjawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggungjawab moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial.

3. Interaksi Antara Peserta Didik Dengan Pendidik (Interaksi Edukatif) Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanipulasi isi, metode serta alat-alat pendidikan.

4. Pengaruh Yang Diberikan Dalam Bimbingan (Materi Pendidikan)

Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah disiapkan dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi ini bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya adalah mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian jiwa dan semangat bhineka tunggal ika dapat di tumbuh kembangkan.

5. Cara Yang Digunakan Dalam Bimbingan (Alat Dan Metode)

Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan

30


(35)

efektivitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan dibedakan atas yang preventif dan yang kuratif.

a. Yang bersifat preventif, yaitu yang bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki misalnya larangan, pembatasan, peringatan bahkan juga hukuman.

b. Yang bersifat kuratif, yaitu yang bermaksud memperbaiki, misalnya ajakan, contoh, nasihat, dorongan, pemberian kepercayaan, saran, penjelasan, bahkan juga hukuman.

Untuk memilih dan menggunakan alat pendidikan yang efektif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1) Kesesuaian denggan tujuan yang ingin dicapai 2) Kesesuaian dengan peserta didik

3) Kesesuaian dengan pendidik

4) Kesesuaian dengan situasi dan kondisi saat digunakannya alat tersebut.

Persyaratan tersebut perlu diperhatikan agar jangan sampai salah. Sebab kesalahan pemakaian alat dan metode menjadikan peserta didik frustasi. Salah satu alat pendidikan yang sangat istimewa dan bersifat khusus yaitu hukuman. Sebab karena hukuman menimbulkan penderitaan, sehingga penggunaan hukuman harus dipertimbangkan dengan seksama, baru boleh digunakan manakala sudah tidak ada alat lain yang berkhasiat. Itu pun harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga hukuman dapat menimbulkan efek jera sesuai dengan kemampuan si pelaku untuk memikulnya. Inilah yang dimaksud dengan hukuman yang pedagogis. Hanya hukuman yang demikian bersifat memperbaiki yaitu menjadikan si pelaku menyadari kesalahannya, menyesali perbuatannya, dan memperbaiki dirinya. 31

Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaklah: senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran, sedikit-banyaknya selalu bersifat tidak

31


(36)

menyenangkan, selalu bertujuan ke arah perbaikan; hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri, Ngalim Purwanto menyatakan bahwa maksud orang memberi hukuman itu bermacam-macam. Hal ini sangat bertalian erat dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman.

1. Teori Pembalasan

Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kelainan dan pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak boleh dipakai dalam pendidikan di sekolah.

2. Teori Perbaikan

Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan. Jadi, maksud hukuman itu ialah untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semaacam itu lagi. Teori inilah yang lebih bersifat pedagogis karena bermaksud memperbaiki si pelanggar, baik lahiriah maupun batiniahnya.

3. Teori Perlindungan

Menurut teori ini hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan yang telah dilakukan oleh si pelanggar.

4. Teori Ganti Rugi

Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. Hukuman ini banyak dilakukan dalam masyarakat atau pemerintahan. Dalam proses pendidikan, teori ini masih belum cukup. Sebab dengan hukuman semacam itu anak mungkin menjadi tidak merasa bersalah atau berdosa karena kesalahannya itu telah terbayar dengan hukuman.


(37)

5. Teori Menakut-nakuti

Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melannggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya. Teori ini masih membutuhkan teori perbaikan. Sebab dengan teori ini besar kemungkinan anak meninggalkan suatu perbuatan itu hanya karena takut, bukan keinsafan bahwa perbuatannya memang sesat atau memang buruk. Dalam hal ini anak tidak terbentuk kata hatinya.32

E. Metode dan Strategi Pendidikan Sosial

Pemilihan strategi pembelajaran (pendidikan) yang tepat sangatlah penting. Artinya, bagaimana guru dapat memilih kegiatan pembelajaran yang paling efektif dan efisien untuk menciptakan pengalaman belajar yang baik, yaitu yang dapat memberikan fasilitas kepada peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Namun perlu diingat bahwa tidak satu pun strategi pembelajaran yang paling sesuai untuk semua situasi dan kondisi yang berbeda, walaupun tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sama. Artinya dibutuhkan kreativitas dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan strategi pembelajaran, yaitu yang disusun berdasarkan karakteristik peserta didik dan sesuai kondisi yang diharapkan.

Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah suatu rencana untuk mencapai tujuan. Terdiri dari metode, teknik, dan prosedur yang mampu menjamin peserta didik benar-benar akan dapat mencapai tujuan akhir kegiataan pembelajaran (pendidikan).33

Terkait dengan strategi pendidikan sosial penyusun berupaya menggabungkan dengan metode pendidikan sosial, hal ini dikarenakan karena metode adalah bagian dari strategi pendidikan.

32

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,.... h.187-188.

33

Hamzah B. Uno, Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM (Jakarta: Bumi Aksara 2011), h. 6.


(38)

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, metode pendidikan sosial ini berkisar pada hal-hal berikut ini:

1. Penanaman Dasar-dasar Psikis yang mulia

Islam telah menegaskan dasar-dasar pendidikan yang utama di dalam jiwa individu-individu, baik kecil maupun besar, laki-laki maupun wanita, orang tua maupun pemuda, di atas dasar-dasar kejiwaan yang mulia dan mapan. Untuk menanamkan dasar-dasar psikhis di dalam diri individu dan kelompok, Islam telah menetapkan arahan-arahan yang sangat berharga, demi tercapainya kesempurnaan pendidikan sosial, dari segi makna maupun tujuannya. Berikut ini beberapa dasar psikis terpenting yang diutamakan Islam untuk ditanamkan antara lain:

a. Takwa

Takwa ialah membersihkan hati dari kotoran dan membersihkan badan dari dosa, baik dosa tangan, kaki, kemaluan, mulut, mata, hidung, maupun telinga. Takwa ialah waspada dan berhati-hati dari penyimpangan apa pun. Orang tanpa dosa itulah orang yang benar-benar bertakwa.34 Takwa merupakan suatu nilai akhir dan hasil alami dari perasaan keimanan secara mendalam yang berhubungan dengan ingat kepada Allah, takut kepada murka dan siksa-Nya serta harapan akan ampunan dan pahala-Nya. Menurut definisi para ulama, takwa adalah Allah tidak melihatmu di dalam apa saja yang diperintahkan-Nya kepadamu. Menurut sebagian ulama lain, takwa adalah menghindarkan adzab Allah Swt, dengan jalan melaksanakan amal saleh, dan takut kepada Allah, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.35

Di samping dapat menguasai hati orang mu’min dengan ketakutan kepada Allah dan selalu mengingat-Nya, takwa juga merupakan sumber, keutamaan sosial, bahkan satu-satunya jalan untuk menghindar berbagai kerusakan, kejahatan, dosa dan duri. Bahkan ia

34

Muchlis M. Hanafi (ed), Spiritualitas dan Akhlak, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2010), h. 78.

35


(39)

merupakan sarana pertama yang mewujudkan kesadarannya di dalam diri individu secara sempurna terhadap masyarakat dan seluruh makhluk hidup yang ditemuinya.

b. Persaudaraan

Persaudaraan adalah ikatan kejiwaan yang mewarisi perasaan mendalam tentang kasih sayang, kecintaan dan pengorbanan terhadap setiap orang yang diikat oleh perjanjian-perjanjian akidah islamiyah, keimanan dan ketakwaan. Perasaan persaudaraan yang benar ini melahirkan perasaan-perasaan mulia di dalam jiwa muslim untuk membentuk sikap-sikap positif, seperti saling tolong menolong, mengutamakan orang lain, kasih sayang, dan pemberian maaf serta menjauhi sikap-sikap negatif, seperti menjauhi setiap hal yang membahayakan manusia di dalam diri, harta dan kehormatan mereka. Islam telah menganjurkan persaudaraan ini di jalan Allah, dan telah menjelaskan segala permasalahan dan kelazimannya di dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits.36 Sebagai hasil dari persaudaraan dan percintaan dijalan Allah ini mereka saling kasih mengasihi, saling mengutamakan kepentingan orang lain, saling tolong menolong dan saling memberi jaminan.

c. Kasih Sayang

Kasih sayang adalah suatu kelembutan di dalam hati, perasaan halus di dalam hati nurani, dan suatu ketajaman perasaan yang mengarah pada perlakuan lemah lembut terhadap orang lain, keturutsertaan di dalam merasakan kepedihan, belas kasih terhadap mereka dan upaya menghapus air mata kesedihan dan penderitaan. Ia merupakan suatu perasaan yang menyerukan orang mu’min untuk lari dari penderitaan,

36


(40)

menjauhi kejahatan menjadi suatu sumber kebaikan, kebajikan dan keselamatan bagi seluruh umat manusia 37

d. Mengutamakan Orang Lain

Masalah ini merupakan suatu perasaan psikologis yang lebih mengutamakan orang lain dibanding dirinya sendiri dalam berbagai kebaikan dan kepentingan pribadi yang bermanfaat. Mengutamakan orang lain merupakan suatu perangai mulia yang apabila dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, ia akan menjadi salah satu dasar kejiwaan berdasarkan kebenaran iman, ketulusan niat dan kesucian diri. Pada waktu yang bersamaan, ia merupakan salah satu sendi yang kuat bagi jaminan sosial dan perwujudan kebaikan bagi umat manusia.38

e. Pemberian Maaf

Pemberian maaf merupakan suatu kemuliaan perasaan psikologis yang meliputi rasa toleransi penyerahan hak, sekalipun orang yang memusuhi itu adalah orang zalim. Dengan syarat, bahwa orang teraniaya itu mampu membalas dendam bukan terhadap kehormatan

ad-din dan kesucian Islam. Jika tidak demikian, maka pemberian maaf

disini bermakna suatu kehinaan, penyerahan diri dan sikap tunduk. Maaf dengan makna dan persyaratan ini merupakan tabiat akhlak secara murni yang menunjukkan dalamnya keimanan dan ketinggian adab Islami. 39

f. Keberanian

Keberanian merupakan suatu kekuatan psikologis yang diserap oleh orang mu’min dari keimanan terhadap Tuhan yang diyakini sebagai kebenaran yang ia peluk, keabadian yang ia yakini, qadar yang ia

37

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,... h. 278.

38

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 280.

39


(41)

serahkan dirinya kepadanya, tanggungjawab yang ia sadari dan pendidikan yang menumbuhkannya. Kadar kekuatan keberanian dan mengatakan kalimat yang haqyang dimiliki

oleh seorang mu’min sesuai dengan kadar keimanannya kepada Allah yang tiada terkalahkan, kebenaran yang tiada terabaikan, qadar yang tidak berubah, tanggungjawab yang tiada pernah lelah dan pendidikan yang tiada membosankan.40

2. Memelihara Hak-hak Orang-orang Lain

Hak-hak sosial terpenting yang harus disampaikan sebagai upaya pendidikan kepada anak agar ia dapat melaksanakannya secara baik adalah: hak terhadap kedua orang tua, hak terhadap saudara-saudara, hak terhadap guru, hak terhadap teman, hak terhadap orang besar. Tugas pendidik hendaknya mengajarkan dan menanamkan semua itu kepada anak-anak didik.

Sehingga setahap demi setahap anak dapat menghormati orang yang lebih tua dan orang tua. Di samping itu, sejak kecilnya ia sudah dapat memahami hak orang yang usianya lebih tua dibanding dirinya, serta berlaku sopan terhadap orang-orang yang mempunyai kelebihan di dalam ilmu, keutamaan dan kedudukan. Jika pendidik meletakkan dasar-dasar kesopanan dan berbuat baik kepada anak-anak, maka tidak diragukan lagi mereka akan menghormati orang-orang yang mempunyai keutamaan, terutama orang tua.

Untuk ini kita sangat membutuhkan para pendidik dan guru yang memahami hakekat-hakekat pendidikan dalam Islam, di samping gigih di dalam menanamkan sistem ini, maka umat Islam akan dapat mencapai akhlak sosial dan adab islami yang tinggi. Dan ketika itu seluruh kaum mu’minin akan merasa gembira dengan terciptanya generasi yang tumbuh, masyarakat yang mulia dan ketenteraman yang diharapkan.41

40

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 285.

41


(42)

3. Melaksanakan Adab-adab Sosial

Adab-adab sosial berkait erat dengan penanaman dasar-dasar psikhis. Pelaksanaan adab-adab sosial secara umum berpijak pada landasan akidah iman dan takwa, persaudaraan, kasih sayang, lebih mengutamakan orang lain dan sopan santun, sehingga pendidikan sosial akan mencapai tujuannya yang paling tinggi. Bahkan ia akan tampil di masyarakat dengan perangai, akhlak dan interaksi yang sangat baik sebagai insan yang lurus, cerdas, bijak dan harmonis.

Contoh dari adab-adab sosial adalah adab makan dan minum, adab memberi salam, adab meminta izin, adab di dalam majelis, adab berbicara, adab bergurau, adab mengucapkan selamat, adab menjenguk orang sakit, adab bertakziyah, adab bersin dan menguap.42

4. Pengawasan Dan Kritik Sosial

Di antara dasar sosial terpenting di dalam membentuk perangai dan mendidik kehidupan sosial anak, adalah membiasakan anak sejak kecil untuk mengadakan pengawasan dan kritik sosial, membina setiap individu yang dipergauli, diikuti atau mengikuti, dan memberikan nasehat kepada setiap individu yang tampaknya menyimpang dan menyeleweng43. Ringkasnya, membiasakan anak sejak masa pertumbuhannya untuk melaksanakan kewajiban memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, yang merupakan salah satu dasar Islam yang fundamental di dalam memelihara pendapat umum, memerangi kerusakan dan penyimpangan serta memelihara nilai, keteladanan dan akhlak umat Islam. Kata kunci dalam pengawasan dan kritik sosial adalah introspeksi dan menerima kritikan orang lain. Menurut Khalil al-Musawi Introspeksi adalah salah satu bentuk penghitungan diri, dan merupakan alat penting bagi manusia dalam memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Bila orang tidak mempunyai penasehat dari dalam dirinya, maka nasihat apapun tidak

42

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h.300.

43


(43)

bermanfaat baginya. Bila orang tidak mau menerima kritikan dari nuraninya sendiri, maka ia tidak akan dapat menerimanya dari orang lain. Lebih lanjut Khalil menyatakan, disamping melakukan introspeksi diri, seseorang juga harus mau menerima kritikan yang dilontarkan orang lain. Orang yang mau menerima kritikan orang lain adalah orang yang memiliki jiwa positif dan konstruktif. Mau menerima kritikan orang lain adalah pertanda kelapangan dada, kesabaran, kemampuan mengendalikan diri, kedalaman akal dan hikmah. 44

F. Hasil Penelitian yang Relevan

Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Ninik Chamidah, dengan tema “Konsep Zakat dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sosial.” Karya ini menjelaskan pengaruh zakat dalam pendidikan sosial mempunyai arti dan peran penting yang berkaitan dengan kesejahteraan dan pemerataan pengembangan ekonomi masyarakat miskin melalui jalan memperkecil jurang dan jarak antara si kaya dan si miskin dan akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan dalam persatuan Islam di dalam masyarakat yang bersangkutan.45 Ajaran Islam menjadikan Ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai landasan membangun satu sistem yang mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dengan mengintegrasikannya dalam Ibadah berarti memberikan peranan penting pada keyakinan keimanan yang mengendalikan seorang mukmin dalam hidupnya. Namun demikian, zakat bukanlah satu-satunya gambaran dari sistem yang ditampilkan oleh ajaran Islam dalam mewujudkan keejahteraan umum bagi masyarakat. Namun juga harus diakui bahwa zakat sangat penting arti dan kedudukannya karena merupakan titik sentral dari sistem tersebut.

44

Khalil al-Musawi, Terapi Akhlak, (Jakarta: Zaytuna, 2011), h. 102-103.

45

Ninik Chamidah, Konsep Zakat dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sosial (Semarang: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006).


(44)

2. Aunur Rofiq, dengan karya ilmiah berjudul “Konsep Metode Pendidikan Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih Ulwan (Studi Dalam Manusiab

Tarbiyatul Awlad Fil Islam).46 Karya ini menjelaskan bahwa metode

pendidikan sosial anak ialah jalan/cara untuk menanamkan pengetahuan sosial pada diri seseorang anak sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran yaitu pribadi yang mempunyai kecakapan sosial. Adapun Macam-macam Metode Pendidikan sosial anak menurut Nashih Ulwan meliputi 4 hal yakni metode penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia, metode memelihara hak orang lain, metode disiplin etika sosial, dan metode kontrol dan kritik sosial. Sementara macam-macam metode pendidikan sosial konvensional Islam, antara lain: Metode Keteladanan, Metode Pembiasaan, Metode Hukuman dan Ganjaran, Metode kisah Qur'ani, Metode Ibrah dan Mauidzah, Metode tarhib wa targhib.

3. Suyadi, dengan tema “Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh).” Karya ini berpijak pada kerangka epistemologi Fiqih sosial KH. MA. Sahal Mahfudh. Fiqih sosial, perbincangan antara fiqih dengan realitas yang ada, berkembang. Menempatkan fiqih tidak hanya sebagai mengenai ritual agama (hubungan vertikal). Tapi lebih pada prinsip mencari kemaslahatan bersama (ibadah sosial). Dengan dalil, yaitu mempertahankan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Kemudian manusia cari implikasi pemikiran di atas terhadap Pendidikan Islam. Karenanya secara konteksnya, antara fiqih dengan pendidikan Islam mempunyai kesamaan. Penulis merujuk pada buku babon fikih sosialnya Sahal Mahfudh untuk kemudian dibandingkan dengan Tafsir al-Qur'an Tematik (Sosial).47

46

Aunur Rofiq, Konsep Metode Pendidikan Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih Ulwan (Studi Dalam Kitab Tarbiyatul Awlad Fil Islam) (Surabaya: UIN-Sunan Ampel Press, 2010).

47

Suyadi, Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh) , (Solo: Tiga Serangkai, 2006).


(45)

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian 1. Objek penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah mengenai pendidikan sosial yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 159.

2. Waktu penelitian

Adapun waktu yang dilalui penulis dalam penelitian ini adalah mulai tanggal 19 februari 2013 sampai tanggal 15 Januari 2014.

B. Metode Penulisan 1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Reseach).

2. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang berkaitan dengan tema dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut terdiri dari data primer, yaitu kitab suci Qur’an dan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang menjelaskan ayat 159 surat Ali Imran, di antaranya: kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya, Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir Nurul Qur’an karya Alamah Kamal Faqih Imani, Tafsir


(1)

68

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rumusan masalah diatas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa nilai-nilai pendidikan sosial dalam Q.S Ali Imran ayat 159, yaitu:

Pertama, sifat lembut merupakan nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam QS. Ali Imran 159, sifat ini mempunyai nilai pendidikan sosial karena terkait dengan adanya usaha untuk menjadi orang yang bisa menghargai orang lain, kepedulian dan toleran. Sifat lemah lembut bisa dipelajari dan dilatih sehingga terdapat nilai pendidikan yang terdapat didalam nya.

Kedua, Pemaaf atau memaafkan adalah sifat yang mengandung nilai kemanusian dan pengorbanan yang tinggi didalam pendikan sosial sangat terkait sekali dengan pertimbangan kemanusian. Ketiga, Musyawarah. Sifat ini adalah merupakan perkembangan sikap yang dituntun seseorang didalam bermasyarakat untuk menjadikan dirinya memiliki eksistensi hidup didalam bermasyarakat. Yang diperbuat pendidikan terhadap manusia ialah mengembangkannya untuk menjadi pribadinya, bukan menjadi yang berada diluar pribadinya. Inilah nilai-nilai pendidikan sosial terdapat dalam QS Ali Imran 159.


(2)

B. Saran

Dunia pendidikan di Indonesia sangat urgen untuk sesegera mungkin membumikan nilai-nilai pendidikan sosial sebagaimana yang terkandung dalam QS. Ali Imran ayat 159. Begitu penting peran kasih sayang dalam pengembangan ruh dan keseimbangan jiwa anak-anak.Teguh tidaknya pendirian dan kebaikan perilaku seseorang bergantung banyak sejauh mana kasih sayang yang diterimanya selama masa pendidikan. Kondisi keluarga yang penuh dengan kasih sayang menyebabkan kelembutan sikap anak-anak. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan perhatian akan memiliki kepribadian yang mulia, suka mencintai orang lain dan berperilaku baik dalam masyarakat. Kehangatan cinta dan kasih saying yang diterima anak-anak akan menjadikan kehidupan mereka bermakna, membangkitkan semangat, melejitkan potensi dan bakat yang terpendam, serta mendorong untuk bekerja/berusaha secara kreatif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdusshomad, Muhyiddin, Etika Bergaul, Surabaya : Khalista, 2007, Cet. 1 Al-Dimasqi Al-Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4:

Surat Ali Imran 92 s.d An-Nisa 23 (terj.) Syihabuddin, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000

Al-Farran, Ahmad Musthafa, Tafsir Imam Syafii, Jakarta: Almahira, 2007

Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir, Ensiklopedi Muslim, Jakarta: Darul Falah, 2000, Cet. 1 Al-Mirgani, Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah, Mahkota Tafsir, Bandung:

Sinar Baru Algensindo, 2009, Cet. 1

Al-Musawi, Khalil, Terapi Akhlak, Jakarta: Zaytuna, 2011

Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1999 Arifin, Lukman Hakim, dkk, Kumpulan Kata Mutiara dan Falsafah Hidup,

Jakarta: Turos, 2013

Ar-Rifai, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (terj) Syihabuddin, Jakarta: Gema Insan Press, 1999

As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir, Tafsir As-Sa’di (terj.), Muhammad Iqbal et.al, Jakarta: Darul Haq, 2006

Asy-Syaukani, Imam Tafsir Fathul Qadir 2, Jakarta : Buku Islsm Rahmatan, 2008

Arikunto, Suharsimi Prosedur Peneltian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1990

Chamidah, Ninik, Konsep Zakat dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sosial Semarang: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006

Budiningsih, C. Asri, Pembelajaran Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2008

Daradjat, Zakiah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996

Daradjat, Zakiah, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2008), cet. IV


(4)

Friedman, Howard S. dan Schustack, Miriam W., Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, (terj) Fransiska Dian Ikarini, Jakarta: Erlangga, 2008 Halim, Abdul, Al-qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat

Pers, 2002, Cet. 1

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987, Cet 1

Hanafi, Muchlis M.(ed), Spiritualitas dan Akhlak, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2010

Haris, Muchit (eds), Sarung dan Demokrasi dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan, (ed) Tim LTN-NU Jawa Timur, Surabaya: Khalista, 2008

Imani, Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Quran, Jakarta: Al-Huda, 2003, Cet. 1 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, Cet. 2 Joesoef, Soelaman dan Slamet Santoso, Pengantar Pendidikan Sosial, Surabaya:

Usaha Nasional, 1981

Joesoef, Soelaman , Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).

Kartasapoetra, G. dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan Jakarta: Bumi Aksara, 2007

Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000, Cet. 4

Mahali, A. Mujab, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. 1

Mahran, Mahir Utsman, Serba Tiga Dari Nabi Muhammad Saw, (terj) Abdullah Abbas & Arif Rahman, Ciputat: Lentera Hati, 2011

Mohamad, Hamzah B. Uno, Nurdin Belajar dengan Pendekatan PAILKEM, Jakarta: Bumi Aksara 2011

Munawwir, AW. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Prograssif, 1997


(5)

Noor, Rohinah M., MA, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, Jakarta Selatan : Grafindo Khazanah Ilmu, 2010, Cet. II Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

1985

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000

Qurthubi, Imam, Tafsir al-Qurthubi, (terj). Dudi Rosyadi, dkk, Jakarta: Azzam, 2008

Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz 2, Jakarta: Gema Insani, 2001 Rahardjo, Mudjia, Penelitian Manajemen Pendidikan Islam: (Sebuah Pencarian

Metodologik), diakses pada 14 April 2012 05:47

Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994 Rofiq, Ainur, Konsep Metode Pendidikan Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih

Ulwan (Studi Dalam Kitab Tarbiyatul Awlad Fil Islam) Surabaya: UIN-Sunan Ampel Press, 2010.

Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat , Yogyakarta: LKIS, 2009. Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru,,

Jakarta: Rajawali Pers, 2011

Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2011

Shihab, M. Quraish Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan: 1996

Shihab, Quraisy Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000 Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai kritik sosial, Jakarta: LTN PBNU, 2012

Suryosubroto, B. Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2010

Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013, Cet. 18

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitataif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008, cet. IV


(6)

Suyadi, Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh) ,Solo: Tiga Serangkai, 2006.

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam Jakarta: Rajawali Pers, 2002 Thalib, Muhammad, 50 Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih, Bandung:

Irsyad Baitus Salam, 1996, Cet. 10

Ulwan, Abdullah Nashih Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, Arab Saudi: Darus Salam, 1997

Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005, Cet. 2

Undang-Undang Sisdiknas UU RI No.20 Th.2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet.2

Vembriarto, St. Pendidikan sosial, Yogyakarta: Paramita, 1981